Oleh Jejen Musfah, Dosen dan Sekretaris Program Magister FITK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Jejenjuni02@gmail.com
Terselubung
Menyoal ijazah palsu, menarik mencermati proses perkuliahan di PT. Apakah ijazah palsu tidak
terjadi di perguruan tinggi? Jika ijazah palsu merujuk pada jual beli nilai dan ijazah, maka di PT sering
terjadi. Misalnya, seseorang tidak mengikuti kuliah atau mengikuti tetapi hanya satu atau dua semester
saja, dan kemudian ia mendapatkan ijazah. Praktik jual beli ijazah dan nilai di PT lebih sulit diidentifikasi
dibanding yang dilakukan oleh perusahaan.
Di PT ditemukan jual beli ijazah dengan beragam modus. Di antaranya, PT menerima mahasiswa
pindahan, dan mahasiswa tersebut bisa tamat S1 dalam setahun. Ini rentan manipulasi nilai, tepatnya
saat konversi nilaiapalagi berbeda Program Studi. Perkuliahan dalam setahun itu termasuk KKN dan
penyusunan skripsi. Pertemuan tatap muka setiap mata kuliah hanya dilakukan 5 kali, termasuk UTS dan
UAS, padahal idealnya 14-16 kali pertemuan.
Pembukaan kelas jauh oleh beberapa PT juga rawan penyimpangan dari standar nasional
pendidikan yang sudah ditetapkan BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan). Beberapa kasus bisa
disebutkan di sini, mahasiswa tidak mengikuti kuliah sama sekali, mengikuti kuliah tapi tidak sampai 4
tahun, pertemuan tatap muka berlangsung hanya maksimal 5 kali atau kurang dari 14 kali, dosen bukan
tamatan S2, fasilitas kelas yang buruktempat kuliah biasanya menumpang di SD/MI, SMP/MTs, atau
SMA/MA, tidak ada perpustakaan, dan tidak ada kultur akademik (seperti seminar, workshop, dan
diskusi dosen).
Sesungguhnya, tidak ada masalah dengan kelas jauh, asal standar nasional pendidikan dipenuhi
dengan baik. Kelas jauh diperlukan karena keterbatasan pemerintah menyediakan PTN yang terjangkau
lokasinya oleh masyarakat, juga PTS yang jumlahnya tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Masyarakat menginginkan kuliah tanpa meninggalkan kerja, sehingga memilih kuliah kelas jauh yang
lokasinya dekat dengan domisilinya.
Praktik jalan pintas juga terjadi di perkuliahan DMSsebagai contoh, di mana mahasiswanya
rata-rata adalah guru senior yang berusia lanjut, bahkan ada yang hampir pensiun. Makalah dan skripsi
sering merupakan hasil menjiplak karya orang lain atau dibuatkan oleh orang lain. Ini karena
keterbatasan kompetensi dari mahasiswa tersebut, di samping juga kemalasan tentunya. Tentu tidak
semua melakukan manipulasi seperti ini.
Efektivitas Fungsi
Praktik jual beli ijazah palsu oleh perusahaan dan PT sangat memprihatinkan. Untuk mencegah
praktik jual beli ijazah di PT, tiga langkah berikut harus dilakukan. Pertama, efektivitas fungsi pemerintah
(Kemendikbud dan Kemenag) dan Kopertis/Kopertais. Pemerintah dan Kopertis/Kopertais memantau
jumlah mahasiwa PT, yaitu berapa yang aktif dan berapa yang diluluskan. PT sering memanipulasi data
mahasiswa melalui kelas-kelas jauhnya. Pada saat wisuda, jumlah mahasiswanya melampaui jumlah
mahasiswa riil yang benar-benar mengikuti perkuliahan.
Asumsinya, ini tidak akan terjadi jika tidak ada kerjasama dengan oknum Kopertis/Kopertais
atau Pemerintah. Pemerintah dan Kopertis/Kopertais terkesan menutup mata terhadap penyimpanganpenyimpangan yang dilakukan oleh PT, bahkan tidak menutup kemungkinan menjadi bagian dari
penyimpangan tersebut.
Pemerintah dan Kopertis/Kopertais juga bisa melakukan sidak atau kunjungan lapangan tanpa
pemberitahuan sebelumnya untuk memantau proses perkuliahan di PT. Melalui kegiatan ini bisa
diketahui fakta kualitas mutu standar pendidikan PT tertentu, mulai dari proses perkuliahan, sarana dan
prasarana, sumber daya manusia, hingga kultur akademik. Fakta standar kualifikasi dosen dan stafnya
juga bisa dilakukan melalui analisis dokumen.
Kedua, jika ditemukan cukup bukti bahwa PT melakukan penyimpangan seperti jual beli ijazah,
maka pemerintah sebaiknya melakukan langkah-langkah tegas berupa pemberian sanksi. Pemerintah
(Kemendikbud atau Kemenag) berkordinasi dengan BAN PT bisa menurunkan nilai akreditasi PT
tersebut. Pemerintah juga bisa menurunkan status PT ini dari universitas ke institut, atau dari institut ke
sekolah tinggi. Jika pelanggarannya berulang, pemerintah bisa membubarkan PT ini.
Izajah yang dikeluarkan oleh PT bisa untuk mendaftar PNS, sedangkan yang dikeluarkan oleh
perusahaan tidak bisa. Sesungguhnya, praktik ijazah palsu di PT terselubung dan lebih berbahaya
dibanding di perusahaan. Maka, selain mengawasi dan menindak perusahaan penjual ijazah palsu,
pemerintah seharusnya fokus juga mengidentifikasi PT negeri maupun swasta, yang diduga melakukan
praktik serupa.
Ketiga, keterbatasan pengawasan dari pemerintah dan Kopertis/Kopertais, bisa diatasi jika
masyarakat melakukan pengawasan dan melaporkan penyimpangan PT kepada pemerintah atau pihak
yang berwenang. Masalahnya, masyarakat cenderung tidak mau tahu keadaan PT, apalagi sampai
melaporkan penyimpangannya. Selama ini, peran pers cukup baik dalam melaporkan kasus ijazah palsu.
Peredaran ijazah palsu, baik yang dilakukan oleh perusahaan maupun PT harus segera
diberantas. Langkah pencegahan dan tindakan tegas terhadap pelaku harus dilakukan oleh pemerintah
dan lembaga yang berwenang. Pemerintah dan aparat hukum harus mengawasi pergerakan perusahaan
dan PT pembuat ijazah palsu, karena berdampak negatif terhadap mutu penyelenggara pemerintahan,
mutu pendidikan, dan mutu bangsa ini.
Sarjana hasil proses pendidikan 4-8 tahun di PT belum menjamin lahirnya sosok ilmuwan,
akademisi, atau peneliti yang berkarakter, apalagi sarjana palsu hasil membeli nilai dan ijazah, dengan
tanpa mengikuti kuliah atau kuliah hanya 1-2 semester. Pemerintah tidak boleh membiarkan situasi di
mana sekelompok generasi muda berjuang belajar di ruang kelas, perpustakaan, dan laboratorium,
untuk meraih sarjana di satu sisi, dan orang-orang yang mencari jalan pintas membeli ijazah di sisi lain.
Jika pemerintah masih abai, kebangkitan pendidikan dan bangsa ini akan sulit terwujud.