Disusun Oleh :
1. Awalia Turohmah
2. Eli Sundari
3. Iwan Ali Saputra
4. Maniar Handriani
HUKUM WARIS
Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang
yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan
masyarakat yang lebih berhak.
Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: hukum Waris Adat,
hukum Waris Islam dan hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum
yang berbeda-beda sesuai dengan sistem kekerabatan yang mereka anut.
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata, belum terdapat
kodifikasi. Hal ini berati bahwa bagi berbagai golongan penduduk Indonesia
masih berlku hukum yang berbeda-beda, seperti:
1. Hukum waris Adat, sampai saat sekarang hukum waris adat pada masing-
masing daerah masih diatur secara berbeda-beda
2. Hukum waris Islam, bagi mereka yang bneragama islam (sebagian penduduk
Indonesia yang beragama islam). Hukum wris islam ini diatur dalam instruksi
Presiden No;1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Pasal 171-214 KHI)
3. Hukum waris Barat, bagi mereka yang tunduk pada Hukum Perdata Barat,
berlaku ketentua dalam KUHPerdata (BW). Hukum waris diatur bersama-sama
dengan hukum benda, alasannya: a. Hukum waris dianggap sebagai suatu hak
kebendaan (Pasal 528 KUHPerdata) b. Hukum waris merupakan salah satu cara
yang ditentukan secara limitative oleh UU untuk memperoleh hak milik (Pasal
584 KUHPerdatta)) Sampai saat ini baik para ahli hukum Indonesia maupun di
dalam kepustakaan ilmu hukum Indonesia, belum terdapat keseragaman
pengertian sehingga istilah untuk hukum waris masih beraneka ragam. Misalnya
Wirjono Prodjodikoro, mempergunakan istilah hukum warisan. Hazairin,
mempergunakan hukumkewarisan, dan Soepomo mengemukakan istilahhukum
waris. Hukum waris (Soepomo, 1966 : 72) Hukum Waris itu memuat peraturan-
peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang
harta benda dan barangbarang yang tak berwujud benda dari suatu angkatan
manusia kepada turunannya. Hukum waris adalah hukum harta kekayaan dalam
lingkungan keluarga, karena wafatnya seseorang maka aka nada pemindahan harta
kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi
orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka maupun
antara mereka dengan pihak ketiga (Sarini Ahlan sjarif1983 : 9) 6 R. Santoso
Pudjosubroto, bahwa yang dimaksud dengan hukum warisan adalah hukum yang
mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang
harta benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang
lain yang masih hidup (1964 : 8) Selanjutnya A. Pitlo (1979 : 1), memberikan
batasan hukum waris adalah kumpulan peraturan, yang mengatur hukum
mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan
kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi
orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan
mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga . Dengan
istilah hukum waris diatas, terkandung suatu pengertian yang mencakup kaidah-
kaidah dan asas-asas yang mengatur proses beralihnya harta benda dan hak-hak
serta kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia.
b). Adanya orang yang masih hidup (erfgenaam), yaitu orang yang menurut
Undang-undang atau testaman berhak mendapat waris, yang disebut ahli waris.
c). Adanya benda yang ditinggalkan (erfenis tialatemchap), yaitu segala sesuatu
yang ditinggalkan oleh pewaris pada saat ia meninggal dunia yang disebut harta
warisan, bisa berbentuk aktiva atau passiva.
2). Syarat- syarat pewaris
Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki maupun
perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang
diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya,
baik dengan surat wasiat atau tanpa surat wasiat.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam unsur-unsur pewarisan adalah :
a). Syarat-syarat yang berhubungan dengan pewaris
Untuk terjadinya maka si pewaris harus sudah meninggal dunia sebagaimana
disebutkan pada pasal 830 KUH Perdata “Pewarisan hanya berlangsung karena
kematian.
b). Syarat-syarat yang berhubungan dengan ahli waris
1. Mempunyai hak atas harta peninggalan pewaris hak ini ada karena:
a). Adanya hubungan darah atau perkawinan antara ahli waris dengan pewaris
disebut ahli waris menurut undang-undang (Ab- intestato), (pasal 874
KUHPerdata). Ada dua cara mewaris berdasarkan undang-undang, berdasarkan
kedudukan sendiri (Uit Eigen Hoofde) atau dengan mewarisi langsung, ahli
warisnya adalah mereka yang terpanggil untuk mewaris berdasarkan kedudukan
sendiri pada asasnya ahli waris mewaris kepala demi kepala yang tercantum pada
pasal 852 ayat 2 KUHPerdata yang isinya “ Mereka mewaris kepala demi kepala,
jika dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat kesatu dan
masing-masing mempunyai hak kerena diri sendiri. Orang yang mewaris karena
kedudukannya sendiri dalam susunan keluarga si pewaris mempunyai posisi yang
memberikan kepadanya hak untuk mewaris. Haknya tersebut adalah haknya
sendiri, bukan menggantikan hak orang lain. Mewaris kepala demi kepala artinya
tiap-tiap ahli waris menerima bagian yang sama besarnya. Dan berdasarkan
penggantian (Bij plaatvervulling), Yakni pewarisan dimana ahli waris
menggantikan ahli waris yang berhak menerima warisan yang telah meninggal
dunia lebih dahulu dari pewaris. Dalam mewaris berdasarkan penggantian tempat
ahli waris artinya mereka yang mewaris berdasarkan penggantian tempat, mewaris
pancang demi pancang. Mewaris karena penggantian tempat diatur dalam pasal
841 sampai dengan 848 KUHPerdata.” Penggantian memberi hak kepada seorang
yang mengganti, untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam
segala hak orang yang diganti.
b). Adanya pemberian wasiat yang diberikan oleh pewaris untuk para ahli waris
atau testaminair (pasal 875 KUHPerdata). Adapun yang dinamakan surat wasiat
atau testamen ialah suatu fakta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa
yang dikehindakinya akan terjadinya setelah ia meninggal dunia, dan yang
olehnya dapat dicabut kembali. Yang paling lazim suatu testamen berisi apa yang
dinamakan suatu “erfsteling” yaitu penunjukan seorang atau beberapa orang
menjadi ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari warisan, orang
yang ditunjuk itu dinamakan “ testamentaire erfgenaam”.
2. Ahli waris ada atau masih hidup pada saat kematian pewaris
3. Tidak terdapat sebab-sebab atau hal-hal yang menurut undang-undang, ahli
waris tidak patut atau terlarang (onwaarding) untuk menerima warisan dari si
pewaris. Menurut pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada empat
kelompok yang tidak patut menjadi ahli waris dan karenanya dikecualikan dari
pewarisan ialah:
a) Mereka yang dengan putusan hakim dihukum karena dipersalahkan telah
membunuh, atau mencoba membunuh si yang meninggal.
b) Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah
mengajukan pengaduan terhadap pada si yang meninggal ialah suatu pengaduan
telah melakukan suatu kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara lima
tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
c) Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah atau
menghalangi-halangi si meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiat.
d) Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat yang
meninggal.
Menurut KUH Perdata, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:
Pertama, Ahli waris menurut ketentuan undang-undang.
Kedua, Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testamen). Berdasarkan Pasal 834
bahwa apabila seorang tampil sebagai ahli waris mereka berhak menuntut supaya
segala apa yang termasuk harta peninggalan sipeninggal diserahkan kepadanya
berdasarkan haknya sebagai ahli waris. Hak penuntut ini menyerupai hak
penuntutan seseorang pemilik suatu benda, dan menurut maksudnya penuntutan
itu harus ditujukan kepada orang yang menguasai suatu benda warisan dengan
maksud memilikinya.
Ketiga, Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan, karena secara
fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pada si yang meninggal, ialah
pengaduan telah melakukan sesuatu kejahatan yang terancam dengan hukuman
penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat;
Keempat, Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang
meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya;
Indonesia sendiri telah mengadopsi hukum waris dari hukum kewarisan Islam
yang mana dalam hal ini terangkum dalam Kompilasi Hukum Islam yang
diresmikan oleh Presiden Soeharto melalui Inpres No. 01 tahun 1991 dengan
demikian Hukum Islam menjadi sumber hukum dalam hal ini berlaku bagi
pemeluknya. Hal ini berimplikasi terhadap kewenangan absolut yang dimiliki oleh
Pengadilan Agama yang secara eksplisit tercantum dalam undang-undang bahwa
Pengadilan Agama memiliki peran dalam penyelesaian perkara yang berhubungan
dengan hak waris.
Pada dasarnya proses pengurusan harta peninggalan tak terurus tidak jauh berbeda
dengan proses pengurusan harta orang yang dinyatakan tidak hadir, Kalau
pengurusan harta orang yang dinyatakan tidak hadir berawal dari Penetapan
Pengadilan Negeri tentang Ketidakhadiran orang tersebut, maka pengurusan harta
peninggalan tak terurus bertolak dari proses pemeriksaan harta peninggalan
seseorang yang telah meninggal dunia yang akte kematiannya diperoleh dari
Kantor Catatan Sipil.
Apabila dalam pemeriksaan terdapat unsur seperti tersebut di atas, maka demi
hukum Balai Harta Peninggalan berkewajiban untuk mengurus harta tersebut
antara lain dengan melakukan pendaftaran Harta Kekayaan (budel), Bila dirasakan
perlu, maka Balai Harta Peninggalan dapat melakukan penyegelan atas harta
tersebut.
c.Syarat-syarat Pendukung :
a. Identitas pemohon,
b. Surat / Akta Kematian Pemilik,
c. Surat-Surat Lain yang berkenaan dengan tanah & Bangunan.
d.SOP
4.Hibah
Hibah adalah pemberian seseorang kepada orang lain semasa hidupnya. Hibah sah
mengikat penghibah dan memberikan akibat sejak penghibahan tersebut diterima
oleh penerima hibah. Berarti hibah harus dilakukan ketika pemberi hibah dan
penerima hibah masih hidup. Jadi, sepanjang hibah sudah dilakukan, lalu
penerima hibah meninggal dunia, hibah itu tetap sah.
Hibah pada dasarnya adalah pemberian dari seseorang semasa hidupnya kepada
orang lain. Hibah diatur dalam Pasal 1666 – Pasal 1693 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata(“KUHPerdata”). Mengenai apa yang dimaksud dengan hibah
dapat dilihat dalam Pasal 1666 KUHPerdata:
Jika pemberian diberikan oleh seseorang setelah ia meninggal dunia, maka ini
dinamakan hibah wasiat, yang diatur dalam Pasal 957- Pasal 972 KUHPerdata.
Ini berarti hibah adalah sah jika penerima hibah telah menerima hibah tersebut.
Perlu diketahui bahwa ada beberapa hal yang dapat menyebabkan hibah menjadi
batal, yaitu antara lain:
1. Hibah yang mengenai benda-benda yang baru akan ada di kemudian hari
(Pasal 1667 ayat (2) KUHPerdata).
2. Hibah dengan mana si penghibah memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa
untuk menjual atau memberikan kepada orang lain suatu benda yang termasuk
dalam hibah, dianggap batal. Yang batal hanya terkait dengan benda tersebut.
(Pasal 1668 KUHPerdata)
3. Hibah yang membuat syarat bahwa penerima hibah akan melunasi utang atau
beban-beban lain di samping apa yang dinyatakan dalam akta hibah itu sendiri
atau dalam daftar dilampirkan (Pasal 1670 KUHPerdata).
4. Hibah atas benda tidak bergerak menjadi batal jika tidak dilakukan dengan
akta notaris (Pasal 1682 KUHPerdata).
Dengan demikian, selama hibah tersebut telah diterima si penerima hibah sebelum
ia meninggal dunia (walaupun penerima hibah meninggal terlebih dahulu dari
pemberi hibah), maka hibah tersebut adalah sah.
5.Wasiat
Suatu wasiat sah apabila diwujudkan dalam bentuk surat wasiat . Surat wasiat atau
testamen menurut Pasal 875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sebuah
akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah
ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya.
6.Pengangkatan Anak