Hukum Perdata
Pembagian harta waris menurut hukum perdata umumnya digunakan oleh mereka
yang beragama selain islam. Berikut ulasannya.
Di Indonesia, ada tiga jenis hukum waris yang digunakan dalam pembagian warisan, yakni
hukum waris Islam, hukum waris adat, dan hukum perdata atau KUH Perdata. Pembagian
harta waris menurut hukum perdata atau KUH Perdata merupakan cara pembagian waris
yang umumnya dilakukan oleh mereka yang bukan beragama Islam.
Dari definisi tersebut, Prodjodikoro menjelaskan bahwa ada tiga unsur yang dapat ditarik dari
pembahasan tentang pembagian harta waris menurut hukum perdata:
Baca juga:
Aturan Hukum Ahli Waris Menerima Utang Piutang dari Pewaris yang Sudah
Meninggal
Hak Waris Cucu Bila Orang Tua Sudah Wafat Sebelum Pewaris
Aturan Hukum Ahli Waris Tolak Warisan dan Prosedur Menolak Warisan
Pembagian harta waris menurut hukum perdata merupakan cara pembagian waris tertua yang
ada di Indonesia. Diterangkan Indah Sari dalam Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, hukum
waris perdata merupakan hukum yang tertua di Indonesia karena didasarkan kepada BW
atau Burgerlijk Wetboek voor Indonesie yang diberlakukan sejak 1848 dengan asas
konkordansi.
Asas tersebut bermakna apapun peraturan yang diberlakukan di Belanda, diberlakukan pula
di daerah jajahannya, termasuk Hindia Belanda (Indonesia). Lalu, bagaimana pembagian
harta warisnya? Penting untuk diketahui bahwa hukum waris perdata tidak membedakan
besaran waris bagi laki-laki atau perempuan.
Dalam hukum waris perdata, hak laki-laki dan perempuan dalam hal waris dinilai setara. Hak
waris diutamakan kepada keluarga, baik sedarah atau karena perkawinan.
Untuk mempermudah pemahaman mengenai pembagian harta waris menurut hukum perdata,
berikut sejumlah ciri-ciri hukum waris perdata sebagaimana diterangkan Indah Sari dalam
penelitiannya.
Pembagian harta warisan menurut KUH Perdata hanya dapat terjadi karena kematian.
Diterangkan Wahyono Darmabrata (dalam Nugroho, 2017:68), pembagian harta waris
menurut hukum perdata dapat dilakukan dengan dua cara, antara lain:
Ada empat golongan dalam pembagian harta waris menurut hukum perdata. Diterangkan
dalam Empat Golongan Ahli Waris Menurut KUH Perdata, penggolongan tersebut
menunjukkan ahli waris yang urutannya didahulukan. Atau dengan kata lain, jika ada
golongan pertama, maka golongan di bawahnya tidak dapat mewarisi harta warisan yang
ditinggalkan.
Golongan I terdiri dari suami atau istri yang ditinggalkan, anak-anak sah, serta
keturunannya.
Golongan II terdiri dari ayah, ibu, saudara, dan keturunan saudara.
Golongan III terdiri dari kakek, nenek, dan saudara dalam garis lurus ke atas.
Golongan IV terdiri dari saudara dalam garis ke samping, misalnya paman, bibi,
saudara sepupu, hingga derajat keenam.
Pembagian harta waris menurut hukum perdata merupakan pembagian waris yang didasarkan
pada KUH Perdata. Dalam hukum waris ini, ada empat golongan waris. Jika ahli waris di
golongan satu tidak ada, warisan akan diberikan kepada golongan dua, dan seterusnya.
Dalam Pasal 830 KUHPerdata yang ditentukan sebagai ahli waris adalah:
a. Para keluarga sedarah, baik syah maupun luar kawin (Pasal 852 perdata)
b. Suami atau istri yang hidup terlama Berdasarkan penafsiran ahli waris menurut
UU dibagi kedalam 4 (empat) golongan:
– Golongan pertama, terdiri dari suami/istri dan keturunannya;
– Golongan kedua, terdiri dari orang tua, saudara, dan keturunan saudara;
– Golongan ketiga, terdiri dari sanak keluarga lain-lainnya;
– Golongan keempat, terdiri dari sanak keluarga lainnya dalam garis menyimpang
sampai dengan derajat keenam.
Jadi, pembagian waris menurut sistem hukum perdata ini yang diutamakan adalah
golongan pertama sebagai ahli waris yang berhak menerima warisan. Pembagian
warisan menurut hukum perdata tidak membedakan bagian antara laki-laki dan
perempuan. Dengan demikian dalam dilakukan secara seimbang.
Sistem keturunan: pewaris berasal dari keturunan bapak atau ibu ataupun
keduanya.
a. Sistem individual: setiap ahli waris mendapatkan bagisannya masing-masing.
b. Sistem kolektif: ahli waris menerima harta warisan tetapi tidak dapat dibagi-
bagikan penguasaan ataupun kepemilikannya. Setiap ahli waris hanya mendapatkan
hak untuk menggunakan ataupun mendapatkan hasil dari harta tersebut.
c. Sistem mayorat: harta warisan diturunkan kepada anak tertua sebagai pengganti
ayah dan ibunya.
Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu
menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris sebagaimana disebut
dalam alinea kedua dari pasal 1066 KUHPerdata atau juga menurut hukum waris
Islam. Akan tetapi jika si waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan
ia berhak mendapat waris, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk
dapat menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat
dengan para waris lainnya.
Pada intinya pembagian warisan berdasarkan Hukum Waris Adat sangat beragam
tergantung ketentuan suatu Adat tersebut dengan tetap memperhatikan prinsip
keadilan antara para ahli waris.