Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Asuhan yang berkualitas dapat dicapai dengan adanya profesionalisme keperawatan.
Pelayanan keperawatan professional di rumah sakit diberikan oleh kelompok
keperawatan. Kelompok keperawatan yang bertanggungjawab untuk terlaksananya
peran dan kegiatan perawat di rumah sakit dapat berupa komite yang berada dalam
struktur tetapi menjalankan peran fungsional. Komite keperawatan di RS merupakan
media utama untuk mengakomodasi dan memfasilitasi tumbuhnya komite keperawatan
melalui system pengampu keilmuan yang dapat mempertahankan profesionalisme
pelayanan keperawatan yang diberikan. Asuhan yang berkualitas mempunyai beberapa
elemen:
1. Meningkatnya kesehatan dalam waktu sesingkat mungkin
2. Diberikan pada waktu yang tidak tertunda
3. Menekankan kepada pencegahan, penemuan dini, dan stretment
4. Dengan landasan pemahaman terjadi kerjasama dan berpartisipasi klien dalam
membuat keputusan tentang proses asuhan.
5. Berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah dan cakap dalam menggunakan teknologi dan
sumber-sumber keprofesian.
6. Menunjukan kesadaran akan stress dan kecemasan pasien dan keluarga dengan
concern akan kesejahteraan pasien secara menyeluruh.
7. Memanfaatkan dengan efisien teknologi yang tepat dan sumber-sumber kesehatan
lainnya
8. Secara memadai didokumentasikan untuk kemungkinan kontinuitas asuhan

B. TUJUAN
1. Menjadi acuan dalam setiap program pelayanan keperawatan atau kebidanan di
lingkungan RS Amanah Mahmudah agar lebih terencana,terarah, efektif dan efisien
2. Memenuhi ketentuan tertib adminitrasi demi terciptanya managemen secara
professional .
3. Mewujudkan profesionalisme dalam pelayanan keperawatan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kewenangan Klinis (Clinical Privilege)

2.1.1 Pengertian Pada dasarnya semua pelayanan kesehatan yang terjadi di sebuah rumah sakit

dan akibatnya menjadi tanggung jawab institusi rumah sakit itu sendiri, hal ini sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perumahsakitan.

Oleh karenanya rumah sakit harus mengatur seluruh pelayanan kesehatan yang dilakukan

oleh tenaga keperawatan sedemikian rupa agar aman bagi pasien. Dengan demikian, bila

seorang perawat telah diizinkan melakukan pelayanan kesehatan dan prosedur klinis

lainnya di sebuah rumah sakit berarti yang bersangkutan telah diistimewakan dan diberikan

hak khusus (privilege) oleh rumah sakit. Hak perawat tersebut disebut sebagai kewenangan

klinis (clinical privilege). Kewenangan klinis (clinical privilege) tenaga keperawatan

adalah kewenangan yang diberikan oleh kepala rumah sakit kepada tenaga keperawatan

untuk melakukan asuhan keperawatan dalam lingkungan rumah sakit untuk suatu periode

tertentu yang dilaksanakan berdasarkan penugasan klinis. Penugasan klinis adalah

penugasan kepala/direktur rumah sakit kepada tenaga keperawatan untuk melakukan

asuhan 10 keperawatan atau asuhan kebidanan di rumah sakit tersebut berdasarkan daftar

kewenangan klinis yang telah ditetapkan baginya. Kewenangan klinis diberikan kepada

perawat dengan tujuan agar tidak menimbulkan konflik di antara tenaga kesehatan. Tenaga

kesehatan lain dapat merasa bahwa lahan pekerjaan yang dimilikinya dicampuri atau

diambil alih oleh pihak lain. Konflik yang timbul tentunya akan mempengaruhi kualitas

pelayanan dari perawat dan rumah sakit yang bersangkutan. Dengan diaturnya kewenangan

klinis tersebut maka setiap perawat akan mempunyai batas yang jelas dalam memberikan

asuhan keperawatan kepada pasien. Pemberian kewenangan klinis juga bertujuan untuk

melindungi keselamatan pasien dengan menjamin bahwa tenaga keperawatan yang

memberikan asuhan keperawatan dan kebidanan memiliki kompetensi dan kewenangan

klinis yang jelas (Permenkes, 2011).

2.1.2 Kredensial Pemberian kewenangan klinis (clinical privilege) kepada seorang perawat

dilakukan dengan melakukan suatu proses yang disebut kredensial. Kredensial adalah
proses evaluasi terhadap tenaga keperawatan untuk menentukan kelayakan pemberian

kewenangan klinis. Proses kredensial mencakup tahapan review, verifikasi dan evaluasi

terhadap 11 dokumen – dokumen yang berhubungan dengan kinerja tenaga keperawatan.

Proses kredensial dilakukan oleh sub komite kredensial di komite keperawatan rumah

sakit. Komite keperawatan adalah wadah nonstruktural rumah sakit yang mempunyai

fungsi utama mempertahankan dan meningkatkan profesionalisme tenaga keperawatan

melalui mekanisme kredensial, penjagaan mutu profesi dan pemeliharaan etika dan disiplin

profesi sehingga pelayanan asuhan keperawatan dan asuhan kebidanan kepada pasien

diberikan secara benar (ilmiah) sesuai standar yang baik (etis) sesuai kode etik profesi serta

hanya diberikan oleh tenaga keperawatan yang kompeten dengan kewenangan yang jelas

(Permenkes, 2011). Komite Keperawatan merupakan kelompok profesi tenaga

keperawatan yang secara struktur fungsional berada di bawah kepala/direktur rumah sakit

dan bertanggungjawab langsung kepada kepala/direktur rumah sakit. Komite Keperawatan

dibentuk melalui mekanisme yang disepakati dan sesuai dengan peraturan

perundangundangan yang berlaku (Permenkes, 2011). Komite Keperawatan hendaknya

dapat memberikan jaminan kepada kepala/direktur rumah sakit, bahwa tenaga keperawatan

memiliki kompetensi kerja yang tinggi sesuai standar pelayanan dan berperilaku baik

sesuai etika profesinya. Komite Keperawatan bertugas membantu kepala/direktur rumah

sakit dalam melakukan kredensial, pembinaan disiplin dan etika profesi tenaga

keperawatan serta pengembangan profesional berkelanjutan (Permenkes, 2011).

Kredensial secara umum merupakan istilah yang memayungi lisensi, sertifikasi, akreditasi

dan pendaftaran/registrasi yaitu :

a. Sertifikasi Sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kompetensi

seorang tenaga kesehatan untuk dapat menjalankan praktik dan/atau pekerjaan

profesinya di seluruh Indonesia setelah lulus uji kompetensi (PMK 1796, pasal 1).

Untuk memperoleh sertifikat kompetensi, sebelumnya dilakukan uji kompetensi. Uji

kompetensi adalah suatu proses untuk mengukur pengetahuan, keterampilan dan sikap

tenaga kesehatan sesuai dengan standar profesi (PMK 1796, pasal 1). Pelaksanaa uji
kompetensi dilaksanakan oleh MTKP (Majelis Tenaga Kesehatan Propinsi). Setelah

dinyatakan lulus, yang bersangkutan akan memperoleh Sertifikat Kompetensi yang

ditetapkan oleh ketua MTKP.

b. Registrasi Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap tenaga kesehatan yang telah

memiliki sertifikat kompetensi dan telah memenuhi kualifikasi tertentu serta diakui

secara hukum untuk menjalankan praktik dan/atau pekerjaan profesinya (PMK 1796,

pasal 1). 13 Surat Tanda Registrasi (STR) adalah bukti tertulis yang diberikan oleh

pemerintah kepada tenaga kesehatan yang diregistrasi setelah memiliki sertifikat

kompetensi. Penjelasan tersebut tertuang dalam Permenkes RI No. 1796 tahun 2011,

pasal 9.

c. Akreditasi Aspek kredensial yang terkait dengan akreditasi meliputi ijasah yang

dikeluarkan oleh institusi pendidikan. Hal ini berhubungan dengan persyaratan untuk

memperoleh STR dimana salah satu syaratnya memiliki ijasah. Ijasah tersebut akan

diberikan atau dikeluarkan oleh institusi pendidikan yang telah terakreditasi oleh Badan

Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).

2.1.3 Tahapan Pemberian Kewenangan Klinis Secara garis besar tahapan pemberian kewenangan

klinis yang harus diatur lebih lanjut oleh rumah sakit adalah sebagai berikut :

a. Tenaga keperawatan mengajukan permohonan kewenangan klinis kepada kepala atau

direktur rumah sakit dengan mengisi formulir daftar rincian kewenangan klinis yang

telah disediakan rumah sakit dengan dilengkapi bahan-bahan pendukung.

b. Berkas permohonan tenaga perawat yang telah lengkap disampaikan oleh kepala atau

direktur rumah sakit kepada komite keperawatan.

c. Kajian terhadap formulir daftar rincian kewenangan klinis yang telah diisi oleh

pemohon.
d. Dalam melakukan kajian subkomite kredensial dapat membentuk panel atau panitia ad-

hoc dengan melibatkan mitra bestari dari disiplin yang sesuai dengan kewenangan klinis

yang diminta berdasarkan buku putih (white paper).

e. Subkomite kredensial melakukan seleksi terhadap anggota panel atau panitia ad-hoc

dengan mempertimbangkan reputasi, adanya konflik kepentingan, bidang disiplin dan

kompetensi yang bersangkutan.

f. Pengkajian oleh subkomite kredensial meliputi elemen :

1) Kompetensi

a) berbagai area kompetensi sesuai standar kompetensi yang disahkan oleh lembaga

pemerintah yang berwenang untuk itu

b) kognitif

c) afektif

d) psikomotor

2) Kompetensi fisik

3) Kompetensi mental/perilaku

4) Perilaku etis (ethical standing)

g. Kewenangan klinis yang diberikan mencakup derajat kompetensi dan cakupan praktik.

h. Daftar rincian kewenangan klinis (delineation of clinical privilege) diperoleh dengan

cara :

1) menyusun daftar kewenangan klinis dilakukan dengan meminta masukan dari setiap

Kelompok Staf Medis.

2) mengkaji kewenangan klinis bagi Pemohon dengan menggunakan daftar rincian

kewenangan klinis (delineation of clinical privilege).


3) mengkaji ulang daftar rincian kewenangan klinis bagi tenaga perawat dilakukan

secara periodik.

i. Rekomendasi pemberian kewenangan klinis dilakukan oleh komite keperawatan

berdasarkan masukan dari subkomite kredensial.

j. Subkomite kredensial melakukan rekredensial bagi setiap perawat yang mengajukan

permohonan pada saat berakhirnya masa berlaku surat penugasan klinis (clinical

appointment), dengan rekomendasi berupa :

1) kewenangan klinis yang bersangkutan dilanjutkan

2) kewenangan klinis yang bersangkutan ditambah

3) kewenangan klinis yang bersangkutan dikurangi

4) kewenangan klinis yang bersangkutan dibekukan untuk waktu tertentu

5) kewenangan klinis yang bersangkutan diubah/dimodifikasi

6) kewenangan klinis yang bersangkutan diakhiri k. Bagi perawat yang ingin

memulihkan kewenangan klinis yang dikurangi atau menambah kewenangan klinis

yang dimiliki dapat mengajukan permohonan kepada komite keperawatan melalui

kepala/direktur rumah sakit. Selanjutnya, komite keperawatan 16 menyelenggarakan

pembinaan profesi antara lain melalui mekanisme pendampingan (proctoring).

l. Kriteria yang harus dipertimbangkan dalam memberikan rekomendasi

kewenangan klinis :

1) Pendidikan

a lulus dari sekolah keperawatan yang terakreditasi atau dari sekolah

keperawatan luar negeri dan sudah diregistrasi

b menyelesaikan program pendidikan konsultan.

2) Perizinan (lisensi)
a memiliki surat tanda registrasi yang sesuai dengan bidang profesi

b memiliki izin praktek dari dinas kesehatan setempat yang masih berlaku.

3) Kegiatan penjagaan mutu profesi

a menjadi anggota organisasi yang melakukan penilaian kompetensi bagi

anggotanya

b berpartisipasi aktif dalam proses evaluasi mutu klinis.

4) Kualifikasi personal

a riwayat disiplin dan etik profesi

b keanggotaan dalam perhimpunan profesi yang diakui

c keadaan sehat jasmani dan mental, termasuk tidak terlibat penggunaan obat

terlarang dan alkohol, yang dapat mempengaruhi kualitas pelayanan terhadap

pasien

d riwayat keterlibatan dalam tindakan kekerasan

e memiliki asuransi proteksi profesi (professional indemnity insurance).

5) Pengalaman dibidang keprofesian

a) riwayat tempat pelaksanaan praktik profesi

b) riwayat tuntutan medis atau klaim oleh pasien selama menjalankan profesi.

m. Berakhirnya kewenangan klinis Kewenangan klinis akan berakhir bila surat

penugasan klinis (clinical appointment) habis masa berlakunya atau dicabut oleh

kepala atau direktur rumah sakit. Surat penugasan klinis untuk setiap tenaga

perawat memiliki masa berlaku untuk periode tertentu, misalnya dua tahun. Pada

akhir masa berlakunya surat penugasan tersebut rumah sakit harus melakukan

rekredensial terhadap tenaga perawat yang bersangkutan. Proses rekredensial ini

lebih sederhana dibandingkan dengan proses kredensial awal sebagaimana


diuraikan di atas karena rumah sakit telah memiliki informasi setiap staf medis

yang melakukan pelayanan medis di rumah sakit tersebut.

n. Pencabutan, perubahan/modifikasi dan pemberian kembali kewenangan klinis.

Pertimbangan pencabutan kewenangan klinis tertentu oleh kepala atau direktur

rumah sakit didasarkan pada kinerja profesi di lapangan, misalnya perawat yang

bersangkutan terganggu 18 kesehatannya, baik fisik maupun mental. Selain itu,

pencabutan kewenangan klinis juga dapat dilakukan bila terjadi kecelakaan kerja

yang diduga karena inkompetensi atau karena tindakan disiplin dari komite

keperawatan. Namun demikian, kewenangan klinis yang dicabut tersebut dapat

diberikan kembali bila tenaga perawat tersebut dianggap telah pulih

kompetensinya. Dalam hal kewenangan klinis tertentu seorang perawat diakhiri,

komite medik akan meminta subkomite mutu profesi untuk melakukan berbagai

upaya pembinaan agar kompetensi yang bersangkutan pulih kembali. Komite

keperawatan dapat merekomendasikan kepada kepala/direktur rumah sakit

pemberian kembali kewenangan klinis tertentu setelah melalui proses

pembinaan.

2.2 Perawat

2.2.1 Pengertian Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan

bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan

ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit

yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia. Pelayanan keperawatan adalah bentuk

pelayanan fisiologis, psikologis, sosial, spiritual dan kultural yang diberikan kepada klien

karena ketidakmampuan, ketidakmauan dan ketidaktahuan klien

dalam memenuhi kebutuhan dasar yang terganggu baik aktual maupun potensial. Fokus

keperawatan adalah respons klien terhadap penyakit, pengobatan dan lingkungan.

Tanggung jawab perawat yang sangat mendasar adalah meningkatkan kesehatan,

mencegah penyakit, memulihkan dan mengurangi penderitaan. Tanggung jawab ini


bersifat universal. Perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan program

pendidikan keperawatan baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh

Pemerintah Republik Indonesia, teregister dan diberi kewenangan untuk melaksanakan

praktik keperawatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Perawat profesional

adalah tenaga profesional yang mandiri, bekerja secara otonom dan berkolaborasi dengan

yang lain dan telah menyelesaikan program pendidikan profesi keperawatan, terdiri dari

ners generalis, ners spesialis dan ners konsultan. Jika telah lulus uji kompetensi yang

dilakukan oleh badan regulatori yang bersifat otonom, selanjutnya disebut Registered

Nurse (RN). Menurut PPNI perawat profesional adalah tenaga keperawatan yang berasal

dari jenjang pendidikan tinggi keperawatan (ahli madya, ners, ners spesialis, ners

konsultan). Perawat vokasional adalah seseorang yang mempunyai kewenangan untuk

melakukan praktik dengan batasan tertentu dibawah supervisi langsung maupun tidak

langsung oleh perawat profesional 20 dengan sebutan Licensed Vocational Nurse (LVN).

Menurut PPNI perawat vokasional adalah seseorang yang telah menyelesaikan

pendidikan Diploma III Keperawatan yang diakui pemerintah dan diberi tugas penuh oleh

pejabat yang berwenang.

2.2.2 Standar Kompetensi Perawat Indonesia Standar diartikan sebagai ukuran atau patokan

yang disepakati, sedangkan kompetensi dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang

yang dapat terobservasi mencakup atas pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam

menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas dengan standar kinerja (performance) yang

ditetapkan. Standar kompetensi perawat merefleksikan atas kompetensi yang diharapkan

dimiliki oleh individu yang akan bekerja di bidang pelayanan keperawatan. Menghadapi

era globalisasi, standar tersebut harus ekuivalen dengan standar-standar yang berlaku

pada sektor industri kesehatan di negara lain serta dapat berlaku secara internasional.

Standar kompetensi disusun dengan tujuan :

a. Bagi lembaga pendidikan dan pelatihan keperawatan

1) Memberikan informasi dan acuan pengembangan program dan kurikulum pendidikan

keperawatan
2) Memberikan informasi dan acuan pengembangan program dan kurikulum pelatihan

keperawatan

b. Bagi dunia usaha/industri kesehatan dan pengguna, sebagai acuan dalam

1) Penetapan uraian tugas bagi tenaga keperawatan.

2) Rekruitmen tenaga perawat.

3) Penilaian unjuk kerja

4) Pengembangan program pelatihan yang spesifik

c. Bagi institusi penyelenggara pengujian dan sertifikasi perawat

Sebagai acuan dalam merumuskan paket-paket program sertifikasi sesuai dengan

kualifikasi dan jenis.

2.2.3 Struktur Organisasi Perawat di Ruangan Berdasarkan model praktek keperawatan

profesional (MPKP), pengorganisasian di ruangan menggunakan pendekatan sistem atau

metode penugasan tim. Tenaga perawat diorganisasikan dengan menggunakan metode

penugasan perawat primer dan tim keperawatan yang dimodifikasi. Perawat dibagi dalam

tim sesuai dengan jumlah pasien di ruangan. Jumlah pasien untuk tiap tim 8-10 orang dan

jumlah perawat antara 6-10 orang, untuk itu akan dibuat struktur organisasi daftar dinas

dan daftar pasien. Struktur organisasi ruang MPKP menggunakan sistem penugasan tim-

primer keperawatan. Ruang MPKP dipimpin oleh kepala ruang yang membawahi dua

atau lebih ketua tim. Ketua tim berperan sebagai perawat primer membawahi beberapa

perawat pelaksana yang memberikan asuhan keperawatan secara menyeluruh kepada

sekelompok klien.

Uraian tugas masing – masing perawat di ruangan menurut MPKP antara lain :

a. Kepala ruangan

1) Membuat rencana tahunan, bulanan, mingguan dan harian.


2) Mengorganisir pembagian tim dan pasien.

3) Memberi pengarahan kepada seluruh kegiatan yang ada di ruangannya.

4) Melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan yang ada di ruangannya.

5) Memfasilitasi kolaborasi tim dengan anggota tim kesehatan yang lainnya.

6) Melakukan audit asuhan dan pelayanan keperawatan di ruangannya, kemudian

menindak lanjutinya.

7) Mewakili MPKP dalam koordinasi dengan unit kerja lainnya.

b. Wakil Kepala Ruangan

1) Sebagai pembantu utama di ruangan dalam melaksanakan tugas ketatausahaan,

mengawasi serta mengendalikan keperawatan diruangan yang menjadi tanggung

jawabnya

2) Mewakili Kepala ruangan bila kepala ruangan berhalangan

c. Perawat Primer (Primary Nurse)

1) Membuat rencana tahunan, bulanan, mingguan dan harian.

2) Mengatur jadwal dinas timnya yang dikoordinasikan dengan kepala ruangan.

3) Melakukan pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi asuhan keperawatan

bersama-sama anggota timnya.

4) Memberi pengarahan pada perawat pelaksana tentang pelaksanaan asuhan

keperawatan.

5) Melakukan kolaborasi dengan tim kesehatan lainnya dalam pelaksanaan asuhan

keperawatan.

6) Melakukan audit asuhan keperawatan yang menjadi tanggung jawab timnya.

7) Melakukan perbaikan pemberian asuhan keperawatan.


d. Perawat Asosiet (Associate Nurse)

1) Membuat rencana harian asuhan keperawatan yang menjadi tanggungjawabnya.

2) Melaksanakan asuhan keperawatan dengan melakukan interaksi dengan pasien dan

keluarganya.

3) Melaporkan perkembangan kondisi pasien kepada ketua tim.

2.3 Implementasi Kebijakan

2.3.1 Pengertian Terdapat beberapa konsep mengenai implementasi kebijakan yang

dikemukakan oleh beberapa ahli. Secara etimologis, implementasi menurut kamus

Webster yang dikutib oleh Solichin Abdul Wahab adalah sebagai berikut :

Konsep implementasi berasal dari Bahasa Inggris yaitu to implement. Dalam kamus

besar Webster, to implement (mengimplementasikan) yang berarti to provide the means

for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu) dan to give practical

effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu) (Wahab, 2006).

Pengertian implementasi selain menurut Webster di atas dijelaskan juga menurut Van

Meter dan Van Horn dalam Wahab bahwa implementasi adalah tindakan-tindakan yang

dilakukan baik oleh individuindividu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok

pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah

digariskan dalam keputusan kebijakan (Wahab, 2006). Definisi lain juga diutarakan oleh

Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier yang menjelaskan makna implementasi dengan

mengatakan bahwa hakikat utama implementasi kebijakan adalah memahami apa yang

seharusnya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan.

Pemahaman tersebut mencakup usaha-usaha untuk mengadministrasikannya dan

menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian (Widodo, 2010).

Berdasarkan beberapa definisi yang disampaikan para ahli di atas, disimpulkan bahwa

implementasi merupakan suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh pelaksana

kebijakan dengan harapan akan 25 memperoleh suatu hasil yang sesuai dengan tujuan

atau sasaran dari suatu kebijakan itu sendiri.


2.3.2 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Untuk mengkaji lebih baik

suatu implementasi kebijakan publik maka perlu diketahui variabel dan faktor-faktor

yang mempengaruhinya. Untuk itu, diperlukan suatu model kebijakan guna

menyederhanakan pemahaman konsep suatu implementasi kebijakan. Terdapat banyak

model yang dapat dipakai untuk menganalisis sebuah implementasi kebijakan, salah

satunya adalah model implementasi yang dikemukakan oleh George Edward III. Edward

melihat implementasi kebijakan sebagai suatu proses yang dinamis, dimana terdapat

banyak faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi implementasi kebijakan.

Faktor-faktor tersebut perlu ditampilkan guna mengetahui bagaimana pengaruh faktor-

faktor tersebut terhadap implementasi. Faktor – faktor tersebut yaitu komunikasi

(communications), sumber daya (resources), sikap (dispositions atau attitudes) dan

struktur birokrasi (bureucratic structure).

a. Komunikasi (communications) Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-

ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang

bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan

kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para

pelaksana. Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu

dikomunikasikan sehingga implementors mengetahui secara tepat ukuran maupun

tujuan kebijakan itu. Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang amat

kompleks dan rumit. Sumber informasi yang berbeda dapat melahirkan interpretasi

yang berbeda pula. Agar implementasi berjalan efektif, siapa yang bertanggungjawab

melaksanakan sebuah keputusan harus mengetahui apakah mereka dapat

melakukannya. Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh semua

personil dan harus mengerti secara jelas dan akurat mengenai maksud dan tujuan

kebijakan. Jika para aktor pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan spesifikasi

kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti apa sesungguhnya yang akan diarahkan.

Para implementor kebijakan bingung dengan apa yang akan mereka lakukan sehingga

jika dipaksakan tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak cukupnya
komunikasi kepada para implementor secara serius mempengaruhi implementasi

kebijakan.

b. Sumber Daya (resources) Komponen sumberdaya ini meliputi jumlah staf, keahlian

dari para pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan

kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya

kewenangan yang 27 menjamin bahwa program dapat diarahkan sebagaimana yang

diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk

melakukan kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana. Sumberdaya manusia

yang tidak memadai (jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat dilaksanakannya

program secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan

baik. Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas maka hal yang harus dilakukan

meningkatkan kemampuan/ketrampilan para pelaksana untuk melakukan program.

Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik agar dapat meningkatkan kinerja

program. Informasi merupakan sumber daya penting bagi pelaksanaan kebijakan. Ada

dua bentuk informasi yaitu informasi mengenai bagaimana cara menyelesaikan

kebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus

dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepada peraturan pemerintah dan

undang-undang. Sumberdaya lain yang juga penting adalah kewenangan untuk

menentukan bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk

membelanjakan/mengatur keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staf, maupun

pengadaan supervisor. Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan

kebijakan/program harus terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana yang

mencukupi.

c. Sikap (dispositions atau attitudes) Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas

implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika implementor setuju dengan

bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati

tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses

implementasi akan mengalami banyak masalah. Disamping itu dukungan dari pejabat
pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran program. Wujud dari dukungan

pimpinan ini diantaranya adalah menempatkan kebijakan menjadi prioritas program

dan penyediaan dana yang cukup guna memberikan insentif bagi para pelaksana

program agar mereka mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan

kebijakan/program.

d. Struktur Birokrasi (bureucratic structure) Membahas badan pelaksana suatu kebijakan,

tidak dapat dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah karakteristik,

norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan

eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang

mereka miliki dalam menjalankan kebijakan. Kebijakan yang kompleks membutuhkan

kerjasama banyak orang. Unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi

dalam implementasi kebijakan diantaranya tingkat pengawasan hierarkhis terhadap

keputusankeputusan sub unit dan proses-proses dalam badan pelaksana.

Anda mungkin juga menyukai