“HUKUM WARIS”
Disusun oleh
Kelompok II:
1. Rahmat Hidaya
2. Ina Padila
3. Ewis Pitriyati
4. Pemi Fermila
5. Lucingga
6. Imelsha
7. Pemi Permila
8. Perli Saputra
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi kesempurnaan
makalah ini.
1. LATAR BELAKANG
Warisan adalah harta peninggalan seseorang yang telah meninggal kepada seseorang
yang masih hidup yang berhak menerima harta tersebut. Hukum waris adalah
sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan hukum mengenai kekayaan setelah
wafatnya seseorang. Seseorang yang berhak menerima harta peninggalan di sebut ahli
waris. Dalam hal pembagian harta peninggalan, ahli waris telah memiliki bagian-bagian
tertentu. Seperti yang tercantum dalamFirman Allah SWT sebagai berikut :
َكرت اممَ بيصنَ ءاسنللوَ نوبرقألاوَ نادالوالَ كرت اممَ بيصنَ الجرلل
اضورفم ابيصنَ رثكَ وأ هنمَ لق اممَ نوبرقألاوَ نادالوال
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan
bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,
baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”
2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat diperoleh rumusan masalah sebagai
berikut
1. Apa yang dimaksud dengan waris ?
2. Apa saja syarat dan rukun waris ?
3. Sebutkan golongan ahli waris !
4. Sebutkan hak-hak yang bersangkutan dengan harta waris !
5. Jelaskan mngenai bagian-bagian ahli waris !
6. Apa sajakah Sebab-sebab tidak mendapatkan harta waris ?
7. Apa yang di maksud dengan ‘Aulu ?
8. Hal-hal apa saja yang menghalangi waris ?
9. Apa yang di maksud dengan Wasiat ?
3. TUJUAN
1. Untuk mengetahui dan memaparkan hukum waris menurut pandangan agama Islam.
2. Untuk menambah wawan pembaca mengenai hukumwaris menurut pandangan
agama Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
1) Pengertian Waris
Pengertian waris menurut bahasa ini tidak terbatas hanya pada hal-hal yang
berkaitan dengan harta, akan tetapi mencakup harta benda dan non harta benda. Kata ث
روadalah kata kewarisan pertama yang digunakan dalam al-Qur’an. Kata waris dalam
berbagai bentuk makna tersebut dapat kita temukan dalam al-Qur’an, yang antara lain:
Mengandung makna “mengganti kedudukan” (QS. an-Naml, 27:16).
Mengandung makna “memberi atau menganugerahkan” (QS. az-Zumar,39:74).
Mengandung makna “mewarisi atau menerima warisan” (QS. al-Maryam, 19: 6).
Adapun dalam istilah umum, waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang
yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup. definisi waris adalah soal
apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang
kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain yang
masih hidup. Dengan demikian secara garis besar definisi warisan yaitu
perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal
dunia kepada orang lain yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam
mewarisi.
Selain kata waris tersebut, kita juga menemukan istilah lain yang berhubungan
dengan warisan, diantaranya adalah:
a. Waris, adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan.
b. Muwaris, adalah orang yang diwarisi harta bendanya (orang yang meninggal) baik
secara haqiqy maupun hukmy karena adanya penetapan pengadilan.
c. Al-Irsi, adalah harta warisan yang siap dibagikan kepada ahli waris yang
berhak
setelah diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang dan menunaikan
wasiat.
d. Warasah, yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris.
e. Tirkah, yaitu seluruh harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum
diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang, menunaikan wasiat.
Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya (Pasal 171 huruf a KHI).
2) Syarat Dan Rukun Waris
Terdapat tiga syarat warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat
tersebut adalah:
Adapun rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu:
1. Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang
mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal dunia.
Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam :
Orang-orang yang berhak menerima harta waris dari seseorang yang meninggal
sebanyak
25 orang yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 orang dari pihak
perempuan.
Apabila 15 orang laki-laki tersebut di atas semua ada, maka yang mendapat harta
warisan hanya
3 orang saja, yaitu :
1. Bapak.
2. Anak laki-laki.
3. Suami.
Sekiranya 25 orang tersebut di atas dari pihak laki-laki dan dari pihak perempuan
semuanya ada, maka yang pasti mendapat hanya salah seorang dari dua suami isteri,
ibu dan bapak, anak laki-laki dan anak perempuan.
Anak yang berada dalam kandungan ibunya juag mendapatkan warisan dari
keluarganya yang meninggal dunia sewaktu dia masih berada di dalam kandungan
ibunya. Sabda Rasulullah SAW. “apabila menangis anak yang baru lahir, ia
mendapat pusaka.” (HR. Abu Dawud).
Ahli waris yang telah di sebutkan di atas semua tetap mendapatkan harta waris
menurut ketentuan-ketentuan yang telah di sebutkan, kecuali apabila ada ahli waris
yang lebih dekat pertaliannya kepada si mayit dari pada mereka. Berikut akan di
jelaskan orang-orang yang mendapat harta waris, atau bagiannya menjadi kurang
karena ada yang lebih dekat pertaliannya kepada si mayit dari pada mereka.
Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), tidak mendapat harta waris karena ada
ibu, sebab ibu lebih dekat pertaliannya kepada yang meninggal dari pada nenek.
Begitu juga kakek, tidak mendapat harta waris selama bapaknya masih ada, karena
bapak lebih dekat pertaliannya kepada yang meninggal dari pada kakek.
Saudara seibu, tidak mendapatkan harta waris karena adanya orang yang di
sebut dibawah ini :
o Anak, baik laki-laki maupun perempuan.
oAnak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.
o Bapak.
oKakek.
Saudara sebapak, saudara sebapak tidak mendapat harta waris dengan adanya
salah seorang dari empat orang berikut :
o Bapak.
o Anak laki-laki.
o Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu laki-laki).
o Sudara laki-laki yang seibu sebapak.
Saudara seibu sebapak. Saudara seibu sebapak tidak akan mendapatkan harta
waris apabila terhalang oleh salah satu dari tiga orang yang tersebut di bawah ini :
o Anak laki -laki.
o Anak laki-laki dari anak laki-laki(cucu laki-laki)
o Bapak.
Tiga laki-laki berikut ini mendapatkan harta waris namun saudara perempuan
mereka tidak mendapat harta waris, yaitu:
o Saudara laki-laki bapak(paman) mendapatkan harta waris. Namun
saudara perempuan bapak (bibi) tidak mendapatkan harta waris.
o Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki(anak laki-laki paman dari bapak)
mendapat harta waris. Namun, anak perempuannya tidak mendapatkan harta
waris.
o Anak laki-laki saudara laki-laki mendapatkan harta waris.
Namun, anak perempuannya tidak mendapatkan harta waris.
6) PENGERTIAN ‘AULU
“Aulu” artinya jumlah beberapa ketentuan lebih banyak daripada satu
bilangan, atau berarti jumlah pembilang dari beberapa ketentuan lebih banyak dari
pada kelipatan persekutuan terkecil dari penyebut-penyebutnya. Umpamanya ahli
waris adalah suami dan dua saudara seibu sebapak, maka suami mendapat ketentuan
1/2 , dua saudara perempuan mendapat 2/3 sedangkan kelipatan persekutuan terkecil
dari 2 dan 3 adalah 6. Kita jadikan 3/6 untuk suami dan 4/6 untuk kedua saudara
perempuan. Jadi jumlah pembilang keduanya adalah 7, sedangkan penyebut
keduanya hanya 6. Disini nyata bahwa pembilang lebih banyak dari penyebut.
Apabila terdapat masalah seperti ini, harta hendaknya kita bagi tujuh bagian : tiga
bagian untuk suami dan empat bagian untuk kedua saudara perempuan. Sebenarnya
keduan macam ahli waris ini tidak mengambil seperti ketentuan masing-masing,
tetapi keadilan memaksa menjalankan seperti tersebut.
Contoh yang kedua : Ahli waris adalah istri, ibu, dua saudara perempuan seibu
sebapak atau sebapak, dan seorang saudara seibu(baik laki-laki maupun
perempuan). Ketentuan masing- masing adalah intri mendapar 1/4 , ibu mendapat
1/6, dua saudara perempuan mendapat 2/3 dan seorang saudara seibu mendapat 1/6.
Kelipatan persekutuan terkecil dari penyebut beberapa ketentuan tersebut adalah
12, kita atur sebagai berikut : 1/4+1/6+2/3+1/6 = 3/12+2/12+8/12+2/12 =
15/12. Jadi, harta perlu di bagi 15 bagian : 3 bagian dari 15 bagian untuk istri, 2
bagian untuk ibu, 8 bagian untuk dua orang saudara perempuan, 2 bagian untuk
saudara seorang seibu. Berarti tiap-tiap bagian itu di hitung dari 15, bukan dari 12,
sedangkan ketentuan masing-masing hendaknya di ambil dari 12, tetapi dalam
masalah ‘aulu masing-masing hanya mengambil dari 15 . inilah yang dimaksud
dengan ‘aulu. Terjadinya karena banyaknya ahli waris sehingga jumlah ketentuan
mereka lebih banyak dari pada satu bilangan, buktinya pembilang lebih banyak dari
penyebut
7) BAGIAN-BAGIAN AHLI WARIS
Dalam fiqih mawaris ada ilmu yang digunakan untuk mengetahui tata cara
pembagian dan untuk mengetahui siapa-siapa saja yang berhak mendapat bagian, siapa
yang tidak mendapat bagian dan berapa besar bagiannya adalah ilmu faroidl. Al-
Faraaidh ( ) ضئارفلاadalah bentuk jamak dari kata Al-Fariidhoh ( ) هضيرفلاyang oleh
para ulama diartikan semakna dengan lafazh mafrudhah, yaitu bagian-bagian yang
telah ditentukan kadarnya. Ketentuan kadar.
Masing-masing ahli waris mempunyai bagian yang berbeda-beda. Hal tersebut
dipengaruhi karena jumlah ahli waris yang ada dan jauh dekatnya suatu hubungan.
Adapun bagian
masing-masing ahli waris yaitu dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Tabel 1
Tabel bagian masing-masing ahli waris
AHLI
NO BAGIAN KONDISI
WARIS
½ Tidak ada Anak/ Cucu
1 Suami
¼ Ada Anak/ Cucu
¼ Tidak ada Anak/ Cucu
1 Ada Anak/ Cucu
2 Istri /8
1
dibagi rata Dari ¼ atau /8 bagian tsb
(jika Istri lebih dari seorang)
Sendirian atau bersama
Ashabah Dzawil Furudh
3 Anak lk 2 x bagian Anak pr (jika ada
2
Anak pr lebih dari seorang
4 Anak pr /3 (dibagi rata)
½ bagian Anak lk (jika ada
Ashabah
Anak lk dan Anak pr)
5 Cucu lk 0 Ada Anak lk
Sendirian atau bersama
(dari
Ashabah Dzawil Furudh
Anak lk)
2 x bagian Cucu pr (jika ada
Cucu lk dan Cucu pr)
- Ada Anak lk
0 Ada dua orang atau lebih
Anak pr (kecuali Cucu pr
Cucu pr ½ bersama Cucu lk)
Cucu pr hanya seorang
6 (dari Cucu pr lebih dari seorang
2
/3 (dibagi rata)
Anak lk)
1 Cucu pr bersama Anak pr
/6
½ bagian Cucu lk (jika ada
Ashabah
Cucu lk dan Cucu pr)
1 Ada Anak lk atau Cucu lk
/6
1
/6 dan sisa Ada Anak pr atau Cucu pr
2
Ahli waris hanya Ayah dan
/3 Ibu
7 Ayah
(setelah dikurangi hak Istri/
2
/3 dari sisa
Suami), jika ada Istri/ Suami
dan Ibu
Ashabah Tidak ada ahli waris lainnya
1
Ada Anak/ Cucu/ dua orang
/6 atau lebih Saudara
1
Ahli waris hanya Ibu, atau
8 Ibu /3 Ayah dan Ibu
(setelah dikurangi hak Istri/
1
/3 dari sisa
Suami), jika ada Istri/ Suami
dan Ayah
0 Ada Ayah
1 Ada Anak lk atau Cucu lk
/6
1
/6 dan sisa Ada Anak pr atau Cucu pr
9 Kakek
Tidak ada Anak atau Cucu,
Sisa
tetapi ada Ahli waris lain
Ashabah Tidak ada Ahli waris lainnya
- Ada Ayah atau Ibu (untuk
0 Nenek dari Ayah)
- Ada Ibu (untuk Nenek dari
10 Nenek Ada maupun tidak ada
1
/6 Ahli waris selain Ayah/ Ibu
1
/6 dibagi
Nenek lebih dari seorang
rata
Ada: Ayah/ Anak lk/ Cucu lk
0
(dari Anak lk)
Sendirian atau bersama
Dzawil Furudh
Ashabah
2 x bagian Sdr pr kandung
Saudara lk (jika ada Saudara lk dan
11 kandung
Saudara lk kandung lebih
dibagi rata
dari seorang
Ahli waris: Suami, Ibu,
= bagian
Saudara kandung dan dua
Saudara
orang atau lebih Saudara
seibu
seibu Ayah/ Anak lk/ Cucu lk
Ada:
Saudara 0
12 (dari Anak lk)
pr Saudara pr kandung
½
kandung hanya seorang
2
Saudara pr kandung lebih
/3
dari seorang (dibagi rata)
- Bersama dengan Saudara lk
kandung (bagian perempuan
Ashabah
½ bagian laki-laki)
- Bersama Anak pr atau Cucu
Ada: Ayah/ Anak lk/ Cucu lk
(dari Anak lk)/ Saudara lk
0
kandung/Saudara pr kandung
Saudara lk bersama Anak pr atau Cucu
13
sebapak Sendirian atau bersama
Ashabah
Dzawil Furudh
Saudara lk sebapak lebih dari
dibagi rata
seorang
Ada: Ayah/ Anak lk/ Cucu lk
(dari Anak lk)/ Saudara lk
0
kandung/ Saudara pr kandung
bersama Anak pr atau Cucu
Saudara
14 pr/ dua atau lebih Saudara pr
pr
kandung
Saudara pr sebapak hanya
sebapak ½
seorang
2
Saudara pr sebapak lebih dari
/3 seorang (dibagi rata)
1
Bersama seorang Saudara pr
/6 kandung
- Bersama Saudara lk sebapak
(bagian perempuan ½
bagian laki-laki)
Ashabah
- Bersama Anak pr atau Cucu
Keterangan:
Lk = laki-laki,
Pr=perempuan.
8) HAL-HAL YANG MENGHALANGI WARIS
Pada umum hal-hal yang bisa menjadi penghalang mewarisi itu ada tiga macam, yaitu:
a) Pembunuhan.
Pembunuhan adalah sesuatu perbuatan yang mutlak menjadi penghalang waris, karena
adanya dalil yang kuat dari hadis Rasulullah SAW, Yang Artinya:
” Tidak berhak sipembunuh mendapat sesuatupun dari harta warisan (Hadis Riwayat an-
Nasa’i dengan isnad yang
sahih)”.
b) Berbeda Agama.
Adapun yang dimaksudkan dengan berbeda agama adalah agama yang dianut antara
waris dengan muwaris itu berbeda. Sedangkan yang dimaksud dengan berbeda agama dapat
menghalangi kewarisan adalah tidak ada hak saling mewarisi antara seorang muslim dan kafir
(non Islam), orang Islam tidak mewarisi harta orang non Islam demikian juga sebaliknya.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang Artinya:” Diriwayatkan daripada Usamah bin
Zaid r.a katanya: Nabi s.a.w bersabda: Orang Islam tidak boleh mewarisi harta orang
kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam. (Hadis Riwayat an-Nasa’I
dengan isnad yang sahih)”
c) Perbudakan.
Secara umum, mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang menerima
warisan, karena budak (hamba sahaya) secara yuridis tidak cakap dalam melakukan
perbuatan hukum, sedangkan hak kebendaannya dikuasai oleh tuannya. Sehingga ketika
tuannya meninggal, maka seorang budak tidak berhak untuk mewarisi, karena pada
hakekatnya seorang budak juga merupakan “harta” dan sebagai harta maka dengan sendirinya
benda itu bisa diwariskan.
d) Berlainan Negara
Perbedaan negara dilihat dari segi ilmu waris adalah perbedaan negara jika telah
memenuhi 3 kriteria sebagai berikut:
a) Angkatan bersenjata yang berbeda, artinya masing-masing di bawah komando
yang berbeda.
b) Kepala negara yang berbeda.
c) Tidak ada ikatan satu dengan yang lainnya, artinya tidak ada kerjasama diplomatik
yang terjalin antar keduanya.
Sedangkan yang menjadi penghalang mewarisi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu
beda agama (pasal 171 huruf c dan pasal 172 KHI), membunuh, percobaan pembunuhan,
penganiayaan berat terhadap pewaris dan memfitnah (pasal 173 KHI)
Adapun persoalan agama menjadi sangat esensial sehingga harus ada penegasan bahwa
perbedaan agama akan menghilangkan hak waris, namun hal ini juga tidak kita temukan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku kedua. Sedangkan pewaris dalam ketentuan hukum
kewarisan Islam adalah bergama Islam, maka secara otomatis ahli waris juga beragama Islam.
Sebagaimana Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbunyi:
“Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk
menjadi ahli waris.”
Dan sebagai indikasi bahwa ahli waris tersebut beragama Islam, telah dijelaskan dalam
pasal 172 KHI yang berbunyi:
“Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau
pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang
belum dewasa beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.”
Sedangkan penghalang mewarisi yang berupa pembunuhan, percobaan pembunuhan,
penganiayaan berat pewaris dan memfitnah telah dijelaskan dalam pasal 173 KHI yang berbunyi:
“Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
i. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada
pewaris.
ii. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa bahwa pewaris telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang
lebih berat.”
9) PENGERTIAN WASIAT
Wasiat adalah pesan tentang suatu kebaikan yang akan di jalankan sesudah seseorang meninggal
dunia. Hukum wasiat adalah sunnah.
Rukun wasiat adalah sebagai berikut :
Ada orang yang berwasiat.
Ada yang menerima wasiat.
Sesuatu yang di wasiatkan.
Lafadz(kalimat) wasiat, yaitu kalimat yang dapat dipahami untuk wasiat.
Sebanyak-banyak wasiat adalah sepertiga dari harta, tidak boleh lebih kecuali apaila di izinkan
oleh semua ahli waris sesudah orang yang berwasiat meninggal. Sabda Rasulullah SAW. Yaitu :
Dari Ibnu Abbas. Ia berkata, “Alanghkah baiknya jika manusia mengurangi wasiat mereka dari
sepertiga k seperempat. Karena sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda, “ Wasiat itu
sepertiga, sedangkan sepertiga itu banyak.” ” (HR. Bukhori dan Muslim)
Wasiat hanya di tujukan kepada orang yang bukan ahli waris. Adapun kepada ahli waris, wasiat
tidak sah kecuali apabila di ridhoi oleh semua ahli waris yang lain sesudah meninggalnya yang
berwasiat. Sabda Rasulullah SAW. Yaitu :
Dari abu Amamah, Ia berkata : “ Saya telah mendengar Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya
Allah telah menentukan hak tiap-tiap ahli waris. Maka dengan ketentuan itu tidak ada hak wasiat
lagi bagi seorang ahli wari.”(HR. Liam orang ahli hadist selain Nasai)
1) KESIMPULAN
2) SARAN
Rasululloh SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh rodliallohu ‘anhu, yaitu:
“Diriwatkan dari Abu Hurairoh rodliallohu ‘anhu sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda
“pelajarilah oleh kalian ilmu faro’id, karena sesungguhnya ilmu faro’id itu sebagian dari agama
kalian dan setengah dari seluruh ilmu. Dan sesungguhnya ilmu faro’id itu ilmu yang mula-mula
akan di cabut dari umatku”.”
Dari hadist tersebut dapat di peroleh kesimpulan bahawa ilmu faraid atau yang biasa di kenal
dengan ilmu pembagian harata waris ini sangat penting untuk di pelajari. Oleh karena itu
pengenalan dan pemahaman ilmu faraid harus lebih di tingkatkan lagi.
• Mempelajari ilmu ini juga untuk mengetahui dengan jelas orang-orang yang berhak
menerima warisan sehingga terhindar dari perselisihan dan perebutan harta
penginggalan yang meninggal.
• Mengajarkan ilmu faraid (ilmu pembagian harta waris) memang tidak mudah, metode
pengajaran yang kreatif dan inovatif sangat di perlukan kerena tidak dapat di pungkiri
bahwa ilmu faraidh sudah mulai tidak di gunakan lagi, padahal ilmu faraidh telah di
jelaskan d Al-Qur’an yang di jamin kebenarannya. Metode pengajaran yang dapat di
lakukan adalah dengan menerapkannya langsung pada kisah nyata kehidupan sehari-hari
orang-orang dalam suatu ㅤ masyarakat.ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
DAFTAR PUSTAKA
https://sayyidahchalimah07.wordpress.com/2014/06/22/makalah-hukum-waris/
http://1st-iqomah.blogspot.com/2012/02/ilmu-faroidh-ilmu-yang-pertama-kali.html
http://kobonksepuh.wordpress.com/2013/01/30/pentingnya -mempelajari-ilmu-faraidh/
Muhammad Ali ash-Sahabuni, Al-Mawaris Fisy Syari’atil Islamiyyah ‘Ala Dhau’ Al- Kitab wa
Sunnah. Terj. A.M. Basalamah “ Pembagian Waris Menurut Islam”, Jakarta: Gema Insani Press,
1995, hlm. 33
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ