Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

“KEPAILITAN”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah :


Hukum Dagang

Disusun oleh kelompok 4:

Arty Revinda Kawulusan NIM 20112057


Siti Sufayha Karundeng NIM 20112047
Wahyu Rikshandi Patilima NIM 20112043
Renaldi Bantilan NIM 20112042

FAKULTAS SYARIAH
PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MANADO
2022
KATA PENGANTAR
Bimillahirrahmaanirrahiim.
Puji syukur kehadirat illahi rabbi, shalawat serta salamnya semoga
tercurah limpahkan kepada baginda alam yakni habibana waanabiyana
kanjeng Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari zaman
kegelapan sampai zaman terang benderang ini sehingga pembuatan
makalah Hukum dagang dengan judul materi Kepailitan ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya.
Selanjutnya, kami penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
seluruh pihak yang ikut terlibat dalam membantu menyelesaikan
pembuatan makalah Hukum Dagang dengan judul materi Kepailitan
penyusun menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak akan terwujud
tanpa adanya bantuan, bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak
terkait. Semoga amal baik yang telah diberikan segera mendapat balasan
terbaik dari Allah Subhanahu Wata'ala. Aamiin.

i
DAFTAR ISI
CAVER............................................................................................................
KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1-4
A. Latar Belakang.................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................4
C. Tujuan Penulisan..............................................................................4

BAB II KAJIAN TEORI................................................................................5-18


A. Tinjauan Umum Kepailitan............................................................5
1. Pengertian Kepailitan................................................................5
2. Asas-Asas dalam Hukum Kepailitan........................................7
B. Pihak-pihak yang dapat Mengajukan Kepalitan.............................11
C. Pihak-pihak yang dapat Dinyatakan Pailid.....................................12
D. Permohonan Syarat Pailid serta Tindakan Sementara dan
Upaya Hukum.................................................................................14
1. Syarat Pailid..............................................................................14
2. Upaya Yang Dapat Dilakukan Debitor Untuk
Menghindari Kepailitan dan Hukum...............................17

BAB III PENUTUP.........................................................................................19-20


A. Kesimpulan.....................................................................................19
B. Saran...............................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan kegiatan bidang ekonomi dan perdagangan negara-
negara di dunia pada dasawarsa belakangan ini didorong oleh arus globalisasi
yang menyebabkan sistem informasi, komunikasi dan transportasi jauh lebih
mudah. Dengan semakin mudahnya hal itu maka membuka peluang di dunia
usaha untuk mengembangkan usahanya dengan berbagai macam cara. Jika
ditinjau dari sisi manfaat derasnya kemajuan para pelaku usaha, maka negara
diuntungkan dengan masifnya penerimaan negara karena hal itu. Justru
sebaliknya jika lebih dalam ditinjau fenomena tersebut, terkadang dengan
semakin ketatnya persaingan usaha menjadi sebuah tuntutan bagi para pelaku
usaha untuk menghadapi keadaan sekarang ini dengan menempuh segala cara
agar tetap survive dari jahatnya dunia bisnis era ini.
Keinginan para pelaku usaha untuk meningkatkan produksinya maka
akan menambah permintaan untuk menambah modal usahanya (Andika
Prayoga 2014:2) , atas hal tersebut hadirlah berbagai lembaga keungan bank
maupun non-bank yang tersedia bagi para pelaku usaha untuk menambah
amunisi modal kegiatan bisnisnya. Semakin gencarnya pengeksploitasian
terhadap lembaga pinjaman, maka kemajuan bisnis dari pelaku usaha yang
akan menentukan lancar atau tidaknya peminjaman modal sedangkan
kemunduran bisnis akan melahirkan kondisi terhambatnya pengembalian
modal.
Menjadi permasalahan kelak tatkala pelaku usaha yang telah
meminjam dana untuk dijadikan modal usaha mengalami kemacetan usaha
yang menyebabkan telat ataupun gagal bayar (stop to pay). Disatu pihak
kreditor memerlukan dana tersebut untuk terus menghidupi usahanya kedepan,
namun pihak debitor tidak mampu melunasi utangnya karena berbagai macam
faktor yang menyebabkan insolvensi.

1
Demikian dimensi yang kompleks tersebut, sehingga bisnis harus
berada dalam ruang pengaturan hukum yang baik agar tidak terjadi
ketimpangan dan ketidakadilan. Pemerintah telah menyediakan lembaga
kepailitan beserta perangkat hukumnya yang berupa Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (selanjutnya disebut UU KPKPU) sebagai hukum materiil sekaligus
formil yang digunakan menyelesaikan sengketa utang-piutang.
Pengaturan lembaga kepailitan di Indonesia sudah lama ada, yaitu
dengan berlakunya Undang-Undang tentang Kepailitan, yaitu Faillisement
verordening yang diundangkan dalam Staatsblad 1905 Nomor 217 juncto
Staatsblad 1906 Nomor 348 (selanjutnya disingkat dengan UUK), tetapi dalam
prakteknya lembaga kepailitan yang diatur dalam UUK tersebut dianggap
kurang memadai dan kurang efisien sebagai cara penyelesaian utang, sehingga
pada tahun 1998 dianggap perlu untuk melakukan beberapa perubahan atas
UUK.
Karena situasi perekonomian Indonesia saat itu dianggap darurat
dengan adanya krisis moneter di Indonesia, maka perubahan atas UUK
tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang
Kepailitan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 87
(selanjutnya disingkat dengan Perpu No.1/1998), yang kemudian dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-
Undang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 135,
Perpu No.1/1998 tersebut ditetapkan sebagai Undang-Undang (selanjutnya
disingkat dengan UU No.4/1998).
Keberadaan lembaga kepailitan di ranah hukum Indonesia bertujuan
untuk melindungi kepentingan kreditor yang tidak mempunyai hak untuk
didahulukan atau dikenal dengan istilah kreditor konkuren dari hak istimewa
dan hak agunan yang dimiliki oleh kreditor preferen selaku pemilik hak

2
istimewa dan kreditor separatis sebagai pemilik hak agunan. Secara teknisnya,
tujuan kepailitan adalah untuk mempergunakan harta debitor secara adil dan
proporsional untuk membayar seluruh utang-utang debitor kepada para
kreditor di bawah pengawasan Hakim Pengawas (Lilik Mulyadi, 2010:82).
M. Hadi Shubhan menegaskan pula bahwa lembaga kepailitan
penerapannya lebih baik dibandingkan lembaga lain karena harus dilakukan
dengan mengacu pada prinsip paritas creditorium yang mewajibkan setiap
kreditor memiliki kedudukan yang sama atas penerimaan pembayaran utang
debitor dengan utang debitor dan pari passu prorata parte yang membagi harta
debitor sebagai jaminan bersama para kreditor secara proporsional atau sesuai
dengan porsi kreditor masing-masing perjanjiannya dan bukan dibagi secara
sama rata para kreditor yang ada.
Dengan adanya lembaga kepailitan yang dilaksanakan dengan prinsip-
prinsip tersebut, tentu lembaga kepailitan menjadi sarana penyelesaian
sengketa utang-piutang diantara debitor dengan para kreditor yang lebih
efektif. Dengan tujuan penyempurnaan pengaturan ketentuan hukum lembaga
kepailitan, UU No.4/1998 diperbarui dengan pengundangan Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
131 (selanjutnya disingkat dengan UUKPKPU).
Salah satu akibat hukum dari kepailitan yang cukup signifikan adalah
debitor kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus hartanya
berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUKPKPU. Tindakan pengurusan hartanya
diambilalih oleh kurator berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUKPKPU.
Dengan kata lain, kepailitan menyebabkan debitor tidak bisa mengambil
tindakan apapun atas hartanya, terlebih lagi melanjutkan kegiatan usahanya.
Dari rangkaian pemaparan mengenai penyelesaian permasalahan
utang- piutang debitor dengan para kreditor tersebut, dapat dipahami bahwa
proses penyelesaian melalui kepailitan cenderung menghabiskan banyak
waktu dan merugikan para kreditor jika debitor dalam keadaan insolven.
Untuk itu, peraturan perundang-undangan tentang kepailitan juga menyertakan

3
lembaga penyelesaian permasalahan utang-piutang antar debitor dengan para
kreditornya namun dengan cara yang lebih cepat dan damai. Lembaga tersebut
dikenal dengan istilah Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan sebelumnya maka
dibuat perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Pengertian dan Dasar Hukum Pailit?
2. Siapa saja Pihak-pihak yang bisa Mengajukan Permohonan Pailit?
3. Siapakah Pihak-pihak yang dapat Dinyatakan Pailit?
4. Bagaimana Permohonan, Syarat Pailit serta Tindakan Sementara
dan Upaya Hukum?

C. Tujuan Penulisan
Secara khusus penulisan ini bertujuan untuk mengetahui:
1. untuk mengetahui Pengarahan dan Dasar Hukum!
2. untuk mengetahui siapa saja Pihak-pihak yang bisa mengajukan
Permohonan Pailit!
3. untuk mengetahui siapa saja Pihak-pihak yang Dinyatakan Pailit!
4. untuk mengetahui Permohonan, Syarat Pailit serta Tindakan
Sementara dan Upaya Hukum!

4
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Umum Kepailitan


1. Pengertian Kepailitan

Kepailitan secara apriori dianggap sebagai kegagalan yang


disebabkan karena kesalahan dari debitor dalam menjalankan usahanya
sehingga menyebabkan utang tidak mampu dibayar. Oleh karenanya
sering diidentikkan sebagai pengemplangan utang atau penggelapan
terhadap hal-hak yang seharusnya dibayarkan kepada Kreditor. Bahkan
Kartono mendeskripsikan bahwa kepailitan memang tidak merendahkan
martabatnya sebagai manusia, tapi apabila nantinya ia berupaya untuk
mendapatkan kredit, maka disitulah baru terasa baginya sisi gelap sebagai
orang yang pernah dinyatakan pailit (Kartono, 1982:42). Dengan
perkataan lain, kepailitan memengaruhi “credietwaardigheid”-nya dalam
arti yang merugikan, ia akan sulit mendapatkan kredit. Lebih lanjut
bahkan Munir Fuady mengatakan bahwa kepailitan bukan hanya dianggap
sebagai sarana penagih utang, namun dianggap sebagai “monster” yang
seolah-olah siap menghisap darah debitor yang nakal maupun yang jujur
(Munir Fuady, 2002:2)

Kepailitan sendiri diambil dari kata “pailit” yang merupakan suatu


keadaan dimana debitor tidak mampu Untuk melakukan pembayaran-
pembayaran terhadap utang-utang dari para krediornya. Keadaan tidak
mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keungan
(financial distress) dari usaha debitor yang tengah mengalami
kemunduran. Sedangkan Kepailitan merupakan putusan Pengadilan yang
mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitor pailit, baik harta
yang telah ada saat ini maupun yang akan ada dikemudian hari (Hadi
Subhan 2015, 5:1). Hal ini pun selaras dengan rumusan pengertian

5
Kepailitan yang dicantumkan dalam Pasal 1 angka 1 yang mengatakan
bahwa Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini.

Adapun menurut Henry Campbell Black (1979:134) Kepailitan


dalam kepustakaan Black’s law dictionary menyatakan “Bankrupt is the
state or condition of one who is unable to pay his debts as they are, or
become, due

Pembicaraan makna kepailitan diatas tentu pula tak terlepas dari


sisi yuridis kepailitan yang pondasi dasarnya diatur dalam Pasal 1131
KUH Perdata yang berbunya :
“segala kebendaan siberutang, baik yang bergerak maupun yang
tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang ada dikemudian hari,
menjadi tanggungan untuk segala perikatan”

Secara gramatikal tentu rumusan Pasal tersebut memberikan


gambaran akan adanya tanggung jawab yang dimiliki oleh debitor yang
muncul dari perikatan dirinya dengan kreditor. Harta yang dimiliki oleh
debitor baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, yang saat ini ada
maupun yang ada dikemudian hari menjadi jaminan untuk Perikatan
tersebut. Dengan seperti itu maka Debitor harus menyadari pula bahwa
bila kewajibannya membayar utang tidak dituntaskan sebagaimana
mestinya maka tinggal menghitung hari saja harta debitor seluruhnya akan
disita melalui jalur kepailitan.

Disitanya harta debitor pailit Setelah dinyatakan pailit oleh


Pengadilan maka pengurusan dan pemberesan harta debitor pailit
diserahkan kepada Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas
sebagai mitra kerja Kurator agar pemberesan harta tersebut dapat
dibagikan secara proporsional sesuai dengan asas umum kepailitan yakni
pari posu pro rata parte.

6
2. Dasar-dasar Hukum Kepailitan

Hukum Kepailitan adalah suatu bidang ilmu Hukum yang khusus


diadakan sebagai salah satu sarana hukum untuk penyelesaian utang
piutang. Kepailitan adalah Sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah
pengawasan Hakim Pengawas. Beberapa pihak yang terlibat dalam suatu
proses Kepailitan, yaitu Kreditor, Debitor, Debitor Pailit, Kurator dan
Hakim Pengawas.
a. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian
atau Undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.
(Pasal 1 Ayat (2))
b. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian
atau Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka
pengadilan. (Pasal 1 Ayat (3))
c. Debitor Pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan
Putusan Pengadilan. (Pasal 1 Ayat (4))
d. Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang Perorangan
yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan
harta Debitur Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Pasal
1 Ayat (5)).

Asas atau prinsip merupakan ratio legis dari adanya norma


hukum. Satjipto Raharjo menyatakan bahwa asas hukum merupakan
jantungnya peraturan hukum dan ia merupakan landasan yang paling
luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, yang berarti bahwa
peraturan-peraturan itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-
asas tersebut (Satjipto Raharjo 1986:85).
Menurut Hadi Subhan asas hukum sangat diperlukan sebagai
dasar pembentukan aturan hukum sekaligus sebagai dasar dalam

7
memecahkan persoalan hukum manakala aturan hukum yang ada tidak
tersedia. Dalam Hukum Kepailitan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang setidaknya telah memiiliki Asas umum
Kepailitan, yang diantaranya:

b. Asas Paritas Creditorium

Paritas Creditorium (Kesetaraan kedudukan para kreditor)


menentukan bahwa para Kreditor mempunyai hak yang sama terhadap
semua harta benda debitor. Asas ini mengandung makna bahwa semua
kekayaan Debitor baik bergerak maupun yang tidak bergerak, yang saat
ini ada maupun yang dikemudian hari ada akan terikat kepada
penyelesaian kewajiban Debitor. Filosofi Paritas Creditorium
berangkat dari peristiwa ketidakadilan jika debitor memiliki harta benda
sementara utang debitor tidak terbayarkan. Oleh karenanya hukum
memberikan jaminan umum bahwa harta kekayaan debitor demi hukum
menjadi jaminan terhadap utang-utangnya meskipun harta Debitor
tersebut tidak ada kaitannya secara langsung terhadap utang-utangnya.
Namun demikian, asas ini kendatipun merupakan reaksi dari
ketidakadilan tersebut, jika diterapkan secara berdiri sendiri maka akan
menimbulkan ketidakadlian berikutnya.
Karena asas paritas creditorium menganggap para kreditor
berkedudukan sama dengan kreditor lainnya sehingga tidak
membedakan sama sekali. Tentu hal ini akan menimbulkan
ketidakadilan berikutnya mengingat dalam praktiknya ada kreditor yang
memiliki piutang yang besar dan ada pula kreditor yang memiliki
piutan kecil. Maka asas ini harus dipasangkan dengan asas lain dalam
hukum kepailitan yaitu asas pari posu pro rata parte dan asas
structured creditors.

c. Asas Pari Posu Pro Rata Parte

8
Jika asas Paritas Creditorium bertujuan untuk memberikan
keadilan bagi semua Kreditor tanpa pembedaan kondisinya terhadap
harta kekayaan Debitor kendatipun harta kekayaan tersebut tidak
berkaitan langsung dengan transaksi yang dilakukannya, maka asas pari
posu pro rata parte memberikan keadilan kepada kreditor dengan
konsep keadilan proporsional dimana kreditor yang memiliki utang
yang lebih besar, maka akan mendapatkan porsi pembayaran lebih
besar pula dari pada kreditor yang memiliki piutang lebih kecil. Artinya
asas ini menunjukkan bahwa segala harta kekayaan Debitor itu sebagai
jaminan akan kewajiban untuk membayar utang-utangnya kepada para
kreditor dengan sama rata, kecuali jika antara para kreditor itu ada yang
menuru undang-undang harus didahulukan dalam menerima
pembayaran tagihannya.

d. Asas Structured Creditors

Pelaksanaan hukum dengan mempergunakan asas paritas


creditorium yang digandengkan dengan asas pari posu pro rata parte
dalam realitasnya ternyata juga bukan tanpa kelemahan. Kedua asas
tersebut masih menafikkan adanya kreditor yang memiliki hak atas
jaminan kebendaan harta kekayaan debitor serta kreditor yang juga
memiliki hak preferensi. Jika pada akhirnya disamakan kedudukannya
maka adanya lembaga hukum jaminan menjadi tidak bermakna lagi.
Bentuk ketidakadilan lanjutan inilah yang pada akhirnya melahirkan
asas structured creditors guna melindungi para kreditor yang memiliki
jaminan atas kebendaan debitor dan juga kreditor yang memiliki hak
preferensi. Adapun asas ini adalah asas yang mengklasifikasikan dan
mengelompokkan berbagai macam kreditor sesuai dengan kelasnya
masing-masing, yaitu :

1) Kreditor separatis;
2) Kreditor preferen;
3) Kreditor konkuren.

9
Dalam hukum kepailitan kreditor preferen menurut undang-
undang harus didahulukan pembayaran piutangnya, seperti pemegang
hak privilege, pemegang hak retensi dan lain sebagainya. Sedangkan
kreditor separatis adalah kreditor yang memiliki jaminan kebendaan.
Lain hal dengan kreditor konkuren, kreditor ini hanya diklasifikasikan
sebagai kreditor biasa yang biasanya mendapatkan porsi akhir atas harta
debitor pailit.

e. Asas Utang

Tanpa adanya utang esensi kepailitan menjadi tidak ada karena


kepailitan adalah pranata hukum untuk melakukan likuidasi aset debitor
untuk membayar utang-utangnya kepada para kreditor, karenanya M.
hadi shubhan mengatakan bahwa utang merupakan raison d’etre dari
suatu kepailitan. utang menjadi dasar utama untuk mempailitkan subjek
hukum sehingga sangat penting sekali untuk dikaji lebih lajut prinsip
mendasar utang.

f. Asas Debt Collection

Debt collection mempunyai makna sebagai konsep pembalasan


dari kreditor terhadap debitor pailit. Pada hukum kepailitan asas ini
dipergunakan sebagai mekanisme pemaksaan dan pemerasan melalui
likuidasi aset. Lebih lanjut emmy mengatakan bahwa hukum kepailitan
dibutuhkan sebagai collective proceeding, artinya tanpa adanya hukum
kepailitan masing-masing kreditor akan berlomba-lomba secara sendiri-
sendiri mengklaim aset debitor untuk kepentingannya (Sutan R.S,
1998:109).

Oleh karena itu hukum kepailitan dapat memberikan suatu


mekanisme dimana para kreditor dapat bersama-sama menentukan
apakah sebaiknya perusahaan debitor diteruskan kelanjutan usahanya
atau tidak. Sehingga dengan adanya asas ini menekankan kembali

10
fungsi adanya hukum kepailitan sebagai sarana pemaksa untuk
mewujudkan hak-hak Kreditor melalui likuidasi aset debitor dengan
bersama-sama dengan para kreditor lainnya.

g. Asas Debt Pooling

Asas ini mengatur bagaimana harta kekayaan debitor pailit


harus dibagi diantara para kreditornya. Dalam melakukan
pendistribusian aset tersebut, sudah barang tentu kurator akan
berpegang pada prinsip paritas creditorium dan prinsip pari posu pro
rata parte, serta pembagian berdasarkan jenis masing- masing kreditor
(structured credtors). Debt pooling mencakup pula pengaturan dalam
sistem kepailitan terutama berkaitan dengan bagaimana aset debitor
pailit dibagikan ke para kreditornya. Penjabaran sistem ini akan
berkaitan dengan kelembagaan yang terlihat dalam proses kepailitan
mulai dari lembaga peradilan, hukum acara yang digunakan, serta
terdapatnya hakim pengawas dan kurator dalam pelaksanaan kepalitan.

h. Asas Debt Forgiveness

Debt forgiveness mengartikan bahwa kepailitan bukan hanya


sebagai alat memaksa debitor untuk melunasi utangnya kepada para
kreditor, namun lebih jauh dari itu kepailitan juga bisa bermakna
sebaliknya, yaitu sebagai sarana hukum yang dapat digunakan untuk
meringankan beban debitor yang sedang mengalami kesulitan kondisi
keuangan dengan agreement antara dirinya dengan para kreditornya.
Dalam praktiknya dari asas ini adalah diberikannya moratorium
terhadap debitor atau yang biasa dikenal sebagai penundaan kewajiban
pembayaran utang untuk jangka waktu yang akan ditentukan.

Diberikkannya fresh- starting bagi debitor memungkinkan


untuk melakukan kembali usahanya agar dapat kembali mendapatkan
kondisi keuangan yang sehat.
Menurut Sutan Remy Sjahdeiny yang mengatakan claim dalam

11
Bankruptcy Code Amerika mengharuskan adanya right to payment,
dengan demikian apabila kewajiban debitor tidak menimbulkan suatu
right to payment maka kewajiban debitor tidak dapat digolongkan
sebagai claim (Sutan R.S, 1998:105). Right to payment
mengindikasikan adanya hak kepada kreditor agar utangnya
dibayarkan. Pada konsep utang di Indonesia, dalam hal seseorang
karena perbuatannya atau tidak melakukan sesuatu yang mengakibatkan
bahwa ia mempunyai kwajiban membayar ganti rugi, memberikan
sesuatu atau tidak memberikan sesuatu, maka pada saat itu juga ia
mempunya utang, mempunyai kewajiban melakukan prestasi. Sehingga
dapat dikatakan utang sama dengan prestasi menurut Fred B.G
Tumbuan.

B. Pihak-pihak yang dapat Mengajukan Kepalitan

Tertuang dalam Pasal 2 Ayat (1), (2), (3), (4), (5) UU Kepailitan
menunjukkan bahwa pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit
bagi seorang debitor adalah :
1. Debitor yang bersangkutan;
2. Kreditor atau para Kreditor;
3. Kejaksaan untuk kepentingan umum;
4. Bank Indonesia apabila Debitornya adalah bank;
5. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) dalam hal
Debitornya adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring
dan penjamin, lembaga penyimpanan dan penyelesaian; dan
6. Menteri Keuangan dalam hal Debitornya adalah perusahaan
asuransi, perusahaan reasuransi, dana pension, atau Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dibidang
kepentingan publik.

C. Pihak-pihak yang dapat Dinyatakan Pailid

12
Akar yang menjadi penopang sebagai regulasi untuk Pengajuan
permohonan pernyataan pailit dapat kita temui dalam rumusan Pasal 2
Ayat (1) UU Kepailitan yang menyatakan :

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak


membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya.”

Setidaknya jika dibaca secara gramatikal dari ketentuan norma


diatas dapat kita temukan segala persyaratan untuk mengajukan
permohonan pailit ke Pengadilan, seperti:

1. Syarat adanya dua Kreditor atau lebih (Concurcus Creditorium)

Adanya syarat ini dipandang sebagai satu langkah untuk bisa


melindungi debitor akan adanya kreditor yang hanya berniat untuk
menjatuhkan debitor melalui arena kepailitan. Debitor yang ingin
dinyatakan pailit harus dipastikan terlebih dahulu bahwa ia memiliki
setidaknya dua kreditor. Syarat mutlak ini harus dipenuhi sebab jika
debitor hanya memiliki satu kreditor, maka otomatis seluruh aset
debitor menjadi jaminan atas pelunasan utang tersebut dan tidak
diperlukan pembagian secara pari posu pro rata parte.

2. Harus ada Utang

Syarat ini sebetulnya mengingatkan kita kembali atas adanya


asas utang sebagaimana diuraikan diatas. Bentuk pengejawantahan asas
utang sebagai salah satu syarat untuk mengajukan permohonan pailit
merupakan syarat yang harus dipenuhi dan harus juga dibuktikan di
Pengadilan. Pada mulanya menurut Jono frasa “utang” dalam dunia
hukum kepailitan menjadi multitafsir (Jono 2013:10). Tatkala dulu
didalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan tidak

13
ada definisinya. Apakah makna “utang” hanya terbatas pada utang yang
lahir dari perjanjian utang piutang atau perjanjian pinjam- meminjam
ataukah “utang” merupakan suatu prestasi akan tetapi hal itu pun sudah
terjawab dengan hadirnya Pasal 1 butir 6 UU Kepailitan yang
menyatakan :

“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan


dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun
mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan
timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena
perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh
Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor
untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.”

Sehingga adanya Pasal tersebut pemaknaan frasa “utang” secara


luas terjabarkan, yang intinya tidak hanya meliputi utang yang timbul
dari perjanjian utang-piutang tetapi juga utang yang timbul karena
undang-undang atau perjanjian yang bisa dinilai dengan uang.

3. Cukup Satu Utang yang Telah Jatuh Waktu dan Dapat Ditagih

Disejajarkan dengan syarat pertama diatas dan


disandingkan dengan syarat ini maka mengandung pengertian untuk
dapat meminta permohonan pailit cukup hanya dengan menggunakan 2
kreditor dengan catatan diantara salah satunya utang tersebut telah jatuh
waktu dan dapat ditagih. Suatu utang dikatakan jatuh dan harus diayar
jika utang tersebut sudah waktunya untuk dibayar, terhadap istilah
“jatuh waktu” dan “dapat ditagih”, Sutan Remi Sjahdeni berpendapat
bahwa kedua istilah itu berbeda pengertian dan kejadiannya. Suatu
utang dapat saja telah dapat ditagih tetapi belum jatuh waktu.

Menurut Sutan Remy Sjahdeiny Utang yang telah jatuh waktu

14
maka dengan sendirinya menjadi utang yang dapat ditagih, namun
utang yang telah dapat ditagih belum tentu merupakan utang yang jatuh
waktu. Utang hanyalah jatuh waktu bila menurut perjanjian utang-
piutang telah sampai jadwal waktunya untuk dilunasi. “dapat ditagih”,
Sutan Remi Sjahdeni berpendapat bahwa kedua istilah itu berbeda
pengertian dan kejadiannya. Suatu utang dapat saja telah dapat ditagih
tetapi belum jatuh waktu.
Utang yang telah jatuh waktu maka dengan sendirinya menjadi
utang yang dapat ditagih, namun utang yang telah dapat ditagih belum
tentu merupakan utang yang jatuh waktu. Utang hanyalah jatuh waktu
bila menurut perjanjian utang-piutang telah sampai jadwal waktunya
untuk dilunasi.

D. Permohonan Syarat Pailid serta Tindakan Sementara dan


Upaya Hukum
1. Syarat Pailid

Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pailit


kepada debitor terdapat pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang yaitu:

1. debitor tersebut mempunyai dua atau lebih kreditor; dan


2. debitor tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Permohonan pernyataan pailit tersebut harus dikabulkan


apabila kedua syarat tersebut telah terbukti secara sederhana
sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Setelah dijatuhi putusan pailit,
maka seluruh aset debitor akan dikuasai oleh kurator yang diberi
kewenangan dan diawasi oleh hakim pengawas.

15
Hal ini tentunya dapat menjadi sebuah warning sign bagi para
pelaku usaha yang berkedudukan sebagai debitor, pada dasarnya
kepailitan harusnya menjadi jalan keluar terkahir bagi para pihak
yang bersengketa, namun Undang-Undang Kepailitan seakan
juga memberikan celah bagi para kreditor untuk mempailitkan
debitor yang tidak membayar utangnya saat jatuh tempo tanpa
melihat kondisi keuangan debitor terlebih dahulu (Gedalya dkk,
2018:3)
Karena persyaratan yang begitu sederhana ini, debitor
yang dalam keadaan solven (memiliki keadaan keuangan yang
sehat) dapat terancam dipailitkan. Karena pada hukum kepailitan
di Indonesia tidak mencantumkan insolvency (keadaan tidak
mampu membayar) sebagai persyaratan untuk menyatakan debitor
tersebut pailit. Insolvency merupakan suatu keadaan keuangan,
yaitu keadaan keuangan yang terjadi ketika utang yang lebih dari
satu yang dimiliki oleh debitor melebihi asetnya. Dengan
demikian keadaan insolvency dapat menjadi dasar untuk debitor
dinyatakan pailit, setiap debitor yang telah dinyatakan pailit
pasti insolven.

Syarat-syarat pada Undang-Undang Kepailitan sangat


menguntungkan bagi kreditor. Tidak diterapkannya insovency
test pada hukum kepailitan di Indonesia menyebabkan debitor
bangkrut secara hukum. Oleh karena tidak dimasukannya
insolvency dalam syarat kepailitan di Indonesia menyebabkan
banyak kasus perusahaan di Indonesia yang dalam keadaan
solven namun diputus pailit oleh Pengadilan Niaga.
Dari syarat-syarat tersebut terlihat bahwa Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang tidak mempermasalahkan debitor
tidak mampu membayar atau tidak mau membayar. Jadi

16
walaupun Hakim berpendapat bahwa debitor dalam keadaan
solven sehingga tidak layak untuk dipailitkan, namun hal tersebut
tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk menolak permohonan
pailit.
Tentu hal tersebut akan sangat merugikan debitor yang
dalam keadaan solven jika perusahannya dipailitkan tanpa
memperhatikan kondisi keuangan perusahaannya. Seharusnya
syarat kepailitan ditentukan bukan hanya debitor tidak
membayarkan utangnya pada satu kreditor saja, tetapi tidak
membayarkan lebih dari 50% dari total seluruh utang yg dimiliki
debitor. Apabila debitor tidak membayarkan utangnya hanya
pada satu kreditor yang mengusai sebagian besar utang debitor
namun masih mampu menjalankan kewajibannya pada kreditor
yang lainnya, maka kasus tersebut harusnya diperiksa
dipengadilan perdata biasa sebagai kasus wanprestasi (Serlika
Aprilia, 2018:49)

2. Upaya Yang Dapat Dilakukan Debitor Untuk Menghindari


Kepailitan dan Hukum

Menurut Gedalya I. Gale Tujuan dari Undang-Undang


Kepailitan ini untuk melindungi kreditor dari sikap debitor yang
melalaikan kewajibannya terhadap kreditor, namun masih
banyak debitor yang beritikad baik dan harus dilindungi. Hal ini
menyebabkan debitor berada pada posisi yang lemah.
Untuk menghindari penyalahgunaan kepailitan yang dapat
dilakukan oleh kreditor yang tidak beritikat baik, maka upaya
yang dapat dilakukan oelh debitor yaitu:

17
1. Melunasi seluruh utangnya.
2. Mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Salah satu upaya agar debitor dapat terhindar dari kepailitan


yaitu melunasi seluruh utang yang dimiliki kepada kreditor-
kreditornya. Menurut Elyta R. Ginting, (2018:139) Utang timbul
karena adanya perjanjian utang-piutang yang menimbulkan
hak dan kewajiban bagi para pihak yang ada dalam Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, perdamaian yang dimaksud
disini dapat mengakhiri kepailitan.
Tentu hal tersebut akan sangat merugikan debitor yang
dalam keadaan solven jika perusahannya dipailitkan tanpa
memperhatikan kondisi keuangan perusahaannya. Seharusnya
syarat kepailitan ditentukan bukan hanya debitor tidak
membayarkan utangnya pada satu kreditor saja, tetapi tidak
membayarkan lebih dari 50% dari total seluruh utang yg dimiliki
debitor. Apabila debitor tidak membayarkan utangnya hanya pada
satu kreditor yang mengusai sebagian besar utang debitor namun
masih mampu menjalankan kewajibannya pada kreditor yang
lainnya, maka kasus tersebut harusnya diperiksa dipengadilan
perdata biasa sebagai kasus wanprestasi.
Selain itu masih ada upaya hukum yang dapat dilakukan
oleh debitor yang dalam keadaan solven yang telah dijatuhi
putusan pailit oleh Pengadilan Niaga. Dalam hal ini Pengadilan
Niaga mempunyai kewenangan memeriksa dan memutuskan
perkara- perkara di bidang perniagaan, tetapi tidak terbatas pada
pemeriksaan perkara kepailitan. Sesuai penjelasan Pasal 284
ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka
Ketua Mahkamah Agung mempunyai kewajiban untuk
membimbing dan mengawasi jalannya Peradilan Niaga agar

18
terpenuhinya prinsip-prinsip hukum dari Peradilan Niaga I Gede
Y.A dkk 2016, 2:04.02)
Adapun upaya hukum yang dilakukan Pengadilan Niaga
dalam perkara keapilitan yaitu Peninjauan Kembali (PK) dan
mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung sebagaimana yang
telah diatur pada Pasal 11 sampai 13 Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan
oleh debitor. Akibat dari putusan pembatalan pernyataan pailit
maka seluruh perdamaian yang mungkin terjadi akan gugur.

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. pengertian Kepailitan yang dicantumkan dalam Pasal 1 angka 1 yang
mengatakan bahwa Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan
Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam
Undang- Undang ini. Dalam Hukum Kepailitan sebagaimana diatur dalam
Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang setidaknya telah memiiliki Asas
umum Kepailitan,

2. Tertuang dalam Pasal 2 Ayat (1), (2), (3), (4), (5) UU Kepailitan
menunjukkan bahwa pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit
bagi seorang debitor adalah Debitor, Kreditor atau para Kreditor;,
Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal
(BAPEPAM) dan Menteri Keuangan
3. Akar yang menjadi penopang sebagai regulasi untuk Pengajuan
permohonan pernyataan pailit dapat kita temui dalam rumusan Pasal 2
Ayat (1) UU Kepailitan yang menyatakan : “Debitor yang mempunyai
dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun
atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”
4. Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pailit kepada
debitor terdapat pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Upaya yang dapat dilakukan oleh debitor
untuk menghindari kepailitan yaitu dengan melunasi seluruh

20
utangnya terhadap kreditornya dan mengajukan Penundaan
kewajiban Pembayaran Utang
B. Saran

Penulis menyadari, dalam penyusunan makalah ini belum sepenuhnya


sempurna. Untuk itu dapat kiranya memberikan kritik dan saran mengenai
makalah ini. Walaupun demikian penulis berharap semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua

21
DAFTAR PUSTAKA

Black, Henry Campbell, Black’s law dictionary, West Publishing Co.,St. Paul
Minnesota, 1979.

Elyta Ras Ginting, 2018, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta

Gatot Supramono, Perjanjian Utang Piutang, Prenada Media, Jakarta, 2013

Gedalya Iryawan Kale, A.A.G.A Dharmakusuma, 2018, “Syarat


Kepailitan Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Debitor
dalam Undang-Undnag Nomor 37 Tahun 2004”, Kertha
Semaya, Vol. 06, No.03, Mei 2018, ojs.unud.ac.id,
URL:https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/vie
w/40730 diakses pada tanggal 1 Juni 2022

Hartono, Sri Redjeki, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan


Modern, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.7, Jakarta, 1992.
I Gede Yudhi Ariyadi, A.A.G.A Dharmakusuma, Suantra Putrawan,
2016, “Mekanisme Permohonan Pernyataan Pailit Melalui
Pengadilan Niaga”, Kertha Semaya, Vol. 04, No. 02, Februari
2016, hlm. 5, ojs.unud.ac.id, URL:
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/view/19085
diakses pada tanggal 1 Juni 2022

Jono, Hukum Kepailitan, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Jakarta:


Pradnya Paramita, 1982.

R. Anton Suyatno, Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,


Kencana, Jakarta, 2012, h.1Fuady, Munir, Hukum pailit 1998: dalam
Teori dan Praktek, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Alumni, 1986.

, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.

Serlika Aprilia, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang (Perspektif Teori), Setara Press, Malang,

22
2018

Sjahdeini, Sutan Remy, Hukum Kepailitan: Memahami


Faillissementsverordening juncto Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1998, Jakarta: Grafiti, 2002.

Sjahdeini, Sutan Remy, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan:


Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran, Cet. 1, Jakarta: Prenadamedia
Group, 2016

Shubhan, Hadi, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan,


Cet.1, Jakarta: PT. Kencana Prenada Media Group, 2008..

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Undang

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

23

Anda mungkin juga menyukai