Anda di halaman 1dari 32

Makalah

HUKUM WARIS

Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah pada jurusan hukum keluarga

Dosen pembimbing:

Zahrul Fatahillah M.H.

Disusun oleh:

Rifqi Amalda (190101084)

Siti Nurliyana (190101102)

Siti Sarah (190101113)

Muhammad Kalkautsar (190101106)

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Shalawat serta salam semoga selalu terlimpah kepada
Nabi Muhammad SAW yang kita harapkan syafaatnya di yaumil mahsyar kelak.

Kami mengucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat-Nya baik berupa
kesehatan dan kesempatan sehingga kami mampu menyelesaikan pembuatan makalah dari mata
kuliah Hukum Perdata dengan judul “ HUKUM WARIS”.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna serta masih ada
kekurangan didalamnya. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca makalah
ini, supaya makalah ini nantinya menjadi makalah yang lebih baik lagi.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak kami khususnya dosen
pembimbing kami yaitu bapak Zahrul Fatahillah M.H. yang telah membimbing kami dalam
penulisan makalah ini. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Terimakasih.

Banda Aceh, tgl bulan 2020

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris
sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Sebab semua manusia
akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang
selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum seseorang diantaranya adalah
masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
seseorang yang meninggal dunia tersebut.

Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya


seseorang, di atur oleh hukum waris. Untuk pengertian hukum waris sampai saat ini baik
para ahli hukum Indonesia, belum terdapat gambaran pengertian, sehingga istilah untuk
hukum waris masih beraneka ragam. Misalnya saja, Wirjono Prodjodikoro menggunakan
istilah warisan. Soepomo menggunakan istilah hukum waris. R. Santoso Pudjosubroto
menggunakan istilah hukum warisan.

Masalah hukum waris adalah masalah yang sangat penting dan selalu menjadi
salah satu pokok bahasan utama dalam hukum islam, karena hal ini selalu ada dalam
setiap keluarga dan masalah waris ini rentan dengan masalah/konflik di masyarakat
akibat pembagian yang dianggap kurang adil atau ada pihak-pihak yang merasa
dirugikan. Selain dari pada hukum islam, hukum perdata juga ketat mengatur tentang
waris dikarenakan aturan ini berlaku khusus kepada masyarakat nonmuslim. Walaupun
demikian masih banyak masyarakat yang membagi warisannya dengan menggunakan
hukum adat yang berlaku di masyarakat masing-masing.
HUKUM WARIS

A. Pengertian Hukum Waris.


Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada
orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Adapun makna istilah yang
dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal
kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta bergerak
(uang), harta tidak bergerak (tanah), atau apa saja yang berupa hak-hak legal secara
syar’i.
Beberapa penulis dan ahli hukum Indonesia telah mencoba memberikan rumusan
mengenai pengertian hukum waris yang disusun dalam bentuk batasan (defenisi). Sebagai
pedoman dalam upaya memahami pengertian hukum waris secara utuh, beberapa defenisi
diantaranya sebagai berikut:
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan:
Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah pembagian hak-hak dan kewajiban-
kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih
kepada orang yang masih hidup.
Menurut Soepomo:
Hukum waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan sert
mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda
(immatereele goderen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya.
R. Santoso Pudjosubroto, mengemukakan:
Yang dimaksud dengan hukum warisan adalah hukum yang mengatur apakah dan
bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang harta benda seseorang pada
waktu ia meninggal dunia akan beralih akan beralih kepada orang yang masih hidup.
Menurut penulis, hukum waris adalah aturan-aturan yang berisi mengenai
ketentuan-ketentuan tentang harta benda yang dimiliki seseorang (yang telah meninggal)
sehingga harta benda yang dimilikinya beralih kepada yang berhak untuk menerima
harta.1

1
Tinuk Dwi Cahyani, Hukum Waris Dalam Islam, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2018, Hal 9-10
Waris menurut hukum islam adalah proses pemindahan harta peninggalan
seseorang yang telah meninggal, baik yang berupa benda berwujud maupun maupun yang
berupa hak kebendaan, kepada keluarganya yang dinyatakan berhak menurut hukum.2
Beberapa sarjana memberikan pengertian yang beragam mengenai hukum waris.
Dari beberapa pengertian hukum waris yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut pada
intinya dapat ditarik suatu benang merah bahwa hukum waris adalah peraturan yang
mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau
beberapa orang lain. Intinya hukum waris adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat
hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan yang berwujud perpindahan
kekayaan dari si pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut bagi para ahli waris,
baik dalam hubungan antara sesama ahli waris maupun antara mereka dengan pihak
ketiga.3
Defenisi waris adalah berpindahnya harta dari si mayit kepada yang hidup (ahli
waris) dapat disimpulkan bahwa dalam urusan warisan ada tiga hal, yaitu orang yang
meninggal (pewaris), ahli waris, dan harta yang diwariskan.4
Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beralihnya harta
kekayaan dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup atau
para ahli warisnya.5
Dalam sebuah keluarga dimana pun di dunia ini, ada sebuah tradisi pewarisan
yang menjadi bagian dari hukum keluarga yang berlaku di suatu wilayah tertentu yang
dianut dan diyakini. Filosofi pewarisan tersebut adalah mempertahankan kepemilkian
suatu barang yang dimiliki oleh suatu keluarga yang telah diperoleh dari perjuangan
hidup agar tidak jatuh ketangan pihak lain atau keluarga lain secara benar dan sah.
Ada dua ajaran besar dalam pewarisan yang dianut oleh suatu masyarakat yakni
ada yang diajarkan melalui keyakinan agama yang dianut dan yang satu lagi dari tradisi
yang berkembang yang diajarkan melalui keyakinan agama yang dianut yang satu lagi

2
Ibidh, Hal. 11
3
Dr. J. Andy Hartanto S.H.M.H. Ir. M.M.T., Hak Waris Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi,
Surabaya: CV. Jakad Publishing Surabaya, 2017, Hal 7
4
Dr. Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah, Hukum Waris Pembagian Warisan Berdasarkan Syariat Islam, Solo: Tiga
Serangkai, 2007, Hal 9
5
P.N.H. Simajuntak S.H., Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: KENCANA, 2015, Hal 17
dari tradisis yang yang berkembng yang diajarkan secara turun temurun dari nenek
moyang mereka sehingga begitu kuat tertanam untuk dipatuhi.
Secara umum di dunia ini, baelaku suatu asas bahwa hak waris itu berlaku setelah
yang mewariskan meninggal dunia. Tidak terkecuali dalam hukum barat yakni dalam
KUHPerdata. Pasal 830 KUH Perdata dikatakan, “Pewaris hanya berlangsung karena
kematian”.
Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan
ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli waris.
Selanjutnya hukum waris adalah kumpulan peraturan, yang mengatur hukum
mengenai harta kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan harta
kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris kepada ahli warisnya, bagian yang diterima
serta hubungan antara ahli waris dan pihak ketiga, bahwa hukum kewarisan adalah
hukum-hukum atau aturan-aturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah
bebagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal
dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Dalam KUH Perdata hukum kewarisan di atur dalam buku II KUH Perdata.
Jumlah pasal yang mengatur hukum waris sebanyak 300 pasal, yang dimulai dari pasal
830 sampai dengan pasal 1130 KUH Perdata.6
Dalam hukum perdata, mewarisi berarti menggantikan kedudukan orang yang
meninggal terkait dengn hubungan hukum harta kekayaannya yang berkaitan erat dengan
kehendak terakhir orang yang meninggal tersebut. Kehendak terakhir inilah yang akan
diperhitunkan sebagai sumber hukum pembagian waris perdata.
Kehendak terakhir orang yang telah meninggal dunia memiliki arti yang
kompleks, baik dalam arti formal (dituangkan dalam akta yang dibuat dengan syarat
terbentuknya) maupun dalam arti materil (berupa kehendak atau kemauan orang yang
telah meninggal terhadap hartanya). Terhadap arti materil ini kemudian diformalkan
dalam bentuk akta yang telah umum dikenal dengan sebutan testamen atau surat wasiat.

6
Istijab S.H M.HUM M.PD, Hukum Waris Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Adat,
Jawa Timur: CV Penerbit Qiara Media, 2020, Hal 1-4
Berdasarkan kehendak terakhir tersebut, maka sumber hukum waris dalam hukum
perdata dibedakan menjadi:
1. Hukum waris menurut ketentuan undang-undang atau sering disebut dengan
hukum waris ab intestate, artinya hukum waris tanpa testamen atau wasiat.
Disebut hukum waris tanpa wasiat karena dasar pengaturan hukum waris
berdasarkan undang-undang (KUH Perdata).
2. Hukum waris testamer, yaitu hukum waris menurut ketentuan wasiat atau
testamen.
Hukum pewarisan perdata (ab intestato) diatur dalam buku kedua tentang
kebendaan Bab XII-XVIII KUH Perdata. Bab-bab tersebut antara lain mengatur tentang:
 Bab XII tentang pewarisan karena kematian
 Bab XIII tentang surat wasiat
 Bab XIV tentang pelaksana wasiat dan penguru harta peninggalan
 Bab XV tentang hak memikir dan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran
harta peninggalan
 Bab XVI tentang hal menerima dan menolak suatu warisan
 Bab XVII tentang pemisahan harta peninggalan
 Bab XVIII tentang harta peninggalan yang tidak terurus
Pengaturan hukum waris di masukkan ke dalam hukum kebendaan sebagaimana
argument hukum dari Vollemar karena hukum waris termasuk didalamnya hak
kebendaan seperti dituangkan dalam pasal 1537 dan 957 KUH Perdata, yaitu:
Barang siapa menjual suatu warisan dengan tidak diterangkan barang, tidaklah
diwajibkan menanggung selain hanya terhadap kedudukannya sebagai ahli waris.
Dengan demikian warisan-warisan dapat diperjual belikan sebagaimana benda.
Hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus, dengan mana si yang
mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barangnya dari satu
jenis tertentu, seperti misalnya, segala barang-barang bergerak atau tidak bergerak,
atau memberikan hak pakai hasil atau seluruh atau sebagian peninggalannya.7

7
Badriyah Harun S.H, Panduan Praktis Pembagian Waris, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009, Hal 15-16
Artinya yang dapat dibebani hak pakai hasil adalah hak kebendaan. Jika pada pasal
957 tersebut ditetapkan bahwa hak waris dapat dijadikan atau dibebani hak pakai hasil
maka hak waris adalah hak kebendaan.
Harta waris dalam hukum perdata disebut sebagai hak milik yang sama terikat atau
gebonden mede eigendom. Artinya, kebersamaan terhadap kepemilikan harta waris tidak
dapat diakhiri hanya dengn kesepakatan dari para pihak, tetapi harus melalui perbuatan
hukum tertentu dan juga memiliki hubungan lain atas kepemilikan bersama para pihak.
Perbuatan hukum tertentu misalnya harus ada pemisahan harta peninggalan.
Pemisahan harta peninggalan harus dibagi terlebih dahulu sebelum terjadi peralihan hak
kepemilikan. Perbuatan pemisahan harta inilah yang disebut sebagai perbuata hukum
tertentu.
Hubungan lain atas kepemilikan para pihak maksudnya harus memiliki hubungan
yang dapat menyebabkan harta waris tersebut sah dibagi. Hubungan ini biasanya berasal
dari hubungan darah, yaitu hubungan orang tua anak, atau hubungan perkawinan, yaitu
hubungan suami istri.8

B. Sistem Pembagian Harta Warisan


Dalam hukum waris BW ada dua cara pembagian harta warisan yaitu:
1. Pewarisan menurut undang-undang (ab in testato), yaitu pembagian waris kepada ahli
waris yang telah ditentukan undang-undang. Berdasarkan undang-undang dikenal
adanya pengaturan penggantian tempat (plaatvervulling) artinya jika ahli waris yang
berhak menerima warisan meninggal lebih dahulu, hak warisnya dapa digantikan oleh
anak-anaknya, demikian seterusnya. Disamping itu, dikenal adanya ketentuan bahwa
kalau si pewaris yang meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan tidak
mempunyai anak, maka suami, istri saudara-saudaranya yang mendapat bagian dan
terjadilah pecah dua (kloving). Arti dari pecahan dua (kloving), yaitu harta warisan
harus dibagi 2 bagian yang sama, setengah bagian diberikan kepada keluarga bapak,
setengahbagian diberikan kepada keluarga ibu menurut garis lurus keatas.
2. Pewarisan berdasarkan surat wasiat (testamenter), yaitu pewarisan yang diberikan
orang-orang yang telah ditunjuk oleh si pewaris sesuai kehendak terakhir si pewaris.9
8
Ibidh, Hal. 17
9
Prof. Dr. Hasanuddin Af, MA, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru, 2004, Hal 236
Pewarisan mempunyai unsur-unsur yang harus terpenuhi agar dapat disebut peristiwa
waris. Pewarisan harus ada unsur pewaris, harta warisan, dan ahli waris. Pewaris adalah
orang yang mewariskan harta warisan. Harta warisan adalah harta yang diwariskan.
Sedangkan, ahli waris adalah orang yang menerima harta warisan.

1. Unsur-Unsur Pewarisan.
Terdapat beberapa perbedaan diantara tiga sistem hukum waris di Indonesia
mengenai unsur-unsur pewarisan ini. Namun, secara garis besar unsur-unsur pewarisan
tersebut mempunyai makna yang sama sebagaimana tersebut diatas.
a. Pewaris
Menurut system hukum waris adat, pewaris adalah orang yang meneruskan
hartanya ketika masih hidup maupun setelah ia wafat. Hukum adat juga memandang
warisan sebagai proses peralihan harta kekayaan berupa materil maupun immaterial
dari satu generasi ke generasi lainnya.
Menurut sistem hukum perdata, pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia
atau orang yangdiduga meninggal dunia yang meninggalkan harta yang dimiliki
semasa hidupnya. Orang yang diduga meninggal dunia dapat menjadi pewaris dengan
syarat.
1. Orang tersebut tidak diketahui keberadaannya selama sekurang-kurangnya
lima tahun, telah dilakukan tiga kali panggilan resmi dari pengadilan serta
pemanggilan dalam surat kabar sebanyak tiga kali.
2. Apabila sampai sebelum 15 tahun harta warisan digunakan oleh ahli waris,
ternyata pewaris hadir, ahli waris wajib mengembalikan ½ harta warisan
tersebut.
3. Apabila setelah 15 tahun tetapi belum genap 30 tahun, ahli waris wajib
mengembalikan ¼ harta warisan yang diterima.
4. Apabial lebih dari 30 tahun atau 100 tahun umur pewaris, pewaris tidak dapat
menuntut pengembalian harta warisan yang telah digunakan.
5. Apabila dua orang yang saling mewarisi meninggal dunia tanpa diketahui
siapa yang meninggal terlebih dahulu, mereka dianggap mati secara
bersamaan dan tidak terjadi perpindahan harta warisan satu dengan lainnya.
Menurut sistem hukum waris islam, pewaris adalah orang yang memiliki harta
semasa hidupnya, telah meninggal dunia, dan beragama islam. Baik yang mewariskan
maupun maupun yang diwarisi harta warisan harus beragama islam. Berdasarkan pasal
171 huruf c intruksi presiden nomor 1 tahun 1991 tentang kompilasi Hukum Ilam (KHI),
pewaris merupakan orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal
berdasarkan putusan pengadilan, beragama islam, meninggalkan ahli waris dan harta
peninggalan. Didalam buku II Hukum Kewarisan Bab I Pasal 171 intruksi presiden
nomor 1 tahun 1991 tentang kompilasi hukum islam, yang dimaksud dengan hukum
kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan orang yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagiannya masing-masing.

b. Harta warisan
Dalam hukum adat, harta warisan dapat berupa harta benda maupun yang bukan
berwujud benda, misalnya gelar kebangsawanan. Harta warisan yang berupa harta
benda menurut hukum waris adat adalah harta pencaharian yaitu harta yang diperoleh
selama masa perkawinan dan harta bawaan. Defenisi harta bawaan yaitu harta yang
diperoleh sebelum masa perkawinan maupun harta yang berasal dari warisan. Di
dalam hukum adat, selama pasangan suami istri belum mempunyai keturunan, harta
pencaharian dapat dipisahkan. Namun, bila pasangan suami istri telah mempunyai
keturunan, harta warisan merupakan satu kesatuan yang dialihkan dari pewaris
kepada ahli waris.
Harta warisan menurut hukum waris perdata adalah keseluruhan harta benda
beserta hak dan kewajiban pewaris, baik piutang-piutang maupun utang-utang.
Hukum waris perdata, tidak mengenal asal harta untuk menentukan hukum warisan.
Dengan kata lain, harta warisan merupakan satu kesatuan yang dialihkan dari pewaris
kepada ahli waris.
Kedaluarsanya harta warisan dikenal dalam pasal 835 KUH Perdata, yaitu batas
akhir waktu untuk mengajukan gugatan terhadap mereka yang menguasai sebagian
ataupun seluruh harta warisan supaya diserahkan kepada ahli waris, dimulai dari
terbukanya harta warisan.
Untuk pengurusan harta warisan, seseorang tidak diwajibkan menerima pekerjaan
pengurusan tersebut. Apabila seseoraang menerima-menerima pekerjaan pengurusan
harta warisan, ia harus menyelesaikannya sampai tuntas. Upah yang ia terima dalam
pekerjaan pengurusan harta warisan tersebut adalah seperti yang telah ditentukan oleh
pewaris semasa hidupnya.
Apabial tidak ditentukan sebelumnya, ia berhak mendapatkan upah sebesar 3%
dari seluruh pendapatan, 2% dari pengeluaran dan 1,5% dari jumlah modal.

c. Ahli waris
Ahli waris menurut hukum waris perdata
Ahli waris menurut hukum waris perdata tidak dapat dibedakan menurut jenis
kelamin. Ahli waris dalam hukum waris perdata dikarenakan perkawinan dan
hubungan darah, baik secara sah maupun tidak. Yang mempunyai hubungan darah
terdekatlah yang berhak untuk mewarisi.
Jauh dekatnya hubungan dapat dikelompokkan menjadi empat golongan, sebagai
berikut:
Ahli waris golongan I
Yaitu anak-anak pewaris berikut keturunannya dalam garis lurus kebawah dan
janda/duda. Dalam golongan ini memungkinkan terjadi pergantian tempat (cucu
menggantikan anak yang telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris).
Pasal 847 KUH Perdata menetukan bahwa tidak ada seorang pun dapat
menggantikan tempat seseorang yang masih hidup, contohnya anak menggantikan
hak waris bapaknya yang masih hidup. Dan apabila bapak tersebut menolak
menerima warisan, sang anak bertindak selaku diri sendiri dan bukan
menggantikan kedudukan bapaknya.
Ahli waris golongan II
Yaitu ayah, ibu dan saudara-saudara pewaris.
Ahli waris golongan III
Yaitu kakek-nenek dari garis ayah dan kakek-nenek dari garis ibu.
Ahli waris golongan VI
Yaitu sanak saudara dari ayah dan sanak saudara dari ibu, sampai derajat keenam.
Ketenttuan-ketentuan menjadi ahli waris dalam hukum waris perdata, sebagai berikut:
1. Mempunyai ha katas harta
 Ab intestato, maksudnya ahli waris yang mendapatkan bagian menurut
ketentuan yang diatur dalam undang-undang, misalnya ahli waris anak, suami,
istri, kakek, nenek sebagaimana di atur dalam ahli waris golongan I sampai
dengan IV.
 Testamener, maksudnya ahli waris yang mendapatkan bagian berdasarkan
wasiat dari pewaris yang dibuat semasa hidupnya.
Ketentuan pasal 2 KUH Perdata
Bahwa anak yang masih didalam kandungan ibunya, dianggap telah dilahirkan apabila
untuk kepentingan si anak dalam menerima bagian dalam harta warisan.

Dinyatakan cakap hukum


Menurut pasal 838 KUH Perdata seseorang yang dianggap tidak patut untuk mewarisi
dan pewaris, sebagai berikut:
1. Mereka yang telah dihukum karena membunuh atau melakukan percobaan
pembunuhan terhadap pewaris.
2. Mereka yang pernah divonis bersalah karena memfitnah pewaris telah melakukan
kejahatan yang diancam hukuman lima tahun atau lebih.
3. Mereka yang mencegah pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiat.
4. Mereka yang terbukti menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat dari
pewaris.

Hak-hak ahli waris dalam hukum waris perdata, sebagai berikut:


 Hak untuk menuntut pemevahan harta peninggalan
Kesepakatan untuk tidak membagi warisan adalah untuk waktu lima tahun tersebut dapat
diadakan kesepakatan kembali diantaranya para ahli waris.
 Hak saisine
Yakni seseorang dengan sendirinya karena hukum mendapatkan harta benda, segala hak,
dan piutang dari pewaris. Namun, seseorang dapat menerima atau menolak bahkan
mempertimbangkan untuk menerima suatu warisan.
 Hak beneficiary
Yakni hak untuk menerima warisan dengan meminta pendaftaran terhadap hak dan
kewajiban, utang serta piutang dari pewaris.
 Hak hereditatis petition
Yakni hak untuk menggugat seseorang atau ahli waris lainnya yang menguasai sebagian
atau seluruh harta warisan yang menjadi haknya.10

2) Kehilangan hak mawaris.

Sebab-sebab hilangnya hak kewarisan dalam islam.

Adapun yang dimaksud sebab hilangnya hak kewarisan adalah hal-hal yang menggugurkan
hak ahli waris untuk mendapatkan harta warisan dari pewaris. Ada beberapa sebab yang
mengakibatkan ahli waris kehilangan haknya11, yaitu:

1. Perbudakan
Budak menjadi milik tuannya secara mutlak dan karena hal tersebut seorang hamba
sahaya tidak memiliki hak untuk mendapatkan warisan atau memiliki harta. Hal tersebut
dikarenakan jika budak tersebut mewarisi maka hamba sahaya tersebut akan beralih
kepemilikannya kepada pemiliknya.
2. Perbedaan agama
Adapun yang dimaksud perbedaan agama ialah keyakinan yang dianut antara ahli waris
dan muwaris (orang yang mewarisi) ini menjadi penyebab hilangnya hak kewarisan
sebagai mana ditegaskan dalam hadis Rasulullah dari usamah bin zaid, diriwayatkan oleh
10
F.Satriyo Wicaksono, SH, Hukum Waris, Jakarta Selatan: Transmedia Pustaka, 2011, Hal 5-18
11
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Jakarta: Sinar grafika, 2008, hal. 27-30
Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Yang telah disebutkan bahwa
orang muslim tidak bisa menerima warisan dari yang bukan muslim. Dari hadis tersebut
dapat diketahui bahwa hubungan antara kerabat yang berbeda agama dalam kehidupan
sehari-hari hanya menyangkut hubungan sosial saja.12
3. Pembunuhan
Pembunuhan menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan dari pewaris yang
dibunuhnya. Ini berdasarkan hadis Rasulullah dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh
Ibnu Majah, bahwa seseorang yang membunuh pewarisnya tidak berhak menerima
warisan dari orang yang dibunuhnya. Dari hadis tersebut menegaskan bahwa
pembunuhan menggugurkan hak kewarisan.13
Misalnya jika ada anak yang seharusnya medapatkan warisan dari orang tuanya namun
karena ia tak sabar dan memutuskan untuk membunuhnya agar warisan dapat lebih cepat
diperoleh maka anak tersebut tidak berhak untuk mendapatkan peninggalan dari orang
tuanya.

Akan tetapi menurut Imam Malik, jika orang tersebut tidak sengaja membunuh, maka ia
tetap memperoleh harta warisan walaupun jumhur ulama mengemukakan jika pembunuh
baik yang melakukannya tidak sengaja ataupun disengaja, tidak memiliki hak untuk
mendapatkan warisan. Inti dari jalan tengah yang dikemukakan oleh syaikh Al-Allamah
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengenai perdebatan tersebut adalah jika
pembunuhan tersebut dilakukan sengaja tidak berdosa misalnya membunuh perampok
walaupun perampok tersebut adalah ahli waris maka tetap dapat mendapatkan warisan
karena tujuannya membela diri serta, pembunuhan yang disebabkan karena mengobati
tidak meghalangi orang tersebut mendapatkan warisan dengan catatan sudah
mendapatkan izin untuk mengobati dan bethati-hati.
4. Berlainan negara
Yang disebut dengan negara dalam hal ini ialah ibarat suatu daerah yang ditempat
tinggali oleh muwaris dan ahli waris, baik daerah itu berbentuk kesultanan, kerajaan,
maupun republik.
5. Murtad
12
Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Hukum Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1955, hal. 23
13
Alivermana Wiguna, Mudah Belajar Ilmu Mawaris, Yogyakarta: Depublish, 2018, hal. 20
Adapun yang dimaksud murtad ialah orang yang keluar dari agama islam. Jika kedua
pihak, baik yang memberikan warisan dan yang menerima warisan beda agama maka
tidak boleh menerima atau memberi warisan. Hal tersebut dikarenakan menurut syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin yang intinya mereka tidak mendapatkan warisan
karena diantara keduanya sudha putus hubungan secara syar’i. akan tetapi, terdapat satu
perkara dimana orang yang beda agama bisa mendapatkan warisan yaitu orang yang
memerdekakan budak sehingga ia mendapatkan warisan budak yang sudah di
merdekakan serta yang menjadi muallaf sebelum pebagian harta.
6. Talak Raj’I (Al-muthallaqah raj’iah) yang sudah habis masa iddahnya.
Jika wanita tersebut masa iddahnya sudah habis maka ia tidak berhak untuk mendapat
warisan dari suami yang sudah meninggal dunia dan hal tersebut juga berlaku sebaliknya.
Akan tetapi jika sebelum masa iddah salah satunya meninggal maka tetap bisa
mendapatkan warisan.
7. Talak Tiga (AL-muthallaqah al-bainah)
Jika suami menceraikan istri dalam keadaan sehat kemudian meninggal dunia maka istri
tidak memperoleh warisan atau sebaliknya. Sebab-sebab seseorang tidak mendapatkan
warisan juga disebabkan jika suami sakit dan tidak ada dugaan atau tidak bermaksud
menceraikannya karena takut istri mengambil warisan.
8. Anak Angkat (Al-laqit)
Baik anak ataupun orang tua angkat keduanya tidak mendapatkan warisan jika salah
satunya meninggal walaupun sam agamanya dan sudah diakui sebagai anak sendiri atau
orang tua sendiri begitu juga dengan orang tua tiri baik dari pihak ibu atau bapak jika
bapak atau ibu tiri meninggal maka anak tiri tidak berhak mendapatkan warisan.
9. Anak Li’an (Auladul Li’an)
Jika suami menuduh sang istri berzinah dan kemudian bersumpah dengan nama Allah
sebanyak 4 kali jika tuduhannya benar dan disumpah yang kelima disertai dengan kata-
kata yang intinya laknat Allah atas sang suami jika ia berdusta dan kemedian sang istri
membalasnya dengan menyebutkan surah An-nur ayat 6, maka janin yang dikandungnya
merupakan anak li’an atau yang tidak diakui oleh suami akibatnya anak tersebut tidak
akan mendapatkan warisan bila ayah yang tidak mengakui tersebut meninggal dan hal
tersebut berlaku juga sebaliknya.
10. Anak Terlahir dari Hasil Zina (Auladul Zina)
Perbuatan zina yang dilakukan orang tuanya yang menjadi salah satu sebab-sebab
seseorang tidak mendapatkan warisan membuat anak ataupun orang tua pihak laki-laki
ataupun ayahnya tidak berhak untuk memperoleh harta waris. Akan tetapi, anak tetap
mendapatkan warisan dari pihak ibunya dan hal tersebut berlaku juga sebaliknya. 14
Jika hukum islam memiliki ketentuan mengenai pihak yang berhak mendapatkan
warisan yaitu berdasarkan hubungan perkawinan, kekerabatan, memerdekakan bidak,
serta hubungan agama yaitu sesame agama islam, maka hokum perdata juga mengatur
mengenai yang berhak dan tidak berhak mendapatkan warisan sesuai dengan UU
pembagian warisan, golongan yang berhak untuk mendapatkan warisan yaitu :
 Golongan pertama : Anak atau keturunannya, janda atau duda yang besar warisan
atau bagiannya ditetapkan berdasarkan pada pasal 852 (1,b) serta 515 KUH
perdata.
 Golongan kedua : Orang tua atau bapak ibu, saudara atau keturunannya dengan
jumlah bagian ditetapkan pada KUH perdata pasal 854, 855, dan 856.
 Golongan ketiga : kakek, nenek atau leluhur didalam garis lurus atasnya dan
bagiannya ditentukan di pasal KUH perdata pasal 853, 858 ayat 1.
 Golongan keempat : ahli waris sanak keluarga dlam garis menyamping hingga
tingkat keenam dan jumlah bagiannya ditetapkan berdasarkan pada KUH perdata
pasal 832 (2), 856 (2), 861-866.

Namun dalam hokum perdata juga mengatur mengenai pihak atau hal yang
menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan karena dianggap tidak pantas. Aturan
yang mengatur mengenai hal yang membuat seseorang gagal mewarisi harta atau benda
dari pihak pewaris di atur dalam KUH perdata pasal 328 dan 912. Namun, KUHP pasal
840-848 juga mengatur mengenai hal yang berkaitan dengan anak serta pergantian waris
untuk seseorang yang tidak pantas untuk menerima warisan yang sudah ditentukan oleh
pewaris.

Sebab-sebab seseorang yang tidak medapatkan warisan berdasarkan hukum perdata:

14
Amir syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media Kencana, 2004, hal. 29
Orang yang menghalangi tanpa berita yang tidak diketahui dimana tempat dan
alamatnya selama minimal 4 tahun akan di anggap mati berdasarkan pada putusan hakim
dan tidak berhak untuk mendapatkan warisan. Sedangkan, berdasarkan pada pasal 838
KUH perdata, sebab-sebab seseorang tidak mendapatkan warisan intinya yaitu:

 Mereka yang telah dihukum berdasarkan pada keputusan hakim karena percobaan
atau telah mencoba untuk membunuh pewaris.
 Mereka atau pihak yang akan mendapatkan warisan dengan keputusan hakim
dipersalahkan dengan fitnah atau ketidak bebasan mengajukan pengaduan
terhadap orang yang akan memberikan warisan atau pewaris mengenai suatu
kejahatan dan diancam dengan hukuman penjara selama 5 tahun lamanya.
 Mereka yang dengan kekerasan sudah atau telah mencegah pewaris atau pemberi
warisan membuat aau pun mencabut testament.
 Mereka atau pihak yang mendapatkan warisan yang menggelapkan atau merusak
atau memalsukan testament pewaris.

3) Harta Warisan yang Tidak Terurus

Apabila terdapat harta warisan yang tidak terurus karena pewaris tidak meninggalkan ahli
waris (nunggul inang) dalam adat Jawa Barat misalnya, harta warisan diserahkan kepada desa.
Untuk kemudian pihak desa akan memanfaatkan harta warisan tersebut untuk kesejahteraan desa.
Ada pula di beberapa daerah harta warisan tidak terurus atau tidak bertuan ini diserahkan kepada
baitul mal atau juga diserahkan kepada warga desa yang kurang mampu atau juga diserahkan
kepada yayasan sosial.15

Didalam KUH Perdata tentang penolakan harta waris, ahli waris golongan yang lebih
tinggi derajatnya menutup golongan ahli waris yang lebih rendah derajatnya dan berlaku
seterusnya. Setelah harta waris pewaris terbuka namun tidak ada ahli waris yang tampil maka
harta waris yang ada dapat disebut sebagai harta waris yang tidak terurus, sehingga pengadilan
dapat mengalihkan kewenangan kepada balai harta peninggalan untuk mengurus harta waris
tersebut. Setelah 3 tahun tidak ada ahli waris yang tampil, maka harta waris menjadi miik negara

15
F. Satrio Wicaksono, Hukum Waris, Jakarta: Transmedia Pustaka, hal. 28
sementara dan setelah 30 tahun maka harta waris dapat di anggap kadaluarsa dan secara otomatis
ahli waris berkedudukan sama seperti orang yang menolak harta waris dan harta waris beralih
menjadi miik negara.

Apabila harta warisan telah terbuka namun tidak seorang pun ahli waris yang tampil ke
muka sebagai ahli waris, tak seorang pun yang menolak warisan, maka dianggap sebagai harta
warisan yang tidak terurus.

Dalam hal ini, tanpa menuggu perintah hakim, balai harta peningalan wajib mengurus
harta peninggalan tersebut. Pekerjaan pengurusan itu harus dilaporkan kepada kejaksaan negeri
setempat. Jika terjadi perselisihan tentang apakah suatu harta peninggalan dianggap tidak terurus
atau tidak, penentuan ini akan diputus oleh hakim.

Tugas Balai Harta Peninggalan (BHP).16

1. Wajib membuat perincian atau inventarisasi tentang keadaan harta peninggalan, yang
didahului dengan penyegelan barang-barang.
2. Wajib membereskan warisan, dalam arti menagih utang-piutang pewaris dan membayar
semua hutang pewaris, apa bila diinta oleh pihak berwajib. BHP juga berwajib
memberikan pertanggung jawaban.
3. Wajib memaggil para ahli waris yang mungkin masih ada melalui surat kabar atau
panggilan resmi lainnya.
Apabila dalam jangka waktu 3 tahun terhitung mulai pada saat terbukanya
warisan, belum juga ada ahli waris yang tampil kemuka, BHP akan memberikan
pertanggung jawaban atas pengurusan itu kepada negara, selanjutnya harta peninggalan
itu akan diwarisi dan menjadi hak milik negara.

Dasar Hukum.

Harta tak terurus, berdasarkan pasal 1126, 1127, 1128, 1129 KUH Perdata, maka istilah harta
tak terurus memberikan pengertian “Jika suatu warisan terbuka, tidak seorang pun menuntutnya

16
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Bandung: Refika Aditma, 2007, hal. 36
atau pun semua ahli waris yang terkenal menolaknya maka dianggaplah warisan itu sebagai
warisan tak terurus”.

1. Harta peninggalan tak terurus.


Pasal 1126 KUH Perdata, harta peninggalan tak terurus terjadi jika ; tidak ada yang
tampil sebagai ahli waris, semua ahli waris menolak, pasal 1127 KUH Perdata BHP
wajib mengurus harta tersebut pada saat awal pengurusannya harus memberitahu
kejaksaan.
2. Pihak yang berkepentingan dengan adanya harta peninggalan tak terurus.
Para kreditur si pewaris meliputi semua kewajiban pewaris yang menjadi kewajibannya
yang dibuat sewaktu pewaris masih hidup dan juga semua penerima wasiat yang
menuntut untuk dilaksanakannya wasiat.
3. Kewajiban Balai Harta Peninggalan .
Pasal 1128 KUH Perdata, kewajiban BHP terhadap harta peninggalan tak terurus adalah :
dalam hal dianggap perlu, menyegel harta peninggalan, membuat daftar tentang harta
peninggalan, membayar hutang pewaris, menyelesaikan legat, membuat pertanggug
jawaban.
4. Akibat hukum harta peninggalan tak terurus.
Pasal 1129 KUH perdata lewat angka waktu 4 tahun terhitung mulai warisan, tidak ada
ahli waris yang tampil, BHP harus membuat perhitungan penutupan pada negara “Negara
berhak menguasai harta peninggalan.”

4) Hibah

Kata hibah berasal dari Bahasa Arab dan telah diadopsi menjadi bahasa Indonesia. Kata
ini merupakan masdar dari kata wahaba-yahibu-hibatan berarti memberi atau pemberian. 17

Dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti pemberian dengan sukarela dengan
mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.

17
Muhammad Ajib, Fiqih Hibah dan Waris, Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019, hal. 8
Menurut kamus ilmu al-Qur’an yang dimaksud hibah adalah pemberian kepada seseorang
diwaktu hidupnya, dengan tidak megharapkan balasan atau ikatan baik secara lisan ataupun
tertulis.

Secara etimologi hibah berarti melewatkan atau menyalurkan dari tangan orang yang
memberi kepada tangan orang yang diberi.18

Hibah adalah perbuatan hukum sepihak dari pemberi hibah kepada penerima hibah tanpa
ada hubungan timbal balik. Pemberian yang diberikan secara cuma-cuma pada saat seseorang
masih hidup. Harta yang dapat di hibahkan adalah semua harta baik berwujud maupun tidak,
bergerak maupun tidak.19

Sedangkan menurut pasal 1666 KUH Perdata, hibah adalah suatu perjanjian dengan mana
si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali,
menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.

Berdasarkan hukum islam dan hukum perdata, hibah tidak dapat ditarik kembali,
sedangkan menurut hukum adat yang berlaku umum, hibah menurut hukum adat dapat dilakukan
secara lisan maupun tulisan, tetapi menurut hukum islam dan hukum perdata, hibah harus
dilakukan secara tertulis. Didalam hukum islam dan hukum perdata tidak ditentukan besarnya
hibah yang diperbolehkan, tetapi dalam hukum adat diatur bahwa hibah hanya diperbolehkan
tidak lebih dari 1/3 harta kekayaan penghibah apabila tidak mempunyai anak dan diberikan
kepada bukan ahli warisnya. Untuk dapat menghibahkan harta pusaka, harus disetujui saudara
kandung dari penghibah.

Hibah harus dilakukan oleh seseorang yang telah dewasa, sehat jasmani dan rohani dan
dalam keadaan sadar. Namun penerima hibah boleh siapa saja. Untuk hibah kepada anak yang
belum dewasa atau tidak waras pikirannya, diwakili oleh wali atau pengampu yang sah.

Disini akan dibahas sedikit tentang penarikan hibah yang diatur dalam ketentuan pasal 1688,
yang mana menurut pasal ini kemungkinan untuk mencabut atau menarik kembali atas sesuatu
hibah yang diberikan kepada orang lain ada, sedangkan dalam pasal 212 kompilasi hukum islam
dengan sangat tegas menyatakan bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali kecuali hibah orang

18
Chairuman Pasaribudan Subardi K lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hal. 133
19
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, Yogyakarta: UGM Press, 2018,hal.54
tua kepada anaknya. Pasal 212 KHI sejalan dan sesuai dengan pandangan jumhur ulama yang
berpendapat bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali, dan hal ini berbeda dengan pandangan
KUH Perdata yang dalam pasal 1688 KUH Perdata bahwa hibah dapat dicabut kembali kecuali
jika karena terjadi tiga hal sebagaimana telah disebut sebelumnya. Tentang hukumnya, bahwa
kebolehan penarikan kembali hibah dalam pasal 1688 KUH Perdata,20 yaitu :

(a) Karena syarat-syarat resmi untuk penghibahan tidak dipenuhi.


(b) Jika orang yang diberi hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan
kejahatan yang bertujuan membunuh atau kejahatan lain terhadap penghibah.
(c) Apabila penerima hibah menolak memberi nafkah atau tunjangan kepada penghibah,
setelah penghibah jatuh miskin. Dengan terjadinya penarikan atau penghapusan hibah ini,
maka segala macam barang yang telah dihibahkan harus segera dikembalikan kepada
penghibah dalam keadaan bersih dari beban-beban yang melekat di atas barang tersebut.

Dan jika pemberi hibah atau yang menerima hibah meninggal dunia sebelum ada
penerimaan, jika kita mengatakan hibah adalah akad wajib, maka tidak batal dengan kematian
salah satu pihak yang berakad namun diteruskan oleh ahli warisnya.21

20
P.N.H Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Prenadamedia, 2018, hal. 58-59
21
Muhammad Ajib, Fiqih Hibah dan Waris, hal. 27
5. WASIAT
1. Pengertian Wasiat
Wasiat berasal dari bahasa arab Al- washiyah (jama’nya washaya) secara harfiyah antara
lain berarti pesan, perintah, dan nasihat. Ulama’ fiqih mendefinisikan wasiat dengan “penyerahan
harta secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang tersebut wafat,
baik harta berbentuk materi maupun berbentuk manfaat.22
Secara terminologi atau istilah para ahli fiqih, wasiat adalah perintah untuk melakukan suatu
perbuatan setelah meninggal. Atau dengan kata lain, bersedekah dengan harta setelah mati.23
Sayyid Sabiq mendefiniskan (washiyah ) itu diambil dari kata washaitu asy-asy, syaia,
ushihi, artinya Aushaltuhu (aku menyampaikan sesuatu). Maka mushi (orang yang berwasiat)
adalah orang yang menyampaikan pesan di waktu dia hidup untuk dilaksanakan sesudah dia
mati. dalam Istilah syara’, wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa
barang, piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang
yang berwasiat mati. Sayyid Sabiq dalam kitab fiqih Sunnah menyatakan bahwa orang yang
berwasiat itu disyariatkan agar orang yang memberi wasiat itu adalah orang yang ahli kebaikan,
yaitu orang yang mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah.24
Seseorang hanya boleh mewasiatkan sepertiga dari hartanya atau kurang dari itu, dan
wasiat tersebut diberikan kepada selain ahli waris. Jika wasiat lebih dari sepertiga harta atau
diberikan kepada ahli warisnya maka harus berdasarkan persetujuan ahli waris yang lainnya.
Sekiranya ada seseorang yang berkata: “Aku wasiatkan rumahku untuk si fulan,” lalu dia
meninggal. Setelah kita hitung harta peninggalannya, ternyata nilai rumah tersebut lebih dari
sepertiga hartanya, maka wasiat yang ditunaikan hanya yang senilai dengan sepertiga harta yang
di tinggalkannya. Jika rumah tersebutsenilai setengah hartanya, maka diambil dua pertiga dari
nilai rumah tersebut. Sebab, dua pertiga dari setangah hartanya sama dengan sepertiga hartanya.

22
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), cet 1, hlm.
1926.

23
Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 545.

24
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 14, (Bandung: PT Alma’arif, 1984), hlm. 230.
Ungkap penulis. “Dan wakaf kepada diri sendiri.”maksudnya, tidak sah mewakafkan
sesuatu kepada diri sendiri, seperti seseorang yang mengataka:”aku mewakafkan rumahku kepda
diriku sendiri.” Imam Ahmad mengatakan: “aku tidak mengenal wakaf kecuali apa yang di
keluarkan seseorang karena Allah.
Namun jika ahli warisnya membolehkannya dan mengatakan: “kami tidak keberatan,”
maka tersebut tidak mengapa. Inilah kaidah yang dipegang dalam madzhab hanbali.25

2. Syarat dan Rukun Wasiat

Para ulama berbeda pendapat dalam memberikan uraian rukun dan syarat wasiat.
Menurut mayoritas ulama fiqih yang lazim dikenal dengan sebuah Jumhur Al-Fuqaha, ada empat
rukun (unsur) wasiat, yaitu: Orang yang berwasiat (Al-Mushi/ Al-Muwashshi) , orang atau pihak
yang menerima wasiat (Al-Musha lah/ Al-Musha Ilayh), barang harta yang diwasiatkan (Al-
Mushabih) dan shighat atau ijab kabul wasiat.

Menurut ulama Hanafiah dalam wasiat hanya diperlukan pernyataan pemberian wasiat
dari pemilik harta yang akan wafat karena menurut mereka wasiat adalah akad yang hanya
mengikat pihak yang berwasiat, sedangkan bagi pihak yang menerima wasiat, akad itu tidak
bersifat mengikat.26

Dalam wasiat sebagaimana dalam kitab-kitab fiqih maupun para pakar hukum Islam
adalah mempunyai maksud yang sama dengan menentukan syarat dan rukun dalam wasiat,
adapun syarat dan rukun wasiat adalah sebagai berikut:

1. Orang yang memberi wasiat (Mushi)

Dalam hukum Islam, orang yang berwasiat disyariatkan agar seorang Mushi
hendaknya mempunyai kesanggupan untuk melepaskan hak milik kepada orang lain.
Dengan ketentuan syarat mushi yaitu: baligh (dewasa), berakal sehat (aqli) , bebas
menyatakan kehendaknya merupakan tindakan tabarru’ (sukarela) dan beragama Islam.

25
Utsaimin shalih muhammad, Panduan Wakaf, Hibah dan Wasiat, (Jakarta, Pustaka Imam Syafa’i, 2008), hlm. 38.
26
Muhammad Amin Summa, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks Dan Konteks, (Bandung, MA
Suma, 2003), Hal. 129.
Sayyid Sabiq dalam kitab fiqih Sunnah menyatakan bahwa orang yang berwasiat itu
disyariatkan agar orang yang memberi wasiat itu adalah orang yang ahli kebaikan, yaitu
orang yang mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah. Keabsahan kompetensi ini
didasarkan pada akal, kedewasaan, kemerdekaan, ikhtiar, dan tidak dibatasi karena
kedunguan atau kelainan

Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, pada Pasal 194 Ayat 1 mensyariatkan
pewasiat sekurang-kurangnya telah berumur 21 tahun, berakal sehat, dan tidak ada paksaan
dari pihak lain

2. Orang yang menerima wasiat (Musha Lahu)

Para ulama’ mazhab sepakat bahwa penerima wasiat adalah mereka yang bukan termasuk
dalam golongan ahli waris dari si mayit (mushi) , kecuali jika disetujui oleh para ahli waris
lainnya. Dalam hadis ini meskipun khabar ahad, akan tetapi diterima oleh para ulama dan
disepakati oleh orang banyak.

“Dari Umamah Al-Bahili R.A. beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW,
bersabda: “Sesungguhnya Allah memberikan hak kepada orang yang mempunyai hak,
maka tidak ada wasiat bagi ahli waris. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Arba’ah selain
An Nasa’i ( Jadi hanya: Abu Daud, At-Tirmizi dan Ibnu Majah). Dan dinilai Hasan oleh
Ahmad dan At-Tirmizi. Penilaian itu diperkuat oleh Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Jarud.
Juga diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dari Ibnu Abbas r.a. dsan beliau menambahkan
pada akhir matannya kalimai: Kecuali pada ahli waris menghendakinya (menyetujuinya).
Dan sanadnya: bagus.

3. Barang atau Sesuatu yang diwasiatkan (Musa hibis)


Dalam mushbih terdapat syarat harta yang diwasiatkan, yaitu:

a. Objek yang diwasiatkan bisa berupa semua hatra yang nilai, baik berupa barang
ataupun manfaat, piutang dan manfaat seperti tempat tinggal atau kesenangan.
b. Harta yang diwasiatkan tidak boleh melebihi separtiga dari harta peninggalan/
warisan, kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya.
c. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewaris.
d. Pemilikan terhadap harta benda tersebut baru dapat dilaksanakan sesudah
pewasiat meninggal dunia.
e. Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan suatu benda harus
diberikan jangka waktu tertentu.
f. Harta wasiat yang berupa barang tidak bergerak, karena suatu sebab yang sah
mengalami penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebslum meninggal dunia,
maka penerima wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa.27

Dalam hal ini Sayyid Sabiq berpendapat bahwa disyaratkan agar yang diwasiatkan itu bisa
dimiliki dengan salah satu cara pemikiran setelah pemberi wasiat mati, maka sah wasiat
mengenai semua harta yang bernilai, baik berupa barang ataupun manfaat. Dan sah pula
wasiat tentang buah dari tanaman dan apa yang ada di dalam perut sapi betina, sebab yang
demikian dapat dimiliki melalui warisan.28

4. Ucapan wasiat (Sigot)


Ibnu Rusyd sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Ahmad Rofik, bahwa wasiat dapat
dilaksanakan menggunakan redaksi (sigot) yang jelas atau sharih dengan kata wasiat, dan
bisa juga dilakukan dengan kata-kata samaran (ghairu sharih) . Ini dapat ditempuh karena
wasiat berbeda dengan hibah. Wasiat bisa dilakukan dengan tertulis dan tidak memerlukan
jawaban (qabul) penerimaan secara langsung. Sementara hibah memerlukan adanya
jawaban penerimaan dalam suatu majlis. diterima apabila orang yang berwasiat bisu dan
tidak busa tulis baca. Apabila yang berwasiat mampu tulis baca, maka wasiat melalui
isyarat tidak sah. Sebaliknya, ulama Mazhab Malik dan Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa
wasiat tetap sah melalui isyarat yang dapat dipahami, sekalipun orang yang berwasiat
mampu untuk berbicara dan baca tulis.29
27
Mardani, op.cit., hlm. 113-115.

28
Abubakar Muhammad, Terjemah Subulussalam III, (Surabaya: PT. Al-Ikhlas, 1995), hlm. 382-383.

29
Andi Syamsu Alam, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: PT. Kencana, 2008), hlm.
72.
3. Teknis Pelaksanaan Wasiat

Dalam pelaksanaan wasiat ulama fiqih mensyariatkan bahwa orang yang menerima wasiat bukan
salah seorang yang berhak mendapatkan warisan dari orang yang berwasiat, kecuali apabila ahli
waris lainya membolehkanya.
Dalam pembahasan mengenai syarat-syarat wasiat, kita telah mengetahui bahwa hak
manusia dalam wasiat dibatasi, yakni separtiga harta peninggalan mayit, dengan nash hadits Nabi
SAW., “Sepertiga, dan sepertiga itu banyak,” Maka, ukuran wasiat adalah sepertiga.
“Dari Ibnu ‘Abbas r.a. ia berkata: Kalau manusia pada meremehkan dari sepertiga
sampai seperempat, maka sesungguhnya Rasulullah SAW, pernah bersabda, “Sepertiga dan
(sekali lagi) sepertiga itu adalah banyak”.
(HR. Ahmad Bukhari) dan “Dari Sa’ad bin Abi Waqqas beliau berkata: Saya berkata: Ya,
Rasulullah saya orang yang mempunyai harta yang banyak (kaya) dan tidak ada yang mewarisi
saya kecuali seorang anak perempuan.
Apakah saya sedekahkan dua pertiga hartaku? Beliau menjawab: Jangan! Saya bertanya
lagi: Apakah saya sedekahkan separuhnya? Beliau menjawab: Jangan! Saya bertanya lagi:
Apakah saya sedekahkan sepertiga? Beliau berṣabda: Sepertiga itu. Sepertiga itu banyak.
Sesungguhnya kamu tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik dari pada kamu
meninggalkan mereka dalam keadaan mereka melatar yang akan meminta-minta kepada orang.
Muttafaq’alaih”.
Dalam hadits tersebut terdapat dalil larangan wasiat lebih dari sepertiga itu bagi
orang yang mempunyai ahli waris. Batas ini sudah disepakati ulama (Ijma’ ulama). Hanya
saja mereka berselisi pendapat. Apakah sepertiga itu paling banyak, atau paling sedikit?
Menurut pendapat Ibnu Abbas, Syafi’i dan sekelompok ulama lain bahwa yang lebih baik
adalah kurang dari sepertiga berdasarkan sabdanya: “Bahwa sepertiga itu, banyak”.

4. Unsur dalam KUH Perdata (BW) Wasiat


Hukum waris yang disebut pertama, dinamakan Hukum Waris “ab inteṣtato” (tanpa
wasiat) atau hukum waris “by ver sterf” (berhubung dengan meninggalnya seorang), atau
hukum waris menurut Undang-undang (Wettelijk erfrecht). Hukum waris yang kedua disebut
hukum waris wasiat (testamentair erfrecht). Hukum waris ab intestato, tidak dibicarakan
sekarang. Tapi di uraikan nanti dalam membicarakan para waris yang berhak menerima
warisan.30

Salah satu yang membedakan antara warisan tanpa wasiat dengan warisan dengan surat
wasiat (ab intestato) adalah bahwa menurut sistem KUH Perdata, bahwa jika warisan tanpa
wasiat mengenal pergantian kedudukan ahli waris (Plaatsvervulling) , maka terhadap warisan
dengan wasiat tidak dikenal pergantian kedudukan penerima wasiat oleh ahli warisnya jika
penerima wasiat tersebut lebih dahulu meninggal dari pewasiatnya. Asal saja wasiat tersebut
dibuat sesuai dengan pembatasan dan syarat-syarat yang ditentukan oleh kaidah
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia mendefinisikan wasiat sebagai berikut:
Pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku
setelah pewaris meninggal dunia (PS.171 huruf KHI).

Wasiat tidak hanya di kenal dalam sistem hukum Islam saja akan tetapi juga diatur
dalam sistem hukum lain. Dalam sistem hukum barat wasiat di sebut dengan kata Testament
yaitu suatu akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa yang akan terjadi setelah ia
meninggal dan dapat ditarik kembali.

6. Pengangkatan Anak

Adopsi (mengangkat anak) adalah suatu tindakan mengambil/ mengangkat anak orang
lain kedalam keluarga, serta orang yang mengangkat anak dan anak yang di angkat menyebabkan
timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama seperti yang ada di antara orang tua dengan anak
kandungnya sendiri.

Tidak semua orang menikah bisa di karunia anak. Namun, dalam membentuk sebuah
keluarga kadang kadang akan terasa kurang jika tidak ada kehadiran seorang anak. Keadaan
seperti ini mendorong mereka untuk mengadopsi anak. Pasangan suami istri yang tidak
mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak kandung dapat

30
Ali Afandi, S.H., Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, (Jakarta:
PT.Rineka Cipta, 2000 ), hlm. 14.
mengambil anak dari keluarga tidak mampu atau dari sebuah panti asuhan dengan mengajukan
permohonan pengesahaan pengangkatan anak untuk menguatkan posisi anak angkat ini perlu
dibuatkan akta pengangkatan anak yang dikeluarkan oleh kantor kependudukan dan catatan sipil.

Permohonan yang diajukan oleh si pemohon adopsi biasanya berisi motivasi


pengangkatan anak, yang berkaitan dengan masa depan anak tersebut pada masa yang akan
datang. Untuk itu daalam setiap proses pemeriksaan, anda juga harus membawa dua orang sakai
yang mengetahui seluk beluk pengangkatan anak tersebut. Dua orang saksi itu harus mengetahui
betul kondisi anada (bail moral maupun materil) dan memastikan bahwa anda akan betul betul
memelihara anak tersebut dengan baik.

Ada beberapa hal yang diperkenankan untuk di cantumkan dalam permohonan


pengangkatan anak, yaitu menambah permohonan lain selain pengesahan/pengangkatan anak dan
pernyataan bahwa anak tersebut juga akan menjadi ahli waris dari pemohon. Karena putusan
yang dimintakan kepada pengadilan harus bersifat tunggal, tidak ada permohonan lain dan hanya
berisi tentang penetapan anak tersebut sebagai anak angkat dari pemohon, atau berisi
pengesahan.

Akhibat hukum pengangkatan anak berdampak pula terkadang hal perwalian dan
pewarisan, antara lain sebagai berikut.

a. Perwalian
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, orang tua angkat
menjadi wali dari anaak tersebut. Sejak saat itu juga, segala hak dan kewajiban orang
tua kandung beralih kepada orang tua angkat. Kecuali baagi anak angkat perempuan
beragama islam, jika dia akan menikah, yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah
orang tua kandungnya auat sodara sedarahnya.
b. Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum islam maupun hukum nasional,
memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama.
Artinya seseorang bisa memilih hukum yang akan dipakai untuk menentukan
pewarisan bagi anak angkat.
1. Segi hukum adat
Jika menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung
pada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental. Seperti dijawa,
pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dan
orang tua kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orang
tua angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris dari orangtua kandungnya.
2. Segi hukum islam
Dalam hukum islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal
hubungan darah, hubungan wali mewali dan hubunganwaris mewaris dengan
orang tua angkat. Dia tetap menjadi ahli waris dari orangtua kandungnya dan anak
tersebut tetap menggunakan nama dari ayahkandungnya (M. Budiarto, SH,
Pegangkatan Anak Ditinjau dari segi hukum, AKAPERSS, 1991).
3. SEGI Peraturan Perundang undangan
Dalam staatblaad 1917 no. 129, akhibat hukum dari pengangkatan anak adalah
anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan
sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orangtua angkat dan menjadi ahli
waris orangtua angkat.31

DAFTAR PUSTAKA

Afandi Ali., Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, (Jakarta:


PT.Rineka Cipta, 2000 )

Alam Syamsu Andi, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: PT. Kencana, 2008)

Al- Fauzan Shaleh, Fiqih Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005)
31
Henry Siswosoediro, Mengurus Surat Surat Kependudukan, (Jakartaa Selatan, Transmedia Pustaka, 2008), Hal.28.
Ajib Muhammad, Fiqih Hibah dan Waris, Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019

Anshori Ghofur Abdul, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, Yogyakarta: UGM
Press, 2018

Ash-Shabuni Ali, Pembagian Waris Menurut Hukum Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1955

Cahyani Dwi Tinuk, Hukum Waris Dalam Islam, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang,
2018

Dahlan Aziz Abdul, Ensiklopedi Hukum islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996)

Hasanuddin, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru, 2004

Harun Badriyah, Panduan Praktis Pembagian Waris, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009

Hartanto Andy., Hak Waris Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Surabaya:
CV. Jakad Publishing Surabaya, 2017

Istijab, Hukum Waris Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Adat,
Jawa Timur: CV Penerbit Qiara Media

Khalifah Ela Abul Thaha Muhammad, Hukum Waris Pembagian Warisan Berdasarkan Syariat
Islam, Solo: Tiga Serangkai,

Komis Simanjuntak dan Suhrawardi K.Lubis, Hukum Waris Islam, Jakarta: Sinar grafika, 2008

Muhammad Abu Bakar, Terjemah Subulussalam III, (Surabaya: PT. Al-Ikhlas, 1995)

Muhammad Shalih Utsaimin, Panduan Wakaf, Hibah dan Wasiat, (Jakarta, Pustaka Imam
Syafa’i, 2008)

Sabiq Sayyid, Fiqih Sunnah 14, (Bandung: PT Alma’arif, 1984)

Siswosoediro Henry, Mengurus Surat Surat Kependudukan, (Jakartaa Selatan, Transmedia


Pustaka, 2008)

Simajuntak, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: KENCANA, 2015,

Summa Amin Muhammad, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks Dan Konteks,
(Bandung, MA Suma, 2003)
Suparman Eman, Hukum Waris Indonesia, Bandung: Refika Aditma, 2007

Subardi K.Lubis dan Charruman Psaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika,
1996

Syaifudin Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media Kencana, 2004

Wicaksono Satrio, SH, Hukum Waris, Jakarta Selatan: Transmedia Pustaka, 2011

Wiguna Alivermana, Mudah Belajar Ilmu Mawaris, Yogyakarta: Depublish, 2018

Anda mungkin juga menyukai