Anda di halaman 1dari 6

Pembagian Harta Warisan dan Kedudukan Ahli Waris menurut Hukum

Perdata
Latar Belakang
Setiap manusia di dalam perjalanan hidupnya di dunia selalu akan mengalami 3 (tiga)
peristiwa yang penting yaitu: pertama, waktu dia pertama kali dilahirkan, kedua, waktu dia
menikah, dan ketiga, pada waktu dia meninggal dunia. Pada waktu seseorang dilahirkan,
tumbuh tugas baru di dalam keluarganya, dalam artian ia akan mengemban hak dan juga
kewajiban. Kemudian setelah manusia tersebut tumbuh menjadi dewasa, dia akan menikah,
dia bertemu dengan kawan hidupnya untuk membangun dan menunaikan dharma-baktinya,
yaitu memastikan berlangsungnya keturunan. Pada bidang hukum perkawinan, yang
demikian ini adalah suatu hal yang sangat penting, karena ada dua makhluk Tuhan yang
selanjutnya akan menjadi satu keluarga. Bertemunya dua orang yang masing-masing jadi
pengemban dari hak dan kewajiban di dalam pertalian perkawinan mempunyai akibat-akibat
di dalam bidang hukum (Affandi, 2004).
Ketika orang tersebut meninggal dunia, akan timbul suatu masalah yaitu apakah yang
akan terjadi dengan harta peninggalan yang dia tinggalkan. Kematian seseorang, tidak hanya
meninggalkan ahli waris saja atau harta peninggalan saja, melainkan juga hubungan-
hubungan hukum yang telah diikat oleh seorang yang meninggal dunia itu sebelum dia
meninggal dunia, yang berpengaruh langsung tidak hanya pada keluarga yang ditinggalkan,
melainkan kepentingan-kepentingan dari berbagai orang lain dari masyarakat baik langsung
maupun tidak langsung dengan seorang yang meninggal dunia itu tadi.
Dalam membicarakan tentang pewarisan yang menjadi permasalahan adalah jika
orang tersebut meninggal dunia dengan meninggalkan harta yang lazim disebut harta warisan,
dengan cara apa kita hendak menyelesaikan atau membagi harta warisan tersebut, hukum apa
yang akan kita terapkan dalam penyelesaian harta warisan itu serta bagaimana pengurusan
dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu.
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang,
diatur oleh hukum waris.
Hukum perdata (Burgerlijk Wethboek) mengatur tentang waris. Dalam hukum waris
BW (perdata) suatu pewarisan terdapat tiga unsur penting, yaitu : (1) adanya orang yang
meninggal dunia selaku pewaris, (2) adanya ahli waris dan, (3) adanya harta kekayaan yang
ditinggalkan. Yang dimaksud dengan pewaris adalah orang yang meninggal dunia dengan
meninggalkan harta kekayaan. Sedangkan yang dimaksud dengan ahli waris adalah orang-
orang yang menggantikan kedudukan si pewaris dalam bidang hukum harta kekayaan, karena
meninggalnya si pewaris. Selanjutnya yang dimaksud dengan warisan adalah harta kekayaan
yang dapat berupa aktiva (aset) atau pasiva (kewajiban) dari si pewaris yang berpindah
kepada para ahli waris (Satrio, 1992).
Hukum yang membahas tentang peralihan harta peninggalan, pengurusan dan
kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia, diatur dalam hukum
waris. Sistem hukum perdata di Indonesia yang bersifat pluralisme (beraneka ragam), begitu
juga dengan belum adanya unifikasi dalam hukum waris di Indonesia yang merupakan bagian
dari hukum perdata Indonesia, sehingga sampai saat ini kita masih memakai tiga sistem
hukum waris yang sudah ada sejak dahulunya, yaitu: hukum waris adat, hukum waris Islam
dan hukum waris Perdata Barat (Muhammad, 2014). Oleh karena itu penulis ingin membahas
bagaimana pembagian harta warisan menurut hukum perdata, dan bagaimana kedudukan ahli
waris menurut hukum perdata.
Rumusan Masalah
1. Bagamiana pembagian harta warisan menurut hukum perdata?
2. Bagaimana kedudukan ahli waris menurut hukum perdata?
Pembahasan
Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Perdata
Dalam KUHPerdata yang dimaksud dengan ahli waris adalah para anggota keluarga
sedarah yang sah maupun diluar perkawinan serta suami dan istri yang hidup diluar
perkawinan serta suami dan istri yang hidup terlama (Pasal 832 KUHPerdata) (KUHP, 2007).
Selanjutnya pada (Pasal 833 KUHPerdata) disebutkan bahwa sekalian ahli waris dengan
sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala
piutang yang meninggal dunia. Menurut kitab undang-undang hukum perdata ada dua cara
untuk mendapatkan warisan, yaitu (Krisnawati, 2006): ahli waris yang ditentukan undang-
undang dan ahli waris yang ditentukan surat wasiat.
Ahli waris adalah orang yang berhak menerima warisan, sebagaimana yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ahli waris ini diatur didalam
(Pasal 832 KUHPerdata) menurut undang-undang yang berhak menjadi ahli waris ialah para
keluarga sedarah, baik sah maupun luar nikah, suami atau isteri yang hidup terlama (KUHP,
2007). Besarnya (Legitieme portie) adalah sebagai berikut: menurut Pasal 914 KUHPerdata:
(1) Bila hanya seorang anak bagian mutlaknya adalah ½ (setengah) dari bagian yang harus
diterimanya (2) Bila dua orang anak bagian mutlaknya 2/3 (dua pertiga) dari apa yang
seharusnya diwarisi oleh masing-masing (3) Tiga orang anak atau lebih yang ditinggalkan
bagian mutlak dari masing-masing anak adalah ¾ (tiga perempat) bagian yang sedianya
masing-masing mereka terima menurut undang-undang.
Surat wasiat (testamen) merupakan suatu pernyataan tentang apa yang dikehendaki
setelah ia meninggal dunia (Subekti, 1985). Sifat utama surat wasiat adalah mempunyai
kekuatan berlaku setelah pembuat surat wasiat meninggal dunia dan tidak dapat ditarik
kembali. Ahli waris menurut surat wasiat jumlahnya tidak tentu sebab bergantung pada
kehendak si pembuat wasiat. Ahli waris menurut wasiat adalah ahli waris yang menerima
warisan karena adanya wasiat (testamen) dari pewaris kepada ahli waris yang dituangkannya
dalan surat wasiat. Dalam (Pasal 875 KUHPerdata) dijelaskan surat wasiat (testamen) adalah
suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi
setelah ia meninggal dunia, dan olehnya dicabut kembali. Seorang ahli waris dapat menolak
warisan yang terbuka baginya. Terjadinya penolakan dihitung sejak hari si pewaris meninggal
dunia, jadi berlaku surut (Pasal 1047) dan bagian Legitieme Portienya juga akan hilang. Ahli
waris yang menolak warisan berarti melepaskan pertanggung jawabannya sebagai ahli waris
dan tidak menerima pembagian harta peninggalan (Kurniawan, 2017).
Kedudukan Ahli Waris Menurut Hukum Perdata
Menurut pasal 1023 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, para ahli waris diberi hak
untuk berpikir lebih dulu untuk dapat menyelidiki keadaan warisan. Selama ahli waris
menyelidiki keadaan harta warisan mereka dapat melakukan pembagian warisan untuk dapat
disampaikan kepada yang berwajib atau yang berkepentingan. Cara untuk mempergunakan
hak berpikir, dengan memberi pernyataan kepada Pengadilan Negeri Setempat. Setelah itu
seorang ahli waris dapat menentukan sikapnya (Affandi, 2004). Di dalam menentukan sikap,
ada tiga kemungkinan:
1) Menerima warisan secara murni
2) Menerima secara benefisier, atau dengan hak istimewa untuk mengadakan
pencatatan harta warisan, dan
3) Menolak warisan
Ketentuan Pasal 1024 KUHPerdata, menentukan hak berpikir diberikan selama 4
(empat) bulan, namun pengadilan dapat memperpanjang atas dasar alasan yang mendesak
satu atau beberapa kali. Dalam praktik tidak banyak ahli waris menggunakan haknya untuk
berpikir. Biasanya langsung menentukan pilihan menerima dengan murni (Angkow, 2017).
Pasal 1048 KUH Perdata, menyatakan bahwa: “Penerimaan suatu warisan dapat dilakukan
secara tegas atau dengan diam-diam, terjadilah dengan tegas penerimaan itu jika seorang di
dalam suatu tulisan otentik atau suatu tulisan di bawah tangan menamakan dirinya waris atau
mengambil kedudukan sebagai demikian, dengan diam-diam terjadilah penerimaan itu, jika
seorang waris melakukan suatu perbuatan, yang dengan jelas menunjukkan maksudnya untuk
menerima warisan tersebut, dan yang memang hanya dapat dilakukannya dalam
kedudukannya sebagai waris. Ahli waris atau para ahli waris yang menerima warisan secara
murni, baik secara diam-diam maupun dengan tegas, bertanggung jawab sepenuhnya atas
segala kewajiban yang melekat pada harta warisan, artinya ahli waris harus menanggung
segala macam utang-utang si pewaris. Aktiva atau harta kekayaan dan passiva atau utang,
dengan sendirinya berpindah kepada ahli waris (Meliala, 2013).
Ketentuan Pasal 1055 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa: “hak
untuk menerima warisan secara murni, lewat waktu atau daluwarsa setelah 30 (tiga puluh)
tahun, terhitung sejak hari terbukanya warisan, asal sebelum maupun sesudah lewat jangka
waktu tersebut, warisannya telah diterima oleh salah seorang dari mereka yang oleh undang-
undang atau oleh suatu wasiat ditunjuk sebagai waris, namun dengan tidak mengurangi hak-
hak pihak ketiga atas warisan tersebut, yang diperoleh karena suatu alasan yang sah.” Apabila
sudah menyatakan menerima dengan murni, maka tidak mungkin lagi menerima dengan
benefisier. Akan tetapi ahli waris yang sudah menerima secara benefisier, ia masih dapat
menerima secara murni. Ahli waris yang sudah menerima secara murni atau benefisier tidak
dapat lagi menolak warisan (Suparman, 1985). Pasal 1056 KUH Perdata, menyatakan bahwa:
“si waris yang sudah menolak warisannya masih juga dapat menerimanya, selama warisan itu
belum diterima oleh mereka yang ditunjuk oleh undang-undang atau wasiat, dengan tidak
mengurangi hak-hak pihak ketiga.”
Ahli waris yang sudah menolak warisan, tidak dapat lagi menerima dengan cara
bagaimana pun juga, kecuali jika harta warisan belum dibagi, ia masih dapat menerimanya.
Menurut Pasal 1032, “hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan
mempunyai akibat (Angkow, 2017):
1) Bahwa ahli waris tidak diwajibkan membayar utang-utang dan beban-beban
warisan yang melebihi jumlah harga benda-benda yang termasuk warisan itu,
dengan menyerahkan semua benda yang termasuk warisan kepada kekuasaan para
berpiutang.
2) Bahwa benda-benda pribadi ahli waris tidak dicampur dengan benda-benda
warisan, dan bahwa ia tetap berhak menagih piutangpiutangnya pribadi dari
warisan.”
Ahli waris hanya bertanggung jawab terhadap utang-utang yang ditinggalkan si
pewaris sepanjang harta warisan yang ditinggalkan cukup untuk membayar utang itu. Harta
warisan terpisah dari harta kekayaan pribadi ahli waris atau dengan kata lain tidak terjadi
percampuran harta kekayaan (confusio) antara kekayaan ahli waris dengan harta warisan.
Ahli waris dapat memilih salah satu dari tiga kemungkinan sebagaimana yang ditentukan
dalam Pasal 1023 KUH Perdata, bahwa: “Semua orang yang memperoleh hak atas suatu
warisan, dan ingin menyelediki keadaan harta peninggalan, agar mereka dapat
mempertimbangkan, apakah akan bermanfaat bagi mereka, untuk menerima warisan itu
secara murni, atau dengan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan,
atau pula untuk menolaknya, mempunyai hak untuk memikir, dan tentang itu mereka harus
melakukan suatu pernyataan di kepaniteraan Pengadilan Negeri, yang di dalam wilayahnya
telah jatuh meluang warisan tersebut, pernyataan mana akan dibukukan dalam suatu register
yang disediakan untuk itu” (Angkow, 2017).
Kesimpulan
Pembagian harta warisan ditinjau dari hukum perdata yaitu satu banding satu untuk
laki-laki dan perempuan (1:1) seperti pasal 852 KUHPerdata yaitu anak-anak dan
keturunannya sama kedudukannya dalam mewaris itu sehingga tidak dipersoalkan apakah
mereka laki-laki atau perempuan, tertua atau termuda. Apabila mewaris atau diri sendiri maka
masing-masing akan mendapatkan bagian yang sama, sedangkan apabila mereka mewaris
dengan pengganti maka pembagian itu akan dibagi sesuai ketentuan.
Kemudian terkait Kedudukan Ahli waris menurut Hukum Perdata, yakni: ahli waris
diberi hak untuk berpikir lebih dulu untuk dapat menyelidiki keadaan warisan. Cara untuk
mempergunakan hak berpikir, dengan memberi pernyataan kepada Pengadilan Negeri
Setempat. Setelah itu seorang ahli waris dapat menentukan sikapnya. Di dalam menentukan
sikap, ada tiga kemungkinan: menerima warisan secara murni, menerima secara benefisier,
atau dengan hak istimewa untuk mengadakan pencatatan harta warisan, dan menolak warisan.
Ahli waris hanya bertanggung jawab terhadap utangutang yang ditinggalkan si pewaris
sepanjang harta warisan yang ditinggalkan cukup untuk membayar utang itu. Harta warisan
terpisah dari harta kekayaan pribadi ahli waris atau dengan kata lain tidak terjadi
percampuran harta kekayaan (confusio) antara kekayaan ahli waris dengan harta warisan.
Daftar Pustaka
Affandi, Ali. (2004). Hukum Waris, Hukum Keluarga, Dan Hukum Pembuktian. Rineka
Cipta.
Angkow, D. (2017). KEDUDUKAN AHLI WARIS DITINJAU DARI KITAB UNDANG-
UNDANG HUKUM PERDATA. LEX ET SOCIETATIS, 5(3).
Krisnawati, Emeliana. (2006). Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetbook (BW). CV.
Utomo: Bandung.
Kurniawan, A. H., & Basri, A. D. (2020). Analisis Terhadap Pembagian Harta Warisan
Ditinjau Dari Hukum Perdata Dan Hukum Islam. Alauddin Law Development
Journal, 2(2), 257-262.
Meliala, Djajah S., Hukum Perdata dalam Perspektif BW, Edisi Revisi ke-II Cet. II, Nuansa
Aulia, Bandung, 2013.
Muhammad, Abdulkadir. (2014). Hukum Perdata Indonesia, Cet. V. PT. Citra Aditya Bakti:
Bandung.
Satrio, J. (1992). Hukum Waris. Penerbit Alumni: Bandung.
Subekti. (1985). Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa: Jakarta.
Suparman, Eman. (1985). Intisari Hukum Waris Indonesia. Armico: Bandung.

Anda mungkin juga menyukai