Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

HUKUM WARIS

Disusun oleh :
Arty Revinda Kawulusan NIM. 20112057
Siti Sufayha Karundeng NIM. 20112047
Wahyu Rikshandi Patilima NIM. 20112043
Renaldi Bantilan NIM. 20112042

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MANADO

TAHUN 2021

Jl. Dr.S.H. Sarundajang Kawasan Ringroad I kota Manado Sulawesi Utara, Indonesia, 95128 Email :kiflingatenan073@gmail.com
BAB I
Pendahuluan
A. Latar belakang
Hukum waris itu mengandung tiga unsur yaitu adanya harta peninggalan atau harta warisan, adanya
pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli waris atau waris yang akan meneruskan
pengurusannya atau yang akan menerima bagiannya. Hukum waris adalah hukum yang mengatur
tentang perpindahan harta kekayaan dan pewaris kepada ahli waris. Dalam sistematika ilmu
pengetahuan hukum, hukum waris diatur dalam buku II KUHPerdata mengatur tentang harta benda.
Hak kebendaan diperoleh dengan cara penyerahan berdasarkan atas hak (rechtstitel) tertentu
misalnya, warisan, dengan adanya penyerahan itu hak kebendaan atas benda berpindah kepada
yang memperoleh hak.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Hukum Waris
2. Landasan Hukum Kewarisan
3. Unsur unsur pewarisan
4. Orang yang tidak patut mewarisi
5. Cara memperoleh warisan
6. Tanggung jawab ahli waris terhadap pewaris
BAB II
Pembahasan

A. Pengertian Hukum Waris


Pengertian secara umum tentang Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang
harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia, dengan perkataan lain
mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia
beserta akibat-akibatnya bagi ahli waris. Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah
hak-hak dan kewajiban kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat
diwariskan.

Apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih
pada ahli warisnya. Pada prinsipnya warisan adalah langkah-langkah penerusan dan pengoperan
harta peninggalan baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari seorang pewaris kepada
ahli warisnya. Akan tetapi di dalam kenyataannya proses serta langkah-langkah pengalihan tersebut
bervariasi, dalam hal ini baik dalam hal hibah, hadiah dan hibah wasiat. Ataupun permasalahan
lainnya.

Hukum waris menurut Vollmar merupakan perpindahan harta kekayaan secara utuh, yang berarti
peralihan seluruh hak dan kewajiban orang yang memberikan warisan atau yang mewariskan kepada
orang yang menerima warisan atau ahli waris.

Hukum waris menurut Pitlo adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai
kekayaan karena meninggalnya seseorang.

Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai
kedudukan harta dan kekayaan seseorang setelah meninggal dunia dan mengatur mengenai cara-
cara berpindahnya harta kekayaan tersebut kepada orang lain.

Selain beberapa pengertian tersebut di atas, pengertian mengenai hukum waris juga dapat dilihat
dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, dalam pasal 171 disebutkan bahwa:

“Hukum Waris adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan atas harta
peninggalan pewaris kemudian menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
menentukan berapa bagian masing-masing.”

B. Landasan Hukum Kewarisan

Hukum waris dalam ilmu hukum merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pengaturan mengenai hukum waris tersebut dapat dijumpai
dalam pasal 830 sampai dengan pasal 1130 KUH Perdata.
Pasal 832 KUH Perdata menyatakan: Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah
keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan
suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini.

Ketentuan mengenai waris dalam KUH Perdata diatur dalam Bab XII Buku II KUH Perdata. Pasal 832
KUH Perdata menyatakan:

“Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah
menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup
terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini.”

Bila keluarga sedarah dan suami atau isteri yang hidup terlama tidak ada, maka semua harta
peninggalan menjadi milik negara, yang wajib melunasi utang-utang orang yang meninggal tersebut,
sejauh harga harta peninggalan mencukupi untuk itu.

Dengan demikian jika suami meninggal, maka anak, baik itu dari perkawinan pertama maupun
kedua, serta istri yang hidup terlama berhak atas harta peninggalan suami. Pun demikian sebaliknya,
jika istri meninggal terlebih dahulu. Mereka termasuk ke dalam ahli waris golongan pertama
sehingga keberadaan mereka akan menutup ahli waris golongan lain. Adapun golongan ahli waris
menurut KUH Perdata adalah sebagai berikut:

1. Golongan I (anak-anak dan keturunanya, suami/istri yang hidup terlama);


2. Golongan II (orangtua, saudara laki-laki, saudara perempuan, keturunan saudara laki-laki dan
perempuan tersebut);
3. Golongan III (keluarga sedarah dalam garis lurus keatas sesudah orangtua);
4. Golongan IV (paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu,
keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek
dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris).

legitieme portie atau bagian warisan menurut undang-undang ialah bagian dan harta benda yang
harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya
orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-
orang yang masih hidup, maupun sebagai wasiat (Pasal 913 KUH Perdata). Mengenai besarnya
bagian mutlak, dapat dilihat dalam Pasal 914 - Pasal 916 KUH Perdata.

Dalam penerapan hukum waris, apabila seorang pewaris yang beragama selain Islam meninggal
dunia, maka yang digunakan adalah sistem pewarisan berdasarkan Hukum Waris sesuai dengan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ("KUHPerdata")

Menurut KUHPerdata, prinsip dari pewarisan adalah:

1. Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu
kematian. (Pasal 830 KUHPerdata);
2. Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau isteri.
dari pewaris. (Pasal 832 KUHPerdata), dengan ketentuan mereka masih terikat dalam
perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. Artinya, kalau mereka sudah bercerai pada saat
pewaris meninggal dunia, maka suami/isteri tersebut bukan merupakan ahli waris dari
pewaris. mewaris hanyalah orang-orang yang

Berdasarkan prinsip tersebut, maka yang berhak mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Baik
itu berupa keturunan langsung maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau Sehingga, apabila
dimasukkan dalam kategori, maka yang berhak mewaris ada empat golongan besar, yaitu:
keturunannya dari saudara-saudaranya.

1. Golongan I: suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852


KUHPerdata).
2. Golongan II: orang tua dan saudara kandung Pewaris
3. Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris
4. Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu,
keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek
dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.

Golongan ahli waris ini menunjukkan siapa ahli waris yang lebih didahulukan berdasarkan urutannya.
Artinya, ahli waris golongan II tidak bisa mewarisi harta peninggalan pewaris dalam hal ahli waris
golongan I masih ada.

C. Unsur-unsur pewarisan.
Pewarisan mempunyai unsur-unsur yang harus dipenuhi agar dapat disebut peristiwa waris.
Pewarisan harus ada unsur pewaris, harta warisan, dan ahli waris. Pewaris adalah orang yang
mewariskan harta warisan. Harta warisan adalah harta yang diwariskan. Sedangkan, ahli waris
adalah orang yang menerima harta warisan.

Terdapat beberapa perbedaan diantara tiga sistem hukum waris di Indonesia mengenal unsur-
unsur pewarisan ini. Namun, secara garis besar unsur-unsur pewarisan tersebut mempunyai makna
yang sama sebagaimana tersebut diatas, yang uraiannya dapat dijelaskan sebagai berikut:

1.1. Pewaris.

Menurut sistem hukum waris adat, pewaris adalah orang yang meneruskan hartanya ketika
masih hidup maupun setelah la wafat. Hukum adat juga memandang warisan sebagai proses
peralihan harta kekayaan berupa materiil maupun imamateriil dari satu generasi ke generasi lainnya.

Menurut sistem hukum perdata, pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia atau orang
yang diduga meninggal dunia yang meninggalkan harta yang dimiliki semasa hidupnya. Orang yang
diduga meninggal dunia dapat menjadi pewaris dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Orang tersebut tidak diketahui keberadaannya selama sekurang kurangnya lima tahun, telah
dilakukan tiga kali panggilan resmi dari pengadilan serta pemanggilan dalam surat kabar
sebanyak tiga kali.
2. Apabila sampai sebelum 15 tahun harta warisan digunakan oleh ahli waris, ternyata pewaris
hadir, ahli waris wajib mengembalikan % harta warisan tersebut.
3. Apabila setelah 15 tahun tetapi belum Apabila genap 30 tahun, ahli waris wajib
mengembalikan % harta warisan yang diterimanya.
4. Apabila lebih dari 30 tahun atau 100 tahun umur pewaris, pewaris tidak dapat menuntut
pengembalian harta warisan yang telah digunakan.
5. Apabila dua orang saling mewarisi meninggal dunia tanpa diketahui siapa yang meninggal
terlebih dahulu, mereka dianggap mati secara bersamaan dan tidak terjadi perpindahan
harta warisan satu dengan lainnya.

Menurut sistem hukum waris Islam, pewaris adalah orang yang memiliki harta semasa
hidupnya, telah meninggal dunia, dan beragama Islam. Baik yang memariskan maupun yang diwarisi
harta warisan harus beragama Islam. Berdasarkan Pasal 171 huruf c Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), mewaris dinyatakan pewaris merupakan orang
yang pada saat meninggalnya atau meninggal meninggal yang berdasarkan putusan pengadilan,
beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Di dalam Buku II Hukum Kewarisan
Bab I Pasal 171 Instruksi Presiden Nomor Instru 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, yang
dimaksud dengan hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan harta peninggalan pewaris, menentukan orang yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing masing.

1.2 Harta warisan

Dalam hukum adat, harta warisan dapat berupa harta benda maupun yang bukan. berwujud
benda, misalnya gelar kebangsawanan. Harta warisan yang berupa harta benda menurut hukum
waris adat adalah harta pencaharian yaitu harta yang diperoleh selama masa perkawinan dan harta
bawaan. Definisi harta bawaan yaitu harta yang diperoleh sebelum masa perkawinan maupun harta
yang berasal dari warisan. Di dalam hukum adat, selama pasangan suami isteri belum mempunyai
keturunan, harta pencaharian. dapat dipisahkan. Namun, bila pasangan suami isteri telah
mempunyai keturunan, harta pencaharian menjadi bercampur.

Harta warisan menurut hukum waris. perdata adalah keseluruhan harta benda beserta hak dan
kewajiban pewaris, baik. piutang-piutang maupun utang-utang, Hukum waris perdata, tidak
mengenal asal harta untuk menentukan harta warisan. Dengan kata lain, harta warisan merupakan
satu kesatuan yang dialihkan dari pewaris kepada ahli waris.

Harta warisan menurut hukum waris Islam adalah harta bawaan dan harta bersama dikurangi biaya-
biaya yang dikeluarkan untuk pewaris selama sakit dan setelah meninggal dunia, misalnya
pembayaran pembayaran utang. pengurusan jenazah dan pemakaman. Harta warisan dalam hukum
waris Islam tidak hanya harta benda tetapi juga hak-hak dari pewaris.

peninggalan dari pewaris merupakan harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda
yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Harta waris dalam Pasal 171 huruf e Kompilasi Hukum
Islam didefinisikan sebagai harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan
untuk keperluan pewaris selam asakit sampai meninggalnya, biaya pegurusan jenazah,pembayaran
utang dan pemberian untuk kerabat.

1.3. Ahli Waris.

Pengertian ahli waris dalam hukum waris adat, hukum waris perdata, dan hukum waris Islam
mempunyai konsep yang berbeda, yaitu dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Ahli waris menurut hukum waris adat. Ahli waris menurut hukum waris adat dibedakan dalam
sistem kekeluargaan, yaitu:

 Patrilinial
 Matrilinial
 Parental

b. Ahli waris menurut hukum waris perdata. Ahli waris menurut hukum waris perdata tidak
dibedakan menurut jenis kelamin. Ahli waris dalam hukum waris perdata dikarenakan perkawinan
dan hubungan darah, baik secara sah maupun tidak, yang mempunyai hubungan. darah terdekatlah
yang berhak untuk mewaris.

c. Ahli waris menurut hukum waris Islam. Ahli waris adalah orang yang pada saat pewaris meninggal
dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan
tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Ahli waris menurut sistem waris patrilinial
adalah orang yang mempunyai hubungan darah dan hubungan perkawinan dengan pewaris, serta
beragama Islam. Ada tiga golongan ahli waris menurut hukum waris Islam dan Kompilasi Hukum
Islam (Inpres Nomor 1 Tahun 1991), sebagai berikut :

 Dzul faraid, yaitu ahli waris yang telah ditentukan bagiannya di dalam Al-Quran.
 Ashabah, yaitu ahli waris dari garis ayah.
 Dzul arhaam, yaitu ahli waris dari garis ibu.

D. Orang yang tidak pantas menjadi ahli waris


sebagaimana ketentuan Pasal 838 KUH Perdata mengatur bahwa: Orang yang dianggap tidak pantas
untuk menjadi ahli waris, dan dengan demikian tidak mungkin mendapat warisan, ialah:

1. dia yang telah dijatuhi hukuman karena membunuh atau mencoba membunuh orang yang
meninggal itu;
2. dia yang dengan putusan Hakim pernah dipersalahkan karena dengan fitnah telah
mengajukan tuduhan terhadap pewaris, bahwa pewaris pernah melakukan suatu kejahatan
yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi;
3. dia yang telah menghalangi orang yang telah meninggal itu dengan kekerasan atau
perbuatan nyata untuk membuat atau menarik kembali wasiatnya;
4. dia yang telah menggelapkan. memusnahkan atau memalsukan wasiat orang yang
meninggal itu.
Dengan demikian, harta warisan hanya akan dibagikan kepada ahli waris yang dianggap patut
menerima waris

E. Cara memperoleh warisan


Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:

1. Sebagai ahli waris menurut Undang-undang.


2. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).

Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut Undang-undang atau "ab intestato" dan cara yang
kedua dinamakan mewarisi secara "testamentair".

Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam
lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-
hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang saja (Subekti, 1993: 95).

Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat testamen, maka dalam Undang-undang Hukum
Perdata ditetapkan pembagian warisan sebagai berikut:

1. Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau isteri dan anak-anak, masing-
masing berhak mendapat bagian yang sama jumlahnya (pasal 852 BW).
2. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka yang kemudian berhak
mendapat warisan adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang meninggal dunia,
dengan ketentuan bahwa orang tua masing masing sekurang kurangnya mendapat
seperempat dari warisan (pasal 854 BW).
3. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka warisan dibagi dua, separuh
untuk keluarga pihak ibu dan separuh lagi untuk pihak keluarga ayah dari yang meninggal
dunia, keluarga yang paling dekat berhak mendapat warisan. Jika anak-anak atau saudara-
saudara dari pewaris meninggal dunia sebelum pewaris, maka tempat mereka diganti oleh
keturunan yang sah (pasal 853 BW).

F. Tanggung Jawab Ahli Waris Terhadap Pewaris


Tanggung jawab ahli waris terhadap harta warisan pewaris menurut KUHPerdata adalah
memelihara keutuhan harta warisan sebelum dibagi dan mengurus warisan sebaik -baiknya, mencari
cara pembagian warisan sesuai ketentuan dan membereskan urusan warisan dengan segera,
melunasi utang pewaris jika pewaris meninggalkan utang, serta melaksanakan wasiat jika pewaris
meninggalkan wasiat.

melalui pasal 1100 KUH Perdata menyebutkan bahwa “Para ahli waris yang telah bersedia menerima
warisan, harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang
dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu.” Maka hutang pewaris dapat dialihkan
kepada ahli waris berdasarkan KUH Perdata.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Pengertian secara umum tentang Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai apa yang
harus terjadi dengan harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia, dengan perkataan lain
mengatur peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia
beserta akibat-akibatnya bagi ahli waris.

Pengaturan mengenai hukum waris tersebut dapat dijumpai dalam pasal 830 sampai dengan pasal
1130 KUH Perdata.

Unsur pewarisan ada 3 yaitu: pewaris, harta warisan dan ahli waris.

Pasal 838 KUH Perdata mengatur bahwa: Orang yang dianggap tidak pantas untuk menjadi ahli
waris, dan dengan demikian tidak mungkin mendapat warisan.

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:
Sebagai ahli waris menurut Undang-undang dan Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).

Anda mungkin juga menyukai