Anda di halaman 1dari 12

MATERI KELOMPOK 9

Disusun Oleh :
1. Awalia Turohmah
2. Eli Sundari
3. Iwan Ali Saputra
4. Maniar Handriani
HUKUM WARIS
Hukum Waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang
yang telah meninggal dunia diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan
masyarakat yang lebih berhak.
Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: hukum Waris Adat,
hukum Waris Islam dan hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum
yang berbeda-beda sesuai dengan sistem kekerabatan yang mereka anut.
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata, belum terdapat
kodifikasi. Hal ini berati bahwa bagi berbagai golongan penduduk Indonesia
masih berlku hukum yang berbeda-beda, seperti:

1. Hukum waris Adat, sampai saat sekarang hukum waris adat pada masing-
masing daerah masih diatur secara berbeda-beda

2. Hukum waris Islam, bagi mereka yang bneragama islam (sebagian penduduk
Indonesia yang beragama islam). Hukum wris islam ini diatur dalam instruksi
Presiden No;1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Pasal 171-214 KHI)

3. Hukum waris Barat, bagi mereka yang tunduk pada Hukum Perdata Barat,
berlaku ketentua dalam KUHPerdata (BW). Hukum waris diatur bersama-sama
dengan hukum benda, alasannya: a. Hukum waris dianggap sebagai suatu hak
kebendaan (Pasal 528 KUHPerdata) b. Hukum waris merupakan salah satu cara
yang ditentukan secara limitative oleh UU untuk memperoleh hak milik (Pasal
584 KUHPerdatta)) Sampai saat ini baik para ahli hukum Indonesia maupun di
dalam kepustakaan ilmu hukum Indonesia, belum terdapat keseragaman
pengertian sehingga istilah untuk hukum waris masih beraneka ragam. Misalnya
Wirjono Prodjodikoro, mempergunakan istilah hukum warisan. Hazairin,
mempergunakan hukumkewarisan, dan Soepomo mengemukakan istilahhukum
waris. Hukum waris (Soepomo, 1966 : 72) Hukum Waris itu memuat peraturan-
peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang
harta benda dan barangbarang yang tak berwujud benda dari suatu angkatan
manusia kepada turunannya. Hukum waris adalah hukum harta kekayaan dalam
lingkungan keluarga, karena wafatnya seseorang maka aka nada pemindahan harta
kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi
orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka maupun
antara mereka dengan pihak ketiga (Sarini Ahlan sjarif1983 : 9) 6 R. Santoso
Pudjosubroto, bahwa yang dimaksud dengan hukum warisan adalah hukum yang
mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang
harta benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang
lain yang masih hidup (1964 : 8) Selanjutnya A. Pitlo (1979 : 1), memberikan
batasan hukum waris adalah kumpulan peraturan, yang mengatur hukum
mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan
kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi
orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan
mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga . Dengan
istilah hukum waris diatas, terkandung suatu pengertian yang mencakup kaidah-
kaidah dan asas-asas yang mengatur proses beralihnya harta benda dan hak-hak
serta kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia.

1.Unsur-unsur dan Syarat-syarat Pewarisan


1).Unsur-unsur Pewarisan
Unsur terjadinya pewarisan diperlukan unsur-unsur sebagai berikut :
a). Adanya orang yang meninggal dunia (erflater), yang meninggalkan harta
warisan yang disebut pewaris.

b). Adanya orang yang masih hidup (erfgenaam), yaitu orang yang menurut
Undang-undang atau testaman berhak mendapat waris, yang disebut ahli waris.
c). Adanya benda yang ditinggalkan (erfenis tialatemchap), yaitu segala sesuatu
yang ditinggalkan oleh pewaris pada saat ia meninggal dunia yang disebut harta
warisan, bisa berbentuk aktiva atau passiva.
2). Syarat- syarat pewaris
Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki maupun
perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang
diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya,
baik dengan surat wasiat atau tanpa surat wasiat.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam unsur-unsur pewarisan adalah :
a). Syarat-syarat yang berhubungan dengan pewaris
Untuk terjadinya maka si pewaris harus sudah meninggal dunia sebagaimana
disebutkan pada pasal 830 KUH Perdata “Pewarisan hanya berlangsung karena
kematian.
b). Syarat-syarat yang berhubungan dengan ahli waris
1. Mempunyai hak atas harta peninggalan pewaris hak ini ada karena:
a). Adanya hubungan darah atau perkawinan antara ahli waris dengan pewaris
disebut ahli waris menurut undang-undang (Ab- intestato), (pasal 874
KUHPerdata). Ada dua cara mewaris berdasarkan undang-undang, berdasarkan
kedudukan sendiri (Uit Eigen Hoofde) atau dengan mewarisi langsung, ahli
warisnya adalah mereka yang terpanggil untuk mewaris berdasarkan kedudukan
sendiri pada asasnya ahli waris mewaris kepala demi kepala yang tercantum pada
pasal 852 ayat 2 KUHPerdata yang isinya “ Mereka mewaris kepala demi kepala,
jika dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat kesatu dan
masing-masing mempunyai hak kerena diri sendiri. Orang yang mewaris karena
kedudukannya sendiri dalam susunan keluarga si pewaris mempunyai posisi yang
memberikan kepadanya hak untuk mewaris. Haknya tersebut adalah haknya
sendiri, bukan menggantikan hak orang lain. Mewaris kepala demi kepala artinya
tiap-tiap ahli waris menerima bagian yang sama besarnya. Dan berdasarkan
penggantian (Bij plaatvervulling), Yakni pewarisan dimana ahli waris
menggantikan ahli waris yang berhak menerima warisan yang telah meninggal
dunia lebih dahulu dari pewaris. Dalam mewaris berdasarkan penggantian tempat
ahli waris artinya mereka yang mewaris berdasarkan penggantian tempat, mewaris
pancang demi pancang. Mewaris karena penggantian tempat diatur dalam pasal
841 sampai dengan 848 KUHPerdata.” Penggantian memberi hak kepada seorang
yang mengganti, untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam
segala hak orang yang diganti.
b). Adanya pemberian wasiat yang diberikan oleh pewaris untuk para ahli waris
atau testaminair (pasal 875 KUHPerdata). Adapun yang dinamakan surat wasiat
atau testamen ialah suatu fakta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa
yang dikehindakinya akan terjadinya setelah ia meninggal dunia, dan yang
olehnya dapat dicabut kembali. Yang paling lazim suatu testamen berisi apa yang
dinamakan suatu “erfsteling” yaitu penunjukan seorang atau beberapa orang
menjadi ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari warisan, orang
yang ditunjuk itu dinamakan “ testamentaire erfgenaam”.
2. Ahli waris ada atau masih hidup pada saat kematian pewaris
3. Tidak terdapat sebab-sebab atau hal-hal yang menurut undang-undang, ahli
waris tidak patut atau terlarang (onwaarding) untuk menerima warisan dari si
pewaris. Menurut pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada empat
kelompok yang tidak patut menjadi ahli waris dan karenanya dikecualikan dari
pewarisan ialah:
a) Mereka yang dengan putusan hakim dihukum karena dipersalahkan telah
membunuh, atau mencoba membunuh si yang meninggal.
b) Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena secara fitnah
mengajukan pengaduan terhadap pada si yang meninggal ialah suatu pengaduan
telah melakukan suatu kejahatan yang terancam dengan hukuman penjara lima
tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
c) Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah atau
menghalangi-halangi si meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiat.
d) Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat yang
meninggal.

2. Kehilangan Hak Mewaris

Menurut KUH Perdata, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:
Pertama, Ahli waris menurut ketentuan undang-undang.

Kedua, Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testamen). Berdasarkan Pasal 834
bahwa apabila seorang tampil sebagai ahli waris mereka berhak menuntut supaya
segala apa yang termasuk harta peninggalan sipeninggal diserahkan kepadanya
berdasarkan haknya sebagai ahli waris. Hak penuntut ini menyerupai hak
penuntutan seseorang pemilik suatu benda, dan menurut maksudnya penuntutan
itu harus ditujukan kepada orang yang menguasai suatu benda warisan dengan
maksud memilikinya.

Dalam Hukum Kewarisan di Indonesia ada hal-hal yang menyebabkan seseorang


tidak lagi berhak untuk mendapatkan waris. Menurut Pasal 838 kitab Undang-
undang Hukum Perdata yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan
karenanya dikecualikan dari pewarisan ialah: Pertama,Mereka yang dengan
putusan hakim dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba
membunuh si yang meninggal;

Ketiga, Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan, karena secara
fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pada si yang meninggal, ialah
pengaduan telah melakukan sesuatu kejahatan yang terancam dengan hukuman
penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat;

Keempat, Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang
meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya;

Kelima,Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat


yang meninggal.

Indonesia sendiri telah mengadopsi hukum waris dari hukum kewarisan Islam
yang mana dalam hal ini terangkum dalam Kompilasi Hukum Islam yang
diresmikan oleh Presiden Soeharto melalui Inpres No. 01 tahun 1991 dengan
demikian Hukum Islam menjadi sumber hukum dalam hal ini berlaku bagi
pemeluknya. Hal ini berimplikasi terhadap kewenangan absolut yang dimiliki oleh
Pengadilan Agama yang secara eksplisit tercantum dalam undang-undang bahwa
Pengadilan Agama memiliki peran dalam penyelesaian perkara yang berhubungan
dengan hak waris.

3. Harta Warisan Yang Tidak Terurus

Pengurusan Harta Peninggalan Yang Tidak Terurus (ONBEHEERDE


NALATENSCHAP)
a. Dasar Hukum

Harta Tak terurus, berdasarkan pasal 1126, 1127, 1128 KUH


Perdata, maka istilah Harta Tak Terurus memberikan pengertian "Jika suatu
warisan terbuka, tiada seorangpun menuntutnya ataupun semua ahli waris yang
terkenal menolaknya, maka dianggaplah warisan itu sebagai tak terurus”.
b. Pengertian
Bila batasan pengertian harta peninggalan tak terurus tersebut di atas dianalisa
dengan cermat, dapat diketahui beberapa unsur yang membentuk pengertian harta
tak terurus, yaitu :

a. Adanya orang yang meninggal dunia;


b. Adanya harta yang ditinggalkan oleh almarhum;
c. Tidak ada ahli waris, atau jika ada, para ahli waris menolak warisan tersebut;
d. Tidak terdapat bukti otentik yang berisikan pengurusan harta peninggalan itu.

Pada dasarnya proses pengurusan harta peninggalan tak terurus tidak jauh berbeda
dengan proses pengurusan harta orang yang dinyatakan tidak hadir, Kalau
pengurusan harta orang yang dinyatakan tidak hadir berawal dari Penetapan
Pengadilan Negeri tentang Ketidakhadiran orang tersebut, maka pengurusan harta
peninggalan tak terurus bertolak dari proses pemeriksaan harta peninggalan
seseorang yang telah meninggal dunia yang akte kematiannya diperoleh dari
Kantor Catatan Sipil.

Apabila dalam pemeriksaan terdapat unsur seperti tersebut di atas, maka demi
hukum Balai Harta Peninggalan berkewajiban untuk mengurus harta tersebut
antara lain dengan melakukan pendaftaran Harta Kekayaan (budel), Bila dirasakan
perlu, maka Balai Harta Peninggalan dapat melakukan penyegelan atas harta
tersebut.

c.Syarat-syarat Pendukung :

a. Identitas pemohon,
b. Surat / Akta Kematian Pemilik,
c. Surat-Surat Lain yang berkenaan dengan tanah & Bangunan.
d.SOP
4.Hibah

Hibah adalah pemberian seseorang kepada orang lain semasa hidupnya. Hibah sah
mengikat penghibah dan memberikan akibat sejak penghibahan tersebut diterima
oleh penerima hibah. Berarti hibah harus dilakukan ketika pemberi hibah dan
penerima hibah masih hidup. Jadi, sepanjang hibah sudah dilakukan, lalu
penerima hibah meninggal dunia, hibah itu tetap sah.
Hibah pada dasarnya adalah pemberian dari seseorang semasa hidupnya kepada
orang lain. Hibah diatur dalam Pasal 1666 – Pasal 1693 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata(“KUHPerdata”). Mengenai apa yang dimaksud dengan hibah
dapat dilihat dalam Pasal 1666 KUHPerdata:

“Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu


hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali,
menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang
menerima penyerahan itu.
Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah selain hibah-hibah di
antara orang-orang yang masih hidup.”(KUHPerdata R. Subekti)

Jika pemberian diberikan oleh seseorang setelah ia meninggal dunia, maka ini
dinamakan hibah wasiat, yang diatur dalam Pasal 957- Pasal 972 KUHPerdata.

Pasal 957 KUHPerdata:


“Hibah wasiat ialah suatu penetapan khusus, di mana pewaris
memberikan kepada satu atau beberapa orang barang-barang tertentu,
atau semua barang-barang dan macam tertentu; misalnya, semua barang-
barang bergerak atau barang-barang tetap, atau hak pakai hasil atas
sebagian atau semua barangnya.”
Akan tetapi, hibah atas benda-benda bergerak yang berwujud atau surat
piutang yang akan dibayar atas tunduk, tidak memerlukan akta notaris dan
adalah sah bila pemberian tersebutdiserahkan begitu saja kepada penerima
hibah atau kepada orang lain yang menerima hibah itu untuk diteruskan
kepada penerima hibah (Pasal 1687 KUHPerdata).

Ini berarti hibah adalah sah jika penerima hibah telah menerima hibah tersebut.

Perlu diketahui bahwa ada beberapa hal yang dapat menyebabkan hibah menjadi
batal, yaitu antara lain:
1. Hibah yang mengenai benda-benda yang baru akan ada di kemudian hari
(Pasal 1667 ayat (2) KUHPerdata).
2. Hibah dengan mana si penghibah memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa
untuk menjual atau memberikan kepada orang lain suatu benda yang termasuk
dalam hibah, dianggap batal. Yang batal hanya terkait dengan benda tersebut.
(Pasal 1668 KUHPerdata)
3. Hibah yang membuat syarat bahwa penerima hibah akan melunasi utang atau
beban-beban lain di samping apa yang dinyatakan dalam akta hibah itu sendiri
atau dalam daftar dilampirkan (Pasal 1670 KUHPerdata).
4. Hibah atas benda tidak bergerak menjadi batal jika tidak dilakukan dengan
akta notaris (Pasal 1682 KUHPerdata).

Dengan demikian, selama hibah tersebut telah diterima si penerima hibah sebelum
ia meninggal dunia (walaupun penerima hibah meninggal terlebih dahulu dari
pemberi hibah), maka hibah tersebut adalah sah.

5.Wasiat

Suatu wasiat sah apabila diwujudkan dalam bentuk surat wasiat . Surat wasiat atau
testamen menurut Pasal 875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sebuah
akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah
ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya.

Membuat wasiat (testament) adalah perbuatan hukum, seseorang menentukan


tentang apa yang terjadi dengan harta kekayaannya setelah meninggal dunia.
Harta warisan seringkali menimbulkan berbagai masalah hukum dan sosial, oleh
karena itu memerlukan pengaturan dan penyelesaian secara tertib dan teratur
sesuai dengan peraturan P\erundang-undangan yang berlaku. Adanya testament
ini, maka sering terhindar pertikaian di antara para ahli waris dalam hal
pembagian harta warisan. Karena ahli waris menghormati kemauan ataupun
kehendak terakhir dari si pewaris tersebut. Namun demikian, agar pembagian
harta warisan secara praktis dan adil dapat dilaksanakan maka hukum membatasi
testament itu, pembatasan mana tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
Adanya perbedaan antara ketentuan hukum yang berlaku dengan praktek hukum
dalam masyarakat tentang pembuatan surat wasiat pada masa ini menimbulkan
pertanyaan tentang apakah ketentuan hukum yang masih ada dapat dipakai dalam
kemajuan perkembangan masyarakat dalam bidang hukum. Karena adanya
beberapa hukum yang mengatur masalah ini dalam lingkup hukum keperdataan
yang berlaku di Indonesia .

6.Pengangkatan Anak

A. Pengertian Pengankatan Anak (Adopsi)


Dari Segi Etimologi
 Dasti segi etimologi yaitu asal usul kata, Adopsi berasal dari bahasa
Belanda “Adoptie” atau Adoption (Bahasa Inggris) yang berarti pengangkatan
anak.
 Dalam bahasa Arab disebut “Tabanni” yang menurut Prof. Mahmud
Yunus diartikan dengan “Mengambil anak angkat” sedang menurut kamus Munjid
diartikan “menjadikannya sebagai anak” (Muderis Zaeni. SH 1985:4).
 Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum berarti
pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri.
Dari Segi Terminologi
 Dari segi Terminologi (Muderis Zaeni. SH 1985:5) Adopsi diartikan:
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat yaitu “anak
orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri”.
 Dalam Ensiklopedia Umum disebutkan (Muderis Zaeni. SH 1985:5):
Adopsi, suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang
diatur dalam pengaturan perundang-undangan. Biasanya adopsi dilaksanakan
untuk mendapatkan pewaris atas untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang
tidak beranak. Akibat dari adopsi yang demikian itu ialah bahwa anak yang
diadopsi kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala
hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan adopsi itu calon orang tua harus
memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan bagi
anak.
Pendapat Berbagai Pakar Hukum Tentang Adopsi
 Hilman Hadi Kusuma, SH dalam bukunya Hukum Perkawinan Adat
menyebutkan Anak angkat adalah anak orang lain yang di anggap anak sendiri
oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan
tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan
rumah tangga.
 Sedangkan Surojo Wignjodipuro, SH dalam bukunya Pengantar dan Asas-
asas Hukum Adat memberikan batasan sebagai berikut: Adopsi (mengangkat
anak) adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga
sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak
yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama seperti yang ada
antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.
 Dr. J.A Nota seorang ahli hukum belanda yang khusus mempelajari adopsi
adalah suatu lembaga hukum yang dapat memindahkan sesorang kedalam ikatan
keluarga lain (baru) sedemikian rupa sehingga menimbulkan secara keseluruhan
atau sebagian hubungan hukum yang sama seperti antara seorang anak yang
dilahirkan sah dengan orang tuanya (Djaja S. Meliala, SH 1982:3)
Pengangkatan Anak Menurut Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Bugerlijk Weetboek
(BW) yang berlaku di Indonesia tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur
dalam KUHPerdata adalah adopsi atau pengangkatan anak diluar kawin yaitu
yang terdapat dalam Bab XII bagian ke III pasal 280 sampai dengan pasal 290
KUHPerdata. Namun ketentuan ini bisa dikatakan tidak ada hubungannya dengan
adopsi, karena pada asas nya KUHPerdata tidak mengenal adopsi.40 Tidak
diaturnya lembaga adopsi karena KUHPerdata merupakan produk pemerintahan
Hindia Belanda dimana dalam hukum (masyarakat) Belanda sendiri tidak
mengenal lembaga adopsi.
B. Tata Cara Dan Akibat Hukum dalam Pengankatan Anak (Adopsi)
Pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk
tidak mempunyai anak
dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak. Demikian
juga bagi mereka yang
memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam perkawinan. Apa
langkah-langkah tepat
yang harus diambil agar anak angkat tersebut mempunyai kekuatan hukum
1. Pihak yang dapat mengajukan adopsi
a. Pasangan Suami Istri
Ketentuan mengenai adopsi anak bagi pasangan suami istri diatur dalam SEMA
No.6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun 1979
tentang pemeriksaan permohonan pengesahan/pengangkatan anak. Selain itu
Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga menegaskan bahwa syarat untuk
mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan pada saat
mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah kawin
lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat yang berada
dalam asuhan organisasi sosial.
b. Orang tua tunggal
Peraturan yang mengatur tentang pengankatan anak (adopsi) antara lain:
 Staatblaad 1917 No. 129; Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan
anak bagi orang-orang Tionghoa yang selain memungkinkan pengangkatan anak
oleh Anda yang terikat perkawinan, juga bagi yang pernah terikat perkawinan
(duda atau janda). Namun bagi janda yang suaminya telah meninggal dan sang
suami meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki pengangkatan anak,
maka janda tersebut tidak dapat melakukannya. Pengangkatan anak menurut
Staatblaad ini hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan hanya dapat
dilakukan dengan Akte Notaris. Namun Yurisprudensi (Putusan Pengadilan
Negeri Istimewa Jakarta) tertanggal 29 Mei 1963, telah membolehkan
mengangkat anak perempuan.
 Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983; Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur tentang pengangkatan anak
antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan
yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private
adoption), juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang
warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum
menikah (single parent adoption). Jadi, jika Anda belum menikah atau Anda
memutuskan untuk tidak menikah dan Anda ingin mengadopsi anak, ketentuan ini
sangat memungkinkan Anda untuk melakukannya.
2. Tata cara mengadopsi
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara
mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih
dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan
Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada.
Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke panitera.
Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya,
dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan
diangkat .
3. Isi permohonan
Adapun isi Permohonan yang dapat diajukan adalah:
 motivasi mengangkat anak, yang semata-mata berkaitan atau demi masa
depan anak tersebut.
 penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut di masa yang akan
datang.
Untuk itu dalam setiap proses pemeriksaan, Anda juga harus membawa dua orang
saksi yang mengetahui seluk beluk pengangkatan anak tersebut. Dua orang saksi
itu harus pula orang yang mengetahui betul tentang kondisi anda (baik moril
maupun materil) dan memastikan bahwa Anda akan betul- betul memelihara anak
tersebut dengan baik.
4. Yang dilarang dalam permohonan
Ada beberapa hal yang tidak diperkenankan dicantumkan dalam permohonan
pengangkatan anak, yaitu:
 menambah permohonan lain selain pengesahan atau pengangkatan anak.
 pernyataan bahwa anak tersebut juga akan menjadi ahli waris dari
pemohon.
Putusan yang dimintakan kepada Pengadilan harus bersifat tunggal, tidak ada
permohonan lain dan hanya berisi tentang penetapan anak tersebut sebagai anak
angkat dari pemohon, atau berisi pengesahan saja.
Mengingat bahwa Pengadilan akan mempertimbangkan permohonan Anda, maka
Anda perlu mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, termasuk pula
mempersiapkan bukti-bukti yang berkaitan dengan kemampuan finansial atau
ekonomi. Bukti-bukti tersebut akan memberikan keyakinan kepada majelis hakim
tentang kemampuan Anda dan kemungkinan masa depan anak tersebut. Bukti
tersebut biasanya berupa slip gaji, Surat Kepemilikan Rumah, deposito dan
sebagainya.
5. Pencatatan di kantor Catatan Sipil
Setelah permohonan Anda disetujui Pengadilan, Anda akan menerima salinan
Keputusan Pengadilan mengenai pengadopsian anak. Salinan yang Anda peroleh
ini harus Anda bawa ke kantor Catatan Sipil untuk menambahkan keterangan
dalam akte kelahirannya. Dalam akte tersebut dinyatakan bahwa anak tersebut
telah diadopsi dan didalam tambahan itu disebutkan pula nama Anda sebagai
orang tua angkatnya.
6. Akibat hukum pengangkatan anak
Pengangkatan anak berdampak pula pada hal perwalian dan waris.
Perwalian: Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka
orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula,
segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat.
Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah
maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orangtua kandungnya atau
saudara sedarahnya.
Waris: Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum
nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan
yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk
menentukan pewarisan bagi anak angkat.
Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah
anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan
sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli
waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus
segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu
antara orang tua kandung dan anak tersebut.

Anda mungkin juga menyukai