Anda di halaman 1dari 24

RUANG LINGKUP HUKUM KEPAILITAN DALAM

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR


TERHADAP DEBITUR PAILIT

Weny Ramadhania. S.H., M.H.

KELOMPOK 2

AGUNG ANUGRAH HIDAYAWAN 2002021013

ILMU HUKUM, UNIVERSITAS OSO


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kemajuan perekonomian dan perdagangan yang pesat di dunia serta pengaruh globalisasi

yang melanda dunia usaha ini menimbulkan banyak pihak berlomba-lomba dalam hal

memajukan perekonomian. Terutama saat ini telah terbuka nya pasar bebas asia, dimana

orang akan semakin bersaing dalam memajukan perekonomiannya. Dengan adanya pasar

bebas asia ini maka orang ataupun perusahaan-perusahaan berlomba lomba agar dapat

bersaing dalam pasar bebas tersebut.

Dengan adanya pasar bebas tersebut membuat orang-orang maupun perusahaan

menambah modal nya dengan pengajuan pinjaman, baik kepada bank, penanaman modal,

penerbitan obligasi maupun dari perorangan. Karena persaingan usaha di dunia kerja semakin

sengit maka tak sedikit pula pengusaha ataupun perusahaan yang tidak bisa mengembalikan

pinjaman tersebut.

Tidak ingin mengulang lagi Krisis moneter yang melanda hampir seluruh belahan

dunia di pertengahan tahun 1997 telah memporak-porandakan sendi-sendi perekonomian.

Dunia usaha merupakan yang paling menderita dan merasakan dampak krisis yang tengah

melanda1. Terpuruknya kehidupan perekonomian Indonesia dapat dipastikan banyak dunia

usaha yang tidak mampu untuk melanjutkan usahanya termasuk untuk memenuhi

kewajibannya untuk membayar utang-utangnya kepada pihak kreditor, hal inilah yang

1
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002,
Hlm.1.
menimbulkan permasalahan hukum jika produk perundangundangan sebagai peraturan untuk

memberi kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak tidak lengkap dan sempurna.

Untuk mengatasi adanya permasalahan yang timbul dalam dunia usaha yang bangkrut

dan akan berakibat pula tidak dapat terpenuhinya kewajiban-kewajiban yang sudah jatuh

tempo, maka pemerintah melakukan perubahan-perubahan dalam peraturan perundang-

undangan yakni dengan cara melakukan revisi terhadap Undang-undang Kepailitan yang ada.

Kepailitan dan penundaan atau pengunduran pembayaran (surseance) lazimnya

dikaitkan dengan masalah utang piutang antara seseorang yang dapat disebut sebagai debitur

dengan mereka yang mempunyai dana yang disebut dengan kreditor. Dengan perkataan lain

antara debitur dan kreditor terjadi perjanjian utang piutang atau perjanjian pinjam meminjam

uang yang mengakibatkan dari perjanjian tersebut adalah lahirnya suatu perikatan diantara

para pihak yang mengakibatkan adanya hak dan kewajiban. Permasalahan tersebut akan

timbul ketika debitur mengalami kesulitan untuk mengembalikan utangnya tersebut atau

dengan kata lain debitur berhenti membayar. 2

Keadaan berhenti membayar utang dapat terjadi karena :

1. Tidak mampu membayar;

2. dan tidak mau membayar;

Meskipun dengan adanya persyaratan yang limitatif tersebut, kreditur dapat dengan

mudah mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debiturnya, namun dalam

prakteknya masih menimbulkan beberapa masalah yang berawal dari perbedaan interprestasi

2
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung,
PT.Alumni, 2006), halaman 1.
terhadap substansi yang tidak secara tegas mengatur hal-hal yang berkaitan dengan

persyaratan permohonan pailit. 3

Adapun tujuan dari adanya hukum kepailitan adalah untuk kepentingan dunia usaha

dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Hukum

kepailitan diperlukan untuk mengatur mengenai cara pembagian hasil penjualan harta debitur

untuk melunasi piutang masing-masing kreditur berdasarkan urutan prioritasnya. Sebelum

dibagikan kepada para kreditur, harta debitur oleh pengadilan diletakkan terlebih dahulu di

bawah sita umum.

Ada beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan

kewajiban pembayaran utang yaitu untuk menghindari adanya: 4

1.Perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang

menagih piutangnya dari debitur.

2.Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara

menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor.

3.kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah satu kreditor atau debitor sendiri.

Kepailitan merupakan suatu jalan keluar untuk dapat keluar dari persoalan utang

piutang yang menghimpit seorang debitor, dimana debitor tersebut sudah tidak mempunyai

kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para kreditornya. Apabila

ketidak mampuan untuk membayar utang yang telah jatuh tempo disadari oleh debitor, maka

langkah yang dapat diambil oleh debitor ialah dengan mengajukan permohonan penetapan

status pailit terhadap dirinya sendiri, atau dengan cara penetapan status pailit yang
3
Siti Anisah, “Perlindungan Kepentingan Kreditur dan Debitur dalam Hukum Kepailitan di
Indonesia”(Yogyakarta: Total Media,2008), halaman 42-43.
4
Dalam penjelasan Umum UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU, Fokusmedia, dikutip dari
Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga dan
Lembaga arbitrase, Kencana, Jakarta, 2009, Hlm. 69.
dikeluarkan oleh pengadilan apabila telah terbukti bahwa debitor tersebut memang telah tidak

mampu lagi untuk membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Dalam hal debitur mempunyai banyak kreditor dan harta kekayaan debitor tidak

cukup untuk membayar lunas semua kreditor, maka para kreditor akan berlomba dengan

segala cara, baik yang sesuai dengan prosedur hukum maupun yang tidak sesuai dengan

dengan prosedur hukum, untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu. Kreditor

yang datang belakangan sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta debitor sudah habis

diambil oleh kreditor yang datang lebih dahulu. Hal ini sangat tidak adil dan merugikan baik

kreditur maupun debitor sendiri. Berdasarkan alasan tersebut, timbulah lembaga kepailitan

yang mengatur tata cara yang adil mengenai pembayaran tagihantagihan para kreditor.

Kepailitan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi

terpisah oleh kreditor dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama sehingga

kekayaan debitor dapat dibagikan kepada semua kreditor sesuai dengan hak masing-masing

karena kepailitan ada demi untuk menjamin para kreditor untuk memperoleh hak-haknya atas

harta debitor pailit.

Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1131 KUH Perdata yakni, sebagai berikut:

“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang

sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala

perikatan perseorangan”.

Selanjutnya diatur dalam pasal 1132 KUHPerdata dimana dijelaskan sebagai berikut :

“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang

mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut


keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara

para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut diatas jelas,bahwa apabila pihak debitor

tidak memenuhi kewajibannya untuk melunasi utang-utangnya kepada pihak kreditor, maka

kreditor diberikan hak untuk melakukan pelelangan atas harta debitor. Hasil penjualan

(pelelangan) itu harus dibagi secara jujur dan seimbang diantara para kreditor sesuai dengan

perimbangan jumlah piutangnya masing-masing. Seorang kreditor mungkin saja memiliki

lebih dari satu piutang atau tagihan, dan piutang atau tagihan yang berbeda beda itu

diperlukan pula secara berbeda-beda didalam proses kepailitan. 5

Setiap debitor, baik badan hukum maupun maupun perorangan dapat dipailitkan

asalkan memenuhi syarat-syarat dalam peraturan perundangan tentang kepailitan tersebut.

Sementara prosedur perkara permohonan kepailitan tersebut diatur dalam undang-undang

kepailitan yang sangat berbeda dengan prosedur perkara biasa.

Dari permasalahan yang dijelaskan diatas dapat kita terangkan dalam makalah ini lebih lanjut

mengenai bagaimana peran perlindungan hukum dalam kacamata hukum kepailitan yang

tentunya dalam praktik massal ada problematika yang terjadi.

5
Sutan Remi Sjadeini, dikutip dari Bravika Bunga Ramadhani, ” Penyelesaian utang piutang Melalui kepailitan
(Studi Kasus Pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang P.T Prudential Life Inurance), Tesis
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Semarang, 2009, Hlm. 5.
B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana bentuk pelindungan hukum bagi kreditur dalam hal kepailitan?

2. Bagaimana upaya tindakan kreditur terhadap debitur yang pailit dan sah secara hukum?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana bentuk payung hukum dalam soal

kepailitan antara kreditur dan debitur.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis tindakan tanggung jawab debitur dan upaya kreditur

tentang kepailitan oleh debitur.

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM KEPAILITAN

Di dalam Black’s Law Dictionary, dapat kita lihat bahwa pengertian pailit dihubungkan

dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang (debitor) atas utangutangnya yang

telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata

untuk mengajukan, baik dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas

permintaan pihak ketiga (di luar debitor), suatu permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan.
6

Menurut Peter Mahmud, kata pailit berasal dari bahasa perancis “Failite” yang berarti

kemacetan pembayaran. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah “Failliet” dan

6
Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi Atas kepailitan Perseroan, RajaGrafindo persada, Jakarta, 2003,
Hlm. 83
dalam hukum Angola America, undangundangnya dikenal dengan Bankcrupty Act.

Dalam peraturan kepailitan yang lama , yaitu Fv S. 1905 No. 217 jo. 1906 No. 348 yang

dimaksud dengan pailit adalah, setiap berutang atau (Debitor) yang ada dalam keadaan

berhenti membayar, baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih

berpiutang (Kreditor) dengan putusan hakim dinyatakan dalam keadaan pailit. 7

Sedangkan Pengertian Kepailitan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 adalah

sita umum terhadap semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya

dilakukan oleh seorang kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana yang

diatur oleh Undang-undang. Kartono sendiri memberikan pengertian bahwa kepailitan adalah

sita umum dan eksekusi terhadap semua kekayaan debitor untuk kepentingan semua

kreditornya.

Terminologi Kepailitan dalam Sistem hukum Anglo-Saxon dikenal dengan kata Bankrupct

adapun hal itu berarti keadaan tidak mampu membayar hutan dimana semua harta kekayaan

yang berhutang diambil oleh penagih atau persero-persero

Dasar Hukum (Pengaturan) Kepailitan di Indonesia

Adapun pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia dapat dilihat dalam beberapa ketentuan

antara lain:

•UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran;

•UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

•UU No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

•UU No. 42 Tahun 1992 Tentang Jaminan Fiducia

7
Sri Rejeki Hartono, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern, Majalah Hukum Nasional,
Jakarta, 2000, hlm 81
•Pasal- Pasal yang Terdapat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yaitu Pasal

1131-1134.

•Dan beberapa Undang-Undang Lainnya yang mengatur Mengenai BUMN (UU No.19 Tahun

2003), Pasar Modal( UU No. 8 Tahun 1995), Yayasan (UU No.16 Tahun 2001 ) , Koperasi

(UU No. 25 Tahun 1992)8

B. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ATURAN KEPAILITAN DIINDONESIA

Sejarah masuknya aturan-aturan kepailitan di Indonesia sejalan dengan masuknya Wetboek

Van Koophandel (KUHD) ke Indonesia. Adapun hal tersebut dikarenakan Peraturan-

peraturan mengenai Kepailitan sebelumnya terdapat dalam Buku III KUHD. Namun akhirnya

aturan tersebut dicabut dari KUHD dan dibentuk aturan kepailitan baru yang berdiri sendiri.

Aturan mengenai kepailitan tersebut disebut dengan Failistment Verordenning yang berlaku

berdasarkan Staatblaads No. 276 Tahun 1905 dan Staatsblaad No. 348 Tahun 1906. Arti kata

Failisment Verordenning itu sendiri diantara para sarjana Indonesia diartikan sangat beragam.

Ada yang menerjemahkan kata ini dengan Peraturan-peraturan Kepailitan(PK). Akan tetapi

Subekti dan Tjitrosidibio melalui karyanya yang merupakan acuan banyak kalangan

akademisi menyatakan bahwa Failisment Verordening itu dapat diterjemahkan sebagai

Undang-Undang Kepailitan (UUPK9).

Undang-Undang Kepailitan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda ini berlaku dalam

jangka waktu yang relatif lama yaitu dari Tahun 1905 sampai dengan Tahun 1998 atau

berlangsung selama 93 Tahun. Sebenarnya pada masa pendudukan Jepang Aturan ini sempat

tidak diberlakukan dan dibuat UU Darurat mengenai Kepailitan oleh Pemerintah Penjajah

Jepang untuk menyelesaikan Masalah-masalah Kepailitan pada masa itu. Akan tetapi setelah

8
Undang-undang pkpu dan kepailitan indonesia
9
https://marioandi.blogspot.com/2018/02/pengertian-kepailitan-dan-dasar-hukum.html
Jepang meninggalkan Indonesia aturan-aturan Kepailitan peninggalan Belanda diberlakukan

kembali.

Pada tahun 1998 dimana Indonesia sedang diterpa krisis moneter yang menyebabkan

banyaknya kasus-kasus kepailitan terjadi secara besar-besaran dibentuklah suatu PERPU No.

1 tahun 1998 mengenai kepailitan sebagai pengganti Undang-undang Kepailitan peninggalan

Belanda. Meskipun begitu isi atau substansi dari PERPU itu sendiri masih sama dengan

aturan kepailitan terdahulu. Selanjutnya PERPU ini diperkuat kedudukan hukumnya dengan

diisahkannya UU No. 4 Tahun 1998. Dalam perkembangan selanjutnya dibentuklah Produk

hukum yang baru mengenai Kepailitan yaitu dengan disahkannya UU No. 37 Tahun 2004

Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran sebagai pengganti UU No. 4

tahun 1998.

Perkembangan Substansi Hukum

Terdapat sebahagian perubahan mengenai substansi hukum antara aturan kepailitan yang

lama dengan aturan kepailitan yang baru. Substansi tersebut antara lain:

1.Pada Failisment Verordenning tidak dikenal adanya kepastian Frame Time yaitu batas

waktu dalam penyelesaian kasus kepailitan sehingga proses penyelesaian akan menjadi

sangat lama sebab Undang-undang tidak memberi kepastian mengenai batas waktu. Hal ini

dalam PERPU No.1 Tahun 1998 diatur sehingga dalam penyelesaiannya lebih singkat karena

ditentukan masalah Frame Time.

2.Pada Failisment Verordening hanya dikenal satu Kurator yang bernama Weestcomer atau

Balai Harta Peninggalan. Para kalangan berpendapat kinerja dari Balai Harta Peninggalan

sangat mengecewakan dan terkesan lamban sehingga dalam PERPU No.1 Tahun 1998 diatur

adanya Kurator Swasta.


3.Upaya Hukum Banding dipangkas, maksudnya segala upaya hukum dalam penyelesaian

kasus kepailitan yang dahulunya dapat dilakukan Banding dan Kasasi, kini dalam Perpu No.

1 Tahun 1998 hanya dapat dilakukan Kasasi sehingga Banding tidak dibenarkan lagi. Hal

tersebut dikarenakan lamanya waktu yang ditempu dalam penyelesaian kasus apabila

Banding diperbolehkan.

4.Dalam Aturan yang baru terdapat Asas Verplichte Proccurure stelling yang artinya yang

dapat mengajukan kepailitan hanya Penasihat Hukum yang telah mempunyai/memiliki izin

praktek.

5.Dalam UU No. 37 Tahun 2004 ditambah 1 pihak lagi yang dapat mengjaukan permohonan

kepailitan.

Pertanyaan: UU Kepailitan melindungi siapa? apakah Melindungi Pihak Kreditor atau

Debitor?

Jawab: Melndungi hak kedua-dua pihak baik kreditor maupun debitor, hal tersebut terdapat

dalam pasal-pasal UUK. Mengenai Pasal-pasal tersebut dapat dilihat dalam pembahasan

mengenai Hukum Kepailitan selanjutnya.

C. SYARAT- SYARAT PERMOHONAN DINYATAKAN PAILIT

Menurut Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang, yang dalam pasal 2 menyebutkan:

1) Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu

utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan,

baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
2) Permohohan dapat juga diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum. 10

Ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut menyatakan bahwa syarat untuk dapat

dinyatakan pailit adalah apabila debitor telah berhenti membayar utangnya, bukan karena

tidak sanggup. Dengan kata lain berhenti karena debitor tidak berkeinginan untuk membayar

utangnya. Syarat-syarat permohonan pailit sebagaimana ditentukan dalam 11

Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Syarat Adanya dua kreditor atau lebih ( concursus creditorium)

Syarat bahwa debitor harus mempunyai minimal dua kreditor. Secara umum, ada 3 (tiga)

macam kreditor yang dikenal dalam KUH

Perdata, yaitu sebagai berikut :

a. Kreditor konkuren, ini diatur dalam Pasal 1132 KUHPerdata.

b. Kreditor preferen, (yang diistimewakan)

c. Kreditor separatis.

2. Syarat harus adanya utang

3. Syarat cukup satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Syarat bahwa utang harus telah jatuh waktu dan dapat ditagih menunjukkan bahwa kreditor

sudah mempunyai hak untuk menuntut debitur untuk memenuhi prestasinya.

10
Frederick B.G Tumbuan, dikutip dari Maria Regina Fika Rahmadewi, Maria Regina Fika Rahmadewi,
“Penyelesaian utang debitor terhadap kreditor melalui kepailitan”, Tesis Magister
Kenotariatan fakultas Hukum Universitas Diponegoro semarang, Semarang , 2007, Hlm. 12.
11
Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan,Ghalia Indonesia, Bogor, 2009, Hlm. 39.
Menurut Pasal 2 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan bahwa pihak-pihak

yang dapat meminta

pernyataan pailit ialah:

(1) Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya

satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan

Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih

kreditornya.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diajukan oleh kejaksaan

untuk kepentingan umum.

(3) Dalam hal Debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh

Bank Indonesia.

(4) Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan

Penjaminan, LembagaPenyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya

dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.

(5) Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun,

atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan

pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.


D. PAYUNG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITUR DALAM HAL

PAILIT

a. Pengertian Perlindungan Hukum

Menurut Sudikno Mertokusomo, perlindungan hukum adalah adanya jaminan hak dan

kewajiban untuk manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun di dalam

hubungan dengan manusia lainnya. Sedangkan Perlindungan Hukum terhadap kurator ini

adalah segala upaya perlindungan untuk melindungi kepentingan kurator dalam

melaksanakan tugasnya, banyaknya hambatan yang ditemui kurator dalam membereskan

boedel pailit antara lain terkait dengan kepastian hukum terhadap profesi ini yaitu belum

adanya jaminan hukum yang jelas untuk melindungi tugas kurator. Perlindungan hukum ada

ketika adanya suatu upaya yang memberikan sanksi terhadap pelanggaran kaedah-kaedah

hukum agar kepentingan kurator dapat terlindungi dan tidak bertentangan satu sama lain. 12

b. Pengertian Kurator

Diputuskannya seorang debitur menjadi debitur pailit oleh Pengadilan Niaga membawa

konsekuensi hukum yaitu dijatuhkannya sitaan umum terhadap seluruh harta debitur pailit

dan hilangnya kewenangan debitur pailit untuk mengurusi dan menguasai harta pailitnya.

Sedangkan, bagi kreditur akan mengalami ketidakpastian tentang hubungan hukum yang ada

antara kreditur dengan debitur pailit. Undang-Undang Kepaillitan menyatakan bahwa pihak

akan mengurusi harta tersebut adalah kurator.

Dalam Pasal 1 ayat (5) UU Kepailitan dan PKPU disebutkan bahwa “Kurator adalah Balai

harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus

12
Hendri Raharjo, Cara Pintar Memilih dan Mengajukan Kredit, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010, hlm 8
dan membereskan harta debitur pailit dibawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan

Undang-Undang ini”.

Dalam hal ini dimungkinkan penunjukan kurator sementara sebelum diucapkannya putusan

pernyataan pailit, kurator ini dapat orang perorangan, Balai Harta Peninggalan (BHP),

advokat, akuntan atau yang ditunjuk untuk itu. Kurator berwenang melaksanakan tugas

pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan

meskipun terhadap

c. Undang-Undang Kepailitan di Indonesia Pro Kreditor

Perlindungan kepentingan dalam Undang-Undang Kepailitan di Indonesia berpihak kepada

kreditor.

a. Persyaratan permohonan pernyataan pailit cenderung melindungi kepentingan kreditor

1) Pengertian utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih

Ketiadaan pengertian utang dalam Faillissementsverordening menunjukkan peraturan ini

lebih berpihak terhadap kepentingan kreditor, karena kreditor mempunyai kesempatan yang

luas untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada debitor. Keadaan tersebut

berulang kembali pada masa UndangUndang Nomor 4 Tahun 1998. Selanjutnya, pengertian

utang dalam arti luas dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mempertegas kembali

perlindungan terhadap kepentingan kreditor.

Ketiadaan pengertian keadaan berhenti membayar dalam Faillisements-verordening dan

pengertian tidak membayar dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 serta Undang-

Undang Nomor 37 Tahun 2004 membuka peluang yang luas bagi kreditor untuk mengajukan

pernyataan pailit kepada debitor. Selanjutnya ketentuan yang pro kreditor dapat pula

diidentifikasi dari tidak adanya pengertian jatuh tempo dan dapat ditagih dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1998. Sebagai perbandingan, ketentuan persyaratan permohonan

pernyataan pailit di Belanda senada dengan ketentuan di Indonesia, yaitu debitor telah

berhenti membayar utangnya, dan setidak-tidaknya terdapat lebih dari satu orang kreditor.

Namun, di Belanda terdapat upaya preventif di luar Undang-Undang Kepailitan. Misalnya,

debitor mempunyai kewajiban hukum untuk memberitahukan kepada badan pajak, pihak

asuransi, dan jika ada, lembaga dana pensiun tepat pada waktunya, apabila perusahaan tidak

dapat lagi membayar pajak dan atau premi. Prosedur ini disebut dengan Second Anti-Abuse

Act (Tweede Anti Misbruik Wet). Untuk menguji apakah debitor dapat dinyatakan pailit atau

tidak, dapat menggunakan dua tes, yaitu cash flow test atau balance sheet test. Uniform

Commercial Code (UCC) menentukan seseorang dianggap insolvent baik dalam keadaan

berhenti membayar atau tidak dapat membayar utangnya yang telah jatuh waktu (equity test)

atau insolven sebagaimana yang dimaksudkan dalam Amerika Federal Bankruptcy Law,

yaitu balance sheet test. Jerman menggunakan balance sheet test, dan Perancis

menggunakan liquidity test. 13

2) Perluasan pengertian kreditor dalam Undang-Undang Kepailitan semakin melindungi

kreditor. Utang dalam arti luas dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, menjadikan

setiap pihak yang memiliki piutang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit. Sebagai

perbandingan, pada awalnya UndangUndang Kepailitan Inggris, yaitu the 1570 Act hanya

berlaku bagi trader dan merchant. Pada 1813, Court for the Relief of Insolvent Debtors

dibentuk, dan mengenalkan insolvensi sebagai sebuah konsep yang terpisah dari proses

kepailitan, dan berlaku bagi bukan pedagang (non-trader) dengan utang di bawah jumlah

tertentu.

13
Siti anisah Studi Komparasi terhadap Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum
Kepailitan Hal 38
Selanjutnya, Undang-Undang Kepailitan berubah menjadi hukum insolvensi untuk

perusahaan (corporate insolvency law), dan juga mengatur insolvensi bagi bukan pedagang

(non-trading insolvent). Sistem modern dianut oleh Bankruptcy Act 1883. Undang-undang

ini mengatur pemberesan harta debitor dan act as a disincentive to behaviour leading to

insolvency. Pada saat yang hampir bersamaan, The Companies (Winding Up) Act 1890

mengatur kemungkinan adanya likuidasi dengan sukarela (voluntary petition). 14

3) Perlindungan terhadap kepentingan kreditor semakin tampak dalam UndangUndang

Nomor 37 Tahun 2004 yang memperluas ruang lingkup pembuktian sederhana. Misalnya,

gugatan terhadap direksi yang karena kelalaiannya menyebabkan perusahaan pailit

pembuktiannya sederhana, dan merupakan kompetensi Pengadilan Niaga. Demikian pula

perselisihan mengenai besarnya jumlah utang antara debitor dan kreditor tidak menghalangi

putusan pernyataan pailit kepada debitor, dan pembuktiannya pun sederhana.

Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat terdapat dua doktrin untuk membatasi apakah

tagihan kreditor merupakan tagihan yang dapat diterima dalam kepailitan. Pertama, doctrine

of provability, yaitu tagihan kreditor yang dapat dibuktikanlah yang masuk kriteria tagihan

dalam kepailitan. Kedua, doctrine of allowability yang menentukan tagihan kreditor dapat

diterima oleh Bankruptcy Court jika dapat dihitung secara rasional tanpa menunda proses

administrasi kepailitan.

E. UPAYA YANG DILAKUKAN KREDITUR TERHADAP DEBITUR PAILIT.

Ketentuan tentang tindakan-tindakan untuk kepentingan kreditor seperti sita umum, actio

pauliana, dan gijzeling tidak mengalami banyak perubahan mulai dari perubahan

14
Ibid. Amandemen terhadap berbagai aspek mengenai Undang-Undang Insolvensi terhadap perusahaan
dalam Companies Act of 1908, dilakukan pada 1929 dan 1947 sampai 1948. Perubahan pada 1929 dikenal
sebagai konsep likuidasi yang diajukan oleh kreditor.
Faillissementsverordening menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 selanjutnya

digantikan oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.

1) Sita umum seharusnya untuk kepentingan kreditor

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan kepailitan adalah sita umum yang

mencakup seluruh harta kekayaan debitor yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan

oleh kurator15. Sita umum berlaku terhadap seluruh harta debitor, yaitu harta yang telah ada

pada saat pernyataan pailit ditetapkan, dan harta yang diperoleh selama kepailitan. Adanya

putusan pernyataan pailit berakibat terhadap semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi

hapus dan jika diperlukan Hakim Pengawas harus memerintahkan pencoretannya.

Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat ketika debitor mengajukan permohonan pailit,

maka semua harta yang dimilikinya menjadi harta pailit. Automatic stay ditetapkan oleh

Pengadilan yang dilakukan untuk kepentingan semua kreditor yang berusaha mendapatkan

pelunasan tagihannya dari harta kekayaan debitor. Kreditor tidak dapat memperoleh bagian

dari harta pailit debitor hingga trustee membagikan harta pailit tersebut pada saat penutupan

kasus kepailitan.

2) Ketentuan actio pauliana untuk kepentingan kreditor

Kreditor mempunyai hak untuk mengajukan pembatalan kepada Pengadilan terhadap segala

perbuatan yang dilakukan oleh debitor sebelum dinyatakan pailit, karena perbuatan tersebut

tidak diwajibkan, dan debitor mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan merugikan

kepentingan kreditor.

Sebagai perbandingan, fraudulent transfer law di Amerika Serikat untuk mencegah debitor

melakukan manipulasi dengan cara melakukan transfer harta kekayaan sebelum pernyataan
15
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Bandingkan dengan Jerry Hoff, Op. Cit., hlm. 13;
dan J. B. Huizink, Alih Bahasa Linus Doludjawa, Insolventie, Jakarta, Pusat Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Studi Hukum Ekonomi, 2004, hlm. 5.
pailit. Tujuan lainnya untuk mencegah debitor menutupi atau menjual harta kekayaannya

untuk menipu para kreditornya. The Bankruptcy Code memperluas fraudulent transfer

hingga mencakup constructively fraudulent transfers. Constructive fraud terjadi ketika debitor

menjual harta kekayaannya dengan harga rendah, dan dari hasil penjualan harta kekayaannya

menyebabkan debitor menjadi pailit, atau jika debitor telah pailit ketika penjualan harta

kekayaan yang tidak masuk akal itu dilakukan oleh debitor. Constructive fraud termasuk

didalamnya adalah melakukan bisnis yang undercapitalized. Fraudulent transfer juga

termasuk actual fraud, yang terjadi apabila debitor berniat untuk menghalangi atau menunda

pembayaran utangnya kepada kreditor. Bankruptcy Court mengkategorikan jasa sebagai

objek fraudulent transfer law, sehingga kreditor mempunyai kekuasaan untuk menagih nilai

jasa tersebut kepada pihak ketiga sebagai penerima transfer. Menurut teori “underlying

chattel” jasa tidak termasuk harta kekayaan, kecuali mereka “culminate in transferable

property.”75 Dengan perkataan lain, jika pelaksanaan transfer jasa yang mengurangi atau

merugikan harta kekayaan debitor menyebabkan adanya peralihan harta kekayaan debitor

terhadap penerimanya, maka hal ini dianggap transfer harta kekayaan oleh Bankruptcy Court.

3) Ketentuan gijzeling untuk kepentingan kreditor

Ketentuan tentang gijzeling hanya sedikit diperbarui dalam Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004. Pertama, jangka waktu penahanan terhadap debitor. Faillissementsverordening

menentukan waktu penahanan terhadap debitor adalah 30 hari. Pada masa berakhirnya

penahanan dapat diperpanjang dengan jangka waktu selama-lamanya 30 hari, dan dapat

diperpanjang tiap-tiap kali selama-lamanya 30 hari. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

mengatur masa penahanan terhadap debitor paling lama 30 hari, dan dapat diperpanjang

setiap kali untuk jangka waktu paling lama 30 hari. Kedua, biaya penahanan. Undang-

Undang Nomor 37 Tahun 2004 secara tegas mencantumkan biaya penahanan dibebankan
kepada harta pailit sebagai utang harta pailit. Ketiga, pelepasan debitor pailit yang ditahan

dilakukan dengan jaminan dari pihak ketiga.79

Latar belakang pembaruan Undang-Undang Kepailitan di Indonesia yang semakin pro

kreditor sebagaimana telah dipaparkan dapat dipahami jika berdasarkan beberapa

argumentasi berikut ini. Pertama, perubahan Faillisementsverordening dipicu oleh krisis

moneter di Indonesia pada pertengahan 1997. Peraturan tersebut diganti melalui Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas

Undang-Undang tentang Kepailitan. 16


Dewan Perwakilan Rakyat sama sekali tidak

melakukan perubahan saat menyetujui dan mengesahkan menjadi UndangUndang Nomor 4

Tahun 1998 pada 9 September 1998. Eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang tersebut lahir akibat desakan International Monetary Fund (IMF) sebagai prasyarat

mendapatkan pinjaman dana untuk memulihkan kondisi perekonomian Indonesia. Syarat ini

terlampir dalam Letter of Intent (LoI) yang ditandatangani 1 Oktober 1997. Tujuan

pengesahan tersebut semata-mata untuk melindungi kepentingan kreditor asing. Hal ini

dengan jelas terlihat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 yang tidak

mempertimbangkan apakah debitor dalam keadaan solven ataukah insolven untuk dinyatakan

pailit.

Kedua, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menggantikan Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1998. Berdasarkan keputusan Badan Musyawarah Dewan Perwakilan Rakyat,

pembahasan Rancangan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 diserahkan kepada Komisi

IX (Bidang Keuangan dan Perbankan). Padahal materi pembahasannya memuat hukum acara,

bukan masalah keuangan semata. Komisi IX juga tidak meminta pendapat atau penjelasan

dari Komisi II (Bidang Hukum), dan dilakukan dalam waktu relatif singkat, di akhir masa

16
Wartawan & Rikando Somba, “Kisruh Manulife, Siapa Rugi? Pengadilan Niaga Cuma Bermodal Nekat,”
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0207/03/sh05.html, 3 Juli 2002; Ariyanto dan Andre Revalino,
“Kepailitan: Sekadar Tambal-Sulam?” http://www.majalahtrust.com/hukum/hukum/611.php, 3 Juni 2004.
jabatan Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999 – 2004. Hal yang menarik dalam penelitian

ini adalah Undang-Undang Kepailitan Indonesia secara substantif memang pro kreditor,

namun praktik penegakannya pro debitor. Buktinya adalah jumlah debitor yang dinyatakan

pailit kurang dari 50% dari jumlah permohonan pernyataan pailit yang diajukan ke

Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Berdasarkan jumlah permohonan pernyataan pailit yang

berhasil dikumpulkan putusannya, sejak 1998 hingga 2007 terdapat 572 permohonan

pernyataan pailit, dari jumlah tersebut, hanya 29 yang diajukan oleh debitor. Permohonan

pernyataan pailit lebih banyak ditujukan kepada debitor perusahaan (513), daripada debitor

perorangan (59). PKPU belum banyak dimanfaatkan oleh debitor, dari 572 jumlah

permohonan pernyataan pailit, hanya terdapat 103 PKPU. Jumlah permohonan pernyataan

pailit yang ditolak sebesar 167, sedangkan 96 permohonan dicabut. Data tersebut

menunjukkan debitor yang dinyatakan pailit selama sekitar 10 tahun adalah sebanyak 206,

atau apabila dirata-rata, setiap tahun hanya terdapat sekitar 20 putusan pernyataan pailit. Hal

ini menunjukkan juga bahwa lembaga kepailitan kurang “populer” di Indonesia.

BAB III

PENUTUP

a. kesimpulan
Perlindungan yang diberikan kepada kreditor dan stake holders-nya tidak boleh merugikan

kepentingan stake holders debitor. Walaupun Undangundang Nomor 37 Tahun 2004

memperbolehkan permohonan pernyataan pailit diajukan oleh salah satu kreditor saja, namun

demi kepentingan para kreditor lain. Seyogyanya menentukan bahwa putusan pengadilan atas

permohonan pailit yang diajukan oleh kreditor, harus berdasarkan persetujuan kreditor lain

yang diperoleh dalam rapat para kreditor yang khusus diadakan untuk menentukan putusan

pailit dapat dijatuhkan ataupun tidak. Di dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004

memberikan perlindungan hukum, yaitu salah satunya adalah actio paulina. Actio paulina

adalah legal recourse yang diberikan kepada kurator untuk membatalkan tindakantindakan

hukum yang dilakukan debitor pailit sebelum penetapan pernyataan pailit dijatuhkan apabila

kurator menganggap bahwa tindakantindakan hukum yang dilakukan debitor pailit tersebut

merugikan kepentingan para kreditor.

b. saran

Undang-Undang Kepailitan Indonesia harus mengatur secara tegas dan jelas setiap pasal-

pasalnya, sehingga interpretasi yang berbeda-beda dapat diminimalisasi. Diperlukan juga

peraturan pelaksana untuk menjabarkan lebih lanjut ketentuan atau pasal-pasal yang ada di

dalam UndangUndang Kepailitan. Ketentuan tentang administrasi dalam kepailitan juga

harus diatur dengan jelas dan tegas. Akhirnya, diperlukan peningkatan pengetahuan dan

pemahaman hukum kepailitan dan bidang hukum lainnya yang berkaitan dengan kepailitan

bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan proses kepailitan, khususnya hakim, pengacara,

kurator maupun pengurus, dan masyarakat yang potensial bersinggungan dengan proses

kepailitan.
DAFTAR PUSTAKA

Fuady, Munir. Hukum Pailit Dalam Praktik dan Teori. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2010.

Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,


(Bandung, PT.Alumni, 2006), halaman 1.

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2002
Hartini, Rahayu. Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme Kewenangan
Pengadilan Niaga dan Lembaga arbitrase. Jakarta : Kencana, 2009.
Nating, Imran. Peranan Dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan Dan
Pemberesan Kepailitan. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005.

Shubhan,M Hadi. Hukum Kepailitan: Prisip, norma, dan Praktik di Peradilan. Jakarta: Kencana,
2009.
Wartawan & Rikando Somba, “Kisruh Manulife, Siapa Rugi? Pengadilan Niaga Cuma Bermodal
Nekat,” http://www.sinarharapan.co.id/berita/0207/03/sh05.html, 3 Juli 2002;
Ariyanto dan Andre Revalino, “Kepailitan: Sekadar Tambal-Sulam?”
http://www.majalahtrust.com/hukum/hukum/611.php, 3 Juni 2004.
Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Jakarta: Pradnya Paramita, 1985.

Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi I, Volume 4, Tahun 2016


Siti Anisah
Fakultas hukum universitas islam indonesia nisa@fh.uii.ac.id
https://marioandi.blogspot.com/2018/02/pengertian-kepailitan-dan-dasar-hukum.html

Anda mungkin juga menyukai