KELOMPOK 2
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kemajuan perekonomian dan perdagangan yang pesat di dunia serta pengaruh globalisasi
yang melanda dunia usaha ini menimbulkan banyak pihak berlomba-lomba dalam hal
memajukan perekonomian. Terutama saat ini telah terbuka nya pasar bebas asia, dimana
orang akan semakin bersaing dalam memajukan perekonomiannya. Dengan adanya pasar
bebas asia ini maka orang ataupun perusahaan-perusahaan berlomba lomba agar dapat
menambah modal nya dengan pengajuan pinjaman, baik kepada bank, penanaman modal,
penerbitan obligasi maupun dari perorangan. Karena persaingan usaha di dunia kerja semakin
sengit maka tak sedikit pula pengusaha ataupun perusahaan yang tidak bisa mengembalikan
pinjaman tersebut.
Tidak ingin mengulang lagi Krisis moneter yang melanda hampir seluruh belahan
Dunia usaha merupakan yang paling menderita dan merasakan dampak krisis yang tengah
usaha yang tidak mampu untuk melanjutkan usahanya termasuk untuk memenuhi
kewajibannya untuk membayar utang-utangnya kepada pihak kreditor, hal inilah yang
1
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,
Hlm.1.
menimbulkan permasalahan hukum jika produk perundangundangan sebagai peraturan untuk
memberi kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak tidak lengkap dan sempurna.
Untuk mengatasi adanya permasalahan yang timbul dalam dunia usaha yang bangkrut
dan akan berakibat pula tidak dapat terpenuhinya kewajiban-kewajiban yang sudah jatuh
undangan yakni dengan cara melakukan revisi terhadap Undang-undang Kepailitan yang ada.
dikaitkan dengan masalah utang piutang antara seseorang yang dapat disebut sebagai debitur
dengan mereka yang mempunyai dana yang disebut dengan kreditor. Dengan perkataan lain
antara debitur dan kreditor terjadi perjanjian utang piutang atau perjanjian pinjam meminjam
uang yang mengakibatkan dari perjanjian tersebut adalah lahirnya suatu perikatan diantara
para pihak yang mengakibatkan adanya hak dan kewajiban. Permasalahan tersebut akan
timbul ketika debitur mengalami kesulitan untuk mengembalikan utangnya tersebut atau
Meskipun dengan adanya persyaratan yang limitatif tersebut, kreditur dapat dengan
prakteknya masih menimbulkan beberapa masalah yang berawal dari perbedaan interprestasi
2
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung,
PT.Alumni, 2006), halaman 1.
terhadap substansi yang tidak secara tegas mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
Adapun tujuan dari adanya hukum kepailitan adalah untuk kepentingan dunia usaha
dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Hukum
kepailitan diperlukan untuk mengatur mengenai cara pembagian hasil penjualan harta debitur
dibagikan kepada para kreditur, harta debitur oleh pengadilan diletakkan terlebih dahulu di
1.Perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang
2.Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara
menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor.
3.kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah satu kreditor atau debitor sendiri.
Kepailitan merupakan suatu jalan keluar untuk dapat keluar dari persoalan utang
piutang yang menghimpit seorang debitor, dimana debitor tersebut sudah tidak mempunyai
kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para kreditornya. Apabila
ketidak mampuan untuk membayar utang yang telah jatuh tempo disadari oleh debitor, maka
langkah yang dapat diambil oleh debitor ialah dengan mengajukan permohonan penetapan
status pailit terhadap dirinya sendiri, atau dengan cara penetapan status pailit yang
3
Siti Anisah, “Perlindungan Kepentingan Kreditur dan Debitur dalam Hukum Kepailitan di
Indonesia”(Yogyakarta: Total Media,2008), halaman 42-43.
4
Dalam penjelasan Umum UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU, Fokusmedia, dikutip dari
Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga dan
Lembaga arbitrase, Kencana, Jakarta, 2009, Hlm. 69.
dikeluarkan oleh pengadilan apabila telah terbukti bahwa debitor tersebut memang telah tidak
mampu lagi untuk membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Dalam hal debitur mempunyai banyak kreditor dan harta kekayaan debitor tidak
cukup untuk membayar lunas semua kreditor, maka para kreditor akan berlomba dengan
segala cara, baik yang sesuai dengan prosedur hukum maupun yang tidak sesuai dengan
dengan prosedur hukum, untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu. Kreditor
yang datang belakangan sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta debitor sudah habis
diambil oleh kreditor yang datang lebih dahulu. Hal ini sangat tidak adil dan merugikan baik
kreditur maupun debitor sendiri. Berdasarkan alasan tersebut, timbulah lembaga kepailitan
yang mengatur tata cara yang adil mengenai pembayaran tagihantagihan para kreditor.
terpisah oleh kreditor dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga
kekayaan debitor dapat dibagikan kepada semua kreditor sesuai dengan hak masing-masing
karena kepailitan ada demi untuk menjamin para kreditor untuk memperoleh hak-haknya atas
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1131 KUH Perdata yakni, sebagai berikut:
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatan perseorangan”.
Selanjutnya diatur dalam pasal 1132 KUHPerdata dimana dijelaskan sebagai berikut :
tidak memenuhi kewajibannya untuk melunasi utang-utangnya kepada pihak kreditor, maka
kreditor diberikan hak untuk melakukan pelelangan atas harta debitor. Hasil penjualan
(pelelangan) itu harus dibagi secara jujur dan seimbang diantara para kreditor sesuai dengan
lebih dari satu piutang atau tagihan, dan piutang atau tagihan yang berbeda beda itu
Setiap debitor, baik badan hukum maupun maupun perorangan dapat dipailitkan
Dari permasalahan yang dijelaskan diatas dapat kita terangkan dalam makalah ini lebih lanjut
mengenai bagaimana peran perlindungan hukum dalam kacamata hukum kepailitan yang
5
Sutan Remi Sjadeini, dikutip dari Bravika Bunga Ramadhani, ” Penyelesaian utang piutang Melalui kepailitan
(Studi Kasus Pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang P.T Prudential Life Inurance), Tesis
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Semarang, 2009, Hlm. 5.
B. RUMUSAN MASALAH
2. Bagaimana upaya tindakan kreditur terhadap debitur yang pailit dan sah secara hukum?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana bentuk payung hukum dalam soal
2. Untuk mengetahui dan menganalisis tindakan tanggung jawab debitur dan upaya kreditur
BAB II
PEMBAHASAN
Di dalam Black’s Law Dictionary, dapat kita lihat bahwa pengertian pailit dihubungkan
dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang (debitor) atas utangutangnya yang
telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata
untuk mengajukan, baik dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas
permintaan pihak ketiga (di luar debitor), suatu permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan.
6
Menurut Peter Mahmud, kata pailit berasal dari bahasa perancis “Failite” yang berarti
6
Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi Atas kepailitan Perseroan, RajaGrafindo persada, Jakarta, 2003,
Hlm. 83
dalam hukum Angola America, undangundangnya dikenal dengan Bankcrupty Act.
Dalam peraturan kepailitan yang lama , yaitu Fv S. 1905 No. 217 jo. 1906 No. 348 yang
dimaksud dengan pailit adalah, setiap berutang atau (Debitor) yang ada dalam keadaan
berhenti membayar, baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih
Sedangkan Pengertian Kepailitan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 adalah
sita umum terhadap semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh seorang kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana yang
diatur oleh Undang-undang. Kartono sendiri memberikan pengertian bahwa kepailitan adalah
sita umum dan eksekusi terhadap semua kekayaan debitor untuk kepentingan semua
kreditornya.
Terminologi Kepailitan dalam Sistem hukum Anglo-Saxon dikenal dengan kata Bankrupct
adapun hal itu berarti keadaan tidak mampu membayar hutan dimana semua harta kekayaan
Adapun pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia dapat dilihat dalam beberapa ketentuan
antara lain:
•UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran;
7
Sri Rejeki Hartono, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern, Majalah Hukum Nasional,
Jakarta, 2000, hlm 81
•Pasal- Pasal yang Terdapat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yaitu Pasal
1131-1134.
•Dan beberapa Undang-Undang Lainnya yang mengatur Mengenai BUMN (UU No.19 Tahun
2003), Pasar Modal( UU No. 8 Tahun 1995), Yayasan (UU No.16 Tahun 2001 ) , Koperasi
peraturan mengenai Kepailitan sebelumnya terdapat dalam Buku III KUHD. Namun akhirnya
aturan tersebut dicabut dari KUHD dan dibentuk aturan kepailitan baru yang berdiri sendiri.
Aturan mengenai kepailitan tersebut disebut dengan Failistment Verordenning yang berlaku
berdasarkan Staatblaads No. 276 Tahun 1905 dan Staatsblaad No. 348 Tahun 1906. Arti kata
Failisment Verordenning itu sendiri diantara para sarjana Indonesia diartikan sangat beragam.
Ada yang menerjemahkan kata ini dengan Peraturan-peraturan Kepailitan(PK). Akan tetapi
Subekti dan Tjitrosidibio melalui karyanya yang merupakan acuan banyak kalangan
jangka waktu yang relatif lama yaitu dari Tahun 1905 sampai dengan Tahun 1998 atau
berlangsung selama 93 Tahun. Sebenarnya pada masa pendudukan Jepang Aturan ini sempat
tidak diberlakukan dan dibuat UU Darurat mengenai Kepailitan oleh Pemerintah Penjajah
Jepang untuk menyelesaikan Masalah-masalah Kepailitan pada masa itu. Akan tetapi setelah
8
Undang-undang pkpu dan kepailitan indonesia
9
https://marioandi.blogspot.com/2018/02/pengertian-kepailitan-dan-dasar-hukum.html
Jepang meninggalkan Indonesia aturan-aturan Kepailitan peninggalan Belanda diberlakukan
kembali.
Pada tahun 1998 dimana Indonesia sedang diterpa krisis moneter yang menyebabkan
banyaknya kasus-kasus kepailitan terjadi secara besar-besaran dibentuklah suatu PERPU No.
Belanda. Meskipun begitu isi atau substansi dari PERPU itu sendiri masih sama dengan
aturan kepailitan terdahulu. Selanjutnya PERPU ini diperkuat kedudukan hukumnya dengan
hukum yang baru mengenai Kepailitan yaitu dengan disahkannya UU No. 37 Tahun 2004
tahun 1998.
Terdapat sebahagian perubahan mengenai substansi hukum antara aturan kepailitan yang
lama dengan aturan kepailitan yang baru. Substansi tersebut antara lain:
1.Pada Failisment Verordenning tidak dikenal adanya kepastian Frame Time yaitu batas
waktu dalam penyelesaian kasus kepailitan sehingga proses penyelesaian akan menjadi
sangat lama sebab Undang-undang tidak memberi kepastian mengenai batas waktu. Hal ini
dalam PERPU No.1 Tahun 1998 diatur sehingga dalam penyelesaiannya lebih singkat karena
2.Pada Failisment Verordening hanya dikenal satu Kurator yang bernama Weestcomer atau
Balai Harta Peninggalan. Para kalangan berpendapat kinerja dari Balai Harta Peninggalan
sangat mengecewakan dan terkesan lamban sehingga dalam PERPU No.1 Tahun 1998 diatur
kasus kepailitan yang dahulunya dapat dilakukan Banding dan Kasasi, kini dalam Perpu No.
1 Tahun 1998 hanya dapat dilakukan Kasasi sehingga Banding tidak dibenarkan lagi. Hal
tersebut dikarenakan lamanya waktu yang ditempu dalam penyelesaian kasus apabila
Banding diperbolehkan.
4.Dalam Aturan yang baru terdapat Asas Verplichte Proccurure stelling yang artinya yang
dapat mengajukan kepailitan hanya Penasihat Hukum yang telah mempunyai/memiliki izin
praktek.
5.Dalam UU No. 37 Tahun 2004 ditambah 1 pihak lagi yang dapat mengjaukan permohonan
kepailitan.
Debitor?
Jawab: Melndungi hak kedua-dua pihak baik kreditor maupun debitor, hal tersebut terdapat
dalam pasal-pasal UUK. Mengenai Pasal-pasal tersebut dapat dilihat dalam pembahasan
Menurut Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
1) Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu
utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan,
baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
2) Permohohan dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum. 10
Ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut menyatakan bahwa syarat untuk dapat
dinyatakan pailit adalah apabila debitor telah berhenti membayar utangnya, bukan karena
tidak sanggup. Dengan kata lain berhenti karena debitor tidak berkeinginan untuk membayar
Syarat bahwa debitor harus mempunyai minimal dua kreditor. Secara umum, ada 3 (tiga)
c. Kreditor separatis.
3. Syarat cukup satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Syarat bahwa utang harus telah jatuh waktu dan dapat ditagih menunjukkan bahwa kreditor
10
Frederick B.G Tumbuan, dikutip dari Maria Regina Fika Rahmadewi, Maria Regina Fika Rahmadewi,
“Penyelesaian utang debitor terhadap kreditor melalui kepailitan”, Tesis Magister
Kenotariatan fakultas Hukum Universitas Diponegoro semarang, Semarang , 2007, Hlm. 12.
11
Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan,Ghalia Indonesia, Bogor, 2009, Hlm. 39.
Menurut Pasal 2 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
(1) Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
kreditornya.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diajukan oleh kejaksaan
(3) Dalam hal Debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh
Bank Indonesia.
(4) Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan
(5) Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun,
atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan
PAILIT
Menurut Sudikno Mertokusomo, perlindungan hukum adalah adanya jaminan hak dan
kewajiban untuk manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun di dalam
hubungan dengan manusia lainnya. Sedangkan Perlindungan Hukum terhadap kurator ini
boedel pailit antara lain terkait dengan kepastian hukum terhadap profesi ini yaitu belum
adanya jaminan hukum yang jelas untuk melindungi tugas kurator. Perlindungan hukum ada
ketika adanya suatu upaya yang memberikan sanksi terhadap pelanggaran kaedah-kaedah
hukum agar kepentingan kurator dapat terlindungi dan tidak bertentangan satu sama lain. 12
b. Pengertian Kurator
Diputuskannya seorang debitur menjadi debitur pailit oleh Pengadilan Niaga membawa
konsekuensi hukum yaitu dijatuhkannya sitaan umum terhadap seluruh harta debitur pailit
dan hilangnya kewenangan debitur pailit untuk mengurusi dan menguasai harta pailitnya.
Sedangkan, bagi kreditur akan mengalami ketidakpastian tentang hubungan hukum yang ada
antara kreditur dengan debitur pailit. Undang-Undang Kepaillitan menyatakan bahwa pihak
Dalam Pasal 1 ayat (5) UU Kepailitan dan PKPU disebutkan bahwa “Kurator adalah Balai
harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus
12
Hendri Raharjo, Cara Pintar Memilih dan Mengajukan Kredit, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010, hlm 8
dan membereskan harta debitur pailit dibawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan
Undang-Undang ini”.
Dalam hal ini dimungkinkan penunjukan kurator sementara sebelum diucapkannya putusan
pernyataan pailit, kurator ini dapat orang perorangan, Balai Harta Peninggalan (BHP),
advokat, akuntan atau yang ditunjuk untuk itu. Kurator berwenang melaksanakan tugas
pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan
meskipun terhadap
kreditor.
lebih berpihak terhadap kepentingan kreditor, karena kreditor mempunyai kesempatan yang
luas untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada debitor. Keadaan tersebut
berulang kembali pada masa UndangUndang Nomor 4 Tahun 1998. Selanjutnya, pengertian
utang dalam arti luas dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mempertegas kembali
pengertian tidak membayar dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 serta Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 membuka peluang yang luas bagi kreditor untuk mengajukan
pernyataan pailit kepada debitor. Selanjutnya ketentuan yang pro kreditor dapat pula
diidentifikasi dari tidak adanya pengertian jatuh tempo dan dapat ditagih dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1998. Sebagai perbandingan, ketentuan persyaratan permohonan
pernyataan pailit di Belanda senada dengan ketentuan di Indonesia, yaitu debitor telah
berhenti membayar utangnya, dan setidak-tidaknya terdapat lebih dari satu orang kreditor.
debitor mempunyai kewajiban hukum untuk memberitahukan kepada badan pajak, pihak
asuransi, dan jika ada, lembaga dana pensiun tepat pada waktunya, apabila perusahaan tidak
dapat lagi membayar pajak dan atau premi. Prosedur ini disebut dengan Second Anti-Abuse
Act (Tweede Anti Misbruik Wet). Untuk menguji apakah debitor dapat dinyatakan pailit atau
tidak, dapat menggunakan dua tes, yaitu cash flow test atau balance sheet test. Uniform
Commercial Code (UCC) menentukan seseorang dianggap insolvent baik dalam keadaan
berhenti membayar atau tidak dapat membayar utangnya yang telah jatuh waktu (equity test)
atau insolven sebagaimana yang dimaksudkan dalam Amerika Federal Bankruptcy Law,
yaitu balance sheet test. Jerman menggunakan balance sheet test, dan Perancis
kreditor. Utang dalam arti luas dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, menjadikan
setiap pihak yang memiliki piutang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit. Sebagai
perbandingan, pada awalnya UndangUndang Kepailitan Inggris, yaitu the 1570 Act hanya
berlaku bagi trader dan merchant. Pada 1813, Court for the Relief of Insolvent Debtors
dibentuk, dan mengenalkan insolvensi sebagai sebuah konsep yang terpisah dari proses
kepailitan, dan berlaku bagi bukan pedagang (non-trader) dengan utang di bawah jumlah
tertentu.
13
Siti anisah Studi Komparasi terhadap Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum
Kepailitan Hal 38
Selanjutnya, Undang-Undang Kepailitan berubah menjadi hukum insolvensi untuk
perusahaan (corporate insolvency law), dan juga mengatur insolvensi bagi bukan pedagang
(non-trading insolvent). Sistem modern dianut oleh Bankruptcy Act 1883. Undang-undang
ini mengatur pemberesan harta debitor dan act as a disincentive to behaviour leading to
insolvency. Pada saat yang hampir bersamaan, The Companies (Winding Up) Act 1890
Nomor 37 Tahun 2004 yang memperluas ruang lingkup pembuktian sederhana. Misalnya,
perselisihan mengenai besarnya jumlah utang antara debitor dan kreditor tidak menghalangi
Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat terdapat dua doktrin untuk membatasi apakah
tagihan kreditor merupakan tagihan yang dapat diterima dalam kepailitan. Pertama, doctrine
of provability, yaitu tagihan kreditor yang dapat dibuktikanlah yang masuk kriteria tagihan
dalam kepailitan. Kedua, doctrine of allowability yang menentukan tagihan kreditor dapat
diterima oleh Bankruptcy Court jika dapat dihitung secara rasional tanpa menunda proses
administrasi kepailitan.
Ketentuan tentang tindakan-tindakan untuk kepentingan kreditor seperti sita umum, actio
pauliana, dan gijzeling tidak mengalami banyak perubahan mulai dari perubahan
14
Ibid. Amandemen terhadap berbagai aspek mengenai Undang-Undang Insolvensi terhadap perusahaan
dalam Companies Act of 1908, dilakukan pada 1929 dan 1947 sampai 1948. Perubahan pada 1929 dikenal
sebagai konsep likuidasi yang diajukan oleh kreditor.
Faillissementsverordening menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 selanjutnya
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan kepailitan adalah sita umum yang
mencakup seluruh harta kekayaan debitor yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan
oleh kurator15. Sita umum berlaku terhadap seluruh harta debitor, yaitu harta yang telah ada
pada saat pernyataan pailit ditetapkan, dan harta yang diperoleh selama kepailitan. Adanya
putusan pernyataan pailit berakibat terhadap semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi
maka semua harta yang dimilikinya menjadi harta pailit. Automatic stay ditetapkan oleh
Pengadilan yang dilakukan untuk kepentingan semua kreditor yang berusaha mendapatkan
pelunasan tagihannya dari harta kekayaan debitor. Kreditor tidak dapat memperoleh bagian
dari harta pailit debitor hingga trustee membagikan harta pailit tersebut pada saat penutupan
kasus kepailitan.
Kreditor mempunyai hak untuk mengajukan pembatalan kepada Pengadilan terhadap segala
perbuatan yang dilakukan oleh debitor sebelum dinyatakan pailit, karena perbuatan tersebut
tidak diwajibkan, dan debitor mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan merugikan
kepentingan kreditor.
Sebagai perbandingan, fraudulent transfer law di Amerika Serikat untuk mencegah debitor
melakukan manipulasi dengan cara melakukan transfer harta kekayaan sebelum pernyataan
15
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Bandingkan dengan Jerry Hoff, Op. Cit., hlm. 13;
dan J. B. Huizink, Alih Bahasa Linus Doludjawa, Insolventie, Jakarta, Pusat Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Studi Hukum Ekonomi, 2004, hlm. 5.
pailit. Tujuan lainnya untuk mencegah debitor menutupi atau menjual harta kekayaannya
untuk menipu para kreditornya. The Bankruptcy Code memperluas fraudulent transfer
hingga mencakup constructively fraudulent transfers. Constructive fraud terjadi ketika debitor
menjual harta kekayaannya dengan harga rendah, dan dari hasil penjualan harta kekayaannya
menyebabkan debitor menjadi pailit, atau jika debitor telah pailit ketika penjualan harta
kekayaan yang tidak masuk akal itu dilakukan oleh debitor. Constructive fraud termasuk
termasuk actual fraud, yang terjadi apabila debitor berniat untuk menghalangi atau menunda
objek fraudulent transfer law, sehingga kreditor mempunyai kekuasaan untuk menagih nilai
jasa tersebut kepada pihak ketiga sebagai penerima transfer. Menurut teori “underlying
chattel” jasa tidak termasuk harta kekayaan, kecuali mereka “culminate in transferable
property.”75 Dengan perkataan lain, jika pelaksanaan transfer jasa yang mengurangi atau
merugikan harta kekayaan debitor menyebabkan adanya peralihan harta kekayaan debitor
terhadap penerimanya, maka hal ini dianggap transfer harta kekayaan oleh Bankruptcy Court.
menentukan waktu penahanan terhadap debitor adalah 30 hari. Pada masa berakhirnya
penahanan dapat diperpanjang dengan jangka waktu selama-lamanya 30 hari, dan dapat
mengatur masa penahanan terhadap debitor paling lama 30 hari, dan dapat diperpanjang
setiap kali untuk jangka waktu paling lama 30 hari. Kedua, biaya penahanan. Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 secara tegas mencantumkan biaya penahanan dibebankan
kepada harta pailit sebagai utang harta pailit. Ketiga, pelepasan debitor pailit yang ditahan
moneter di Indonesia pada pertengahan 1997. Peraturan tersebut diganti melalui Peraturan
Tahun 1998 pada 9 September 1998. Eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang tersebut lahir akibat desakan International Monetary Fund (IMF) sebagai prasyarat
mendapatkan pinjaman dana untuk memulihkan kondisi perekonomian Indonesia. Syarat ini
terlampir dalam Letter of Intent (LoI) yang ditandatangani 1 Oktober 1997. Tujuan
pengesahan tersebut semata-mata untuk melindungi kepentingan kreditor asing. Hal ini
dengan jelas terlihat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 yang tidak
mempertimbangkan apakah debitor dalam keadaan solven ataukah insolven untuk dinyatakan
pailit.
IX (Bidang Keuangan dan Perbankan). Padahal materi pembahasannya memuat hukum acara,
bukan masalah keuangan semata. Komisi IX juga tidak meminta pendapat atau penjelasan
dari Komisi II (Bidang Hukum), dan dilakukan dalam waktu relatif singkat, di akhir masa
16
Wartawan & Rikando Somba, “Kisruh Manulife, Siapa Rugi? Pengadilan Niaga Cuma Bermodal Nekat,”
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0207/03/sh05.html, 3 Juli 2002; Ariyanto dan Andre Revalino,
“Kepailitan: Sekadar Tambal-Sulam?” http://www.majalahtrust.com/hukum/hukum/611.php, 3 Juni 2004.
jabatan Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999 – 2004. Hal yang menarik dalam penelitian
ini adalah Undang-Undang Kepailitan Indonesia secara substantif memang pro kreditor,
namun praktik penegakannya pro debitor. Buktinya adalah jumlah debitor yang dinyatakan
pailit kurang dari 50% dari jumlah permohonan pernyataan pailit yang diajukan ke
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Berdasarkan jumlah permohonan pernyataan pailit yang
berhasil dikumpulkan putusannya, sejak 1998 hingga 2007 terdapat 572 permohonan
pernyataan pailit, dari jumlah tersebut, hanya 29 yang diajukan oleh debitor. Permohonan
pernyataan pailit lebih banyak ditujukan kepada debitor perusahaan (513), daripada debitor
perorangan (59). PKPU belum banyak dimanfaatkan oleh debitor, dari 572 jumlah
permohonan pernyataan pailit, hanya terdapat 103 PKPU. Jumlah permohonan pernyataan
pailit yang ditolak sebesar 167, sedangkan 96 permohonan dicabut. Data tersebut
menunjukkan debitor yang dinyatakan pailit selama sekitar 10 tahun adalah sebanyak 206,
atau apabila dirata-rata, setiap tahun hanya terdapat sekitar 20 putusan pernyataan pailit. Hal
BAB III
PENUTUP
a. kesimpulan
Perlindungan yang diberikan kepada kreditor dan stake holders-nya tidak boleh merugikan
memperbolehkan permohonan pernyataan pailit diajukan oleh salah satu kreditor saja, namun
demi kepentingan para kreditor lain. Seyogyanya menentukan bahwa putusan pengadilan atas
permohonan pailit yang diajukan oleh kreditor, harus berdasarkan persetujuan kreditor lain
yang diperoleh dalam rapat para kreditor yang khusus diadakan untuk menentukan putusan
pailit dapat dijatuhkan ataupun tidak. Di dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004
memberikan perlindungan hukum, yaitu salah satunya adalah actio paulina. Actio paulina
adalah legal recourse yang diberikan kepada kurator untuk membatalkan tindakantindakan
hukum yang dilakukan debitor pailit sebelum penetapan pernyataan pailit dijatuhkan apabila
kurator menganggap bahwa tindakantindakan hukum yang dilakukan debitor pailit tersebut
b. saran
Undang-Undang Kepailitan Indonesia harus mengatur secara tegas dan jelas setiap pasal-
peraturan pelaksana untuk menjabarkan lebih lanjut ketentuan atau pasal-pasal yang ada di
harus diatur dengan jelas dan tegas. Akhirnya, diperlukan peningkatan pengetahuan dan
pemahaman hukum kepailitan dan bidang hukum lainnya yang berkaitan dengan kepailitan
bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan proses kepailitan, khususnya hakim, pengacara,
kurator maupun pengurus, dan masyarakat yang potensial bersinggungan dengan proses
kepailitan.
DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir. Hukum Pailit Dalam Praktik dan Teori. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2010.
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2002
Hartini, Rahayu. Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme Kewenangan
Pengadilan Niaga dan Lembaga arbitrase. Jakarta : Kencana, 2009.
Nating, Imran. Peranan Dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan Dan
Pemberesan Kepailitan. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005.
Shubhan,M Hadi. Hukum Kepailitan: Prisip, norma, dan Praktik di Peradilan. Jakarta: Kencana,
2009.
Wartawan & Rikando Somba, “Kisruh Manulife, Siapa Rugi? Pengadilan Niaga Cuma Bermodal
Nekat,” http://www.sinarharapan.co.id/berita/0207/03/sh05.html, 3 Juli 2002;
Ariyanto dan Andre Revalino, “Kepailitan: Sekadar Tambal-Sulam?”
http://www.majalahtrust.com/hukum/hukum/611.php, 3 Juni 2004.
Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Jakarta: Pradnya Paramita, 1985.