“KEPAILITAN”
FAKULTAS SYARIAH
PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MANADO
2022
KATA PENGANTAR
Bimillahirrahmaanirrahiim.
Puji syukur kehadirat illahi rabbi, shalawat serta salamnya semoga
tercurah limpahkan kepada baginda alam yakni habibana waanabiyana
kanjeng Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman
kegelapan sampai zaman terang benderang ini sehingga pembuatan
makalah Hukum dagang dengan judul materi Kepailitan ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya.
Selanjutnya, kami penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
seluruh pihak yang ikut terlibat dalam membantu menyelesaikan
pembuatan makalah Hukum Dagang dengan judul materi Kepailitan
penyusun menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak akan terwujud
tanpa adanya bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak
terkait. Semoga amal baik yang telah diberikan segera mendapat balasan
terbaik dari Allah Subhanahu Wata'ala. Aamiin.
i
DAFTAR ISI
CAVER............................................................................................................
KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1-4
A. Latar Belakang.................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................4
C. Tujuan Penulisan..............................................................................4
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................21
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan kegiatan bidang ekonomi dan perdagangan negara-
negara di dunia pada dasawarsa belakangan ini didorong oleh arus globalisasi
yang menyebabkan sistem informasi, komunikasi dan transportasi jauh lebih
mudah. Dengan semakin mudahnya hal itu maka membuka peluang di dunia
usaha untuk mengembangkan usahanya dengan berbagai macam cara. Jika
ditinjau dari sisi manfaat derasnya kemajuan para pelaku usaha, maka negara
diuntungkan dengan masifnya penerimaan negara karena hal itu. Justru
sebaliknya jika lebih dalam ditinjau fenomena tersebut, terkadang dengan
semakin ketatnya persaingan usaha menjadi sebuah tuntutan bagi para pelaku
usaha untuk menghadapi keadaan sekarang ini dengan menempuh segala cara
agar tetap survive dari jahatnya dunia bisnis era ini.
Keinginan para pelaku usaha untuk meningkatkan produksinya maka
akan menambah permintaan untuk menambah modal usahanya (Andika
Prayoga 2014:2) , atas hal tersebut hadirlah berbagai lembaga keungan bank
maupun non-bank yang tersedia bagi para pelaku usaha untuk menambah
amunisi modal kegiatan bisnisnya. Semakin gencarnya pengeksploitasian
terhadap lembaga pinjaman, maka kemajuan bisnis dari pelaku usaha yang
akan menentukan lancar atau tidaknya peminjaman modal sedangkan
kemunduran bisnis akan melahirkan kondisi terhambatnya pengembalian
modal.
Menjadi permasalahan kelak tatkala pelaku usaha yang telah
meminjam dana untuk dijadikan modal usaha mengalami kemacetan usaha
yang menyebabkan telat ataupun gagal bayar (stop to pay). Disatu pihak
kreditor memerlukan dana tersebut untuk terus menghidupi usahanya kedepan,
namun pihak debitor tidak mampu melunasi utangnya karena berbagai macam
faktor yang menyebabkan insolvensi.
1
Demikian dimensi yang kompleks tersebut, sehingga bisnis harus
berada dalam ruang pengaturan hukum yang baik agar tidak terjadi
ketimpangan dan ketidakadilan. Pemerintah telah menyediakan lembaga
kepailitan beserta perangkat hukumnya yang berupa Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (selanjutnya disebut UU KPKPU) sebagai hukum materiil sekaligus
formil yang digunakan menyelesaikan sengketa utang-piutang.
Pengaturan lembaga kepailitan di Indonesia sudah lama ada, yaitu
dengan berlakunya Undang-Undang tentang Kepailitan, yaitu Faillisement
verordening yang diundangkan dalam Staatsblad 1905 Nomor 217 juncto
Staatsblad 1906 Nomor 348 (selanjutnya disingkat dengan UUK), tetapi dalam
prakteknya lembaga kepailitan yang diatur dalam UUK tersebut dianggap
kurang memadai dan kurang efisien sebagai cara penyelesaian utang, sehingga
pada tahun 1998 dianggap perlu untuk melakukan beberapa perubahan atas
UUK.
Karena situasi perekonomian Indonesia saat itu dianggap darurat
dengan adanya krisis moneter di Indonesia, maka perubahan atas UUK
tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang
Kepailitan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 87
(selanjutnya disingkat dengan Perpu No.1/1998), yang kemudian dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-
Undang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135,
Perpu No.1/1998 tersebut ditetapkan sebagai Undang-Undang (selanjutnya
disingkat dengan UU No.4/1998).
Keberadaan lembaga kepailitan di ranah hukum Indonesia bertujuan
untuk melindungi kepentingan kreditor yang tidak mempunyai hak untuk
didahulukan atau dikenal dengan istilah kreditor konkuren dari hak istimewa
dan hak agunan yang dimiliki oleh kreditor preferen selaku pemilik hak
2
istimewa dan kreditor separatis sebagai pemilik hak agunan. Secara teknisnya,
tujuan kepailitan adalah untuk mempergunakan harta debitor secara adil dan
proporsional untuk membayar seluruh utang-utang debitor kepada para
kreditor di bawah pengawasan Hakim Pengawas (Lilik Mulyadi, 2010:82).
M. Hadi Shubhan menegaskan pula bahwa lembaga kepailitan
penerapannya lebih baik dibandingkan lembaga lain karena harus dilakukan
dengan mengacu pada prinsip paritas creditorium yang mewajibkan setiap
kreditor memiliki kedudukan yang sama atas penerimaan pembayaran utang
debitor dengan utang debitor dan pari passu prorata parte yang membagi harta
debitor sebagai jaminan bersama para kreditor secara proporsional atau sesuai
dengan porsi kreditor masing-masing perjanjiannya dan bukan dibagi secara
sama rata para kreditor yang ada.
Dengan adanya lembaga kepailitan yang dilaksanakan dengan prinsip-
prinsip tersebut, tentu lembaga kepailitan menjadi sarana penyelesaian
sengketa utang-piutang diantara debitor dengan para kreditor yang lebih
efektif. Dengan tujuan penyempurnaan pengaturan ketentuan hukum lembaga
kepailitan, UU No.4/1998 diperbarui dengan pengundangan Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
131 (selanjutnya disingkat dengan UUKPKPU).
Salah satu akibat hukum dari kepailitan yang cukup signifikan adalah
debitor kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus hartanya
berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUKPKPU. Tindakan pengurusan hartanya
diambilalih oleh kurator berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUKPKPU.
Dengan kata lain, kepailitan menyebabkan debitor tidak bisa mengambil
tindakan apapun atas hartanya, terlebih lagi melanjutkan kegiatan usahanya.
Dari rangkaian pemaparan mengenai penyelesaian permasalahan
utang- piutang debitor dengan para kreditor tersebut, dapat dipahami bahwa
proses penyelesaian melalui kepailitan cenderung menghabiskan banyak
waktu dan merugikan para kreditor jika debitor dalam keadaan insolven.
Untuk itu, peraturan perundang-undangan tentang kepailitan juga menyertakan
3
lembaga penyelesaian permasalahan utang-piutang antar debitor dengan para
kreditornya namun dengan cara yang lebih cepat dan damai. Lembaga tersebut
dikenal dengan istilah Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan sebelumnya maka
dibuat perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Pengertian dan Dasar Hukum Pailit?
2. Siapa saja Pihak-pihak yang bisa Mengajukan Permohonan Pailit?
3. Siapakah Pihak-pihak yang dapat Dinyatakan Pailit?
4. Bagaimana Permohonan, Syarat Pailit serta Tindakan Sementara
dan Upaya Hukum?
C. Tujuan Penulisan
Secara khusus penulisan ini bertujuan untuk mengetahui:
1. untuk mengetahui Pengarahan dan Dasar Hukum!
2. untuk mengetahui siapa saja Pihak-pihak yang bisa mengajukan
Permohonan Pailit!
3. untuk mengetahui siapa saja Pihak-pihak yang Dinyatakan Pailit!
4. untuk mengetahui Permohonan, Syarat Pailit serta Tindakan
Sementara dan Upaya Hukum!
4
BAB II
KAJIAN TEORI
5
Kepailitan yang dicantumkan dalam Pasal 1 angka 1 yang mengatakan
bahwa Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini.
6
2. Dasar-dasar Hukum Kepailitan
7
memecahkan persoalan hukum manakala aturan hukum yang ada tidak
tersedia. Dalam Hukum Kepailitan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang setidaknya telah memiiliki Asas umum
Kepailitan, yang diantaranya:
8
Jika asas Paritas Creditorium bertujuan untuk memberikan
keadilan bagi semua Kreditor tanpa pembedaan kondisinya terhadap
harta kekayaan Debitor kendatipun harta kekayaan tersebut tidak
berkaitan langsung dengan transaksi yang dilakukannya, maka asas pari
posu pro rata parte memberikan keadilan kepada kreditor dengan
konsep keadilan proporsional dimana kreditor yang memiliki utang
yang lebih besar, maka akan mendapatkan porsi pembayaran lebih
besar pula dari pada kreditor yang memiliki piutang lebih kecil. Artinya
asas ini menunjukkan bahwa segala harta kekayaan Debitor itu sebagai
jaminan akan kewajiban untuk membayar utang-utangnya kepada para
kreditor dengan sama rata, kecuali jika antara para kreditor itu ada yang
menuru undang-undang harus didahulukan dalam menerima
pembayaran tagihannya.
1) Kreditor separatis;
2) Kreditor preferen;
3) Kreditor konkuren.
9
Dalam hukum kepailitan kreditor preferen menurut undang-
undang harus didahulukan pembayaran piutangnya, seperti pemegang
hak privilege, pemegang hak retensi dan lain sebagainya. Sedangkan
kreditor separatis adalah kreditor yang memiliki jaminan kebendaan.
Lain hal dengan kreditor konkuren, kreditor ini hanya diklasifikasikan
sebagai kreditor biasa yang biasanya mendapatkan porsi akhir atas harta
debitor pailit.
e. Asas Utang
10
fungsi adanya hukum kepailitan sebagai sarana pemaksa untuk
mewujudkan hak-hak Kreditor melalui likuidasi aset debitor dengan
bersama-sama dengan para kreditor lainnya.
11
Bankruptcy Code Amerika mengharuskan adanya right to payment,
dengan demikian apabila kewajiban debitor tidak menimbulkan suatu
right to payment maka kewajiban debitor tidak dapat digolongkan
sebagai claim (Sutan R.S, 1998:105). Right to payment
mengindikasikan adanya hak kepada kreditor agar utangnya
dibayarkan. Pada konsep utang di Indonesia, dalam hal seseorang
karena perbuatannya atau tidak melakukan sesuatu yang mengakibatkan
bahwa ia mempunyai kwajiban membayar ganti rugi, memberikan
sesuatu atau tidak memberikan sesuatu, maka pada saat itu juga ia
mempunya utang, mempunyai kewajiban melakukan prestasi. Sehingga
dapat dikatakan utang sama dengan prestasi menurut Fred B.G
Tumbuan.
Tertuang dalam Pasal 2 Ayat (1), (2), (3), (4), (5) UU Kepailitan
menunjukkan bahwa pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit
bagi seorang debitor adalah :
1. Debitor yang bersangkutan;
2. Kreditor atau para Kreditor;
3. Kejaksaan untuk kepentingan umum;
4. Bank Indonesia apabila Debitornya adalah bank;
5. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) dalam hal
Debitornya adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring
dan penjamin, lembaga penyimpanan dan penyelesaian; dan
6. Menteri Keuangan dalam hal Debitornya adalah perusahaan
asuransi, perusahaan reasuransi, dana pension, atau Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dibidang
kepentingan publik.
12
Akar yang menjadi penopang sebagai regulasi untuk Pengajuan
permohonan pernyataan pailit dapat kita temui dalam rumusan Pasal 2
Ayat (1) UU Kepailitan yang menyatakan :
13
ada definisinya. Apakah makna “utang” hanya terbatas pada utang yang
lahir dari perjanjian utang piutang atau perjanjian pinjam- meminjam
ataukah “utang” merupakan suatu prestasi akan tetapi hal itu pun sudah
terjawab dengan hadirnya Pasal 1 butir 6 UU Kepailitan yang
menyatakan :
3. Cukup Satu Utang yang Telah Jatuh Waktu dan Dapat Ditagih
14
maka dengan sendirinya menjadi utang yang dapat ditagih, namun
utang yang telah dapat ditagih belum tentu merupakan utang yang jatuh
waktu. Utang hanyalah jatuh waktu bila menurut perjanjian utang-
piutang telah sampai jadwal waktunya untuk dilunasi. “dapat ditagih”,
Sutan Remi Sjahdeni berpendapat bahwa kedua istilah itu berbeda
pengertian dan kejadiannya. Suatu utang dapat saja telah dapat ditagih
tetapi belum jatuh waktu.
Utang yang telah jatuh waktu maka dengan sendirinya menjadi
utang yang dapat ditagih, namun utang yang telah dapat ditagih belum
tentu merupakan utang yang jatuh waktu. Utang hanyalah jatuh waktu
bila menurut perjanjian utang-piutang telah sampai jadwal waktunya
untuk dilunasi.
15
Hal ini tentunya dapat menjadi sebuah warning sign bagi para
pelaku usaha yang berkedudukan sebagai debitor, pada dasarnya
kepailitan harusnya menjadi jalan keluar terkahir bagi para pihak
yang bersengketa, namun Undang-Undang Kepailitan seakan
juga memberikan celah bagi para kreditor untuk mempailitkan
debitor yang tidak membayar utangnya saat jatuh tempo tanpa
melihat kondisi keuangan debitor terlebih dahulu (Gedalya dkk,
2018:3)
Karena persyaratan yang begitu sederhana ini, debitor
yang dalam keadaan solven (memiliki keadaan keuangan yang
sehat) dapat terancam dipailitkan. Karena pada hukum kepailitan
di Indonesia tidak mencantumkan insolvency (keadaan tidak
mampu membayar) sebagai persyaratan untuk menyatakan debitor
tersebut pailit. Insolvency merupakan suatu keadaan keuangan,
yaitu keadaan keuangan yang terjadi ketika utang yang lebih dari
satu yang dimiliki oleh debitor melebihi asetnya. Dengan
demikian keadaan insolvency dapat menjadi dasar untuk debitor
dinyatakan pailit, setiap debitor yang telah dinyatakan pailit
pasti insolven.
16
walaupun Hakim berpendapat bahwa debitor dalam keadaan
solven sehingga tidak layak untuk dipailitkan, namun hal tersebut
tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk menolak permohonan
pailit.
Tentu hal tersebut akan sangat merugikan debitor yang
dalam keadaan solven jika perusahannya dipailitkan tanpa
memperhatikan kondisi keuangan perusahaannya. Seharusnya
syarat kepailitan ditentukan bukan hanya debitor tidak
membayarkan utangnya pada satu kreditor saja, tetapi tidak
membayarkan lebih dari 50% dari total seluruh utang yg dimiliki
debitor. Apabila debitor tidak membayarkan utangnya hanya
pada satu kreditor yang mengusai sebagian besar utang debitor
namun masih mampu menjalankan kewajibannya pada kreditor
yang lainnya, maka kasus tersebut harusnya diperiksa
dipengadilan perdata biasa sebagai kasus wanprestasi (Serlika
Aprilia, 2018:49)
17
1. Melunasi seluruh utangnya.
2. Mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
18
terpenuhinya prinsip-prinsip hukum dari Peradilan Niaga I Gede
Y.A dkk 2016, 2:04.02)
Adapun upaya hukum yang dilakukan Pengadilan Niaga
dalam perkara keapilitan yaitu Peninjauan Kembali (PK) dan
mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung sebagaimana yang
telah diatur pada Pasal 11 sampai 13 Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan
oleh debitor. Akibat dari putusan pembatalan pernyataan pailit
maka seluruh perdamaian yang mungkin terjadi akan gugur.
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. pengertian Kepailitan yang dicantumkan dalam Pasal 1 angka 1 yang
mengatakan bahwa Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan
Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam
Undang- Undang ini. Dalam Hukum Kepailitan sebagaimana diatur dalam
Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang setidaknya telah memiiliki Asas
umum Kepailitan,
2. Tertuang dalam Pasal 2 Ayat (1), (2), (3), (4), (5) UU Kepailitan
menunjukkan bahwa pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit
bagi seorang debitor adalah Debitor, Kreditor atau para Kreditor;,
Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal
(BAPEPAM) dan Menteri Keuangan
3. Akar yang menjadi penopang sebagai regulasi untuk Pengajuan
permohonan pernyataan pailit dapat kita temui dalam rumusan Pasal 2
Ayat (1) UU Kepailitan yang menyatakan : “Debitor yang mempunyai
dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun
atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”
4. Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pailit kepada
debitor terdapat pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Upaya yang dapat dilakukan oleh debitor
untuk menghindari kepailitan yaitu dengan melunasi seluruh
20
utangnya terhadap kreditornya dan mengajukan Penundaan
kewajiban Pembayaran Utang
B. Saran
21
DAFTAR PUSTAKA
Black, Henry Campbell, Black’s law dictionary, West Publishing Co.,St. Paul
Minnesota, 1979.
22
2018
23