Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Undang-Undang

Dasar

1945

mengamanatkan

bahwa

kesehatan adalah merupakan hak asasi manusia. Pada pasal 28 H


dijelaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan jidup yang
baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Pelaksanaan

pelayanan

kesehatan

dalam

rangka

mempertahankan kesehatan yang optimal harus dilakukan bersamasama, oleh semua tenaga kesehatan sebagai konsekuensi dari
kebijakan. Pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagai salah satu
sarana kesehatan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah
maupun masyarakat menempatkan tenaga keperawatan sebagai
tenaga kesehatan mayoritas yang sering berhubungan dengan
pasien sebagai pengguna jasa pelayanan rumah sakit. Perawat hadir
24 jam bersama pasien dan memiliki hubungan yang lebih dekat
dengan pasien dibandingkan tenaga kesehatan lain. Pelayanan
keperawatan

berupa

bantuan

yang

diberikan

karena

adanya

kelemahan fisik dan/atau mental, keterbatasan pengetahuan serta


kurangnya kemauan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara
mandiri.
Keperawatan merupakan salah satu profesi tenaga kesehatan
menurut Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996. Perawat
diposisikan sebagai salah satu dari profesi tenaga kesehatan yang
menempati peran yang setara dengan tenaga kesehatan lain.
Perjalanan awalnya perawat hanya dianggap okuvasi (pekerjaan)
saja yang tidak membutuhkan profesionalisme. Sejalan dengan
perkembangan ilmu dan praktek keperawatan, perawat sudah diakui
sebagai

suatu

profesi,

sehingga

pelayanan

atau

asuhan

keperawatan yang diberikan harus didasarkan pada ilmu dan kiat


keperawatan.
Dalam memberikan pelayanan kesehatan, perawat harus
terlebih

dahulu

Persetujuan

memberikan informed

tindakan

medik

consent kepada

atau informed

pasien.

consent adalah

persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar


penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap
pasien tersebut. Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun
lisan, tetapi setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi
harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang
hendak memberikan persetujuan.
Informed consent berasal dari hak legal dan etis individu
untuk memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya,
dan kewajiban etik dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk
meyakinkan individu yang bersangkutan untuk membuat keputusan
tentang pelayanan kesehatan terhadap diri mereka sendiri.
Dalam

permenkes

585/Men.Kes/Per/

IX/1989

tentang

persetujuan medik pasal 6 ayat 1 sampai 3 disebutkan bahwa yang


memberikan informasi dalam hal tindakan bedah adalah dokter
yang akan melakukan operasi, atau bila tidak ada, dokter lain
dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung
jawab. Dalam hal tindakan yang bukan bedah (operasi) dan
tindakan invasif lainnya, informasi dapat diberikan oleh dokter lain
atau perawat, dengan pengetahuan atau petunjuk dokter yang
bertanggung jawab.
Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 32
tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pasal 22 ayat 1 disebutkan
bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas
profesinya berkewajiban untuk diantaranya adalah kewajiban untuk
menghormati hak pasien, memberikan informasi yang berkaitan

dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan, dan kewajiban


untuk meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan.
Tenaga kesehatan yang tidak menunaikan hak pasien untuk
memberikan informed

consent yang

jelas,

bisa

dikategorikan

melanggar case law (merupakan sifat hukum medik) dan dapat


menimbulkan gugatan dugaan mal praktek. Belakangan ini masalah
malpraktek medik (medical malpractice) yang cenderung merugikan
pasien semakin mendapatkan perhatian dari masyarakat dan
sorotan media massa. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan
Pusat di Jakarta mencatat sekitar 150 kasus malpraktik telah terjadi
di Indonesia. Meskipun data tentang malpraktek yang diakibatkan
oleh informed consent yang kurang jelas belum bisa dikalkulasikan,
tetapi

kasus-kasus

malpraktek

baru

mulai

bermunculan.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa itu Informed Consent
2. Sejarah Informed Consent
3. Fungsi Informed Consent
4. Tujuan Informed Consent
5. Dasar Hukum Informed Consent
6. Bentuk Informed Consent
7. Peran Perawat dalam Pemberian Informed Consent
8. Hal hal yang dapat di informasikan
9. Aspek Hukum Informed Consent

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Informed Consent


Informed
pelaksanaan

consent
suatu

adalah

tindakan,

persetujuan
seperti

individu

operasi

atau

terhadap
prosedur

diagnostik invasif, berdasarkan pemberitahuan lengkap tentang


risiko, manfaat, alternatif, dan akibat penolakan. Informed consent
merupakan
kesehatan

kewajiban
untuk

hukum

memberikan

bagi

penyelengara

informasi

dalam

pelayanan

istilah

yang

dimengerti oleh klien sehingga klien dapat membuat pilihan.

Persetujuan ini harus diperoleh pada saat klien tidak berada dalam
pengaruh obat seperti narkotika.
Secara harfiah informed consent adalah persetujuan bebas
yang didasarkan atas informasi yang diperlukan untuk membuat
persetujuan tersebut. Dilihat dari pihak-pihak yang terlibat , dalam
praktek dan penelitian medis, pengertian informed consent
memuat dua unsur pokok, yakni:
1.

Hak pasien (atau subjek manusiawi yang akan dijadikan

kelinci percobaanmedis) untuk dimintai persetujuannya bebasnya


oleh dokter (tenaga medis) dalam melakukan kegiatan medis pada
pasien

tersebut,

khususnya

apabila

kegiiatan

ini

memuat

kemungkinan resiko yang akan ditanggung oleh pasien.


2.

Kewajiban dokter (tenaga riset medis) untuk menghormati

hak tersebut dan untuk memberikan informasi seperlunya, sehingga


persetujuan bebas dan rasional dapat diberikan kapada pasien.
Dalam pengertian persetujuan bebas terkandung kemungkinan
bagi pasien untuk menerima atau menolak apa yang ditawarkan
dengan disertai penjelasan atau pemberian informasi seperlunya
oleh tenaga medis.
Dilihat dari hal-hal yang perlu ada agar informed consent dapat
diberikan oleh pasien maka, seperti yang dikemukakan oleh Tom L.
Beauchamp dan James F. Childress, dalam pengertian informed
consent terkandung empat unsur, dua menyangkut pengertian
informasi yang perlu diberikan dan dua lainnya menyangkut
perngertian persetujuan yang perlu diminta. Empat unsur itu
adalah: pembeberan informasi, pemahaman informasi, persetujuan
bebas, dan kompetensi untuk membuat perjanjian. Mengenai unsur
pertama, pertanyaan pokok yang biasanya muncul adalah seberapa
jauh pembeberan informasi itu perlu dilakukan. Dengan kata lain,
seberapa jauh seorang dokter atau tenaga kesehata lainnya
memberikan informasi yang diperlukan agar persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau subyek riset medis dapat disebut suatu

persetujuan informed. Dalam

menjawab

pertanyaan

ini

dikemukakan beberapa standar pembeberan, yakni:


a.

Standar praktek profesional (the professional practice

standard)
b.

Standar pertimbangan akal sehat (the reasonable person

standard)
c.

Standar subyektif atau orang perorang (the subjective

standard)
Munurut Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989, PTM berarti
persetujuan yang diberikan pasien atau keluarganya atas
dasar

penjelasan

mengenai

tindakanmedik

yang

akan

dilakukan terhadap pasien tersebut. Dari pengertian diatas


PTM adalah persetujuan yang diperoleh sebelum melakukan
pemeriksaan, pengobatan atau tindakan medik apapun yang akan
dilakukan.
Persetujuan

tersebut

disebut

dengan

Informed

Consent

Informed. Consent hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan


perdata akan berlaku dan ini sangat berhubungan dengan tanggung
jawab profesional menyangkut perjanjian perawatan dan perjanjian
terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila dikaitkan dengan
Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320
memuat 4 syarat sahnya suatu perjanjjian yaitu:
a.

Adanya

kesepakatan

antar

pihak,

bebas

dari

paksaan,

kekeliruan dan penipuan.


b.

Para pihak cakap untuk membuat perikatan

c.

Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak


dilarang

oleh

peraturan

perundang

undangan

serta

merupakan sebab yang masuk akal untuk dipenuhi.


2.2. Sejarah Informed Consent.
Konsep informed consent dapat dikatakan merupakan suatu
konsep yang relatif masih baru dalam sejarah etika medis. Secara
histori konsep ini muncul sebagai suati prinsip yang secara formal
6

ditegaskan hanya setelah Perang dunia ke II, yakni sebagai reaksi


dan tindakan lanjut dari apa yang disebut pengadilan Nuremberg,
yakni pengadilan terhadap para penjahat perang zaman Nazi.
Prinsip informed consent merupakan reaksi terhadap kisah-kisah
yang mengerikann tentang pemakaian manusia secara paksa
sebagai kelinci percobaan medis di kamp-kamp konsentrasi. Sejak
pengadilan Nuremberg, prinsip inforned consent cukup mendapat
perhatian besar dalma etika biomedis.
Dalam

hukum

Inggris-Amerika,

akjaran

tentang

informed

consent juga berkaitan dengan kasus-kasus malpraktek yang


melibatkan perbuatan tertentu pada tubuh pasien yang kompeten
tanpa persetujuannya dalam kasus tersebut dipandang tidak dapat
diterima lepas dari pertimbangan kualitas pelayanan. Mengingat
pentingnya informed consent dalam pelayanan medis, maka dalam
salah satu butir panduan (yakni butir No. 11) dan butir-butir
panduan etis untuk Lembaga-lembaga Pelayanan Medis Katolik di
Amerika terdapat pernyataan sebagai berikut.
Pasien adalah pembuat keputusan utama dalam semua pilihan
yang berhubungan dengan kesehatan dan perawatannya, ini berarti
ia adalah pembuat keputusan pertama, orang yang diandaikan
memprakarsai keputusan berdasarkan keyakinan hidup dan nilainilainya. Sedangkan pembuat keputusan sekunder lainnya juga
mempunyai tanggung jawab. Jika secara hukum pasien tidak
mampu membuat keputusan atau mengambil inisiatif, seorang
pelaku yang lain yang menggantikan pasien. Biasanya keluarga
pasien, kecuali kalau sebelumnya pasien telah menunjuk orang lain
yang bertanggung jawab untuk berusaha menentukan apa yang
kiranya akan dipilih oleh pasien, atau jika itu tidak mungkin,
berusaha dipilih apa yang paling menguntungkan bagi pasien.
Para pemegang profesi pelayanan kesehatan juga merupakan
pembuat keputusan kedua, dengan tanggung jawab menyediakan
pertoongan dan perawatan untuk pasien sejauh itu sesuai dengan
keyakinan hidup dan nilai-nilai mereka. Kebijakan dan praktek
7

rumah sakit harus mengakui serangkai tanggung jawab ini. Para


pemegang profesi pelayanan kesehatan bertanggung jawab untuk
memberikan informasi yang mencukupi dan untuk memberikan
dukungan yang memadai kepada si pasien, sehingga ia mampu
memberikan keputusan yang dilandasi pengetahuan mengenai
perawatan yang mestinya dijalani. Perlu disadari bahwa bantuan
dalam profesi pengambilan keputusan merupakan bagian penting
dalam perawatan kesehatan. Kebijakan dan dokumen mengenai
informed consent haruslah diupayakan untuk meningkatkan dan
melindungi otanomi pasien, bukan pertama-tama melindungi rumah
sakit dan petugas pelayanan medis dari perkara pengaduan hukum.
2.3. Fungsi Informed Consent

Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku

manusia
Penghormatan terhadap hak otonomi perorangan yaitu hak

untuk menentukan nasibnya sendiri


Proteksi terhadap pasien sebagai subjek penerima pelayanan

kesehatan (health care receiver = HCR)


Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam

mengobati pasien
Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter
Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional
Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan

kesehatan
Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang

kedokteran dan kesehatan


Menimbulkan rangsangan

kepada

profesi

medis

untuk

melakukan introspeksi terhadap diri sendiri.


Menurut Katz & Capran, fungsi informed Consent :

promosi otonomi individu.


Proteksi terhadap pasien dan subjek.
Menghindari kecurangan, penipuan dan paksaan.
Mendorong adanya penelitian yang cermat.
Promosi keputusan yang rasional
8

Menyertakan

publik

yang akan dilakukan

Semua

tindakan

terhadap

medik/keperawatan

pasien

harus

mendapat

persetujuan baik lisan maupun tulisan.


2.4. Tujuan Informed Consent:

Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan


dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik
tidak

ada

dasar

pembenarannya

yang

dilakukan

tanpa

sepengetahuan pasiennya.
Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu
kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik
modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik
ada

melekat

suatu

resiko

Permenkes

No.

290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 ).
2.5. Dasar Hukum Informed Consent.
.

Dasar hukum informed consent

UU No. 36 Tahun 2009 Pasal 56 tentang Kesehatan


Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1998 Tentang tenaga

Kesehatan
Peraturan

b/Menkes/SK/Per/II/1998 Tentang RS
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 749A/Menkes/Per/IX/1989

tentang Rekam medis/ Medical record


Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/Menkes/Per/IX/1989

Tentang Persetujuan Tindakan Medis


Kep Menkes RI No. 466/Menkes/SK dan standar Pelayanan

Medis di RS
Fatwa pengurus IDI Nomor: 139/PB/A.4/88/Tertanggal 22

Februari 1988 Tentang Informed Consent


Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1981 Tertanggal 16

Menteri

Kesehatan

RI

No.

159

juni 1981Tentang Bedah Mayat Klinik dan Bedah Mayat


Anatomis serta Transplantasi Alat dan/atau Jaringan Tubuh
Manusia

2.6. Bentuk Informed Consent


Ada dua bentuk informed consent

Implied constructive Consent (Keadaan Biasa)


Tindakan yang biasa dilakukan , telah diketahui, telah

dimengerti oleh masyarakat umum, sehingga tidak perlu lagi di


buat tertulis misalnya pengambilan darah untuk laboratorium,
suntikan, atau hecting luka terbuka.

Implied Emergency Consent (keadaan Gawat Darurat)


Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna

jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa


tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat
dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan
medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan
dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1)
dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap
tindakan

medis

yang

mengandung

resiko

cukup

besar,

mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya


pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang
perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya
(telah terjadi informed consent)
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan
medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko
tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui
isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa
tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai
tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
2.7. Peran Perawat dalam Pemberian Informed Consent
Peran merupakan sekumpulan harapan yang dikaitkan dengan
suatu posisi dalam masyarakat. Peran adalah seperangkat tingkah
10

laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang, sesuai


kedudukannya dalam suatu sistem. Berhubungan dengan profesi
keperawatan, orang lain dalam definisi ini adalah orang-orang yang
berinteraksi dengan perawat baik interaksi langsung maupun tidak
langsung terutama pasien sebagai konsumen pengguna jasa
pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Peran

perawat

pemberian informed consent

professional
adalah

dapat

dalam

sebagai

client

advocate dan educator. Client advocate yaitu perawat bertanggung


jawab

untuk

membantu

klien

dan

keluarga

dalam

menginterpretasikan informasi dari berbagai pemberi pelayanan


dan dalam memberikan informasi lain yang diperlukan untuk
mengambil

persetujuan

(informed

consent)

atas

tindakan

keperawatan yang diberikan kepadanya. A client advocate is an


advocate

of

clients

rights.

Sedangkan educator yaitu

sebagai

pemberi pendidikan kesehatan bagi klien dan keluarga.


2.8. Hal hal yang dapat di informasikan
1. Hasil Pemeriksaan
Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan
yang telah dilakukan. Misalnya perubahan keganasan pada hasil Pap
smear.

Apabila

infomasi

sudah

diberikan,

maka

keputusan

selanjutnya berada di tangan pasien.

2. Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan
disertai upaya antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal
tersebut. Reaksi alergi idiosinkratik dan kematian yang tak terduga
akibat pengobatan selama ini jarang diungkapkan dokter. Sebagian
kalangan berpendapat bahwa kemungkinan tersebut juga harus
diberitahu pada pasien.
11

Jika seorang dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya


berisiko dan terdapat alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia
harus memberitahukannya pada pasien. Jika seorang dokter tidak
yakin pada kemampuannya untuk melakukan suatu prosedur terapi
dan terdapat dokter lain yang dapat melakukannya, ia wajib
memberitahukan pada pasien.
3. Alternatif
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam
proses diagnosis dan terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur,
manfaat, kerugian dan bahaya yang ditimbulkan dari beberapa
pilihan tersebut. Sebagai contoh adalah terapi hipertiroidisme.
Terdapat tiga pilihan terapi yaitu obat, iodium radioaktif, dan
subtotal

tiroidektomi.

Dokter

harus

menjelaskan

prosedur,

keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin timbul.


4. Rujukan atau konsultasi
Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari
bahwa kemampuan dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk
melaksanakan

terapi

pada

pasien-pasien

tertentu.

Pengadilan

menyatakan bahwa dokter harus merujuk saat ia merasa tidak


mampu melaksanakan terapi karena keterbatasan kemampuannya
dan ia mengetahui adanya dokter lain yang dapat menangani
pasien tersebut lebih baik darinya.
5. Prognosis
Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi,
sekuele, ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap
pilihan termasuk tidak mendapat pengobatan atau tidak mendapat
tindakan apapun. Pasien juga berhak mengetahui apa yang
diharapkan dari dan apa yang terjadi dengan mereka. Semua ini
berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan yang dapat diduga

12

oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa bukan merupakan
bagian dari informed consent.
2.9. Aspek Hukum Informed Consent
Dalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa
tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai subyek
hukum yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban,
sedangkan jasa tindakan medis sebagai obyek hukum yakni
sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek
hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang
akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja
maupun oleh dua pihak.
Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana
jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik
Kedokteran

Indonesia)

bagi

dokter,

juga

tetap

tidak

dapat

melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum


pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat
diterapkan.
Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum
perdata, tolok ukur yang digunakan adalah kesalahan kecil (culpa
levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis
yang

merugikan

pasien,

maka

sudah

dapat

dimintakan

pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada


hukum perdata secara umum berlaku adagium barang siapa
merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi. Sedangkan
pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah
kesalahan berat (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan
kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat
dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan
oleh

pelaksana

jasa

tindakan

medis

(dokter)

tanpa

adanya

persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien),


13

sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu


memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan
medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu
perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal
1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena
pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus
menghormatinya;
Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus
dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive
(misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan
pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien,
maka

pelaksana

jasa

tindakan

medis

dapat

dituntut

telah

melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan


pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter
harus menyadari bahwa informed consent benar-benar dapat
menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien
dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban
masing-masing

pihak

yang

seimbang

dan

dapat

dipertanggungjawabkan.
Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya
relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu
inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal
tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritisyuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian
yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan
dengan informed consent ini.

14

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Informed

consent

adalah

persetujuan

individu

terhadap

pelaksanaan suatu tindakan, seperti operasi atau prosedur


diagnostik

invasif,

berdasarkan

pemberitahuan

lengkap

tentang risiko, manfaat, alternatif, dan akibat penolakan.


Informed

consent

penyelengara

merupakan

pelayanan

kewajiban

kesehatan

untuk

hukum

bagi

memberikan

informasi dalam istilah yang dimengerti oleh klien sehingga


klien dapat membuat pilihan. Persetujuan ini harus diperoleh
pada saat klien tidak berada dalam pengaruh obat seperti
narkotika.
Secara harfiah informed consent adalah persetujuan bebas
yang

didasarkan

atas

informasi

yang

diperlukan

untuk

membuat persetujuan tersebut. Dilihat dari pihak-pihak yang


terlibat , dalam praktek dan penelitian medis, pengertian
informed consent memuat dua unsur pokok, yakni:
15

1.

Hak pasien (atau subjek manusiawi yang akan dijadikan

kelinci

percobaanmedis)

untuk

dimintai

persetujuannya

bebasnya oleh dokter (tenaga medis) dalam melakukan


kegiatan medis pada pasien tersebut, khususnya apabila
kegiiatan

ini

memuat

kemungkinan

resiko

yang

akan

ditanggung oleh pasien.


2.

Kewajiban

dokter

(tenaga

riset

medis)

untuk

menghormati hak tersebut dan untuk memberikan informasi


seperlunya, sehingga persetujuan bebas dan rasional dapat
diberikan kapada pasien.
3.

Peran

perawat

pemberian informed consent

professional
adalah

dapat

sebagai

dalam
client

advocate dan educator

DAFTAR PUSTAKA

Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja.


2005.Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi
Mahasiswa Kedokteran dan Hukum. Penerbit Pustaka Dwipar.
J. Guwandi. Informed consent Consent. FKUI. Jakarta. 2004.
M.jusuf H & Amri Amir. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan.
EGC. Jakarta. 1999.
Anonim. (2012). Persetujuan dan Penolakan terhadap
Tindakan
Medis.http://informedconsent_a1.webs.com/persetujuanpenola
kan.htm. Diakses pada tanggal 11 Oktober 2014, pukul 12.36
WIB
Anonim. (2012). Mengenal Informed
Consent.http://www.scribd.com/doc/ 22040447/All-AboutInformed-Consent. Diakses pada tanggal 11 Oktober, pukul
12.38 WIB
16

17

Anda mungkin juga menyukai