Anda di halaman 1dari 12

HUKUM WARIS

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas


Mata kuliah Kajian Kitab Kuning semester genap 2023

Dosen Pengampu:
Hj. Shofiyah, SH., M. HI.

Oleh:
Roviqo Afiyati
NIM:
22742340028

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSITUT AGAMA ISLAM TARBIYATUT THOLABAH
KRANJI PACIRAN LAMONGAN
JUNI 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat ALLAH SWT., yang senantiasa memberikan


rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan
salah satu tugas yang berbentuk makalah sebagai salah satu persyaratan untuk
menempuh mata kuliah Hukum Perdata.
Makalah ini bertujuan untuk menguji mendiskripsikan tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan Hukum Waris. Terselesaikannya makalah ini
tidak lepas dari sumbangsih para orang-orang terdekat penulis, karena itu dengan
tulus penulis sampaikan banyak terimakasih kepada:
1. Ibu Hj. Shofiyah, SH., M. HI. selaku pengampu mata kuliah Kajian Kitab
Kuning IAI TABAH Kranji Paciran Lamongan yang telah membimbing kami
dalam menjelaskan gambaran tentang materi makalah yang kami tulis.
2. Para pegawai perpustakaan IAI TABAH Kranji Paciran Lamongan yang telah
memberikan kami kesempatan untuk berkunjung dan meminjam buku di
perpustakaan sebagai daftar buku rujukan.
3. Teman-teman Prodi Hukum Ekonomi Syari’ah yang telah membantu kami
dalam menjalankan kegiatan diskusi tentang makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangan kami butuhkan untuk
penyempurnaan makalah ini. Demikian semoga dapat memberikan manfaat bagi
teman-teman yang membaca dan mempelajarinya.

Lamongan, Juni 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.............................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN 1
A.Latar Belakang..............................................................................................1
B.Rumusan Masalah.........................................................................................1
C.Tujuan...........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2
A.Pengertian Hukum Waris dan Pengaturannya..............................................2
B.Pengertian Pewaris........................................................................................5
C.Pengertian Ahli Waris...................................................................................6
D.Pengertian Harta Warisan.............................................................................7
BAB III PENUTUP.................................................................................................9
A.Kesimpulan...................................................................................................9
B.Saran..............................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................10

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum waris dan hukum perkawinan, merupakan dua hal yang tidak dapat
diabaikan. Harta perkawinan tidak dipisahkan dari hukum waris. Oleh karena itu untuk
membicarakan hukum waris sama dengan membicarakan hukum perkawinan.
Adapun yang dimaksud dengan hukum waris adalah "kumpulan peraturan-
peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena matinya seseorang, yaitu
mengenai kekayaan yang ditinggalkan oleh yang meninggal dan akibatnya dari
pemindahan itu bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara
mereka dengan pihak ketiga".
Maksud kekayaan dalam pewarisan adalah sama hak dan kewajiban baik mengenai
aktif maupun pasif yang dimiliki si yang meninggal pada saat terakhir.
Di dalam ketentuan kitab undang-undang Hukum Perdata, secara tegas ditentukan
bahwa jika terbuka suatu warisan, maka ahli waris tidak boleh dipaksa untuk menyatakan
menerima warisan akan tetapi diberi hak berpikir bagi ahli waris serta adanya kebebasan
bagi ahli waris untuk menentukan sikapnya terhadap warisan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hukum waris dan pengaturannya?
2. Apa pengertian pewaris?
3. Apa pengertian ahli waris?
4. Apa pengertian harta warisan?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian hukum waris dan pengaturannya
2. Untuk mengetahui pengertian pewaris
3. Untuk mengetahui pengertian ahli waris
4. Untuk mengetahui pengertian harta warisan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Waris dan Pengaturannya


Hukum waris adalah bagian dari hukum kekeluargaan yang sangat erat kaitannya
dengan ruang lingkup kehidupan manusia sebab setiap manusia pasti akan mengalami

4
peristiwa hukum yang dinamakan kematian. 1 Para ahli hukum Indonesia sampai saat ini
masih berbeda pendapat tentang pengertian hukum waris.
1. Wirjono Prodjodikoro mempergunakan istilah "warisan". Menurutnya: "warisan
adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan
seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih
hidup".2
2. Soepomo mempergunakan istilah"hukum waris" sebagai berikut "Hukum Waris itu
memuat peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang harta
benda dan barang yang tidak terwujud benda dan barang yang tidak berwujud benda
(immateriele gonderen) dari suatu angkatan manusia (generatic) kepada turunannya.
Proses itu telah mulai pada waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak
menjadi"akut" disebabkan oleh orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya
bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, tetapi
sesungguhnya tidak mempengaruhi acara radikal sproses penerusan dan pengoperan
harta benda dan harta bukan benda tersebut".3
3. R. Santoso Pudjosubroto, sebagai berikut: "Yang dimaksud dengan hukum warisan
adalah hukum yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-
kewajiban tentang harta benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih
kepada orang yang masih hidup".

Pengertian hukum waris diatas yang dikemukakan oleh para ahli hukum, tetapi
pada pokoknya mereka berpendapat sama, yaitu hukum waris adalah peraturan hukum
yang mengatur perpindahan harta kekayaan dari pewaris kepada para ahli waris.4
Pengaturan hukum waris di Indonesia adalah negara multikultural. Berbagai aturan
yang ada pun tidak dapat mengotak-kotakan kultur yang ada. Sama berlakunya untuk
hukum waris. Di Indonesia, belum ada hukum waris yang berlaku secara nasional.
Adanya hukum waris di Indonesia adalah hukum waris adat, hukum waris Islam, dan
hukum waris perdata. Masing-masing hukum waris itu memiliki aturan yang berbeda-
beda.
Adapun berikut penjelasannya:

1
Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, (Bandung; Mandar Maju, 1995). hlm. 02.
2
Winjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung; Persero, 1962). hlm. 08.
3
Siepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta; Universitas, 1966). hlm. 72-73.

4
Maman Suparman, Hukum Waris Perdata, (Jakarta; Sinar Grafika, 2015). hlm. 07.

5
1. Hukum Waris Adat
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beragam suku bangsa,
agama, dan adat-istiadat yang berbeda satu dengan lainnya. Hal itu mempengaruhi
hukum yang berlaku di tiap golongan masyarakat yang dikenal dengan sebutan hukum
adat.5
Hukum adat itu sendiri bentuknya tak tertulis, hanya berupa norma dan adat-
istiadat yang harus dipatuhi masyarakat tertentu dalam suatu daerah dan hanya
berlaku di daerah tersebut dengan sanksi-sanksi tertentu bagi yang melanggarnya.
Oleh karena itu, hukum waris adat banyak dipengaruhi oleh struktur kemasyarakatan
atau kekerabatan
2. Hukum Waris Islam
Hukum waris Islam berlaku bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam
dan diatur dalam Pasal 171-214 Kompilasi Hukum Indonesia, yaitu materi hukum
Islam yang ditulis dalam 229 pasal. Dalam hukum waris Islam menganut prinsip
kewarisan individual bilateral, bukan kolektif maupun mayorat. Dengan demikian
pewaris bisa berasal dari pihak bapak atau ibu.
Menurut hukum waris Islam ada tiga syarat agar pewarisan dinyatakan ada
sehingga dapat memberi hak kepada seseorang atau ahli waris untuk menerima
warisan:
a. Orang yang mewariskan (pewaris) telah meninggal dunia dan dapat di buktikan
secara hukum ia telah meninggal. Sehingga jika ada pembagian atau pemberian
harta pada keluarga pada masa pewaris masih hidup, itu tidak termasuk dalam
kategori waris tetapi disebut hibah.
b. Orang yang mewarisi (ahli waris) masih hidup pada saat orang yang mewariskan
meninggal dunia.
c. Orang yang mewariskan dan mewarisi memiliki hubungan keturunan atau
kekerabatan, baik pertalian garis lurus ke atas seperti ayah atau kakek dan pertalian
lurus ke bawah seperti anak, cucu, dan paman.
3. Hukum Waris Perdata
Hukum waris perdata atau yang sering disebut hukum waris barat berlaku untuk
masyarakat nonmuslim, termasuk warga negara Indonesia keturunan, baik Tionghoa
maupun Eropa yang ketentuannya diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPerdata).
5
Soedirman Kartohadibroto, Masalh Hukum Sehari-Hari, (Yogyakarta: Hien Hoo Sing, 1964). hlm. 07.

6
Hukum waris perdata menganut sistem individual di mana setiap ahli waris
mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Dalam
hukum waris perdata ada dua cara untuk mewariskan:
Mewariskan berdasarkan undang-undang atau mewariskan tanpa surat wasiat
yang disebut sebagai Ab-instentato, sedangkan ahli warisnya disebut Ab-instaat. Ada
4 golongan ahli waris berdasarkan undang-undang: Golongan I terdiri dari suami istri
dan anak-anak beserta keturunannya; Golongan II terdiri dari orang tua dan saudara-
saudara beserta keturunannya; Golongan III terdiri dari kakek, nenek serta seterusnya
ke atas; dan Golongan IV terdiri dari keluarga dalam garis menyamping yang lebih
jauh, termasuk saudara-saudara ahli waris golongan III beserta keturunannya.6
Mewariskan berdasarkan surat wasiat yaitu berupa pernyataan seseorang tentang
apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia yang oleh si pembuatnya dapat
diubah atau dicabut kembali selama ia masih hidup sesuai dengan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Pasal 992. Cara pembatalannya harus dengan wasiat baru
atau dilakukan dengan Notaris.
Syarat pembuatan surat wasiat ini berlaku bagi mereka yang sudah berusia 18
tahun atau lebih dan sudah menikah meski belum berusia 18 tahun. Yang termasuk
golongan ahli waris berdasarkan surat wasiat adalah semua orang yang ditunjuk oleh
pewaris melalui surat wasiat untuk menjadi ahli warisnya.7

B. Pengertian Pewaris
Menurut sistem hukum waris adat, pewaris adalah orang yang meneruskan
hartanya ketika masih hidup maupun sudah wafat.
Menurut sistem hukum perdata, pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia
atau orang yang diduga meninggal dunia yang meninggalkan harta yang dimiliki semasa
hidupnya, dengan syarat:
1. orang tersebut tidak diketahui keberadaannya selama sekurang-kurangnya lima tahun,
telah dilakukan tiga kali panggilan resmi dari pengadilan serta pemanggil dalam surat
kabar sebanyak tiga kali.8
2. Apabila sampai sebelum 15 tahun harta warisan digunakan oleh ahli waris, ternyata
pewaris hadir, ahli waris wajib mengembalikan 1/2 harta warisan tersebut.9

6
J. Satrio, HUKUM WARIS, (Bandung; Akumni, 1992). hlm. 111.
7
J. Satrio, HUKUM WARIS, (Bandung; Akumni, 1992). hlm. 112.
8
Pasal 467 KUH Perdata
9
Pasal 482 KUH Perdata

7
3. Apabila setelah 15 tahun belum genap 30 tahun, ahli waris wajib mengembalikan 1/4
harta warisan yang diterimanya.10
4. Apabila lebih dari 30 tahun atau 100 tahun ukur pewaris, pewaris tidak dapat
menuntut pengembalian harta warisan yang telah digunakan.11
5. Apabila dua orang saling mewarisi meninggal dunia tanpa diketahui siapa yang
meninggal terlebih dahulu, mereka dianggap mati secara bersamaan dan tidak terjadi
perpindahan harta warisan satu dengan lainnya.12
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), pewaris adalah merupakan orang yang
pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan
pengadilan, beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Di dalam
Buku II Hukum Kewarisan Bab 1 Pasal 171 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam, yang dimaksud dengan hukum Kewarisan adalah
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan orang yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya
masing-masing.13

C. Pengertian Ahli Waris


Pengertian ahli waris ini dikemukakan oleh beberapa para ahli hukum yaitu,14
1. Menurut Emeliana Krisnawati, Ahli waris adalah orang yang menggantikan
kedudukan pewaris atau orang yang menerima harta warisan.
2. Menurut Eman Suparman, Waris ialah orang yang berhak menerima pusaka
(peninggalan orang yang telah meninggal). Ahli waris yaitu sekalian orang yang
menjadi waris, berarti orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan pewaris.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ahli waris adalah orang-orang yang berhak
menerima warisan dari pewaris. Ahli waris ini dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
1. Ahli waris yang diatur dalam KUHPerdata (ab instato), yaitu ahli waris berdasarkan
hubungan perkawinan dan hubungan darah.
2. Ahli waris berdasarkan surat wasiat (testamentair), yaitu berdasarkan apa yang ada
dalam surat wasiat tersebut.
Menurut pasal 832 KUHPerdata yang berhak menjadi ahli waris ialah para
10
Pasal 482 KUH Perdata

11
Pasal 484 KUH Perdata
12
Pasal 831 KUH Perdata
13
Ibid., hlm. 08.
14
Subekti, POKOK-POKOK HUKUM PERDATA, (Jakarta; Intermara, 2015). hlm. 95.

8
keluarga sedarah, baik dah maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama,
semua menurut peraturan tertera dibawah ini. Dalam hal bila mana baik keluarga
sedarah, maupun si yang hidup terlama di antara suami istri, tidak ada, maka segala harta
peninggalan si yang meninggal, menjadi milik Negara, yang mana berwajib akan
melunasi segala hutangnya, sekedar harta peninggalan mencukupi untuk itu.15

D. Pengertian Harta Warisan


Harta warisan dalam sistem hukum waris Eropa atau sistem hukum perdata yang
bersumber pada BW meliputi seluruh harta benda beserta hak dan kewajiban pewaris
dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.16
Menurut KUHPerdata, dari manapun harta itu asalnya tetap merupakan satu
kesatuan yang secara keseluruhan beralih dari tangan si meninggal kepada para ahli
warisnya. Dengan demikian, dalam KUHPerdata tidak dikenal adanya lembaga barang
asal (harta bawaan), yaitu barang-barang yang dibawah oleh suami atau istri pada saat
perkawinan dilangsungkan, pengecualiannya dilakukan dengan cara dibuat perjanjian
kawin.
Menurut padal 119 KUHPerdata, sejak dilangsungkannya perkawinan terjadilah
persatuan yang bulat antara kekayaan suami dan kekayaan istri, dengan tidak
memandang dari siapa asalnya harta tersebut. Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan baik yang diperoleh si suami maupun si istri, baik secara sendiri-sendiri atau
bersama-sama menjadi harta persatuan yang bulat. Demikian juga harta yang diperoleh
dari warisan masing-masing, maupun yang diperoleh dari hibah baik kepada suami
ataupun kepada istri atau kepada mereka berdua, semuanya menjadi harta warisan.
Apabila terjadi perceraian atau salah satu meninggal dunia, maka harta perkawinan
terlebih dahulu dibagi dua sama rata, antara suami dan istri.
Prinsip-prinsip yang terdapat dalam KUHPerdata masih dapat diadakan
penyimpangan dengan cara dibuatnya perjanjian perkawinan, yaitu persetujuan yang
dibuat! Pada waktu perkawinan dilangsungkan, khususnya yang berkaitan dengan
persatuan harta kekayaan. Menurut KUHPerdata yang dimaksud harta warisan, bukan
saja berupa harta benda, tetapi juga hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.17

15
Ibid., hlm. 96
16
Benyamin Asri dan Thabrani Asri, DASAR-DASAR HUKUM WARIS, (Bandung; Tarsitu, 1988). hlm. 05.

17
Suparman Usman, IKHTISAR HUKUM WARIS MENURUT KUH PERDATA (BW), (Serang; Darul Ulum
Press, 1990). hlm. 01.

9
10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum waris adalah bagian dari hukum kekeluargaan yang sangat erat kaitannya
dengan ruang lingkup kehidupan manusia sebab setiap manusia pasti akan mengalami
peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Para ahli hukum Indonesia sampai saat ini
masih berbeda pendapat tentang pengertian hukum waris.
Menurut sistem hukum perdata, pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia
atau orang yang diduga meninggal dunia yang meninggalkan harta yang dimiliki semasa
hidupnya.
Menurut pasal 832 KUHPerdata yang berhak menjadi ahli waris ialah para
keluarga sedarah, baik dah maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama,
semua menurut peraturan tertera dibawah ini. Dalam hal bila mana baik keluarga
sedarah, maupun si yang hidup terlama di antara suami istri, tidak ada, maka segala harta
peninggalan si yang meninggal, menjadi milik Negara, yang mana berwajib akan
melunasi segala hutangnya, sekedar harta peninggalan mencukupi untuk itu.
Harta warisan dalam sistem hukum waris Eropa atau sistem hukum perdata yang
bersumber pada BW meliputi seluruh harta benda beserta hak dan kewajiban pewaris
dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.

B. Saran
Demikianlah uraian makalah yang dapat kami sampaikan. Penulis berharap semoga
makalah ini bermanfaat untuk kita semua, terutama agar dapat mengetahui dan
mempelajari tentang Rahn. Penulis menyadari banyaknya kekurangan dalam makalah
ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun kami terima dengan senang hati.

DAFTAR PUSTAKA

Eman Suparman, INTISARI HUKUM WARIS INDONESIA, (Bandung; Mandar Maju,


1995).

Winjono Prodjodikoro, HUKUM WARISAN DI INDONESIA, (Bandung; Persero, 1962).

Benyamin Asri dan Thabrani Asri, DASAR-DASAR HUKUM WARIS, (Bandung; Tarsitu,
1988).

11
Siepomo, BAB-BAB TENTANG HUKUM ADAT, (Jakarta; Universitas, 1966).

Maman Suparman, HUKUM WARIS PERDATA, (Jakarta; Sinar Grafika, 2015).

Subekti, POKOK-POKOK HUKUM PERDATA, (Jakarta; Intermara, 2015).

Suparman Usman, IKHTISAR HUKUM WARIS MENURUT KUH PERDATA (BW),


(Serang; Darul Ulum Press, 1990).

Soedirman Kartohadibroto, MASALH HUKUM SEHARI-HARI, (Yogyakarta: Hien Hoo


Sing, 1964).

J. Satrio, HUKUM WARIS, (Bandung; Akumni, 1992).

12

Anda mungkin juga menyukai