Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

HUKUM KEWARISAN ISLAM


Hukum Waris Menurut pandangan Islam serta pembagiannya

Disusun Oleh :
LALU GALANG ARDHYA NEGARA
D1A116142

UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga

disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya,

seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah

membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.

Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah HUKUM KEWARISAN dengan ini

penulis mengangkat judul “Hukum Waris Menurut pandangan Islam serta pembagiannya”.

Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.

Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat

membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalam
BAB I
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Warisan adalah harta peninggalan seseorang yang telah meninggal kepada seseorang yang

masih hidup yang berhak menerima harta tersebut. Hukum waris adalah sekumpulan peraturan

yang mengatur hubungan hukum mengenai kekayaan setelah wafatnya seseorang. Seseorang

yang berhak menerima harta peninggalan di sebut ahli waris. Dalam hal pembagian harta

peninggalan, ahli waris telah memiliki bagian-bagian tertentu. Seperti yang tercantum dalam

Firman Allah SWT sebagai berikut :

‫ال‬
ِ ‫لرِّج‬
َ ِ‫َصيبٌ ل‬ َ ‫صيبٌ َولِلنِّ َسا ِء َواأل ْق َربُونَ ْال َوالِدَا ِن ت ََر‬
ِ ‫ك ِم َّما ن‬ ِ َ‫ك ِم َّما ن‬
َ ‫تَ َر‬

ِ ‫صيبًا َكثُ َر َأوْ ِم ْنهُ قَ َّل ِم َّما َواأل ْق َربُونَ ْال َوالِد‬
‫َان‬ ِ َ‫َم ْفرُوضًا ن‬

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi

wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit

atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”

Hukum Islam mencakup seluruh segi kehidupan manusia baik untuk urusan di dunia

maupun di akhirat. Ada yang mengandung sanksi dan ada juga yang tidak. Sanksi hukum

adakalanya yang langsung dirasakan di dunia seperti layaknya sanksi pada umumnya. Namun

ada pula sanksi yang tidak dirasakan di dunia akan tetapi akan dipertanggung jawabkan secara

individu di akhirat kelak dalam bentuk dosa dan balasannya.

Hukum waris dalam Islam diatur secara tegas dan gamblang melalui sumber hukum

utama, yaitu al-Qur’an dan hadist. Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan adanya cara

pembagian, jumlah bagian, siapa yang berhak menerimanya sesuai dengan pandangan tradisi dan
kearifan lokal. Karena itu penerapan hukum waris Islam selalu memunculkan wacana baru yang

berkelanjutan di kalangan para pemikir hukum Islam, sehingga membutuhkan rumusan hukum

dalam bentuk ajaran yang bersifat normatif. Dalam konteks umat Islam di Indonesia, hukum

waris sudah menjadi hukum positif yang digunakan oleh para hakim di pengadilan agama untuk

memutuskan suatu perkara pembagian harta warisan.1

Sejumlah ketentuan tentang hukum waris (faraidh) telah diatur secara jelas di dalam Al

Quran yaitu dalam surah An Nisa ayat 7, 11, 12, 176 dan surah-surah lainnya, demikian juga

pengaturannya yang terdapat dalam berbagai hadist Rasul dan sejumlah ketentuan lainnya. Untuk

memudahkan pencarian terhadap sumber-sumber hukum waris tersebut, dalam konteks hukum

positif Indonesia terdapat di dalam INPRES No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,

Buku II tentang Hukum Kewarisan. Bagi umat Islam melaksanakan syariat yang ditunjuk oleh

nas-nas yang sarih adalah suatu kewajiban. Oleh sebab itu pelaksanaan waris berdasarkan hukum

waris Islam bersifat wajib2

Sampai sekarang di Indonesia belum terbentuk suatu aturan baku yang berlaku secara

nasional, hingga kini terdapat 3 (tiga) jenis pilihan hukum waris yang berlaku dan diterima oleh

masyarakat Indonesia. Yakni hukum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan

hukum Perdata Eropa (BW). Sebagai bangsa yang mayoritas beragama Islam, maka berlakunya

hukum Islam di Indonesia yang termasuk di dalamnya hukum waris bagi yang beragama Islam

menjadi impian besar bangsa ini. Sudah selayaknya di dalam menyusun hukum waris nasional

nanti dapatlah kiranya ketentuan-ketentuan pokok hukum waris Islam dimasukkan ke dalamnya

yang tentunya dengan memperhatikan pula adat dan budaya lokal masyarakat yang

bersangkutan.

1
Maimun Nawawi, (2016) “Pengantar Hukum Kewarisan Islam”, Cet I, Surabaya : Pustaka Radja, Hlm 2
2
Wati Rahmi Ria & Muhamad Zulfikar, (2016) “Hukum Waris Berdasarkan Hukum Barat dan Kompilasi Hukum
Islam”, Bandar Lampung : (n.n), Hlm 106
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana sistem

pembagian waris dalam Hukum Islam, untuk mengetauhi bagaimana pembagian warisan secara

detail dalam sistem hukum Islam di Indonesia.

2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut
o Apa yang dimaksud dengan waris ?
o Apa saja syarat dan rukun waris ?
o Sebutkan golongan ahli waris !
o Sebutkan  hak-hak yang bersangkutan dengan harta waris !
o Jelaskan mngenai bagian-bagian ahli waris !
o Apa sajakah Sebab-sebab tidak mendapatkan harta waris ?
o Apa yang di maksud dengan ‘Aulu ?
o Hal-hal apa saja yang menghalangi waris ?
o Apa yang di maksud dengan Wasiat ?

3. TUJUAN

o Untuk mengetahui dan memaparkan hukum waris menurut pandangan agama Islam.
o Untuk menambah wawan pembaca mengenai hukumwaris menurut pandangan agama
Islam.
BAB II

PEMBAHASAN

1) PENGERTIAN WARIS

Pengertian waris menurut bahasa ini tidak terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan

dengan harta, akan tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Kata ‫ ورث‬adalah kata

kewarisan pertama yang digunakan dalam al-Qur’an.  Kata waris dalam berbagai bentuk makna

tersebut dapat kita temukan dalam al-Qur’an, yang antara lain:

 Mengandung makna “mengganti kedudukan” (QS. an-Naml, 27:16).

 Mengandung makna “memberi atau menganugerahkan” (QS. az-Zumar,39:74).

 Mengandung makna “mewarisi atau menerima warisan” (QS. al-Maryam, 19: 6).

Sedangkan secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan sebagai hukum yang

mengatur tentang pembagian harta warisan yang ditinggalkan ahli waris, mengetahui bagian-

bagian yang diterima dari peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya.

Sedangkan menurut para fuqoha, pengertian ilmu waris adalah sebagai berikut:

‫علم يعرف به من يرث ومن ال يرث ومقداركل وارث وكيفية التوزيع‬

“Artinya: Ilmu yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan orang yang mewaris, kadar yang

diterima oleh ahli waris serta cara pembagiannya.”

Adapun dalam istilah umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang

meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup. Seperti yang disampaikan oleh Wiryono

Projodikoro, definisi waris adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan

kewajibankewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada
orang lain yang masih hidup. Dengan demikian secara garis besar definisi warisan yaitu

perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia

kepada orang lain yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi.

Selain kata waris tersebut, kita juga menemukan istilah lain yang berhubungan dengan

warisan, diantaranya adalah:

a. Waris, adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan.

b. Muwaris, adalah orang yang diwarisi harta bendanya (orang yang meninggal) baik

secara haqiqy maupun hukmy karena adanya penetapan pengadilan.

c. Al-Irsi, adalah harta warisan yang siap dibagikan kepada ahli waris yang berhak

setelah diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang dan menunaikan

wasiat.

d. Warasah, yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris.

e. Tirkah, yaitu seluruh harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum

diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang, menunaikan wasiat.

Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah hukum

yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,

menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya (Pasal 171 huruf a

KHI).

2) SYARAT DAN RUKUN WARIS

Terdapat tiga syarat warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut

adalah:

1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqy, hukmy (misalnya dianggap telah

meninggal) maupun secara taqdiri.


2.  Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqy pada waktu pewaris meninggal dunia.

3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masing-masing.

Adapun rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu :

1. Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan

hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia. Kematian

seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam :

a) Mati Haqiqy (mati sejati).

Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa

membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh orang

banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan nyata.

b) Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis)

Mati hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian

yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan. Maka

dengan putusan hakim secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal meskipun

terdapat kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut pendapat Malikiyyah dan

Hambaliyah, apabila lama meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4 tahun, sudah

dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab lain, terserah kepada ijtihad

hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai macam segi kemungkinannya.

c) Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).

Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris)

berdasarkan dugaan keras, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang dipukul perutnya

atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan

dugaan keras kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya.


2. Waris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik

hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau karena

memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli

waris diketahui benarbenar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi

yang masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi,

yaitu: antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.

3. Maurus atau al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan

jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat.

3) GOLONGAN AHLI WARIS

Orang-orang yang berhak menerima harta waris dari seseorang yang meninggal sebanyak

25 orang yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan.

Golongaan ahli waris dari pihak laki-laki, yaitu :

1. Anak laki-laki.

2. Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu) dari pihak anak laki-laki, terus kebawah, asal

pertaliannya masih terus laki-laki.

3. Bapak.

4. Kakek dari pihak bapak, dan terus ke atas pertalian yang belum putus dari pihak bapak.

5. Saudara laki-laki seibu sebapak.

6. Saudara laki-laki sebapak saja.

7. Saudara laki-laki seibu saja.

8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak.

9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja.

10. Saudara laki-laki bapak (paman) dari pihak bapak yang seibu sebapak.
11. Saudara laki-laki bapak yang sebapak saja.

12. Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang seibu sebapak.

13.  Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang sebapak saja.

14. Suami.

15. Laki-laki yang memerdekakannya (mayat).

Apabila 10 orang laki-laki tersebut di atas semua ada, maka yang mendapat harta warisan hanya

3 orang saja, yaitu :

1. Bapak.

2. Anak laki-laki.

3. Suami.

Golongan dari pihak perempuan, yaitu :

1. Anak perempuan.

2. Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah, asal pertaliannnya

dengan yang meninggal masih terus laki-laki.

3. Ibu.

4. Ibu dari bapak.

5. Ibu dari ibu terus ke atas pihak ibu sebelum berselang laki-laki.

6. Saudara perempuan seibu sebapak.

7. Saudara perempuan yang sebapak.

8. Saudara perempuan seibu.

9. Istri.

10. Perempuan yang memerdekakan si mayat.


Apabila 10 orang tersebut di atas ada semuanya, maka yang dapat mewarisi dari mereka itu

hanya 5 orang saja, yaitu :

1. Isteri.

2. Anak perempuan.

3. Anak perempuan dari anak laki-laki.

4. Ibu.

5. Saudara perempuan yang seibu sebapak.

Sekiranya 25 orang tersebut di atas dari pihak laki-laki dan dari pihak perempuan semuanya

ada, maka yang pasti mendapat hanya salah seorang dari dua suami isteri,  ibu dan bapak, anak

laki-laki dan anak perempuan.

Anak yang berada dalam kandungan ibunya juag mendapatkan warisan dari keluarganya

yang meninggal dunia sewaktu dia masih berada di dalam kandungan ibunya. Sabda Rasulullah

SAW. “apabila menangis anak yang baru lahir, ia mendapat pusaka.” (HR. Abu Dawud).

4) BEBERAPA HAK YANG BERSANGKUTAN DENGAN HARTA WARIS

Sebelum di lakukan pembagian harta waris terdapat beberapa hak yang harus di

dahulukan. Ha-hak tersebut adalah :

 Hak yang bersangkutang dengan harta itu, seperti zakat dan sewanya.

 Biaya untuk mengururs mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah kubur, dan

sebagainya. Sesudah hak yang pertama tadi di selesaikan, sisanya barulah di pergunakan

untuk biaya mengurus mayat.

 Hutang yang di tinggalkan oleh si mayat.

 Wasiat si mayat. Namun banyaknya tidak lebih dari sepertiga dari harta penginggalan si

mayat.
5) BAGIAN-BAGIAN AHLI WARIS

Dalam fiqih mawaris ada ilmu yang digunakan untuk mengetahui tata cara pembagian

dan untuk mengetahui siapa-siapa saja yang berhak mendapat bagian, siapa yang tidak mendapat

bagian dan berapa besar bagiannya adalah ilmu faroidl. Al-Faraaidh ( ‫) الفرائض‬ adalah bentuk

jamak dari kata Al-Fariidhoh(‫) الفريضه‬ yang oleh para ulama diartikan semakna dengan lafazh

mafrudhah, yaitu bagian-bagian yang telah ditentukan kadarnya. Ketentuan kadar bagian

masing-masing ahli waris adalah sebagai berikut :

 Yang mendapat setengah harta.

 Anak perempuan, apabila ia hanya sendiri, tidak bersama-sama saudaranya. Allah

berfirman dalam surah An-Nisa’ ayat 11 :

ْ ‫لنِّصْ فُا فَلَهَا َوا ِح َدةً َكان‬


‫َت َوِإ ْن‬

Artinya : “Jika anak perempuan itu hanya seorang, maka ia memperolah separo harta.”

1. Anak perempuan dari anak laki-laki, apabila tidak ada anak perempuan.(berdasarkan

keterangan ijma’)

 Saudara perempuan yang seibu sebapak atau sebapak saja, apabila ia saudara

perempuan seibu sebapak tidak ada dan ia hanya seorang saja.

 Suami, apabila isterinya yang meninggal dunia itu tidak meninggallkan anak dan

tidak pula ada anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.

2. Yang mendapat seperempat harta.


 Suami, apabila isteri meninggal dunia itu meninggalkan anak, baik anak laki-laki

ataupun anak perempuan, atau meninggalkan anak dari anak laki-laki, baik laki-laki

maupun perempuan. Firman Allah SWT, dalam surah An-Nisa’ ayat 12, yaitu :

ْ‫صيَّ ٍة بَ ْع ِد ِم ْن تَ َر ْكنَ ِم َّما الرُّ بُ ُع فَلَ ُك ُم َولَ ٌد لَه َُّن َكانَ فَِإ ْن َدي ٍْن َأو‬
ِ ‫صينَ َو‬
ِ ‫بِهَا يُو‬

Artinya : “Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat

dari harta yang di tinggalkannyasesudah dik penuhi wasiat yang mereka buat atau

(dan) sesudah di bayar utangnya.”

 Istri, baik hanya satu orang ataupun berbilang, jika suami tidak meninggalkan

anak(baik anak laki-laki maupun anak perempuan) dan tidak pula anak dari anak

laki-laki(baik laki-laki maupun perempuan). Maka apabila istri itu berbilang,

seperempat itu di bagi rata antara mereka.

3. Yang mendapat seperdelapan harta.

Istri baik satu ataupun berbilang, mendapat warisan dari suaminya seperdelapan

dari harta kalau suaminya yang meninggal dunia itu meninggalkan anak, baik anak laki-

laki ataupun perempuan, atau anak dari anak laki-laki, baik laki-laki ataupun perempuan.

Firman Allah SWT, dalam surah An-Nisa’ ayat 12, yaitu :

‫الثُّ ُمنُ فَلَه َُّن َولَ ٌد لَ ُك ْم َكانَ فَِإ ْن‬

Artinya : “Jika kamu mempunyai anak, maka para istri itu memperoleh

seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan.”

4. Yang mendapat dua pertiga harta.

 Dua orang anak perempuan atau lebih, dengan syarat apabila tidak ada anak laki-laki.
 Dua orang anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki. Apabila ia anak perempuan

tidak ada, berarti anak perempuan dari anak laki-laki yang berbilang itu, mereka

mendapatkan harta warisan dari kakek mereka sebanyak dua pertiga dari harta.

 Suadara perempuan yang seibu sebapak apabila berbilang(dua atau lebih). Firman

Allah SWT, dalam Surah An-Nisa’ ayat 176, yaitu :

‫ان فَلَهُ َما ْاثنَتَ ْي ِن َكانَتَا فَِإ ْن‬


ِ َ‫ك ِم َّما الثُّلُث‬
َ ‫تَ َر‬

Artinya : “Jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga

dari harta yang di tinggalkan oleh yang meninggal.”

 Saudara perempuan yang sebapak, dua orang atau lebih.

Keterangannya adalah surah An-Nisa’ ayat 176 yang tersebut di atas, karena

yang di maksud dengan saudara dalam ayat tersebut  ialah saudara seibu sebapak

atau saudara sebapak saja apabila saudara perempuan yang seibu sebapak tidak ada.

5. Yang mendapat sepertiga harta.

 Ibu, apabila yang meninggal tidak meningglkan anak atau cucu (anak dari anak laki-

laki), dan tidak pula meninggalkan dua orang saudara, baik laki-laki ataupun

perempuan, seibu sebapak atau sebapak saja, atau seibu saja.

 Dua orang saudara atau lebih dari saudara yang seibu, baik laki-laki maupun

perempuan. Firman Allah SWT, dalam surah An-Nisa’ ayat 12, yaitu :

‫ك ِم ْن َأ ْكثَ َر َكانُوا فَِإ ْن‬ ِ ُ‫الثُّل‬


َ ِ‫ث فِي ُش َر َكا ُء فَهُ ْم َذل‬
Artinya : “Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka

bersekutu dalam yang sepertiga itu.”

6. Yang mendapat sepereenam harta.

 Ibu, apabila ia beserta anak, beserta anak dari anak laki-laki,atau beserta dua saudara

atau lebih, baik saudara laki-laki ataupun saudara perempuan, seibu sebapak, sebapak

saja, atau seibu saja.

 Bapak si mayat, apabila yang meninggal mempunyai anak atau anak dari anak laki-

laki.

 Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), kalau ibu tidak ada. Hal ini  beralasan dari

hadist yang diriwayatkan oleh zaid yang artinya : “Sesungguhnya nabi SAW. telah

menetapkan bagian nenek seperenam dari harta “  

 Cucu perempuan dari pihak anak laki-laki, (anak perempuan dari anak laki-laki).

Mereka mendapatkan seperenam dari harta, baik sendiri atau berbilang, apabila

bersama-sama seorang anak perempuan. Tetapi apabila anak perempuan berbilang,

maka cucu perempuan tadi tidak mendapat harta waris.

 Kakek (bapak dari bapak), apabila beserta anak atau anak dari anak laki-laki,

sedangkan bapak tidak ada. (keterangan berdasarkan ijma’ para ulama’)

 Untuk seorang sudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan. Firman Allah

SWT. Dalam surah An-Nisa’ ayat 12, yaitu :

ٌ ‫ال ُّس ُدسُ ِم ْنهُ َما َوا ِح ٍد فَلِ ُك ِّل ُأ ْخ‬


ُ‫ت َأوْ َأ ٌخ َولَه‬
Artinya : “Dan apabila si mayat mempunyai seorang sudara laki-laki(seibu saja) atau

seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis

saudara itu seperenam harta.

 Saudara perempuan yang sebapak saja, baik sendiri ataupun berbilang, apabila beserta

saudara perempuan yang seibu sebapak. Adapun apabila saudara seibu sebapak

berbilang(dua atau lebih), maka saudara sebapak tidak mendapat harta warisan.

(berdasarkan ijma’ para ulama’).

6) SEBAB-SEBAB TIDAK MENDAPATKAN HARTA WARIS

Ahli waris yang telah di sebutkan di atas semua tetap mendapatkan harta waris menurut

ketentuan-ketentuan yang telah di sebutkan, kecuali apabila ada ahli waris yang lebih dekat

pertaliannya kepada si mayit dari pada mereka. Berikut akan di jelaskan orang-orang yang

mendapat harta waris, atau bagiannya menjadi kurang karena ada yang lebih dekat pertaliannya

kepada si mayit dari pada mereka.

 Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), tidak mendapat harta waris karena ada ibu,

sebab ibu lebih dekat pertaliannya kepada yang meninggal dari pada nenek. Begitu juga

kakek, tidak mendapat harta waris selama bapaknya masih ada, karena bapak lebih dekat

pertaliannya kepada yang meninggal dari pada kakek.

 Saudara seibu, tidak mendapatkan harta waris karena adanya orang yang di sebut di

bawah ini :

o Anak, baik laki-laki maupun perempuan.

o Anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.

o Bapak.

o Kakek.
 Saudara sebapak, saudara sebapak tidak mendapat harta waris dengan adanya salah

seorang dari empat orang berikut :

o Bapak.

o Anak laki-laki.

o Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu laki-laki).

o Sudara laki-laki yang seibu sebapak.

 Saudara seibu sebapak. Saudara seibu sebapak tidak akan mendapatkan harta waris

apabila terhalang oleh salah satu dari tiga orang yang tersebut di bawah ini :

o Anak laki-laki.

o Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu laki-laki)

o Bapak.

 Tiga laki-laki berikut ini mendapatkan harta waris namun saudara perempuan mereka

tidak mendapat harta waris, yaitu:

o Saudara laki-laki bapak(paman) mendapatkan harta waris. Namun, saudara

perempuan bapak (bibi) tidak mendapatkan harta waris.

o Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki(anak laki-laki paman dari bapak)

mendapat harta waris. Namun, anak perempuannya tidak mendapatkan harta waris.

o Anak laki-laki saudara laki-laki mendapatkan harta waris. Namun, anak

perempuannya tidak mendapatkan harta waris.


7) PENGERTIAN ‘AULU

‘Aulu artinya jumlah beberapa ketentuan lebih banyak daripada satu bilangan, atau

berarti jumlah pembilang dari beberapa ketentuan lebih banyak dari pada kelipatan persekutuan

terkecil dari penyebut-penyebutnya. Umpamanya ahli waris adalah suami dan dua saudara seibu

sebapak, maka suami mendapat ketentuan 1/2 , dua saudara perempuan mendapat 2/3 sedangkan

kelipatan persekutuan terkecil dari 2 dan 3 adalah 6. Kita jadikan 3/6 untuk suami dan 4/6 untuk

kedua saudara perempuan. Jadi jumlah pembilang keduanya adalah 7, sedangkan penyebut

keduanya hany 6. Disini nyata bahwa pembilang lebih banyak dari penyebut. Apabila terdapat

masalah seperti ini, harta hendaknya kita bagi tujuh bagian : tiga bagian untuk suami dan empat

bagian untuk kedua saudara perempuan. Sebenarnya keduan macam ahli waris ini tidak

mengambil seperti ketentuan masing-masing, tetapi keadilan memaksa menjalankan seperti

tersebut.

Contoh yang kedua : Ahli waris adalah istri, ibu, dua saudara perempuan seibu sebapak atau

sebapak, dan seorang saudara seibu(baik laki-laki maupun perempuan). Ketentuan masing-

masing adalah intri mendapar 1/4 , ibu mendapat 1/6, dua saudara perempuan mendapat  2/3 dan

seorang saudara seibu mendapat 1/6. Kelipatan persekutuan terkecil dari penyebut beberapa

ketentuan tersebut adalah 12, kita atur sebagai berikut : 1/4+1/6+2/3+1/6 = 3/12+2/12+8/12+2/12

= 15/12. Jadi, harta perlu di bagi 15 bagian : 3 bagian dari 15 bagian untuk istri, 2 bagian untuk

ibu, 8 bagian untuk dua orang saudara perempuan, 2 bagian untuk saudara seorang seibu. Berarti

tiap-tiap bagian itu di hitung dari 15, bukan dari 12, sedangkan ketentuan masing-masing

hendaknya di ambil dari 12, tetapi dalam masalah ‘aulu masing-masing hanya mengambil  dari

15 . inilah yang dimaksud dengan ‘aulu. Terjadinya karena banyaknya ahli waris sehingga
jumlah ketentuan mereka lebih banyak dari pada satu bilangan, buktinya pembilang lebih banyak

dari penyebut.

8) HAL-HAL YANG MENGHALANGI WARIS

Pada umum hal-hal yang bisa menjadi penghalang mewarisi itu ada tiga macam, yaitu:

a) Pembunuhan.

Pembunuhan adalah sesuatu perbuatan yang mutlak menjadi penghalang waris,

karena adanya dalil yang kuat dari hadis Rasulullah SAW, Yang Artinya:

” Tidak berhak sipembunuh mendapat sesuatupun dari harta warisan (Hadis Riwayat an-

Nasa’i dengan isnad yang sahih)”.

Imam Syafi’i memberikan contoh pembunuhan yang dapat menjadi penghalang

mewarisi sebagai berikut:

1. Hakim yang menjatuhkan hukuman mati, tidak dapat mewarisi harta orang yang telah

dijatuhi hukuman mati.

2. Algojo yang menjalankan tugas membunuh tidak dapat mewarisi harta orang

peninggalan pesakitan yang dibunuhnya.

3. Seseorang yang memberikan persaksian (sumpah) palsu, tidak dapat mewarisi harta

peninggalan orang yang menjadi korban persaksian palsunya.

b) Berbeda Agama.

Adapun yang dimaksudkan dengan berbeda agama adalah agama yang dianut antara

waris dengan muwaris itu berbeda. Sedangkan yang dimaksud dengan berbeda agama dapat

menghalangi kewarisan adalah tidak ada hak saling mewarisi antara seorang muslim dan

kafir (non Islam), orang Islam tidak mewarisi harta orang non Islam demikian juga

sebaliknya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang  Artinya:” Diriwayatkan daripada


Usamah bin Zaid r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Orang Islam tidak boleh mewarisi

harta orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam. (Hadis Riwayat

an-Nasa’I dengan isnad yang sahih)”

c) Perbudakan.

Secara umum, mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang menerima

warisan, karena budak (hamba sahaya) secara yuridis tidak cakap dalam melakukan

perbuatan hukum, sedangkan hak kebendaannya dikuasai oleh tuannya. Sehingga ketika

tuannya meninggal, maka seorang budak tidak berhak untuk mewarisi, karena pada

hakekatnya seorang budak juga merupakan “harta” dan sebagai harta maka dengan

sendirinya benda itu bisa diwariskan.

d) Berlainan Negara

Perbedaan negara dilihat dari segi ilmu waris adalah perbedaan negara jika telah

memenuhi 3 kriteria sebagai berikut:

a) Angkatan bersenjata yang berbeda, artinya masing-masing di bawah komando yang

berbeda.

b) Kepala negara yang berbeda.

c) Tidak ada ikatan satu dengan yang lainnya, artinya tidak ada kerjasama diplomatik yang

terjalin antar keduanya.

Sedangkan yang menjadi penghalang mewarisi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu

beda agama (pasal 171 huruf c dan pasal 172 KHI), membunuh, percobaan pembunuhan,

penganiayaan berat terhadap pewaris dan memfitnah (pasal 173 KHI)


Adapun persoalan agama menjadi sangat esensial sehingga harus ada penegasan bahwa

perbedaan agama akan menghilangkan hak waris, namun hal ini juga tidak kita temukan dalam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku kedua. Sedangkan pewaris dalam ketentuan hukum

kewarisan Islam adalah bergama Islam, maka secara otomatis ahli waris juga beragama Islam.

Sebagaimana Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbunyi:

“Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau

hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk

menjadi ahli waris.”

Dan sebagai indikasi bahwa ahli waris tersebut beragama Islam, telah dijelaskan dalam

pasal 172 KHI yang berbunyi:

“Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau

pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang

belum dewasa beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.”

  Sedangkan penghalang mewarisi yang berupa pembunuhan, percobaan pembunuhan,

penganiayaan berat pewaris dan memfitnah telah dijelaskan dalam pasal 173 KHI yang berbunyi:

“Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah

mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:

i. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada

pewaris.
ii. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa bahwa pewaris

telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau

hukuman yang lebih berat.”

9) PENGERTIAN WASIAT

Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan di jalankan sesudah seseorang

meninggal dunia. Hukum wasiat adalah sunnah.

Rukun wasiat adalah sebagai berikut :

 Ada orang yang berwasiat.

 Ada yang menerima wasiat.

 Sesuatu yang di wasiatkan.

 Lafadz(kalimat) wasiat, yaitu kalimat yang dapat dipahami untuk wasiat.

Sebanyak-banyak wasiat adalah sepertiga dari harta, tidak boleh lebih kecuali apaila di

izinkan oleh semua ahli waris sesudah orang yang berwasiat meninggal. Sabda

Rasulullah SAW. Yaitu :

Dari Ibnu Abbas. Ia berkata, “Alanghkah baiknya jika manusia mengurangi wasiat

mereka dari sepertiga k seperempat. Karena sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda, “

Wasiat itu sepertiga, sedangkan sepertiga itu banyak.” ” (HR. Bukhori dan Muslim)

Wasiat hanya di tujukan kepada orang yang bukan ahli waris. Adapun kepada ahli waris,

wasiat tidak sah kecuali apabila di ridhoi oleh semua ahli waris yang lain sesudah meninggalnya

yang berwasiat. Sabda Rasulullah SAW. Yaitu :


Dari abu Amamah, Ia berkata : “ Saya telah mendengar Nabi SAW bersabda,

“Sesungguhnya Allah telah menentukan hak tiap-tiap ahli waris. Maka dengan ketentuan itu

tidak ada hak wasiat lagi bagi seorang ahli wari.”(HR. Liam orang ahli hadist selain Nasai)

Syarat orang yang di serahi menjalankan wasiat, yaitu :

 Beragama Islam.

 Baligh.

 Berakal.

 Merdeka.

 Amanah.

 Cakap untuk menjalankan sebagaimana yang di  kehendaki oleh yang berwasiat.

 
BAB III

PENUTUP

1) KESIMPULAN

Dengan penjelasan-penjelasan mengenai hukum waris di atas, maka dapat di

simpukan bahwa :

 Waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli

waris yang masih hidup.

 Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah

hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)

pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya

(Pasal 171 huruf a KHI).

 Ahli waris adalah orang-orang mendapatkan hak memperoleh harta peninggalan orang

yang telah meninggal yang masih mempunyai hubungan darah.

 Bagian-bagian yang di peroleh ahli waris telah di tetapkan dalam Al-Qur’an, sehingga

tidak ada kata tidak adil karena Al-Qur’an adalah Firman Allah SWT. Yang di jamin

kebenarannya.

 Sebelum di lakukan pembagian harta waris terdapat beberapa hak yang harus di

dahulukan. Ha-hak tersebut adalah :

 Hak yang bersangkutang dengan harta itu, seperti zakat dan sewanya.

 Biaya untuk mengururs mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah kubur, dan

sebagainya. Sesudah hak yang pertama tadi di selesaikan, sisanya barulah di

pergunakan untuk biaya mengurus mayat.


 Hutang yang di tinggalkan oleh si mayat.

 Wasiat si mayat. Namun banyaknya tidak lebih dari sepertiga dari harta penginggalan

si mayat.

 Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan di jalankan sesudah seseorang

meninggal dunia dan hukum wasiat adalah sunnah.

2) SARAN

Rasululloh SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh rodliallohu

‘anhu, yaitu :

“Diriwatkan dari Abu Hurairoh rodliallohu ‘anhu sesungguhnya Rasulullah SAW

bersabda “pelajarilah oleh kalian ilmu faro’id, karena sesungguhnya ilmu faro’id itu

sebagian dari agama kalian dan setengah dari seluruh ilmu. Dan sesungguhnya ilmu

faro’id itu ilmu yang mula-mula akan di cabut dari umatku”.”

Dari hadist tersebut dapat di peroleh kesimpulan bahawa ilmu faraid atau yang biasa di

kenal dengan ilmu pembagian harata waris ini sangat penting untuk di pelajari. Oleh karena itu

pengenalan dan pemahaman ilmu faraid harus lebih di tingkatkan lagi.

 Mempelajari ilmu ini juga untuk mengetahui dengan jelas orang-orang yang berhak

menerima warisan sehingga terhindar dari perselisihan dan perebutan harta penginggalan

yang meninggal.

 Mengajarkan ilmu faraid(ilmu pembagian harta waris) memang tidak mudah, metode

pengajaran yang kreatif dan inovatif sangat di perlukan kerena tidak dapat di pungkiri

bahwa ilmu faraidh sudah mulai tidak di gunakan lagi, padahal ilmu faraidh telah di

jelaskan d Al-Qur’an yang di jamin kebenarannya. Metode pengajaran yang dapat di


lakukan adalah dengan menerapkannya langsung pada kisah nyata kehidupan sehari-hari

orang-orang dalam suatu masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Ali ash-Sahabuni, Al-Mawaris Fisy Syari’atil Islamiyyah ‘Ala Dhau’ Al- Kitab wa

Sunnah. Terj. A.M. Basalamah “ Pembagian Waris Menurut Islam”, Jakarta: Gema

Insani Press, 1995, hlm. 33

Maimun Nawawi, (2016) “Pengantar Hukum Kewarisan Islam”, Cet I, Surabaya : Pustaka

Radja, Hlm 2

Wati Rahmi Ria & Muhamad Zulfikar, (2016) “Hukum Waris Berdasarkan Hukum Barat dan

Kompilasi Hukum Islam”, Bandar Lampung : (n.n), Hlm 106

http://1st-iqomah.blogspot.com/2012/02/ilmu-faroidh-ilmu-yang-pertama-kali.html

http://kobonksepuh.wordpress.com/2013/01/30/pentingnya-mempelajari-ilmu-faraidh/

https://sayyidahchalimah07.wordpress.com/2014/06/22/makalah-hukum-waris/

Anda mungkin juga menyukai