Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

KEPAILITAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN HUTANG

Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Hukum Dagang

Dosen Pengampu : DR. H. JA’FAR BAEHAQI, S.Ag., M.H.

Dibuat oleh;

DEO RENALDI SAPUTRA 2102056040

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa Atas Rahmat dan Hidayah-
Nya,sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih kepada Bapak DR. H. JA’FAR BAEHAQI, S.Ag., M.H. selaku dosen pengampu Mata
Kuliah Hukum Dagang yang telah memberikan tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan
terima kasih kepada teman-teman yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Makalah ini memuat tentang “Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Hutang” yang
bertujuan untuk menjadi salah satu rujukan atau pedoman bagi pembaca, dan untuk menambah
wawasan pengetahuan bagi pembaca.

Kami menyadari ada kekurangan pada makalah ini. Oleh sebab itu, saran dan kritik
senantiasa diharapkan demi perbaikan makalah. Kami juga berharap semoga makalah ini mampu
memerikan manfaat bagi para pembaca.

Semarang, 16 September 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................3
A. Latar Belakang....................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................4
C. Tujuan Penelitian................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................5
A. Pengajuan Kepailitan.........................................................................................................5
B. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam Hukum Positif di Indonesia.........6
BAB III PENUTUP......................................................................................................................10
A. Simpulan............................................................................................................................10
B. Saran..................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................11

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyelesaian masalah utang piutang merupakan agenda utama nasional dalam
rangka pemenuhan ekonomi secara cepat dan efisien untuk itu pula pengaturan tentang
kepailitan sangat penting dilaksanakan agar penundaan kewajiban pembayaraan utang
menjãdi masalah yang penting untuk segera diselesaikan. Berkaitan dengan hal tersebut
setiap perusahaan mungkin atau pasti mempunyai utang. Bagi suatu perusahaan, utang
bukanlah merupakan suatu hal yang buruk, asal perusahaan tersebut masih dapat
membayar kembali. Perusahaan yang begini biasa disebut perusahaan yang sohven,
artinya perusahaan yang mampu membayar hutang-hutangnya. Sebaliknya jika suatu
perusahaan yang sudah tidak mampu membayar hutang-hutangnya lagi disebut insolven,
artinya tidak mampu membayar.
Lahirnya peraturan mengenai kepailitan diharapkan dapat mengatasi
permasalahan dalam perekonomian nasional dan memberikan rasa keadilan, baik
terhadap kreditor maupun debitor. Menurut W.Friedman, Suatu Undang-undang atau
peraturan haruslah memberikan keadilan yang sama kepada semua walaupun terdapat
perbedaan-perbedaan di antara pribadi-pribadi itu, kalau tidak ada kedudukan sosial,
kemajuan dalam pidup dicapai bukan atas dasar reputasi melainkan karena kapasitas,
kelas-kelas dalam masyarakat bukan faktor yang menentukan sosial saja." Salah satu
paradigma hukum kepailitan adalah adanya nilai keadilan sehingnga hukum dapat
memberikan tujuan yang sebenarnya yaitu memberikan manfaat, kegunaan dan kepastian
hukum. Satjipto rahardjo menyatakan "hukum sebagai perwujudan nilai-nilai
mengandung arti bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan nilai-
nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat."
Inisiatif pemerintah untuk merevisi peraturan tentang kepailitan sebenarnya
timbul kurena ada tekanan dari Dana Moneter Internasional atau Internasional Monetary
Fund (IMF) yang mendesak supaya Indonesia pemenuhan menyempurnakan sarana
hukum yang mengatur permasalahan kewajiban oleh debitor kepada kreditor. IMF

4
merasa bahwa peraturan kepailitan yang merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda
selama ini kurang memadai dan tidak dapat memenuhi tuntutan zaman.
Ditetapkannya Perpu nomor l tahun 1998 jo Undang-undang Nomor 4 tahun 1998
selanjutnya disebut Undang-undang kepailitan dalam mengatasi gejolak moneter yang
diharapkan menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan utang piutang antara kreditur
dan debitur secara cepat, adil dan efektif tidak terlaksana, hal ini karena desakan untuk
segera mungkin untuk memperbaiki peraturan kepailitan dengan cara tambal sulam pasal-
pasal peraturan kepailitan yang ada, sehingga banyak ketentuan dalam pasal-pasal yang
diubah tidak sempurna yang kemudian disempurnakan dengan Undang-undang Nomor
37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.

B. Rumusan Masalah
1. Apa sajakah syarat-syarat pengajuan kepailitan?
2. Bagaimanakah Lembaga peradilan Indonesia dalam menangani tentang kepailitan dan
penundaan pembayaran hutang suatu perusahaan?

C. Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan syarat-syarat pengajuan kepailitan.
2. Mendeskripsikan Peranan Lembaga peradilan Indonesia dalam menangani tentang
kepailitan dan penundaan pembayaran hutang suatu perusahaan.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengajuan Kepailitan
Dalam peraturan kepailitan (FV) pun menganut konsep utang dalam arti luas.
Dalam yurisprudensi ternyata bahwa membayar tidak selalu berarti menyerahkan
sejumlah uang. Menurut putusan H. R 3 Juni 1921, membayar berarti memenuhi
suatu perikatan, ini dapat diperuntukkan untuk menyerahkan barang-barang.1
Disamping prinsip utang menganut konsep utang dalam arti luas utang yang dijadikan
dasar mengajukan kepailitan harus memenuhi unsur:

1. Utang tersebut telah jatuh tempo


2. Utang tersebut dapat ditagih
3. Utang tersebut tidak dibayar lunas.

Suatu utang dapat ditagih jika utang tersebut bukan utang yang timbul dari
perikatan alami (natuurlijke verbintensis). Perikatan yang pemenuhannya tidak dapat
dituntut di muka pengadilan dan yang lazimnya disebut perikatan alami tidak dapat
digunakan sebagai alasan untuk mengajukan permohonan pailit. Perikatan alami
adalah semisal perikatan yang oleh ketentuan perundang- undangan dinyatakan tidak
dapat dituntut pemenuhannya karena perjudian atau pertaruhan (pasal 1788 KUH
Perdata), maupun sesudahnya sebagai akibat telah erjadinya kadaluwarsa (pasal 1967
KUH Perdata).2
Dalam proses acara kepailitan prinsip utang tersebut sangat menentukan, oleh
karena tanpa adanya utang tidaklah mungkin perkara kepailitan akan bisa diperiksa.
Walaupun telah ada kepastian mengenai penafsiran utang tersebut dalam revisi
Undang-undangkepailitan yakni Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan pembayaran Utang, dimana utang didefinisikan dalam arti

1
Siti Soemantri Hartono (1993), Pengantar Hukum Kepailitan dan penundaan Pembayaran,
Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, Hlm 8
2
Fred BG tumbuan (2004),mencermati Makna Debitor, Kreditor dan tang berkaitan dengan
Kepailitan, Dalam Emmy YuhassIie (ed), Undang-undang kepailitan dan Perkembangannya,
Pusat pengkajian Hukum, Jakarta, hlm 20-21

6
luas yang berarti telah pararel dengan konsep KUHPerdata, akan tetapi perubahan
konsep utang ini menjadi terdistorsi Ketika dikaitkan dengan hakikat kepailitan dalam
Undang-undang kepailitan yang hanya bertujuan untuk mempermudah memailitkan
subjek hukum dimana syarat kepailitan hanya memiliki dua variable, yakni adanya
utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kembali serta memiliki setidaknya dua
kreditor. Sehingga kemudahan mempailitkan subjek hukum seakan dipermudah lagi
dengan konsep utang dalam arti luas tersebut. Kelemahan Undang-undang ini sering
disalah gunakan, dimana kepailitan bukan sebagai instrumen hukum untuk melakukan
distribusi aset debitor akan tetapi digunakan sebagai alat untuk menagih utang atau
bahkan untuk mengancam subjek hukum walaupun tidak berkaitan dengan utang.

B. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam Hukum Positif di Indonesia


PKPU adalah keringanan yang memberi debitur penundaan pembayaran
hutangnya, debitor berharap dalam waktu yang relatif singkat ia mendapatkan
penghasilan yang cukup untuk melunasi seluruh hutangnya.3 Para debitur mulai
menyadari bahwa situasi keuangan mereka buruk, yang menghalangi mereka untuk
membiayai hutang mereka dan dapat memilih opsi lain untuk menyelamatkan situasi
mereka. Beberapa pilihan yang terlibat meliputi:4
1. Membangun perdamaian dengan kreditor di luar pengadilan;
2. Jika debitur digugat dengan gugatan perdata, penyelesaian harus dilakukan di
pengadilan;
3. Mengajukan penundaan pembayaran utang (PKPU);
4. Mendaftar PKPU untuk perdamaian;
5. Mengajukan permohonan untuk menyatakan bahwa Anda telah dinyatakan
pailit oleh pengadilan;
6. Mengajukan kebangkrutan dan perdamaian.

Mengenai alternatif-alternatif tersebut, debitur dapat memilih plihan yang


terbaik, dalam hal ini PKPU tampaknya menjadi pilihan yang ideal. Secara hukum,
3
Robinton Sulaiman, Joko Prabowo, 2000, “Lebih Jauh Tentang Kepailitan (Tinjauan Yuridis Tanggung Jawab
Komisaris, Direksi dan Pemegang Saham Terhadap Perusahaan Pailit”, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
Karawaci, hlm. 32
4
Man S. Sastrawidjaja, 2006, “Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, PT. Alumni
Bandung, Bandung,, hlm. 202.

7
selama tidak ada putusan pailit, PKPU hanya bisa diajukan oleh debitur. Apabila
putusan pailit sudah diarahkan pada debitur, debitur tidak dapat mengajukan PKPU.
Sedangkan debitur sendiri dapat mengajukan permohonan pailit untuk dirinya sendiri
beserta permohonan PKPU, dalam hal ini hakim akan memprioritaskan pemeriksaan
PKPU.

Maksud penangguhan atau pelaporan pembayaran adalah waktu yang


diberikan oleh undang-undang sesuai dengan keputusan hakim niaga. Selama periode
ini, kreditur dan debitur memiliki kesempatan untuk meninjau kembali metode
pembayaran utangnya dengan menyediakan seluruh atau sebagian dari rencana
pembayaran, termasuk restrukturisasi hutang bila diperlukan. Oleh karena itu,
penundaan pembayaran hutang berarti penangguhan atau disebut suspensi hukum.5
Tujuan PKPU adalah agar debitur dapat melanjutkan usahanya dan terhindar dari
kebangkrutan walaupun pembayarannya sulit. Dengan kata lain pada dasarnya tujuan
mengajukan permohonan PKPU adalah untuk mencapai kata damai. Rencana
perdamaian yang mencakup tawaran untuk membayar kembali sebagian atau seluruh
hutang kepada kreditor. Tujuan pengajuan PKPU adalah:

1. Agar tidak pailit;


2. Adanya ruang kepada debitur untuk melaksanakan usaha tanpa mendesak
debitur untuk segera melunasi hutangnya; dan
3. Bisnis yang sehat.

Pasal 212 Perpu Nomor. 1 Tahun 1998 yang diatur dalam Undang-Undang No. 4
Tahun 1998 (UUK) menyatakan bahwa debitur yang tidak dapat atau tidak dapat
memprediksi bahwa ia tidak akan dapat terus melunasi hutangnya dapat meminta
penundaan pembayaran kembali hutangnya. maksudnya adalah untuk mengusulkan
perdamaian rencana termasuk penawaran pembayaran, seluruh atau sebagian hutang
kepada kreditur merangkap.
Permohonan PKPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 UUKPKPU “harus
diajukan ke pengadilan oleh debitur, ditandatangani oleh debitur, pemohon dan

5
Munir Fuady, 2002, “Hukum Pailit”, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 8.

8
pembela, serta dilampiri dengan daftar yang memuat piutang dan piutang debitur serta
sifat hutang, Jumlah dan bukti yang cukup. Jika pemohon adalah kreditur, ia wajib
menghubungi debitur melalui pos kilat melalui juru sita dalam waktu tujuh hari
sebelum sidang pengadilan. Selanjutnya, debitur mengajukan daftar yang
mencantumkan piutang debitur serta sifat dan jumlah hutangnya, bukti yang cukup,
dan (jika ada) rencana perdamaian.
Sekalipun debitur merupakan tergugat pailit, debitur juga dapat mengajukan
PKPU. Apabila debitur merupakan perseroan terbatas (PT), debitur dapat mengajukan
PKPU dengan jumlah orang yang hadir dalam rapat dan keputusan efektif yang sama
setelah mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham (RUPS). Dibagi menjadi
2 (dua) tahap, yaitu: 6
1. Penundaan Sementara Kewajiban Pembayaran Utang “Bagian awal PKPU,
sejak debitur mengajukan permohonan PKPU dan memenuhi berbagai
persyaratan administrasi, pengadilan harus menyetujuinya selambat-
lambatnya 3 hari sejak tanggal pendaftaran permohonan. Dalam hal
permohonan PKPU diajukan oleh kreditor, maka pengadilan harus segera
menyetujui permohonan PKPU tersebut dalam waktu 20 hari setelah
permohonan diajukan, selain itu pengadilan telah menunjuk hakim pengawas
dan menunjuk satu atau lebih pejabat. Pengadilan niaga PKPU harus
memutuskan apakah PKPU dapat dilanjutkan sebagai PKPU secara permanen
setelah berlangsung maksimal 45 hari”.
2. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Secara Tetap Pengadilan niaga
akan memanggil debitur dan kreditor terkait untuk hadir di pengadilan melalui
pengurus. Di dalam proses persidangan akan diputuskan apakah PKPU dapat
diberikan secara permanen, sehingga debitur, pengurus, dan kreditor dapat
mempertimbangkan dan menyetujui rencana penyelesaian tersebut. Jika
kondisi berikut ini terpenuhi, PKPU dapat disetujui secara permanen:
A. Persetujuan lebih dari setengah jumlah kreditur yang dikonfirmasi
atau sementara yang menghadiri rapat, dan setidaknya 2/3 dari total

6
Lih.penjelasan Pasal 224 UUKPKPU

9
persetujuan atau tagihan sementara dari kreditor atau agen mereka
yang hadir pada sidang; dan
B. Piutang dari kreditor yang memperoleh lebih dari setengah piutang,
piutang ini dijamin dengan hipotek, jaminan perwalian, hipotek,
hipotek atau hak hipotek properti lainnya, keberadaan atau Agen
yang menghadiri sidang atas nama setidaknya kreditur atau 2/3 dari
klaimnya.

Jika syarat-syarat di atas terpenuhi, maka PKPU dan


perpanjangannya melalui nengadilan niaga tidak boleh melebihi 270 hari
setelah putusan sementara PKPU diumumkan.

BAB III

10
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa proses pengajuan
kepailitan telah dikelola oleh undang-undang dengan baik walaupun dalam prakteknya
masih adanya keberpihakan, dalam hal ini adalah kreditor. Kemudian untuk proses
penundaan pembayaran hutang juga diharapkan dapat membantu pihak yang berhutang
untuk terus menjalankan bisnisnya agar tidak terjadi kepailitan dan dengan waktu tertentu
sebagaimana keputusan kreditur dan debitur, pihak yang berhutang dapat membayarkan
hutangnya sebagaimana mestinya tanpa mengganggu keberlangsungan bisnisnya yang mana
tentunya terlebih dahulu menempuh jalan damai antara pihak kreditur dan debitur.

B. Saran
Demikian makalah yang dapat kami buat, guna memenuhi tugas kuliah Sistem Peradilan
Indonesia. Kami mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak
kesalahan. Kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan untuk makalah
berikutnya dan semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

11
Fred B.G Tumbuan, “Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang”, Rudhy A. Lontoh, S.H., et. aI., ed., Bandung: Alumni.

Man S. Sastrawidjaja, 2006, “Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran


Utang”, PT. Alumni Bandung, Bandung.

Munir Fuady, 2002, “Hukum Pailit”, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Robinton Sulaiman, Joko Prabowo, 2000, “Lebih Jauh Tentang Kepailitan (Tinjauan Yuridis
Tanggung Jawab Komisaris, Direksi dan Pemegang Saham Terhadap Perusahaan
Pailit”, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Karawaci.

Siti Soemantri Hartono (1993), Pengantar Hukum Kepailitan dan penundaan Pembayaran,
Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.

12

Anda mungkin juga menyukai