Anda di halaman 1dari 17

UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL

“Hukum Organisasi Perusahaan dan Kepailitan / 3sks”

KEPAILITAN ATAU PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG?


SOLUSI UTANG PERUSAHAAN MASA RESESI

Dosen Pengampu :
Dr. Yudhi Priyo Amboro, SH, M.Hum

Disusun Oleh
Desy Crisyanti
2152059

MAHASISWA PROGRAM MAGISTER HUKUM


UNIVERSITAS INTERNASIONAL BATAM
2022
KEPAILITAN ATAU PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG?

SOLUSI UTANG PERUSAHAAN MASA RESESI

Oleh: Desy Crisyanti

Abstrak

Pada masa resesi yang sedang dialami oleh dunia banyak sekali bermunculan masalah-

masalah perekonomian. Salah satunya ialah pembayaran utang yang tidak terlaksanakan. Pada

umumnya upaya hukum atas utang yang telah jatuh tempo dan tidak dibayarkan terdapat dua

jenis yaitu kepailitan dan PKPU atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kedua upaya

ini diajukan melalui pengadilan niaga untuk kasus debitur memiliki utang jatuh tempo lebih

dari satu pihak. Kepailitan dan PKPU masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda

dimana kepailitan berarti sita umum terhadap seluruh aset debitur untuk pembayaran utang

dan PKPU adalah penundaan kewajiban pembayaran utang debitur hingga waktu yang

ditentukan. Kedua upaya hukum tersebut dapat diajukan sesuai dengan keadaan keuangan

suatu perusahaan pada masa resesi yang dapat dinilai melalui insolvency test.

Kata Kunci: Kepailitan, PKPU, Resesi, Utang, Perusahaan

A. Pendahuluan
Indonesia saat ini sedang mengalami masa yang sangat sulit terutama terhadap aspek

perekonomian saat ini. Bukan hanya Indonesia, melainkan seluruh dunia sedang mengalami

masa resesi dimana angka inflasi naik di setiap negara. Hal ini dimulai karena adanya

pandemi virus COVID-19 yang pada tahun 2019 lalu. Akibat dari pandemi virus COVID-19

banyak negara yang berlomba-lomba mencetak uang untuk meningkatkan kemampuan beli

masyarakat. Negara-negara adidaya seperti Amerika juga melakukan kebijakan tersebut.

Selain dari pandemi virus COVID-19, adanya perang yang sedang berlangsung antara Russia

dan Ukraina juga mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi dunia. Seperti yang kita ketahui

bahwa Russia merupakan salah satu negara yang mengekspor berbagai bahan baku primer

masyarakat yaitu diantaranya ada minyak mentah yang menjadi sumber bahan bakar dunia.
Rusia adalah salah satu produsen minyak utama dunia dengan rata-rata 10,8 juta barel per hari

pada 2021, menyumbang 11 persen dari produksi global.

Salah satu aspek yang berdampak sangat jelas akibat dari resesi ini adalah jelas pada

aspek perekonomian. Tidak hanya Indonesia yang mengalami pengaruh buruk yaitu

merosotnya ekonomi, namun perekonomian dunia pun sedang tidak baik akibat dari resesi ini.

Hal ini mengakibatkan terganggunya perekonomian dunia secara tidak langsung. Dikarenakan

pada masa ini hampir seluruh negara di dunia saling melakukan ekspor dan impor antar satu

sama lain dan merupakan salah satu bentuk dari perekonomian. Perusahaan-perusahaan yang

sebagian besar kegiatan usahanya dalam bidang ekspor pun tentu mengalami penurunan

penjualan yang sangat signifikan. Tidak sedikit perusahaan-perusahaan yang dinyatakan pailit

ataupun bangkrut akibat penurunan order akibat dari resesi ini. Pada umumnya, perusahaan

banyak menggunakan sistem PO (purchase order) yang merupakan jenis pembayaran

payment by invoice yang biasanya memiliki jangka waktu 3 bulan atau 90 hari semenjak

invoice ditagihkan. Invoice merupakan salah satu bentuk dari utang. Tidak jarang juga ad

perusahaan yang melakukan sejumlah pinjaman kepada kreditur sebagai tambahan modal

usaha yang mengakibatkan terciptanya utang dalam suatu perusahaan.

Utang itu sendiri merupakan hal yang sangat umum yang beredar di masyarakat.

Utang menurut UU KPKPU Pasal 1 Angka 6 yang berbunyi

“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik

dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang

akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-

undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada

Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor”.

Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa utang merupakan kewajiban

dari seorang debitur atas sejumlah uang yang dipinjam dari kreditur untuk membayar kembali
sejumlah uang tersebut. Pada masa resesi seperti ini sudah tidak heran bahwa banyak sekali

individu maupun badan usaha yang memiliki utang terhadap individu lain ataupun badan

usaha lainnya. Utang merupakan hal umum yang banyak dilakukan oleh masyarakat.

Perusahaan-perusahaan skala besar hingga kecil pun sudah umum melakukan perjanjian

hutang piutang dalam berbagai jenis bentuk. Salah satunya yang dapat kita lihat yaitu dalam

bentuk tagihan atau invoice. Utang ini berguna untuk menutupi sebagian besar biaya

operasional perusahaan yang dianggap terlalu besar apabila semuanya dibayarkan secara

kontan atau cash. Selain daripada itu, utang juga berguna untuk membangun perusahaan itu

sendiri, karena utang merupakan kewajiban pembayaran maka dari itu perusahaan tidak perlu

mengeluarkan sejumlah uang secara besar atas suatu hal dan dapat mengalihkan dana tersebut

untuk pengembangan perusahaan.

Namun yang menjadi masalah adalah kemampuan pembayaran utang jelas berdampak

akibat dari resesi ini dikarenakan kemunduran ekonomi yang terjadi yaitu berupa kerugian

yang dialami oleh perusahaan-perusahaan akibat penurunan order atau penjualan. Banyak

sekali perusahaan yang sudah tidak mampu melakukan pembayaran atas utang ataupun

memiliki utang yang macet. Hal ini kebanyakan disebabkan oleh penurunan order atau

penjualan secara tiba-tiba akibat dari resesi ini. Atas penurunan order atau penjualan tersebut

tentunya perusahaan tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk pembayaran utang

dikarenakan cash flow yang macet. Dalam hal ini tentunya kreditur sangat dirugikan apabila

utang tersebut tidak dibayarkan oleh debitur. Namun hal ini tidak berarti perusahaan tidak

mampu membayar utangnya melainkan efek dari likuidasi atau cash flow perusahaan yang

tidak baik dikarenakan aset dari perusahaan itu sendiri bisa jadi dalam bentuk benda-benda

yang sulit di likuidasi seperti gedung yang dipakai untuk melakukan kegiatan usaha, mesin

atau peralatan untuk melakukan kegiatan usaha, kendaraan, dan lain sebagainya. Maka dari itu

dalam artikel ini penulis akan membahas tentang bagaimana solusi terbaik atas utang-utang
jatuh tempo yang tidak dibayarkan oleh debitur terhadap seluruh pihak terkait baik debitur

maupun kreditur.

B. Diskusi/Analisis

Pada dasarnya atas utang dari debitur yang tidak dibayarkan terdapat dua upaya

hukum yaitu kepailitan dan juga PKPU atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Kepalitian adalah keadaan dimana debitur memiliki dua kreditur atau lebih dan sudah

memiliki hutang yang jatuh tempo dan dapat ditagih dapat dinyatakan pailit oleh putusan

pengadilan baik atas permohonan debitur itu sendiri ataupun dari salah satu atau lebih

krediturnya. Menurut Pasal 1 ankga (1) UU No. 37 Tahun 2004 yang berbunyi “Kepailitan

adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya

dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang ini”. Syarat agar debitur ataupun kreditur dapat mengajukan gugatan pailit

menurut Pasal 2 angka (1) UU No. 37 Tahun 2004 yang berbunyi,

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu

utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan

Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih

kreditornya”.

Apabila suatu perusahaan dinyatakan pailit dalam putusan pengadilan maka akan

ditentukan kurator yang akan melakukan sita umum terhadap seluruh harta debitur yang

kemudian akan dilikuidasikan dan dibagikan secara proporsional terhadap kreditur

berdasarkan kepentingannya menurut undang-undang. Kepailitan di Indonesia merupakan

salah satu upaya hukum yang dinilai tidak rasional di mata negara lain. Hal ini dikarenakan

begitu mudahnya syarat untuk melakukan pengajuan gugatan kepailitan dalam pengadilan. Di

negara Anglo Saxon seperti contohnya Amerika dan Singapura, untuk mengajukan gugatan

kepailitan dibutuhkannya insolvency test atau penilaian kemampuan pembayaran utang


debitur. Hal ini mengakibatkan apabila suatu perusahaan diputus pailit maka sangat tidak

menguntungkan bagi sisi perusahaan karena seluruh hartanya akan disita oleh kurator.

Menurut Pasal 1 angka (5) UU No. 37 Tahun 2004 pengertian dari kurator yang berbunyi,

“Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh

Pengadilan untuk mengurus dan memberes-kan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan

Hakim Pengawas sesuai dengan Undang-Undang ini”.

Selanjutnya upaya hukum PKPU atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

adalah suatu upaya hukum yang dapat diajukan oleh debitur baik kreditur atas utang yang

telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Karakteristik dari PKPU atau Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang itu sendiri berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 222 yang berbunyi:

(1) “Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitor yang mempunyai

lebih dari 1 (satu) Kreditor atau oleh Kreditor.

(2) Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan

membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon

penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana

perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada

Kreditor.

(3) Kreditor yang memperkirakan bahwa Debitor tidak dapat melanjutkan membayar

utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada Debitor

diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan Debitor mengajukan

rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang

kepada Kreditornya”.

Dapat disimpulkan bahwa PKPU dapat diajukan oleh debitur yang mempunyai lebih

dari 1 kreditur dan juga kreditur itu sendiri yang dalam hal ini dengan syarat bahwa debitur

sudah tidak dapat melaksanakan kewajiban pembayaran atas utangnya terhadap kreditur
dengan tujuan mencapai perdamaian yang dapat berupa tawaran pembayaran seluruh ataupun

sebagian utang kepada kreditur. Perlu diketahui bahwa perusahaan-perusahaan dalam

melakukan kegiatan operasionalnya sebagian besar banyak memiliki utang. Alasan utama

perusahaan untuk berhutang atau memiliki utang terhadap kreditur adalah untuk menjaga

cash flow perusahaan dikarenakan tagihan yang dapat dibayar nanti pada saat pemasukan

sudah diterima. Namun selain dari PKPU juga ada upaya hukum lainnya bagi kreditur

ataupun debitur atas utang yang sudah jatuh tempo dan tidak dilunasi yaitu kepailitan.

Pengertian dari kepailitan itu sendiri berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 yang berbunyi:

“Pasal 1 Angka (1) : Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang

pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim

Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

ini”.

Berdasarkan pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa apabila perusahaan

dinyatakan pailit maka sita umum atas semua kekayaan debitur dalam hal ini perusahaan

dilakukan. Hal ini tentu sangat mempengaruhi kegiatan usaha dari debitur itu sendiri dan juga

perlu diingat bahwa adanya aturan tambahan bagi PT atau Perseroan Terbatas mengenai

kepailitan yaitu untuk kasus PT yang pailit maka PT tersebut harus dibubarkan menurut UU

No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi:

“Pasal 142 Ayat (1) Pembubaran Perseroan Terjadi:

a.      berdasarkan keputusan RUPS;

b.      karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;

c.      berdasarkan penetapan pengadilan;

d.      dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya

kepailitan;

e.      karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan

insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang; atau

f.        karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan

melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Dalam poin e dijelaskan bahwa harta pailit dari perseroan dinyatakan pailit dan

insolvensi maka pembubaran perseroan dapat terjadi. Hal ini berarti apabila perusahaan dalam

bentuk PT dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan maka setelah dilakukannya

pemberesan oleh kurator maka otomatis PT tersebut akan dibubarkan. Dalam hal lain poin d

apabila putusan pailit dari pengadilan dicabut akibat dari harta pailit yang tidak cukup untuk

membayar biaya perkara pailit walau dalam konsepnya pailit atas PT tersebut telah dicabut

namun pembubaran akan tetap terjadi berdasarkan penjelasan poin tersebut. Maka dari itu

jelas pailit bukanlah solusi bagi perusahaan atas utang yang telah jatuh tempo yang tidak

dapat dibayar. Dalam hal ini maka menurut penulis bahwa PKPU menjadi solusi terbaik atas

utang yang telah jatuh tempo yang tidak dapat dibayarkan oleh perusahaan. Apabila dilihat

dari karakteristik PKPU itu sendiri, PKPU berarti penundaan kewajiban pembayaran utang

atas utang yang telah jatuh tempo yang tidak dilunasi oleh debitur. Hal ini berarti tidak

menghilangkan kewajiban atas pembayaran utang terhadap kreditur namun hanya

memperpanjang jangka waktu atas utang yang dapat ditagih.

Terdapat beberapa kondisi agar PKPU dapat dilaksanakan dengan baik selain dari

persetujuan oleh kuorum kreditur yang telah diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004, salah satu

diantaranya adalah perusahaan sehat. Perusahaan sehat yang dimaksud disini adalah

perusahaan yang memiliki aset melebihi dari utangnya. Aset tidak selalu harus dalam bentuk
cash ataupun tunai. Banyak sekali jenis aset yang tidak dapat dilikuidasi sesuka hati karena

akan mempengaruhi kinerja perusahaan. Maka dari itu diajukannya PKPU agar cash flow

perusahaan tetap bergerak karena kegiatan usaha dari perusahaan tidak terganggu sehingga

memungkinkan bagi perusahaan untuk melunasi utangnya. Hal ini dilakukan karena masih

terdapat income perusahaan yang bergerak. Keuntungan lainnya yang dapat diperoleh oleh

kreditur yakni pembayaran atas utang berdasarkan kesepakatan antara kreditur dan debitur

apabila dibandingkan dengan kepailitan dimana kreditur hanya akan mendapatkan bagian

utangnya berdasarkan aset yang telah dilikuidasi oleh kurator untuk pembayaran utang.

Seringkali ditemukan kasus bahwa aset yang dilikuidasi atau harta pailit tidak cukup untuk

membayar utang kreditur sepenuhnya. Belum lagi pembagian atas kreditur konkuren dan

separatis yang memiliki bagian yang berbeda-beda. Hal ini memungkinkan utang tidak

dibayar sepenuhnya atau hanya sebagian yang dalam hal lain dapat menimbulkan kerugian

bagi kreditur.

Salah satu karakteristik lainnya dari PKPU yaitu PKPU dapat diajukan oleh debitur

maupun kreditur itu sendiri, namun dalam topik yang dibahas dalam artikel ini adalah sudut

pandang yang menjadi solusi bagi perusahaan dalam melunasi utangnya pada masa COVID-

19 ini. Maka sangat dianjurkan untuk perusahaan itu sendiri sebagai debitur untuk

mengajukan PKPU dengan syarat yang diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 yang berbunyi:

“Pasal 104 Ayat (1) : Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas

Perseroan sendiri kepada pengadilan niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS, dengan

tidak mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan

dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”.

Hal ini berarti perusahaan sebagai debitur dapat mengajukan PKPU namun harus

adanya persetujuan RUPS bukan semata-mata dari direksi perusahaan itu sendiri. PKPU

dalam hal ini menguntungkan bagi debitur maupun kreditur karena merupakan solusi tengah
bagi kedua pihak. Maka dari itu sangat disarankan untuk debitur yang dinilai masih mampu

membayar namun memiliki utang yang jatuh tempo dilakukan upaya hukum PKPU daripada

pailit. Hal ini dapat diartikan bahwa pengajuan atas PKPU sebenarnya hanyalah sebuah upaya

hukum untuk menjamin terbayarkannya utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih

namun belum dilunasi oleh debitur. Dalam pernyataan tersebut yang merupakan jaminan

utang adalah segala aset dari debitur yang ‘sudah ada maupun yang akan ada’ berarti untuk

kedepannya apabila debitur kini tak mampu melaksanakan kewajibannya untuk membayar

utang maka aset dari debitur yang akan ada pada masa kedepan akan dijadikan jaminan atas

utang tersebut. Pembuktian atas PKPU juga menggunakan prinsip pembuktian sederhana

dimana terbukti adanya unsur utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih namun belum dilunasi

oleh debitur. Maka dari itu sangat berbeda dengan perkara-perkara pidana ataupun perdata

pada umumnya yang menganut prinsip nebis in idem. Pada dasarnya PKPU dan Kepailitan

tidak mengenal adanya prinsip nebis in idem. Prinsip nebis in idem berarti perkara yang sama

tidak dapat diadili kedua kalinya atau dapat diartikan lain dimana suatu perkara yang sudah

pernah diadili di pengadilan tidak dapat diajukan kembali lagi pengecualian untuk pengajuan

upaya hukum seperti kasasi dan lain sebagainya. Hal ini berarti untuk kasus PKPU dan juga

Kepailitan dapat diajukan kembali seperti yang sering ditemukandalam pengadilan niaga

bahwa pengajuan atas PKPU dan Kepailitan dapat dilakukan berulang kali.

PKPU juga dapat diajukan kembali apabila debitur masih tidak melaksanakan

kewajibannya. Namun pastinya terdapat beberapa keadaan yang tidak memungkinkan suatu

PKPU untuk diajukan kembali. PKPU yang dapat diajukan kembali berarti PKPU yang sudah

berakhir. Alasan-alasan berakhirnya PKPU diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 antara lain:

1. Apabila tercapai perdamaian menurut ketentuan Pasal 281 UU No. 37 Tahun 2004

maka demi hukum semenjak pengesahannya PKPU menjadi berakhir.


2. Apabila perdamaian tidak tercapai sesuai dengan kuorum yang diatur dalam Pasal 281

UU No. 37 Tahun 2004 maka PKPU juga dapat berakhir.

3. Adanya upaya hukum yang mencabut ataupun mengakhiri suatu putusan PKPU.

Namun sebaliknya juga terdapat ketentuan atas rencana perdamaian yang wajib

ditolak oleh pengadilan niaga yang diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 yang berbunyi:

“Pasal 285 Ayat (2): Pengadilan wajib menolak untuk mengesahkan perdamaian, apabila:

a. harta Debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan benda, jauh

lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian;

b. pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin;

c. perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu atau lebih

Kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan

apakah Debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini; dan/atau

d. imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak

diberikan jaminan untuk pembayarannya”.

Suatu putusan PKPU tidak dapat diajukan kembali apabila tercapainya upaya

perdamaian berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 tujuan utama dari PKPU adalah mencapai

perdamaian yang berbunyi:

“(2) Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar

utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan

kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang

meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditor.

(3) Kreditor yang memperkirakan bahwa Debitor tidak dapat melanjutkan membayar

utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada Debitor

diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan Debitor mengajukan


rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang

kepada Kreditornya”.

Maka dari itu atas putusan PKPU yang berakhir akibat dari tercapainya perdamaian

maka PKPU tersebut tidak dapat diajukan kembali. Namun terdapat pengecualian terhadap

kreditur yang tidak mengajukan tagihan berdasarkan bunyi dari Pasal 286 UU No. 37 Tahun

2004 yang berbunyi

“Perdamaian yang telah disahkan mengikat semua kreditur, kecuali kreditur yang tidak

menyetujui rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 ayat (2)”.

Hal ini berarti khusus bagi kreditur yang tidak mengajukan tagihan pada saat PKPU

diajukan dan rencana perdamaian dilakukan. Namun sebenarnya yang membuat PKPU

diajukan kembali pada masa pandemi resesi dikarenakan faktor krisis ekonomi yang dialami

oleh Indonesia saat ini. PKPU merupakan suatu upaya atas penundaan kewajiban pembayaran

utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. PKPU biasanya dapat berupa upaya hukum

yang dilakukan sebelum pailit ataupun sesudah dibatalkannya putusan pailit. Kepailitan itu

sendiri menurut UU No. 37 Tahun 2004 yang berbunyi:

“Pasal 1 Angka (1): Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang

pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim

Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

ini”.

Untuk PKPU sebelum pailit diajukan dikarenakan dinilai debitur masih mampu untuk

membayar utangnya namun diperlukannya penundaan atas pembayaran utang tersebut.

Biasanya PKPU diajukan sebelum pailit untuk menghindari debitur dinyatakan pailit

dikarenakan seperti yang dijelaskan dalam pasal 1 angka 1 UU No. 37 Tahun 2004 bahwa

apabila debitur dinyatakan pailit maka seluruh kekayaan debitur pailit dapat disita oleh

kurator dimana hal ini merupakan akhir dari penyelesaian atas utang debitur. Selama aset dari
debitur disita maka otomatis debitur dalam keadaam diam dan tidak dapat melakukan apapun

sedangkan perbedaannya dalam PKPU debitur masih memiliki hak dan wewenang atas

kekayaannya sendiri tanpa disita oleh pengadilan maupun kurator dan dapat menjalankan

kegiatan usahanya namun hanya dalam aspek utang yang sudah jatuh tempo ditunda dalam

amar putusan pengadilan. Untuk PKPU yang diajukan setelah dibatalkannya pailit biasanya

diajukan oleh kreditur dengan tujuan untuk menjamin utang atau kewajiban dari debitur untuk

membayar kreditur dapat dilaksanakan. Dikarenakan debitur yang dinyatakan pailit dibatalkan

maka seluruh aset debitur kembali ke tangan debitur seperti semula dan dalam hal ini

termasuk utang yang belum dilunasi oleh debitur. Hal ini tentunya dapat menjadi ancaman

bagi kreditur maka dari itu kebanyakan kreditur mengajukan kembali PKPU atas putusan

pailit yang dibatalkan ataupun dicabut untuk menjamin utang kreditur terbayar oleh debitur.

Kedua upaya hukum baik kepailitan maupun PKPU memiliki pro dan kontranya

sendiri terhadap masing-masing pihak terkait. Namun apabila dinilai dari sisi pihak

perusahaan, maka kepailitan jelas bukanlah pilihan yang tepat untuk upaya hukum

ketidakmampuan pembayaran utang akibat dari resesi ini. Apabila dari sisi perusahaan yang

memiliki aset lebih besar daripada utangnya namun pembayaran utang terhambat oleh karena

cash flow perusahaan yang sedang macet, maka solusi tepatnya adalah pengajuan PKPU oleh

perusahaan sendiri sebelum diajukan upaya hukum lainnya oleh kreditur. Dengan adanya

pengajuan PKPU juga memungkinkan perusahaan untuk menata kembali cash flow

perusahaan agar dapat membayar utangnya kepada kreditur. Karena resesi ini merupakan

peristiwa global yang dialami bukan hanya oleh 1 negara melainkan seluruh dunia, maka dari

itu pengaruh dari resesi ini juga pastinya mempengaruhi seluruh perusahaan tidak terkecuali.

Dengan diajukannya PKPU juga memungkinkan perusahaan untuk melakukan pembalikan

keadaan dimana ada kemungkinan perusahaan dapat menuntaskan kewajibannya dengan

memperoleh project baru atau upaya lainnya yang dapat meningkatkan penjualan perusahaan.
Sebaliknya apabila aset dari perusahaan memang sudah sangat minus dan jauh dari

utang yang dimiliki. Dalam kata lain apabila dilakukan insolvency test pun kemampuan

pembayaran utang oleh perusahaan jauh daripada aset yang dimiliki maka sebenarnya upaya

hukum yang paling tepat adalah pengajuan kepailitan. Namun dengan diajukannya kepailitan

biasanya realitanya bagi kreditur adalah tidak semua utang dapat dibayarkan secara penuh.

Karena pembagian aset hasil sita umum oleh karena keputusan pailit biasanya dibagikan

secara proporsional menurut jenis kreditur. Dimana kreditur sendiri dibagi atas kreditur

konkuren, kreditur preferen dan kreditur separatis. Kreditur konkuren itu sendiri merupakan

kreditur yang tidak memegang jaminan hak kebendaan dalam perjanjian utang piutang antara

kreditur dan debitur. Biasanya kreditur konkuren dalam perusahaan adalah supplier yang

hanya bermodalkan invoice sebagai alat penagih utangnya tanpa ada jaminan kebendaan

apapun. Kreditus preferen adalah kreditur yang oleh karena sifatnya didahulukan oleh

undang-undang atas pembayaran utangnya. Biasanya kreditur preferen dalam perusahaan

seperti gaji karyawan, pembayaran pajak, utang listrik dan air, dan lain sebagainya yang

diatur dalam undang-undang. Kreditur separatis adalah kreditur yang memegang jaminan hak

kebendaan dalam perjanjian utang piutang dengan perusahaan. Biasanya kreditur separatis

adalah bank yang memberikan sejumlah pinjaman kepada perusahaan dalam bentuk

perjanjian tertulis.

Dalam pembagian hasil likuidasi dari sita umum aset perusahaan yang telah

dinyatakan pailit seringkali posisi kreditur konkuren sangat dirugikan karena sebagian besar

tidak mendapatkan pembayar penuh ataupun tidak menerima pembayaran utang sama sekali

akibat adanya kreditur separatis dan juga kreditur preferen. Bagi kreditur separatis maka dapat

langsung mengeksekusi haknya atas jaminan kebendaan setelah diputusnya keputusan pailit

oleh pengadilan dengan masa tunggu yang telah diatur dalam undang-undang. Maka dari itu
upaya hukum kepailitan sebenarnya adalah pilihan terakhir bagi perusahaan yang secara

insolvency test masih memiliki kemampuan untuk membayar utangnya dalam hal ini.

C. Kesimpulan

Pada masa resesi ini memang banyak sekali perusahaan-perusahaan yang mengalami

kerugian dan kesulitan atas kewajiban pembayaran utangnya. Terutama dikarenakan order

atau penjualan yang seketika menurun drastis akibat dari resesi perekonomian dunia ini.

Kemampuan pembayaran utang oleh debitur atau perusahaan jelas terganggu akibat dari

peristiwa resesi ini. Terdapat dua upaya hukum pada umumnya untuk penyelesaian atas utang

jatuh tempo yang tidak dibayarkan oleh debitur yaitu Kepailitan dan PKPU atau Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang. Dua-duanya merupakan upaya hukum yang dapat ditempuh

oleh debitur atas permohonan dari kreditur ataupun debitur itu dan berlaku setelah

dijatuhkannya putusan oleh hakim di pengadilan.

Dalam hal untuk perusahaan yang mengalami cash flow macet akibat dari resesi dan

mengalami kesulitan dalam membayar tagihan yang sudah jatuh tempo maka dari itu upaya

yang dianjurkan oleh penulis dalam artikel ini adalah upaya hukum PKPU namun harus sesuai

dengan karakteristik yang sudah dijelaskan diatas. PKPU tidak selamanya bermakna

kemunduran bagi perusahaan, namun bisa jadi solusi bagi perusahaan yang memang sedang

kesulitan untuk melunasi utang yang sudah jatuh tempo. Sebaliknya apabila memang aset

perusahaan jauh lebih kecil daripada utangnya otomatis secara perhitungan insolvency test

pun perusahaan sudah tidak memiliki kemampuan untuk membayar utangnya dan lebih baik

apabila diajukan upaya hukum kepailitan agar harta debitur dapat dieksekusi dan dilikuidasi

untuk pembayaran kepada kreditur. Kedua upaya hukum ini memiliki pro dan kontra nya

masing-masing dan dapat dilakukan dalam kasus utang yang tidak dibayar oleh perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Karya Ilmiah

Butarbutar, Elisabeth Nurhaini. (2018). Asas Ne Bis In Idem Dalam Gugatan Perbuatan

Melawan Hukum. Vol. 11 No. 1.

Karundeng, Maya S. (2015). Akibat Hukum Terhadap Penjatuhan Pailit Pada Perseroan

Terbatas. Lex et Societatis, Vol. III/No. 4/Mei/2015.

Kheriah. Independensi Pengurus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dalam

Hukum Kepailitan. Vol. 3 No. 2 Jurnal Ilmu Hukum.

Sri Wijiastuti, Lembaga PKPU Sebagai Sarana Restrukturisasi Utang Bagi Debitor Terhadap

Para Kreditor, Tesis: Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, 2010.

Zainal, Asikin. (2000). Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Raja Grafindo Persada Jakarta.

Internet

Qurani, Hamalatul. (2021). Konsep Nebis In Idem dan PKPU Berkali-Kali diakses dari

https://jurnal.hukumonline.com/berita/baca/lt602a6af7bcf3b/konsep-nebis-in-idem-

dan-pkpu-berkali-kali?page=3 pada tanggal 29 November 2022.

Sandi, Ferry. (2020). “Ramai Kasus Pailit Perusahaan Saat Pandemi, Ada Apa?” diakses dari

https://www.cnbcindonesia.com/news/20200710092832-4-171639/ramai-kasus-pailit-

perusahaan-saat-pandemi-ada-apa pada tanggal 29 November 2022.

Anda mungkin juga menyukai