Anda di halaman 1dari 13

PERBANDINGAN HUKUM WARIS

BERDASARKAN SISTEM HUKUM INDONESIA DAN BELANDA

Baik negara Indonesia maupun Belanda, pengertian hukum waris tidak


dijelaskan dalam KUHPerdata dan NBW, sehingga pengertian atau definisi
mengenai hukum waris diberikan oleh para ahli hukum Indonesia.
Menurut Supomo, hukum waris adalah peraturan-peraturan yang mengatur
proses meneruskan serta mengoper barang-barang yang tidak berwujud benda
(immateriele goederen) dari suatu angklatan manusia (generasi) kepada
keturunannya.
Menurut Wiryono Prodjodikoro menyatakan bahwa hukum waris adalah
hukum yang mengatur tentang kedudukan harta kekayaan seseorang setelah ia
meninggal dunia dan cara-cara berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang
lain.
Upaya membandingkan hukum Indonesia dengan hukum Belanda tentang
hukum waris dikarenakan antara hukum Indonesia dengan hukum Belanda
memiliki persamaan dalam sistem hukumnya, yaitu sama-sama menganut sistem
hukum Eropa Kontinental, walau demikian ada beberapa hal yang membedakan.

1. Sumber hukum waris Belanda dan Indonesia


Sumber hukum waris Belanda berdasarkan KUHPerdata Belanda, yaitu
Netherland Burgerlijk Wetboek (NBW) terdiri atas 8 buku. Buku ke-4 judulnya
adalah Hukum Waris dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2003
menggantikan undang-undang lama yang berasal dari tahun 1838.
Sumber hukum waris Indonesia terdapat pada Bukum II KUHPerdata tentang
Kebendaan. Pasal yang mengatur tentang waris terdiri dari 300 pasal, mulai dari
Pasal 830 sampai Pasal 1130 KUHPerdata. Disamping itu juga diatur dalam Inpres
Nomor. 1 Tahun 1991 dan dalam Hukum Waris Islam serta Hukum Waris Adat.
2. Unsur-unsur dalam hukum waris Belanda dan Indonesia
Dalam membicarakan hukum waris ada 3 hal yang perlu diperhatikan,
seperti:
a. Orang yang meninggal dunia atau pewaris meninggalkan hak dan kewajiban
kepada orang lain yang berhak menerimanya. Menurut Pasal 830 KUHPer,
pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Pasal 874 KUHPer, segala
harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan
sekalian warisnya menurut undang-undang sekadar terhadap itu dengan surat
wasiat tidak telah diambil setelah ketetapan yang sah.
Sama halnya di negara Belanda dalam NBW Pasal 4-80 (2) berdasarkan hukum
yang berlaku para ahli waris berhak atas harta waris dan memegang tanggung
jawab atas utang-utang dari pewaris dengan istilah hukum yang dikenal “le
mort saisit le vif” atau “orang mati mencengkram orang hidup”. Menurut
pengaturan NBW ada 2 macam waris, yaitu: Hukum waris pertama dinamakan
Hukum Waris ab intestate (tanpa wasiat), hukum waris yang kedua disebut
hukum waris wasiat atau testamentair erfrecht.
b. Ahli waris yang menerima harta kekayaan itu atau erfgenaam. Ahli waris, yaitu
orang yang masih hidup oleh hukum diberi hak untuk menerima hak dan
kewajiban yang ditinggal oleh pewaris. Menurut Pasal 2 KUHPerdata bahwa
bayi atau anak yang masih berada di dalam kandungan dianggap sebagai telah
dilahirkan bilamana keperluan si anak menghendaki.
Sama halnya dalam aturan NBW dalam Pasal 1:2, bahwa bayi yang msih
berada di dalam Rahim dianggap telah lahir bilamana ada kepentingan yang
menghendakinya. Dengan demikian, seorang anak yang berada didalam
kandungan walaupun belum lahir dapat mewarisi karena dalam pasal ini
hukum membuat fiksi seakan-akan anak sudah dilahirkan.
c. Harta waris, yaitu hal-hal yang dapat diwarisi dari pewaris. Pada prinsipnya
yang dapat diwarisi hanyalah hak-hak dan kewajiban dalam lapangan harta
kekayaan. Hak dan kewajiban tersebut berupa aktiva (sejumlah benda yang
nyata ada dan/atau berupa tagihan atau piutang kepada pihak ketiga, selain
itu juga dapat berupa hak immaterial, seperti hak cipta). Passiva (sejumlah
hutang pewaris yang harus dilunasi pada pihak ketiga maupun kewajiban
lainnya). Dengan demikian, hak dan kewajiban yang timbul dari hukum
keluarga tidak dapat diwariskan.

3. Subyek hukum waris menurut hukum Indonesia dan Belanda


Subyek hukum terhadap kedua negara terkait dengan sistem hukum waris
terdapat persamaan dalam pengaturannya. Adapun subyek hukum waris dari
kedua negara adalah:
a. Pewaris, yaitu setiap orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta
kekayaan atau harta warisan yang akan berpindah pada orang lain. Pasal 830
KUHPerdata bahwa pewarisan tersebut timbul apabila ada kematian.
b. Ahli waris, yaitu orang-orang yang mewaris berdasarkan kedudukannya,
seperti mewaris secara langsung, misalnya jika ayah meningeal dunia , anak-
anaknya menjadi ahli waris.
Pasal 4:80 NBW yang disebut pasal universal, bahwa harta yang ditinggalkan
oleh pewaris akan ikut kepada ahli warisnya dan pembagiannya mengikuti
aturan-aturan yang berlaku.

4. Hilangnya pewarisan pewaris menurut hukum Indonesia dan Belanda


Syarat atau ketentuan mengenai siapa yang menjadi subjek hukum yang
tidak berhak untuk menerima warisan karena sebab tertentu.
Berdasarkan aturan yang diterapkan di Indonesia Pasal 838 KUHPerdata
menyebutkan siapa-siapa saja yang dinggap tidak berhak menjadi ahli waris,
adalah:
a. Seorang ahli waris yang diputus oleh pengadilan secara final dan putusan
tersebut telah memiliki kekuatan mengikat yang sah bersalah
hendakmembunuh (percobaan) atau telah membunuh pewaris;
b. Bersalah pencemari nama baik pewaris dan dihukum penjara selama 5 tahun
atau lebih;
c. Seorang yang menyerang atau melakukan kekerasan terhadap pewaris dalam
rangka memaksanya membuat atau mengubah surat wasiat;
d. Seseorang yang memalsukan, merusak/menghancurkan surat wasiat dari
pewaris.
Dalam hukum Belanda yang diatur dalam Title (buku) 4 Pasal 3 menjelaskan
syarat atau ketentuan mengenai siapa subyek hukum yang tidak berhak untuk
menerima warisan karena sebab tertentu. Hal ini diatur dalam Pasal 4:3
(terjemahan bebasnya) sebagai berikut:
Secara hukum tidak diperbolehkan untuk mendapatkan warisan, karena
sebab:
a. Terbukti bersalah telah membunuh pewaris berdasarkan fakta-fakta di dalam
maupun di luar pengadilan;
b. Adanya tindakan yang dilakukan dalam percobaan mencelakakan bahkan
melukai pewaris;
c. Terbukti telah memfitnah atau mencemarkan nama baik pewaris karena suatu
sebab tertentu yang menguntungkan dirinya;
d. Adanya paksaan atau ancaman untuk mengubah surat wasiat yang telah
dibuat oleh pewaris;
e. Dengan sengaja memalsukan surat wasiat.

5. Penolakan warisan menurut hukum Indonesia dan Belanda


Seorang ahli waris yang tidak ingin menjadi ahli waris harus melepaskan
warisan. Dengan kata lain, seseorang kepada siapa warisan dilimpahkan memiliki
3 pilihan, yaitu: penerimaan tanpa syarat, penerimaan dengan tunduk pada
persediaan atau penolakan atau pelepasan.
Berdasarkan hukum Indonesia, Pasal 833 KUHPerdata bahwa para ahli waris
memperoleh alas hak terhadap boedel dianggap terjadi demi hukum bukan
terjadi karena kesepakatan.
KUHPerdata membuka pilihan bagi para ahli waris untuk menolak menerima atas
hak boedel.
Penolakan atau pelepasan menyebabkan ahli waris dianggap tidak pernah
menjadi ahli waris.
Terbuka 3 pilihan bagi para ahli waris berkaitan dengan harta kekayaan
pewaris, yaitu:
1. Berdasarkan Pasal 1084 KUHPerdata bahwa para ahli waris menerima penuh
boedel yang diwariskan dengan membuat pernyataan tegas yang tercantum
dalam akta penerimaan waris atau menerimanya dengan implisit (bertahap);
2. Ahli waris menerima sebagian harta kekayaan pewaris dengan mengaitkan
pada syarat bahwa ia tidak akan diwajibkan membayar hutang (nontestamen)
pewaris lebih dari bagian yang diterimanya;
3. Para ahli waris menolak boedel, penolakan harus dilakukan di kantor
kepaniteraan PN tempat pembagian waris dilakukan. Menurut Pasal 1047 dan
Pasal 1059 KUHPerdata bahwa penerimaan atau penolakan akan berlaku
surut, terhitung sejak pemilik harta kekayaan meninggal dunia.
Jika pewaris meninggalkan hutang, penolakan para ahli waris akan
menimbulkan kerugian bagi kreditur (pemberi hutang), oleh sebab itu Pasal
1061 KUHPerdata menetapkan bahwa para kreditur mengajukan permohonan
kepada hakim untuk diberi mandat menerima boedel atas nama para ahli
waris dan mewakili mereka dalam menyelesaikan boedel tersebut.
Pasal 1024 KUHPerdata, para ahli waris berwenang untuk menimbang-
nimbang apakah akan menerima atau menolak boedel dalam jangka waktu 4
bulan sebelum membuat putusan tersebut.
Menurut hukum waris Belanda dalam Pasal 4:190 NBW Belanda bahwa
sebuah penolakan atau pelepasan warisan dapat menghasilkan adanya warisan
dengan perwalian.
Pasal 4:12 (1) NBW bahwa menetapkan dalam kasus mana keturunan dapat
mewariskan dengan perwakilan, yaitu dalam kasus kematian yang lebih dahulu
kehilangan hak untuk mewarisi, pencabutan hak waris, penolakan dan
pembatalan pewarisan.
6. Wasiat menurut Hukum Belanda dan Indonesia
Wasiat adalah suatu tindakan hukum yang berkaitan dengan sedikit aturan
khusus.
Berdasarkan hukum waris Belanda dalam Pasal 4:42 NBW memuat beberapa
unsur tentang pengaturan wasiat, sebagai berikut:
1. Wasiat adalah suatu tindakan hukum sepihak, mungkin juga tidak terarah.
Kenyataannya wasiat tidak ditujukan atau diarahkan ke orang tertentu
memiliki konsekuensi terutama ketika hal itu melibatkan ketidakmampuan
hukum atau gangguan mental;
2. Wasiat selalu dapat dicabut oleh pewaris. Penting untuk dipahami bahwa
pencabutan itu sendiri juga merupakan sebuat wasiat, menurut Pasal4:111
NBW;
3. Pasal 4:42 (3) NBW, bahawa wasiat hanya dapat dibuat dan dicabut secara
pribadi. Hal tersebut memiliki 2 konsekuansi, yaitu: a. surat wasiat tidak
dapat dibuat oleh seorang wakil, baik oleh seorang pengacara atau kuasa
hukumnya. b. ada kata “harus dibuat secara pribadi”, bahwa pewaris harus
menetapkan isi dari wasiat tersebut secara pribadi, dia tidak boleh
meninggalkan penetapan isi wasiat tersebut.
Jenis-jenis surat wasiat di Belanda, meliputi:
1. Jenis wasiat umum
Jenis yang paling umum dari pengaturan wasiat adalah surat wasiat. Ketika
surat wasiat dibuat, maka keterlibatan Notaris merupkan suatu hal yang wajib.
Pembuatan undang-undang memandang perlu untuk menciptakan
pengamanan sehubungan dengan pembuatan surat wasiat yang merupakan sutu
tindakan hukum.
Setelah kematian pewaris, maka pewaris tidak bias lagi dimintakan
penjelasan tentang tindakan hukum, oleh sebab itu penyusunan kata-kata dalam
surat wasiat harus benar-benar bebas dari ambiguitas. Ini bagian penting dari
profesi Notaris, bahwa Notaris harus dapat menuangkan hal-hal yang diinginkan
pewaris di atas kertas dengan cara yang benar secara hukum dan kreatif.
Intervensi dari Notaris bukan merupakan hal yang wajib, seperti yang diatur
dalam Pasal 4:97 NBW. Pewaris telah mencatat semuanya dalam sebuah
dokumen dengan tulisan tangan dan diberi tanggal serta tanda tangan. Dokumen
ini disebut Codisil, yaitu lampiran yang berupa ketentuan tambahan atau
perubahan terhadap wasiat.
2. Jenis wasiat khusus.
Yaitu wasiat yang didepositkan. Pasal 4:94 NBW memberi kemungkinan bagi
wasiat untuk dibuat dalam dokumen pribadi yang diberikan kepada Notaris untuk
diamankan. Hal ini dikarenakan pewaris yang tidak ingin siapapun termasuk
Notaris mengetahui apa yang ada dalam surat wasiat tersebut. Notaris menyusun
akta tentang prosedur ini yang ditandatangani oleh pewaris dan Notaris dan
untuk formalitas terkait dengan wasiat yang dideposit.
Wasiat dalam hukum Indonesia, meliputi beberapa hal, sebagai berikut:
1. Surat wasiat adalah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang
dikehendakinya. Pasal 875 KUHPer, bahwa surat wasiat atau testamen adalah
sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya
terjadi setelah ia meninggal dunia, yang dapat dicabut kembali olehnya;
2. Surat wasiat tersebut dapat dicabut kembali sesuai dengan kehendaknya;
3. Bahwa dalam membuat atau menarik kembali atau mencabut suatu wasiat,
harus mempunyai akal sehat. Pasal 895 KUHPer bahwa untuk dapat membuat
atau mencabut surat wasiat, seorang harus mempunyai budi akalnya;
4. Pasal 897 KUHPer, bahwa mereka yang belum mencapai umur genap 18
tahun, tidak diperbolehkan membuat surat wasiat.
Untuk hukum Indonesia juga dikenal 2 jenis surat wasiat, yaitu:
1. Wasiat yang berisikan penunjukkan satu atau lebih orang sebagai ahli waris
yang akan menerima pengalihan sebagian atau seluruh harta kekayaan
pewaris. Ahli waris yang ditunjuk akan menggantikan kedudukan pewaris
dengan konsekuensi bahwa seluruh hak dan kewajiban pewaris berpindah
kepada para ahli waris;
2. Wasiat yang dalam isi surat wasiat adalah pemberian kepada orang tertentu.
Orang yang mendapat pemberian itu bukanlah ahli waris, karena itu ia tidak
menggantikan kedudukan hukum ahli waris serta mengambil alih hak dan
kewajibannya pewaris. Orang tersebut berhak menuntut penyerahan barang
yang disebut dalam testamen dan tidak mempunyai kewajiban menanggung
utang-utang pewaris.

REFERENSI:
1. Prof. R. Subekti, SH - Perbandingan Hukum Perdata
2. Dr. Beni Ahmad Saebani, M.Si - Perbandingan Hukum Perdata
Dewi Mayaningsih, SH., MH & Ai Wati, SSy

PERBANDINGAN HUKUM
TENTANG KONTRAK MENURUT BEBERAPA NEGARA
A. Pengertian kontrak
Kontrak adalah perjanjian dua orang atau lebih untuk melakukan atau
tidak melakukan perbuatan tertentu , biasanya secara tertulis. Kontrak dalam
pengertian yang lebih luas dinamakan juga istilah perjanjian.
Dalam kontrak para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang
diperjanjikan berkewajiban untuk mentaati dan melaksanakannya, sehingga
perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hukum yang disebut dengan
perikatan (verbintenis).
Pengertian tentang kontrak banyak didefinisikan oleh para ahli:
Menurut Van Dunne, bahwa hukum kontrak tidak hanya mengkaji kontrak
pada tahap kontraktual, tetapi juga mencakup tahap pra contractual (adalah
tahap penawaran/offer dan penerimaan/acceptance) dan post contractual
( adalah pelaksanaan perjanjian).
Definisi kontrak dalam literature hukum kontrak Common Law adalah
serangkaian janji, yang memiliki akibat hukum dan apabila terjadi pelanggaran,
pelakunya dapat dituntut ke pengadilan.
Berdasarkan ketentuan umum hukum kontrak Belanda, Kontrak adalah
perbuatan hukum (juridical act) yang dibuat secara formalitas, dimungkinkan dan
diijinkan oleh hukum serta harus diungkapkan adanya niat dari satu atau dua
pihak secara bersama-sama. Kontrak tersebut bertujuan menciptakan akibat
hukum untuk kepentingan satu pihak dengan pihak lainnya.
Esensi kontrak adalah perjanjian (agreement). Subekti mendefinisikan
Kontrak adalah sebagai peristiwa yang didalamnya seseorang berjanji kepada
orang lain untuk melaksanakan sesuatu.
Didalam KUHPerdata, istilah yang lazim digunakan untuk menyebut
kontrak,yaitu perjanjian. Pengertian Perjanjian tercantum dalam Pasal 1313
KUHPerdata. Perjanjian adalah: “Suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
1.
Pengertian kontrak yang tepat dan ringkas yang diungkapkan oleh Pollock,
definisi kontrak sebagai suatu perjanjian yang menyebabkan hukum dapat
diberlakukan baginya (promises which the law will enforce).
Ciri khas penting dari kontrak adalah adanya kesepakatan bersama (mutual
consent) para pihak. Kesepakatan ini bukan hanya merupakan karakteristik dalam
pembuatan kontrak, melainkan juga merupakan niat yang diungkapkan kepada
pihak lain.
Menurut Henry P. Panggabean bahwa perkembangan hukum perjanjian
dapat dilihat dari berbagai ketentuan peraturan perundangan dan penerapan
asas-asas hukum perjanjian yang dikaitkan dengan praktek pengadilan.
Sudikno Mertokusumo mengajukan 3 asas perjanjian yang dapat dirinci
sebagai berikut:
1. Asas konsensualisme, yaitu persesuaian kehendak (berkaitan dengan
lahirnya perjanjian);
2. Asas kekuatan mengikatnya perjanjian (berhubungan dengan akibatnya
perjanjian);
3. Asas kebebasan berkontrak (berhubungan dengan isi perjanjian).
Hukum Romawi tidak mengenal kebebasan berkontrak, bahwa perjanjian
yang sempurna tidak cukup dengan persesuaian kehendak saja, kecuali dalam 4
hal, yaitu perjanjian jual beli, sewa menyewa, persekutuan perdata dan
memberi beban atau perintah (lastgeving).
Selain ke 4 jenis pejanjian itu, semua perjanjian harus dilakukan dengan syarat
tertentu yang disebut causa civilis oligandi, yaitu mencapai kesepakatan harus
disertai dengan kata-kata suci (verbis), tulisan tertentu (literis) dan penyerahan
suatu benda (re).
Dalam perkembangannya, kebebasan berkontrak dapat menimbulkan
ketidakadilan, karena untuk mencapai asas kebebasan berkontrak harus
didasarkan pada posisi tawar menawar (bargening position) para pihak yang
seimbang.
Kenyataannya hal tersebut sulit (jika dikatakan tidak mungkin) dijumpai adanya
kedudukan posisi tawar menawar yang benar-benar seimbang atau sejajar.
Pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih tinggi sering memaksakan
kehendaknya. Dengan posisi demikian, ia dapat mendikte pihak lainnya untuk
mengikuti kehendaknya dalam perumusan isi perjanjian.
Dalam keadaan demikian, pemerintah atau negara melakukan intervensi atau
pembatasan kebebasan berkontrak dengan tujuan untuk melindungi pihak yang
lemah. Pembatasan tersebut dapat dilakukan melalui peraturan perundang-
undangan dan putusan pengadilan.
Pada negara-negara dengan sistem Common Law, kebebasan berkontrak
juga dibatasi dengan undang-undang dan public policy.
Hukum Perjanjian Indonesia juga membatasi kebebasan berkontrak
dengan ketentuan undang-undang, keteriban umum dan kesuasilaan.
Pembatasan ini dikaitkan dengan kausa (suatu sebab) yang halal dalam perjanjian.
Berdasarkan Pasal 1337 KUHPerdata, suatu sebab adalah terlarang apabila
dilarang oleh undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Setiawan menambahkan 2 hal lagi yang dapat membatasi kebebasan
berkontrak, yaitu:
1. Semakin banyak perjanjian yang dibuat dalam bentuk baku yang mendorong
pihak kreditur aras dasar take it or leave it. Disini tidak ada kesempatan bagi
debitur untuk turut serta menentukan isi perjanjian;
2. Semakin berkembangnya peraturan perundangan di bidang ekonomi turut
membatasi kebebasan berkontrak. Perjanjian itu merupakan mandatory rules
of a public nature. Peraturan-peraturan tersebut bahkan membuat ancaman
kebatalan perjanjian di luar adanya paksaan, kesesatan, dan penipuan yang
sudah dikenal dalam hukum perjanjian.
Dengan munculnya aturan tentang kontrak, maka muncul juga aturan
mengenai hukum kontrak. Hukum Kontrak merupakan bagian dari hukum
perdata (privat), karena pelanggaran terhadap kewajiban yang ditentukan dalam
kontrak hanya menjadi urusan pihak-pihak yang berkontrak.
Hukum kontrak terbagi dalam 2 macam, yaitu hukum kontrak nominaat dan
hukum kontrak innominaat.
Hukum kontrak nominaat adalah ketentuan hukum yang mengkaji berbagai
kontrak atau perjanjian yang dikenal dalam KUHPerdata. Sedangkan hukum
kontrak innominaat adalah keseluruhan kaidah hukum yang mengkaji berbagai
kontrak yang timbul, tumbuh dan hidup di dalam masyarakat, dan kontrak ini
belum dikenal pada saat KUHPerdata diundangkan.
Raung lingkup hukum kontrak yaitu berbagai kontrak yang muncul dan
berkembang dalam masyarakat, seperti kontrak production sharing, join ventur,
kontrak karya, kontrak Rahim dan lain-lain.
B. Sistem pengaturan kontrak
Sistem pengaturan hukum kontrak adalah system terbuka (open system),
yaitu setipa orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur
maupun yang belum diatur dalam undang-undang.
Kontrak dilakukan dengan cara mengadakan perjanjian, yang meliputi
beberapa hal:
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya;
4. Menentukan isi perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

REFERENSI:
1. Dr. Beni Ahmad Saebani, M.Si - Perbandingan Hukum Perdata
Dewi Mayaningsih, SH., MH & Ai Wati, SSy

Anda mungkin juga menyukai