Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH AGAMA

“Memahami Hukum-Hukum Waris”

Disusun Oleh Kelompok 5

Anggota:
Wulandari Febrianty S

Meli Rahmawati

Dinda Airifia

Putri Mely Andini

Silvia Rossa

XII Farmasi A

SMK Kesehatan Har-Kausyar

TP: 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada saya sehingga saya berhasil menyelesaikan makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Memahami Hukum-Hukum Waris”.
Makalah ini berisikan informasi tentang Hukum Waris. Diharapkan makalah ini dapat
memberikan informasi kepada kita semua tentang Hukum waris.Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir
kata,kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Amin.

Pematang Reba,2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan
merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya
dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Sebab semua manusia akan menglami peristiwa
hukum yang di namakan kematian. seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan
dan kelanjutan hakhak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut.
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggal nya seseorang, di atur
oleh hukum waris.

Dalam rangka memahami kaidah-kaidah serta seluk beluk hukum waris, hampir tidak dapat
dihindarkan untuk terlebih dahulu memahami beberapa istilah yang lazim dijumpai dan dikenal.
Istilah-istilah yang dimaksud tentu saja merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
pengertian hukum waris itu sendiri. Beberapa istilah tersebut beserta pengertianya seperti dapat
disimak berikut ini: (1) Waris Istilah ini bersartikan orang yang berhak menerima pusaka
(peninggalan) orang yang telah meninggal. (2) Warisan berarti harta peninggala, pusaka,dan
surat wasiat. (3) Pewaris adalah orang yang memberi pusaka,yakni oaring yang meninggal
dunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka maupun surat wasiat. (4) Ahli waris
yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang yang berhak menerima harta peninggalan
pewaris. (5) Mewarisi yaitu mendapat harta pusaka biasanya segenap ahli waris adalah mewarisi
harta peninggalan pewarisnya. (6) Proses pewarisan mempunyai dua pengertian atau dua
makna, yaitu: Berarti penerusan atau penunjukan para waris ketika pewaris masih hidup dan
berarti pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.

Namun ada tiga hukum waris yang berlaku di Indonesia, yaitu hukum waris adat, hukum waris
perdata, dan hukum waris islam . Masing-masing hukum waris itu memiliki aturan yang
berbeda-beda dan berikut penjelasannya secara umum: Hukum Waris Adat. Indonesia
merupakan negara kepulauan yang terdiri dari beragam suku bangsa, agama, dan adat-istiadat
yang berbeda satu dengan lainnya.

Hal itu mempengaruhi hukum yang berlaku di tiap golongan masyarakat yang dikenal dengan
sebutan hukum adat. Menurut Ter Haar, seorang pakar hukum dalam bukunya yang berjudul
Beginselen en Stelsel van het Adatrecht (1950), hukum waris adat adalah aturanaturan hukum
yang mengatur penerusan dan peralihan dari abad ke abad baik harta kekayaan yang berwujud
dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berikut.

Hukum adat itu sendiri bentuknya tak tertulis, hanya berupa norma dan adatistiadat yang harus
dipatuhi masyarakat tertentu dalam suatu daerah dan hanya berlaku di daerah tersebut dengan
sanksi-sanksi tertentu bagi yang melanggarnya
Oleh karena itu, hukum waris adat banyak dipengaruhi oleh struktur kemasyarakatan atau
kekerabatan. Di Indonesia hukum waris mengenal beberapa macam sistem pewarisan. Apa saja?
(a) Sistem keturunan: sistem ini dibedakan menjadi tiga macam yaitu sistem patrilineal yaitu
berdasarkan garis keturunan bapak, sistem matrilineal berdasarkan garis keturunan ibu, dan
sistem bilateral yaitu sistem berdasarkan garis keturunan kedua orang tua.

(b) Sistem Individual: berdasarkan sistem ini, setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta
warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini diterapkan pada
masyarakat yang menganut sistem kemasyarakatan bilateral seperti Jawa dan Batak.

(c) Sistem Kolektif: ahli waris menerima harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi-
bagi penguasaan ataupun kepemilikannya dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk
menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya adalah barang pusaka di suatu
masyarakat tertentu.

(d) Sistem Mayorat: dalam sistem mayorat, harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang
tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu. Misalnya kepada
anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu
sebagai kepala keluarga, seperti di masyarakat Bali dan Lampung harta warisan dilimpahkan
kepada anak tertua dan di Sumatra Selatan kepada anak perempuan tertua Hukum waris
menurut hukum perdata. Ahli waris menurut hukum waris perdata tidak dibedakan menurut
jenis kelamin layaknya dalam beberapa hukum waris adat. Seseorang menjadi ahli waris
menurut hukum waris perdata disebabkan oleh perkawinan dan hubungan darah, baik secara sah
maupun tidak. Orang yang memiliki hubungan darah terdekatlah yang berhak untuk mewaris
(Perhatikan Pasal 852 KUHPerdata).

Jauh dekatnya hubungan darah dapat dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu :

(1) Ahli waris golongan I termasuk dalam ahli waris golongan I yaitu anak-anak pewaris
berikut keturunannya dalam garis lurus ke bawah dan janda/duda. Pada golongan I
dimungkinkan terjadinya pergantian tempat (cucu menggantikan anak yang telah meninggal
terlebih dahulu dari si pewaris). Mengenai pergantian tempat ini, Pasal 847 KUHPerdata
menentukan bahwa tidak ada seorang pun dapat menggantikan tempat seseorang yang masih
hidup, misalnya anak menggantikan hak waris ibunya yang masih hidup. Apabila dalam situasi
si ibu menolak menerima warisan, sang anak bertindak selaku diri sendiri, dan bukan
menggantikan kedudukan ibunya.

(2) Ahli waris golongan II termasuk dalam ahli waris golongan II yaitu ayah, ibu, dan saudara-
saudara pewaris.

(3) Ahli waris golongan III termasuk dalam ahli waris golongan III yaitu kakek nenek dari garis
ayah dan kakek nenek dari garis ibu.

(4) Ahli waris golongan IV termasuk dalam ahli waris golongan IV yaitu sanak saudara dari
ayah dan sanak saudara dari ibu, sampai derajat ke enam.
Adapun ketentuan-ketentuan menjadi ahli waris menurut hukum waris perdata, yaitu sebagai
berikut :

(1). Memiliki hak atas harta. Ab intestato, maksudnya ahli waris yang mendapatkan bagian
menurut ketentuan yang diatur dalam undang-undang, misalnya ahli waris anak, suami, isteri,
kakek, nenek, sebagaimana diatur dalam ahli waris golongan I sampai dengan IV. Testamenter,
maksudnya ahli waris yang mendapatkan bagian berdasarkan wasiat dari pewaris yang dibuat
sewaktu hidupnya. Perhatikan ketentuan Pasal 2 KUHPerdata. Pasal 2 KUHPerdata memuat
ketentuan bahwa anak yang masih dalam kandungan ibunya, dianggap telah dilahirkan apabila
untuk kepentingan si anak dalam menerima bagian dalam harta warisan. (2). Dinyatakan patut
mewaris. Menurut Pasal 838 KUHPerdata seseorang yang dianggap tidak patut untuk mewaris
dari pewaris adalah sebagai berikut : (a) Mereka yang telah dihukum karena membunuh atau
melakukan percobaan pembunuhan terhadap pewaris. (b) Mereka yang pernah divonis bersalah
karena memfitnah pewaris telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman lima tahun atau
lebih. (c) Mereka yang mencegah pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiat. (d)
Mereka yang terbukti menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat dari pewaris.

Berikut hak-hak yang dimiliki oleh ahli waris menurut hukum waris perdata, yaitu: (1) Hak
untuk menuntut pemecahan harta peninggalan. Perhatikan ketentuan Pasal 1066 KUHPerdata.
Kesepakatan untuk tidak membagi warisan adalah dalam waktu lima tahun, setelah lima tahun
tersebut dapat diadakan kesepakatan kembali di antara para ahli waris. (2) Hak saisine.
Perhatikan ketentuan Pasal 833 KUHPerdata. Seseorang dengan sendirinya karena hukum
mendapatkan harta benda, segala hak, dan piutang dari pewaris, namun seseorang dapat
menerima atau menolak bahkan mempertimbangkan untuk menerima suatu warisan. (3) Hak
beneficiary. Perhatikan Pasal 1023 KUHPerdata. Hak beneficiary yakni hak untuk menerima
warisan dengan meminta pendaftaran terhadap hak dan kewajiban, utang, serta piutang dari
pewaris. (4) Hak hereditas petition. Perhatikan Pasal 834 KUHPerdata. Hak hereditas petitio
yakni hak untuk menggugat seseorang atau ahli waris lainnya yang menguasai sebagian atau
seluruh harta warisan yang menjadi haknya. Hukum waris islam. Wujud warisan atau harta
peninggalan menurut hukum islam sangat berbeda dengan wujud warisan menurut hukumn
waris barat dan sebagaimana diatur dalam BW maupun menurut hukum waris barat. Waris atau
harta peninggalan menurut hukum islam yaitu “sejumlah harta benda serta segala hak dari yang
meninggal dunia dalam keadaan bersih ”. artinya, harta peningalan yang di warisi oleh para ahli
waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak, “setelah dikurangi dengan pembayaran
hutang –hutang pewaris dan pembayran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si
peninggal warisan.

Sistem kewarisan islam menurut Al-Qur‟an sesungguhnya merupakan perbaikan dan


perubahan dari prinsip-prinsip hukum waris yang berlaku di negeri Arab sebelum islam, dengan
system kekeluargaanya yang patrilineal.pada dasarnya sebelum islam telah dikenal tiga prinsip
pokok dalam hukum waris islam,yaitu:

(1) Anggota keluarga yang berhak mewaris pertama adalah kaum kerabat laki-laki dari pihak
bapak yang terdekat atau disebut ashab ah, (2) Pihak perempuan dan anggota keluarga dari garis
ibu,tidak mempunyai hak waris. (3) Keturunya yaitu anak,cucu, canggah, pada dasarnya lebih
berhak mewarisi dari pada leluhur pewaris, yaitu, ayah, kakak,maupun buyut.
Setelah islam datang,Al-Qur‟an membawa perubahan dan perbaikan terhadap ketiganya prinsip
diatas sehingga pokok-pokok hukum waris islam dalam Al-Qur‟an sebagaimana di tentukan
dlam surat An-Nissa.

Dalam sistem hukum waris islam menurut Al-Qur‟an yang merupakan hukum waris
bilateral,disamping dikenalnya ahli waris dzul faraa‟idh yang bagianya tetap,tertentu serta tidak
berubah-ubah dari waris ashabah dan ahli waris dzul arhaam. Kedua macam ahli waris terxsebut
memperoleh bagian sisa dari harta peninggalan setelah dikurangi hutang-hutang pewaris
termasuk ongkosongkos biaya kematian Disamping itu semua, dikenal pula kelompok
keutamaan ahli waris, yaitu “ahli waris yang didahulukan untuk mewaris” dari kelompok ahli
waris yang lainya.

Mereka yang menurut al-quran termasuk kelompok yang didahulukan untuk mewaris atau
disebut dengan “kelompok keutamaan “ terdiri atas empat macam, yaitu: (a) Keutamaan
pertama, yaitu: 1). Anak, baik laki-laki maupun perempuan, atau ahli waris pengganti
kedudukan anakan anak yang meninggal dunia. 2) Ayah, ibu, dan duda atua janda, bila tidsk
terdapat anak. (b) Keutamaan kedua : 1) Saudara, baik laki-laki maupun perempuan, atau ahli
waris pengganti kedudukan saudara. 2) Ayah, ibu, dan janda atau duda, bila tidak ada saudara.
(c) Keutamaan ketiga: 1) Ibu dan ayah, bila ada keluarga, ibu dan ayah bila salah satu, bila tidak
ada anak dan tidak ada saudara. 2) Janda atau duda. (d) Keutaman keempat: 1) Janda atau duda.
2) Ahli waris pengganti kedudukan ibu dan ahli waris pengganti kedudukan ayah.6 Ahli waris
pengganti pada umumnya diberi makna, orang yang tampil sebagai ahli waris karena
menggantikan kedudukan orang tuanya yang meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris, tanpa
membedakan apakah orang yang meninggal itu laki-laki atau perempaun. Mengenai istilah ahli
waris pengganti, Raihan A. Rasyid1 membedakan antara orang yang disebut “ahli waris
pengganti” dan “pengganti ahli waris”. Menurutnya, ahli waris pengganti adalah orang yang
sejak semula bukan ahli waris tetapi karena keadaan tertentu ia menjadi ahli waris dan
menerima warisan dalam status sebagai ahli waris.

Misalnya, pewaris tidak meninggalkan anak tetapi meninggalkan cucu laki-laki atau perempuan
dari anak laki-laki. Sedangkan pengganti ahli waris adalah orang yang sejak semula bukan ahli
waris tetapi karena keadaan tertentu dan pertimbangan tertentu mungkin menerima warisan
namun tetap dalam status bukan sebagai ahli waris. Misalnya, pewaris meninggalkan anak
bersama cucu baik laki-laki maupun perempuan yang orang tuanya meninggal lebih dahulu
daripada pewaris. Keberadaan cucu disini sebagai pengganti ahli waris. Apa yang disebut
dengan plaatsvervulling dalam KUHPerdata, dan apa yang disebut wasiat wajibah dalam
undang-undang Mesir serta apa yang diatur pasal 185 KHI oleh Raihan A.Rasyid dinamakan
pengganti ahli waris, bukan ahli waris pengganti. Terlepas dari sebutan mana yang tepat, yang
pasti dalam KHI digunakan sebutan ahli waris pengganti dan dalam tulisan ini digunakan
sebutan ahli waris pengganti.
Dalam KUHP perdata dikenal tiga macam penggantian (representatie) yaitu: penggantian dalam
garis lurus ke bawah tiada batas, penggantian dalam garis ke samping dan penggantian dalam
garis ke samping menyimpang. Ahli waris pengganti dalam KUHPerdata menduduki kedudukan
orang tuanya secara mutlak. Artinya, segala hak dan kewajiban orang tuanya yang berkenaan
dengan warisan beralih kepadanya. (a) Penggantian Dalam Garis Lurus ke Bawah. Setiap anak
yang meninggal dunia lebih dahulu digantikan oleh anak-anaknya, demikian pula jika di antara
pengganti-penggantinya itu ada yang meninggal lebih dahulu lagi, maka ia digantikan oleh
anak-anaknya, begitu seterusnya, dengan ketentuan bahwa semua keturunan dari satu orang
yang meninggal lebih dahulu tersebut harus dipandang sebagai suatu cabang (staak) dan
bersama-sama memperoleh bagiannya orang yang mereka gantikan.

Seseorang yang karena suatu sebab telah dinyatakan tidak patut menjadi ahli waris(onwaardig),
atau orang yang menolak warisan (onterfd), maka anak-anaknya tidak dapat menggantikan
kedudukannya karena ia sendiri masih hidup. Apabila tidak ada anak selain dari yang
dinyatakan tidak patut menerima warisan, atau menolak warisan, maka anak-anaknya dapat
tampil sebagai ahli waris, tetapi bukan karena menggantikan kedudukan orang tuanya
(plaatsvervulling) melainkan karena kedudukannya sendiri (uit eigen hoofde). (b) Penggantian
Dalam Garis ke Samping. Apabila saudara baik saudara kandung maupun saudara tiri pewaris
meninggal lebih dahulu, maka kedudukannya digantikan oleh anak-anaknya. Jika anak-anak
saudara telah meninggal maka digantikan keturunanya, begitu seterusnya. (c) Penggantian
Dalam Garis ke Samping Menyimpang.

Dalam hal yang tampil sebagai ahli waris itu dari angota-anggota keluarga yang lebih jauh
tingkat perhubungannya daripada saudara, misalnya paman atau keponakan, dan mereka ini
meninggal lebih dahulu, maka kedudukannya digantikan oleh keturunanya sampai keturunan
keenam. Seperti telah dikemukakan terdahulu, bahwa dalam KHI memperkenalkan ahli waris
baru yang selama ini tidak dikenal dalam fiqh salafi yaitu ahli waris pengganti. Dalam pasal 185
ayat (1) disebutkan : Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris, maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.
Dalam ayat (2) nya disebutkan: “Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari
bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti”.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut diatas,maka dapat di tarik beberapa permaslahan didalam penulisan
ini yaitu :

1. Bagaimana prosedur pelaksanaan tentang ahli waris pengganti di pengadilan agama


semarang.

2. Apakah ahli waris pengganti menduduki kedudukan orang tuanya secara mutlak atau secara
relative.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan penelitian diatas yang membahas masalah ahli waris pengganti, maka dirumuskan
tujuan penilitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis tentang prosedur pelaksanaan ahli waris pengganti di
pengadilan agama semarang.

2. Untuk mengetahui kedudukan ahli waris pengganti terhadap kedudukan orang tuanya secara
mutlak atau secara relative.

D. Kegunaan Penelitian

1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapdapat menjadi saran untuk memperdalampengetahuan


ilmu hukum tentang ahli waris pengganti dalam kewarisan islam.
2. Secara Praktis

a. Bagian praktisi hukum dan masyarakat

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh suatu pemikiran yang dapat
disumbangkan pada praktisi hukum dan masyarakat mengenai ahli waris pengganti dalam
kewarisan islam.

b. Bagi kepentingan mahasiawa itu sendiri

Menambah pengalaman, wawasan dan pengetahuan sehingga nantinya dapat berpartisipasi


dalam pelaksanaanya pembanguna nasional, khususnya dlam ilmu hukum agar terwujud suatu
masyrakat adil dan makmur berdasrkan Pancasila dan undang-undang 1945.

E. Kerangka konseptual

Hukum Kewarisan Islam Suatu definisi, biasanya dikemukakan untuk mendalami bidang yang
didefisikan itu, artinya mempelajari sesuatu tak cukup hanya mengetahui definisi sesuatu itu.
Begitu juga dengan hukum kewarisan, definisi - definisi yang diuraikan dibawah ini
memberikan gambaran mengenai hukum kewarisan, sehingga suatu definisi merupakan langkah
awal yang perlu dan penting sebelum mempelajari dan membahas tentang hukum kewarisan. 1.
Pengertian Hukum Kewarisan Islam Hukum yang mengatur tentang peralihan harta warisan dari
pewaris kepada ahli waris dinamakan hukum kewarisan, yang dalam hukum Islam dikenal
dengan beberapa istilah seperti : faraidl, Fiqih Mawaris, dan lain-lain, yang kesemua
pengertiannya oleh para fuqaha (ahli hukum fiqh) dikemukan sebagai berikut:

a) Hasbi Ash-Shiddieqy, hukum kewarisan adalah : Suatu ilmu yang dengan dialah dapat kita
ketahui orang yang menerima pusaka, orang yang tidak menerima pusaka, serta kadar yang
diterima tiap-tiap waris dan cara membaginya.

b) Abdullah Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Ilmu fara‟id ialah : Ilmu yng mempelajari
kaidah-kaidah fikih dan ilmu hitung yang berkaitan dengan harta warisan dan orang-orang yang
berhak yang mendapatkannya agar masing-masing orang yang berhak mendapatkan bagian
harta warisan yang menjadi haknya.

c) Ahmad Zahari, Hukum kewarisan Islam yaitu : Hukum yang mengatur tentang peralihan hak
milik atas harta warisan dari pewaris kepada orang-orang yang berhak menerimanya (ahli
waris), barapa besar bagiannya masingmasing, kapan dan bagaimana cara peralihannya sesuai
ketentuan dan petunjuk Al-Qur‟an, hadist dan ijtihad para ahli.

Dari defisini-definisi di atas dapatlah dipahami bahwa ilmu faraid sebagai ilmu yang mengatur
tentang pemindahan dan pembagian harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia
kepada orangorang yang masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkan, orang-orang yang
berhak menerimanya (ahli waris), bagian masingmasing ahli waris maupun cara penyelesaian
pembagiannya. Kompilasi Hukum Islam yang tertuang dalam format perundangundangan yang
mengatur ketentuan kewarisan dipakai sebagai pedoman dalam hukum kewarisan Islam

2. Syarat-syarat mewaris

Sebelum seseorang mewaris haruslah dipenuhi tiga syarat yaitu :

a) Meninggal dunianya pewaris Meninggalnya pewaris mutlak harus dipenuhi karena seseorang
baru disebut pewaris setelah dia meninggal dunia yang berarti jika seseorang memberikan
hartanya kepada ahli waris ketika dia masih hidup itu bukan waris. Meninggal dunia atau mati
dapat dibedakan :

(1) Mati haqiqy (sejati), adalah kematian yang dapat disaksikan oleh panca indra.

(2) Mati hukumya (menurut putusan hakim), yaitu kematian yang disebabkan adanya putusan
hakim, baik orangnya masih hidup maupun sudah mati.

(3) Mati taqdiry (menurut dugaan), yaitu kematian yang didasarkan ada dugaan yang kuat
bahwa orang yang bersangkutan telah mati.

b) Hidupnya ahli waris Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal dunia
karena seseorang akan mewaris jika dia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia. Ahli
waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan oleh pewaris,
perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan.

c) Tidak ada penghalang-penghalang untuk mewaris. Tidak terdapat salah satu dari sebab
terhalangnya seseorang untuk menerima warisan
3. Sebab-sebab orang mewaris

Harta orang yang telah meninggal dunia dengan sendirinya berpindah kepada orang yang masih
hidup yang mempunyai hubungan dengan orang yang meninggal tersebut. Hubungan yang
dimaksud adalah yang menyebabkan orang menerima warisan, yaitu:

a) Hubungan Kekerabatan Hubungan kekerabatan adalah hubungan yang ditentukan oleh


adanya hubungan darah yang ditentukan pada saat adanya kelahiran.37 Hubungan kekerabatan
dalam garis lurus kebawah (anak, cucu dan seterusnya), garis lurus keatas (ayah, kakek dan
seterusnya), maupun garis kesamping (saudara-saudara) dan mereka saling mewaris satu sama
lainnya sesuai dengan ketetapan Allah dalam AlQur‟an, baik dari garis laki-laki/ayah maupun
dari garis perempuan/ibu.

b) Hubungan Perkawinan Hak saling mewaris antara suami istri yang disebabkan adanya
hubungan hukum yaitu perkawinan. Berlakunya hubungan kewarisan antara suami isteri
didasarkan pada :

(1) Adanya akad nikah yang sah. Keduanya masih terikat perkawinan ketika salah satu
meninggal dunia, termasuk juga isteri yang dalam masa iddah setelah di talak raji‟i.

(2) Hubungan Wala adalah hubungan antara seorang hamba dengan orang yang
memerdekakannya, orang yang memerdekakan hamba dapat mewarisi harta hamba yang
dimerdekakannya, berdasarkan ketentuan Rasul/Hadis.

(3) Hubungan Seagama Hak saling mewaris sesama umat Islam yang pelaksanaannya melalui
Baitulmaal. Hubungan ini terjadi apabila seorang Islam meninggal dunia tidak mempunyai ahli
waris, sehingga hartanya diserahkan ke Baitulmaal untuk digunakan oleh umat Islam.8 4.
Kompilasi Hukum Islam Hukum dalam kewarisan islam adalah hukum yang mengatur segala
sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang
setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya.

Dalam kompilasi hukum islam bab II mengatur tentang hukum kewarisan, di dalam mengatur
mengenai salah satunya adalah ahli waris dan pembagianya masing-masing. Berikut ini
dijelaskan asas-asas yang digunakan dalam hukum kewarisan dalam kompolasi hukum islam
sebagai beriku: a) Asas bilateral/parental, yang tidak membedakan antara ahli waris lakilaki
dengan perempuan dari segi keahliwarisan, sehingga tidak mengenal dzawil arham. Asa ini
didasarakan atas: Asas ahli waris langsung dan ahli waris pengganti, yaitu (1) ahli waris
langsung adalah ahli waris yang disebut pasal 174 kompilasi hukum islam (KHI), dan (2) ahli
waris pengganti (plaatsvevulling) adalah ahli waris yang diatur berdasarkan pasal 185 KHI,
yaitu ahli waris pengganti/keturunan dari ahli waris yang disebut pasal 174 KHI.

Diantaranya keturunan dari anak laki-laki dan anak perempuan,keturunan dari saudra
lakilaki/perempuan, keturunan dari paman, keturunan dari kakek dan nenek, yaitu bibi dan
keturunanya (paman walaupun keturunan kakek dan nenek bukan ahli waris pengganti karena
paman sebagai ahli waris langsung yang disaebut pada pasal 174 KHI. Pasal 185 kompilasi
hukum islam (KHI) Mmenyatakan : (1) ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari sipewaris
maka kedudukanya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut pasal 173.(2)
bagia ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang
diganti. Pasal tersebut mnegatur ahli waris pengganti, sehingga cucu dari anak perempuan,anak
perempuan dari saudara laki-laki dan anak perempuan / anak laki-laki dari saudara perempuan,
bibi dari ayah dan bibi dari ibu serta keturunan dari bibi adalah ahli waris b) Asas ahli waris
langsung dan ahli waris pengganti, yaitu (1) ahli waris langsung adalah ahli waris yang disebut
pasal 174 kompilasi hukum islam (KHI), dan (2) ahli waris pengganti (plaatsvevulling) adalah
ahli waris yang diatur berdasarkan pasal 185 KHI, yaitu ahli waris pengganti/keturunan dari ahli
waris yang disebut pasal 174 KHI. Diantaranya keturunan dari anak laki-laki dan anak
perempuan,keturunan dari saudra laki-laki/perempuan, keturunan dari paman, keturunan dari
kakek dan nenek, yaitu bibi dan keturunanya (paman walaupun keturunan kakek dan nenek
bukan ahli waris pengganti karena paman sebagai ahli waris langsung yang disaebut pada pasal
174 KHI. c) Asas ijbari, artinya artinya pada saat seorang meninggal dunia,kerabatnya (atas
pertalian darah dan pertalian perkawinan) langsung menjadi ahli waris,karena tidak ada hak bagi
kerabat tersebut untuk menolak sebagai ahli waris atau berfikir lebih dahulu, apakah akan
menolak sebagai ahli waris atau menerima sebagai ahli waris. Asa ini berbeda dengan ketentuan
dalam kitab undang-undang hukum perdata (KHUP) yang menganut asas pilihan (takhayyur)
untuk menolak sebagai ahli waris atau menerima sebagai ahli waris (pasal 1023 KUHPerdata)

BAB II
KEWARISAN DALAM ISLAM

A. Pengertian Kewarisan Islam Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata waris berarti
Orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal.

1.Di dalam bahasa Arab kata waris berasal dari kata ‫ورثا‬-‫يرث‬-‫ ورث‬yang artinya adalah Waris.
Contoh, ‫ ورث اباه‬yang artinya Mewaris harta (ayahnya).

2 Waris menurut hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan
yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya.

3 dan juga berbagai aturan tentang perpidahan hak milik, hak milik yang dimaksud adalah
berupa harta, seorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain
waris disebut juga dengan fara‟id. Yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama
Islam kepada semua yang berhak menerimanya dan yang telah di tetapkan bagianbagiannya.

4 Adapun beberapa istilah tentang waris yaitu : 1. Waris adalah orang yang termasuk ahli waris
yang berhak menerima warisan. Ada ahli waris yang sesungguhnya yang memiiki hubungan
kekerabatan yang dekat akan tetapi tidak berhak menerima warisan.

Dalam fiqih mawaris, ahli waris semacam ini disebut ini disebut Zawil alarham. Hak-hak Waris
bisa ditimbulkan karena hubungan darah, karena hubungan perkawinan, dan karena akibat
memerdekakan hamba. Mawarrits, ialah orang yang diwarisi harta benda peninggalan. Yaitu
orang yang meninggal baik itu meninggal secara hakiki, secara taqdiry (perkiraan), atau melalui
keputusan hakim. Seperti orang yang hilang (al-mafqud), dan tidak tahu kabar beritanya
setelah melalui pencaharian dan persaksian, atau tenggang waktu tertentu hakim
memutuskan bahwa ia dinyatakan meninggal dunia melalui keputusan hakim.

3. Al-Irts, ialah harta warisan yang siap dibagi kepada ahli waris sesudah diambil untuk
keperluan pemeliharaan zenazah (tajhiz al-janazah), pelunasan utang, serta pelaksanaan
wasiat.

4. Waratsah, ialah harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris. Ini berbeda dengan harta
pusaka yang di beberapa daerah tertentu tidak bisa dibagi-bagi, karena menjadi milik kolektif
semua ahli waris.

5. Tirkah, ialah semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk
kepentingan pemeliharaan zenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiyat yang dilakukan
oleh orang yang meninggal ketika masih hidup.

6 .Hukum Mempelajari dan Mengajarkan Fiqih Mawaris Agama Islam mengatur ketentuan
pembagian warisan secara rinci dalam al-Qur’an agar tidak terjadi Perselisihan antara sesama
ahli waris. agama Islam menghendaki dan meletakkan prinsip adil dan keadilan sebagai salah
satu sendi pembentukan dan pembinaan masyarakat dapat ditegakkan Ketentuan teresebut
tidak dapat berjalan dengan baik dan efektif, apabila tidak ditunjang oleh tenaga para ahli yang
memahami secara mendalam dan dapat melaksanakan ketentua-ketentuan teresebut dengan
baik. Untuk itu keberadaan orang-orang yang mempelajari hukum waris merupakan
keniscayaan. Para ulama berpendapat mempelajari dan mengajarkan fiqih mawaris adalah
wajib kifayah artinya suatu kewajiban yang apabila telah ada sebagian orang yang
mempelajarinya, maka dapat menggugurkan kewajiban semua orang. Akan tetapi apabila tidak
ada seorang pun yang mempelajarinya maka semua orang dalam lingkungan itu akan
menanggung dosa ini sejalan dengan perintah Rasulullah Saw, agar ummatnya mempelajari
dan mengajarkan ilmu waris, sebagaimana perintah untuk mempelajari dan mengajarkan al-
Qur’an. 7 Artinya:“ pelajarilah oleh kalian al-Qur‟an, dan ajarkanlah kepada orang lain, dan
pelajarila pula ilmu faraid, dan ajarkan kepada orang lain. Karena aku adalah orang yang akan
terenggut(mati) sedang ilmu akan dihilangkan. Hampir saja dua orang yang bersengketa
tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorangpun yang memberikan fatwa, kepada
mereka.”(HR. Ahmad, al-Nasa’i dan al-Daruqtny).8 Hadis di atas menempatkan perintah untuk
mempelajari dan mengajarkan ilmu waris sejalan dengan perintah untuk mempelajari dan
mengajarkan al-Qur’an.

Ini tidak lain dimaksudkan, untuk menunjukan bahwa ilmu tentang waris merupakan salah satu
ilmu yang sangat penting dalam rangka mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Naluri
manusia memiliki kecendrungan materialistik, serakah, tidak adil, dan kadang memetingkan
diri sendiri, maka mempelajari ilmu faraid, sangatlah perlu. Oleh karena itu mempelajari dan
mengajarkan Fiqih mawaris yang semula fardu kifayah karena alasan tertentu menjadi fardu
„ain, terutama bagi orang –orang yang bagi masyarakat dipandang sebagai pemimpin atau
panutan, terutama pemimpin keagamaan.

C. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam. Dalam kewarisan Islam ada beberapa asas yang
berkaitan dengan peralihan harta kepada ahli warist, cara pemililkan harta oleh yang
menerima kadar jumlah harta dan waktu terjdinya peralihan harta. Asas-asas tersebut yaitu: 1.
Asas Ijbari Asas Ijbari ialah pengalihan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli
warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah. Tanpa digantungkan kepada
kehendak pewaris dan ahli warisnya dan asas ini dapat dilihat dari berbagai segi yaitu:

a. Dari segi pewaris, mengandung arti bahwa sebelum meninggal ia tidak dapat menolak
peralihan harta tersebut. Apa pun kemauan pewaris terhadap hartanya, maka kemauannya
dibatasi oleh ketentuan yang di tetapkan oleh Allah. Oleh karena itu sebelum meninggal Ia
tidak perlu memikirkan atau merencanakan sesuatu terhadap hartanya, kerena dengan
meninggalnya seseorang secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya.

b. Dari segi peralihan harta, mengandung arti bahwa harta orang yang meninggal itu beralih
dengan sendirinya, bukan dialihkan oleh siapa-sapa kecuali oleh Allah. Oleh karena itulah
kewarisan dalam Islam diartikan dengan peralihan harta, bukan pengalihan harta karena pada
peralihan berarti beralih dengan sendirinya sedangkan pada kata pengalihan ialah usaha
seseorang.

c. Dari segi jumlah harta yang beralih, dari segi jumlah dapat dilihat dari kata “mafrudan”
secara etimologis berarti telah ditentukan atau telah diperhitungkan, kata-kata tersebut dalam
terminologi Ilmu Fikih, berarti sesuatu yang telah diwajibkan Allah kepadanya, yaitu berarti
bagian waris sudah ditentukan.
d. Dari segi penerima peralihan harta itu, yaitu bahwa penerima harta, dan mereka yang
berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti.

2. Asas Bilateral

Yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam adalah seseorang
menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu dari garis keturunan
perempuan maupun keturunan laki-laki. Untuk lebih jelasnya asas bilateral in dapat dilihat
dalam surah an-Nisa ayat :7, dan 11. Dalam ayat 7 dijelaskan dikemukakan bahwa seorang laki-
laki berhak memperoleh warisan dari pihak ayahnya maupun ibunya. Begitu juga dengan
perempuan mendapat warisan dari kedua belah pihak orang tuanya. Ayat ini merupakan dasar
bagi kewarisan bilateral selanjutnya di pertegas dalam surah an-Nisa: 11

3. Asas Individual Yang dimaksud asas individual ini adalah, setiap ahli waris (secara individu)
berhak atas bagian yang didapatkan tanpa terikat kepada ahli waris lainya. Dengan demikian
bagian yang diperoleh oleh ahli waris secara individu berhak mendapatkan semua harta yang
telah menjadi bagianya. Ketentuan ini dapat dijumpai dalam ketentuan Alquran surat an-Nisa
ayat 7 yang secara garis besar menjelaskan bahwa anak laki-laki 22 maupun prempuan berhak
meerima warisan dari orang tuanya dan karib kerabatnya, terlepas dari jumlah haran yang
yang telah ditentukan .yang mengemukakan bahwa bagian masing-masing ahli waris
ditentukan.

4. Asas Keadilan Berimbang Yang dimaksud asas keadilan berimbang adalah keseimbangan
antara antara hak dengan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan
kebutuhan dan kegunaan. Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa faktor jenis
kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan.

5. Kewarisan Akibat Kematian Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan
harta hanya semata-mata karena adanya kematian. Dengan perkataan lain harta seseorang
tidak dapat beralih apabila belum ada kematian. Apabila pewaris masih hidup maka peralihan
harta tidak dapat dilakukan dengan pewarisan.

D. Sumber-Sumber Hukum kewarisan Islam Ada beberapa Sumber hukum ilmu faraidh adalah
alQur’an, as- Sunnah Nabi saw, dan ijma para ulama

1. Al-Qur’an Dari sumber hukum yang pertama al-Qur’an, setidaknya ada tiga ayat yang
memuat tentang hukum waris. Ada beberapa ayat yang berkaitan dengan kewarisan yaitu:
tersebut dalam surat An-Nisa ayat 11:

2. Hadis Ada beberapa hadis yang menerangkan tentang pembagian harta waris antara lain:
Artinya: dari Ibnu Abbas ra. Nabi Muhammad Saw bersabda” berikanlah harta pusaka kepada
orangorang yang berhak sesudah itu sisanya untuk laki-laki yang lebih utama.(Hr.Muslim).

3. Ijma dan Ijtihad Para sahabat, tab‟in, generasi pasca sahabat dan tabi‟it tabi‟in dan generasi
pasca tabi‟in. Telah berijma atau bersepakat tentang legalitas ilmu faraid dan tidak ada yang
dapat menyalahinya.19 Imamimam mazhab yang berperan dalam pemecahanpemecahan
masalah waris yang belum dijelaskan dalam nash-nash shorih.

I. Kewarisan Menurut KHI ( Kompilasi Hukum Islam)

1. Ahli waris Menurut pasal 172 KHI yang disebut ahli waris “ ahli waris dipandang beragama
Islam apabila diketahui dari Kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian,
sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut
ayahnya atau lingkungannya. Kemudian menurut Pasal 173 Seorang terhalang menjadi ahli
waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
dihukum karena:

a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para
pewaris.

b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah


melakukan suatu kejahatan yang diancam 41 dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman
yang lebih berat. Kelompok Ahli Waris Adapun mengenai kelompok ahli waris ditentukan pada
Pasal 174 yaitu a. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

1) Menurut hubungan darah: a) golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-
laki, paman dan kakek.

b) Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda. Apabila semua ahli waris ada,
maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda.

Besarnya Bagian Adapun mengenai besarnya bagian dalam Pasal 176 dijelaskan bahwa” Anak
perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka
bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama
dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak
perempuan. Selanjutnya pada Pasal 177 mengenai bagian yang didapat ayah , Ayah mendapat
sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat
seperenam bagian. Pada Pasal 178

a. Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada
anak 34 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, ( Jakarta: CV. Akademika Pressindo thn
2007)atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian

b. Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila
bersamasama dengan ayah.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Hukum kewarisan Islam merupakan satu dari sekian banyak hukum Islam yang terpenting.
Hukum warisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa saja orang yang bisa mewarisi dan
tidak bisa mewarisi dan tidak bisa mewarisi bagianbagian yang diterima setiap ahli waris dan
caracara pembagiannya. Dalam hukum kewarisan Islam penerima harta warisan di dasarkan
pada asas Ijbari, yaitu harta warisan pindah dengan sendirinya menurut ketentuan Allah SWT
Tanpa digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli waris.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah sekumpulan materi Hukum Islam yang ditulis pasal demi
pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri atas tiga kelompok materi hukum yaitu hukum kewarisan (70
pasal), hukum kewarisan termasuk wasiat dan hibab (44 pasal) dan hukum perwakafan (14
pasal) , ditambah satu pasal 1 Ah. Rofiq, hukum Islam di Indonesia , jakarta : PT. Raja grafindo
persada , 200 hl 356 1 2 ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut
KHI disusun melalui jalan yang sanagat panjang dan melelahkan kareana pengaruh perubahan
sosial politik terjadi di negeri ini pada masa ke masa.2 Akan tetapi dalam pelaksanannya hukum
kewarisan Islam perlu mendapatkan perhatian yang besar, karena dalam pembagaian warisan
antara hak waris yang satu dengan yang lain saling berkaitan. Pembagian warisan sering
menimbulkan akibatakibat yang tidak jarang menimbulkan perselisihan diatara anggota
keluarga yang berkepanjagan karena secara naluriah manusia sangat mecintai harta yang
dijelaskan dalam surat (QS. A l-Imran ayat 14)

B. SARAN

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, hal ini disebabkan karena
keterbatasan ilmu yang melekat dalam diri saya. Oleh karena itu saran dan kritikan akan
makalah dari pembaca sangat membantu dalam penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI

Kata pengantar……………………………………………………………………………………2

BAB I……………………………………………………………………………………………3

Rumusan masalah………………………………………………………………………………..8

Tujuan penelitian…………………………………………………………………………………8

Kegunaan penelitian……………………………………………………………………………8

Kerangka konseptual……………………………………………………………………………..8

BAB II………………………………………………………………………………………….13

BAB III……….……………………………………………………………………………..16

Anda mungkin juga menyukai