TENTANG
Menimbang :
a. Bahwa hak menolak resusitasi atau bantuan hidup dasar, maka diperlukan kebijakan hak
menolak resusitasi atau bantuan hidup dasar terkait pelayanan Rumah Sakit;
b. Bahwa agar hak menolak resusitasi atau bantuan hidup dasar terlaksana dengan baik, perlu
kebijakan Direktur Rumah Sakit Raudhah Bangko
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam a dan b,perlu ditetapkan
dengan Keputusan Direktur Rumah Sakit Raudhah Bangko
Mengingat :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
3. Permenkes Nomor 56 tahun 2012 tentang klasifikasi dan perizinan rumah sakit.
4. Permenkes Nomor: 290/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
5. Permenkes Nomor: 1691/2011,tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
6. Peraturan Pemerintah Nomor PP 10/1966 tentang wajib simpan rahasia kedokteran.
7. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety), 2008
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
Kedua : Kebijakan hak menolak resusitasi atau bantuan hidup dasar di Rumah Sakit
Raudhah Bangko” sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan ini.
Ketiga : Pembinaan dan pengawasan hak menolak resusitasi atau bantuan hidup dasar
dilaksanakan oleh Direktur Rumah Sakit Raudhah Bangko”.
Keempat : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan apabila di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan dalam penetapan ini akan diadakan perbaikan
sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Bangko
Pada tanggal : 01 juni 2016
Direktur,
Rumah Sakit Raudhah Bangko
dr. Mirnawati
NIK. 150201523171189
Lampiran
Peraturan Direktur RS Raudhah
Nomor : HPKII/ SK-Dir/RSR/VI/2016
Tanggal : 01 Juni 2016
KEBIJAKAN UMUM:
1. Hak menolak resusitasi atau bantuan hidup dasar adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan rumah sakit dan berorientasi pelayanan berkualitas dan mengutamakan
keselamatan pasien;
2. Pasien perlu diberi informasi tentang hak menolak resusitasi atau bantuan hidup dasar
secara pasti ketika akan berobat di rumah sakit, sehingga terhindar dari kesalahpahaman
yang mungkin muncul karena ketidaktahuan hak-haknya;
3. Rumah sakit menghormati keinginan dan pilihan pasien menolak pelayanan resusitasi atau
menolak atau memberhentikan pengobatan bantuan hidup dasar;
4. Keputusan menolak pelayanan resusitasi atau tidak melanjutkan atau menolak pengobatan
bantuan hidup dasar merupakan keputusan yang paling sulit yang dihadapi pasien,
keluarga, profesional pelayanan kesehatan dan rumah sakit;
5. Tidak ada satupun proses yang dapat mengantisipasi semua situasi dimana keputusan perlu
dibuat, maka penting bagi rumah sakit mengembangkan kerangka kerja pembuatan
keputusan sulit tersebut, sebagai berikut:
1. Rumah sakit membantu melakukan identifikasi posisinya dalam menghadapi masalah
penolakan pasien untuk resusitasi,
2. Memastikan bahwa posisi rumah sakit memenuhi norma agama dan budaya dan taat
hukum dan peraturan, khususnya tentang persyaratan hukum untuk resusitasi yang
tidak konsisten dengan permintaan pasien,
3. Mencari jalan keluar apabila keputusan tersebut berubah sewaktu pelayanan sedang
berjalan,
4. Memastikan bahwa proses pengambilan keputusan tentang pelaksanaan keinginan
pasien dilakukan secara konsisten, rumah sakit mengembangkan kebijakan dan
prosedur melalui proses yang melibatkan banyak profesional dan sudut pandang,
6. Memandu profesional kesehatan melalui isu etika dan hukum dalam melaksanakan
permintaan pasien tersebut.
KEBIJAKAN KHUSUS:
1. Rumah sakit telah menetapkan posisinya pada saat pasien menolak pelayanan resusitasi
dan membatalkan atau mundur dari pengobatan bantuan hidup dasar;
2. Posisi rumah sakit sesuai dengan norma agama dan budaya masyarakat, persyaratan
hukum dan peraturan.
Direktur,
Rumah Sakit Raudhah Bangko ”,
Dr. Mirnawati
NIK. 15 0201523171189
RS RAUDHAH
PERMINTAAN PENOLAKAN RESUSITASI (DNR)
No. Dokumen
/HPKII/RSR/VI/ No. Revisi Halaman 1/2
2016
Ditetapkan Direktur
SPO Tanggal 01 Juni 2016
Tanggal Terbit
01 Juni 2016
dr. Mirnawati
NIK.150201523171189
Pengertian (DNR) atau do-not-resuscitate adalah suatu perintah yang
memberitahukan tenaga medis untuk tidak melakukan (CPR). Hal
ini berarti bahwa dokter, perawat, dan tenaga emergensi medis
tidak akan melakukan usaha Cardiopulmonary resuscitation
(CPR) emergensi bila pernapasan maupun jantung pasien
berhenti.
Tujuan Untuk menyediakan suatu proses dimana pasien bisa memilih
prosedur yang nyaman dalam hal bantuan hidup oleh tenaga
medis emergensi dalam kasus henti jantung atau henti napas
Kebijakan tentang permintaan penolakan resusitasi (DNR) No: /SK-
Dir/RSR/VI/2016
ProsedurKerja 1. Pasien melapor kepetugas untuk minta jangan dilakukan
resusitasi pada dirinya.
2. Pasien atau walinya dipersilahkan untuk mengisi formulir
DNR, Tempatkan copy atau salinan pada rekam medis
pasien dan serahkan juga salinan pada pasien atau keluarga
3. Memasang gelang warna ungu sebagai penanda bahwa
pasien telah meminta untuk jangan dilakukan resusitasi
(DNR).
4. Tinjau kembali status (DNR) secara berkala dengan pasien
atau walinya, revisi bila ada perubahan keputusan yang
terjadi dan catat dalam rekam medis. Bila keputusan
(DNR) dibatalkan, catat tanggal terjadinya dan gelang
(DNR) dimusnahkan.
5. Perintah (DNR) harus mencakup hal-hal di bawah ini:
a. Diagnosis
b. Alasan (DNR)
c. Kemampuan pasien untuk membuat keputusan.
d. Dokumentasi bahwa status (DNR) telah ditetapkan dan
oleh siapa
1.1 . Definisi
(DNR) atau do-not-resuscitate adalah suatu perintah yang memberitahukan
tenaga medis untuk tidak melakukan (CPR). Hal ini berarti bahwa dokter, perawat, dan
tenaga emergensi medis tidak akan melakukan usaha (CPR) emergensi bila pernapasan
maupun jantung pasien berhenti.
(CPR) atau cardiopulmonary resuscitation adalah suatu prosedur medis yang
digunakan untuk mengembalikan fungsi jantung (sirkulasi) dan pernapasan spontan
pasien bila seorang pasien mengalami kegagalan jantung maupun pernapasan. (CPR)
melibatkan ventilasi paru (resusitasi mulut ke mulut atau mulut ke hidung) dan
kompresi dinding dada untuk mempertahankan perfusi ke jaringan organ vital selama
dilakukan upaya-upaya untuk mengembalikan respirasi dan ritme jantung yang
spontan. (CPR) lanjut melibatkan DC shock, insersi tube untuk membuka jalan napas,
injeksi obat-obatan ke jantung dan untuk kasus-kasus ekstrim pijat jantung langsung
(melibatkan operasi bedah toraks).
Perintah (DNR) untuk pasien harus tertulis baik dicatatan medis pasien maupun
dicatatan yang dibawa pasien sehari-hari, dirumah sakit atau keperawatan, atau untuk
pasien dirumah. Perintah (DNR) dirumah sakit memberitahukan kepada staf medis
untuk tidak berusaha menghidupkan pasien kembali sekalipun terjadi henti jantung.
Bila kasusnya terjadi dirumah, maka perintah (DNR) berarti bahwa staf medis dan
tenaga emergensi tidak boleh melakukan usaha resusitasi maupun mentransfer pasien
kerumah sakit untuk (CPR).
1.3. Tujuan
Untuk menyediakan suatu proses dimana pasien bisa memilih prosedur yang nyaman
dalam hal bantuan hidup oleh tenaga medis emergensi dalam kasus henti jantung atau henti
napas
BAB II
RUANG LINGKUP
Rumah sakit menghormati hak pasien dan keluarga dalam menolak tindakan resusitasi atau
pengobatan bantuan hidup dasar. Penolakan resusitasi dapat diminta oleh pasien dewasa yang
kompeten dalam mengambil keputusan. Pasien yang tidak bisa membuat keputusan terhadap
dirinya (belum cukup umur, gangguan kesadaran mental dan fisik) diwakilkan kepada anggota
keluarga atau wali yang di tunjuk.
2.1.1 Kecuali perintah (DNR) dituliskan oleh dokter untuk seorang pasien, maka dalam
kasus-kasus henti jantung dan henti napas, tenaga emergensi wajib melakukan
tindakan resusitasi.
2.1.2 Ketika memutuskan untuk menuliskan perintah (DNR), dokter tidakboleh
mengesampingkan mengesampingkan keinginan pasien maupun walinya.
2.1.3 Perintah (DNR) dapat dibatalkan (atau gelang (DNR) dapat dimusnahkan)
2.2 Kriteria (DNR)
2.2.1 Perintah (DNR) dapat diminta oleh pasien dewasa yang kompeten mengambil
keputusan, telah mendapat penjelasan dari dokternya, atau bagi pasien yang
dinyatakan tidak kompeten, keputusan dapat diambil oleh keluarga terdekat, atau
wali yang sah yang ditunjuk oleh pengadilan, atau oleh surrogatedecision-maker.
2.2.2 Dengan pertimbangan tertentu, hal-hal dibawah ini dapat menjadi bahan diskusi
perihal (DNR) dengan pasien/walinya.:
1) Kasus-kasus dimana langkah harapan keberhasilan pengobatan rendah atau
(CPR) hanya menunda proses kematian yang alami.
2) Pasien tidak sadar secara permanen.
(DNR) sudah dikenal secara luas oleh tenaga kesehatan, kuasa hukum, pengacara,
dan lainnya bahwa (DNR) adalah sah secara medis dan etik dengan ketentuan tertentu.
Untuk beberapa pasien, (CPR) justru mendatangkan lebih banyak masalah dari pada
keuntungan,dan dapat bertentangan dengan keinginan atau harapan pasien itu sendiri.
Apakah (DNR) membutuhkan consent atau persetujuan pasien?
Dokter berkewajiban bicara dan menjelaskan kepada pasien sebelum pasien dapat
memutuskan (DNR) bila pasien kompeten untuk mengambil keputusan, kecuali dokter
yakin bahwa mendiskusikan hal tersebut dengan pasien tersebut justru akan
menimbulkan dampak negative terhadap pasien itu. Dalam kasus emergensi dimana
tidak diketahui apa keputusan pasien mengenai (CPR) dan (DNR), dianggap bahwa
semua pasien memberikan persetujuan untuk (CPR). Bagaimanapun juga, hal itu tidak
berlaku bila seorang dokter memutuskan bahwa (CPR) tidak akan berhasil.
Bagaimana pasien memberitahukan keinginannya mengenai (DNR)?
Seorang pasien dewasa dapat memberikan consent atau persetujuan untuk (DNR)
secara oral atau tertulis (seperti surat wasiat) kepada seorang dokter dengan setidaknya
hadir dua saksi.
Sebelum memutuskan tentang (CPR), pasien harus bicara terlebih dahulu dengan
dokternya tentang kesehatannya secara keseluruhan dan keuntungan serta kerugian
dari (CPR) terhadap dirinya. Diskusi secara menyeluruh lebih awal akan memastikan
bahwa keinginan pasien sepenuhnya diketahui.
Bila seorang pasien meminta (DNR), apakah dokter harus menghargainya?
Jika seorang pasien tidak menginginkan (CPR) dan meminta (DNR), seorang dokter
harus menyetujui atau jika tidak setuju, dokter dapat:
1) Mentransfer pasien ke dokter lain.
departemen pemerintah. u
4) Memanggil pengacara.
Dalam rumah sakit atau rumah perawatan, keluarga pasien dapat meminta untuk
memediasi ketidak setujuan. Dokter dan meminta mediasi bila ia menemukan adanya
ketidak setujuan atau kesepakatan diantara anggota keluarga pasien.
Bagaimana bila pasien kehilangan kemampuannya untuk membuat keputusan tentang
(CPR) dan tidak memiliki seorang pun yang bisa mengambil keputusan untuk dirinya?
Perintah (DNR) dapat ditulis jika ada dua dokter yang memutuskan bahwa (CPR)
tidak akan berhasil atau jika pengadilan secara hukum mensahkan (DNR) terhadap pasien
tersebut. Oleh karena itu, sangat dianjurkan pada pasien untuk mendiskusikan hal (DNR)
ini terlebih dahulu dengan dokternya dari awal.
Siapa yang bisa memberikan persetujuan atau consent tentang (DNR) pada anak?
Orang tua pasien atau wali pasien anak tersebut.Jika seorang anak telah cukup
umurnya untuk mengerti dan memutuskan tentang (CPR), maka persetujuan dibuat atas
consent anak yang bersangkutan.
Bagaimana bila pasien berubah keputusan setelah (DNR) ditulis?
Pasien atau siapapun yang memberikan consent tentang (DNR) tersebut dapat
membatalkan atau mencabut consentnya dengan memberitahu dokter atau perawat atau
siapapun tentang keputusannya. Selama pada saat mengubah keputusan tersebut, pasien
dalam keadaan kompeten yang berarti mampu berpikir rasional dan memberitahukan
keinginannya dengan jelas.
Perubahan itu sebaiknya disahkan secara hukum dan diketahui pula oleh dokter dan
anggota keluarga.
Bagaimana bila pasien ditransfer ke tempat perawatan lain?
(DNR) tetap berlaku sampai dokter yang memeriksa memutuskan lain. Bila hal itu
terjadi, dokter tersebut wajib memberitahukan hal tersebut kepada pasien atau siapapun
yang berwenang memutuskan untuk pasien untuk mendapatkan persetujuan.
Di beberapa Negara sudah ada aturan yang mewajibkan pasien mengenakan gelang
tentang keputusannya apakah memilih (CPR) atau (DNR).
BAB III
TATA LAKSANA
3.1.1. Dokter penanggung jawab pasien menjelaskan tentang pentingnya resusitasi atau
pengebotan bantuan hidup dasar.
3.1.2. Pasien atau keluarga / wali yang ditunjuk mengisi formulir penolakan resusitasi.
3.2.2. Mengisi formulir (DNR). Tempatkan kopi atau salinan pada rekam medis pasien
dan serahkan juga salinan pada pasien atau keluarga dan caregiver.
3.2.3. Dapat juga meminta pasien mengenakan gelang (DNR) dipergelangan tangan
atau kaki (jika memungkinkan).
3.2.4. Tinjau kembali status (DNR) secara berkala dengan pasien atau walinya, revisi
bila ada perubahan keputusan yang terjadi dan catat dalam rekam medis. Bila
keputusan (DNR) dibatalkan, catat tanggal terjadinya dan gelang (DNR)
dimusnahkan.
3.2.5. Perintah (DNR) harus mencakup hal-hal di bawah ini:
1) Diagnosis.
2) Alasan (DNR).
3.2.6. Perintah (DNR) dapat dibatalkan dengan keputusan pasien sendiri atau dokter
yang merawat, atau oleh wali yang sah. Dalam hal ini, catatan (DNR) direkam medis
harus pula dibatalkan dan gelang (DNR) jika ada harus dimusnahkan.
BAB IV DOKUMENTASI
DAFTAR LAMPIRAN