PENDAHULUAN
A. Latar belakang
1
Kartini Mulyadi, “Kepailitan dan Penyelesaian Utang Piutang”, Dalam:
Rudhy A. Lontoh (ed), Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau {enundaan
Keeajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001 (selanjutnya disebut
sebagai kartini Mulyadi 1), hlm. 168.
2
Ibid, hlm. 168.
2 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dengan harta pribadinya, apabila tidak dapat dibuktikan bahwa
kepailitan (kerugian) yang diderita perseroan itu tidak
disebabkan oleh missmanagement. Dengan semikian maka
dapat dicegah adanya penyalahgunaan (misbruik) dari suatu
kepailitan. Oleh karena harus adanya bukti yang dapat
menjelaskan seseorang atau suatu badan hukum mnegalami
pailit, maka disini diperlukan suatu cara yang menyangkut
masalah pembuktian. Hendaknya dalak hal adanya hanya
satu utang yang telah dengan pasti ternyata tidak dibayar,
jangan sampai hanya dengan sangkaan-sangkaan sebagai
alat pembuktian, menarik kesimpulan bahwa syarat-sayarat:
berada dalam keadaan telah berhenti membayar itu ada.
Terutama sikap Debitur dan keterangan-keteranganya
mengenai alasan atau sebab-sebabnya debitur tidak
membayar merupakan bahan pertimbangan yang sangat
menentukan, apalagi jika keterangan-keterangan itu tidak
memuaskan dan memberikan dasar untuk mencurigainya.3
Penundaan Kwajiban Pembayaran Utang (selanjutnya
disingkat dengan PKPU, (Survence van Betaling, Suspension
of Payment) merupakan suatu lembaga dalam Hukum
Kepailitan yang memberikan perlindungan terhadap debitur
yang mempunyai kemauan untuk membayar utangnya dan
beritikad baik. Melalui pengajuan PKPU, debitur dapat
terhindar dari pelaksanaan likuidiasi terhadap harta
kekayaannya dalam hal debitur dalam keadaan insolven.4
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
sesungguhnya merupakan bentuk perlindungan terhadap
debitur yang masih beritikad baik untuk membayar hutang-
hutangnya kepada seluruh krediturnya. PKPU diatur dalam
Pasal 222 s/d 294 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundanaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam
Pasal 222 ayat (1) disebutkan bahwa Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang ini dapat diajukan oleh:
1. Debitur.
3
D. Kartono, Kepailitan dan Penginduran Pembayaran, (Penerbit:
Pradnya Paramita, Jkarta, 1982, hlm. 19.
4
Sutan Remy Syahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Failissements
Verordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta: PT. Pustaka
Utama Grafiti, 2002), hlm. 321.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan |3
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Debitur yang mempunyai lebih dari (satu) kreditur yang
tidak dapat, atau memperkirakan bahwa ia tidak akan
dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah
jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat mengajukan
permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dengan maksud untuk mengajukan Rencana Perdamaian,
yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau
seluruhnya kepada kreditur.5
2. Kreditur.
Kreditur yang memperkirakan bahwa debitur tersebut tidak
dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh
tempo dan dapat ditagih, dapat memohon ke Pengadilan
Niaga, agar kepada debitur diberi Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, untuk memungkinkan si debitur
mengajukan Rencana Perdamaiannya kepada mereka,
yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh
utangnya kepada kreditur-krediturnya.6
3. Pengecualian, terhadap debitur Bank, Perusahaan Efek,
Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun dan Badan Usaha
Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik,7
maka:
a. Dalam hal debiturnya adalah bank, maka permohonan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh
kreditur terhadap bank tersebut, atau permohonan
Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh
debitur bank ini sendiri, hanya dapat diajukan oleh
Bank Indonesia8.
b. Dalam hal debiturnya adalah Perusahaan Efek, Bursa
Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, maka permohonan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang debitur ini
5
Pasal 222 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004.
6
Pasal 222 ayat (3) No. 37 Tahun 2004.
7
Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004.
8
Pasal 2 ayat (30 UU No. 37 tahun 2004.
4 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
atau oleh krediturnya, hanya dapat diajukan oleh atau
melalui Badan Pengawas Pasar Modal9
c. Dalam hal debiturnya adalah Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun atau Badan
Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang
kepentingan publik, maka permohonan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang oleh debitur ini atau
oleh para krediturnya, hanya dapat diajukan oleh atau
melalui menteri Keuangan.10
Pada dasarnya, maksud dari Pemberian
Kewajiban Pembayaran Utang kepada debitur adalah
agar si debitur yang berada dalam keadaan insolven
(insovency), mempunyai kesempatan untuk mengajukan
suatu Rencana Perdamaian, baik berupa tawaran untuk
pebayaran utang secara keseluruhan ataupun sebagian
atas utangnya, oleh karena itu, Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang merupakan kesempatan bagi
sidebitur untuk melunasi atau melaksanakan
kewajibannya atas utang-utang tersebut, sehingga di
debitur tersebut tidak sampai dinyatakan pailit.11
Dalam melaksanakan PKPU melalui restrukturi
sasi utang, diperlukan syarat paling utama, yaitu adanya
kemauan dan itikad baik dan juga kooperatif, serta
bersedia mengikuti syarat-syarat yang ditentukan dalam
restrukturisasi, antara lain: melakukan penjadwalan
kembali (rescheduling), persyaratan kembali (recondition-
ing), dan penataan kembali (restrukcturing), sehingga
diperoleh jalan keluar bagi penyelesaian pembayaran
utang macet tersebut tanpa menimbulkan banyak
kerugian bagi pihak kreditur dan pihak debitur.12
Dalam hal kreditur tersebut merupakan kreditur
separatis, apabila restrukturisasi utang telah dilakukan,
dan telah disetujui oleh kreditur separatis, tetapi debitur
gagal dalam menjalankan kewajiban tersebut atau tidak
9
Pasal 2 ayat (4) UU no. 37 Tahun 2004.
10
Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004.
11
Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 170.
12
M. Hadi Shubehan, Hukum Kepilitan: Prinsip, Norma, dan Praktek di
Peradilan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 162.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan |5
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
beritikad baik, maka pihak kreditur dapat melakukan
pengambilan jaminan kredit yang diberikan oleh debitur
kepada krediturnya, atau si kreditur dapat mengajukan
gugatan perdata atau permohonan pailit terhadap utang-
utang debiturnya ke Pengadilan.13
Terkait dengan pengajuan permohonan PKPU,
terdapat perkembangan yang cukup menarik dalam
pengajuan permohonan PKPU. Apabila daam
Failissement verordening dan dalam UU No. 4 Tahun
1998, permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh
debitur dan UU No. 37 Tahun 2004, permohonan PKPU
dapat di kreditur. Hal ini tentu menjadi kajian yang
menarik untuk mengetahui mengapa pihak kreditur
diberikan kewenangan untuk mengajukan permohonan
PKPU padahal yang mengetahui kondisi kesehatan suatu
perusahaan hanyalah debitur itu sendiri.
Pemberian kewenangan kepada si kreditur agar
dapat memohonkan PKPU bagi di kreditur dengah cara
yang sesuai dengah kondisi dan situasi si debitur saat itu,
dan bila si debitur dan kreditunya beritikad baik, maka
harapan kedua pihak itu adalah tercapainya Rencana
Perdamaian yang dapat mencover kewajiban debitur dan
hak kreditur, yang kemudian dapat disetujui secara
bersama dalam rapat perdamaian dan dilakukan
pengesahan perdamaian itu oleh Pengadilan Niaga
(homologasi).14
Dari sudut pandangan hukum, Undang-Undang
Kepailitan ini bertujuan untuk melindungi para kreditur
dengan memberikan jawaban yang jelas dan pasti untuk
menyelesaiakan utang yang tidak dapat dibayar oleh
debitur dan Undang-Undang Kepailitan juga bertujuan
melindungi debitur dengan memberikan cara baginya
untuk menyelesaikan utangnya tanpa membayar
13
Rachmadi Usman, Aspek-Asepek Hukum Perbankan di Indonesia,
9Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001(, hlm, 292-293.
14
Ibid, hlm. 142.
6 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
sekaligus secara penuh, sehingga usahanya dapat
bangkit kembali tanpa beban utang.15
Meskipun ada beberapa alternatif yang
ditawarkan untuk penyelesaian utang piutang antara
debitur dan kreditur namun, yang menjadi masalah
adalah tidak adanya niat yang sungguh-sungguh dari
para debitur untuk melunasi utang-utangnya.16 Dalam hal
ini, hukum harus dapat menjadi alat untuk menciptakan
keadilan dan kepastian hukum bagi kreditur, yang pada
akhirnya hukum dapat mendorong pemulihan ekonomi,
dengan tujuan untuk menciptakan stabilitas, prediktibilitas
dan keadilan dalam hukum negara.17
Diberikannya kesempatan bagi kreditur untuk
mengajukan permohonan PKPU dalam UU No. 37 Tahun
2004 sebagai bentuk pemberian keadilan dan kepastian
hukum bagi kreditur dan debitur telah dilakukan dalam
berbagai perkara kepailitan dan PKPU. Beranjak dari
asumsi tersebut, usat penelitian dan Pengembangan
Hukum, Badan Penelitian dan pengembangan Hukum
melakukan penelitian dengan Judul Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban pembayaran Utang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka
dapatlah dirumuskan identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Apa dan bagaimana prinsip-prinsip hukum yang ada
dalam hukum kepailitan di Indonesia?
2. Bagaimana Akibat Hukum Kepailitan dan Akibat Hukum
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ?
3. Bagaimana penerapan norma dan prinsip Hukum
Kepailitan dalam Putusan Peradilan ?
C. Tujuan Penelitian
15
Artikel Kepalilitan, http://cafe-ekonomi.blogspot.com/209/08/artikel-
kepeilitan. html, diakses pada tanggal 17 Januari 2011.
16
Komisi Hukum Nasional, Pengembangan Hukum dalam Rangka
Pemulihan Ekonomi, (Jakarta: Artikel, tanggal 14 Maret 2002), hlm. 14.
17
Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan Di
Indonesia Edisi 2, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hlm. 14.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan |7
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui prinsip-prinsip hukum yang ada dalam
hukum kepailitan di Indonesia;
2. Untuk mengetahui akibat hukum kepailitan dan akibat
hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
3. Untuk mengetahui penerapan norma hukum dan prinsip
hukum kepailitan dalam putusan peradilan.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan hasil penelitian ini adalah:
1. Dari segi empiris penelitian ini diharapkan akan mengisi
kelangkaan penulisan di bidang hukum kepailitan dan
PKPU mengenai prinsip-prinsip hukum yang ada dalam
hukum kepailitan di Indonesia, akibat hukum kepailitan,
akibat hukum PKPU, dan penyelesaian kepailitan di
Indonesia;
2. Dari segi teoritis/akademis penelitian ini diharapkan
dapat menyumbangkan pengembangan dalam
merumuskan penyusunan naskah akdemik peraturan
perundang-undangan;
3. Dari segi kebijakan, hasil penelitian ini diharapkan dapa
menjadi masukan bagi para regulator atau pengambil
keputusan di bidang hukum kepailitan dan PKPU.
18
John Rawls, A Theory of Justice, Teori Keadilan, Dasar-dasar Filsafat
Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dan Negara, Yogyakarta,
Pustaka pelajar, 2006, hlm. 74.
19
R. Otje Salma, Ikhtiar Filsafat Hukum, Penerbit: Armico, Bandung,
1987, hlm. 74.
20
Dardji darmodihardjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hkum: Apa
dan bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2004, hlm. 154.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan |9
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dihadapkan ketidakadilan.21 Bagi Socrates keadilan
merupakan inti hukum. Palto juga demikian, hakekat
asasi dari hukum adalah dikaiosune (keadilan:
keutamaan rasa tentang yang “benar”, “baik”, dan
“pantas”. Aristoteles menghubungkan keadilan (sebagai
hakekat hukum) dengan kebahagiaan manusia
(eudaimonia). Mutu hukum ditentukan oleh kapasitasnya
menghadirkan kebahagiaan bagi manusia.22
Dalam menganalisis hukum kepailitan Pasal 2
ayat (1) Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur
dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinaatakan pailit
dengan putusan engadilan baik atas permohonannya
sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
krediturnya. Menurut Siti Anisah permohonan
persyaratan permohonan pernyataan pailit memudahkan
pailitnya debitor.23
Perubahan terhadap pernyataan pailit dapat
dilihat dari Faillissement Verordening sampai dengan UU
No. 37 Tahun 2004. Terjadinya kekaburan norma yang
berawal dari perbedaan interpretasi terhadap substansi
yang secara tidak tegas mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan persyaratan permohonan pernyataa pailit.
Perubahan-perubahan itu dapat dilihat dari pengertian
utang, pengertian berhenti membayar, jatuh tempo dan
dapat ditagih, kreditor dan debitor yang mengajukan
permohonan pernyataan pailit; serta pembuktian
sederhana sebagai dasar putusan pernyataan pailit.24
Keadilan bagi Debitor dalam pasal 2 ayat (1)
masih tanda tanya dan apalagi jika disandingkan dengan
pasal 8 ayat (4) yang bunyinya: permohonan pernyataan
pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa
21
Bernard L Tanya, dkk, Teori Hukum strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, Yogyakarta, genta Publishing, 2010, hlm. 219.
22
Ibid., hlm. 220.
23
Siti Anisah, Perlindungan kepentingan Kreditor dan Debitor Dalam
hkum kepailitan di Indonesia, Pnerbit Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 43.
24
Ibid.
10 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
pernyataan untuk dinyatakan palit sebagaimna dimaksud
dalam pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi. Bagi debitor pailit
apabila dikaitkan dengan teori keadilan Gustav
Radbruch, bahwa hukum adalah sebagai pengemban
nilai keadilan, dan menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya
tata hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi
dasar dari hukum sebagai hukum. Keadilan memiliki sifa
normative sekaligus kontitutif bagi hukum. Keadilan
normative karena berfungsi sebagai prasarat
transendenta yang mendasari tiap hukum positif yang
bermartabat. Kemudian menjadi landasan moral hukum
dan sekaligus tolok ukur system hukum positif. Kepada
keadilanlah hukum positif berpangkal. Sedangan
konstitutif, karena keadilan harus menjadi unsur mutlak
bagi hukum sebagai hukum. Tanpa keadilan, sebuah
aturan tidak pantas menjadi hukum.25
25
Bernarrd L. Tanya, dkk, Teori Hukum strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, Yogyakarta, genta Publishing, 2010, hlm. 129-130.
26
Ibid., hlm 75.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 11
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
1) Perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman kepada hak asasi manusia yang
dirugika oleh orang lain dan perlindungan tersebut
diberikan oleh hukum;
2) Perlindungan hukum adalah perlindungan akan
harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-
hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum
berdasarkan ketentuan hukum dari kewenangannya;
3) Perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum
yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum
untjuk meberikan rasa aman, baik secara pikiran
maupun pisik dari gangguan dari berbagai ancaman
dari pihak manapun;
4) Perlindungan hukum sebagai kumpulan peraturan
atau kaidah yang akan dapat meloindungi suatu hal
dari hal lainnya. Berkaiatan dengan perlindungan
hukum terhadap Debitor, berarti hukum memberikan
peliandungan, sehinga perayaratan permohonan
pernyataan paili “tidak’ memudahkan palitnya
debitor.27
Dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan
hkum di Indonesia landasannya adalah Pancasila
sebagai ideology dan falsafah negara.28 Menurut
Philipus M. Hadjon yang mengemukakan prinsip negara
hukum Pancasila adalah (a) adanya hubungan hukum
antraa pemerintah dengan rakyat berdasarkan asas
kerukuan; (b) hubungan fungsional yang proporsional
antara kekuasaan-kekuasaan negara; (c) prinsip
penyelesaian sengketa secara musyawarah dan
peradilan merupakan sarana terakhir; keseimbangan hak
dan kewajiban.
Dalam hubungan antara kepailitan dan
perlindungan hukum terjadinya perubahan terhadap
persyaratan permohonan ernyataan paili dapat dilihat
27
Siti Anisah, Perlindungan kepentingan Kreditor dan Debitor dalam
Hukum Kepailitan di Indonesia, Studi Putusan-Putusan Pengadilan, Jakarta:
Total Media, 2008, hlm. 43.
28
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia,
Surabaya: Bina Ilmu, 1987, hlm.
12 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
mulai Faillissement Verordening yang diperbaharui oleh
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, selanjutnya
diganti oleh UU Nomor 37 ahun 2004. Persolan muncul
adalah tidak jelasnya perlindungan hukum terhadap
debitor, yang walalupun mengalami perubahan secara
substantive, dalam perjalanan masih menimbulkan
beberapa masalah yang berawal dari,perbedaan
interpretasi terhadap substansi yang secara tidak tegas
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan persyaratan
permohonan pernyataan pailit. Perubahan-perubahan itu
dapat dilihat dari pengertian utang, pengertian berheti
membayar, jatun tempo dan dapat ditagih; kreditor dan
debitor yang mengajukan permohonan pernyataan pailit;
serta pembuktian secara sederhana sebagai dasar
putusan pernyataan pailit.29
2. Teori Kepastian Hukum
Teori kepastian hukum sangat penting dalam
membahas debitor yang tidak mengajukan PKPU dalam
kepalitan. Dalam konteks ini tujuan hukum adalah
kepastian hkum, kemanfaatan dan keadilan. Dalam teori
kepastian hukum adalah setiap perbuatan hukum yang
dilakukan seharusnya menjamin kepastian hukum.
Menurut Peter Mahmud Marzuki, kepastian hukum
mengandung dua pengertian: pertama, adanya aturan
yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan; dan
kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari
kesewenang-wenangan pemerintah karena dengan
adanya auran yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian
hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-
undang melainkan juga adanya konsistensi dalam
putusan hakim antara putusan hakim yang satu dan
putusan hakim yang lainnya dalam kasus serupa yang
telah diputuskan.
29
Siti Anisah, op., cit., hlm. 43.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 13
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Kepastian hukum dalam kasus permohonan pailit
dari kreditor, tidak direspon oleh debitor, karena kreditor
telah diduga sebaai pemohon pailit telah melakukan
wanprestasi dan dugaan penipuan penpuan terhadap
pihak termohon, karenanya pihak Termohon mengajuka
Exception non adimpleti contractus. Pihak Termohon
(debitor) tidak mengajukan Penundaan kewajiban
pembayara utang sesuai dengan UU No. 37 tahun 2004,
Pasal 222 ayat (2) yang bunyinya: Debitur yang tidak
dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan
membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan
dapat ditagih, dapat memohon PKPU, dengan maksud
untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi
tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang
kepada Kreditur. Oleh karena kepastian hukum tentang
terjadi wanprestasi dan dugaan tinak pidana yang
memerlukan pengujian di pengadilan.
Disisi lain, perlindungan terhadap keoentingan
kreditor semakin bertabah tegas dalam UU No. 37 Tahun
2004. Sebelum itupun, secara substantive baik
Faillissement Verordening maupun U Nomor 4 tahun
1998 adalah pro terhadap kepentingan Kreditor. Hal ini
dapat dilihat dari ketentuan yang berkaita dengan
persyaratan permohonan pailit, PKPU dan ketentuan-
ketentuan tentang tindakan lain untuk kepentingan
kreditor. Kreditor dengan mudah dapat mengajukan
permohonan pernyataan pailit terhadap debitornya,
karena syaratnya adalah adanya dua kreditor atau lebih
dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih. PKPU juga
cenderung melindungi kepentingan kreditor, karena
jangka waktu relative singkat, proses perdamaian
ditentukan oleh kreditor, dan terdapat peluang untuk
membatalkan putusan perdamaian yang berkekuatan
hukum tetap. Tindakan lain untuk melindungi kepentingan
kreditor semakin jelas pengaturannya, misalnya
F. Metodologi Penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif
dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Dengan
demikian, obyek penelitian adalah norma hukum yang
terwujud dalam kaidah-kaidah hukum yang dibuat dan
30
Skti Anisah, op, cit., hlm. 497.
31
UURI No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, hlm. 2/114.
32
Munir Fuadi, Pengantar Hukum Bisnis (Bandung: citra Aditya Bakti,
2001), hlm. 82.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 15
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
ditetapkan oleh pemerintah dan sejumlah peraturan
perundang-undangan. Sebagai suatu penelitian ilmiah, maka
rangkaian kegiatan dalam penelitian ini mengikuti metode-
metode penelitian hukum, sebagai berikut:
1. Jenis dan sifat penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian
ini adalah penelitian hukum normatif dan penelitian
hukum empiris dengan menggunakan pendekatan
peraturan perundang-undangan (statue approach)
dalam melakukan pengkajian kewenangan kreditor dalam
Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Pemilihan metode ini untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinisp hukum, maupun doktrin-doktrin hukum,
guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Oleh karena
itu, pilihan metode ini adalah penelitian hukum normatif
yang berkaitan dengan prinsip-prinsip dan
norma/pengaturan Hukum kepailitan di Indonesia serta
praktik penerapan Hukum Kepailitan di Pengadilan
Indonesia.
Sifat penelitian ini adalah Deskriptif Analitis,
yang bertujuan untuk membatasi kerangka studi kepada
suatu analisis terhadap hukum dan peraturan tentang
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dengan
mengacu pada hukum dan peraturan perundang-
undangan yang berhubungan dengan tujuan penelitian.
Pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan
(Library Research)untuk mendapatkan konsep-konsep,
teori-teori, dan informasi-informasi serta pemikiran
konseptual dari peneliti pendahulu, baik berupa peraturan
perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.
Sehubungan dengan tipe penelitian yang
digunakan, yakni yuridis normatif, maka penelitian ini
menggunakan 3 (tiga) pendekatan, yakni:
1. Pendekatan Perundang-undangan (statue approach)
Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan
menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang
33
Peter Mahmud Marzuki, Penlitian Hukum (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2006) hlm. 93.
34
Ibid, hlm. 94.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 17
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
penelitian ini.35 Situs Web juga menjadi bahan
bagi penelitian ini sepanjang memuat informasi
yang relevan dengan penelitian ini.
5. Teknik pengumpulan data
Dalam penelitian ini, seluruh bahan dikumpulkan
dengan menggunakan teknik studi kepustakaan
(libary Research), dengan mempelajari berbagai
dokumen dari sumber yang dipandang relevan, yaitu
meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan
judul penelitian ini, seperti buku-buku hukum, majalah
hukum, peraturan perundang-undangan, putusan-
putusan Pengadilan yang berkaitan dengan
penelitian, pendapat para sarjana, dan bahan-bahan
penunjang lainnya. Perpustakaaan yang digunakan
adalah Perpusatakaan Balitbang Hukum dan HAM
dan perpusatakaan BPHN. Penelitian ini sepenuhnya
mempergunakan data sekunder dengan alat
penelitian berupa studi dokumen terutama putusan
pengadilan niaga dalam perkara-perkara kepailitan.
6. Analisa Data
Analisis Data merupakan suatu proses
pengorganisasian dan mengurutkan data pada suatu
pola kategori dan satuan. Data-data yang diperoleh
melalui studi pustaka yang dikumpulkan, diurutkan,
dan diorganisasikan dalam suatu pola, kategori dan
satuan uraian dasar.36 Analisis data dalam penelitian
ini adalah dengan mempelajari, menganalisis, dan
memperhatikan kualitas serta kedalaman data
sehingga diperoleh data yang dapat menjawab
permasalahan dalam penelitian ini.
Seluruh data yang sudah diperoleh dan
dikumpulkan, selanjutnya akan ditelaah dan dianalisa.
Analisis untuk data kualititf dilakukan dengan pemilihan
35
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1998), hlm. 195, sebagaimana dikutip dari Sorjono soekanto dan Sri
Mamudji, penelitian hukum Normatif suatu Tinjauaj Singkat (Rajawali Pers,
1990), hlm. 41.
36
Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif 9Jakarta: Remaja
Rodakarya, Cet. Ke-10, 1999) hlm. 103.
18 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang
mengatur tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang beserta konsekuensi hukumnya, kemudian
membuat sistimatika dari Pasal-pasal tersebut, sehingga
akan menghasilkan klasifikasi tertentu, sesuai dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
Pada bagian akhir, data yang berupa peraturan
perundang-undangan ini diteliti dan dianalisis secara
deskriptif kualitatif, yang diselaraskan dengan hasil dari
data pendukung, sehingga sampai pada suatu
kesimpulan yang akan menjawab seluruh pokok
permasalahan dalam penelitian ini. Dilihat dari tujuan
analisis, maka ada dua hal yang ingin dicapai dalam
analisis kualititif, yaitu: (1) menganalisis poses
berlangsungnya suatu fenomena hukum dan memperoleh
suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut;
dan (2) menganalisis makna yang ada dibalik informasi,
data dan proses suatu fenomena.37
G. Personalia Tim
Adapun susunan pelaksana penelitia ini adalah sebagai
berikut:
Narasumber Prof. DR. Stan Remy Sjahdaeini, SH
Narasumber Dr. Ricardo Simanjuntak, SH, LL.M
Ketua : Drs. Ulang Mangun Sosiawan, MH
Anggota : Syprianus Ariesteus, SH, MH.
Nevi Farida Andriani, SH, MH.
Agus Pardede, SH.
H. Sistimatika penulisan
Hasil penelitian ini akan disusun sebagai bentuk
laporan akhir dengan sistimatika penulisan sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, yang didalamnya
menguraikan latar belakang, rumusan
masalah, tujuan, kegunaan penelitian,
37
Burhan Bungin, penelitian Kualitatif: Komunikasi.Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial lainnya (Jakarta: PT. Kencana, Edisi I, Cet. Ke-3, 2009)
hlm. 153.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 19
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
kerangaka teri dan konsepsional, metode
penelitian dan sistimatika penulisan.
BAB II Tinjauan Pustaka tentang Kepalitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
menguraikan Istilah Kepailitan, Prinsip-
prinsip dalam kepailitan, Hakikat Prinsip
Hukum, Prinsip Paritas Creditorium,
Prinsip Pari Passu Prorata Parte, Prinsip
Structured Creditors, Prinsip Utang, Prinsip
Debt Collection , Prinsip Debt pooling,
Prinsip Debt Forgiveness, Prinsip Universal
dan Prinsip teritorial , Prinsip
Commercial exit from financial distress,
Tujuan Hukum Kepailitan, Tujuan UUK-
PKPU, Sumber hukum Kepailitan Indonesia,
Fungsi Undang-Undang Kepailitan, Sumber
Utang, Jenis-Jenis Kreditur, dan Penundaan
Kewajiban pembayaran Utang.
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG
A. Istilah Kepailitan
1. Kepailitan
Dalam kepustakaan, Algra mendefiniskan
kepailitan adalah Faillissementis een grechtelijk beslag
op het gehele vermogen van een schuldennar ten
behoeve van zijn gezamanlijkeschuldiser”,38 (Kepailitan
adalah suatu sitaan umum terhadap semua harta
kekayaan dari seorang debitor (si berutang) untuk
melunasi utang-utangnya kepada kreditor (si
berpiutang). Henry Campbell Black dalam Black Law
Dictionarynya menyatakan “bankrupt is the state or
condition of one who is unable to pay his debts as they
are, or became, due”.39 Agak lebih komprehensif, Jerry
Hoff menggambarkan kepailitan sebagai:
Bankruptcy is a general statutory attachment
encompass-ing all the assets of the debtor. The
bankruptcy only covers the masset. The personal status
of an individual willnot beaffected by the bankruptcy: he
is not placed under guardianship. A company also
continues to exist after he declaration of bankruptcy.
During the bankruptcy proceedings, act with regard to
the bankruptcy estate can only be performed by the
receiver, but other acts remain part of the domain of the
debtor’s corporate organs.40
Terminologi kepailitan sering dipaham secara
tidak tepat oleh kalangan umum. Sebagian dari mereka
menganggap kepailitan sebagai vonis yang berbau
38
Algra, N.E., Ileiding tot Het Nederlands Privaatresht, Tjeenk Willink,
Groningen, 1974, hlm. 425.
39
Henry Campbell Balck, Balck’s Law dictionary, West Publishing Co.,
St. Paul Meinnesota, 1979, hlm. 134.
40
Jerry Hoff, Indinesian Bankruptcy Law, Tatanusa, Jakarta, 1999, hlm.
11.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 21
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
tindakan kriminal serta merupakan suatau cacat hukum
atas subyek hukum, karena itu kepailitan harus
dijauhkan serta dihindari sebisa mungkin. Kepailtan
secara apriori dianggap sebagai kegagalan yang
disebabkan karena kesalahan dari Debitor dalam
menjalankan usahanya sehingga menyebabkan utang
tidak mampu dibayar. Oleh krena itu, kepailitan sering
didentikan sebagai pengempalang utang atau
penggelapan terhadap hak-hak yang seharusnya
dibayarkan kepada kreditor. Kartono menyatakan,
bahwa kepailitan memang tidak merendahkan
martabatnya sebagai manusia, tetapi apabil ia
berusaha untu memeproleh kredit, di sanalah baru
terasa baginya apa artinya sudah pernah dinyatakan
pailit. Dengan perkataan lain, kepailitan memengaruhi
“credietwaardigheid”-nya dalam arti yang merugikan, ia
tidak akan mudah mendapatkan kredit.41
Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang
bersifat komersial untum keluar dari persoalan utang
piutang yang menghimpit seorang debitor, di mana
Debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan
lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para
kreditornya. Sehingga, bila keadaan ketidakmampuan
untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo
tersebut disadari oleh Debitor, maka langkah untuk
mengajukan permohonan penetapan status pailit
terhadap dirinya (voluntary petition for self bankruptcy)
menjadi suatu langkah yang memungkinkan , atau
penetapan status pailit oleh pengadilan terhadap
debitor tersebut bila kemudian ditemukan bukti bahwa
debitor tersebut memang telah tidak mampu lagu
mmebayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih (involuntary petition for self bankruptcy).42
41
Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1982, hlm. 42.
42
Ricardo Simanjuntak, “esensi Pembuktian Sederhana dalam
Kepailita”, Dalam: emmy Yujhassarie (ed), Undang-Undang kepailitan dan
Perkembangannya, Puat Pengkajian Hukum, Jakarta, 2005 (selanjutnya disebut
sebagai Ricardo Simanjunta 1), hlm. 55-56.
22 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
edua istilah tersebut sekalipun berbeda
pengertiannya tetapi sangat erat terkait satu dengan
yang lain. Kedua istilah tersebut dapat dibedakan tetapi
tidak dapat dipisahkan seperti halnya dua sisi mata
uang logam. Dalam pengertiannya yang berbeda itu,
suatu Debitur yang sudah berada dalam keadaan
insolven, dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan
setelah dimintakan permohonan untuk memailitkan
Debitur yang bersangkutan. Insolvensi (insolvency)
adalah suatu keadaan keuangan (a financial state)
suatu subyek hukum perdata (legal entity), sedangkan
kepailitan (bankruptcy) adalah keadaan hukum (legal
state) dari suatu subyek hukum perdata (legal entity).
Suatu Debitur hanya dapat dinyatakan bankkrupt (pailit)
oleh penadilan apabila Debitur telah berada dalam
keadaan insolven. Tetapi bukan sebaliknya, yaitu suatu
Debitur yang telah insolven tidak demi hukum menjadi
bankrupt (pailit) tetapi harus terlebih dahulu
dimohonkan kepailitannya kepada pengadilan.43
43
Debt.org.Insovency, cfm https://www.debt.org/faqs/insolvency/.
44
Henry Campbell Balck, op., cit., p. 1074.
45
Bruggink, Rechtsreflecties, Terjemahan: Srief Sidahrta, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1996, hlm. 121.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 23
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
individual.46 Paton Mengatakan bahwa “A Principle is
the broad reason, which ies at the base of rule of
law.”47
Prinsip hukum merupakan ratio legis dari
norma hukum. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa
asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum
dan ia merupakan landasan yang paling luas bagi
lahirnya suau peraturan hukum, yang berarti bahwa
peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa
dikembalikan kepada asas-asas tersebut.48
Selanjutnya Satjipto menyitir pendapat dari Paton,
bahwa asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya
dengan melahirkan suatu peraturan hukum,
Melainkan akan tetap saja ada dan akan melahirkan
peraturan-peraturan selanjutnya. Asas huku ini pula
yang membuat hukum itu hidup tumbuh dan
berkembang dan ia juga menunjukkan bahwa hukum
itu bukan sekedar kumulan peraturan–peraturan
belaka, karena asas mengandung nilai-nilai dan
tuntunan-tutunan etis.
Prinisp-prinsip hukum dalam hal ini diperlukan
sebagai dasar dalam pembentukan aturan hukum
sekaligus sebagai dasar dalam memecahkan
persoalan yang timbul manakala aturan hukum yang
tersedia tidak memadai.49 Prinsip hukum atau asas
hukum merupakan salah satu obyek terpenting dalam
kajian ilmu hukum. Pembahasan tentang prinisp
hukum lazimnya disandingkan dengan aturan hukum
atau kaidah hukum untuk memperoleh gambaran
yang jelas menyangkut perbedaannya.50
46
Ibid., hlm. 119-120.
47
Paton, A Texbook of jurisprudence, penerbit Alumni bandung, 1986,
hlm. 85.
48
Satjipto Rahardjo, Ilmu hakum, Penerbit: Alumji Bandung, 1969, hlm.
85.
49
Y. Sogar Simamora, “Prinisp Hukum Kontrak dalam Pengadaan
Barang dan Jasa oleh Pemerintah”, Disertasi, Pascasarjana, Unair, 2005., hlm.
22-23.
50
Ibud,hlm. 23.
24 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa
asas atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum
konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang
umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari
peraturan yang konkret yang terdapat dalam dan
dibelakng setiap sistem hukum yang terjelma dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan hakim
yang merupakan hukum positif dan dapat
diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam
peraturan konkret tersebut.51
Prinsip hukum merupakan metanorma yang
dapat dijadikan landasan pembentukan suatu
peraturan perundang-undangan serta dapat pula
dijadikan dasar bagi hakim di dalam menemukan
suatu hukum terhadap kasus-kasus yang sedang
dihadapinya untuk diputuskan ketika hakim tidak
dapat merujuk kepada norma hukum positifnya. Di
samping itu pula prinsip hukum dapat dijadikan
paramate untuk mengukur suatu norma sudah pada
jalur yang benar (on the right track).
Penggunaan prinisp hukum sebagai dasar
bagi hakim untuk memutus perkara dalam kepailitan
memperoleh legalitasnya dalam Undang-Undang
Kepailitan. Undang-Undang Kepailitan secara
expresis verbis menyatakan bahwa sumber hukum
tidak tertulis termasuk pula prinsip-prinisp hukum
dalam kepailitan dapat dijadikan dasar bagi hakim
untuk memutus. Dalam pasal 8 ayat (5) UUK
menyatakan bahwa putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud pada Ayat (5) wajib memuat pula:
a. Pasal tertentu dari peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan dan/atu sumber
hukum tak tetulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili; dan
b. Pertimbangan hukum dan pendapat yang berada
dari hakim anggota atau ketua majelis.
51
Sudikno Mertokusumo, “Mengenal Hukum Suatu Pengantar”, Liberty:
Yogyakarta, 2005., hlm. 34.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 25
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
2. Prinsip Paritas Creditorium
Prinsip paritas creditorium, prinsip pari passu
prorata parte, dan prinsip structured prorata
merupakan prinsip utama penyelesaian utang dari
debitor terhadap para kreditornya. Vollmar
mengatakan bahwa “Een der belangrijks beginselen
van Nederlands burgerlijk recht s neergelegd in de
baeling, dat de verhaalsrechten van den schuldeiser
zich utstrekken over alle roerende goederen van den
schuldenaar, zowel die hij heeft als die hij zal
krijgen”.52
Prinsip paritas creditorium (kesetaraan
kedudukan para kreditor) menentukan bahwa para
kreditor mempunyai hak yang sama terhadap semua
harta benda debitor. Apabila debitor tidak dapat
membayar utangnya, maka harta kekayaan debitor
menjadi sasaran kreditor.53Prinsip paritas creditorium
mengandung makna bahwa semua kekayaan debitor
baik yang berupa barang bergerak ataupun barang
tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah
dipunyai debitor dan barang-barang di kemudian hari
akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian
kewajiban debitor.54
Filosofi dari prinsip paritas creditorium adalah
bahwa merupakan suatu ketidakadilan jika debitor
memiliki harta benda sementara utang debitor
terhadap para kreditornya tidak terbayarkan. Hukum
memberikan jaminan umum bahwa harta kekayaan
debitor demi hukum menjadi jaminan terhadap utang-
utangnya meskipun harta debitor tersebut tidak
berkaitan langsung dengan utang-utang tersebut.
Dengan demikian, prinsip paritas creditorium
berangkat dari fenomena ketidakadilan jika debitor
masih memiliki harta sementara utang debitor
52
Vollmar, De Faillesmentwet, Tjeenk Willink & Zoon N.V. Haarlem,
1948., hlm. 1.
53
Mahadi, Falsafah Hukum: Suatu Pengantar, Alumni :bandung, 2003.,
hlm. 135.
54
Kartini Mulyadi 1, op., cit., hlm. 168.
26 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
terhadap para kreditor tidak terbayarkan. Makna lain
dari prinsip paritas creditorium adalah bahwa yang
menjadi jaminan umum terhadap utang-utang debitor
hanya terbatas pada harta kekayaannya saja bukan
harta kekayaan sama sekali tidak terpengaruh
terhadap utang piutang debitor tersebut.
Kartini Mulyadi juga menyatakan bahwa kalau
diteliti, sebetulnya peraturan hukum kepailitan dalam UUK
itu adalah penjabaran Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH
Perdata, karenanya:
c. Kepailitan hanya meliputi harta pailit dan bukan
debitornya;
d. Debitor tetap pemilik kekayaannya dan merupakan
pihak yang berhak atasnya, tetapi tidak lagi berhak
meguasainya atau menggunakannya atau
memindahkan haknya atau mengagunkannya;
e. Sitaan konservatoir secara umum meliputi seluruh
harta pailit.55
Namun demikian, prinsip paritas creditorium
kendatipun merupakan respons atas ketidakadilan
tersebut, jika prinsip paritas creditorium diterapkan secara
letterlijk, maka akan menimbulkan ketidakadilan
berikutnya. Letak ketidakadilan prinsip paritas creditorium
adalah bahwa para kreditor berkedudukan sama antara
satu kreditor dengan kreditor lainnya. Prinsip paritas
creditorium tidak membedakan perlakuan terhadap
kondisi kreditor baik itu kreditor yang memiliki piutang
besar maupun kreditor yang memiliki piutang kecil, baik
kreditor yang memegang jaminan maupun kreditor yang
tidak memegang jaminan.
Dari ketidakadilan prinsip paritas creditorium
tersebut, maka prinsip ini harus digandengkan dengan
prinsip pari passu prorata parte dan prinsip structure
creditors.
3. Prinsip Pari Passu Prorata Parte
55
Kertini Mulyadi, “Actio Pauliana dan pokok-pokok Pengadilan Niaga:,
Dalam: Rudhy A. Lontoh et. Al, Penyelesaian Utang piutang Melalui Pailit atau
penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Alumni: bandung (selanjutnya
disebut sebagai kartini Mulyadi 4), 2001., hlm. 300.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 27
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Prinsip pari passu prorata parte berarti bahwa harta
kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk
para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara
proporsional antara mereka, kecuali jika antara para
kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus
didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.56
Prinsip ini menekankan pada pembagian hata debitor
untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditor secara
lebih berkeadilan dengan cara sesuai dengan proporsinya
(pond-pond gewijs) dan bukan dengan cara sama rata.
Jika prinsip paritas creditorium bertujuan untuk
memberikan keadilan kepada semua kreditor tanpa
pembedaan kondisinya terhadap harta kekayaan debitor
kendatipun harta kekayaan debitor tersebut tidak
berkaitan langsung dengan transaksi yang dilakukannya,
maka Prinisp pari passu prorata parte memberikan
keadilan kepada kreditor dengan konsep keadilan
proporsional, di mana kreditor yang memiliki piutang yang
lebh besar dari kreditor yang memiliki piutang lebh kecil
dari padanya. Seandainya kreditor disamaratakan
kedudukannya tanpa melihat besar kecilnya piutang,
maka akan menimbulkan suatu ketidakadilan sendiri.
Ketidakadilan pembagian secara paritas
creditorium dalam kepailitan akan muncul ketika harta
kekayaan debitor pailit lebih kecil dari jumlah utang-utang
debitor. Seandainya harta kekayaan debitor pailit lebih
besar dari jumlah seluruh utang-utang debitor, maka
penerapan prinsip pari passu prorata parte menjadi
kurang relevan. Demikian pula penggunaan lembaga
hukum kepailitan terhadap debitor yang memiliki aset
lebih besar dari jumlah seluruh utang-utangnya adalah
tidak tepat dan kurang memiliki relevansinya. Sejatinya
kepailitan akan terjadi jika aktiva lebih kecil dari passiva.
Kepailitan adalah sarana untuk menghindari perebutan
harta debitor setelah debitor tidal lagi memiliki
kemampuan untuk membayar utang-utangnya. Sejatinya
pula kepailitan digunakan untuk melindungi kreditor yang
56
Ibid.
28 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
lemah terhadap kreditor yang kuat dalam memperebutkan
harta debitor. Sehingga pada hakikatnya, prinsip pari
passu prorata parte adalah inheren dengan lembaga
kepailitan itu sendiri.
4. Prinsip Structured Creditors
Penggunaan prinsip paritas creditorium yang
dilengkapi dengan prinsip pari passu prorata parte dalam
konteks kepailitan juga masih memiliki kelemahan jika
antara kreditor tidak sama kedudukannya bukan
persoalan besar kecilnya piutang daja tetapi tidak sama
kedudukannya karena ada sebagian kreditor yang
memegang jaminan kebendaan dan/atau kreditor yang
memiliki hak preperensi yang telah diberikan oleh
undang-undang. Apabila kreditor yang memegang
jaminan kebendaan disamakan denga kreditor yang tidak
memegang jaminan kebendaan adalah bentuk sebuah
ketidakadilan. Bukanlah maksud adanya lembaga
jaminan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap
pemegang jaminan tersebut? Jika pada akhirnya
disamakan kedudukan hukumnya antara kreditor
pemegang jaminan kebendaan dengan kreditor yang
tidak memiliki jaminan kenbendaan, maka adanya
lembaga hukum jaminan menjadi tidak bermakna lagi.
Demikian pula dengan kreditor yang oleh undang-undang
diberikan keistimewaan yang berupa hak preferensi
dalam pelunasanan piutangnya jika kedudukannya
disamakan dengan kreditor yang tidak diberikan
preferensi undang-undang, maka untuk apa undang-
undang melakukan pengaturan terhadap kreditor-kreditor
tertentu dapat memiliki kedudukan istimewa dan
karenanya memiliki preferensi dalam pembayaran
terhadap piutang-piutangnya. Ketidakadilan seperti ini
diberikan jalan keluar dengan adanya prinsip structured
creditors (ada yang menyebut dengan nama prinsip
structured prorata).
Adapun prinsip structured creditors adalah prinsip
yang mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai
macam debitor sesuai dengan kelasnya masing-masing.
Dalam kepailitan kreditor diklasifikasikan menjadi tiga
57
J. Djohanjah, ‘Kreditor Prefern dan Separatis”, Dalam: Emmy
Yuhassarie (ed), Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, Pusat
Pengkajian Hukum, Jakarta, 2004, hlm. 138.
30 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
yang secara tidak sah sehingga menimbulkan suatu
keadaan ketidakadilan baik terhadap debitor itu sendiri
maupun terhadap kreditor khususnya kreditor yang
masuk belakangan sehingga tidak mendapatkan bagian
harta debitor untuk pembayaran utang-utang debitor.
Kreditor yang berkepentingan terhadap debitor
tidak hanya kreditor konkuren saja melainkan juga
kreditor pemegang hak jaminan kebendaan atau yang
sering disebut kreditor separatis dan kreditor yang
menurut ketentuan hukum harus didahulukan atau yang
disebut dalam rezim hukum kepailitan disebut kreditor
preferen. Memang kreditor separatis sudah memegang
jaminan kebendaan dan ia dapat mengeksekusi jaminan
kebendaan yang dipegangnya seolah-olah tidak terjadi
kepailitan, akan tetapi kreditur separatis tersebut masih
memiliki kepentingan yang berupa sisa tagihan yang tidak
cukup ditutup dengan eksekusi jaminan serta
kepentingan mengenai berlangusungnya usaha debitur.
5. Prinisp Utang
Dalam proses acara kepailitan konsep utang
tersebut sangat menentukan, oleh karena tanpa adanya
utang tidaklah mungkin perkara kepailitan akan bisa
diperiksa. Tanpa adanya utang tersebut maka esensi
kepailitan menjadi tidak ada karena kepailitan adalah
merupakan pranata hukum untuk melakukan likuidasi
aset debitor untuk membayar utang-utangnya terhadap
para kreditornya. Dengan demikian, utang merupakan
raison d’etre dari suatu kepailitan. Ned Waxman
mengatakan,
58
Ned Waxman, Bankruptcy, Gilbert Law Summaries, Hasrcourt Brace
Legal and Proesional Publication Inc, Chicago, 1992., hlm. 6.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 31
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Utang dalam kepailitan di Amerika Serikat disebut dengan
claim. Robert L. Jordan mengartikan claim diartikan
sebagai:
(1) Right to payment, whether or not such right is reduced
to judgment liquidated, unliquidated, fixed, contingent,
matured, unmatured, dispted, undisputed, legal, equit
able, secure or unsecured; or
(2) Right to an equitable remedy for breach of perfor
mance if such breach gives rise to a right to payment,
whether or not such right to an quitable remedy is
reduced to judgment, fixed, contingent, matured,
unmatured, disputed, undisputed, secured or
unsecured.
Ned Waxman membedakan definisi claim dengan
debt. Claim diartikan sebagaimana disitir oleh Robert
Jordan,
“Claim is a right to payment, even if it is
unliquidated, disputed, or contingent, it also
includes the “right to an equitable remedy for
breach of performance if such breach gives to
right to payment”. Sedangkan debt diartikan “a
debti sdifined as liablity an a claim”.59
Sutan Remy Sjahdeiny menyatakan bahwa
claim menurut Bankruptcy Code Amerika mengharuskan
adanya right to payment. Suatu right to payment dapat
merupakan claim sekalipun berbentuk contingent,
unliquidated, dan unmatured. Dengan demikian, apabila
kewajiban debitor tidak menimbulkan suatu right to
payment maka kewajiban debitor tersebut tidak dapat
digolongkan suatu claim. Selanjutnya Remy menyatakan
bahwa berdasarkan bahasa (language) yang dipakai oleh
undang-undang itu dan sejarah legislatif (legislative
history), praktis semua pengadilan berpendapat bahwa
definisi claim itu sangat expansive. Pertanyaannya adalah
sampai sejauh mana konsep claim dapat direntang
(expanded). Dengan menunjuk sejarah legislatif, dari
undang-undang tersebut salah satu pengadilan
59
Ned Waxman, Op., cit., hlm. 6.
32 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
berpendapat bahwa that language tersebut, salah satu
pengadilan berpendapat bahwa that language surely
points us in a direction, but provides litle indication of how
far we should travel.
Demikian pula dengan konsep utang dalam
hukum kepailitan Belanda yang juga diberlakukan di
Indonesia dengan asas konkordansi dalam peraturan
kepailitan, bahwa utang adalah suatu bentuk kewajiban
untuk memenuhi prestasi dalam suatu perikatan. Fred
B.G. Tumbuan menyatakan bahwa dalam hal seseorang
karena perbuatannya atau tidak melakuka sesuatu
mengakiatkan bahwa ia mempunyai kewajiban membayar
ganti rugi, memberikan sesuatu atau tidak memberikan
sesuatu, maka pada saat itu juga ia mempunyai utang,
mempunyai kewajiban melakukan prestasi. Jadi utang
sama dengan prestasi.
Di dalam hukum kepalilitan, prinsip utang selain
batasan dari definisi utang, terdapat konsep besarnya
nilai mutang untuk mdapat diajukan sebagai dasar
mengajukan permohonan pailit. Di Singapura terdapat
persyaratan minimu utang yang dijadikan dasar
pengajuan pailit, yakni sebesar S$10.000 (sepuluh ribu
dolar Singapura). Hal ini bisa dilihat dalam Undang-
Undang Kepailitan Singapura, yakni menyatakan sebagai
berikut;
In order to be entitled to present a bankruptcy
petition against e debtor, the creditor must satisfy
the following:
1. There nust be a creditor-debitor relationship;
2. The debt owned to the pettitionin creditor is not less
than S$ 10.000,- or such other sum prescribed by the
minister;
3. The debt is liquidated and payable immediately;
4. If the debt was incured otside Singapore, there is a
judgment or award which is enforceable by execution
in Singapore, and
5. The debtor is unable to pay the debt.60
60
Vide: Dennis Campbell, International Corporate Insolvency Law,
Butterworth & co 9Peblisher_ Ltd. Ondon, 1992, p. 492-493. Ricardo
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 33
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Demikian pula dalam sistem hukum kepailitan
Hongkong terdapat pembatasan niali minimum utan
sebagai mdasar pengajuan permohonan kepailitan yakni
minimum Hl$ 5.000,- Hal ini sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Kepailitan Hongkong, yang menyatakan
sebagai berikut:
The creditor can onl present a petition if the followin
conditions are satisfied:
1. The debt owned by the debtor to the petitioning
creditor or to two or more petitioning creditors in
aggregate must be at least HK$ 5.000,’ and
2. The debt is liquidated sum payable immediatelly or at
some certain time in the future; and
3. The act of bankruptcy relied on must have occured
wthin three montas of presentation of the petition; and
4. The debtornhas or had the requisite nexus with
Hongkog:
a. The debtor is domicilied in Hongkog; or
b. Within a year before the presentation of teh
petition either ordinaryly resided in Hongkong, or
has a dweling-house or place of business in
Hongkong, or carried on business in Hongkong
either personally or by an agenet: or
c. Within a year before the presentation of the
petition was a member of a firm or partnership
which carried on business in Hongkong.
Pembatasan jumah nilai nominal utang sebagai
dasar pengajuan permohonan kepailitan dimaksudkan
untuk membatasi permohonan pailit terhadap kreditor
yang memiliki julah utang yang sedikit (di bawah
minimum) dan pembatasan skala penanagnan kepailitan.
Disa oing itu pula, pembatasan tesebut ditujukan sebagai
bentuk perlindungan hukum terhadap kreditor mayoritas
dari kesewenang-wenangan kreditor minoritas.
Pembatsan nilai minimum utang hanya berkaiatan
dengan legal standing in judicio (kewenangan untuk
61
Emmy Yihassarie, Op., Cit., hlm. XIX.
62
Tri Hernowo, Op.Cit., hlm. 233
63
Emmy Yjhassarie Op., Cit., hlm. XIX
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 35
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
pendapat dari Professor Wessel di dalam buku Faillit
Verklaring, menyatakan bahwa sehubungan dengan
permohonan pernyataan pailit perlu kiranya diingat bahwa
sita jaminan (conservatoir beslaglegging) maupun
permohonan pernyataan pailit adalah prosedur penagihan
yang tidak lazim (oneigenlijke incassoprocedures).
Dinamakan tidak lazim karena kedua upaya hukum
tersebut disediakan sebagai sarana tekanan (pressie
middel) untuk memaksa pemenuhan kewajiban oleh
debitor.64
Bahwa segenap harta kekayaan debitor adalah
menjadi jaminan terhadap utang dari para kreditor.
Namun demikian, prosedur untuk melaksanakan hak-hak
kreditor ini tidak semudah seperti yang diharapkan oleh
para kreditor tersebut. Hukum menyediakan pranata
hukum untuk merealisasikan jaminan harta kekayaan
debitor tersebut. Pranata hukum itu adalah yang utama
melalui lembaga kepailitan. Di sinilah letak prinsip debt
collection dari kepailitan, yakni berfungsi sebagai sarana
pemaksa untuk merealisasikan hak-hak kreditor melalui
proses likuidasi terhadap harta kekayaan debitor.
Terdapat pranata lain, yakni dengan cara executorial
attachment (sita eksekutorial), sebagaimana yang
dikemukakan oleh Theodoor Bakker menyatakan,
bahwa kepailitan menawarkan pada kreditur sebagai
collection tool yang lebih kuat me nghadapai debitornya.
Setiawan berpendapat bahwa pada prinsipnya,
suatu peraturan kepailitan atau bankruptct law adalah
debt collection law dan bahwa kepailitan merupakan
suatu aksi kolektif (collective action) dalam debt
collection. Douglas G. Bord menyatakan bahwa hukum
kepailitan bertujuan untuk diguakan sebagai alat colletive
proceeding.
64
Fred BG Tumbuan, “Komentar atas Catatan Terhadap Putusan
Nomor 14 K/N/2004 jo Nomor 18/Pailit/2004/P.Niaga/Jakarta Pusat”, Dalam:
Analisa Putusan Kepailitan pada Pengadilan Niaga Jakarta, Valerie Selvie
Sinaga, FH. UNIKA Atmajaya, Jakarta (selanjutnya disebut sebagai Fred BG
Tumbuan 2), 2005, hlm. 11.
36 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Debt Collective principle merupaka prinsip yang
menekankan bahwa utang dari debitor harus dibayar
dengan harta yang dimiliki oleh debitor secara segera
mungkin untk menghindari itikad buruk dari debitor
dengan cara menyembunyikan dan menyelewengkan
terhadap segenap harta bendanya yang sebenarnya
adalah sebagai jaminan umum bagi kreditorya. Sebagai
suatu alat untuk melakukan pengembalian utang-utang
dari debitor dengan cara melakukan likuidasi asetnya,
maka kepailitan lebih difokuskan untuk melakukan
pemberesan aset-aset debitor dengan jalan melikuidasi
aset-aset debitor. Manifestas dari prinsip debt collection
dalam kepailitan adalah ketentuan-ketentuan untuk
melakukan pemberesan aset dengan jalan likuidasi yang
cepat dan pasti, prinsip pembutian sederhana,
diterapkannya putusan kepailitan secara serta-merta
(uitvoerbaar bij voorrraad), adanya ketentuan masa
tunggu (stay) bagi pemegang jaminan kebendaan, dan
kurator sebagai pelaksana pengurusan dan pemberesan.
65
Henry Campbell Black, Op. Cit., hlm. 364-363.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 37
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Yuhassarie menjabarkan prinsip debt adjusment
merupakan suatu aspek dalam hukum kepailitan yang
dimaksudkan untuk mengubah hal distribusi dari para
kreditor sebagai suatu group.
Dalam perkembangannya prinsip debt pooling ini
lebih luas konsepnya dari sekedar melakukan distribusi
asset pailit terhadap kreditornya secara pari passu
prorata parte maupun secaa sructured creditor
(pembagian berdasarkan kelas kreditor). Prinsip ini
mencakup pula pengaturan dalam sistem kepailitan
terutama berkaitan dengan bagaimana harta kekayaan
pailit harus dibagi di antara kreditornya. Penjabaran
sistem ini akan berkaitan dengan kelembagaan yang
terlibat dalam proses kepailitan mulai dari lembaga
peradilan yang berwenang, hukum acara yang
digunakan, serta terdapatnya hakim komisaris dan
kurator dalam pelaksanaan kepailitan.
Sejatinya dasar pertimbangan diundangkannya
aturan tentang kepailitan adalah untuk memaksimalkan
perolehan para kreditor secara keseluruhan, atau
merespons pada masalah common pool problem. Prinsip
debt pooling juga merupakan artikulasi dari kekhususan
sifat-sifat yang melekat di dalam proses kepailitan, baik
itu yang berkenaan dengan karakteristik kepailitan
sebagai penagihan yang tidak lazim (oneigenlijke
inacaaoprocedures), pengadilan yang khusus menangani
kepailitan dengan kompetensi absolutnya yang berkaitan
dengan kepailitan dan masalah yang timbul dalam
kepailitan, terdapatnya hakim komisaris dan kurator, serta
hukum acara yang spesifik kendatipun merupakan varian
dari hukum acara perdata biasa.
8. Debt Forgiveness
Prinsip debt forgiveness (debt forgiveness
principle) mengandung arti bahwa kepailitan adalah tidak
identik hanya sebagai pranata penistaan terhadap debitor
saja atau hanya sebagai sarana tekanan (pressie middel),
akan tetapi bisa bermakana sebaliknya, yakni,
merupakan pranata hukum yang dapat digunakan
66
Hikmahanto Juwana, “Relevansi Hukum Kepailitan dalam Transaksi
Bisnis Internasional”, dalam: emmy Yuhassarie (ed) Kepailitan dan ransfer Aset
Secara lemawan hukum, Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, hlm. 290-291.
67
Rahmat Bastian, “Prinsip Hukum kepailitan Lintas Yurisdiksi”, Dalam:
emmy Yhassarie (ed), Kepailita dan Transfer Aset Secara melawan hukum,
Pusat Pengkajian Hukum, Jkarta, 2005, (selanjutnya disebut sebagai Rahmat
bastian 2), hlm. 299.
68
Ricardo simanjuntak, “Ketentuan Hukum Internasional
42 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
negara untuk saling membuka pintu penjaga yang
bernama “prisip teritorial” negara masing-masing atas
keinginan dasar untui memberlakukan putusan dari
negara masing-masing secara tanpa batas negara (cross
border).
Apabila terdapat perbenturan antara prinsip
universal dengan prinsip teritorial, maka yang akan
dipakai adalah prinsip teritorial. Hal ini karena
kedaualatan suatu negara akan berada di atas kekuatan
hukum manapun dari pendekatan asli dari suatu cross
border insolvency adalah prinsip teritorial. Prinsip teritorial
akan dikesampaingkan apabila terdapat kesepakatan-
kesepakatan internasional (treatis) atau suatu negara
tersebut sama-sama menganut prinsip universal. Pada
dimensi lain, bisa diupayakan dengan jalan mengajukan
permohonan pailit ke beberapa negara yang terdapat
harta debitor tersebut.
69
Frank H. Easter Brook, Op.cit., hlm. 405.
70
Kevin J. Delanay, Op. Cit, hlm. 17.
44 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Berangkat dari proposisi terakhir ini, maka
disamping kepailitan terhadap PT, juga diperlukan suatu
lembaga sebagai jalan lain dari putusan kepailitan
perusahaan. Lembaga yang bisa digunakan sebagai
alternatif dari kepailitan perusahaan adalah lembaga
restrukturisasi perusahaan. Restrukturisasi PT ini jika
dilakukan secara sisstimatis dan matang akan
menguntungkan di samping terhadap perusahaan yang
bersangkutan selaku debitor maupun kreditor dari yang
bersangkutan, dan juga secara luas akan memperkuat
basis perekonomian. Tujuan utama dari restrukturisasi
secara teoritis adalah mempertahankan perseroan selaku
debitor untuk dapat terus menjalankan usahanya sebagai
suatu going concern dengan memberikan kesempatan
kepada perusahaan yang memiliki utang kepada kreditor-
kreditor ang telah dapat ditagih dan belum dapat
membayar tetapi usahanya memiliki prospek yang baik,
untuk memperoleh kelonggaran waktu yang wajar dari
kreditor-kreditornya itu guna dapat melunasi utang-
utangnya, baik dengan atau tanpa memperbaharui syarat-
syarat perjanjian kredit, yang merupakan upaya alternatif
dari penyelesaian utang melalui kepailitan.
Dalam kepustakaan, ada berbagai macam bentuk
sebagai upaya melakukan restrukturisasi, yaitu, antara
lain:
1. Melakukan penjadwalan kembali pelunasan utang
(rescheduling), termasuk pemberian masa tenggang
(grace period) ang baru atau pemberian moratorium
kepada perusahaan debitor;
2. Melakukan persyaratan kembali perjanjian utang
(recondisioning);
3. Pengambilalihan utang, baik sebagian maupun
seluruhnya, oleh pihak lain yang dengan
pengambialihan itu menggantikan kedudukan debitor
sebagai debitor pengganti untuk jumlah utang yang
diambilalih;
4. Pengambilalihan tagihan dari satu atau lebih kreditor
oleh pihak lain, baik untuk sebgaian atau seluruh
tagihan, dan yang dapat dilakukan baik oleh kreditor
71
Mark J. Roe, “Bankruptcy and Debt: A New Model for Corporation
Reorganization”, In: Jegdeep S. Bhandari and Lawrence A. Weiss, ed, Corporate
Bankruptcy: economic and Legal Persepective, Cambridge University Press,
New York, hlm. 351.
46 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
2. Litigation in which the court impose a solution and capital
structure; and
3. Although rarely even noted as a serious possibility, use of
the market.72
Apabila proses restrukturisasi perseroan mengalami
jalan buntu, maka jalan keluarnya adalah kepailitan. Dengan
demikian, pada prinsipnya kepailitan perseroan terbatas
adalah upaya rerkahir yang dilakukan untuk menyelesaiakan
problem perseroan yang terkait dengan kebagrutan
perseroan terbatas tersebut. Secara prinsip bahwa kepailita
bukanlah semata sebuah upaya untuk mempermudah
sebuah usaha bak itu milik perorangan maupun berbentuk
korporasi menjadi bangkrut, mleiankan kepailitan73 adalah
salah satu upaya untuk mengatasi kebangrutan sebuah
usaha.
Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa kepailitan
seyogyanya hanya merupakan ultimum remedium.74 Ricardo
Simanjuntak menyatakan bahwa kepailitan khususnya
corporate insolvecy sebenarnya merupakan exit form
financial distres, jadi merupakan suatu jalan keluar dari
persoalan yang membelit yang secara financial sudah tidak
bisa lagi terselesaikan.75 Jadi terdapat suatu fakta bahwa
telah ada suatu kewajiban yang secara teknis membuat
perusahaan tersebut tidak mampu membayar, maka
daripada ia berhubungan baik secara emosional maupu
secara bisnis dengan setiap pihak-pihaknya, satu-satunya
cara adalah ia akan meminta untuk dimohonkan pailit.
Stayus pemohon pailit akan membuat harta yang tersisa
dibagikan dan ia akan keluar kembali kemudian
membuatusaha yang baru, kira-jira itulah definisi dari
bankrupt secara corporate dari beberapa texbook dari
Amaerika dan Ingris.76
Tri Hernowo yang menyitir pendapat Volkmar
Gessner bahwa fungsi kepailitan penghukuman dalam
72
Ibid, hlm. 351.
73
Ibid.
74
Sutan Remy Syahdeini, Op., Cit., hlm. 59.
75
Ricardo simanjuntak 1, op., cit., hlm. 30.
76
Ibid.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 47
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
kepailitan lambat laun akan kehilangan maknanya karena
digantikan oleh fungsi sistem kompetisi sebagaimana dianut
dalam teori ekonomi liberal77 Kepailitan tidak lagi diliat
sebagai suatu kesalahan yang dilakukan oleh atau
menjatuhkan martabat individu, Ketidakmampuan si pailit
dianggap lebh disebabkan ketidakmampuan nya untuk
memenuhi permintaan pasar. Kepailitan dilihat sebagai suatu
resiko yang tidak dapat dicegah dalam perdagangan bebas.
Pailitnya debitor dianggap sebagai kontribusi fungsional
terhadap reorganisasi dan stabilisai permanen atas sistem
ekonomi. Stigma corporate failure sekarang berubah menjadi
corporate rescue.78
Prinsip commercial exit from financial dustress dari
kepailitan sekaligus juga memberikan makna bahwa
kepailitan adalah merupakan solusi dari masalah
penyelesaian utang debitor yang sedang mengalami
kebangrutan dan sebukan sebaliknya bahwa kepailitan justru
digunakan sebagai pranata hukum untuk membnagkrutkan
suat usaha. Kemudahan untuk mempailitkan suay debitor
sebanrnya tidak bertentangan dengan prinsip ini sepanjang
emudahan untuk mempailitkan adalah dalam konteks
penyelesaian utang karena adanya kesulitan finansial dari
usaha debitor.
Prinsip commercial exit from financial distress
merupakan prinsip yang ditemukan dalam kepailitan
perseroan terbatas. Secara teoritis, kepailitan PT harus
dibedakan dengan kebangrutan PT, Pembubaran PT, dan
Likuidasi PT. Kebnagrutan PT adalah suatumkeadaan
dimana perusahaan mengalami deterioasi adaptasi
perusahaan dengan lingkungannya yang sampai membawa
akibatpada rendahnya kinerja untuk jangka waktu tertentu
yang berkelanjutan yang pada akhirnya menjadikan
perusahaan tersebut kehilangansumber daya dan dana yang
dimiliki sebagai akibat dari gagalnya perusahaan melakukan
pertukaran yang sehat antara keluaran (output) yang
dihasilkan dengan masukan (input) baru yang harus
77
Volkmar Gessner et.al, Three Functions of Bankruptcy, The West
Germany Case, in Law an Society, 1978, hlm. 76.
78
Tri Hernowo, Op., Cit., hlm. 218-219.
48 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
diperoleh.79 Mirip dengan kondisi Kebangrutan perusahaan
adalah apa yang dinamakan perusahaan trunoround
menggambarkan situasi di mana suatu perusahaan
mengalami gangguan karena krisis cashflow atau krisis laba.
Meskipun demikian, definisi turnaround yang dimaksud disini
mempunyai arti yang lebih luas di mana perusahaan
seringkali menunjukkan tanda-tanda atau gejala-gejala jauh
sebelum adanya krisis, mirip dengan orang yang sakit pada
awalnya menunjukkan tanda-tanda akan sakit.80
Adapun pembubaran perseroan terbatas (winding up)
adalah merupakan suau langkah hukum yang diambil
terhadap PT atas alasan-alasan hukum tertentu, antara lain,
janga waktu berdiri dari PT tersebut telah berakhir ataupun
alasan-alasan hukum atupun alasan komersial yang
mengharuskan badan hukum tersebut bertanggung jawab
kepada RUPS ataupun otoritasnya dicabut dibubarkan, baik
melalui RUPS dan/atau melibatkan peran pengadilan negeri
di mana kemudian untuk mmelakukan pengurusan dan
pemberesan harta badan hukum dalam likuidiasi tesebut
diangkatlah tim likuidator yang bertanggungjawab kepada
RUPS ataupun otoritas yang menaungi usaha yang
dijalankan oleh badan hukum tersebut.81
Elips dalam Kamus Hukum Ekonominya mengartikan
liquidation sebagai pembubaran perusahaan diikuti dengan
proses penjualan harta perusahaan, penagihan piutang,
pelunasan uatang, serta penyelesaian harta perusahaan,
penagihan piutang, pelunasan utang, serta penyelsaian sisa
harta atau utang antara pemegang saham.82
Dari teori dan ketentuan pembubaran dan likuidasi
PT tersebut di atas, maka secara jelas ada perbedaan antara
pembubaran dengan likuidasi. Likuidasi merupakan tindakan
79
Suwarsono muhammad, Op., Cit., 2001, hlm. 5.
80
Ichael Teng, op., cit., hlm. 3.
81
Ricardo Simanjuntak, “Kepailitan dan Likuidasi (Study Kasus: BPPN
vs PT. Muara Alas Prima)”, Dalam: Valerie Selvie Sinaga ((ed), Analisa Putusan
Kepailitan Pada Pengadilan Niaga Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Katolik
Atmajaya, Jakarta (selanjutnya disebut sebagai Ricardo Simanjuntak 3), 2005,
hlm. 185.
82
Eliips, Kamus Hukum Ekonomi Elips, Penerbit Proyek Elips, Jakarta,
1997, hlm. 105.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 49
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
atau langkah pemberesan aset, Sedangkan pemberesan
aset merupakan langkah yang dilakukan tidak saja terhadap
badan hukum yang telah dibubarkan di luar kepailitan tetapi
juga merupakan langkah pemberesan aset yang dilakukan
terhadap debitor yang telah donyatakan pailit. Hanya terjadi
pernedaan pengaturan norma natara ikuidasi dalam
pembubaran perseroan terbatas secara umum dengan
likuidasi dalam kepailitan. Likuidasi dalam pembubaran
perseroan terbatas secara umum dilakukan oleh likuidator
yang tunduk pada UUPT, sedangka likuidasi dalam
kepailitan dilakukan oleh kurator yang tunduk pada undang-
undang kepailitan.
Di samping perbedaan tersebut, ada benang merah
antara likuiditas dalam kepailitan dengan likuidasi dalam
pembubaran perseroan terbatas secara umum. Benang
merah tersebut seperti diungkapkan oeh Ricardo
Simanjuntak bahwa dalam melaksanakan misi tersebut,
maka dalam proses kepailitan diangkat seorang atau lebih
kurator untuk melakukan pengurusan dan pemberesan
(likuidasi) terhadap harta pailit yang telah terlebih dahulu
diletakan dalam status sita umum (public attachment) dan
begitu juga segera setelah pembubaran perseroan
diangkatlah likuidator (tim likuidator) untuk melakukan
pemberesan (likuidasi) terhadap harta-harta dalam likuidasi.
Artinya, seluruh tindakan dari kurator maupun likuidator
tersebut adalah dalam upaya untuk melakukan
maksimalisasi jumlah dan nilai aset yang ada untuk segera
dijual di mana hasil dari penjualan aset tersebut akan
dibagikan kepada setiap kreditor dari perusahaan yang
dipailitkan ataupun dibubarkan tersebut secara prorata.
83
Sutan Remy Syahdeini, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan
Memahami UU No. 37 Tahun 204 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran, Jakarta: Prenadamedia Group, Juli 2016, hlm. 5-6.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 51
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
3. Menjamin agar pembagian harta kekayaan Debitur
diantara para Kreditursesuai dengan asas pari pasu
(membagi secara proporsional harta kekayaan Debitur
kepada para Kreditur Konkuren atau unsecured
creditors berdasarkan perimbangan besarnya tagihan
masing-masing). Di dalam hukum Indonesia, asas pari
passu dijamin oleh Pasal 1132 KUH Perdata . Hukum
Kepailitan menjamin pembagian secara adil terhadap
hasil likuidasi harta kekayaan Debitur di antara para
Krediturnya;
4. Memastikan siapa saja para Kreditur yang memiliki
tagihan (piutang) terhadap Debitur pailit dengan
melakukan pendaftaran para Kreditur;
5. Memastikan kebenaran jumlah dan keabsahan piutang
para kRediturdengan melakukan verifikasi;
6. Memberikan perlindungan kepada Debitur yang
beritikad baik agar penagihan piutang kreditur tidak
langsung dilakukan terhadap para Debitur tetapi
melakukan likuidator atau kurator setelah Debitur
dinyatakan pailit oleh pengadilan;
7. Melindungi para Kreditur dari Debitur yang hanya
menguntungkan Kreditur tertentu.
8. Melindungi para Kreditur dari seama Kreditur;
9. Pada US Bankruptcy Code, undang-undang tersebut
memberikan fresh start bagi Debitur pailit yang beritikad
baik setelah seluruh harta kekayaannya dilikuidasi dan
hasilnya dibagikan kepada para Krediturnya. Sekalipun
nilai harta kekayaan Debitur setelah dilikuidasi atau
dijual oleh likuidator tiak cukup untuk melunasi seluruh
utang-utangnya kepada mpara Krediturnya, tetapi
Debiur tersebut tidak lagi diwajibkan untuk melunasi
utang-utang tersebut. Kepada Debitur tersebut diberi
kesempatan untuk memperoleh financial fresh start.
Kepada Debitur diberikan discharge (pembebasan
utang). Dengan demikian, Debitur tersebut dapagt
memulai kembali melakukan bisnis tanpa dibebani
dengan utang-utang yang menggantung dari masa
lampau sebelum putusan pailit. Menurut UUK-PKPU,
financial fresh start tidak diberikan kepada Debitur, baik
84
Baca pula: wibowo Tunardy, Actio Paliana, cfm
http://www.jurnalhukum.com/actio-pauliana/;Info Hukum, Actio Pauliana, cfm
http://hukumindonesiaterkini.blogspot.com/2012/07/actiopauliana.html.
54 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
merugikan kepentingan Kreditur yang dilakukan
sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
(2) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan
bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan,
Debitur dan pihak dengan siapa perbuatan hukum
tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya
mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut
akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditur.
Adanya ketentuan mengenai harta kekayaannya
melunasi utang kepada satu atau lebih Kreditur atau
mengalihkanya actio pauliana(bankruptcy clawback
provision) dalam kepailitan sangat materiel. Apabila
seorang Debitur melunasi utang kepada satu atau
lebih Kreditur atau mengalihkan harta kekayaannya
sebelum permohonan pailit diajukan kepada
Pengadilan, Kurator diberi hak untuk membatalkan
transaksi tersebut dan memperoleh kembali harta
kekayaan itu demi kepentingan para kreditur
Konkuren (Unsecured Creditors).
Apabila debitur telah diputuskan pailit oleh pengadilan
Niaga, sekalipun terhadap putusan tengadilan Niaga
di batalkan ditingkat kasasi atau ditingkat peninjauan
kembali, menurut Pasal 16 ayat (1) UUK-PKPU
(1) Kurator berwenang melaksanakan tugas
pengurusan dan/atau pemberesan atas Harta
Pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan
meskipun terhadap putusan tersebut diajukan
kasasi atau peninjauan kembali.
Pertanyaannya adalah bagaimana pelaksanaan actio
pauliana yang telah dilakukan oleh Kurator apabila
ternyata terhadap putusan pailit Pengadilan Niaga
dibatalkan ditingkat kasasi atau ditingkat peninjauan
kembali. Hal tersebut diatur dalam Pasal 16nayat (2)
UUK-PKPU yang berbunyi sebagai berikut:
(2) Dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan
sebagai akibat adanya kasasi atau peninjauan
kembali, segala perbuatannya yang telah
dilakukan oleh Kurator sebelum atau pada tanggal
85
Milman, David & Christopher Durrant, Corporate Insolvency: Law and
Practice, London: mSweet & Maxwell, 1987, page. 175-176.
56 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
4. Tujuan UUK-PKPU
Dalam Penjelasan Umum UU No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang dikemukakan mengenai beberapa
faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang, yaitu:86
Pertama, untuk menghindari perebutan harta Debitur
apabila dalam waktu yang sama ada beberapa Kreditur
yang menagih piutangnya dari Debitur;
Kedua, untuk menghindari adanya Kreditur pemegang
Hak Jaminan kebenaaan yang menuntut haknya dengan
cara menjual barang miliki Debitur tanpa memperhatikan
kepentingan Debitur atau para Kreditur lainnya;
Ketiga untuk menghindari adanya kecurangan-
kecurangan yang dolakuka oleh salah seorang Kreditur
atau Debitur sendiri. Misalnya, Debitur berusaha untuk
memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa
orang kreditur tertentu sehingga Kreditur lainnya
dirugikan, atau7 adanya perbuatan curang dari Debitur
untuk mmenyembunyikan harta kekayaannya dengan
maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap
para Kreditur.
Ketiga hal itulah yang menurut pembuat UU No. 37 Tahun
2004 tentang UUK-PKPU yang merupakan tujuan
dibentuknya undang-undang tersebut yang merupakan
produ hukum nasional yang sesuai dengan kebutuhan
dan pembangunan hukum masyarakat.
86
Sutan Remy Sjahdeini, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan:
Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Prenadamedia Group, 2016, hlm. 9.
87
Ibid., Sutan Remy Sjahdeini, hlm. 10.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 57
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Utang, Lembaran negara Republik Indonesia. 2004,
No. 131
3. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, khususnya Pasal 104 dan Pasal
142.
88
Ibid., Sutan Remy Sjahdeini, hlm. 11
58 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
mengatur mengenai bagaimana cara membagi hasil
penjualan harta kekayaan debitur untuk melunasi piutang-
piutang masing-masing Kreditur berdasarkan urutan
tingkat prioritasnya itu. Sdelain itu harus pula ditentukan
oleh undang-undang lain mengenai oleh siapa
pembagian itu dilakukan (yaitu oleh Kurator) dan
bagaimana caranya melakukan pembagiannya. Undang-
undang yang dimaksud adalah Undang-Undang
kepailitan. Pada saat ini. Undang-Undang kepailitan yang
berlaku di Indonesia adalah UU No. 37 Tahun 2004,
LNRI, Tahun 2004 No. 131.
Sebelum harta kekayaan Debitur dibenarkan oleh
hukum untuk dijual dan hail penjualan tersebut kemudan
dibagi-bagikan kepada para Krediturnya, terlebih dahulu
harta kekayaan Debitur itu harus diletakkan oleh
pengadilan di bawah sita umum (dilakukan penyitaan untk
kepentingan semua Krediturnya dan bukan untuk kreditur
tertentu saja). Apabila harta kekayaan Debiur tidak
terlebih dahulu diletakkan di bawah sita umum sebelum
dijual, maka yang akan terjadi iaah para Kreditur akan
berebutan saling dahlu mendahului untuk memperoleh
pelunasan dari harta kekayaan Debitur. Agar harta
kekayaan Debitur tersebut secara hukum dapat
diletakkan di bawah sita umum, maka harus terlebih
dahulu Debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan.
Bagaimana tata caranya agar seorang Debitur dapat
dinytakan pailit oleh pengadilan, diatur pula oleh Undang-
Undang kepailitan.
Dalam Undang-Undang Kepailitan juga diatur
tentang bagaimana caranya menentukan kebenaran
mengenai adanya (eksistensi) suatu piutang (tagihan)
seorang Kreditur, sahnya piutang (tagihan) tersebut dan
jumlah yang pasti dari piutang (tagihan) tersebut, serta
cara membagi hasil penjualan harta kekayaan Debitur
kepada para Kreditur. Undang-Undang kepailitan juga
mengatur mengenai upaya perdamaian yang dapat
ditempuh oleh Debitur dengan para Krediturnya, baik
sebelum Debiur dinhyatakan pailit oleh pengadilan atau
setelah Debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan.
89
Munir Fuadi, PengantarHukum Bisnis (Bandung: citra Aditya Bakti,
2001), hlm. 82.
62 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang
kepada kreditor”.
Permohonan PKPU dapat diajukan oleh kreditor
maupun debitor kepada Pengadilan Niaga. Permohonan
PKPU dapat diajukan sebelum ada permohonan pailit
yang diajukan oleh debitor maupun kreditor atau dapat
juga diajukan setelah adanya permohonan pailit asal
diajukan paling lambat pada saat sidang pertama
pemeriksaan permohonan pernyataan pailit. Namun jika
permohonan pailit dan PKPU diajukan pada saat yang
bersamaan maka permohonan PKPU yang akan
diperiksa terlebuh dahulu.
Pada hakekatnya tujuan PKPU adalah untuk
perdamaian. Fungsi perdamaian dalam proses PKPU
sangat penting artinya, bahkan merupakan tujuan utama
bagi si debitor sebagai orang yang paling mengetahui
keberadaan perusahaa, bagaimana keberadaan perusa-
haannya ke depan baik potensi maupun kesulitan
membayar utang-utangnya dari kemungkinan-kemungki-
nan masih dapat bangkit kembali dari jeratan utang-utang
terhadap kreditornya.
Oleh karenanya langkah-langkah perdamaian ini
adalah untuk menyusun suatu strategi baru bagi si debitor
menjadi sangat penting. Namun karena faktor kesulitan
pembayaran utang-utang yang mungkin segera jatuh
tempo yang mana sementara belum dapat diselesaikan
membuat si debitor terpaksa membuat suatu konsep
perdamaian, yang mana konsep ini nantinya akan
ditawarkan kepada pihak kreditor, dengan demikian si
debitor masih dapat nantinya, tentu saja jika perdamaian
ini diseujui oleh para kreditor untuk meneruskan
berjalannya perusahaan si debitor tersebut. Dengan kata
lain tujuan akhir dari PKPU ini ialah dapat tercapainya
perdamaian antara debitor dan seluruh kreditor dari
rencana perdamaian yang diajukan/ditawarkan si debitor
tersebut.
Apabila rencana perdamaian tidak tercapai atau
Pengadilan menolak rencana perdamaian, maka
Pengadilan wajib menyatakan Debitor dalam Keadaan
90
http://human lawoffice.blogspot.co.id/2014/04/pengertian-kepailitan-
dan-pkpu-html.
64 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
b. Tagihan biaya pemeliharaan pengawasan atau
pendidikan yang sudah harus dibayar dan hakim
pengawas harus menentukan jumlah tagihan yang
sudah ada dan belum dibayar sebelum penundaan
kewajiban pembayaran utang yang bukan merupakan
tagihan dengan hak untuk diistimewakan.
c. Tagihan yang diistimewakan terhadap benda tertentu
milik debitur maupun terhadap seluruh harta debitur
yang tidak tercakup pada point b”.
Berdasarkan pengertian tenta kepailitan dan
PKPU di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam
kepailitan, harta debitur akan digunakan untuk membayar
semua utang-utangnya yang sudah dicocokkan,
sedangkan dalam PKPU harta debitur akan dikelola
sehingga menghasilkan dan dapat doigunakan untuk
membayar utang-utang debitur.
b. Landasan Hukum
Pelaksanaan Tugas Pokokdan Fungsinya BHP
berpedoman pada Pasal 2 dan 3 Surat Keputusan menteri
Kehakiman Republik Indonesia tanggal 19 Juni 1980
Nomor M.01.PR.07.01-80 Tahun 1980 Tentang Organisasi
dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan.
Dalam Pasal 2 dan 3 Surat keputusan Kehakiman
tersebut, memuat Tugas Pokok dan Fungsi Balai jharta
Peninggalan sebagai berikut:
Pasal 2 : Tugas BHP ialah mewakili dan mengruus
kepentingan orang-orang yang kaena hukum
atau keputusan Hakim tidak dapat menjalankan
sendiri kepentingannya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3 : Untuk menyelenggarakan tugas tersebut pada
pasal 2, BHP mempunyai fungsi:
Melaksanakan penyelesaian masalah kepailitan
sesua dengan peraturan perundang-undangan.
e. Pengertian
Kepailitan adalah sita umum atas semua
kekayaan debitor pailit yang pengawasan dan
pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah penga-
wasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Kepailitan. Artinya bahwa pailit meru-
pakan suatu keadaan dimana seseorang debitor tidak
mampu melunasi utang-utangnya.
Pernyataan pailit harus didahului dengan
pernyataan Pengadilan Niaga, baik atas perohonan
debitur sendiri maupun atas permintaan seorang atau
lebih krediturnya. Dalam hal pemberesan atas harta
terpailit, undang-undang memberikan kewenangan tidak
hanya kepada Balai harta peninggalan tetapi juga
kepada Kurator Swasta. Namun demikian undang-
undang ini tidak memberikan kewenangan kepada BHP
bertindak selaku pengurus dalam hal Penundaan
Kewajiban pembayaran Jutanag (PKPU), tetapi kepada
kurator swasta atau perorangan yang gterdaftar pada
kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan.
2. Kurator Swasta
Kedudukan Kurator dalam kepailitan pengertian
Kurator adalah orang perseorangan yang diangkat oleh
pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta
debitor pailit di bawah pengawasan hakim pengawas.
Dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat
Kurator dan seorang Hakim Pengawas yanjg ditunjuk dari
Hakim Pengadilan iaga. Kurator sendiri dalam UUK-PKPU
disebutkan dalam kedudukannya haris independen, tidak
mempunyai benturan kepentingan dengan debitor atau
kreditor, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan
dan PKPU lebih dari 3 (tiga) perkara.
Tugas Kurator sendiri adalah melakukan
pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Kurator
berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau
pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit
diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan
kasasi atau peninjauan kembali.
Dalam melaksanakan tugas, kurator tidak harus
memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan
pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau salah
satu organ debitor, meskipun dalam keadaan di luar
kepailitan, persetujuan atau pemberitahuan demikian
dipersyaratkan dan kurator dapat melakukan pinjaman dari
pihak ketiga, untuk meningkatkan nilai harga pailit.
4. Kejaksaan
Permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh
kejaksaaan untuk kepentingan umum. Kejaksaaan dapat
mengajukan permohonan pailit dengan alasan untuk
kepentingan umum, dalam hal persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) UUKPKPU telah dipenuhi
dan tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pailit.
Sedangkan yang dimaksud dengan: kepentingan umum”
adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepen-
tingan masyarakat.
Langkah pailit yang diajukan Kejaksaan mengaju-
kan permohonan pailit merujuk pada Pasal 2 ayat (2)
sesuai UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
penundaan kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), dan
Peraturan Jaksa Agung RI No. 040/A/JA/12/2010 yaitu
Tugas dan Wewenang Jaksa Pengacara Negara (JNP).
Peraturan tersebut memberikan kewenangan kepada
Kejaksaaan untuk mengajukan permohonan pailit demi
kepentingan hukum.
Selain merujuk pada UU Kepailitan dan PKPU,
Kejaksaan juga merujuk pada Pasal 1 Peraturan
Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2000 tentang Permohonan
Pernyataan Pailit untuk Kepentingan umum. Namun,
peraturan pemerintah tersebut membatasi wewenang
5. Pengurus
UUK-PKPU tidak memberikan batasan engertian yang jelas
antara kurator dan pengurus. Seorang pengurus dapat
menjadi kurator ketika pengadilan memberikan putusan
bahwa debitor yang sebelumnya dinayatakan berada
dalam penundaan kewajiban pembayaran utang telah
dinayatakan pailit. Dengan demikian, ugas dan fngsi
kurator dengan pengurus sesungguhnya berbeda.
6. Pengadilan Niaga
Sesuai dengan Pasal 1 angka 7 UUK-PKPU, Proses
penyelesaian perkara kepailitan di Indonesia dilakukan di
Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum.
Prosedur Permohonan Pernyataan Pailit Pada Pengadilan
Niaga sebagai berikut:
a) Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua
Pengadilan Niaga melalui Panitera;
b) Penitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit
kepada Pengadilan paling lambat 2 (dua ) hari setelah
anggal permohonna didaftarkan. Dalam jangka waktu 3
(tiga) hari setelah tanggal permohonan dudaftarkan.
Pengadilan menetapkan harfi sidang.
c) Sidang pemeriksaan dilakukan dalam jangka waktu
paling lambat 20 (dua pulih) hari setelah tanggal
permohonan didaftarkan
2. Debitor
Debitor adalah seseorang (baik perseorangan maupun
badan hukum) yang memiliki utang. Debitor merupakan
salah satu pihak di dalam perkara kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang. Secara
sederhana, dapat dikatakan bahwa debitor adalah pihak
yang memilki utang.
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (disingkat UUKPKPU) menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan:
“Debitor adalah orang yang mempunyai utang
karena perjanjian atau undang-undang yang
pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.”
Utang memiliki pengertian sebagai : “kewajiban yang
dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang,
baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang
asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul
di kemdian hari atau kontinjen, yang timbul karena
perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi
oleh debitor dan bila tidak dipenuhi, memberi hak
kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari
harta kekayaan debitor” (Pasal 1 angka 6 UUKPKPU).
Dalam sebuah perkara kepailitan dan PKPU, dapat
tidaknya seorang debitor dinyatakan paili atau berda
dalam penundaan kewajiban pembayaran utang
ditentukan oleh adanya dua atau lebih kreditor dan tidak
membayar luas sedikitanya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih (Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU).
Yang di maksud dengan “Utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih” adalah kewajiban untuk membayar
utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah
diperjanjikan; karena percepatan waktu pengaihannya
sebagaimana diperjanjiakan ; karena pengenaan sanksi
atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun
3. Kreditor
Pengertian Kreditor dalam hukum Kepailitan dan PKPU
ditegaskan oleh ketentuan Pasal 1 angka 2 UUKPKPU,
dimana definisi Kreditor:
“Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang
karena perjanjian atau undang-undang yang dapat
ditagih di muka pengadilan”.
Jadi, sesuai dengan ketentuan tersebut, seorang
kreditor memiliki piutang karena dia membuat perjanjian
dengan seorang debitor atau karena undang-undanglah
yang menentukan timbulnya piutang.
UUKPKPU melalui penjelasan atas Pasal 2 ayat (1)
memberikan pengaturan yang jelas bahwa yang
dimaksud dengan “kreditor” adalah:
“Baik kreditor konkuren, kreditor separatis, maupun
kreditor preferen. Khusus kreditor separatis dan
kreditor preferen, mereka dapat mengajukan
permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak
agunan atas kebendaan yang mereka miliki
terhadap harta debitor dan haknya untuk
didahulukan.”
a) Kreditor Preferen
Sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam BW
kreditor preferen, yaitu kreditor yang mempunyai hak
mendahului karena sifat piutangnya oleh undang-
undang diberi kedudukan istimewa. Kreditor preferen
terdiri atas kreditor pfeferen khusus, sebagaimana
diatur dalam Pasal 1139 BW, dan kreditor preferen
umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1149 BW.
Menurut ketentuan Pasal 1134 BW, Hak Istimewa
adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang
kepada seorang kreditor yang menyebabkan ia
berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya,
semata-mata berdasarkan sifat piutangnya itu. Gadai
dan hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa kecuali
b) Kreditor separatis
Kreditor separatis termasuk dalam kreditor yang
memiliki “privilege”, sebagaimana Pasal 1134, yakni
suatu kedudukan istimewa dari seorang penagih yang
diberikan oleh undang-undang melulu berdasarkan sifat
piutang. Piutang-piutang semacam in dinamakan
’bevourechte schulden”Pand (gadai) dan hypotheek
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada
privelege, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan
lain. Pand dan hypotheek tidak pernah bertentangan
satu sama lain karena pand hanya dapat diberikan atas
barang-barang yang bergerak, sedangkan hypotheek
sebaliknya, hanya mungkin atas benda-benda yang tak
bergerak.
c) Kreditor Konkuren
Kreditor konkuren adalah kreditor terakhir dalam
perkara kepailitan dan penundaan Kewajiban pembaya
ran utang yang memiliki hak tagih atas piutang yang
dimilikinya. Kreditor konkuren adalah orang yang
memiliki piutang di luar pengertian kreditor preferen dan
kreditor separatis. Kreditor konkuren bukan negara
(sebagai pengaih pajak), bukan seorang pekerja dalam
perusahaan yang dinyatakan pailit, serta tidak memiliki
hak agunan atas kebendaan dalam bentuk apa pun.
Kebanyakan kreditor konkuren adalah kreditor yang
mendasarkan utangnya pada perjanjian utang piutang
yang dilakukannya dengan debitor pailit tanpa pernah
membuat akta-akta pembebanan hak agunan atas
kebendaan.
Kreditor konkuren memiliki kedudukan/level paling
rendah setelah kreditor preferen dan separatis dalam
posisi pemenuhan pembayaran piutang yang mereka
miliki. Jika sebuah benda (baik bergerak maupun tidak
bergerak) dijual oleh seorang kurator sehingga
menghasilkan uang tunai yang siap dibagi, pemenuhan
4. Hakim Pengawas
Sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka 8 UUKPKPU
bahwa:
“Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh
pengadilan dalam putusan pailit atau putusan
penundaan kewajiban pebayaran utang.”
Tugas utama dari pengawas adalah mengevalasi
pengurusan dan pemberesan harta pailit (Vide Pasal 65
UUKPKPU). Dalam melaksanakan tugasnya, hakim
pengawas dapat mengeluarkan pentapan-penetapan yang
menjadi bagian penting dalam proses pemberesan
kepailitan ataupun pengurusan proses PKPU. Dengan kata
lain hakim pengawas berfungsi sebagai “supervisor” bagi
kurator atau pengurus.
Secara hirarkhi, hakim pengawas memiliki kewenangan
yang berada ditengah-tengah antara pengadilan dan
kurator atau pegurus. Sebelum mengambil suatu putusan
mengenai pengurusan atau pemberesan harta pailit,
pengadilan wajib mendengar pendapat hakim pengawas
(vide Pasal 66 UUKPKPU). Demikian juga kuirator atau
pengurus yang hendak meminta putusan mengenai
pengurusan dan pe,beresan harta ;pailit, harus
mengajukan permohonannya melalui hakim pengawas.
b) Kurator Sementara
Kurator memiliki tugas dan kewenangan yang
didasarkan pada putusan pengadilan yang berwenang.
Dilihat dari segi waktu dijalankannya tugas dan
kewenangannnya kurator dibagi menjadi dua, yakni
kurator sementara dan kurator tetap.
7. Pengadilan
Pengertian pengadilan diatur dalam pasal 1 angka 7
UUKPKPU, dimana pengadilan didefinisikan sebagai;
“Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan
umum.”
Secara kelembagaan, pengadilan niaga dalam
lingkungan peradilan umum telah terbentuk dengan
dasar hukum Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 97 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Niaga Ujung
Pandang, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Medan, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Surabaya, dan Pengadilan Niaga pada Pengadilan
5. Proses Persidangan
Putusan atas permohonan pernyataan pailitn
harus diucapkan dalam jangka wati maksima 60 hari.
Bebreda dengan persidangan perkara perdata jumum
yang bisa memakan waktu maksimal 6 bulan,
ANALISIS
A. Analisis Penerapan Prinsip Paritas Creditorium dan
Prinsip Sructured Prorata Dalam Putusan Peradilan
Prinsip paritas creditorium menentukan bahwa para
kreditor baik kreditor separatis, kreditor preferen, maupun
kreditor konkuren memiliki hak yang sama terhadap
segenap harta benda debitor. Apabila debitor tidak dapat
membayar utangnya, maka harta kekayaan debitor menjadi
sasaran kreditor. Prinsip paritas creditorium mengandung
makna bahwa semua kekayaan debitor baik yang berupa
barang bergerak maupun barang tidak bergerak maupun
harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang-
barang di kemjudian hari akan dimiliki debitor terikat
kepada penyelesaian kewajiban debitor sehingga demi
hukum akan menjadi jaminan umum terhadap pemenuhan
utang-utang debitor kepada para kreditornya.
Sedangkan prinisp structured prorata adalah prinsip
yang mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai
macam kreditor sesuai dengan kelasnya masing-masing.
Dalam kepailitan kreditor diklasifikasikan menjadi tiga
macam, yaitu kreditor separatis, kreditor preferen, dan
kreditor konkuren. Pensgtrukturan kreditor tersebut adalah
memiliki makna tentang preferensi masing-masing kreditor
tersebut atas harta debitor untuk memenuhi kewajiban
utang terhadap para kreditornya tersebut.
Dari hasil penelitian terhadap putusan yang ada
dapat dikelompokkan menjadi dua kategori. Kelompok
pertama adalah putusan yang konsisten dan benar
menerapkan norma serta prinsip paritas creditorium dan
prinsip structured prorata, yakni:
i. Kasus Bank Niaga cs melawan PT Dharmala Agrifood
Tbk.
ii. Kasus Bank Credit Lyonnais Indonesia melawan PT
Sandjaja Graha Sarana, Tjokro Sandjaya dan Ny.
Patricia sandjaja.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Prinsip-prinisp hukum kepailitan yang dinormakan/diatur
dalam hukum kepailitan di Indonesia adalah prinsip paritas
creditorium, prinsip pari passu prorata parte, prinsip
structure prorata, prinsip debt collection, prinsip universal,
dan prinsip teritorial. Prinsip pengaturan prinsip-prinsip
kepailitan yang universal tesebut di dalam UndangUndang
No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang dan undang-undnag terkait,
tidak terbatas sebagai berikut: Prinisp paritas creditorium
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (1), Pasal 2
Ayat (1), Pasal 21 UUK dan Pasal 1131 KUH Perdata.
Prinsip pari passu prorata parte sebagaiamna yang diatur
dalam pasal 189 Ayat (4), (5), dan Penjelasan Pasal 176
Huruf a. UUK. Prinisp structurd prorata sebagaimana yang
duatur dalam Pasal 1 angka 2, Penjelasan Pasal 1 Ayat (1)
UUK. Prinsip Utang dalam arti luas sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 1 angka 6 UUK, Pasal 1233 KUH
Perdata, Pasal 1234 KUH Perdata naiun tidak diatur
mengenai pembatasan jumlah minimal utang yang dapat
dijadikan dasar mengajukan permohonan pailit. Prinisp
debt collection sebagaimana diaur dalam pasal 1 Ayat (1)
Pasal 21, Pasal 65, Pasal 69 Ayat (1) , Pasal 91, Pasal 93
Ayat (1), Pasal 8 Ayat (7), dan Pasal 24 Ayat (2) UUK.
Prinisp universal sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21,
Pasal 213, Pasal 214 UUK, Prinsip teritorial sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 456 RV.
2. Akibat-akibat yuridis dari putusan pailit terhadap harta
kekayaan debitor maupun terhadap debitor adalah sebagai
berikut:
-Pasal 72
Kurator bertanggung jawab Perlu ada revisi Pasal 72 mengenai
terhadap kesalahan atau sejauh mana batasan kesalahan
kelalaiannya dalam melaksanakan dan kelalaian kurator dalam
tugas pengurusan dan/atau melaksanakan tugas pengurusan
pemberesan yang menyebabkan atau pemberesan harta pailit.
kerugian terhadap harta pailit. Disamping kurator diberi
6 tanggungjawab, juga harus ada
perlindungan hukum Kurator dalam
melaksanakan tugasnya.
C. Rekomendasi
1. Perlunya pembedaan pengaturan antara kepailitan
terhadap badan hukum, khususnya perseroan terbatas,
dengan kepailitan terhadap orang perseorangan dan badan
usaha non badan hukum, karena ada perbedaan-
perbedaan prinsip didalamnya, diantaranya mengenai
akibat kepailitan, mengenai on goin concern, dan mengenai
pertanggungjawaban. Tanpa ada pembedaan terhadapnya
bisa terjadi kerancuan norma antara satu terhadap lainnya.
2. Perlunya undang-undang perseroan terbatas mengatur
mengenai bubarnya perseroan terbatas adalah antara lain
karena tidak cukupnya harta perseroan untuk melunasi
utang-utang perseroan terbatas yang pailit serta karena
perseroan terbatas memasuki fase insolvensi dalam proses
kepailitan. Sehingga suatu perseroan terbatas pailit yang
harta perseroan tidak mencukupi untuk membayar utang-
utangnya kepada para kreditornya tidak dapat dicabut
A. Buku.
B. Peraturan Perundang-undangan.
KUH Perdata khususnya Pasal 1131, Pasal 1132, Pasal
1133 dan Pasal 1134
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
tentang Kepailitan (Lembaran negara Tahun 1998
Nomor 87 Tambahah Lembaran negara Nomor 3761),
kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan
dan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang,
Lembaran Negara Republik Indonesia. 2004, No. 131
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, khususnya Pasal 104 dan Pasal 142.
C. Internet
Artikel Kepalilitan, http://cafe-ekonomi.blogspot.com/209/
08/artikel-kepeilitan. html, diakses pada tanggal 17
Januari 2011.
Debt.org.Insovency, cfm https://www.debt.org/faqs/ insol
vency/. http://www.hukumkepailitan.com/pengertian-
kepailitan / pengertian-dan-syarat-kepalilitan.
Baca pula: wibowo Tunardy, Actio Paliana, cfm
http://www.jurnalhukum.com/actio-pauliana/;Info
Hukum, Actio Pauliana, cfm http:// hukumindonesia
terkini.blogspot.com/2012/07/actiopauliana.htm
http://humanlawoffice.blogspot.co.id/2014/04/pengertian-
kepailitan-dan-pkpu-html