Anda di halaman 1dari 15

SISTEM DAN PROSES PEWARISAN ADAT

Makalah

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Dalam Mata Kuliah
“’Hukum Adat”

Dipresentasikan di kelas HKI-B

DOSEN PENGAMPU :

Ifnie Yulfa, SH.,MH

KELOMPOK 11 :

Stefani Salsabila NIM 1122082


Suci Athifah Adilla NIM 1122092
Gita Purna Filma NIM 1122104
Nisa Auliya NIM 1122120

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SJECH M. DJAMIL DJAMBEK
BUKITTINGGI
SEMESTER GANJIL TAHUN AJARAN 2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah Swt. yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah “Hukum Adat”

Selanjutnya shalawat dan salam penulis do’akan kepada Allah ‘Azza


Wajalla semoga rahmat-Nya selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw.
yang telah membawa kita dari zaman kegelapan ke zaman yang berilmu
pengetahuan, dalam kurung waktu kurang dari tiga puluh tahun, dengan penuh
kesabaran dan ketaatan kepada Allah ‘Azza Wajalla, beliau berhasil
menyelamatkan umat manusia yang saat itu berada dalam sebuah lembah tanpa
cahaya kepada zaman yang terang benderang seperti saat sekarang ini. Serta
keluarga sahabat dan setiap orang yang selalu mengikuti cahaya kebenaran beliau
hingga hari kiamat.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak lepas dari
bantuan banyak pihak dengan tulus memberikan do’a, saran dan kritik sehingga
makalah ini dapat kami selesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun.
Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Bukittinggi, 24 November 2023

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan .......................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Waris Adat .................................................... 3
B. Sistem dan Proses Pewarisan Adat .............................................. 5
C. Azaz Kewarisan Dalam Hukum Adat .......................................... 9

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.................................................................................. 11

B. Saran ............................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang mengakui keberlakuan hukum adat.
Hukum adat merupakan sistem aturan dalam kehidupan masyarakat Indonesia
yang berasal dari adat kebiasaan dan dilakukan secara turun temurun,
dihormati dan ditaati oleh masyarakat. Hukum adat diakui secara implisit
dalam UUD1945. Hukum adat yang tidak tertulis,tumbuh dan berkembang
serta berurat pada akar pada kebudayaan tradisional sebagai perwujudan
hukum rakyat yang nyata dalam kehidupan masyarakat.
Hukum adat waris mempunyai sistem kolektif, mayorat dan individual.
Sistem waris kolektif yaitu, harta harta warisan dimiliki secara bersama-sama,
dan ahli waris tidak diperbolehkan untuk memiliki secara pribadi. Jika ingin
memanfaatkan harus ada musyawarah. Sistem mayorat yaitu harta wais
dimiliki oleh ahli waris tertua, dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan
ahli waris yang muda sampai mereka dewasa dan mampu mengurus dirinya
sendiri. Sistem waris individual yaitu, harta warisan bisa dimiliki secara
pribadi oleh ahli waris, dan kepemilikan mutlak ditangannya.
Harta warisan menurut hukum adat bisa dibagikan secara turut-menurut
sebelum pewaris meninggal dunia, tergantung dari musyawarah masing-
masing pihak. Dengan adanya beragam bentuk sistem kewarisan hukum adat,
menimbulkan akibat yang berbeda pula. Maka pada intinya hukum waris
harus disesuaikan dengan adat dan kebudayaan masing-masing daerah dengan
kelebihan dan kekurangan yang ada pada sistem kewarisan tersebut.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini, berdasarkan latar belakang
yang telah kami paparkan di atas adalah:
1. Apa pengertian hukum waris adat?
2. Apa saja sistem pewarisan hukum adat serta proses pewarisan hukum
adat?

1
3. Apa saja azaz kewarisan dalam hukum adat?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengertian hukum waris adat
2. Untuk mengetahui sistem pewarisan hukum adat serta proses pewarisan
hukum adat
3. Untuk mengetahui azaz kewarisan dalam hukum adat

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Waris Adat


Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tentang
bagaimana harta peninggalan atas harta warisan diteruskan atau dibagi dari
para pewaris kepada waris dari generasi kegenerasi berikutnya. Menurut Ter
Haar dikatakan bahwa hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang
mengatur tentang cara bagaimana dari masa ke masa proses penerusan dan
peralihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi
kegenerasi.
Istilah hukum waris adat yang sering disebut hukum adat waris berasal
dari istilah waris yang diambil dari Bahasa Arab dan memiliki pengertian
bahwa di dalam hukum waris adat tidak semata mata hanya menguraikan
mengenai waris dalam hubungannya dengan ahli waris, namun lebih luas dari
itu.
Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat gari-garis ketentuan
mengenai sistem dan azas-azas hukum waris, tentang-tentang harta warisan,
pewaris dan ahli waris, serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan
penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada ahli waris.
Hukum waris adat merupakan hukum penerusan harta kekayaan dari satu
generasi kepada keturunannya. Hukum kewarisan tersebut pada dasarnya
bersendikan prinsip-prinsip komunal atau kebersamaan sebagai bagian dari
kepribadian bangsa Indonesia. Prinsip kebersamaan dalam hukum waris adat
membuat hukum waris adat tidak mengenal bagian-bagian tertentu untuk pada
ahli waris dalam sistem pembagiannya.
Hukum waris itu mengandung tiga unsur, yaitu:
a. Adanya pewaris yang meninggalkan harta kekeyaan
b. Adanya harta peninggalan harta warisan

3
c. Adanya ahli waris atau waris yang akan meneruskan pengurusan atau
yang akan menerima bagiannya.1
Menurut Imam Sudiyat, hukum waris meliputi aturan-aturan dan
keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerus atau
pengeporan dan peralihan harta kekeyaan materiil an imateril dari generasi ke
generasi. Menurut Hilman Hadikusuma, hukum waris adalah hukum adat
yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris
tentang warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisaan itu
dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris.
Menurut Wirjono, warisan adalah hal yang menyoalkan mengenai apakah
dan bagaimanakah berbagai hak kewajiban tentang kekayaan-kekayaan
seseorang setelah ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang
masih hidup, sedangkan istilah kewarisan diartikan sebagai cara peyelesaian
bukan diartikan sebagai bendanya. Cara penyelesaian waris sebagai akibat
sebagai akibat dari kematian seseorang sehingga waris dapat dilakukan setelah
ada orang yang meninggal.
Oleh karena itu, untuk terjadinya pewarisan dalam hukum adat waris
haruslah memenuhi empat unsur pokok, yaitu:
a. Adanya pewaris
b. Adanyaa harta warisan
c. Adanya ahli waris
d. Penerusan dan pengoperan harta waris
Dengan demikian, hukum waris memuat ketentuan-ketentuan yang
pengaturan cara penerusan dan peralihan harta dari pewaris kepada para ahli
warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta tersebut dapat berlaku sejak
pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia. Bentuk
peralihannya dapat dengan cara penunjukan, penyerahan kekuasaan atau
penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada ahli waris.2
Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang
khas, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum barat. Sebab

1
Erwin Owan Hermansyah Soetoto, dkk, Buku Ajar Hukum Adat, (Malang: Madza
Media, 2021), hal 106
2
Ibid, hal 107

4
perbedaannya terletak dari latar belakang alam fikiran bangsa Indonesia yang
berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang Bhineka Tunggal Ika. Latar
belakang ini pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat tolong
menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian didalam
hidup.3
Menurut hukum adat, maka untuk menentukan siapa yang menjadi ahli
waris digunakan dua macam garis pokok, yaitu:
a. Garis pokok keutamaan
Garis pokok keutamaan adalah garis hukum yang menentukan
urutan-urutan keutamaan diantara golongan-golongan dalam keluarga
pewaris, dengan pengertian bahwa dengan golongan yang satu lebih
diutamakan dari pada golongan yang lain. Penggolongan garis pokok
keutamaan adalah sebagai berikut:
Kelompok keutamaan I : Keturunan pewaris
Kelompok keutamaan II : Orang tua waris
Kelompok keutamaan III : Saudara-saudara pewaris dan
keturunannya
Kelompok keutamaan IV : Kakek dan nenek pewaris dan
seterusnya
b. Garis pokok penggantian
Garis pokok penggantian adalah garis hukum yang bertujuan untuk
menentukan siapa di antara orang-orang di dalam kelompok
keutamaan tertentu, tampil sebagai ahli waris. Yang sungguh-sungguh
menjadi ahli waris adalah:
1). Orang yang tidak punya penghubung dengan pewaris
2). Orang yang tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris.4

B. Sistem dan Proses Pewarisan Hukum Adat


Sistem yang digunakan untuk menentukan pewarisan adat di Indonesia
bermacam-macam. Penerapan sistem tersebut berhubungan erat dengan adat

3
Aprilianti, Kasmawati, Hukum Adat di Indonesia, (Bandarlampung: Pusaka Media,
2022), hal 92
4
Pradjojo Hamidjojo. Hukum Waris Indonesia. (Jakarta: Stensil, 2000). Hal.37

5
yang ada di masing-masing daerah adat setempat, sehingga sistem adat
masing-masing daerah tidak dapat disamakan antara satu daerah dengan
daerah yang lain. Adapun beberapa sistem pewarisan adat yang terhadap di
Indonesia beserta cara atau prosesnya antara lain, yaitu:
1. Sistem Garis Keturunan
Berdasarkan sistem garis keturunan, maka dapat dibagi menjadi tiga
kelompok pewarisan, yaitu:
a. Sistem Patrilineal (kelompok garis ke-bapak-an)
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, di mana
kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan
wanita di dalam pewarisan. Suku-suku yang bergaris keturunan ke-
bapak-an, antara lain: Gayo, Alas, Batak, Noas, Lampung, Buru,
Seram, Nusa Tenggara, Irian
b. Sistem Matrilineal (kelompok garis ke-ibu-an)
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, di mana
kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dibandingkan
kedudukan pria dalam pewarisan. Suku yang bergaris keturunan ini
adalah Minangkabau.
c. Sistem Parental atau Bilateral (kelompok garis ibu-bapak)
Sistem yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis
dua sisi (bapak-ibu), di mana kedudukan pria dan wanita tidak
dibedakan dalam pewarisan. Adapun suku yang bergaris keturunan
ini adalah Jawa, Sunda, Madura dan Melayu.5
2. Sistem Kewarisan Individual
Ciri Sistem Kewarisan Individual, ialah bahwa harta peninggalan itu
terbagi-bagi pemilikannya kepada para waris, sebagaimana berlaku
menurut KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), dan
Hukum Islam, begitu pula berlaku di lingkungan masyarakat adat seperti
pada keluarga-keluarga Jawa, yang parental, atau juga pada keluarga-
keluarga Lampung yang patrilineal. Pada umumnya sistem ini cenderung

5
Erwin Owan Hermansyah Soetoto, Zulkifli Ismail, Melanie Pita Lestari. Buku Ajar
Hukum Adat. (Malang: Madza Media, 2021). Hal.111

6
berlaku di kalangan masyarakat keluarga mandiri, yang tidak terikat kuat
dengan hubungan kekerabatan. Pada belakangan ini di kalangan
masyarakat adat yang modern, di mana kekuasaan penghulu- penghulu
adat sudah lemah, dan tidak ada lagi milik bersama, sistem ini banyak
berlaku.
Kelebihan sistem individual ini adalah dengan adanya pembagian,
maka pribadi-pribadi waris mempunyai hak milik yang bebas atas bagian
yang telah diterimanya. Para waris bebas menentukan kehendaknya atas
harta warisan yang menjadi bagiannya, ia bebas untuk mentransaksikan
hak warisannya itu kepada orang lain. Kelemahannya, ialah bukan saja
pecahnya harta warisan, tetapi juga putusnya hubungan kekerabatan
antara keluarga waris yang satu dan yang lainnya. Hal mana berarti,
lemahnya asas hidup kebersamaan dan tolong-menolong antara keluarga
yang satu dan keluarga yang lain yang seketurunan.6
3. Sistem Kewarisan Kolektif
Ciri sistem kewarisan kolektif, ialah bahwa harta peninggalan itu
diwarisi/dikuasai oleh sekelompok waris dalam keadaan tidak terbagi-
bagi, yang seolah-olah merupakan suatu badan hukum keluarga kerabat
(badan hukum adat). Harta peninggalan itu di sebut hartou menyayanak
di Lampung, dalam bentuk bidang tanah kebun atau sawah, atau rumah
bersama (di Minangkabau).7
4. Sistem Kewarisan Mayorat
Ciri sistem kewarisan mayorat, adalah bahwa harta peninggalan
orang tua atau harta peninggalan leluhur kerabat tetap utuh tidak dibagi-
bagi kepada para waris, melainkan dikuasai oleh anak tertua laki-laki
(mayorat laki-laki) di lingkungan masyarakat patrilineal Lampung dan
juga Bali, atau tetap dikuasai anak tertua perempuan (mayorat wanita) di
lingkungan masyarakat matrilineal semendo di Sumatera Selatan dan
Lampung.

6
I.G.N. Sugangga. Hukum Waris Adat. (Semarang, UNDIP, 1995). Hal.11
7
Hilman Hadikusuma. Hukum Waris Adat. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003). Hal. 7

7
Bagi masyarakat adat Lampung Pesisir, penduduknya
menggunakan sistem kewarisan mayorat laki-laki. Sistem kewarisan
mayorat hampir sama dengan sistem kewarisan kolektif, hanya
penerusan dan pengalihan hak penguasa atas harta yang tidak terbagi-
bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai
pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga menggantikan kedudukan
ayah atau ibu sebagai kepala keluarga.
Diserahkannya hak penguasaan atas seluruh harta kepada anak
laki-laki tertua, bagi masyarakat Adat Lampung Pesisir, maksudnya
adalah sebagai penerus tanggung jawab orang tua yang wafat, untuk
bertanggung jawab atas harta peninggalan dan kehidupan adik-adiknya
yang masih kecil, hingga mereka dapat berdiri sendiri. Di daerah
Lampung yang memimpin, mengurus, dan mengatur penguasaan harta
peninggalan adalah anak punyimbang, yaitu anak lelaki tertua dari isteri
tertua.
Kelemahan dan kebaikan sistem kewarisan mayorat, adalah
terletak pada kepemimpinan anak tertua dalam kedudukannya sebagai
pengganti orang tua yang telah wafat, dalam mengurus harta kekayaan
dan memanfaatkannya guna kepentingan semua anggota keluarga yang
ditinggalkan. Hal ini disebabkan, karena anak tertua bukanlah sebagai
pemilik harta peninggalan secara perseorangan, tetapi sebagai pemegang
mandat orang tua yang dibatasi oleh musyawarah keluarga, dibatasi oleh
kewajiban mengurus orang tua yang dibatasi oleh musyawarah keluarga
lain, dan berdasarkan atas tolong-menolong oleh bersama untuk
bersama.8

Tidak semua harta peninggalan dapat diwariskan/dibagikan kepada ahli


waris. Alasan-alasan harta peninggalan tidak dapat dibagi, yaitu:

1. Karena sifatnya seperti barang-barang milik bersama/milik kerabat


2. Karena kedudukan hukumnya seperti barang keramat, kasepuhan.

8
Ibid. Hal.8

8
3. Karena pembagian warisan ditunda, misal: adanya anak-anak yang
belum dewasa
4. Karena belum bebas dari kekuasaan persekutuan seperti tanah milik
desa
5. Karena hanya diwariskan pada satu golongan saja seperti pada sistem
kewarisan mayorat.9

C. Azaz Pewarisan Dalam Hukum Adat


Pada dasarnya hukum waris adat mengenal beberapa azas umum, yaitu:
1. Jika pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun, maka warisan ini
dilakukan secara ke atas atau ke samping. Artinya, yang menjadi ahli
waris ialah pertama-tama anak laki atau perempuan dan keturunan mereka.
Kalau tidak ada anak atau keturunan secara menurun, maka warisan itu
jatuh pada ayah, nenek dan seterusnya ke atas. Kalau ini juga tidak ada
yang mewarisi adalah saudara-saudara sipeninggal harta dan keturunan
mereka yaitu keluarga sedarah menurut garis kesamping, dengan
pengertian bahwa keluarga yang terdekat mengecualikan keluarga yang
jauh.
2. Menurut hukum adat tidaklah selalu harta peninggalan seseorang itu
langsung dibagi diantara para ahli waris adalah sipewaris meninggal dunia,
tetapi merupakan satu kesatuan yang pembagiannya ditangguhkan dan
adakalanya tidak dibagi sebab harta tersebut tidak tetap merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dibagi untuk selamanya.
3. Hukum adat mengenal prinsip penggantian tempat, yang artinya seorang
anak sebagai ahli waris dan ayahnya, maka tempat dari anak itu digantikan
oleh anak-anak dari yang meninggal dunia tadi (cucu dari si pewaris). Dan
bagaimana dari cucu ini adalah sama dengan yang akan diperoleh ayahnya
sebagai bagian warisan yang diterimanya
4. Dikenal adanya lembaga pengangkatan anak (adopsi), di mana hak dan
kedudukan juga bisa seperti anak sendiri (kandung).

9
Ibid. Hal.113

9
Dalam hukum waris adat juga terdapat azas-azas yang khusus yang
berpangkal pada sila-sila Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa
Indonesia, yaitu:

a. Azas ketuhanan dan pengendalian diri


Dengan dasar hukum orang berpegang pada ajaran Ketuhanan
Yang Maha Esa, karena iman dan taqwanya ia mengendalikan diri
menahan nafsu kebendaan dan untuk dapat mengendalikan diri dalam
masalah kewarisan, sehingga akan selalu menjaga kerukunan hidup
antara para ahli waris dan anggota keluarga dari pertentangan.
b. Azas kesamaan hak dan kebersamaan hak.
Adanya sikap dalam hukum waris adat sesungguhnya bukan
menentukan banyaknya bagian warisan yang harus diutamakan, tetapi
kepentingan dan kebutuhan para waris yang dapat dibantu oleh adanya
warisan itu. Sehingga pembagian tidak selalu sama hak dan sama
banyak bagian pria dan wanita.
c. Azas kerukunan dan kekeluargaan.
Suatu azas yang dipertahankan untuk tetap memelihara hubungan
kekeluargaan yang tentram dan damai dalam mengurus menikmati dan
memanfaatkan warisan yang tidak terbagi-bagi ataupun dalam
menyelesaikan masalah pembagian pemilikan harta warisan yang
dibagi.
d. Azas musyawarah dan mufakat.
Dalam mengatur atau menyelesaikan harta warisan setiap anggota
waris mempunyai rasa tanggung jawab yang sama dan atau hak dan
kewajiban yang sama berdasarkan musyawarah dan mufakat bersama.
e. Azas keadilan dan pengasuhan.
Azas belas kasih terhadap para anggota keluarga pewaris,
dikarenakan keadaan, kedudukan, jasa, karya dan sejarahnya. Dengan
demikian, meskipun bukan ahli waris juga wajar untuk diperhitungkan
mendapat bagian harta warisan.10

10
Yulia. Buku Ajar Hukum Adat.(Aceh, Unimal Press.2016). hal.83

10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum adat merupakan salah satu aturan hukum yang masih digunakan
dalam proses pewarisan. Hukum waris adat merupakan hukum penerusan
harta kekayaan dari satu generasi kepada ketururannya. Hukum kewarisan
tersebut pada dasarnya bersendikan prinsip-prinsip komunal atau
kebersamaan.
Proses pewarisan yang mengedepakan musyawarah sebagai landasanya
merupakan hal penting agar adanya keselarasan dalam hubungan berkeluarga.
Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruanglingkup kehidupan manusia.
Aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana cara penerusan
danperalihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud.

B. Saran
Demikianlah yang dapat pemakalah sampaikan mengenai materi yang
menjadi pembahasan dalam makalah ini. tentu banyak kekurangan dan
kelemahan karena terbatasnya pengetahuan dan referensi yang pemakalah
peroleh. Kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun kepada
pemakalah demi kesempurnaannya makalah ini. semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca.

11
DAFTAR PUSTAKA

Aprilianti, K. (2022). Hukum Adat Di Indonesia. Bandar Lampung: Pusaka


Media.

Erwin Owan Hermansyah Soetoto, Z. I. (2021). Buku Ajar Hukum Adat. Malang:
Madza Media.

Hadikusuma, H. (2003). Hukum Waris Adat. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Hamidjojo, P. (2000). Hukum Waris Indonesia. Jakarta: Stensil.

Hermansyah, E. O. (2021). Buku Ajar Hukum Adat. Malang: Madza Media.

Sugangga, I. (1995). Hukum Waris Adat. Semarang: UNDIP.

Yulia. (2016). Buku Ajar Hukum Adat. Aceh: Unimal Press.

Anda mungkin juga menyukai