Anda di halaman 1dari 172

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Melihat perkembangan dunia usaha di Indonesia yang


sudah berskala multinasional corporation, modal yang dimiliki
oleh para pelaku bisnis (entrpreneur) berasal dari berbagai
sumber, dan kebanyakan bersumber dari Bank Pemerintah
maupun dari Bank Swasta Nasional. Kemudian bagaimana
penyelesaian kepailitan yang dialami oleh para pengusaha
yang mengalami kesulitan turn over sehingga harus tutup,
tetapi masih menyisakan utang piutang serta surat
kesanggupan membayar karena pihak debitor sudah tidak
beroperasi dan wanprestasi terhadap perjanjian pembayaran
utang perusahaan. Instrumen hukum lainnya yang dapat
ditemph adalah dengan melakukan permohonan kepailitan
sebagaimana diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
yang maka segala pengurusan dan pemberesan akan utang-
piutang dari si Debitor akan dilakukan oleh Kurator.
Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitor tidak
mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap
utang-utang dari para kreditornya. Keadaan tidak mampu
membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi
keuangan (financial distress) dari usaha Debitor yang telah
mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan
putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas
seluruh kekayaan debitor pailit, baik yang telah ada maupun
yang akan ada di kemudian hari. Pengurusan dan
pemberesan kepailitan dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggu
nakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk mem

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan |1


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
bayar seluruh utang debitor pailit tersebut secara proporsional
(prorate parte) dan sesuai dengan sruktur kreditor.
Kepailitan adalah merupakan pelaksanaan lebih lanjut
dari prinsip paritas creditorium dan prinsip para passu prorate
parte dalam rezim hukum harta kekayaan (vermogensrecht).
Prinsip paritas creditorium berarti semua kekayaan debitor
baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak
bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor
dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitor
terkait kepada penyelesaian kewajiban debitor.1 Sedangkan
prinsip pari passu prorate parte berarti bahwa harta kekayaan
tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan
hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka,
kecuali apabila antara para kreditor itu ada yang menurut
undang-undang harus didahulukan dalam menerima pemba
yaran tagihannya.2
Bahwa pernyataan pailit akan mengubah status hukum
seseorang dalam hal kecakapannya untuk menguasai dan
mengurus harta kekayaannya, sejak hari diucapkannya
pernyataan pailit. Syarat utama seseorang dapat dinyatakan
pailit adalah ia berada dalam keadaan berhenti membayar
utang-utangnya, disebabkan keadaan yang sudah sedemikian
rupa, sehingga menurut perhitungan yang wajar, kekayaan
yang tersisa padanya diperhitungkan tidak cukup untuk
membayar kembali seluruh utang-utangnya. Dalam pengatur-
an pembayaran ini tersangkut kepentingan baik debitur itu
sendiri maupun para krediturnya. Sehingga dengan adanya
pernyataan pailit diusahakan agar harta kekayaan yang tersisa
dapat diatur untuk pembayaran kembali utang-utang si debitur
secara adil. Selanjutnya pernyataan pailit dapat dimohonkan
oleh debitur sendiri.
Apabila debitur yang memohonkan pailit untuk dirinya
sendiri itu suatu badan hukum, maka pengurus suatu badan
hukum harus bertanggungjawab atas utang-utang perseroan

1
Kartini Mulyadi, “Kepailitan dan Penyelesaian Utang Piutang”, Dalam:
Rudhy A. Lontoh (ed), Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau {enundaan
Keeajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001 (selanjutnya disebut
sebagai kartini Mulyadi 1), hlm. 168.
2
Ibid, hlm. 168.
2 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dengan harta pribadinya, apabila tidak dapat dibuktikan bahwa
kepailitan (kerugian) yang diderita perseroan itu tidak
disebabkan oleh missmanagement. Dengan semikian maka
dapat dicegah adanya penyalahgunaan (misbruik) dari suatu
kepailitan. Oleh karena harus adanya bukti yang dapat
menjelaskan seseorang atau suatu badan hukum mnegalami
pailit, maka disini diperlukan suatu cara yang menyangkut
masalah pembuktian. Hendaknya dalak hal adanya hanya
satu utang yang telah dengan pasti ternyata tidak dibayar,
jangan sampai hanya dengan sangkaan-sangkaan sebagai
alat pembuktian, menarik kesimpulan bahwa syarat-sayarat:
berada dalam keadaan telah berhenti membayar itu ada.
Terutama sikap Debitur dan keterangan-keteranganya
mengenai alasan atau sebab-sebabnya debitur tidak
membayar merupakan bahan pertimbangan yang sangat
menentukan, apalagi jika keterangan-keterangan itu tidak
memuaskan dan memberikan dasar untuk mencurigainya.3
Penundaan Kwajiban Pembayaran Utang (selanjutnya
disingkat dengan PKPU, (Survence van Betaling, Suspension
of Payment) merupakan suatu lembaga dalam Hukum
Kepailitan yang memberikan perlindungan terhadap debitur
yang mempunyai kemauan untuk membayar utangnya dan
beritikad baik. Melalui pengajuan PKPU, debitur dapat
terhindar dari pelaksanaan likuidiasi terhadap harta
kekayaannya dalam hal debitur dalam keadaan insolven.4
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
sesungguhnya merupakan bentuk perlindungan terhadap
debitur yang masih beritikad baik untuk membayar hutang-
hutangnya kepada seluruh krediturnya. PKPU diatur dalam
Pasal 222 s/d 294 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundanaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam
Pasal 222 ayat (1) disebutkan bahwa Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang ini dapat diajukan oleh:
1. Debitur.

3
D. Kartono, Kepailitan dan Penginduran Pembayaran, (Penerbit:
Pradnya Paramita, Jkarta, 1982, hlm. 19.
4
Sutan Remy Syahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Failissements
Verordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta: PT. Pustaka
Utama Grafiti, 2002), hlm. 321.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan |3
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Debitur yang mempunyai lebih dari (satu) kreditur yang
tidak dapat, atau memperkirakan bahwa ia tidak akan
dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah
jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat mengajukan
permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dengan maksud untuk mengajukan Rencana Perdamaian,
yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau
seluruhnya kepada kreditur.5
2. Kreditur.
Kreditur yang memperkirakan bahwa debitur tersebut tidak
dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh
tempo dan dapat ditagih, dapat memohon ke Pengadilan
Niaga, agar kepada debitur diberi Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, untuk memungkinkan si debitur
mengajukan Rencana Perdamaiannya kepada mereka,
yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh
utangnya kepada kreditur-krediturnya.6
3. Pengecualian, terhadap debitur Bank, Perusahaan Efek,
Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun dan Badan Usaha
Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik,7
maka:
a. Dalam hal debiturnya adalah bank, maka permohonan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh
kreditur terhadap bank tersebut, atau permohonan
Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh
debitur bank ini sendiri, hanya dapat diajukan oleh
Bank Indonesia8.
b. Dalam hal debiturnya adalah Perusahaan Efek, Bursa
Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, maka permohonan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang debitur ini

5
Pasal 222 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004.
6
Pasal 222 ayat (3) No. 37 Tahun 2004.
7
Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004.
8
Pasal 2 ayat (30 UU No. 37 tahun 2004.
4 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
atau oleh krediturnya, hanya dapat diajukan oleh atau
melalui Badan Pengawas Pasar Modal9
c. Dalam hal debiturnya adalah Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun atau Badan
Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang
kepentingan publik, maka permohonan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang oleh debitur ini atau
oleh para krediturnya, hanya dapat diajukan oleh atau
melalui menteri Keuangan.10
Pada dasarnya, maksud dari Pemberian
Kewajiban Pembayaran Utang kepada debitur adalah
agar si debitur yang berada dalam keadaan insolven
(insovency), mempunyai kesempatan untuk mengajukan
suatu Rencana Perdamaian, baik berupa tawaran untuk
pebayaran utang secara keseluruhan ataupun sebagian
atas utangnya, oleh karena itu, Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang merupakan kesempatan bagi
sidebitur untuk melunasi atau melaksanakan
kewajibannya atas utang-utang tersebut, sehingga di
debitur tersebut tidak sampai dinyatakan pailit.11
Dalam melaksanakan PKPU melalui restrukturi
sasi utang, diperlukan syarat paling utama, yaitu adanya
kemauan dan itikad baik dan juga kooperatif, serta
bersedia mengikuti syarat-syarat yang ditentukan dalam
restrukturisasi, antara lain: melakukan penjadwalan
kembali (rescheduling), persyaratan kembali (recondition-
ing), dan penataan kembali (restrukcturing), sehingga
diperoleh jalan keluar bagi penyelesaian pembayaran
utang macet tersebut tanpa menimbulkan banyak
kerugian bagi pihak kreditur dan pihak debitur.12
Dalam hal kreditur tersebut merupakan kreditur
separatis, apabila restrukturisasi utang telah dilakukan,
dan telah disetujui oleh kreditur separatis, tetapi debitur
gagal dalam menjalankan kewajiban tersebut atau tidak

9
Pasal 2 ayat (4) UU no. 37 Tahun 2004.
10
Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004.
11
Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 170.
12
M. Hadi Shubehan, Hukum Kepilitan: Prinsip, Norma, dan Praktek di
Peradilan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 162.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan |5
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
beritikad baik, maka pihak kreditur dapat melakukan
pengambilan jaminan kredit yang diberikan oleh debitur
kepada krediturnya, atau si kreditur dapat mengajukan
gugatan perdata atau permohonan pailit terhadap utang-
utang debiturnya ke Pengadilan.13
Terkait dengan pengajuan permohonan PKPU,
terdapat perkembangan yang cukup menarik dalam
pengajuan permohonan PKPU. Apabila daam
Failissement verordening dan dalam UU No. 4 Tahun
1998, permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh
debitur dan UU No. 37 Tahun 2004, permohonan PKPU
dapat di kreditur. Hal ini tentu menjadi kajian yang
menarik untuk mengetahui mengapa pihak kreditur
diberikan kewenangan untuk mengajukan permohonan
PKPU padahal yang mengetahui kondisi kesehatan suatu
perusahaan hanyalah debitur itu sendiri.
Pemberian kewenangan kepada si kreditur agar
dapat memohonkan PKPU bagi di kreditur dengah cara
yang sesuai dengah kondisi dan situasi si debitur saat itu,
dan bila si debitur dan kreditunya beritikad baik, maka
harapan kedua pihak itu adalah tercapainya Rencana
Perdamaian yang dapat mencover kewajiban debitur dan
hak kreditur, yang kemudian dapat disetujui secara
bersama dalam rapat perdamaian dan dilakukan
pengesahan perdamaian itu oleh Pengadilan Niaga
(homologasi).14
Dari sudut pandangan hukum, Undang-Undang
Kepailitan ini bertujuan untuk melindungi para kreditur
dengan memberikan jawaban yang jelas dan pasti untuk
menyelesaiakan utang yang tidak dapat dibayar oleh
debitur dan Undang-Undang Kepailitan juga bertujuan
melindungi debitur dengan memberikan cara baginya
untuk menyelesaikan utangnya tanpa membayar

13
Rachmadi Usman, Aspek-Asepek Hukum Perbankan di Indonesia,
9Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001(, hlm, 292-293.
14
Ibid, hlm. 142.
6 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
sekaligus secara penuh, sehingga usahanya dapat
bangkit kembali tanpa beban utang.15
Meskipun ada beberapa alternatif yang
ditawarkan untuk penyelesaian utang piutang antara
debitur dan kreditur namun, yang menjadi masalah
adalah tidak adanya niat yang sungguh-sungguh dari
para debitur untuk melunasi utang-utangnya.16 Dalam hal
ini, hukum harus dapat menjadi alat untuk menciptakan
keadilan dan kepastian hukum bagi kreditur, yang pada
akhirnya hukum dapat mendorong pemulihan ekonomi,
dengan tujuan untuk menciptakan stabilitas, prediktibilitas
dan keadilan dalam hukum negara.17
Diberikannya kesempatan bagi kreditur untuk
mengajukan permohonan PKPU dalam UU No. 37 Tahun
2004 sebagai bentuk pemberian keadilan dan kepastian
hukum bagi kreditur dan debitur telah dilakukan dalam
berbagai perkara kepailitan dan PKPU. Beranjak dari
asumsi tersebut, usat penelitian dan Pengembangan
Hukum, Badan Penelitian dan pengembangan Hukum
melakukan penelitian dengan Judul Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban pembayaran Utang.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka
dapatlah dirumuskan identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Apa dan bagaimana prinsip-prinsip hukum yang ada
dalam hukum kepailitan di Indonesia?
2. Bagaimana Akibat Hukum Kepailitan dan Akibat Hukum
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ?
3. Bagaimana penerapan norma dan prinsip Hukum
Kepailitan dalam Putusan Peradilan ?

C. Tujuan Penelitian

15
Artikel Kepalilitan, http://cafe-ekonomi.blogspot.com/209/08/artikel-
kepeilitan. html, diakses pada tanggal 17 Januari 2011.
16
Komisi Hukum Nasional, Pengembangan Hukum dalam Rangka
Pemulihan Ekonomi, (Jakarta: Artikel, tanggal 14 Maret 2002), hlm. 14.
17
Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan Di
Indonesia Edisi 2, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hlm. 14.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan |7
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui prinsip-prinsip hukum yang ada dalam
hukum kepailitan di Indonesia;
2. Untuk mengetahui akibat hukum kepailitan dan akibat
hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
3. Untuk mengetahui penerapan norma hukum dan prinsip
hukum kepailitan dalam putusan peradilan.

D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan hasil penelitian ini adalah:
1. Dari segi empiris penelitian ini diharapkan akan mengisi
kelangkaan penulisan di bidang hukum kepailitan dan
PKPU mengenai prinsip-prinsip hukum yang ada dalam
hukum kepailitan di Indonesia, akibat hukum kepailitan,
akibat hukum PKPU, dan penyelesaian kepailitan di
Indonesia;
2. Dari segi teoritis/akademis penelitian ini diharapkan
dapat menyumbangkan pengembangan dalam
merumuskan penyusunan naskah akdemik peraturan
perundang-undangan;
3. Dari segi kebijakan, hasil penelitian ini diharapkan dapa
menjadi masukan bagi para regulator atau pengambil
keputusan di bidang hukum kepailitan dan PKPU.

E. Kerangka Teori dan Konsepsional


1. Kerangka Teori
Sistim hukum Indonesia pada awalnya menganut
sistim hukum Eropah Kontinental yang diadopsi dari
Belanda. Namun, pada perkembangan selanjutnya
pengaruh unsur-unsur hukum dalam Sistem Anglo Saxon
banyak mewarnai perkembangan hukum di Indonesia
khususnya hukum business, yang salah satu diantaranya
adalah hukum Kepailitan di Indonesia. Pada UU No. 4
tahun 1998 maupun UU No. 37 Tahun 2004 sudah
dipengaruhi oleh sistim hukum Anglo Saxon, diantaranya
adalah pembentukan Pengadilan Niaga, adanya kurator
pemerintah, dan kurator swasta, serta pemberian
kewenangan mengajukan permohonan PKPU oleh
kreditur dalam UU No. 37 tahun 2004.

8 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan
dalam penelitian ini, digunakan beberapa teori, yaitu:
1. Teori Keadilan.
John Rawls menyampaikan bahwa peran keadilan
sebagai kebajikan utama dalam isntitusi sosial
sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran.
Demikian tentang keadilan, bisa saja ketika dibuat suatu
Undang-undang dan disahkan saat itu dianggap benar,
setelah berjalannya waktu terjadi perubahan pemikiran
karena ada beberapa pasal yang tidak sesuai dengan
perkembangan ekonomi, sosial dan uridis serta
perkembangan pemikiran masyarakat. Oleh karena iu
semestinya direformasi atau dihapuskan jika tidak adil.18
Berdasarkan teori hukum alam, hakekat hukum adalah
adil, sehingga hukum itu haruslah adil.19 Keadilan adalah
suatu keadaan yang mencerminkan adanya keserasian
antara hukum yang dicita-citakan dengan hukum yang
berlaku. Keadilan sendiri merupakan salah satu tujuan
hukum yang utama di samping kepastian hukum dan juga
kemanfaatan.20
Benangan tentang teori keadilan yang dikaitkan
dengan konsepsi hukum memang tidak tunggal. Trio
Filsuf Athena (Socrates, Plato, dan Aristoteles),
menekankan aspek keadilan. Hakekat hukum adalah
keadilan. Hukum berfungsi melayani kebutuhan keadilan
dalam masyarakat. Hukum menunjuk pada sua aturan
hidup yang sesuai dengan cita-cita tentang hidup
bersama, yakni keadilan. Isi kaidah hukum haruslah adil.
Tanpa keadilan, hukum hanya merupakan kekerasan
yang diformalkan. Hukum dirasakan penting ketika

18
John Rawls, A Theory of Justice, Teori Keadilan, Dasar-dasar Filsafat
Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dan Negara, Yogyakarta,
Pustaka pelajar, 2006, hlm. 74.
19
R. Otje Salma, Ikhtiar Filsafat Hukum, Penerbit: Armico, Bandung,
1987, hlm. 74.
20
Dardji darmodihardjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hkum: Apa
dan bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2004, hlm. 154.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan |9
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dihadapkan ketidakadilan.21 Bagi Socrates keadilan
merupakan inti hukum. Palto juga demikian, hakekat
asasi dari hukum adalah dikaiosune (keadilan:
keutamaan rasa tentang yang “benar”, “baik”, dan
“pantas”. Aristoteles menghubungkan keadilan (sebagai
hakekat hukum) dengan kebahagiaan manusia
(eudaimonia). Mutu hukum ditentukan oleh kapasitasnya
menghadirkan kebahagiaan bagi manusia.22
Dalam menganalisis hukum kepailitan Pasal 2
ayat (1) Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur
dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinaatakan pailit
dengan putusan engadilan baik atas permohonannya
sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
krediturnya. Menurut Siti Anisah permohonan
persyaratan permohonan pernyataan pailit memudahkan
pailitnya debitor.23
Perubahan terhadap pernyataan pailit dapat
dilihat dari Faillissement Verordening sampai dengan UU
No. 37 Tahun 2004. Terjadinya kekaburan norma yang
berawal dari perbedaan interpretasi terhadap substansi
yang secara tidak tegas mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan persyaratan permohonan pernyataa pailit.
Perubahan-perubahan itu dapat dilihat dari pengertian
utang, pengertian berhenti membayar, jatuh tempo dan
dapat ditagih, kreditor dan debitor yang mengajukan
permohonan pernyataan pailit; serta pembuktian
sederhana sebagai dasar putusan pernyataan pailit.24
Keadilan bagi Debitor dalam pasal 2 ayat (1)
masih tanda tanya dan apalagi jika disandingkan dengan
pasal 8 ayat (4) yang bunyinya: permohonan pernyataan
pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa

21
Bernard L Tanya, dkk, Teori Hukum strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, Yogyakarta, genta Publishing, 2010, hlm. 219.
22
Ibid., hlm. 220.
23
Siti Anisah, Perlindungan kepentingan Kreditor dan Debitor Dalam
hkum kepailitan di Indonesia, Pnerbit Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 43.
24
Ibid.
10 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
pernyataan untuk dinyatakan palit sebagaimna dimaksud
dalam pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi. Bagi debitor pailit
apabila dikaitkan dengan teori keadilan Gustav
Radbruch, bahwa hukum adalah sebagai pengemban
nilai keadilan, dan menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya
tata hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi
dasar dari hukum sebagai hukum. Keadilan memiliki sifa
normative sekaligus kontitutif bagi hukum. Keadilan
normative karena berfungsi sebagai prasarat
transendenta yang mendasari tiap hukum positif yang
bermartabat. Kemudian menjadi landasan moral hukum
dan sekaligus tolok ukur system hukum positif. Kepada
keadilanlah hukum positif berpangkal. Sedangan
konstitutif, karena keadilan harus menjadi unsur mutlak
bagi hukum sebagai hukum. Tanpa keadilan, sebuah
aturan tidak pantas menjadi hukum.25

1. Teori Perlindungan Hukum


Teori perlindungan hukum merupakan sangat
sentral dalam negara hukum. Menurut Kant, manusia
adalah mahluk berakal dan berkehendak bebas. Negara
bertugas menegakkan hak-hak dan kebebasan
warganya. Kemakmuran dan kebahagiaan rakyat
merupakan tujua negara dan hukum. Oleh karenanya itu,
hak-hak dasar manusia tidak boleh dilanggar oleh
penguasa.26
Teori perlindungan hukum unsur yang harus ada
dalam suatu negara. Setiap pembentukan negara pasti
didalamnya ada hukum untuk mengatur warganegaranya.
Hubungan inilah yang melahirkan hak dan kewajiban.
Perlindungan hukum menjadi hak warganegara. Disisi
lain perlindungan hukum menjadi kewajiban bagi negara.
Negara wajib memberikan perlindungan hukum bagi
wargaegaranya. Ada beberapa pengertian tentang
perlindungan hukum, yaitu:

25
Bernarrd L. Tanya, dkk, Teori Hukum strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, Yogyakarta, genta Publishing, 2010, hlm. 129-130.
26
Ibid., hlm 75.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 11
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
1) Perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman kepada hak asasi manusia yang
dirugika oleh orang lain dan perlindungan tersebut
diberikan oleh hukum;
2) Perlindungan hukum adalah perlindungan akan
harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-
hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum
berdasarkan ketentuan hukum dari kewenangannya;
3) Perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum
yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum
untjuk meberikan rasa aman, baik secara pikiran
maupun pisik dari gangguan dari berbagai ancaman
dari pihak manapun;
4) Perlindungan hukum sebagai kumpulan peraturan
atau kaidah yang akan dapat meloindungi suatu hal
dari hal lainnya. Berkaiatan dengan perlindungan
hukum terhadap Debitor, berarti hukum memberikan
peliandungan, sehinga perayaratan permohonan
pernyataan paili “tidak’ memudahkan palitnya
debitor.27
Dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan
hkum di Indonesia landasannya adalah Pancasila
sebagai ideology dan falsafah negara.28 Menurut
Philipus M. Hadjon yang mengemukakan prinsip negara
hukum Pancasila adalah (a) adanya hubungan hukum
antraa pemerintah dengan rakyat berdasarkan asas
kerukuan; (b) hubungan fungsional yang proporsional
antara kekuasaan-kekuasaan negara; (c) prinsip
penyelesaian sengketa secara musyawarah dan
peradilan merupakan sarana terakhir; keseimbangan hak
dan kewajiban.
Dalam hubungan antara kepailitan dan
perlindungan hukum terjadinya perubahan terhadap
persyaratan permohonan ernyataan paili dapat dilihat

27
Siti Anisah, Perlindungan kepentingan Kreditor dan Debitor dalam
Hukum Kepailitan di Indonesia, Studi Putusan-Putusan Pengadilan, Jakarta:
Total Media, 2008, hlm. 43.
28
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia,
Surabaya: Bina Ilmu, 1987, hlm.
12 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
mulai Faillissement Verordening yang diperbaharui oleh
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, selanjutnya
diganti oleh UU Nomor 37 ahun 2004. Persolan muncul
adalah tidak jelasnya perlindungan hukum terhadap
debitor, yang walalupun mengalami perubahan secara
substantive, dalam perjalanan masih menimbulkan
beberapa masalah yang berawal dari,perbedaan
interpretasi terhadap substansi yang secara tidak tegas
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan persyaratan
permohonan pernyataan pailit. Perubahan-perubahan itu
dapat dilihat dari pengertian utang, pengertian berheti
membayar, jatun tempo dan dapat ditagih; kreditor dan
debitor yang mengajukan permohonan pernyataan pailit;
serta pembuktian secara sederhana sebagai dasar
putusan pernyataan pailit.29
2. Teori Kepastian Hukum
Teori kepastian hukum sangat penting dalam
membahas debitor yang tidak mengajukan PKPU dalam
kepalitan. Dalam konteks ini tujuan hukum adalah
kepastian hkum, kemanfaatan dan keadilan. Dalam teori
kepastian hukum adalah setiap perbuatan hukum yang
dilakukan seharusnya menjamin kepastian hukum.
Menurut Peter Mahmud Marzuki, kepastian hukum
mengandung dua pengertian: pertama, adanya aturan
yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan; dan
kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari
kesewenang-wenangan pemerintah karena dengan
adanya auran yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian
hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-
undang melainkan juga adanya konsistensi dalam
putusan hakim antara putusan hakim yang satu dan
putusan hakim yang lainnya dalam kasus serupa yang
telah diputuskan.

29
Siti Anisah, op., cit., hlm. 43.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 13
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Kepastian hukum dalam kasus permohonan pailit
dari kreditor, tidak direspon oleh debitor, karena kreditor
telah diduga sebaai pemohon pailit telah melakukan
wanprestasi dan dugaan penipuan penpuan terhadap
pihak termohon, karenanya pihak Termohon mengajuka
Exception non adimpleti contractus. Pihak Termohon
(debitor) tidak mengajukan Penundaan kewajiban
pembayara utang sesuai dengan UU No. 37 tahun 2004,
Pasal 222 ayat (2) yang bunyinya: Debitur yang tidak
dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan
membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan
dapat ditagih, dapat memohon PKPU, dengan maksud
untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi
tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang
kepada Kreditur. Oleh karena kepastian hukum tentang
terjadi wanprestasi dan dugaan tinak pidana yang
memerlukan pengujian di pengadilan.
Disisi lain, perlindungan terhadap keoentingan
kreditor semakin bertabah tegas dalam UU No. 37 Tahun
2004. Sebelum itupun, secara substantive baik
Faillissement Verordening maupun U Nomor 4 tahun
1998 adalah pro terhadap kepentingan Kreditor. Hal ini
dapat dilihat dari ketentuan yang berkaita dengan
persyaratan permohonan pailit, PKPU dan ketentuan-
ketentuan tentang tindakan lain untuk kepentingan
kreditor. Kreditor dengan mudah dapat mengajukan
permohonan pernyataan pailit terhadap debitornya,
karena syaratnya adalah adanya dua kreditor atau lebih
dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih. PKPU juga
cenderung melindungi kepentingan kreditor, karena
jangka waktu relative singkat, proses perdamaian
ditentukan oleh kreditor, dan terdapat peluang untuk
membatalkan putusan perdamaian yang berkekuatan
hukum tetap. Tindakan lain untuk melindungi kepentingan
kreditor semakin jelas pengaturannya, misalnya

14 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
ketentuan tentang sita umum, acti paulina, dan
Gijzeling.30
2. Kerangka Konsepsional
Beberapa istilah kunci, seperti Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sebagaimana
digunakan dalam judul penelitian ini, penting dijelaskan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan sebagai
berikut:
a) Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan
Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim
pengawas sebaaimana diatur dalam Undang-
Undang.31
b) Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
merupakan alternatif penyelesaian utang untuk
menghindari kepailitan. Menurut Munir Fuady PKPU
adalah suatu periode waktu tertentu yang diberikan
oleh undang-undang melalui putusan pengadilan
niaga, dimana dalam periode waktu tersebut kepada
kreditor dan debitor diberikan kesepakatan untuk
memusyawarahkan cara-cara pembayaran utang-
utangnya dengan memberikan memberikan rencana
perdamaian (composition plan) terhadap seluruh atau
sebagian utangnya itu, termasuk apabila perlu
merestrukturisasi utangnya tersebut. Dengan demikian
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
merupakan semacam moratorium dalam hal ini legal
moratorium.32

F. Metodologi Penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif
dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Dengan
demikian, obyek penelitian adalah norma hukum yang
terwujud dalam kaidah-kaidah hukum yang dibuat dan

30
Skti Anisah, op, cit., hlm. 497.
31
UURI No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, hlm. 2/114.
32
Munir Fuadi, Pengantar Hukum Bisnis (Bandung: citra Aditya Bakti,
2001), hlm. 82.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 15
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
ditetapkan oleh pemerintah dan sejumlah peraturan
perundang-undangan. Sebagai suatu penelitian ilmiah, maka
rangkaian kegiatan dalam penelitian ini mengikuti metode-
metode penelitian hukum, sebagai berikut:
1. Jenis dan sifat penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian
ini adalah penelitian hukum normatif dan penelitian
hukum empiris dengan menggunakan pendekatan
peraturan perundang-undangan (statue approach)
dalam melakukan pengkajian kewenangan kreditor dalam
Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Pemilihan metode ini untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinisp hukum, maupun doktrin-doktrin hukum,
guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Oleh karena
itu, pilihan metode ini adalah penelitian hukum normatif
yang berkaitan dengan prinsip-prinsip dan
norma/pengaturan Hukum kepailitan di Indonesia serta
praktik penerapan Hukum Kepailitan di Pengadilan
Indonesia.
Sifat penelitian ini adalah Deskriptif Analitis,
yang bertujuan untuk membatasi kerangka studi kepada
suatu analisis terhadap hukum dan peraturan tentang
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dengan
mengacu pada hukum dan peraturan perundang-
undangan yang berhubungan dengan tujuan penelitian.
Pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan
(Library Research)untuk mendapatkan konsep-konsep,
teori-teori, dan informasi-informasi serta pemikiran
konseptual dari peneliti pendahulu, baik berupa peraturan
perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.
Sehubungan dengan tipe penelitian yang
digunakan, yakni yuridis normatif, maka penelitian ini
menggunakan 3 (tiga) pendekatan, yakni:
1. Pendekatan Perundang-undangan (statue approach)
Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan
menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang

16 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
berhubungan dengan isu hukum yang sedang
ditangani.33
2. Pendekatan kasus
Pendekatan kasus ini dilakukan dengan cara
melakukan telaah terhadap putusan Pengadilan atas
kasus hukum yang berkaitan dengan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang dan Kepailitan. Yang
Menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus
adalah ratio decidendi atau reasonning, yaitu
pertimbangan Pengadilan untuk sampai pada satu
putusan.34
3. Pendekatan konsep
Pendekatan konsep digunakan untuk memahami
konsep-konsep dari Penundaan Kewajiban
Pebayaran Utang dan Kepailitan dalam hukum
Kepailitan.
4. Sumber Bahan hukum
Sumber data kepustakaan dalam penelitian ini
diperoleh dari;
a. Bahan hukum primer, yaitu: peraturan perundang-
undangan yaitu UU No. 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang dan putusan Hakim dalam
Permohonan PKPU.
b. Bahan hukum sekunder, seperti: hasi-hasil
penelitian, laporan-laporan, artikel, majalah dan
jurnal ilmiah, hasil seminar atau pertemuan ilmiah
lainnya yang relevan dengan penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum
penunjang, yang mencakup bahan yang dapat
memberikan petunjuk-petunjuk dan penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
seperti kamus umum, kamus hukum serta bahan-
bahan primer, sekunder, dan tersier di luar bidang
hukum yang relevan dan dapat dipergunakan
untuk melengkapi data yang diperlukan dalam

33
Peter Mahmud Marzuki, Penlitian Hukum (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2006) hlm. 93.
34
Ibid, hlm. 94.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 17
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
penelitian ini.35 Situs Web juga menjadi bahan
bagi penelitian ini sepanjang memuat informasi
yang relevan dengan penelitian ini.
5. Teknik pengumpulan data
Dalam penelitian ini, seluruh bahan dikumpulkan
dengan menggunakan teknik studi kepustakaan
(libary Research), dengan mempelajari berbagai
dokumen dari sumber yang dipandang relevan, yaitu
meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan
judul penelitian ini, seperti buku-buku hukum, majalah
hukum, peraturan perundang-undangan, putusan-
putusan Pengadilan yang berkaitan dengan
penelitian, pendapat para sarjana, dan bahan-bahan
penunjang lainnya. Perpustakaaan yang digunakan
adalah Perpusatakaan Balitbang Hukum dan HAM
dan perpusatakaan BPHN. Penelitian ini sepenuhnya
mempergunakan data sekunder dengan alat
penelitian berupa studi dokumen terutama putusan
pengadilan niaga dalam perkara-perkara kepailitan.
6. Analisa Data
Analisis Data merupakan suatu proses
pengorganisasian dan mengurutkan data pada suatu
pola kategori dan satuan. Data-data yang diperoleh
melalui studi pustaka yang dikumpulkan, diurutkan,
dan diorganisasikan dalam suatu pola, kategori dan
satuan uraian dasar.36 Analisis data dalam penelitian
ini adalah dengan mempelajari, menganalisis, dan
memperhatikan kualitas serta kedalaman data
sehingga diperoleh data yang dapat menjawab
permasalahan dalam penelitian ini.
Seluruh data yang sudah diperoleh dan
dikumpulkan, selanjutnya akan ditelaah dan dianalisa.
Analisis untuk data kualititf dilakukan dengan pemilihan

35
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1998), hlm. 195, sebagaimana dikutip dari Sorjono soekanto dan Sri
Mamudji, penelitian hukum Normatif suatu Tinjauaj Singkat (Rajawali Pers,
1990), hlm. 41.
36
Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif 9Jakarta: Remaja
Rodakarya, Cet. Ke-10, 1999) hlm. 103.
18 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang
mengatur tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang beserta konsekuensi hukumnya, kemudian
membuat sistimatika dari Pasal-pasal tersebut, sehingga
akan menghasilkan klasifikasi tertentu, sesuai dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
Pada bagian akhir, data yang berupa peraturan
perundang-undangan ini diteliti dan dianalisis secara
deskriptif kualitatif, yang diselaraskan dengan hasil dari
data pendukung, sehingga sampai pada suatu
kesimpulan yang akan menjawab seluruh pokok
permasalahan dalam penelitian ini. Dilihat dari tujuan
analisis, maka ada dua hal yang ingin dicapai dalam
analisis kualititif, yaitu: (1) menganalisis poses
berlangsungnya suatu fenomena hukum dan memperoleh
suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut;
dan (2) menganalisis makna yang ada dibalik informasi,
data dan proses suatu fenomena.37

G. Personalia Tim
Adapun susunan pelaksana penelitia ini adalah sebagai
berikut:
Narasumber Prof. DR. Stan Remy Sjahdaeini, SH
Narasumber Dr. Ricardo Simanjuntak, SH, LL.M
Ketua : Drs. Ulang Mangun Sosiawan, MH
Anggota : Syprianus Ariesteus, SH, MH.
Nevi Farida Andriani, SH, MH.
Agus Pardede, SH.

H. Sistimatika penulisan
Hasil penelitian ini akan disusun sebagai bentuk
laporan akhir dengan sistimatika penulisan sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan, yang didalamnya
menguraikan latar belakang, rumusan
masalah, tujuan, kegunaan penelitian,

37
Burhan Bungin, penelitian Kualitatif: Komunikasi.Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial lainnya (Jakarta: PT. Kencana, Edisi I, Cet. Ke-3, 2009)
hlm. 153.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 19
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
kerangaka teri dan konsepsional, metode
penelitian dan sistimatika penulisan.
BAB II Tinjauan Pustaka tentang Kepalitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
menguraikan Istilah Kepailitan, Prinsip-
prinsip dalam kepailitan, Hakikat Prinsip
Hukum, Prinsip Paritas Creditorium,
Prinsip Pari Passu Prorata Parte, Prinsip
Structured Creditors, Prinsip Utang, Prinsip
Debt Collection , Prinsip Debt pooling,
Prinsip Debt Forgiveness, Prinsip Universal
dan Prinsip teritorial , Prinsip
Commercial exit from financial distress,
Tujuan Hukum Kepailitan, Tujuan UUK-
PKPU, Sumber hukum Kepailitan Indonesia,
Fungsi Undang-Undang Kepailitan, Sumber
Utang, Jenis-Jenis Kreditur, dan Penundaan
Kewajiban pembayaran Utang.

BAB III Penyajian data hasil penelitian dan analisis


menguraikan Balai Harta Peninggalan,
Sejarah Balai Harta Peninggalan di
Indonesia, Landasan hukum, Dasar hukum
fungsi dan Tugas Balai Harta Peninggalan,
Pengertian Kepailitan, Tugas Balai Harta
Peninggalan, Syarat-syarat atau dokumen
yang diperlukan, Tugas Balai Harta
Peninggalan selaku kurator, Proses likuidasi
dan akibat hukum, Kurator swasta,
pengadilan niaga, dan otortas jasa
keuangan dan analisis.
BAB IV Penutup, memuat kesimpulan dan saran.

20 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN
KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG

A. Istilah Kepailitan
1. Kepailitan
Dalam kepustakaan, Algra mendefiniskan
kepailitan adalah Faillissementis een grechtelijk beslag
op het gehele vermogen van een schuldennar ten
behoeve van zijn gezamanlijkeschuldiser”,38 (Kepailitan
adalah suatu sitaan umum terhadap semua harta
kekayaan dari seorang debitor (si berutang) untuk
melunasi utang-utangnya kepada kreditor (si
berpiutang). Henry Campbell Black dalam Black Law
Dictionarynya menyatakan “bankrupt is the state or
condition of one who is unable to pay his debts as they
are, or became, due”.39 Agak lebih komprehensif, Jerry
Hoff menggambarkan kepailitan sebagai:
Bankruptcy is a general statutory attachment
encompass-ing all the assets of the debtor. The
bankruptcy only covers the masset. The personal status
of an individual willnot beaffected by the bankruptcy: he
is not placed under guardianship. A company also
continues to exist after he declaration of bankruptcy.
During the bankruptcy proceedings, act with regard to
the bankruptcy estate can only be performed by the
receiver, but other acts remain part of the domain of the
debtor’s corporate organs.40
Terminologi kepailitan sering dipaham secara
tidak tepat oleh kalangan umum. Sebagian dari mereka
menganggap kepailitan sebagai vonis yang berbau

38
Algra, N.E., Ileiding tot Het Nederlands Privaatresht, Tjeenk Willink,
Groningen, 1974, hlm. 425.
39
Henry Campbell Balck, Balck’s Law dictionary, West Publishing Co.,
St. Paul Meinnesota, 1979, hlm. 134.
40
Jerry Hoff, Indinesian Bankruptcy Law, Tatanusa, Jakarta, 1999, hlm.
11.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 21
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
tindakan kriminal serta merupakan suatau cacat hukum
atas subyek hukum, karena itu kepailitan harus
dijauhkan serta dihindari sebisa mungkin. Kepailtan
secara apriori dianggap sebagai kegagalan yang
disebabkan karena kesalahan dari Debitor dalam
menjalankan usahanya sehingga menyebabkan utang
tidak mampu dibayar. Oleh krena itu, kepailitan sering
didentikan sebagai pengempalang utang atau
penggelapan terhadap hak-hak yang seharusnya
dibayarkan kepada kreditor. Kartono menyatakan,
bahwa kepailitan memang tidak merendahkan
martabatnya sebagai manusia, tetapi apabil ia
berusaha untu memeproleh kredit, di sanalah baru
terasa baginya apa artinya sudah pernah dinyatakan
pailit. Dengan perkataan lain, kepailitan memengaruhi
“credietwaardigheid”-nya dalam arti yang merugikan, ia
tidak akan mudah mendapatkan kredit.41
Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang
bersifat komersial untum keluar dari persoalan utang
piutang yang menghimpit seorang debitor, di mana
Debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan
lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para
kreditornya. Sehingga, bila keadaan ketidakmampuan
untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo
tersebut disadari oleh Debitor, maka langkah untuk
mengajukan permohonan penetapan status pailit
terhadap dirinya (voluntary petition for self bankruptcy)
menjadi suatu langkah yang memungkinkan , atau
penetapan status pailit oleh pengadilan terhadap
debitor tersebut bila kemudian ditemukan bukti bahwa
debitor tersebut memang telah tidak mampu lagu
mmebayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih (involuntary petition for self bankruptcy).42

41
Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1982, hlm. 42.
42
Ricardo Simanjuntak, “esensi Pembuktian Sederhana dalam
Kepailita”, Dalam: emmy Yujhassarie (ed), Undang-Undang kepailitan dan
Perkembangannya, Puat Pengkajian Hukum, Jakarta, 2005 (selanjutnya disebut
sebagai Ricardo Simanjunta 1), hlm. 55-56.
22 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
edua istilah tersebut sekalipun berbeda
pengertiannya tetapi sangat erat terkait satu dengan
yang lain. Kedua istilah tersebut dapat dibedakan tetapi
tidak dapat dipisahkan seperti halnya dua sisi mata
uang logam. Dalam pengertiannya yang berbeda itu,
suatu Debitur yang sudah berada dalam keadaan
insolven, dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan
setelah dimintakan permohonan untuk memailitkan
Debitur yang bersangkutan. Insolvensi (insolvency)
adalah suatu keadaan keuangan (a financial state)
suatu subyek hukum perdata (legal entity), sedangkan
kepailitan (bankruptcy) adalah keadaan hukum (legal
state) dari suatu subyek hukum perdata (legal entity).
Suatu Debitur hanya dapat dinyatakan bankkrupt (pailit)
oleh penadilan apabila Debitur telah berada dalam
keadaan insolven. Tetapi bukan sebaliknya, yaitu suatu
Debitur yang telah insolven tidak demi hukum menjadi
bankrupt (pailit) tetapi harus terlebih dahulu
dimohonkan kepailitannya kepada pengadilan.43

2. Prinsip-Prinsip Hukum Dalam Hukum Kepailitan


1. Hakekat Prinisp Hukum
Black mengartikan prinsip sebagai “a
fundamental truth or doctrine, as of law; a
comprehensive rule or doctrine which furnishes a
basis or origin for others”.44Bruggink menyatakan
bahwa asas/prinisp hukum adalah nilai-nilai yang
melandasi norma hukum.45 Selanjutnya Bruggink
menyisir pendapat Paul Scholten bahwa asas hukum
merupakan pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di
dalam dan di belakng sistem hkum masing-masing
dirumuskan dalam aturan perundang-undangan dan
putgusan-putusan hakim, yang berkenaan dengannya
ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan

43
Debt.org.Insovency, cfm https://www.debt.org/faqs/insolvency/.
44
Henry Campbell Balck, op., cit., p. 1074.
45
Bruggink, Rechtsreflecties, Terjemahan: Srief Sidahrta, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1996, hlm. 121.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 23
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
individual.46 Paton Mengatakan bahwa “A Principle is
the broad reason, which ies at the base of rule of
law.”47
Prinsip hukum merupakan ratio legis dari
norma hukum. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa
asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum
dan ia merupakan landasan yang paling luas bagi
lahirnya suau peraturan hukum, yang berarti bahwa
peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa
dikembalikan kepada asas-asas tersebut.48
Selanjutnya Satjipto menyitir pendapat dari Paton,
bahwa asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya
dengan melahirkan suatu peraturan hukum,
Melainkan akan tetap saja ada dan akan melahirkan
peraturan-peraturan selanjutnya. Asas huku ini pula
yang membuat hukum itu hidup tumbuh dan
berkembang dan ia juga menunjukkan bahwa hukum
itu bukan sekedar kumulan peraturan–peraturan
belaka, karena asas mengandung nilai-nilai dan
tuntunan-tutunan etis.
Prinisp-prinsip hukum dalam hal ini diperlukan
sebagai dasar dalam pembentukan aturan hukum
sekaligus sebagai dasar dalam memecahkan
persoalan yang timbul manakala aturan hukum yang
tersedia tidak memadai.49 Prinsip hukum atau asas
hukum merupakan salah satu obyek terpenting dalam
kajian ilmu hukum. Pembahasan tentang prinisp
hukum lazimnya disandingkan dengan aturan hukum
atau kaidah hukum untuk memperoleh gambaran
yang jelas menyangkut perbedaannya.50

46
Ibid., hlm. 119-120.
47
Paton, A Texbook of jurisprudence, penerbit Alumni bandung, 1986,
hlm. 85.
48
Satjipto Rahardjo, Ilmu hakum, Penerbit: Alumji Bandung, 1969, hlm.
85.
49
Y. Sogar Simamora, “Prinisp Hukum Kontrak dalam Pengadaan
Barang dan Jasa oleh Pemerintah”, Disertasi, Pascasarjana, Unair, 2005., hlm.
22-23.
50
Ibud,hlm. 23.
24 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa
asas atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum
konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang
umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari
peraturan yang konkret yang terdapat dalam dan
dibelakng setiap sistem hukum yang terjelma dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan hakim
yang merupakan hukum positif dan dapat
diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam
peraturan konkret tersebut.51
Prinsip hukum merupakan metanorma yang
dapat dijadikan landasan pembentukan suatu
peraturan perundang-undangan serta dapat pula
dijadikan dasar bagi hakim di dalam menemukan
suatu hukum terhadap kasus-kasus yang sedang
dihadapinya untuk diputuskan ketika hakim tidak
dapat merujuk kepada norma hukum positifnya. Di
samping itu pula prinsip hukum dapat dijadikan
paramate untuk mengukur suatu norma sudah pada
jalur yang benar (on the right track).
Penggunaan prinisp hukum sebagai dasar
bagi hakim untuk memutus perkara dalam kepailitan
memperoleh legalitasnya dalam Undang-Undang
Kepailitan. Undang-Undang Kepailitan secara
expresis verbis menyatakan bahwa sumber hukum
tidak tertulis termasuk pula prinsip-prinisp hukum
dalam kepailitan dapat dijadikan dasar bagi hakim
untuk memutus. Dalam pasal 8 ayat (5) UUK
menyatakan bahwa putusan pengadilan sebagaimana
dimaksud pada Ayat (5) wajib memuat pula:
a. Pasal tertentu dari peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan dan/atu sumber
hukum tak tetulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili; dan
b. Pertimbangan hukum dan pendapat yang berada
dari hakim anggota atau ketua majelis.

51
Sudikno Mertokusumo, “Mengenal Hukum Suatu Pengantar”, Liberty:
Yogyakarta, 2005., hlm. 34.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 25
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
2. Prinsip Paritas Creditorium
Prinsip paritas creditorium, prinsip pari passu
prorata parte, dan prinsip structured prorata
merupakan prinsip utama penyelesaian utang dari
debitor terhadap para kreditornya. Vollmar
mengatakan bahwa “Een der belangrijks beginselen
van Nederlands burgerlijk recht s neergelegd in de
baeling, dat de verhaalsrechten van den schuldeiser
zich utstrekken over alle roerende goederen van den
schuldenaar, zowel die hij heeft als die hij zal
krijgen”.52
Prinsip paritas creditorium (kesetaraan
kedudukan para kreditor) menentukan bahwa para
kreditor mempunyai hak yang sama terhadap semua
harta benda debitor. Apabila debitor tidak dapat
membayar utangnya, maka harta kekayaan debitor
menjadi sasaran kreditor.53Prinsip paritas creditorium
mengandung makna bahwa semua kekayaan debitor
baik yang berupa barang bergerak ataupun barang
tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah
dipunyai debitor dan barang-barang di kemudian hari
akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian
kewajiban debitor.54
Filosofi dari prinsip paritas creditorium adalah
bahwa merupakan suatu ketidakadilan jika debitor
memiliki harta benda sementara utang debitor
terhadap para kreditornya tidak terbayarkan. Hukum
memberikan jaminan umum bahwa harta kekayaan
debitor demi hukum menjadi jaminan terhadap utang-
utangnya meskipun harta debitor tersebut tidak
berkaitan langsung dengan utang-utang tersebut.
Dengan demikian, prinsip paritas creditorium
berangkat dari fenomena ketidakadilan jika debitor
masih memiliki harta sementara utang debitor

52
Vollmar, De Faillesmentwet, Tjeenk Willink & Zoon N.V. Haarlem,
1948., hlm. 1.
53
Mahadi, Falsafah Hukum: Suatu Pengantar, Alumni :bandung, 2003.,
hlm. 135.
54
Kartini Mulyadi 1, op., cit., hlm. 168.
26 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
terhadap para kreditor tidak terbayarkan. Makna lain
dari prinsip paritas creditorium adalah bahwa yang
menjadi jaminan umum terhadap utang-utang debitor
hanya terbatas pada harta kekayaannya saja bukan
harta kekayaan sama sekali tidak terpengaruh
terhadap utang piutang debitor tersebut.
Kartini Mulyadi juga menyatakan bahwa kalau
diteliti, sebetulnya peraturan hukum kepailitan dalam UUK
itu adalah penjabaran Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH
Perdata, karenanya:
c. Kepailitan hanya meliputi harta pailit dan bukan
debitornya;
d. Debitor tetap pemilik kekayaannya dan merupakan
pihak yang berhak atasnya, tetapi tidak lagi berhak
meguasainya atau menggunakannya atau
memindahkan haknya atau mengagunkannya;
e. Sitaan konservatoir secara umum meliputi seluruh
harta pailit.55
Namun demikian, prinsip paritas creditorium
kendatipun merupakan respons atas ketidakadilan
tersebut, jika prinsip paritas creditorium diterapkan secara
letterlijk, maka akan menimbulkan ketidakadilan
berikutnya. Letak ketidakadilan prinsip paritas creditorium
adalah bahwa para kreditor berkedudukan sama antara
satu kreditor dengan kreditor lainnya. Prinsip paritas
creditorium tidak membedakan perlakuan terhadap
kondisi kreditor baik itu kreditor yang memiliki piutang
besar maupun kreditor yang memiliki piutang kecil, baik
kreditor yang memegang jaminan maupun kreditor yang
tidak memegang jaminan.
Dari ketidakadilan prinsip paritas creditorium
tersebut, maka prinsip ini harus digandengkan dengan
prinsip pari passu prorata parte dan prinsip structure
creditors.
3. Prinsip Pari Passu Prorata Parte

55
Kertini Mulyadi, “Actio Pauliana dan pokok-pokok Pengadilan Niaga:,
Dalam: Rudhy A. Lontoh et. Al, Penyelesaian Utang piutang Melalui Pailit atau
penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Alumni: bandung (selanjutnya
disebut sebagai kartini Mulyadi 4), 2001., hlm. 300.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 27
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Prinsip pari passu prorata parte berarti bahwa harta
kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk
para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara
proporsional antara mereka, kecuali jika antara para
kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus
didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.56
Prinsip ini menekankan pada pembagian hata debitor
untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditor secara
lebih berkeadilan dengan cara sesuai dengan proporsinya
(pond-pond gewijs) dan bukan dengan cara sama rata.
Jika prinsip paritas creditorium bertujuan untuk
memberikan keadilan kepada semua kreditor tanpa
pembedaan kondisinya terhadap harta kekayaan debitor
kendatipun harta kekayaan debitor tersebut tidak
berkaitan langsung dengan transaksi yang dilakukannya,
maka Prinisp pari passu prorata parte memberikan
keadilan kepada kreditor dengan konsep keadilan
proporsional, di mana kreditor yang memiliki piutang yang
lebh besar dari kreditor yang memiliki piutang lebh kecil
dari padanya. Seandainya kreditor disamaratakan
kedudukannya tanpa melihat besar kecilnya piutang,
maka akan menimbulkan suatu ketidakadilan sendiri.
Ketidakadilan pembagian secara paritas
creditorium dalam kepailitan akan muncul ketika harta
kekayaan debitor pailit lebih kecil dari jumlah utang-utang
debitor. Seandainya harta kekayaan debitor pailit lebih
besar dari jumlah seluruh utang-utang debitor, maka
penerapan prinsip pari passu prorata parte menjadi
kurang relevan. Demikian pula penggunaan lembaga
hukum kepailitan terhadap debitor yang memiliki aset
lebih besar dari jumlah seluruh utang-utangnya adalah
tidak tepat dan kurang memiliki relevansinya. Sejatinya
kepailitan akan terjadi jika aktiva lebih kecil dari passiva.
Kepailitan adalah sarana untuk menghindari perebutan
harta debitor setelah debitor tidal lagi memiliki
kemampuan untuk membayar utang-utangnya. Sejatinya
pula kepailitan digunakan untuk melindungi kreditor yang

56
Ibid.
28 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
lemah terhadap kreditor yang kuat dalam memperebutkan
harta debitor. Sehingga pada hakikatnya, prinsip pari
passu prorata parte adalah inheren dengan lembaga
kepailitan itu sendiri.
4. Prinsip Structured Creditors
Penggunaan prinsip paritas creditorium yang
dilengkapi dengan prinsip pari passu prorata parte dalam
konteks kepailitan juga masih memiliki kelemahan jika
antara kreditor tidak sama kedudukannya bukan
persoalan besar kecilnya piutang daja tetapi tidak sama
kedudukannya karena ada sebagian kreditor yang
memegang jaminan kebendaan dan/atau kreditor yang
memiliki hak preperensi yang telah diberikan oleh
undang-undang. Apabila kreditor yang memegang
jaminan kebendaan disamakan denga kreditor yang tidak
memegang jaminan kebendaan adalah bentuk sebuah
ketidakadilan. Bukanlah maksud adanya lembaga
jaminan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap
pemegang jaminan tersebut? Jika pada akhirnya
disamakan kedudukan hukumnya antara kreditor
pemegang jaminan kebendaan dengan kreditor yang
tidak memiliki jaminan kenbendaan, maka adanya
lembaga hukum jaminan menjadi tidak bermakna lagi.
Demikian pula dengan kreditor yang oleh undang-undang
diberikan keistimewaan yang berupa hak preferensi
dalam pelunasanan piutangnya jika kedudukannya
disamakan dengan kreditor yang tidak diberikan
preferensi undang-undang, maka untuk apa undang-
undang melakukan pengaturan terhadap kreditor-kreditor
tertentu dapat memiliki kedudukan istimewa dan
karenanya memiliki preferensi dalam pembayaran
terhadap piutang-piutangnya. Ketidakadilan seperti ini
diberikan jalan keluar dengan adanya prinsip structured
creditors (ada yang menyebut dengan nama prinsip
structured prorata).
Adapun prinsip structured creditors adalah prinsip
yang mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai
macam debitor sesuai dengan kelasnya masing-masing.
Dalam kepailitan kreditor diklasifikasikan menjadi tiga

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 29


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
macam, yaitu: Kreditor separatis; Kreditor Preferen; dan
Kreditor konkuren.
Pembagian kreditor menjadi tiga klasifikasi
tersebut di atas berbeda dengan pembagian kreditor
pada rezim hukum perdata umum. Dalam hukum perdata
umum pembedaan kreditor hanya dibedakan dari kreditor
preferen dengan kreditor konkuren. Kreditor preferen
dalam hukum perdata umum dapat mencakup kreditor
yang memiliki hak jaminan kebendaaan dan kreditor yang
menurut undang-undang harus didahulukan pembayaran
piutangnya. Akan tetapi, di dalam kepailitan, yang
dimaksud denga kreditor preferen hanya kreditor yang
menurut undang-undang harus didahulukan pembayaran
piutangnya, seperti pemegang hak privilage, pemegang
hak retensi, dan lain sebagainya. Sedangkan kreditor
yang memiliki jaminan kebendaan, dalam hukum
kepailitan, diklasifikasikan dengan sebutan kreditor
separatis.
Ketiga kreditor tersebut diakui eksistensinya.
Dalam UU Kepailitan Belanda tidak terdapat keraguan
terhadap hak kreditor separatis dan preferen untuk
mengajukan kepailitan (HR 18 Juni 1982, NJ/Nederland
Jurisprudensi 1983. Hal ini juga dikemukakan oleh Abdul
Hakim Garuda Nusantara yang menyitir pendapat Polak
bahwa kreditor-kreditor tersebut tidak kehilangan
kewenangannya untuk mengajukan permohonan
kepailitan atas debitor yang berada dalam keadaan
berhenti membayar.57
Ketiga prinsip tersebut diatas sangat penting baik
dari segi hukum perikatan dan hukum jaminan maupun
hukum kepailitan. Tidak adanya prinsip ini, maka pranata
kepailitan menjadi tidak bermakna karena filosofi
kepailitan adalah sebagai pranata untuk melakukan
likuidasi terhadap aset debitor yang memiliki banyak
debitor di mana tanpa adanya kepailitan maka para
debitor akan saling berebut baik yang secara sah maupun

57
J. Djohanjah, ‘Kreditor Prefern dan Separatis”, Dalam: Emmy
Yuhassarie (ed), Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, Pusat
Pengkajian Hukum, Jakarta, 2004, hlm. 138.
30 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
yang secara tidak sah sehingga menimbulkan suatu
keadaan ketidakadilan baik terhadap debitor itu sendiri
maupun terhadap kreditor khususnya kreditor yang
masuk belakangan sehingga tidak mendapatkan bagian
harta debitor untuk pembayaran utang-utang debitor.
Kreditor yang berkepentingan terhadap debitor
tidak hanya kreditor konkuren saja melainkan juga
kreditor pemegang hak jaminan kebendaan atau yang
sering disebut kreditor separatis dan kreditor yang
menurut ketentuan hukum harus didahulukan atau yang
disebut dalam rezim hukum kepailitan disebut kreditor
preferen. Memang kreditor separatis sudah memegang
jaminan kebendaan dan ia dapat mengeksekusi jaminan
kebendaan yang dipegangnya seolah-olah tidak terjadi
kepailitan, akan tetapi kreditur separatis tersebut masih
memiliki kepentingan yang berupa sisa tagihan yang tidak
cukup ditutup dengan eksekusi jaminan serta
kepentingan mengenai berlangusungnya usaha debitur.
5. Prinisp Utang
Dalam proses acara kepailitan konsep utang
tersebut sangat menentukan, oleh karena tanpa adanya
utang tidaklah mungkin perkara kepailitan akan bisa
diperiksa. Tanpa adanya utang tersebut maka esensi
kepailitan menjadi tidak ada karena kepailitan adalah
merupakan pranata hukum untuk melakukan likuidasi
aset debitor untuk membayar utang-utangnya terhadap
para kreditornya. Dengan demikian, utang merupakan
raison d’etre dari suatu kepailitan. Ned Waxman
mengatakan,

“the concept of a claim is significat in determining


which debts are discharged and who share in
distribution”.58.

Utang sebagai dasar utama untuk mempailitkan


subyek hukum sangat penting sekali untuk dikaji lebih
lanjut prinsip yang mendasari norma utang tersebut.

58
Ned Waxman, Bankruptcy, Gilbert Law Summaries, Hasrcourt Brace
Legal and Proesional Publication Inc, Chicago, 1992., hlm. 6.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 31
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Utang dalam kepailitan di Amerika Serikat disebut dengan
claim. Robert L. Jordan mengartikan claim diartikan
sebagai:
(1) Right to payment, whether or not such right is reduced
to judgment liquidated, unliquidated, fixed, contingent,
matured, unmatured, dispted, undisputed, legal, equit
able, secure or unsecured; or
(2) Right to an equitable remedy for breach of perfor
mance if such breach gives rise to a right to payment,
whether or not such right to an quitable remedy is
reduced to judgment, fixed, contingent, matured,
unmatured, disputed, undisputed, secured or
unsecured.
Ned Waxman membedakan definisi claim dengan
debt. Claim diartikan sebagaimana disitir oleh Robert
Jordan,
“Claim is a right to payment, even if it is
unliquidated, disputed, or contingent, it also
includes the “right to an equitable remedy for
breach of performance if such breach gives to
right to payment”. Sedangkan debt diartikan “a
debti sdifined as liablity an a claim”.59
Sutan Remy Sjahdeiny menyatakan bahwa
claim menurut Bankruptcy Code Amerika mengharuskan
adanya right to payment. Suatu right to payment dapat
merupakan claim sekalipun berbentuk contingent,
unliquidated, dan unmatured. Dengan demikian, apabila
kewajiban debitor tidak menimbulkan suatu right to
payment maka kewajiban debitor tersebut tidak dapat
digolongkan suatu claim. Selanjutnya Remy menyatakan
bahwa berdasarkan bahasa (language) yang dipakai oleh
undang-undang itu dan sejarah legislatif (legislative
history), praktis semua pengadilan berpendapat bahwa
definisi claim itu sangat expansive. Pertanyaannya adalah
sampai sejauh mana konsep claim dapat direntang
(expanded). Dengan menunjuk sejarah legislatif, dari
undang-undang tersebut salah satu pengadilan

59
Ned Waxman, Op., cit., hlm. 6.
32 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
berpendapat bahwa that language tersebut, salah satu
pengadilan berpendapat bahwa that language surely
points us in a direction, but provides litle indication of how
far we should travel.
Demikian pula dengan konsep utang dalam
hukum kepailitan Belanda yang juga diberlakukan di
Indonesia dengan asas konkordansi dalam peraturan
kepailitan, bahwa utang adalah suatu bentuk kewajiban
untuk memenuhi prestasi dalam suatu perikatan. Fred
B.G. Tumbuan menyatakan bahwa dalam hal seseorang
karena perbuatannya atau tidak melakuka sesuatu
mengakiatkan bahwa ia mempunyai kewajiban membayar
ganti rugi, memberikan sesuatu atau tidak memberikan
sesuatu, maka pada saat itu juga ia mempunyai utang,
mempunyai kewajiban melakukan prestasi. Jadi utang
sama dengan prestasi.
Di dalam hukum kepalilitan, prinsip utang selain
batasan dari definisi utang, terdapat konsep besarnya
nilai mutang untuk mdapat diajukan sebagai dasar
mengajukan permohonan pailit. Di Singapura terdapat
persyaratan minimu utang yang dijadikan dasar
pengajuan pailit, yakni sebesar S$10.000 (sepuluh ribu
dolar Singapura). Hal ini bisa dilihat dalam Undang-
Undang Kepailitan Singapura, yakni menyatakan sebagai
berikut;
In order to be entitled to present a bankruptcy
petition against e debtor, the creditor must satisfy
the following:
1. There nust be a creditor-debitor relationship;
2. The debt owned to the pettitionin creditor is not less
than S$ 10.000,- or such other sum prescribed by the
minister;
3. The debt is liquidated and payable immediately;
4. If the debt was incured otside Singapore, there is a
judgment or award which is enforceable by execution
in Singapore, and
5. The debtor is unable to pay the debt.60

60
Vide: Dennis Campbell, International Corporate Insolvency Law,
Butterworth & co 9Peblisher_ Ltd. Ondon, 1992, p. 492-493. Ricardo
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 33
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Demikian pula dalam sistem hukum kepailitan
Hongkong terdapat pembatasan niali minimum utan
sebagai mdasar pengajuan permohonan kepailitan yakni
minimum Hl$ 5.000,- Hal ini sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Kepailitan Hongkong, yang menyatakan
sebagai berikut:
The creditor can onl present a petition if the followin
conditions are satisfied:
1. The debt owned by the debtor to the petitioning
creditor or to two or more petitioning creditors in
aggregate must be at least HK$ 5.000,’ and
2. The debt is liquidated sum payable immediatelly or at
some certain time in the future; and
3. The act of bankruptcy relied on must have occured
wthin three montas of presentation of the petition; and
4. The debtornhas or had the requisite nexus with
Hongkog:
a. The debtor is domicilied in Hongkog; or
b. Within a year before the presentation of teh
petition either ordinaryly resided in Hongkong, or
has a dweling-house or place of business in
Hongkong, or carried on business in Hongkong
either personally or by an agenet: or
c. Within a year before the presentation of the
petition was a member of a firm or partnership
which carried on business in Hongkong.
Pembatasan jumah nilai nominal utang sebagai
dasar pengajuan permohonan kepailitan dimaksudkan
untuk membatasi permohonan pailit terhadap kreditor
yang memiliki julah utang yang sedikit (di bawah
minimum) dan pembatasan skala penanagnan kepailitan.
Disa oing itu pula, pembatasan tesebut ditujukan sebagai
bentuk perlindungan hukum terhadap kreditor mayoritas
dari kesewenang-wenangan kreditor minoritas.
Pembatsan nilai minimum utang hanya berkaiatan
dengan legal standing in judicio (kewenangan untuk

Simanjuntak (2005), “Esensi Pembuktian Sederhana dalam Kepailitan “, Dalam :


Emmy Yuhassarie Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, Pusat
Pengkajian Hukum, Jakarta, p. 60.
34 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
mengajukan perkara) sedangkan pengakuan kreditor
yang dibawah nilai minimal tersebut dalam proses
pembagian harta pailit sama dengan kreditor lainnya
secara proporsional.

6. Prinsip Debt Collection


Debt Collection Principle (Prinsip debt collection)
mempunyai makna sebagai konsep pembalasan dari
kreditor terhadap debitor pailit dengan menagih klaimnya
terhadap debitor atau harta debitor. Pada zaman dahulu
prinsip debt collect), dan bahkan ion dimanifestasikan
dalam bentuk perbudakan, pemotongan sebagaian tubuh
debitor (mutilation) dan bahkan pencincangan tubuh
debitor (dismemberment). Sedangkan pada hukum
kepailitan modern prinsip ini dimanifestasikan dalam
bentuk antara lain likuidasi aset.61Tri Hernowo
menyatakan bahwa kepailitan dapat digunakan sebagai
mekanisme pemaksaaan dan pemerasan.62 Lebih lanjut
Emmy menyatakan bahwa hukum kepailitan dibutuhkan
sebagai alat collective proceeding. Artinya, tanpa adanya
hukum kepailitan masing-masing kreditor akan berlomba-
lomba secara sendiri-sendiri mengklaim aset debitor
untuk kepentingan masing-masing. Oleh karena itu,
hukum kepailitan mengatasi apa yang disebut collective
action problem yang ditimbulkan dari kepentingan individu
dari masing-masing kreditor. Dengan adanya hukum
kepailitan, maka dapat memberikan suatu mekanisme di
mana para kreditor dapat bersama-sama menentukan
apakah sebaiknya perusahaan debitor diteruskan
kelangsungan usahanya atau tidak, dan dapat memaksa
kreditor minoritas mengikuti skim karena adanya prosedur
pemungutan suara.63
Sistem hukum kepailitan Belanda sangat
menekankan pada prinsip ini, yakni bahwa kepailitan
adalah merupakan penerapan dari prinsip debt colletion
secara nyata. Fred BG Tumbuan, yang menyitir

61
Emmy Yihassarie, Op., Cit., hlm. XIX.
62
Tri Hernowo, Op.Cit., hlm. 233
63
Emmy Yjhassarie Op., Cit., hlm. XIX
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 35
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
pendapat dari Professor Wessel di dalam buku Faillit
Verklaring, menyatakan bahwa sehubungan dengan
permohonan pernyataan pailit perlu kiranya diingat bahwa
sita jaminan (conservatoir beslaglegging) maupun
permohonan pernyataan pailit adalah prosedur penagihan
yang tidak lazim (oneigenlijke incassoprocedures).
Dinamakan tidak lazim karena kedua upaya hukum
tersebut disediakan sebagai sarana tekanan (pressie
middel) untuk memaksa pemenuhan kewajiban oleh
debitor.64
Bahwa segenap harta kekayaan debitor adalah
menjadi jaminan terhadap utang dari para kreditor.
Namun demikian, prosedur untuk melaksanakan hak-hak
kreditor ini tidak semudah seperti yang diharapkan oleh
para kreditor tersebut. Hukum menyediakan pranata
hukum untuk merealisasikan jaminan harta kekayaan
debitor tersebut. Pranata hukum itu adalah yang utama
melalui lembaga kepailitan. Di sinilah letak prinsip debt
collection dari kepailitan, yakni berfungsi sebagai sarana
pemaksa untuk merealisasikan hak-hak kreditor melalui
proses likuidasi terhadap harta kekayaan debitor.
Terdapat pranata lain, yakni dengan cara executorial
attachment (sita eksekutorial), sebagaimana yang
dikemukakan oleh Theodoor Bakker menyatakan,
bahwa kepailitan menawarkan pada kreditur sebagai
collection tool yang lebih kuat me nghadapai debitornya.
Setiawan berpendapat bahwa pada prinsipnya,
suatu peraturan kepailitan atau bankruptct law adalah
debt collection law dan bahwa kepailitan merupakan
suatu aksi kolektif (collective action) dalam debt
collection. Douglas G. Bord menyatakan bahwa hukum
kepailitan bertujuan untuk diguakan sebagai alat colletive
proceeding.

64
Fred BG Tumbuan, “Komentar atas Catatan Terhadap Putusan
Nomor 14 K/N/2004 jo Nomor 18/Pailit/2004/P.Niaga/Jakarta Pusat”, Dalam:
Analisa Putusan Kepailitan pada Pengadilan Niaga Jakarta, Valerie Selvie
Sinaga, FH. UNIKA Atmajaya, Jakarta (selanjutnya disebut sebagai Fred BG
Tumbuan 2), 2005, hlm. 11.
36 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Debt Collective principle merupaka prinsip yang
menekankan bahwa utang dari debitor harus dibayar
dengan harta yang dimiliki oleh debitor secara segera
mungkin untk menghindari itikad buruk dari debitor
dengan cara menyembunyikan dan menyelewengkan
terhadap segenap harta bendanya yang sebenarnya
adalah sebagai jaminan umum bagi kreditorya. Sebagai
suatu alat untuk melakukan pengembalian utang-utang
dari debitor dengan cara melakukan likuidasi asetnya,
maka kepailitan lebih difokuskan untuk melakukan
pemberesan aset-aset debitor dengan jalan melikuidasi
aset-aset debitor. Manifestas dari prinsip debt collection
dalam kepailitan adalah ketentuan-ketentuan untuk
melakukan pemberesan aset dengan jalan likuidasi yang
cepat dan pasti, prinsip pembutian sederhana,
diterapkannya putusan kepailitan secara serta-merta
(uitvoerbaar bij voorrraad), adanya ketentuan masa
tunggu (stay) bagi pemegang jaminan kebendaan, dan
kurator sebagai pelaksana pengurusan dan pemberesan.

7. Prinsip Debt pooling


Prinsip Debt Pooling merupakan prinsip yang
mengatur bagaimana harta kekayaan pailit harus dibagi di
antara pra kreditornya. Dalam melakukan pendistribusian
aset tersebut, kurator akan berpegang pada prinsip
paritas creditorium dan prinsip pari passu prorata parte,
serta pembagian berdasarkan jenis masing-masing
kreditor (structured creditors principle).
Black menjelaskan debt pooling sebagai :
“Arrangement by which debtor adusts many debts
by distributing his assets among several creditor,
who may or may not agree to take less than is
owed; or and arrangement by which debtor to pay
in regular installments a sum of money to one
creditor who agrees to discharge all his debt”65
Emmy Yuhassarie menyebut prinsip debt pooling
sebagai prinsip debt adjusment. Lebih lanjut Emmy

65
Henry Campbell Black, Op. Cit., hlm. 364-363.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 37
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Yuhassarie menjabarkan prinsip debt adjusment
merupakan suatu aspek dalam hukum kepailitan yang
dimaksudkan untuk mengubah hal distribusi dari para
kreditor sebagai suatu group.
Dalam perkembangannya prinsip debt pooling ini
lebih luas konsepnya dari sekedar melakukan distribusi
asset pailit terhadap kreditornya secara pari passu
prorata parte maupun secaa sructured creditor
(pembagian berdasarkan kelas kreditor). Prinsip ini
mencakup pula pengaturan dalam sistem kepailitan
terutama berkaitan dengan bagaimana harta kekayaan
pailit harus dibagi di antara kreditornya. Penjabaran
sistem ini akan berkaitan dengan kelembagaan yang
terlibat dalam proses kepailitan mulai dari lembaga
peradilan yang berwenang, hukum acara yang
digunakan, serta terdapatnya hakim komisaris dan
kurator dalam pelaksanaan kepailitan.
Sejatinya dasar pertimbangan diundangkannya
aturan tentang kepailitan adalah untuk memaksimalkan
perolehan para kreditor secara keseluruhan, atau
merespons pada masalah common pool problem. Prinsip
debt pooling juga merupakan artikulasi dari kekhususan
sifat-sifat yang melekat di dalam proses kepailitan, baik
itu yang berkenaan dengan karakteristik kepailitan
sebagai penagihan yang tidak lazim (oneigenlijke
inacaaoprocedures), pengadilan yang khusus menangani
kepailitan dengan kompetensi absolutnya yang berkaitan
dengan kepailitan dan masalah yang timbul dalam
kepailitan, terdapatnya hakim komisaris dan kurator, serta
hukum acara yang spesifik kendatipun merupakan varian
dari hukum acara perdata biasa.

8. Debt Forgiveness
Prinsip debt forgiveness (debt forgiveness
principle) mengandung arti bahwa kepailitan adalah tidak
identik hanya sebagai pranata penistaan terhadap debitor
saja atau hanya sebagai sarana tekanan (pressie middel),
akan tetapi bisa bermakana sebaliknya, yakni,
merupakan pranata hukum yang dapat digunakan

38 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
sebagai alat untuk memperingan beban yang harus
ditanggung oleh debitor karena sebagai akibat kesulitan
keuangan sehingga tidak mampu melakukan pembayaran
terhadap utang-utangnya sesuai dengan agreeement
semula dan bahkan sampai pada pengampunan atas
utang-utangnya sehingga utang-utangnya tesebut
menjadi hapus sama sekali.
Implementasi dari prinsip debt forgiveness ini
dalam norma-norma hukum kepailitan adalah diberikan
nya moratorium terhadap debitor atau yang dikenal
dengan nama penundaan kewajiban pebaaran utang
untuk jangka waktu yang ditentukan, dikecualikannya
beberapa aset debitor dari boedel pailit (asset
exemption), discharge of indebtedness (pembebasan
debitor atau harta debitor untuk membayar utang yang
benar-benar dipenuhinya), diberikannya status fresh-
starting bagi debitor sehingga memungkinkan debitor
untuk mulai melakukan usaha baru tanpa dibebani utang-
utang lama, rehabilitasi terhadap debitor jika ia telah
benar-benar menyelesaikan skim kepailitan, dan
perlindungan hukum lain yang wajar terhadap debitor
pailit.
Karen Gross secara tegas menyatakan bahwa
pemberian permaafan terhadap debitor yang benar-benar
mengalami kebangrutan adalah sebuah penyeimbang
dari sistem kepailitan itu sendiri. Karen mengungkapkan
hal itu ‘For Debtors, the ideal system provides a fresh
start, premissed on reconition that mistake happen bur
debtors can be rehabilitated throgh forgiveness”.Gross
menyataakan dan bahkan pengampunan itu sendiri
sebagai bentuk solusi terhadap utang-utang debitor yang
tidak terbayarkan. Gross menyatakannya sebagai “The
solution to the problem of nonpaying debitors is
forgiveness, The fresstart is how society (through the
bankruptcy system ) amndates that creditors and other
members of society forgive nonpaying debtors”.
Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa suatu
undang-undang kepailitan yang baik haruslah
dilandaskan pada asas untuk memberikan perlindungan

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 39


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
yang seimbang bagi semua pihak yang terkait dan
berkepentingan dengan kepailitan seorang atau suatu
perusahaan. Sehubungan dengan itu, maka undang-
undang kepailitan yang baik seyogyanya tidak hanya
memberikan perlindungan bagi kreditor saja. Kepentingan
debitor dan stakeholder-nya juga harus sangat
diperhatikan.
Prinsip debt forgiveness juga tercermin dalam
norma yang mengatur mengenai fresh starting. Konsep
fresh starting memberikan pengampunan terhadap
debitor atas utang-utangnya yang tidak bisa terbayar
dengan harapan bahwa debitor akan memulai usaha baru
tanpa dibebani oleh utang-utang lamanya yang
bermasalah. Konsep fresh starting tidak sama dengan
konsep rehabilitasi, kendatipun rehabilitasi juga masuk
dalam implementasi prinsip debt forgiveness. Dalam
rehabilitasi, utang-utang debitur sudah diselesaikan
sesuai dengan skema kepailitan yang terjadi. Rehabilitasi
lebih bermuara pada pemulihan hak-hak keperdataan
khsusnya hak terhadap harta kekayaan debitor dan
pemulihan reputasi debitor di bidang usaha, sehingga
debitor dapat lagi menjalankan usahanya sebagaimana
semula.
Adanya prinsip debt forgiveness tidak lepas
bahwa suatu usaha akan terkadung di dalamnya suatu
resiko dan/atau ketidakpastian (uncertenty) dan semua
resiko berpotensi merugikan usaha dan bahkan bisa pula
sampai membangkrutkan usaha subyek hukum tersebut.
Apabila suatu usaha sudah diurus dengan tata kelola
yang baik akan tetapi, ternyata di kemudian hari harus
berhadapan dengan resiko dan/atau ketidak pastian dan
pelaku usaha tidak tahan menghadapi risiko dan/atau
ketidak pastian tesebt sehingga menyababkan usahanya
mengalami suatu kesulitan keuangan dan bahkan
menyebabkan pelaku usaha itu insolven, maka pranata
kepailitan telah digunakan untuk menyelesaiakan kondisi
pelaku usaha yang insolven, akan tetapi harta kekayaan
perusahaan tidak dapat mencukupi, maka adalah adil
beban resiko ditanggung bersama-sama antara debitor

40 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dengan segenap harta kekayaannya sampai harta
kekayaannya itu habis dan kreditor menangung resiko
tersebut dengan tidak terbayarkannya sisa utang yang
tidak tercukupi harta debitor itu. Bentuk penyeimbang
resiko itulah lahir prinsip debt forgiveneness tersebut.
Sisa utang debitor yang tidak terlunaskan diampuni dan
debitor dapat memulai usaha lagi tanpa di bebani utang-
utang lamanya yang tidak terlunaskan tersebut. Sebuah
bentuk keadilan yang sangat elok.

9. Prinsip Universal dan Prinisp Teritorial


Prinsip univeral dalam kepailitan mengandung
makna bahwa putusan pailit dari suatu pengadilan di
suatu negara, maka putusan putusan pailit dari suatu
pengadilan di suatu negara, maka putusan pailit tersebut
berlaku terhadap semua harta debitor baik yang berada di
dalam negeri di tempat putusan pailit dijatuhkan maupu
terhadap harta debitor yang berada di luar negeri. Prinsip
ini menekankan aspek internasional dari kepailitan atau
yang dikenal sebagai cross border insolvency.
Berbicara tentang putusan pailit yang diputus oleh
pengadilan asing yang akan dieksekusi di suatu negara,
pada dasarnya akan terkait dengan pertanyaan apakah
pitusan pengadilan asing dapat dieksekusi di suatu
negara. Secara umum dapat dikatakan bahwa
kebanyakan sistem hukum yang dianut oleh banyak
negara tidak memperkenankan pengadilannya untuk
mengeksekusi putusan pengadilan asing. Kecenderungan
ini tidak saja berlaku pada negara-negara yang menganut
sistem civil law tetapi berlaku juga bagi negara-negara
yang menganut sistem command lawa. Penolakan
eksekusi terhaap putsan pengadilan asing terkaiat erat
dengan konsep kedaulatan negara. Sebuah cara yang
memiliki kedaulatan tidak akan mengakui institusi atau
lembaga yang lebih tinggi, kecuali negara tersebut secara
sukarela menundukkan diri. Mengingat pengadilan
merupakan alat perlengkapan yang ada dalam suatu

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 41


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
negara maka wajar apabila pengadilan asing.66Rahmat
Bastian juga menyatakan bahwa berdasarkan prinsip
kedaulatan wilayah, putusan –putusan asing tidak dapat
secara langusng dilaksanakan dalam wilayah negara lain.
Hal ini juga berkaitan dengan prinsip kedaulatan hukum di
mana masing-masing prinsip, putusan asing tidak dapat
dilaksanakan dalam wilatah negara lain.67
Prinsip umum mengenai teritorial putusan
pengadilan suatu negara tersebut, berlaku juga pada
putusan pailit oleh pengadilan asing. Putusan pailit suatu
pengadilan dari suatu negara tidak dapat diakui dan oleh
karenanya tidak akan dapat dieksekusi oleh pengadilan
negara lain. Kenyataan ini pada suatu segi dapat menjadi
kebutuhan terhadap para pelaku usaha yang melintas
batas suatu negara.
Ricardo Simanjuntak menyatakan hal yang
sama bahwa asas sovereignity memang membuat
prinsip universal yang dianut oleh undang-undang
kepailitan tidak secara otomatis dapat diikuti oleh negara
asing. Ini berarti bahwa putusan pailit yang dijatuhkan
oleh suatu pengadilan (misalnya pengadilan niaga di
Indonesia) tidak otomatis dapat dilaksanakan di luar
negeri kecuali bila antar negara Indonesia dengan negara
di mana aset deitor tersebut berada telah terdapat
kesepakatan untuk saling mengakui dan melaksanakan
putusan pailit dari pengadilan negara masing-masing
(mutual recognition and enforcement of court decision of
contracting countries). Putusan pengadilan tersebut
paling hanya diberlakukan sebagai bukti terhadap upaya
relitigasi yang dilakukan di pengadilan negara asing di
mana aset debitor tersebut berada.68 Namun demikia
paling tidak telah terdapat semanagat dari masing-masing

66
Hikmahanto Juwana, “Relevansi Hukum Kepailitan dalam Transaksi
Bisnis Internasional”, dalam: emmy Yuhassarie (ed) Kepailitan dan ransfer Aset
Secara lemawan hukum, Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, hlm. 290-291.
67
Rahmat Bastian, “Prinsip Hukum kepailitan Lintas Yurisdiksi”, Dalam:
emmy Yhassarie (ed), Kepailita dan Transfer Aset Secara melawan hukum,
Pusat Pengkajian Hukum, Jkarta, 2005, (selanjutnya disebut sebagai Rahmat
bastian 2), hlm. 299.
68
Ricardo simanjuntak, “Ketentuan Hukum Internasional
42 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
negara untuk saling membuka pintu penjaga yang
bernama “prisip teritorial” negara masing-masing atas
keinginan dasar untui memberlakukan putusan dari
negara masing-masing secara tanpa batas negara (cross
border).
Apabila terdapat perbenturan antara prinsip
universal dengan prinsip teritorial, maka yang akan
dipakai adalah prinsip teritorial. Hal ini karena
kedaualatan suatu negara akan berada di atas kekuatan
hukum manapun dari pendekatan asli dari suatu cross
border insolvency adalah prinsip teritorial. Prinsip teritorial
akan dikesampaingkan apabila terdapat kesepakatan-
kesepakatan internasional (treatis) atau suatu negara
tersebut sama-sama menganut prinsip universal. Pada
dimensi lain, bisa diupayakan dengan jalan mengajukan
permohonan pailit ke beberapa negara yang terdapat
harta debitor tersebut.

10. Prinsip Commercial Exit from Financial Distress.


Secara umum, hakikat tujuan adanya kepailitan
adalah proses yang berhubungan dengan pembagian
harta kekayaan dari debitor terhadap para kreditornya.
Kepailitan ini merupakan jalan keluar untuk proses
pendistrubusian harta kekayaan debitor yang nantinya
merupakan boedel pailit secara pasti dan adil. Dikatakan
seara pasti karena dalam proses kepailitan telah
ditentukan lagkah-langkah dan progres pembagian harta
pailit secara pasti, seperti, siapa saja yang merupakan
kreditor dan mempunyai hak tagihan kepada si pailit,
bagaimanakah mekanisme pembagian antar kreditor baiik
kreditor yang sejenis maupun yang tidak sejenis, serta
yang lebih penting adalah masuknya pihak ketiga sebagai
pihak yang independen di dalam hubungan hukum antara
kreditor dengan debitor. Pihak independen itu adalah
kurator dan hakim pengawas. Hal mana merupakan
inplementasi dari prinsip debt pooling dari kepailitan
sebagaimana tersebut di atas.
Dimensi keadilan dari proses kepailitan adalah
terletak pada dilindunginya kepentingan dari kedua belah

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 43


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
pihak baik para kreditor pailit maupun debitor pailit. Saya
tidak sependapat terhadap pihak yang kepailitan sebagai
alat bagi kreditor untuk melindungi kepentingannya
semata-mata. Pada prinispnya kepailitan bukanlah alat
penekan bagi debitor untuk memenuhi kepentingan
kreditor ansich. Pada prinsipnya, terdapat banyak aspek-
aspek hukum yang juga memperhatikan kepentingan-
kepentingan debitor yang pada akhirnya untuk
meminimalisasi kerugian-kerugian terhadap harta
kekayaan debitor. Hal ini dapat dibuktikan antara lain
dalam ketentuan masa tunggu (stay), ketentuan
Penundaan Kewajiban Pembayra Utang (PKPU),
ketentuan rehabilitasi, dan lain sebagainya.
Perseroan Terbatas adalah pelaku utama dalam
lalu lintas perekonomian. Sebagai pelaku utama, maka
PT memiliki peranan yang sangat penting untuk
mengembangkan sektor perekonomian. Apabila PT yang
merupakan pelaku utama dalam perekonomian terjadi
permasalahan-permasalahan berkaitan dengan
peranannya tersebut, maka akan cukup mengoncangkan
perekonomian negara.
Kepailitan PT merupakan uapaya bukan hanya
sebagai mupaya untuk menyelesaikan persoalan itu
sendiri, melainkan juga mempunyai dimensi ekonomi
sosial. Frank H.Easterbrook menyatakan “Corporate
bankruptcy has two function: (1) to deliver the penalty for
failure by forcing a wrapping up when a business cannot
pay it debt; and (2) tomreduce the social cost of failure”. 69
Sementara itu dalam teori hukum kepailitan modern,
antara lain, dikatakan bahwa kepailitan yang terpenting
untuk mengatur kondisi ekonomi secara keseluruhan
Kevin J. Delanay yang menyitir pendapat dari Tremain
menyatakan bahwa “the true purpose of modern
bankruptcy law is not to punish or deal with some cinduct
on the part of the debtor, but rathers to administer a
situation or condition whose economic incidents are of
paramount concern.70

69
Frank H. Easter Brook, Op.cit., hlm. 405.
70
Kevin J. Delanay, Op. Cit, hlm. 17.
44 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Berangkat dari proposisi terakhir ini, maka
disamping kepailitan terhadap PT, juga diperlukan suatu
lembaga sebagai jalan lain dari putusan kepailitan
perusahaan. Lembaga yang bisa digunakan sebagai
alternatif dari kepailitan perusahaan adalah lembaga
restrukturisasi perusahaan. Restrukturisasi PT ini jika
dilakukan secara sisstimatis dan matang akan
menguntungkan di samping terhadap perusahaan yang
bersangkutan selaku debitor maupun kreditor dari yang
bersangkutan, dan juga secara luas akan memperkuat
basis perekonomian. Tujuan utama dari restrukturisasi
secara teoritis adalah mempertahankan perseroan selaku
debitor untuk dapat terus menjalankan usahanya sebagai
suatu going concern dengan memberikan kesempatan
kepada perusahaan yang memiliki utang kepada kreditor-
kreditor ang telah dapat ditagih dan belum dapat
membayar tetapi usahanya memiliki prospek yang baik,
untuk memperoleh kelonggaran waktu yang wajar dari
kreditor-kreditornya itu guna dapat melunasi utang-
utangnya, baik dengan atau tanpa memperbaharui syarat-
syarat perjanjian kredit, yang merupakan upaya alternatif
dari penyelesaian utang melalui kepailitan.
Dalam kepustakaan, ada berbagai macam bentuk
sebagai upaya melakukan restrukturisasi, yaitu, antara
lain:
1. Melakukan penjadwalan kembali pelunasan utang
(rescheduling), termasuk pemberian masa tenggang
(grace period) ang baru atau pemberian moratorium
kepada perusahaan debitor;
2. Melakukan persyaratan kembali perjanjian utang
(recondisioning);
3. Pengambilalihan utang, baik sebagian maupun
seluruhnya, oleh pihak lain yang dengan
pengambialihan itu menggantikan kedudukan debitor
sebagai debitor pengganti untuk jumlah utang yang
diambilalih;
4. Pengambilalihan tagihan dari satu atau lebih kreditor
oleh pihak lain, baik untuk sebgaian atau seluruh
tagihan, dan yang dapat dilakukan baik oleh kreditor

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 45


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
yang telah ada maupun oleh pihak ketiga, yang
dengan pengambilalihan itu pihak yang
mengambilalih menggantikan kedudukan kreditor
yang tagihannya diambil alih untuk jumlah tagihan
yang diambilalih;
5. Melakukan haircut (pemotongan atau pengurangan
utang pokok);
6. Melakukan perubahan tingkat suku bunga;
7. Melakukan pengurangan umlah bunga dan/atau
utang pokok yang tertunggak;
8. Memberikan utang baru;
9. Mengkonversi utang dengan surat utang yang dapat
dipindah tangankan;
10. Mengonversi utang dengan convertible bond;
11. Melakukan stappled bonds (penggantian obligasi
lama dengan obligasi baru);
12. Melakukan debt for equity swap;
13. Melakukan debt to asset swap;
14. Melakukan merger, akuisisi, atau konsolidasi;
15. Memasukkan modal baru oleh pemegang saham
yang lama atau yang baru melalui penempatan
langsung (direct placement) atau melalui bursa
saham (publik offering); dan
16. Penjualan aset tak produktif untuk membayar utang.
Sebelum melakukan upaya restrukturisasi ada
beberapa prinisp yang harus dipertimbangkan, antara lain
kecepatan penangana, biaya yang tidak tinggi, dan struktur
kepaital yang rasional. Mark J.Roe mengatakan bahwa ada
tiga mekanisme umum yang perlu dipertimbangkan dalam
penyelesaian reoganisasi perseroan, yakni:71
1. A bargain among creditors and stockholders ( a workout
that accurs outside the bankruptcy court or after the filing
of a bankruptcy petition), but evan then with minimal court
supervision;

71
Mark J. Roe, “Bankruptcy and Debt: A New Model for Corporation
Reorganization”, In: Jegdeep S. Bhandari and Lawrence A. Weiss, ed, Corporate
Bankruptcy: economic and Legal Persepective, Cambridge University Press,
New York, hlm. 351.
46 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
2. Litigation in which the court impose a solution and capital
structure; and
3. Although rarely even noted as a serious possibility, use of
the market.72
Apabila proses restrukturisasi perseroan mengalami
jalan buntu, maka jalan keluarnya adalah kepailitan. Dengan
demikian, pada prinsipnya kepailitan perseroan terbatas
adalah upaya rerkahir yang dilakukan untuk menyelesaiakan
problem perseroan yang terkait dengan kebagrutan
perseroan terbatas tersebut. Secara prinsip bahwa kepailita
bukanlah semata sebuah upaya untuk mempermudah
sebuah usaha bak itu milik perorangan maupun berbentuk
korporasi menjadi bangkrut, mleiankan kepailitan73 adalah
salah satu upaya untuk mengatasi kebangrutan sebuah
usaha.
Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa kepailitan
seyogyanya hanya merupakan ultimum remedium.74 Ricardo
Simanjuntak menyatakan bahwa kepailitan khususnya
corporate insolvecy sebenarnya merupakan exit form
financial distres, jadi merupakan suatu jalan keluar dari
persoalan yang membelit yang secara financial sudah tidak
bisa lagi terselesaikan.75 Jadi terdapat suatu fakta bahwa
telah ada suatu kewajiban yang secara teknis membuat
perusahaan tersebut tidak mampu membayar, maka
daripada ia berhubungan baik secara emosional maupu
secara bisnis dengan setiap pihak-pihaknya, satu-satunya
cara adalah ia akan meminta untuk dimohonkan pailit.
Stayus pemohon pailit akan membuat harta yang tersisa
dibagikan dan ia akan keluar kembali kemudian
membuatusaha yang baru, kira-jira itulah definisi dari
bankrupt secara corporate dari beberapa texbook dari
Amaerika dan Ingris.76
Tri Hernowo yang menyitir pendapat Volkmar
Gessner bahwa fungsi kepailitan penghukuman dalam

72
Ibid, hlm. 351.
73
Ibid.
74
Sutan Remy Syahdeini, Op., Cit., hlm. 59.
75
Ricardo simanjuntak 1, op., cit., hlm. 30.
76
Ibid.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 47
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
kepailitan lambat laun akan kehilangan maknanya karena
digantikan oleh fungsi sistem kompetisi sebagaimana dianut
dalam teori ekonomi liberal77 Kepailitan tidak lagi diliat
sebagai suatu kesalahan yang dilakukan oleh atau
menjatuhkan martabat individu, Ketidakmampuan si pailit
dianggap lebh disebabkan ketidakmampuan nya untuk
memenuhi permintaan pasar. Kepailitan dilihat sebagai suatu
resiko yang tidak dapat dicegah dalam perdagangan bebas.
Pailitnya debitor dianggap sebagai kontribusi fungsional
terhadap reorganisasi dan stabilisai permanen atas sistem
ekonomi. Stigma corporate failure sekarang berubah menjadi
corporate rescue.78
Prinsip commercial exit from financial dustress dari
kepailitan sekaligus juga memberikan makna bahwa
kepailitan adalah merupakan solusi dari masalah
penyelesaian utang debitor yang sedang mengalami
kebangrutan dan sebukan sebaliknya bahwa kepailitan justru
digunakan sebagai pranata hukum untuk membnagkrutkan
suat usaha. Kemudahan untuk mempailitkan suay debitor
sebanrnya tidak bertentangan dengan prinsip ini sepanjang
emudahan untuk mempailitkan adalah dalam konteks
penyelesaian utang karena adanya kesulitan finansial dari
usaha debitor.
Prinsip commercial exit from financial distress
merupakan prinsip yang ditemukan dalam kepailitan
perseroan terbatas. Secara teoritis, kepailitan PT harus
dibedakan dengan kebangrutan PT, Pembubaran PT, dan
Likuidasi PT. Kebnagrutan PT adalah suatumkeadaan
dimana perusahaan mengalami deterioasi adaptasi
perusahaan dengan lingkungannya yang sampai membawa
akibatpada rendahnya kinerja untuk jangka waktu tertentu
yang berkelanjutan yang pada akhirnya menjadikan
perusahaan tersebut kehilangansumber daya dan dana yang
dimiliki sebagai akibat dari gagalnya perusahaan melakukan
pertukaran yang sehat antara keluaran (output) yang
dihasilkan dengan masukan (input) baru yang harus

77
Volkmar Gessner et.al, Three Functions of Bankruptcy, The West
Germany Case, in Law an Society, 1978, hlm. 76.
78
Tri Hernowo, Op., Cit., hlm. 218-219.
48 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
diperoleh.79 Mirip dengan kondisi Kebangrutan perusahaan
adalah apa yang dinamakan perusahaan trunoround
menggambarkan situasi di mana suatu perusahaan
mengalami gangguan karena krisis cashflow atau krisis laba.
Meskipun demikian, definisi turnaround yang dimaksud disini
mempunyai arti yang lebih luas di mana perusahaan
seringkali menunjukkan tanda-tanda atau gejala-gejala jauh
sebelum adanya krisis, mirip dengan orang yang sakit pada
awalnya menunjukkan tanda-tanda akan sakit.80
Adapun pembubaran perseroan terbatas (winding up)
adalah merupakan suau langkah hukum yang diambil
terhadap PT atas alasan-alasan hukum tertentu, antara lain,
janga waktu berdiri dari PT tersebut telah berakhir ataupun
alasan-alasan hukum atupun alasan komersial yang
mengharuskan badan hukum tersebut bertanggung jawab
kepada RUPS ataupun otoritasnya dicabut dibubarkan, baik
melalui RUPS dan/atau melibatkan peran pengadilan negeri
di mana kemudian untuk mmelakukan pengurusan dan
pemberesan harta badan hukum dalam likuidiasi tesebut
diangkatlah tim likuidator yang bertanggungjawab kepada
RUPS ataupun otoritas yang menaungi usaha yang
dijalankan oleh badan hukum tersebut.81
Elips dalam Kamus Hukum Ekonominya mengartikan
liquidation sebagai pembubaran perusahaan diikuti dengan
proses penjualan harta perusahaan, penagihan piutang,
pelunasan uatang, serta penyelesaian harta perusahaan,
penagihan piutang, pelunasan utang, serta penyelsaian sisa
harta atau utang antara pemegang saham.82
Dari teori dan ketentuan pembubaran dan likuidasi
PT tersebut di atas, maka secara jelas ada perbedaan antara
pembubaran dengan likuidasi. Likuidasi merupakan tindakan

79
Suwarsono muhammad, Op., Cit., 2001, hlm. 5.
80
Ichael Teng, op., cit., hlm. 3.
81
Ricardo Simanjuntak, “Kepailitan dan Likuidasi (Study Kasus: BPPN
vs PT. Muara Alas Prima)”, Dalam: Valerie Selvie Sinaga ((ed), Analisa Putusan
Kepailitan Pada Pengadilan Niaga Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Katolik
Atmajaya, Jakarta (selanjutnya disebut sebagai Ricardo Simanjuntak 3), 2005,
hlm. 185.
82
Eliips, Kamus Hukum Ekonomi Elips, Penerbit Proyek Elips, Jakarta,
1997, hlm. 105.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 49
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
atau langkah pemberesan aset, Sedangkan pemberesan
aset merupakan langkah yang dilakukan tidak saja terhadap
badan hukum yang telah dibubarkan di luar kepailitan tetapi
juga merupakan langkah pemberesan aset yang dilakukan
terhadap debitor yang telah donyatakan pailit. Hanya terjadi
pernedaan pengaturan norma natara ikuidasi dalam
pembubaran perseroan terbatas secara umum dengan
likuidasi dalam kepailitan. Likuidasi dalam pembubaran
perseroan terbatas secara umum dilakukan oleh likuidator
yang tunduk pada UUPT, sedangka likuidasi dalam
kepailitan dilakukan oleh kurator yang tunduk pada undang-
undang kepailitan.
Di samping perbedaan tersebut, ada benang merah
antara likuiditas dalam kepailitan dengan likuidasi dalam
pembubaran perseroan terbatas secara umum. Benang
merah tersebut seperti diungkapkan oeh Ricardo
Simanjuntak bahwa dalam melaksanakan misi tersebut,
maka dalam proses kepailitan diangkat seorang atau lebih
kurator untuk melakukan pengurusan dan pemberesan
(likuidasi) terhadap harta pailit yang telah terlebih dahulu
diletakan dalam status sita umum (public attachment) dan
begitu juga segera setelah pembubaran perseroan
diangkatlah likuidator (tim likuidator) untuk melakukan
pemberesan (likuidasi) terhadap harta-harta dalam likuidasi.
Artinya, seluruh tindakan dari kurator maupun likuidator
tersebut adalah dalam upaya untuk melakukan
maksimalisasi jumlah dan nilai aset yang ada untuk segera
dijual di mana hasil dari penjualan aset tersebut akan
dibagikan kepada setiap kreditor dari perusahaan yang
dipailitkan ataupun dibubarkan tersebut secara prorata.

3. Tujuan Hukum Kepailitan


Untuk menghindarkan para Kreditur berebutan saling
mendahului untuk menguasai dan menjual harta kekayaan
(aset) Debitur sehingga timbul ketidak adilan mengenai
keseimbangan pembagian harta kekayaan (aset) Debitur,
maka hukum membuat Undang-Undang Kepailitan.

50 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Tujuan utama dari hukum Kepailitan (bankruptcy law)
adalah; 83
1. Memberi kesempatan kepada Debitur untuk berunding
dengan para krediturnya untuk melakukan
restrukturisasi utang, baik dengan penjadwalan kembali
pelunasan utang Debitur, dengan atau tanpa perubahan
syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan perjanjian utang,
dengan atau tanpa peberian syarat-syarat atau
ketentuan-ketentuan perjanjian utang, dengan atau
tanpa pe,berian pinjaman baru. Dalam Bankruptcy Code
Amerika Serikat, hal ini diatur di dalam Chapter 11
mengenai Reorganization. Di dalam UUK-PKPU
kesempatan bagi Debitur untuk mencapai kesepakatan
restrukturisasi utang-utangnya dengan para Krediturnya
dalam Bab III tentang Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU).
2. Melindungi para kreditur konkuren untuk memperoleh
hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas
jaminan, bahwa “semua harta kekayaan Debitur baik
bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah
ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari,
manjadi jaminan bagi perikatan Debitur”. yaitu dengan
cara memberikan fasilitas dan prosedur untuk mereka
dapat memenuhi tagihan-tagihannya kepada Debitur.
Menurut hukum Indonesia, asas jaminan tersebut
ditentukan dalam Pasal 1131 KUH Perdata. Hukum
Kepilitan menghindarkan terjadinya saling rebut di
antara para kreditur terhadap harta Debitur berkenaan
dengan asas jaminan tersebut. Tanpa adanya Undang-
Undang Kepilitan, maka akan terjadi Kreditur yang lebih
kuat mendapatkan bagian yang lebih banyak daripada
Kreditur yang lemah. Dengan demikian, hukum
Kepailitan mencegah terjadinya konflik di antara para
Kreditur agar tidak saling berebut harta kekayaan
Debitur yang sudah insolven;

83
Sutan Remy Syahdeini, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan
Memahami UU No. 37 Tahun 204 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran, Jakarta: Prenadamedia Group, Juli 2016, hlm. 5-6.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 51
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
3. Menjamin agar pembagian harta kekayaan Debitur
diantara para Kreditursesuai dengan asas pari pasu
(membagi secara proporsional harta kekayaan Debitur
kepada para Kreditur Konkuren atau unsecured
creditors berdasarkan perimbangan besarnya tagihan
masing-masing). Di dalam hukum Indonesia, asas pari
passu dijamin oleh Pasal 1132 KUH Perdata . Hukum
Kepailitan menjamin pembagian secara adil terhadap
hasil likuidasi harta kekayaan Debitur di antara para
Krediturnya;
4. Memastikan siapa saja para Kreditur yang memiliki
tagihan (piutang) terhadap Debitur pailit dengan
melakukan pendaftaran para Kreditur;
5. Memastikan kebenaran jumlah dan keabsahan piutang
para kRediturdengan melakukan verifikasi;
6. Memberikan perlindungan kepada Debitur yang
beritikad baik agar penagihan piutang kreditur tidak
langsung dilakukan terhadap para Debitur tetapi
melakukan likuidator atau kurator setelah Debitur
dinyatakan pailit oleh pengadilan;
7. Melindungi para Kreditur dari Debitur yang hanya
menguntungkan Kreditur tertentu.
8. Melindungi para Kreditur dari seama Kreditur;
9. Pada US Bankruptcy Code, undang-undang tersebut
memberikan fresh start bagi Debitur pailit yang beritikad
baik setelah seluruh harta kekayaannya dilikuidasi dan
hasilnya dibagikan kepada para Krediturnya. Sekalipun
nilai harta kekayaan Debitur setelah dilikuidasi atau
dijual oleh likuidator tiak cukup untuk melunasi seluruh
utang-utangnya kepada mpara Krediturnya, tetapi
Debiur tersebut tidak lagi diwajibkan untuk melunasi
utang-utang tersebut. Kepada Debitur tersebut diberi
kesempatan untuk memperoleh financial fresh start.
Kepada Debitur diberikan discharge (pembebasan
utang). Dengan demikian, Debitur tersebut dapagt
memulai kembali melakukan bisnis tanpa dibebani
dengan utang-utang yang menggantung dari masa
lampau sebelum putusan pailit. Menurut UUK-PKPU,
financial fresh start tidak diberikan kepada Debitur, baik

52 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Debitur perorangan maupun Debitur badan hukum,
setelah tindakan pemberesan oleh Kurator selesai
dilakukan. Artinya, apabila setelah tindakan pekberesan
atau likuidasi terhadap hartam kekayaan Debitur selesai
dilakukan oleh Kurator dan ternyata masih terdapat
utang-utang yang belum lunas. Debitur tersebut masih
tetap harus menyelesaikan utang-utangnya samapai
mkapan pun (lihat Pasal 204 UUK-PKPU). Penjelasan
umum dari undang-undang tersebut menyatakan
“Kepailitan tidak membebaskan seorang yang
dinyatakan pailit dari kewajiban untuk membayar utang-
utangnya”. Setelah tindakan pemberesan atau likuidasi
selesai dilakukan oleh Kurator, Debitur kembali
diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan
hukum yang berkaitan dengan harta kekayaanya,
artinya Debitur boleh kembali melakukan kegiatan
usaha, tetapi tetap berkewajiban untuk menyelesaikan
utang-utang yang belum lunas. Tegasnya, harta
kekayaan Debitur tidak lagi berada dalam sita umum.
10. Mencegah agar Debitur tidak melakukan perbuatan-
perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para
kreditur. Dengan dinyatakan seorang Debitur pailit maka
debitur menjadi tidak lagi memilki kewenangan untuk
mengurus dan memindahtangankan harta kekayaannya.
Putusan pailit memberikan status hukum dari harta
kekayaan Debiur berada di bawah sita umum (disebut
harta pailit).
11. Menegakkan ketentuan actio pauliana. Dalam istilah
bahasa Inggris, ketentuan ini disebut clawsback
provision. Actio pauliana adalah hak yang diberikan oleh
undang-undang kepada Kreditur untuk menuntut
pembatalan dari segala tindakan Debitur yang tidak
diwajibkan untuk dilakukannya. Namun dengan
ketentuan bahwa tindakan debitur tersebut sepanjang
dapat dibuktikan bahwa pada saat tindakan tersebut
dilakukan, Debitur dan pihak dengan siapa debitur
mengikat diri mengetahui bahwa mereka dengan
dilakukannya tindakan itu menyebabkan terjadinya
kerugia kepada Kreditur. Ketentuan dalam actio

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 53


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
pauliana diatur dalam Pasal 1341 KUH Perdata yang
lengkapnya berbunyi:
Meskipun demikian, tiap kreditur boleh mengajukan
tidak berlakunya segala tindakan yang tidak diwajibkan
yang dilakukan oleh debitur, dengan nama apa pun jua,
yang merugikan kreditur, asal dibuktikan, bahwa ketika
tindakan tersebut dilakukan, debitur dan orang yang
dengannya atau untuknya debitur itu bertindak,
mengetahui bahwa tindakan itu mengakibatkan kerugian
bagi para kreditur. Hak-hak yang diperoleh pihak ketiga
dengan itikad baik atas barang-barang yang menjadi
objek dari tindakan yang tidak sah, harus dihormati.
Untuk mengajukan batalnya tindakan yang dengan
Cuma-Cuma dilakukan debitur, cukuplah Krditur
menunjukkan bahwa pada waktu melakukan tindakan itu
debitur mengetahui, bahwa dengan cara demikian dia
merugikan para kreditur, tak peduli apakah orang yang
diuntungkan juga mengetahui hal itu atau tidak. (KUH
Perdata 192, 920, 977, 1061, 1067, 1166, 1185, 1454,
1922, 1952; Credverb.5; F.30, 41 dan seterusnya).
Ketentuan Pasal 1341 KUH Perdata tersebut
merupakan pengecualian dan Pasal 1340 KUH Perdata
yang menentukan bahwa suatu perjanjian hanya berlaku
dan mengikat para pihak yang membuatnya. Dengan
adanya ketetuan Pasal 1341 KUH Perdata, yaitu
ketentuan mengenai actio pauliana, pihak ketiga yang
merasa dirugikan dengan adanya perjanjian antar pihak
pertama dan pihak kedua, dapat menuntut agar
perjanjian tersebut dibatalkan oleh Pengadilan.84
Berkaitan dengan hukum kepailitan, secara khusus
actio pualiana diatur dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat
(2) UUK-PKPU yang berbunyi:

(1) Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan


dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan
hukum Debitur yang telah dinyatakan pailit yang

84
Baca pula: wibowo Tunardy, Actio Paliana, cfm
http://www.jurnalhukum.com/actio-pauliana/;Info Hukum, Actio Pauliana, cfm
http://hukumindonesiaterkini.blogspot.com/2012/07/actiopauliana.html.
54 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
merugikan kepentingan Kreditur yang dilakukan
sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
(2) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan
bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan,
Debitur dan pihak dengan siapa perbuatan hukum
tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya
mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut
akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditur.
Adanya ketentuan mengenai harta kekayaannya
melunasi utang kepada satu atau lebih Kreditur atau
mengalihkanya actio pauliana(bankruptcy clawback
provision) dalam kepailitan sangat materiel. Apabila
seorang Debitur melunasi utang kepada satu atau
lebih Kreditur atau mengalihkan harta kekayaannya
sebelum permohonan pailit diajukan kepada
Pengadilan, Kurator diberi hak untuk membatalkan
transaksi tersebut dan memperoleh kembali harta
kekayaan itu demi kepentingan para kreditur
Konkuren (Unsecured Creditors).
Apabila debitur telah diputuskan pailit oleh pengadilan
Niaga, sekalipun terhadap putusan tengadilan Niaga
di batalkan ditingkat kasasi atau ditingkat peninjauan
kembali, menurut Pasal 16 ayat (1) UUK-PKPU
(1) Kurator berwenang melaksanakan tugas
pengurusan dan/atau pemberesan atas Harta
Pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan
meskipun terhadap putusan tersebut diajukan
kasasi atau peninjauan kembali.
Pertanyaannya adalah bagaimana pelaksanaan actio
pauliana yang telah dilakukan oleh Kurator apabila
ternyata terhadap putusan pailit Pengadilan Niaga
dibatalkan ditingkat kasasi atau ditingkat peninjauan
kembali. Hal tersebut diatur dalam Pasal 16nayat (2)
UUK-PKPU yang berbunyi sebagai berikut:
(2) Dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan
sebagai akibat adanya kasasi atau peninjauan
kembali, segala perbuatannya yang telah
dilakukan oleh Kurator sebelum atau pada tanggal

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 55


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Kuraor menerima pemberitahuan tentang putusan
pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 tetap sah dan mengikat Debitur.
Bagaimana halnya apabila pihak dengan siapa
Debitur mengikatkan diri sama sekali tidak
mengetahui bahwa Debitur dalam melakukan
transaksi terkait dengan harta kekayaannya itu
memiliki rencana tersembunyi, yaitu bahwa Debitur
dalam waktu yang tidak terlalu lama akan
mengajukan permohonan pailit? Artinya, pihak
dengan siapa Debitur mengikatkan diri beritikad baik.
Sama sekali yang bersangkutan tidak melakukan
kongkalikong (pat gulipat) dengan debiur. Apalagi
apabila pihak tersebut telah tidak lagi memiliki
barangnya karena telah dijual kepada pihak lain
berdasarkan jual beli yang dilandasi oleh itikad baik .
Apabola terjadi hal yang emikian itu, maka pihak
dengan siapa Debitur bertrasaksi tidak dapat ditunutut
untuk mengembalikan dalam bentuk uang, maka yang
terjadi adalah “ apa boleh buat dan sudah nasib para
Kreditor Konkuren yang dirugikan”.
12. Menghukum pengurus perusahaan yang karena
kesalahannya telah mengakibatkan perusahaan
mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga
perusahaan mengalami keadaan insolvensi sehingga
dinyatakan pailit oleh pengadilan. Dalam undang-
undang UUK-PKPU, sanksi perdata maupun pidana
tidak diatur di dalamnya, tetapi diatur di dalam UU No.
40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas dan KUH
Pidana. Di beberapa negara lain, sanksi-sanksi itu
dimuat di dalam Undang-Undang Kepailitan negara
yang bersangkutan. Di Inggris sanksi-sanksi pidana
berkenaan dengan kepailitan ditentukan dalam
Companies Act 1985 dan Insolvensy Act 1986.85

85
Milman, David & Christopher Durrant, Corporate Insolvency: Law and
Practice, London: mSweet & Maxwell, 1987, page. 175-176.
56 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
4. Tujuan UUK-PKPU
Dalam Penjelasan Umum UU No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang dikemukakan mengenai beberapa
faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang, yaitu:86
Pertama, untuk menghindari perebutan harta Debitur
apabila dalam waktu yang sama ada beberapa Kreditur
yang menagih piutangnya dari Debitur;
Kedua, untuk menghindari adanya Kreditur pemegang
Hak Jaminan kebenaaan yang menuntut haknya dengan
cara menjual barang miliki Debitur tanpa memperhatikan
kepentingan Debitur atau para Kreditur lainnya;
Ketiga untuk menghindari adanya kecurangan-
kecurangan yang dolakuka oleh salah seorang Kreditur
atau Debitur sendiri. Misalnya, Debitur berusaha untuk
memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa
orang kreditur tertentu sehingga Kreditur lainnya
dirugikan, atau7 adanya perbuatan curang dari Debitur
untuk mmenyembunyikan harta kekayaannya dengan
maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap
para Kreditur.
Ketiga hal itulah yang menurut pembuat UU No. 37 Tahun
2004 tentang UUK-PKPU yang merupakan tujuan
dibentuknya undang-undang tersebut yang merupakan
produ hukum nasional yang sesuai dengan kebutuhan
dan pembangunan hukum masyarakat.

5. Sumber Hukum Kepailitan Indonesia


Dari uraian tersebut diatas, dapat dinyatakan bahwa
sumber-sumber hukum kepailitan Indonesia adalah:87
1. KUH Perdata khususnya Pasal 1131, Pasal 1132,
Pasal 1133 dan Pasal 1134
2. Undang-Undang Nomo r 37 Tahun 2004 tentang
kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran

86
Sutan Remy Sjahdeini, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan:
Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Prenadamedia Group, 2016, hlm. 9.
87
Ibid., Sutan Remy Sjahdeini, hlm. 10.
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 57
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Utang, Lembaran negara Republik Indonesia. 2004,
No. 131
3. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, khususnya Pasal 104 dan Pasal
142.

6. Fungsi Undang-Undang Kepailitan


Undang-Undang Kepailitan merupakan
pelaksanaan dari Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH
Perdata. Sebagiaman diketahui, Pasal 1131 KUHPerdata
menentukan:88
Segala harta kekayaan Debitur, baik yang bergerak
maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi
jaminan untuk segala perikatan Debitur.

Pasal 1132 KUH Perdata menentukan:

Harta kekayaan tersebut menjadi jaminan bersama bagi


semua Kreditur yang memiliki piutang terhadapnya.
Undang-Undang kepailitan dibuat agar Kreditur
tidak berebutan dengan saling menadhului menguasai
harta keyaan Debitur mengingat berlakunya Pasal 1131
KUH Perdata tersebut diatas. Masing-masing Debitur
akan merasa memiliki hak hukum untuk memperoleh
pelunasan dari harta kekayaan Debitur megingat
ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata tersebut. Tidak
mustahil masing-masing Kreditur akan berebutan untuk
dahulu mendahului mengajukan permohonan sita jaminan
kepada pengadilan.
Hanya dengan telah diaturnya tingkat prioritas
dan urutan pelunasan masing-masing piutang para
Kreditur oleh undang-undang sebagaimana tercantum
dalam KUH Perdata, belumlah cukup. Di samping ada
ketentuan mengenai tingkat prioritas dan urutan
pelunasan masing [iutang sebagaimana diatur di dalam
KUH Perdata, perlu ada pula undang-undang lain yang

88
Ibid., Sutan Remy Sjahdeini, hlm. 11
58 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
mengatur mengenai bagaimana cara membagi hasil
penjualan harta kekayaan debitur untuk melunasi piutang-
piutang masing-masing Kreditur berdasarkan urutan
tingkat prioritasnya itu. Sdelain itu harus pula ditentukan
oleh undang-undang lain mengenai oleh siapa
pembagian itu dilakukan (yaitu oleh Kurator) dan
bagaimana caranya melakukan pembagiannya. Undang-
undang yang dimaksud adalah Undang-Undang
kepailitan. Pada saat ini. Undang-Undang kepailitan yang
berlaku di Indonesia adalah UU No. 37 Tahun 2004,
LNRI, Tahun 2004 No. 131.
Sebelum harta kekayaan Debitur dibenarkan oleh
hukum untuk dijual dan hail penjualan tersebut kemudan
dibagi-bagikan kepada para Krediturnya, terlebih dahulu
harta kekayaan Debitur itu harus diletakkan oleh
pengadilan di bawah sita umum (dilakukan penyitaan untk
kepentingan semua Krediturnya dan bukan untuk kreditur
tertentu saja). Apabila harta kekayaan Debiur tidak
terlebih dahulu diletakkan di bawah sita umum sebelum
dijual, maka yang akan terjadi iaah para Kreditur akan
berebutan saling dahlu mendahului untuk memperoleh
pelunasan dari harta kekayaan Debitur. Agar harta
kekayaan Debitur tersebut secara hukum dapat
diletakkan di bawah sita umum, maka harus terlebih
dahulu Debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan.
Bagaimana tata caranya agar seorang Debitur dapat
dinytakan pailit oleh pengadilan, diatur pula oleh Undang-
Undang kepailitan.
Dalam Undang-Undang Kepailitan juga diatur
tentang bagaimana caranya menentukan kebenaran
mengenai adanya (eksistensi) suatu piutang (tagihan)
seorang Kreditur, sahnya piutang (tagihan) tersebut dan
jumlah yang pasti dari piutang (tagihan) tersebut, serta
cara membagi hasil penjualan harta kekayaan Debitur
kepada para Kreditur. Undang-Undang kepailitan juga
mengatur mengenai upaya perdamaian yang dapat
ditempuh oleh Debitur dengan para Krediturnya, baik
sebelum Debiur dinhyatakan pailit oleh pengadilan atau
setelah Debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan.

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 59


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
7. Sumber Utang
Dalam kehidupan, baik orang perorangan (natural
person) maupun suatu badan hukum (legal entity),
adakalanya tidak memilki uang yang cukup untuk
membiayai keperluan atau kegiatannya. Untimdapat
mencukupi kekurangan uang tersebut, orang atau
perusahaan antara lain dapat melakukannya dengan
meminjam uang yang dibutuhka itu dari pihak lain. Dalam
kehidupan memang tersedia sumber-sumber dana bagi
seseorang atau suatu badan hukum yang ingin
memperoleh pinjaman (borrowing, atau loan, atau credit).
Dari sumber-sumber dana itulah kekurangan dana
tersebut diperoleh. Apabila seseorang atau suatu badan
hukum memeproleh penjaman dari pihak lain (orang lain
atau badan hukum lain), pihak yang memperoleh
pinjaman itu disebut Debitur, sedangkan pihak yang
memberikan peinjaman itu disebut Kreditur.
Debitur dapat memperoleh utang dari berbagai
sumber terutama dari kreditur antara lain sebagai berikut:
a. Kredit dari Bank (baik berupa kredit biasa dari sebuah
bank maupun Kredit Sindikasi ang diberikan oleh
beberapa bank, atau pinjaman dari orang perorangan
(pribadi) berdasarkan perjanjian kredit, atau perjanjian
meminjam uang;
b. Surat-surat utang jangka pendek (sampai dengan satu
tahun), seperti misalnya commercial paperyang pada
umumnya berjangka waku tidak lebih dari 270 hari;
c. Surat-surat utang jangka menengah (lebih dari satu
tahun sampai dengan 3 tahun);
d. Surat-surat utang jangka panjang (diatas tiga tahun),
antara lain berupa obligasi yang dijual melalui pasar
modal atau dijual melalui direct placement.
Utang-utang tersebut di atas diperoleh oleh
Debitur berdasarkan perjanjian bilateral natara Debitur
dan Kreditur. Namun Debitur dapat berutang bukan
karena bersumber dari perjanjian tetapi bersumber dari
keentuan undang-undang dan karena Putusan
Pengadilan. Setiap tahun Debitur harus membayar pajak

60 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
kepada Negara. Pajak merupakan utang Deitur kepada
Negara. Dalam hal ini, Negara merupaan Kreditur.
8. Jenis Kreditur
Di antara para Kreditur sebagaimana telah
dijelaskan di atas, oleh hukum dikelompokkan ke dalam
beberapa golongan berdasarkan urutan prioritas haknya
untuk memperoleh pelunasan piutangnya terhadap para
Kreditur yang lain. Dalam hukum, dikenal ada dua
golongan Kreditur, yaitu Kreditur Preferen (Preferential
Creditor atau Preferred Creditor) dan Kreditur Konkuren
(Unsecured Creditor). Kreditur Preferen terdiri atas
Kreditur Pemegang Hak Jaminan (secured Creditor) dan
Kreditur Dengan Hak Isimewa (Privelage Right). Masing-
masing jenis Kreditur tersebut berbeda-beda kedudukan
hukumnya sepanjang menyangkut prioritas haknya untuk
memperoleh pelunasan piutangnya dari Debitur terhadap
golongan Kreditur yang lain.
Disebut Kreditur Preferen karean kreditur tersebut
mempunyai hak preferensi (preferential Right) atau hak
untuk didahulukan pelunasan piutangnya dari hasil harta
pailit daripada pelunasan piutang para Keditur Konkuren.
Untuk mengetahui para Kreditur dengan Hak
Jaminan (Secures Creditors) sudah tertentu karena siapa
saja yang memegang Hak Jaimnan yang diakui oleh
undang-undang (Indonesia: Hak tanggungan, Hipotek,
Gadai, dan Fidusia). Sementara itu, piutang siapa saja
yang merupakan Hak Istimewa (Privelage Right)
ditentukan oleh undang-undang secara spesifik.
Pasal 1132 KUH Perdata mengisyaratkan bahwa
setiap Kreditur memiliki kedudukan yang sama terhadap
Kreditur lainnya, kecuali ditentukan lain oleh undang-
undang karena memiliki alasan yang sah untuk
didahulukan daripada Kreditur lainnya. Dengan alasan
kalimat dalam Pasal 1132 KUH Perdata yang berbunyi
“kecuali apabila di antara para Kreditur itu terdapat alasan
yang sah untuk didahulukan daripada Kreditur lainnya”,
maka terdapat Kreditur tertentu yang diberi kedudukan
hukum lebih tinggi daripada Kreditur lainnya.

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 61


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Menurut Pasal 1133 KUH Perdata, seorang
Kreditur dapat diberikan kedudukan untuk didahulukan
terhadap para kreditur lain apabila tagihan kreditur yang
bersangkutan merupakan:
d. Tagihan yang berupa Hak Isimewa;
e. Tagihan yang dijamin dengan Hak gadai;
f. Tagihan yang dijamin dengan Hpotek.
Untuk jelasnya, Pasal 1133 KUH Perdata berbunyi
sebagai berikut:
“Hak untuk didahulukan di antara para Krediur
timbul karena hak istimewa, Gadai, dan Hipotek
Perihal gadai dan hipotek diatur dalam Bab Kedua
Puluh dan Kedua Puluh satu buku ini.”

B. PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
merupakan alternatif penyelesaian utang untuk
menghindari kepailitan. Menurut Munir Fuady PKPU
adalah suatu periode waktu tertentu yang diberikan oleh
undang-undang melalui putusan pengadilan niaga,
dimana dalam periode waktu tersebut kepada kreditor
dan debitor diberikan kesepakatan untuk memusyawarah
kan cara-cara pembayaran utang-utangnya dengan mem-
berikan memberikan rencana perdamaian (composition
plan) terhadap seluruh atau sebagaian utangnya itu,
termasuk apabila perlu merestrukturisasi utangnya
tersebut. Dengan demikian Penundaan Kewajiban Pem-
bayaran Utang (PKPU) merupakan semacam moratorium
dalam hal ini legal moratorium.89
Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan PKPU Pasal 222 ayat (2)
dikatakan: Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan
dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang
sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon
penundaan kewajiban pebayaran utang dengan maksud
untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi

89
Munir Fuadi, PengantarHukum Bisnis (Bandung: citra Aditya Bakti,
2001), hlm. 82.
62 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang
kepada kreditor”.
Permohonan PKPU dapat diajukan oleh kreditor
maupun debitor kepada Pengadilan Niaga. Permohonan
PKPU dapat diajukan sebelum ada permohonan pailit
yang diajukan oleh debitor maupun kreditor atau dapat
juga diajukan setelah adanya permohonan pailit asal
diajukan paling lambat pada saat sidang pertama
pemeriksaan permohonan pernyataan pailit. Namun jika
permohonan pailit dan PKPU diajukan pada saat yang
bersamaan maka permohonan PKPU yang akan
diperiksa terlebuh dahulu.
Pada hakekatnya tujuan PKPU adalah untuk
perdamaian. Fungsi perdamaian dalam proses PKPU
sangat penting artinya, bahkan merupakan tujuan utama
bagi si debitor sebagai orang yang paling mengetahui
keberadaan perusahaa, bagaimana keberadaan perusa-
haannya ke depan baik potensi maupun kesulitan
membayar utang-utangnya dari kemungkinan-kemungki-
nan masih dapat bangkit kembali dari jeratan utang-utang
terhadap kreditornya.
Oleh karenanya langkah-langkah perdamaian ini
adalah untuk menyusun suatu strategi baru bagi si debitor
menjadi sangat penting. Namun karena faktor kesulitan
pembayaran utang-utang yang mungkin segera jatuh
tempo yang mana sementara belum dapat diselesaikan
membuat si debitor terpaksa membuat suatu konsep
perdamaian, yang mana konsep ini nantinya akan
ditawarkan kepada pihak kreditor, dengan demikian si
debitor masih dapat nantinya, tentu saja jika perdamaian
ini diseujui oleh para kreditor untuk meneruskan
berjalannya perusahaan si debitor tersebut. Dengan kata
lain tujuan akhir dari PKPU ini ialah dapat tercapainya
perdamaian antara debitor dan seluruh kreditor dari
rencana perdamaian yang diajukan/ditawarkan si debitor
tersebut.
Apabila rencana perdamaian tidak tercapai atau
Pengadilan menolak rencana perdamaian, maka
Pengadilan wajib menyatakan Debitor dalam Keadaan

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 63


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Pailit. Pengadilan dapat menolak rencana perdamaian
karena:90
1. Harta debitor, termasuk benda untuk mana
dilaksanakan hak untuk menahan benda, jauh lebih
besar dari pada jumlah yang disetujui dalam
perdamaian;
2. Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin;
3. Perdamaian itu dicapai karena panipuan, atau
persengkongkolan dengan satu atau lebih kreditor,
atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur
dan tanpa menghiraukan apakan debitor atau pihak
lain bekerja sama untuk mencapai hal ini;
4. Imbalan jasa dan biaya dikeluarkan oleh ahli dengan
pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan
untuk pembayaran.
PKPU pada dasarnya, hanya berlaku/ditujukan
pada para kreditor konkuren saja. Walaupun pada
Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 pada Pasal 222
ayat (2) tidak disebut lagi perihal kreditor konkuren
sebagaimana halnya Undang-undang Nomor 4 Tahun
1998 pada Pasal 212 jelas menyebutkan bahwa debitor
yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak
akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang
sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon
penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan
maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana
perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh
atau sebagian utang kepada kreditor konkuren. Namun
pada Pasal 244 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
disebutkan:
Dengan tetap mempertahankan ketentuan Pasal
246, penundaan kewajiban pembayaran utang tidak
berlaku terhadap:
a. Tagihan yang dijamin dengan gadai, jaminan fidusia,
hak tanggungan, hipotik, atau hak guna atas
kebendaan lainnya;

90
http://human lawoffice.blogspot.co.id/2014/04/pengertian-kepailitan-
dan-pkpu-html.
64 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
b. Tagihan biaya pemeliharaan pengawasan atau
pendidikan yang sudah harus dibayar dan hakim
pengawas harus menentukan jumlah tagihan yang
sudah ada dan belum dibayar sebelum penundaan
kewajiban pembayaran utang yang bukan merupakan
tagihan dengan hak untuk diistimewakan.
c. Tagihan yang diistimewakan terhadap benda tertentu
milik debitur maupun terhadap seluruh harta debitur
yang tidak tercakup pada point b”.
Berdasarkan pengertian tenta kepailitan dan
PKPU di atas, dapat kita simpulkan bahwa dalam
kepailitan, harta debitur akan digunakan untuk membayar
semua utang-utangnya yang sudah dicocokkan,
sedangkan dalam PKPU harta debitur akan dikelola
sehingga menghasilkan dan dapat doigunakan untuk
membayar utang-utang debitur.

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 65


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
66 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
BAB III

PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS

A. Penyajian Data hasil Penelitian :


1. Balai Harta Peninggalan
a. Sejarah BHP di Indonesia
Balai Harta Peninggalan ada awalnya pembentu-
kannya di awali dengan masuknya Hindia Belanda ke
Indonesia tahun 1596 sebagai pedagang. Dengan semakin
banyaknya bangsa belanda dan menghasilkan hata/
kekayaan, maka guna mengurus harta-harta tersebut untuk
kepentingan para ahli warisnya di negsederland, maka
dibentuk Lembaga yang diberi nama West en Boedel
Kamer (Balai Harta Peninggalan) pada tanggal 1 Oktober
1624 berkedudukan di Jakarta.
Untuk menjangkau wilayah Indonesia yang sangat
luas, maka menyusul di bentuk lagi BHP Medan,
Semarang, Surabaya dan makasar. Bahkan di hampir tiap-
tiap Karesidenan/kabupaten pada waktu itu dibentuk lagi
BHP yang merjupakan Kantor Perwakilan. Sedangkan
untuk BHP Peninggalan Jakarta mempunyai Kantor
Perwakilan di Bandung, Cirebon, Bogor, Sukabumi,
Serang, lampung, Palembang, angkal Pinang, Pontianak
dan Singkawang.
Seiring perkembangan dan perubahan sistem hukum
di Indonesia, tahun 1987 semua perwakilan BHP di seluruh
Indonesia dihapuskan sesuai keputusan menteri kehaki-
man RI. Nomor M.06-PR.07.01 Tahun 1987. Saat ini hanya
aa 5 (lima) Balai Harta Peninggalan di Indonesia, yaitu:
Jakarta, semarang, Suarabaya, medan dan Makasar, dan
masing-masing meliputi wilayah kerja di daerah tingkat I
dan tingkat II.

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 67


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Pada saat ini BHP Jakarta mempunyai wilayah kerja
yang meliputi 8 (delapan) propinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa
Barat, Banten, Lampung, Sumatera Selatan, Bangka
Belitung, Jambi dan Kalimantan Barat.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI Nomor 28 Tahun 2014 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor 29 Tahun 2015
tentang Organisasi dan Tata Kerja kantor Kementerian
Hukum dan Hak Asasi manusia Republik Indonesia, Balai
harta Peninggalan Merupakan Unit Pelaksana Teknis
berada di Lingkungan Kantor Wilayah Kementerian Hukum
dan HAM di bawah Divisi Pelayanan Hukum dan HAM,
namun secara teknis bertanggung jawab langsung pada
Direktorat Jenderal Administrasi Umum melalui Direktur
Perdata. (sumber: wawancara dengan Bp. Noor Hendro
dan Bp. Taslim di lingkungan BHP Jakarta.)

b. Landasan Hukum
Pelaksanaan Tugas Pokokdan Fungsinya BHP
berpedoman pada Pasal 2 dan 3 Surat Keputusan menteri
Kehakiman Republik Indonesia tanggal 19 Juni 1980
Nomor M.01.PR.07.01-80 Tahun 1980 Tentang Organisasi
dan Tata Kerja Balai Harta Peninggalan.
Dalam Pasal 2 dan 3 Surat keputusan Kehakiman
tersebut, memuat Tugas Pokok dan Fungsi Balai jharta
Peninggalan sebagai berikut:
Pasal 2 : Tugas BHP ialah mewakili dan mengruus
kepentingan orang-orang yang kaena hukum
atau keputusan Hakim tidak dapat menjalankan
sendiri kepentingannya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3 : Untuk menyelenggarakan tugas tersebut pada
pasal 2, BHP mempunyai fungsi:
Melaksanakan penyelesaian masalah kepailitan
sesua dengan peraturan perundang-undangan.

c. Dasar Hukum Fungsi dan Tugas BHP

68 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pebayaran Utang.

d. Tugas Pokok BHP


Adapun kebijakan operasional/tugas pokok BHP
terkait dengan UUK-PKPU adalah sebagai berikut:
menyelsaikan boedel pailit (Pasal 70 ayat (1) UUK-
PKPU dengan klasifikasi bidang kepailitan, yaitu (a)
Demi hukum sebagai Kurator Negara, (b) Pengurus
Penaundaan Kewajiban dan pembayaran Utang, dan (3)
Likwidasi PT.

e. Pengertian
Kepailitan adalah sita umum atas semua
kekayaan debitor pailit yang pengawasan dan
pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah penga-
wasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Kepailitan. Artinya bahwa pailit meru-
pakan suatu keadaan dimana seseorang debitor tidak
mampu melunasi utang-utangnya.
Pernyataan pailit harus didahului dengan
pernyataan Pengadilan Niaga, baik atas perohonan
debitur sendiri maupun atas permintaan seorang atau
lebih krediturnya. Dalam hal pemberesan atas harta
terpailit, undang-undang memberikan kewenangan tidak
hanya kepada Balai harta peninggalan tetapi juga
kepada Kurator Swasta. Namun demikian undang-
undang ini tidak memberikan kewenangan kepada BHP
bertindak selaku pengurus dalam hal Penundaan
Kewajiban pembayaran Jutanag (PKPU), tetapi kepada
kurator swasta atau perorangan yang gterdaftar pada
kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan.

f. Syarat-syarat atau dokumen yang diperlukan, antara


lain:
(1) Adanya Penetapan Pengadilan Niaga;
(2) Adanya 2 kreditur dan debitur

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 69


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
g. Tugas BHP selaku Keurator dalam Pengurusan/
pemberesan atas harta pailit debitur.
(1) Tahap Pengurusan:
(a) Mengumumkan putusan Pengadilan Niaga
dalam 2 (dua) surat kabar harian dan Berita
Negara RI (Pasal 15 ayat 4 UU No. 37 Tahun
2004);
(b) Membuat inventarisasi harta kekayaan pailit/
pendaftaran budel pailit (Pasal 100 UU No. 37
tahun 2004);
(c) Memanggil para kreditur untuk mendaftarkan
tagihannya (Pasal 86 ayat 3 UU No. 37 tahun
2004);
(d) Mengadakan rapat pencocokan piutan/rapat
verifikasi (Pasal 114 UU no. 37 tahun 2004)

(2) Tahap Pemberesan:


(a) Melakukan penagihan atas piutang-piutang
debitur pailit(Jika ada)
(b) Melakukan penjualan atas harta kekayaan
debitur pailit (Pasal 184 dan 185 UUK-PKPU)
(c) Membuat daftar pembagian (Pasal 189 ayat 1
dan 2 UUK-PKPU);
(d) Melakukan pembayaran terhadap kreditur yang
diakui (Pasal 189 ayat 4 jo. Pasal 201 UUK-
PKPU)
(e) Mengumumkan berakhirnya kepailitan dalam 2
(dua) surat kabar harian dan Berita negara RI
(Pasal 2002 ayat 2 UUK-PKPU);
(f) Memberikan perkiraan pertanggung jawaban
kepada Hakim Pengawas (Pasal 2002 ayat 3
UUK-PKPU);
(g) Menyerahkan buku dan dokumen ,engenai
harta pailit kepada debitor (Pasal 2002 ayat 4
UUK-PKPU)

70 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
h. Posedur pengurusan

PROSEDUR PENYELESAIAN PAILIT

Permohonan Pailit ke Pengadilan

Putusa Pailit dan pengadilan Niaga


(menunjuk Kurator dan BHP)

BHP (selaku Kurator Pasal 70 (1) UUK-PKPU

Tahap pengurusan: Tahap Pemberesan:

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 71


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(1) Mengumumkan adanya Minta penetapan (1) Membuat daftar
kepailitan tersebar pada 2 Surat insolvensi artinya kreditur/pajak yang menyatakan
Kabar dan Berita negara RI yang Apabila usaha sifat piutang, jumlah piutang
ditetapkan oleh Hakim Pengawas, pailit tidak masing-masing kreditur, nama dan
sekaligus berisi pemberitahuan dilanjutkan, dan tempat tinggal kreditur yang diakui
tentang : waktu dan tempat Rapat dalam rapat an disahkan pada rapat verifikasi.
Kreditur Pertama, batas akhir verifikasi tidak (2) Melaksanakan
pengajuan tagihan kreditur/pajak ada perdamaian pemberesan dan menjual sema
kepada kurator, waktu dan tempat atau rencana harta pailit baik secara lelang
rapat verifikasi (pencocokan perdamaian umum, atau dibawah tangan
uatang) ditolak, maka dengan terlebih dahulu ditaksir
(2) Melaksanakan semua harta paili dalam dengan terlebih dahulu ditaksir
upaya untuk mengamankan harta keadaan insolvnsi harganya oleh tim
pailit dan me nyimpan semua surat- dan harta pailit Penilai/appraisal.
surat dokumen, uang, perhiasan, harus dibereskan. (3) Membuat daftar
dan surat berharga lainnya dengan pembagian kepada masing-masing
memberikan tanda terima sekaligus kreditur dan dimintakan
membuat pencatatan harta pailit persetujuan kepada Hakim Pengaas
atau inventarisasi asset. dan mengumumkan/meletakkan
(3) Memanggil para pada papan pengumuman untuk
kreditur/pajak untuk mendapatkan memberi kesempatan para kreditur
tagihannya pada kurator yang merasa keberatan atas
(4) Membuat dafta tagihan pembagian tersebut di kepaniteraan
sementara jumlapiutang masing- pengadilan niaga dan kantor
masing kreditur kurator.
(5) Menagih piutang debitur (4) Setelah tidak ada yang
pailit keberatan atas daftar pembagian
(6) Mengadakan rapat-rapat tersebut (poin di atas) kurator
kreditur, berifikasi dengan memanggil kreditur/pajak untuk
persetujuan hakim pengawas membayar tagihan masing-masing-
(7) Mendaftarkan harta masing lreditur
Boedel Pailit (5) Pengumuman
(8) Menilai harta Boedel pengakhiran di 2 Koran Nasional
Pailit melalui Appraisal dan lembar Negara dan Pe,bayaran
(9) Menerima dan PNBP Kurator
menyampaikan rencana (6) Kurator wajib membuat
perdamaian (accord) dan debitur pertanggung jawaban mengenai
pailit. pengurusan dan pemberesan yang
telah dilakukannya kepada Hakim
pengawas setelah berakhirnya
kepailitan.

72 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
i. Likuidasi
(a) Pengertian
Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut
Perseroan adalah badan hukum yang merupakan
persekutuan modal, dkdirikan befrdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengah modal
dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam
undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
Organ perseroan adalah Rapat Umum pemegang
Saham, Direksi, dan Dewan Komkisaris, tanggung
Jwab Sosial dan lingkungan adalah komitmen
Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan
ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas
kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi
Perseroan sendiri, komunias setempat, maupun
masyarakat pada umumnya. Rapat Umum Pemegang
Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah
Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang
tidak dkiberikan kepada Direksi atau
Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam
undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.
(b) Pembubaran PT
(1) Dalam Pembubaran Perseroan Terbatas Pasal
142 terjadi, karena:
a) Berdasarkan keputusan RUPS
b) Jangka waktu berdirinya yang ditetapkan
dalam anggaran dasar telah berakhir
c) Berdasarkan penetapan pengadilan
d) Dengan diabutnya kepailitan berdasafrkan
putusan pengadilan niaga yang telah
mempunyai kekuaan hukum tetap, harta pailit
perseroan tidak ckup untuk membayar biaya
kepailitan.
e) Karena harta pailit Perseroan yang telah
dinahatakan pailit berfada dalam keadaan
insolvnsi sebagaimana diatur dalam undang-
undang tenatang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban pembayaran Jutang.

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 73


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
f) Dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga
mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi
sesuai dengan ketentuan peraturan perun-
dang-undangan
(c) Dasar hukum
Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.
(d) Tata Cara Likuidasi (atas dasar permintaan Debitur)
Dalam mhal pembubaan Perseroan Terbatas wajib diikuti
Likuidasi, diamna Likuidasi dilakukan oleh Kurator
sebagai Likuidator 9Pasal 142 ayat (1) butir (e) UU No. 40
tahun 2007).
Tata Cara Likuidator:
Adanya permintaan Debitur oleh Kurator
Dibentuk tim Likuidator oleh Ketua Balai Harta
Peninggal-an
Diumumkan di Koran sebagai likuidator dalam pailit.
Hasil likuidator diumumkan di Koran dan terdaftar di
lembaran Negara RI. Direkomendasikan ke DITjend AHU
melalui Badan Hukum untuk ditutup perusahaan tersebut.

74 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(e) STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR LIKUIDITAS
Permohonan likuidasi dari debitur atau Kuasan hukum
Perseroan Terbatas

BALAI HARTA PENINGGALAN (BHP)

Membuat AKTA proses pembubaran Perseroan


Terbatas dan Berita Negara RI kemudian Pengumuman
Koran

Membuat blokir ke Ditjrn AHU cq. Badan Hukum dan


Surat ermohonan Pembubaran Perseroan Terbatas

Membuat AKTA proses pembubaran Perseroan


Terbatas Dan Berta negara RI kemudian pengumman
Koran

Membuat AKTA hasil akhir pencabutan iznin Perseroan


Terbatas dan berita negara RI pengumuman Koran kemudian
laporan ke Ditgjn AHU cq. Badan Hukum

Data Pendukunh pembukuan Wasita


1. 1. Surat Prmohonan Likuidasi
2. Semua Akta pemdirian maupun perubahan
3. Surat Kementerian Hukum dan HAM RI dari
Ditjen AHU mengenai PT Tersebut
4. NPWP
5. Data dukung hasil proses kepailitan
6. KTP dan surat Kuasa.

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 75


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
j. Akibat Hukum
Adapun akibat hukum terhadap debitur yang telah
dinyatakan pailit oleh Pengadilan Nuaga antara lain,
sebagai berikut:
(1) Harta debiur diambil alih dari kekuasaannya dan
ditempatkan berada di bawah kekuasaan kurator;
(2) Debitur tidak mempunyai kewenangan untuk dalam
hal mengurus serta kepemilikan harta kekayaan-
nya;
(3) Semua harta kekayaan debitur ;pailit baik yang ada
maupun yang akan ada, masuk dalam boedel pailit,
untuk diselesaikan dengan para krediturnya.

2. Kurator Swasta
Kedudukan Kurator dalam kepailitan pengertian
Kurator adalah orang perseorangan yang diangkat oleh
pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta
debitor pailit di bawah pengawasan hakim pengawas.
Dalam putusan pernyataan pailit, harus diangkat
Kurator dan seorang Hakim Pengawas yanjg ditunjuk dari
Hakim Pengadilan iaga. Kurator sendiri dalam UUK-PKPU
disebutkan dalam kedudukannya haris independen, tidak
mempunyai benturan kepentingan dengan debitor atau
kreditor, dan tidak sedang menangani perkara kepailitan
dan PKPU lebih dari 3 (tiga) perkara.
Tugas Kurator sendiri adalah melakukan
pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Kurator
berwenang melaksanakan tugas pengurusan dan/atau
pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit
diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan
kasasi atau peninjauan kembali.
Dalam melaksanakan tugas, kurator tidak harus
memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan
pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur atau salah
satu organ debitor, meskipun dalam keadaan di luar
kepailitan, persetujuan atau pemberitahuan demikian
dipersyaratkan dan kurator dapat melakukan pinjaman dari
pihak ketiga, untuk meningkatkan nilai harga pailit.

76 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Sejak mulai pengangkatannya, Kurator harus
melaksnakan semua upaya untuk mengamankan harta
pailit dan menyim pan semua surat, dokumen, uang, efek,
dan surat berharga lainnya dengan memberikan tanda
terima. Jika terjadi kesalahan atau lelaian dalam tugas
pengurusan harta pailit, kurator bertanggung jawab
terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksa-
nakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang
menyebabkan kerugian terhadap harta pailit.

3. Otoritas Jasa Keuangan Sebagai subyek Pemohon


Pailit Sebagai subyek Pemohon Pailit
Dalam hal dimana Debitur merupakan Perusahaan Efek,
Bursa efek, lembaga Kliring dan Penjamainan, lembaga
mPenyimpanan dan Penyelesaian, maka permohonan pailit
hanya dapat diajukan oleh Otoritas jasa Keuangan. Karena
lembaga tersebut melakukan kegaiatan yang berhubungan
dengan dana masyarakat yang diinvesgtasikan dalam efek
di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.

Menurut penjelasan Pasal 2 dari UUK-PKPU, Otoritas Jasa


Keuangan mempunyai kewenangan penuh dalam hal
pengajuan permohonan pailit untk instansi-instansi yang
berada di bawah pengawasannya, seperti halnya
kewenangan Bank Indonesia terhadap bank. Hal ini sangat
tepat mengningat pembinaan dan pengaturan dan
pengawasan sehari-hari dilakukan oleh Bapapem
(sekarang OJK) dengan tujuan untuk menciptakan kegaitan
Pasar Modal yang teratur, wajar dan efisien
Otoritas Jasa Keuangan.

Dalam hal debitur adalah Perusahaan Asuransi,


Perusahaan Reasuransi, dan pensiun atau Bada Usaha
Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik,
menurut Pasal 2 (dua) ayat (5) undang-undang Kepailitan,
permohonan pernytaan pailit hanya dapat diajukan oleh
OJK. Dalam penjelasan ayar 5 disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan Perusahaan Asuransi adalah Perusa-
haan Asuransi Jiwa dan Perusahaan Asuransi Kerugian.

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 77


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Kewenangan untuk mengajukan permohonan pernyataan
pailit bagi Perusahaan Asuransi dan Dana Pensiun
sepenuhnya ada di Otoritas Jasa Keuangan. Ketentuan ini
sangat diperlukan mengingat Perusahaan Asuransi
sebagai lembaga pengelolaan resiko dan sekaligus
lembaga pengelola dana masyarakat memiliki kedudukan
yang strategis dalam pembangunan dan kehodupan
perekonomian. Selain itu juga Dana Pensiun merupakan
pengelola dana masyarakat dalam jumlah yang besar dan
dana tersebut merupakan hak dari peserta yang banyak
jumlahnya. Otoritas Jasa Keuangan dalam hal ini sangat
tepat untuk menjadi pihak yang memohonkan kepailitan,
mengingat keberadaan masyarakat sebagai golongan yang
lemah akan kebutuhan hukum.

4. Kejaksaan
Permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh
kejaksaaan untuk kepentingan umum. Kejaksaaan dapat
mengajukan permohonan pailit dengan alasan untuk
kepentingan umum, dalam hal persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) UUKPKPU telah dipenuhi
dan tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pailit.
Sedangkan yang dimaksud dengan: kepentingan umum”
adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepen-
tingan masyarakat.
Langkah pailit yang diajukan Kejaksaan mengaju-
kan permohonan pailit merujuk pada Pasal 2 ayat (2)
sesuai UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
penundaan kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), dan
Peraturan Jaksa Agung RI No. 040/A/JA/12/2010 yaitu
Tugas dan Wewenang Jaksa Pengacara Negara (JNP).
Peraturan tersebut memberikan kewenangan kepada
Kejaksaaan untuk mengajukan permohonan pailit demi
kepentingan hukum.
Selain merujuk pada UU Kepailitan dan PKPU,
Kejaksaan juga merujuk pada Pasal 1 Peraturan
Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2000 tentang Permohonan
Pernyataan Pailit untuk Kepentingan umum. Namun,
peraturan pemerintah tersebut membatasi wewenang

78 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
kejaksaan dalam hal menghitung dan menilai kedudukan
para kreditor. Kewenangan tersebut berada di tangan
Kurator.
Peraturan-peraturan terkait dengan
Tugas dan wewenang Jaksa Pengacara Negara
(JPN), antara lain:
a) Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-049/A/JA/12/2011
Tahun 2011 Tentang Pembinaan Karoer Pegawai
Kejaksaan Republik Indonesia;
b) Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-046/A/JA/12/2011
Tahun 2011Tentang Standar Operasional Prosedur
Terintegrasi dalam Penanganan Perkara Di Lingkungan
Kejaksaan Republik Indonesia;

5. Pengurus
UUK-PKPU tidak memberikan batasan engertian yang jelas
antara kurator dan pengurus. Seorang pengurus dapat
menjadi kurator ketika pengadilan memberikan putusan
bahwa debitor yang sebelumnya dinayatakan berada
dalam penundaan kewajiban pembayaran utang telah
dinayatakan pailit. Dengan demikian, ugas dan fngsi
kurator dengan pengurus sesungguhnya berbeda.

6. Pengadilan Niaga
Sesuai dengan Pasal 1 angka 7 UUK-PKPU, Proses
penyelesaian perkara kepailitan di Indonesia dilakukan di
Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum.
Prosedur Permohonan Pernyataan Pailit Pada Pengadilan
Niaga sebagai berikut:
a) Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua
Pengadilan Niaga melalui Panitera;
b) Penitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit
kepada Pengadilan paling lambat 2 (dua ) hari setelah
anggal permohonna didaftarkan. Dalam jangka waktu 3
(tiga) hari setelah tanggal permohonan dudaftarkan.
Pengadilan menetapkan harfi sidang.
c) Sidang pemeriksaan dilakukan dalam jangka waktu
paling lambat 20 (dua pulih) hari setelah tanggal
permohonan didaftarkan

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 79


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
d) Pengadilan wajib memanggil debitor jika permohonan
pailit diajukan oleh Kreditor, Kejaksaan, dan Otoritas
Jasa Keuangan
e) Pengadilan dapat memanggil Kreditor jika pernyataan
pailit diajukan oleh Debitor dan terdapat keraguan
bahwa persyaratan pailit telah dipenuhi
f) Pemanggilan gtersebut dilakukan oleh juru sita dengan
surat kilat tercatat paling lama 7 hari sebelum
persidangan pertama diselenggarakan
g) Putusan Pengadilan atas permohonan pailit harus
dikabulkan apabila terdapat fakta terbukti bahwa
persyaratan pailit telah terpenuhi dan putusan tersebut
harus diucapka paling lambat 60 (enam puluh) hari
setelah didaftarkan
h) Putusan atas permohonan pernyataan pailit tersebut
harus memuat secara lengkap pertimbangan hukum
yang mendasari putusan tersebut berikut pendapat dari
Mejelis Hakim dan harus diucapkan dalam sidang yang
terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih
dahulu, sekalipun terhadap putusan tersebut ada upaya
hukum.
Dalam hal wilayah Pengadilan yang berwenang memutus
perkara kepailitan, terdapat beberapa hal yang harus
diketahui oleh Debitur dan Kreditur, yaitu:
1. Permohonan pernyataan pailit diputuskan di Pengadilan
di daerah tempat kedudukan hukum debitor.
2. Apabila debitor telah meninggalkan wilayah NKRI,
Pengadila yang berwenang mmenjatuhkan putusan
adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kedudukan hukum terakahir debitor
3. Dalam hal debitor adalah pesero suatu firma,
pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan
adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
kedudukan hukum firma tersebut.
4. Dalam hal Debitor tidak berledudukan di wilayah NKRI
tetapi menjalankan profesi atau usahanya diwilayah
negara Republik Indonesia, pengadilan yang berwenang
menjatuhkan putusan adalah Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat

80 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
debito menjalankan profesi atau usahanya di wilayah
Negara Republik Indonesia.
5. Dalam hal debhitor merupakan badan hukum,
pengadilan yang berwenang manjatuhkan putusan
adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kedudukan hukum sebagaimana dimaksud
dalam anggaran dasar badan hukum tersebut.
Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit
diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua
puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Atas
permohonan debitor dan berfdasarkan alasan yang cukup,
pengadilan dapat menunda penyelenggarakan sidang
sampai dengan paling lambat 25 (dua puluh lima) hari
setelah tanggal permohonan didaftarkan. Putusan
Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus
diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah
tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Putusan
Pengadilan tersebut wajib memuat:
a) Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan dan/atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili; dan
b) Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari
hakim anggota atau ketua majelis.
Putusan atas permohonan pernyataan pailit yang memuat
secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari
putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu,
meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya
hukum.
Berdasarkan pasal 10 UUK-PKPU, selama putusan atas
permohonan pernyataan pailit belum diucapkan setiap
kreditor, kejaksaan dan Otoritas Jasa Keuangan dapat
mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk :
1) Meletakkan sita jaminan terhadap sebagaian atas
seluruh kekayaan debitur, atau
2) Menunjuk kurator sementara untuk mengawasi
3) Pengelolaan usaha debitor, dan

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 81


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
4) Pembayaran kepada kreditor, pengalihan, atau
pengagunan kekayaan debitor yang dalam kepailitan
merupakan wewenang kurator.
Untuk kepentingan harta pailit dapat dimintakan
pembatalan atas segala perbuatan hukum debitor yang
telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditor
Pembatalan diajukan kepada pengadilan sebelum putusan
pernyataan pailit diucapkan. Pembatalan hanya dapat
dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat
perbuatan hukum dilakukan, debitor dan pihak lain yang
bersangkutan, mengetahui bahwa perbuatan hukum
tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor.
Pengadilan dengan putusan pernyataan pailit, atas usul
Hakim pengawas, permintaan kurator, atau atas
permintaan seorang kreditor atau lebih dan setelah
mendengar Hakim Pengawas, dapat memerintahkan
supaya debitor pailit ditahan, baik ditempatkan di Rumah
Tahanan negara maupun di rumahnya sendiri, di bawah
pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh hakim Pengawas.
Perintah penahanan dilaksanakan oleh jaksa yang ditunjuk
oleh Hakim pengawas.

B. Analisis: Pihak-Pihak Yang Terkait Dalam Kepailitan


dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
1. Prinsip Hukum Kepailitan dan PKPU
Bahwa dalam hukum kepailitan dan PKPU berlaku
prinsip paritas creditorium yang dilengkapi dengan
prinsip pari passu prorate parte. Kedua prinisp tersebut
memiliki kelemahan karena tidak membedakan
kedudukan kreditor antara satu dan yang lain. Kreditor
yang memiliki jaminan kebendaan bisa disejajarkan
dengan kreditor yang tidak memiliki jaminan kebendaan.
Keadaan ini tentu dapat dipandang tidak adil. Jalan
keluarnya adalah menambahkan prinsip structured
creditors atau prinsip structure prorata. :Prinisp structure
creditors adalah prinsip yang mengklasifikasikan dan
mengelompokkan berbagai macam kreditor sesuai
dengan kelasnya masing-masing. Dalam kepailitan,
kreditor dikalsifikasikam menjadi tiga macam yakni

82 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
kreditor separatis, kreditor preferen dan kreditor
konkuren.

2. Debitor
Debitor adalah seseorang (baik perseorangan maupun
badan hukum) yang memiliki utang. Debitor merupakan
salah satu pihak di dalam perkara kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran utang. Secara
sederhana, dapat dikatakan bahwa debitor adalah pihak
yang memilki utang.
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (disingkat UUKPKPU) menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan:
“Debitor adalah orang yang mempunyai utang
karena perjanjian atau undang-undang yang
pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.”
Utang memiliki pengertian sebagai : “kewajiban yang
dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang,
baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang
asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul
di kemdian hari atau kontinjen, yang timbul karena
perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi
oleh debitor dan bila tidak dipenuhi, memberi hak
kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari
harta kekayaan debitor” (Pasal 1 angka 6 UUKPKPU).
Dalam sebuah perkara kepailitan dan PKPU, dapat
tidaknya seorang debitor dinyatakan paili atau berda
dalam penundaan kewajiban pembayaran utang
ditentukan oleh adanya dua atau lebih kreditor dan tidak
membayar luas sedikitanya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih (Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU).
Yang di maksud dengan “Utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih” adalah kewajiban untuk membayar
utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah
diperjanjikan; karena percepatan waktu pengaihannya
sebagaimana diperjanjiakan ; karena pengenaan sanksi
atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 83


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis
arbitrase.”

3. Kreditor
Pengertian Kreditor dalam hukum Kepailitan dan PKPU
ditegaskan oleh ketentuan Pasal 1 angka 2 UUKPKPU,
dimana definisi Kreditor:
“Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang
karena perjanjian atau undang-undang yang dapat
ditagih di muka pengadilan”.
Jadi, sesuai dengan ketentuan tersebut, seorang
kreditor memiliki piutang karena dia membuat perjanjian
dengan seorang debitor atau karena undang-undanglah
yang menentukan timbulnya piutang.
UUKPKPU melalui penjelasan atas Pasal 2 ayat (1)
memberikan pengaturan yang jelas bahwa yang
dimaksud dengan “kreditor” adalah:
“Baik kreditor konkuren, kreditor separatis, maupun
kreditor preferen. Khusus kreditor separatis dan
kreditor preferen, mereka dapat mengajukan
permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak
agunan atas kebendaan yang mereka miliki
terhadap harta debitor dan haknya untuk
didahulukan.”

a) Kreditor Preferen
Sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam BW
kreditor preferen, yaitu kreditor yang mempunyai hak
mendahului karena sifat piutangnya oleh undang-
undang diberi kedudukan istimewa. Kreditor preferen
terdiri atas kreditor pfeferen khusus, sebagaimana
diatur dalam Pasal 1139 BW, dan kreditor preferen
umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1149 BW.
Menurut ketentuan Pasal 1134 BW, Hak Istimewa
adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang
kepada seorang kreditor yang menyebabkan ia
berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya,
semata-mata berdasarkan sifat piutangnya itu. Gadai
dan hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa kecuali

84 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan
kebalikannya.

b) Kreditor separatis
Kreditor separatis termasuk dalam kreditor yang
memiliki “privilege”, sebagaimana Pasal 1134, yakni
suatu kedudukan istimewa dari seorang penagih yang
diberikan oleh undang-undang melulu berdasarkan sifat
piutang. Piutang-piutang semacam in dinamakan
’bevourechte schulden”Pand (gadai) dan hypotheek
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada
privelege, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan
lain. Pand dan hypotheek tidak pernah bertentangan
satu sama lain karena pand hanya dapat diberikan atas
barang-barang yang bergerak, sedangkan hypotheek
sebaliknya, hanya mungkin atas benda-benda yang tak
bergerak.

c) Kreditor Konkuren
Kreditor konkuren adalah kreditor terakhir dalam
perkara kepailitan dan penundaan Kewajiban pembaya
ran utang yang memiliki hak tagih atas piutang yang
dimilikinya. Kreditor konkuren adalah orang yang
memiliki piutang di luar pengertian kreditor preferen dan
kreditor separatis. Kreditor konkuren bukan negara
(sebagai pengaih pajak), bukan seorang pekerja dalam
perusahaan yang dinyatakan pailit, serta tidak memiliki
hak agunan atas kebendaan dalam bentuk apa pun.
Kebanyakan kreditor konkuren adalah kreditor yang
mendasarkan utangnya pada perjanjian utang piutang
yang dilakukannya dengan debitor pailit tanpa pernah
membuat akta-akta pembebanan hak agunan atas
kebendaan.
Kreditor konkuren memiliki kedudukan/level paling
rendah setelah kreditor preferen dan separatis dalam
posisi pemenuhan pembayaran piutang yang mereka
miliki. Jika sebuah benda (baik bergerak maupun tidak
bergerak) dijual oleh seorang kurator sehingga
menghasilkan uang tunai yang siap dibagi, pemenuhan

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 85


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
tagihan seorang kreditor konkuren menunggu
pemenuhan tagihan dari kreditor preferen dan separatis
terlebih dahulu. Jika tagihan dari kreditor preferen dan
separatis sudah dipenuhi, sisa uang tunai dari hasil
penjualan harta pailit akan menjadi hak dari kreditor
konkuren. Jadi, pemenuhan tagihan kredtor konkuren
sangat bergantung pada besar kecilnya tagihan yang
dimiliki oleh keditor preferen dan separatis.
Semakin kecil tagihan yang dimiliki oleh kredior
preferen dan separatis, maka akan semakin besar
peluang kreditor konkuren untuk mendapatkan
pemuhan tagihan. Semakin besar tagihan yang dimiliki
oleh kreditor preferen dan separatis, maka kan semakin
kecil peluang kreditor konkuren untuk mendapatkan
pemenuhan tagihan/ piutangnya.

4. Hakim Pengawas
Sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka 8 UUKPKPU
bahwa:
“Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh
pengadilan dalam putusan pailit atau putusan
penundaan kewajiban pebayaran utang.”
Tugas utama dari pengawas adalah mengevalasi
pengurusan dan pemberesan harta pailit (Vide Pasal 65
UUKPKPU). Dalam melaksanakan tugasnya, hakim
pengawas dapat mengeluarkan pentapan-penetapan yang
menjadi bagian penting dalam proses pemberesan
kepailitan ataupun pengurusan proses PKPU. Dengan kata
lain hakim pengawas berfungsi sebagai “supervisor” bagi
kurator atau pengurus.
Secara hirarkhi, hakim pengawas memiliki kewenangan
yang berada ditengah-tengah antara pengadilan dan
kurator atau pegurus. Sebelum mengambil suatu putusan
mengenai pengurusan atau pemberesan harta pailit,
pengadilan wajib mendengar pendapat hakim pengawas
(vide Pasal 66 UUKPKPU). Demikian juga kuirator atau
pengurus yang hendak meminta putusan mengenai
pengurusan dan pe,beresan harta ;pailit, harus
mengajukan permohonannya melalui hakim pengawas.

86 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
5. Kurator
Secara sederhana kurator dipahami sebagai seseorang
yang memiliki kewenangan khusus (berdasarkan putusan
pengadilan yang berwenang) untuk melakukan pembere
san atau pengurusan terhadap harta pailit debitor yang
sudah dinyatakan pailit.
Apabila mengacu pda ketentuan yuridis formil sebagai
mana ditentukan oleh Pasal 1 angka 5 UUKPKPU, kurator
didefinisikan sebagai:
“Kurator adalah Balai harta peninggalan atau orang
perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk
mengurus dan membereskan harta debitor paili di
bawah pengawasan hakim engawas sesuai dengan
UUKPKPU.”

a) Syarat penunjukkan dan pengangkatan sebagai


Kurator
Putusan pernyataan pailit yang merupakan dasar bagi
berlakunya sita umum terhadap seluruh harta kekayaan
debitor selalu diikuti dengan penunjukkan kurator yang
bertugas membereskan harta pailit. Pasal 1 angka 5
UUKPKPU menjelaskan bahwa yang dapat menjadi
Kurator adalah Balai harta peninggalan atau orang
perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk
meburusnya dan membereskan harta debitor pailit.
Ketentuan Pasal 1 angka 5 UUKPKPU diperkuat oleh
ketentuan Pasal 70 ayat (10 UUKKPU, dimana kurator
bisa Balai Harta peninggalan ataupun orang perse
orangan.
Orang perseorangan yang dapat diangkat menjadi kurator
harus memenuhi dua syarat, sebagiaman pasal 70 ayat
(20 UUKPKPU, yakni:
a. Orang perseorangan yang beerdomisili di Indonesia,
yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan
dalam rangka mengurus dan/atau embereskan harta
pailit; dan

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 87


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
b. Terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan
perundang-undangan.
Sesuai dengan memori penjelasan atas Pasal 70
ayat (2) UUKPKPU bahwa:
a. Yang dimaksud dengan “keahlian khusus” adalah
mereka yang mengikuti dan lulus pendidikan Kurator
dan pengurus.
b. Yang dimaksud dengan “terdaftar” adalah telah
memenuhi syarat-syarat pendaftaran sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dan adalah anggota aktif
organisasi profesi Kurator dan pengurs.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengertian “khalian
khusus” dapat ditemukan dalam Pasal 3 ayat (2) huruf f
Peraturan menteri hukum dan HAM RI Nomor 18 Tahun
2013 tentang Syarat dan tata Cara Pendaftaran Kurator
dan pengurus, di mana salah satu syarat untuk dapat
mengajukan diri sebagai kurator adalah telah mengikuti
pelatiahan Kurator dan pengurus dan dinyatakan lulus
dalam ujian yang penilaiannya dilakukan oleh Komite
Bersama. Seseorang yang telah memenuhi persyaratan
untuk dapat didaftar sebagai kurator akan diberikan surat
bukti pendaftaran kurator dan pengurus yang dikeluarkan
oleh Direktorat jenderal Administrasi Umum pada
kementerian Hukum dan HAM.
Selain dua syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 70
ayat (2) UUKPKPU, Kurator yang akan diangkat sebagai
pihak yang akan membereskan kepailitan debitor pailit
juga harus independen, tidak mempunyai benturan
kepentingan dengan debitor atau kreditor, dan tidak
sedang menangani perkara kepailitan dan PKPU lebih
dari tiga perkara (vide Pasal 15 ayat (3) UUKPKPU).

b) Kurator Sementara
Kurator memiliki tugas dan kewenangan yang
didasarkan pada putusan pengadilan yang berwenang.
Dilihat dari segi waktu dijalankannya tugas dan
kewenangannnya kurator dibagi menjadi dua, yakni
kurator sementara dan kurator tetap.

88 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Kurator sementara adalah kurator yang
menjalankan tugas dan kewenangannya sesuai dengan
putusan sela pengadilan yang berwenang, Jadi kurator
sementara bertugas dalam kewenangan yang terbatas
ketika sebuah perkara kepailitan belum diputus oleh
pengadilan niaga yang berwenang. Tugas dan kewe-
nangan kurator sementara ini diberhentikan ketika
pengadilan niaga telah menyatakan seseorang (baik
badan hukum maupun perorangan) dalam keadaan pailit.
Dasar hukum dari kurator sementara adalah Pasal 10
ayat (1)huruf b UUKPKPU.
Permohonan untuk menunjuk kurator sementara
dapat diajukan oleh setiap kreditor (yakni mereka yang
memiliki tagihan atau piutang; baii karena perjanjian
maupun karena undang-undang); kejaksaan (yang
berlaku sebagai pengacara negara), Bank Indonesia,
Badan pengawas Pasar Modal, dan menteri Keuangan.
Permohonan untuk me nunjuk kurator sementara hanya
dikabulkan apabila hal tersebut diperlukan guna melin-
dungi kepentingan kreditor (pasal 10 ayat (2) UUKPKPU).
Apabila permohonan dikabulkan, pengadilan dapat
menetapkan syarat agar kreditor pemohon (yang
memohon penunjukkan kurator sementara) agar mem-
berikan jaminan yang dianggap wajar oleh pengadilan
(Pasal 10 ayat (3) UUKPKPU).
Tujuan dari permohonan penunjukkan kurator
sementara adalah untuk mengamankan harta/aset dari
debitur termohon. Permohonan ini memiliki kemiripan
dengan pengajuan sita jaminan yang diajukan oleh
penggugat terhadap harta milik tergugat. Adanya
kekhawatiran dari kreditor pemohon di mana debitor
termohon terindikasi hendak mengalihkan harta/aset yang
dimilikinya kepada pihak ketiga merupakan salah satu
alasan yang melandasi permohonan penunjukkan kurator
sementra. Hal ini dinamakan sebagai ptindakan
pencegahan.
Ketika sebuah perkara kepailitan sedang berjalan,
ada kemungkinan debitor pailit yang beritikad baik
hendak mengalihkan harta/asetnya kepada pihak ketiga.

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 89


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Dan bila ini terjadi sebelum perkara kepailitan diputus,
bisa jadi perkara kepailitan yang akan datang menjadi
perkara kepailitan tanpa boedel pailit. Padahal, dasar
pebayaran tagihan oleh kurator kepadakreditor adalah
boedel pailit.

Kurator dapat saja melakukan upaya hukum actio paulina


untuk membatakan perjanjian-perjanjian pengadilan harta
pailit setelah ada putusan pailit dari pengadilan niaga yang
berwenang, tetapi aksi ini akan mendapat kendala yang
serius apabila kurator tidak mengetahui kepada siapa harta
pailit itu dialihkan. Pada umumnya, actio paulina akan lebih
sulit lagi dilakukan jika menyangkut pengalihan barang
bergerak. Actio paulina bisa memberikan beban tambahan
kepada kurator yang akan melakukan pemberesan
terhadap harat pailit. Oleh karena itu, permohonan
penunjukkan kurator sementara bisa menjadi solusi untuk
meminimalisasi pengalihan yang menyebabkan penyusutan
harta pailit kelak.
Kurator sementara memiliki lingkup yang terbatas
oleh waktu. Perkara kepailitan sudah harus diputuskan
dalam waktu maksimal 60 mhari sejak perkara tersebut
didaftarkan. Dalam praktek, banyak perkara kepailitan yang
diputus dalam kurun waktu di bawah 60 hari. Jadi kinerja
kurator sementara secara teoritis hanya berjalan dalam
kurun waktu kurang dari 60 hari. Seseorang yang menjadi
kurator sementara bisa saja terus menjadi kurator apabila
pengadilan enunjuknya sebagai “kurator tetap”.
Penunjukan ini dapat ditemukan dalam amar putusan
pengadilan. Apabila kurator A yang sebelumnya menjadi
kurator semnetara ditunjuk oleh pengadilan berdasarkan
putusan sebagai kurator kepailitan atas harta debitor pailit,
status kurator sementara berganti menjadi “kurator tetap”.

c) Tugas dan fungsi Kurator


Kurator/pengurus memiliki kewenangan sebagai
kurator/pengurus sejak tanggal utusan pengadilan
diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Pasal 16 UUKPKPU menentukan bahwa:

90 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(1) Kurator berwenang melaksanakan tugas
pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit
sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun
terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau
peninjauan kembali.
(2) Dalam hal putusan persyaratan pailit dibatalkan
sebagai akibat adanya kasasi atau peninjauan
kembali, segala perbuatan yang telah dilakukan
oleh Kurator sebelum atau pada tanggal kurator
menerima pemberitahuan tentang utusan
pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 tetap sah dan mengikat debitor.
Ketika permohonan pailit dikabulkan, pada
saat itu kewenangan atas harta pailit dari debitor
pailit diambil alih oleh kurator. Pasal 24 ayat (1)
UUKKPU menentukan bahwa:
“Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk
menguasai dan mengurus kekayaannya yang
termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal
putusan pernyataan pailit diucapkan.”
Tanggal putusan dihitung sejak pukul 00.00
waktu setempat, sesuai ketentuan Pasal 24 ayat
(2). Yang dimaksud dengan “waktu setempat”
adalah waktu tempat putusan pernyataan pailit
diucapkan oleh pengadilan niaga, misalnya ,
putusan diucapkan di Jakarta pada tanggal 1 Juli
2017 pukul 13.00 wib, maka putusan tersebut
dihitung mulai berlaku sejak pukul 00.00 WIB
tanggal 1 Juli 2017.
Pada saat permohonan pailit dikabulkan, pada
saat itu kewenangan atas harta pailit dari debitor pailit
diambil alih oleh Kurator. Pasal 24 ayat (1) UUKPKPU
menentukan bahwa:
“Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk
menguasai dan meburus kekayaannya yang termasuk
dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan
pailit diucapkan.”
Tanggal putusan dihitung sejak pukul 00.00
waktu setempat, sesuai ketentuan Pasal 24 ayat (2).

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 91


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Yang dimaksud dengan “waktu setempat” adalah waktu
tempat putusan pernyataan pailit diucapkan oleh
pengadilan niaga.

d) Penggantian dan penambahan Kurator


Dalam proses pemberesan kepailitan, tidak
menutup kemungkinan adanya penggantian atau
penambahan kurator. Pengantian atau penambahan
kurator dilakukan mdengan pertimbangan-
pertimbangan tertentu.
Didasarkan pada ketentuan Pasal 71 ayat (10
UUK{KPU bahwa:
(1) “Pengadilan setiap wakt dapat mengabulkan usul
penggantian kurator, setelah memanggil dan
mendengar kurator, dan mengangkat Kurator lain
dan/atau mengangkat Kurator tambahan atas:
a. Permohonan Kurator sendiri;
b. Permohonan Kurator lainnya, jika ada;
c. Usul Hakim pengawas; atau
d. Permintaan Debitor pailit.
(2) Pengadilan harus memberhantikan atau
mengangkta Kurator atas permohonan atau atas
usul Kurator Konkuren berdasarkan putusan rapat
Kreditor yang diselenggarakan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 90, dengan persyaratan
putusan tersebut diambil berdasarkan suara setuju
lebih dari ½ (satu perdua) jumlah kreditor konkuren
atau kuasanya yang hadir dalam rapat dan yang
mewakili lebih dari ½ (satu per dua) jumlah piutang
kreditor konkuren atau kuasanya yang lahir dalam
rapat tersebut.
(3)
6. Pengurus
1. Perbedaan Kurator dan Pengurus
UUKPKPU tidak memberikan batasan
pengertian yang jelas antara Kurator dan pengurus.
Pasal 1 angka 5 UUKPKPU hanya memberikan definisi
terhadap kurator dan tidak memberi pengertian secara
khusus terhadap pengurus. Padahal, UUKPKPU sendiri

92 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
tidak hanya mengatur tentang kepailitan, tetapi juga
mengatur tentang PKPU.
UUKPKPU mencampuradukan kewenangan
kurator dengan kewenangan Pengurus dalam rangkaian
kalimat “mengurus dan membereskan harta debitor
pailit” yang menjadi definisi kurator sesuai Pasal 1
angka 5 UUKPKPU. UUKPKPU memberikan difinisi
terhadap kurator, tetapi tidak memberi definisi terhadap
pengurus. Ketiadaan pengertian yang khusus yang
membedakan pengertian kurator dan pengurus adalah
salah satu kelemahan UUKPKPU.
UUKPKPU mengatur tentang peralihan status
dari pengurus menjadi kurator. Seorang pengurus dapat
menjadi kurator ketika pengadilan memberikan putusan
bahwa debitor yang sebelumnya dinyatakan berada
dalam penundaan kewajiban pembayaran utang telah
dinyatakan pailit. Dengan demikian, tugas dan fungsi
kurator dengan pengurus sesungguhnya berbeda.
Kurator memiliki tugas dan fungsi untuk
“membereskan’ harta pailit debitor yang telah
dinyatakan pailit. Sedangkan pengurus memiliki tugas
dan fungsi untuk “mengurus” harta debitor yang
dinyatakan berada dalam PKPU.
Definisi pemberesan sebagaimana penjelasan
Pasal 16 UUKPKPU adalah penguatan aktiva untuk
membayar atau melunasi utang. Pemberesan
merupakan tugas dan fungsi dari kurator. Melalui
pemberesan, kurator diwajibkan untuk mendata seluruh
harta pailit dan kemudian menjualnya (baik melalui
lelang maupun penjualan di bawah tangan).
Tugas Kurator sebagaimana tersebut diatas
tidak dapat dilakukan oleh seorang pengurus dalam
PKPU. Seorang kurator dapat mengambil alih seluruh
harta debitor pailit tanpa memerlukan persetujuan dari
debitor pailit, sedangkan pengurus harus melakukan hal
itu bersama-sama degan debitor. Dalam PKPU, debitor
tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau
kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya tanpa
persetujuan pengurus.

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 93


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Pengurus diwajibkan untuk menjaga dan
mengurus harta debitor (agar tidak digunakan secara
melanggar hukum yang dapat merugikan kepentingan
kreditor) serta mengupayakan terjadinya perdamaian
antara kreditor dan debitor hingga PKPU dinyatakan
selesai.
Perbedaan mengenai wewenang kurator dengan
pengurus dapat dilihat dari perbandingan antara
ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU dan Pasal 240
ayat (1) UUKPKPU sebagai berikut:

Pasal 24 ayat (1)

Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai


dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta
pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan

Pasal 240 ayat (1)

Selama penundaan kewajiban pembayaran utang, Debitor


tanpa persetujuan pengurus tidak dapat melakukan
tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau
sebagian hartanya.
Dalam perhitungan matematis, bila kurator memiliki
wewenang 100% atas harta debitor pailit, pengurus hanya
memiliki wewenang 50% atas harta debitor. Jadi,
berdasarkan uraian di atas, kurator dan pengurus memiliki
tugas dan fungsi yang berbeda.

Kelemahan UUKPKPU yang tidak memberikan definisi


tersendiri atas pengurus telah disadari oleh Menteri Hukum
dan Ham, di mana melalui Peraturan Menteri Hukum dan
HAM RI No. 18 Tahin 2013 tentang Syarat dan Tata Cara
Pendaftaran Kurator dan pengurus, pengurus diberikan
definisi tersendiri di samping kurator. Pasal 1 angka (2)
Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. 18 Tahun 2013
tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Kurator dan
Pengurus secara tegas mendefinisikan:

94 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
“Pengurus sebagai orang perseorangan yang
berdomisili di wilayah NKRI, yang memiliki
keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka
mengurus harta debitor dalam penundaan
kewajiban pembayaran utang.”

a) Syarat pengangkatan sebagai pengurus


Putusan yang mengabulkan permohonan PKPU
selalu diikuti dengan pengangkatan pengurus, sama
seperti putusan pernyataan pailit yang selalu diikuti
dengan pengangkatan Kurator.
Pengaturan mengenai persyaratan untuk dapat
diangkat sebagai pengurus diatur dalam Pasal 234
UUKPKPU. Untuk dapat diangkat sebagai pengurus,
seorang pengurus harus independen dan tidak memiliki
benturan kepentingan dengan debitor atau kreditor.
Pengurus yang terbukti tidak independen dikenakan
sanksi pidana dan/atau perdata sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Untuk dapat diangkat sebagai pengurus, ada
dua persyaratan sebagai mana ketentuan Pasal 234
ayat (3) UUKPKPU, yakni;
a. Orang perseorangan yang berdomisili di wilayah
NKRI, yang memiliki kahlian khusus yang dibutuh
kan dalam rangka mengrus harta Debitor; dan
b. Terdaftar pada kemnetrian yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan
perundang-undangan.
Sama seperti Kurator, syarat untuk dapat
didaftar sebagai pengrus juga tunduk pada Peraturan
Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 18 Tahun 2013
tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Kurator dan
Pengurus.
Jika dilihat secara cemat, ketentuan Pasal 234
ayat (30 UUKPKPU menjelaskan bahwa yang dapat
diangkat sebagai pengurus adalah orang perse
orangan. Berbeda dengan kurator, selain orang
perorangan, Balai harta peninggalan juga dapat
diangkat sebagai Kurator. Pengertian yang diberikan

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 95


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
oleh Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. 18
Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran
Kurator dan pengurus mengenai pengurus juga tidak
tercantumkan Balai harta peninggalan sebagai pihak
yang dapat diangkat sebagai pengurus. Dengan
demikian Balai Harta peninggalan tidak dapat diangkat
menjadi pengurus.

b) Penggantian dan penambahan pengurus


Sebagaimana Kurator, susunan pengurus yang
mengurus proses PKPU dapat diganti atau pun
ditambah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tertentu.
Pasal 236 ayat (3) UUKPKPU menentukan bahwa:
“Pengadilan setiap waktu dapat mengabulkan usul
penggantian pengurus, setelah memanggil dan
mendengar pengurus, dan mengangkat pengurus lain
atau mengangkat pengurus tambahan berdasarkan :
a. Usul Hakim pengawas;
b. Permohonan Kreditor dan permohonan tersebut
hanya dapat diajukan bila didasarkan atas
persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah
kreditor yang hadir dalam rapat Kreditor;
c. Permohonan pengurus sendiri; atau
d. Permohonan pengurus lainnya, jika ada.’

7. Pengadilan
Pengertian pengadilan diatur dalam pasal 1 angka 7
UUKPKPU, dimana pengadilan didefinisikan sebagai;
“Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan
umum.”
Secara kelembagaan, pengadilan niaga dalam
lingkungan peradilan umum telah terbentuk dengan
dasar hukum Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 97 Tahun 1999 tentang Pembentukan
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Niaga Ujung
Pandang, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Medan, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Surabaya, dan Pengadilan Niaga pada Pengadilan

96 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Negeri Semarang tetap dinyatakan berlaku berdasarkan
ketentuan Pasal 305 UUKPKPU.
Sesuai dengan ketentuan di atas, Keputusan
Presiden No. 37 Tahun 1999 dinyatakan tetap berlaku.
Keppres tersebut mengatur bahwa setipa pengadilan
Niaga (yang seluruhnya berjumlah lima) memiliki
wilayah hukumnya sendiri. Kini menjadi dasar bagi
penentuan yurisdiksi pengadilan atas perkara kepailitan
tertentu. Apabila perkara kepailitan terletak dalam
wilayah Surabaya, Kepailitan itu tidak dapat jalankan
oleh Pengadilan Niaga pada pengadilan negeri Medan,
tetapi menjadi kewenangan dari Pengadilan Niaga pda
Pengadilan Negeri Surabaya. Sesuai dengan ketentuan
Pasal dan 5 Keppres Nomor 97 Tahun 1999, daerah
hukum Pengadilan Niaga dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Daerah hukum Pengadilan Niaga Pada pengadilan
negeri Medan meliputi iwilayah Provinsi sumatra
Utara, Riau, sumatra Barat, Bengkulu, Jambi, dan
Daerah Istimewa Aceh.
2. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan
negeri Jakarta Pusat meliputi wilayah Daerah Khusus
Ibu Kota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Sumatera
Selatan, lampung, dan kalimanta Barat.
3. Daerah hukum pengadilan Niaga pada pengadilan
Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang meliputi
wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta.
4. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan
Negeri Surabaya meliputi wilayah P{ropinsi Jawa
Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Timur, Bali, NTB, NTT, dan Timor Timur.
5. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan
Negeri Ujung pandang meliputi Wilayah Peopinsi
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Utara, maluku dan Irian Jaya.

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 97


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
C. Pengajuan Pemohon Pernyataan Pailit
1. Kreditor atau Debitor sebagai Pemohon
Pernyataan Pailit
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 UUKPKPU,
yang dimaksud dengan:
“Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang
karena peranjian atau undang-undang yanga dapat
ditagih di muka pengadilan.”
Sedangkan pengertian Debitor sesuai dengan
ketentuan pasal 1 angka 3:
“Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena
perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya
dapat ditaih di muka pengadilan.”
Permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh Debitor
merupakan permohonan pernyataan pailit yang ditujukan
kepada dirinya sendiri. Sedangkan permohonan
pernyataan pailit yang diajukan oleh kreditor dilakukan
olah salah satu kreditor (atau secara bersama-sama),
yakni orang atau badan hukum yang memiliki piutang
terhadap debitor. Permohonan pernyataan pailit yang
diajukan oleh debitor perorangan yang masih terikat
dalam perkawinan yang sah, diajukan atas persetujuan
suami atau istri yang sah. Kecuali apabila dalam
perkawinan ada perjanjian kawin (tidak ada percampuran
harta).

2. Kejaksaaan sebagai pemohon pernyataan pailit.


Permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh
kejaksaaan untuk kepentingan umum. Kejaksaaan dapat
mengajukan permohonan pailit dengan alasan untuk
kepentingan umum, dalam hal persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) UUKPKPU telah
dipenuhi dan tidak ada pihak yang mengajukan
permohonan pailit. Sedangkan yang dimaksud dengan
:kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan
negara dan/atau kepentingan masyarakat misalnya:
a. Debitor malrikan diri;
b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan;
c. Debitor mempunyai utang kepada BUMN

98 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
d. Debitor mempunyai utang yang berasal dari
penghimpunan dana dari masyarakat luas;
e. Debitor tidak beritikad baik atau kooperatif dalam
menyelesaikan masalah utang piutang yang telah
jatuh waktu; atau
f. Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan
kepentingan umum.

3. Permohonan pernyataan pailit terhadap debitor


tertentu
Pada prinsipnya, setiap orang (baik pribadi
maupun badan hukum) dapat mengajukan permohonan
pernyataan pailit. Pengecualian berlaku bagi permohonan
pernyataan pailit terhadap debitor tertentu, antara lain:
a. Dalam hal debitor adalah bank, permohoan pernyata
an pailit hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa
Keuangan;
b. Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa
Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan
pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Otoritas
jasa Keuangan.
c. Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan
Usaha Miliki Negara yang bergerak di bidang
kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit
hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Permohonan pernyataan pailit yang diajukan
terhadap debitor berdasarkan ketiga kategori hal diatas
tidak dapat diajukan oleh kreditor (baik perseorangan
maupun badan hukum) secara langsung, tetapi harus
melibatkan Otoritas Jasa keuangan.
Ketentuan tersebut mengalami perubahan dengan
diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
(disingkat UUOJK). Dalam Pasal 55 UUOJK ditentukan
bahwa:
(1) Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 99


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian,
Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga
Jasa Keuangan lainnya beralih dari menteri keuangan
dan badan pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ke Otoritas jasa keuangan (OJK).
(2) Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan
jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank
Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kasus mengenai peralihan fungsi, tugas dan wewenang
pengaturan dan pengawasan dari Menteri Keuangan,
Badan pengawas Keuangan, dan Bank Indonesia kepada
Otoritas Jasa Keuangan adalah Perkara Pernyataan
Permohonan Pailit No. 04/Pdt.Sus/Pailit/2015/PN. JKT.Pst.
Dalam perkara tersebut Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
berkedudukan sebagai pemohon pailit, sedangkan PT
Bumi Asih Jaya berkedudukan sebagai termohon pailit.
Dalam pertimbangan putusannya, majelis Hakim Perkara
No. 04/Pdt.Sus/2015/PN.Jk.Pst menyatakan bahwa OJK
memiliki kewenangan itu sesuai dengan Pasal 2 ayat (5)
UU No. 37 Tahun 20014 tentang kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU). Bahkan, Pasal
55 UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK juga mengamanat
kan fungsi pengawasan terhadap persahaan sektor
keuangan, termasuk asuransi. Majelis pun menjelaskan
bahwa syarat formilatas permohonan pernyataan pailit
sudah terpenuhi. Majelis mengakui bahwa klaim asuransi
dapat disebut sebagai utang dan pemegang polis adalah
kreditor.
Didasarkan pada ketentuan Pasal 55 UUOJK dan Putusan
Perkara No. 04.Pdt.sus/Pailit/2015/PN.Jkt.Pst, Otoritas
Jasa Keuangan memiliki dasar hukum untuk mengajukan
permohonan pernayataan pailit terhadap debitor sesuai
ketentuan Pasal 2 ayat (3), (4), dan (5) UUKPKPU.
Dalam perkara No. 50/Pdt.Sus-Pailit/2014/PN.Niaga.Jkt.
Pst, Fransiska Aninditya Putri (pemohon pailit) telah
mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap PT
Brent Ventura (termohon pailit) adalah termasuk
perusahaan modal ventura (PMV), maka berdasarkan

100 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
ketentuan pasal 2 ayat (4) jo. Penjelasan Pasal 2 ayat (40
Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan
dan PKPU, maka yang berhak mengajukan permohonan
kepailitan ataupun penjndaan kewajiban pembayaran utang
(PKPU) adalah Otoritas Jasa Keuangan. Denga demikian,
permohonan yang diajukan oleh Aransiska aninditiya Putri
(pemohon pailit) tidak memiliki legal standing. Dalam
putusan yang dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk
umum pada tanggal 16 Februari 2015, permohonan
pemohon pailit dinyatakan ditolak.

D. Posedur Formal Permohonan Pernyataan Pailit


1. Pengajuan Permohonan Pernyataan Pailit oleh
advokat
Permohonan pernyataan pailit (baik oleh kreditor
maupun debitor, atau pihak yang berwenang) harus
ditujukan kepada ketua pengadilan yang berwenang.
Apabila permohonan pernyataan pailit diajukan oleh
debitor yang masih terikat dalam pernikahan yang sah,
permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan
suami atau istrinya (vide Pasal 4 ayat (1) UUKPKPU).
Ketentuan ini tidak berlaku apabila dalam pernikahan
terdapat perjanjian pisah harta.
Pengajuan permohonan pernyataan pailit juga
harus diajukan oleh advokat sesuai dengan Pasal 7
UUK{KPU, kecuali permohonan diajukan oleh Kejaksaan
dan Otoritas Jasa Keuangan (yang menggantikan Bank
Idnonesia, Menteri Keuangan, dan Badan pengawas
Pasar Modal0.
Setiap kreditor ataupun debitor, baik pribadi
maupun badan hukum yang akan mengajukan permoho-
nan pernyataan pailit haruslah menunjuk advokat yang
akan mewakilinya (bertindak atas nama) dalam persi-
dangan. Penunjukan advokat dilakukan melalui surat
kuasa khsuus dan surat kuasa ini harus didaftarkan di
Kepaniteraan. Hal ini merupakan salah satu syarat formil
pengajuan permohonan pernyataan pailit.
Pengajuan permohonan pernyataan pailit juga
harus dilengkapi dengan pembayaran panjar biaya

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 101


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
perkara dengan nilai yang ditentukan oleh Surat
Keputusan Ketua Pengadilan Niaga. Atas pembayaran
panjar biaya perkara, pemohon pailit (melalui advokat
yang ditunjuk) akan menerima suarat kuasa untuk
membayar (SKUM). Setelah proses pembayaran selesai,
permohonan pernyataan ailit akan diresterasi dan
dibuatkan tanda terima permohonan yang sudah lengkap.

2. Kewenangan relatif pengadilan niaga


Pengadilan Niaga adalah suatu pengadilan
khusus yang berada di lingkunan peradilan umum, yang
dibentuk dan bertugas menerima, memeriksa, dan
memutus permohonan pernyataan pailit dan PKPU serta
perkara lain di bidang perniagaan, yang penetapannya
dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan relatif pengadilan niaga ditentukan
oleh tempat di mana permohonan pernyataan pailit
seharusnya diajukan. Kewenangan relatif pengadilan atas
permohonan pernyataan pailit diatur dalam Pasal 3
UUKPKPU, yang dijabarka sebagai berikut:
(1) Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal
lain yang berkaiatan dan/atau diatur dalam undang-
undang ini, dipjutuskan oleh pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum
debitor;
(2) Dalam hal debitor telah meninggalkan wilayah NKRI,
pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas
permohonan pernyataan pailit adalah pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum
terkahir debitor;
(3) Dalam hal Debitor adalah pesero suatu Firma,
pengadilan yang daerah hukumn ya meliputi tempat
kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang
memutuskan. Permohonan pernyataan pailit terhadap
suatu firma harus memuat nama dan tempat tinggal
masing-masing persero yang secara tanggung rentang
terikat untuk seluruh utang Firma;
(4) Dalam hal Debitor tidak berkedudukan di wilayah NKRI,
tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah

102 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
NKRI, pengadilan yang berwenang memutuskan
adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kedudukan atau kantor pusat Debitor menja-
lankan profesi atau usahanya di wilayah NKRI;
(5) Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, tempat
kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud
dalam anggaran dasarnya.
Saat ini ada lima pengadilan yang memiliki kewenangan
untuk memeriksa dan mengadili permohonan pernyataan
pailit, sebagaimana ditentukan oleh Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 97 tahun 1999 tentang
pembentukan Pengadilan Niaga pada Pengadilan negeri
ujung pandang, pengadilan negeri Medan, Pengadilan
negeri Surabaya, dan pengadilan Negeri Semarang
(disingkat Keppres 97/1999). Menurut Pasal 2 dan 5
Keppres 97 tahun 1999, lima pengadilan yang berwenang
memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit
adalah sebagai berikut:
1. Daerah hukum Pengadilan Niaga Pada pengadilan
negeri Medan meliputi iwilayah Provinsi sumatra Utara,
Riau, sumatra Barat, Bengkulu, Jambi, dan Daerah
Istimewa Aceh.
2. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan
negeri Jakarta Pusat meliputi wilayah Daerah Khusus
Ibu Kota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Sumatera
Selatan, lampung, dan kalimanta Barat.
3. Daerah hukum pengadilan Niaga pada pengadilan
Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang meliputi
wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta.
4. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan
Negeri Surabaya meliputi wilayah P{ropinsi Jawa Timur,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Timur, Bali, NTB, NTT, dan Timor Timur.
5. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan
Negeri Ujung pandang meliputi Wilayah Peopinsi
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Utara, maluku dan Irian Jaya.

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 103


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
3. Syarat kelengkapan dokumen
Untuk melengkapi persyaratan permohonan pernyataan
pailit, perlu dilampirkan dokumen-dokumen sebagai
mana diatur dalam Pedoman Teknis Administrasi dan
gteknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus
antara lain:
a. Permohonan dari Kreditor:
1) Surat permohonan pernyataan pailit bermeterai
yang ditunjuk kepada Ketua Pengadilan Niaga;
2) Suarat Kuasa khusus;
3) Kartu anggota advokat
4) Tanda daftar perusahaan (TDP)/Aosisasi/
yayasan yang dilegalisasi (dicap oleh kantor
perdagangan paling lama 1 minggu sebelum
permohonan didaftarkan;
5) Surat perjanjian utang (loan agreement atau
bukti lain yang menunjukkan adanya periaktan
utang (commercial papaer, faktur, kwitansi, dan
lain-lain);
6) Perincian utang yang tidak terbayat;
7) Segala dokumen dalam bahasa asing harus
diterjemahkan ke dalam bahsa Indonesia oleh
penerjemah resmi (tersumpah;
8) Segala dokumen yang berasal dari negara
asing harus disahkan oleh Kedutaan/Konsulat
Jenderal Republik Indonesia di negara asal;
dan
9) Nama dan alamat masing-masin kreditor/
debitor.
b. Permohonan dari debitor perorangan:
1) Surat permohonan pernyataan pailit bermeerai
yang ditujukan kepada Ketua Pngeadilan
Niaga;
2) Surat kuasa khusus;
3) Kartu anggota advokat;
4) Surat tanda bukti diri suami/istri yang masih
berlaku 9KTP, Paspor, SIM);
5) Persetujuan suami/Istri dan akta perkawinan
yang dilegalisasi;

104 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
6) Daftar aset (aktiva ataupun pasiva( dan;
7) Neraca pembukaan terakhir (dalam hal
perseorangan memiliki perusahaan).
c. Proses sebelum persidangan
1) Surat permohonan pernyataan pailit bermeterai
yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan
Niaga;
2) Surat Kuasa Khusus;
3) Kartu anggota advokat;
4) Tanda daftar perusahaan (TDP) yang
dilegalisasi (dicap oleh kantor perdagangan
paling lama 7 hari sebelum permohonan di
daftarkan;
5) Berita acara rapat umum pemegang saham
(RUPS);
6) Anggaran Dasar/anggaran rumah tangga;
7) Neraca keuangan terakhir (auditor independen);
dan
8) Nama serta alamat semua debitor dan kreditor.
d. Permohonan dari debitor yayasan/asosiasi:
1) Surat permohonan pernyataan pailit bermeterai
yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan
Niaga;
2) Surat Kuasa Khusus;
3) Kartu anggota advokat;
4) Akta pendaftaran yayasan/asosiasi yang
dilegalisasi (dicap) oleh kantor perdagangan
paling lama 7 hari sebelum permohonan di
daftarkan;
5) Putusan Dewan pengurus yang memutuskan
untuk mengajukan permohonan pailit;
6) Anggaran Dasar/anggaran rumah tangga;
7) Neraca keuangan terakhir (auditor independen);
dan
8) Nama serta alamat semua debitor dan
kreditor/mitra usaha.
e. Permohonan dari debitor perkongsian/partner

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 105


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
1) Surat permohonan pernyataan pailit bermeterai
yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan
Niaga;
2) Surat Kuasa Khusus;
3) Kartu anggota advokat;
4) Tanda daftar perusahaan (TDP) yang dilegali-
sasi (dicap oleh kantor perdagangan paling
lama 7 hari sebelum permohonan di daftarkan;
5) Neraca keuangan terakhir (auditor independen);
dan
6) Nama serta alamat semua debitor dan kreditor.
f. Permohonan dari Kejaksaaan, dan otoritas jasa
Keuangan Republik Indknesia (yang menggantikan
bank Indonesia, Bapepam, dan Menteri Keuangan):
1) Surat permohonan pernytaan pailit bermeterai
yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan
Niaga;
2) Surat Tugas;
3) Tanda daftar perusahaan (TDP) yang dilegali-
sasi (dicap oleh kantor perdagangan paling
lama 7 hari sebelum permohonan di daftarkan;
4) Surat perjanjian utang (loan agreement) atau
bukti lain yang menunjukkan adanya perkatan
utang (commercial paper, faktur, kuigtansi, dan
lain-lain);
5) Perincian utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih;
6) Nama dan alamat semua debitor serta kreditor;
7) Neraca keuangan terakhir; dan’Daftar aset
(aktiva dan pasiva).

4. Proses Sebelum Persidangan.


Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan
pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan
diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima
tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang
berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal
pendaftaran. Setelah itu, panitera menyampaikan
permohonan pernyataan pailit kepada ketua pengadilan

106 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
paling lambat 2 hari setelah tenggal permohonan
didaftarkan.
Terhadap permohonan pernyataan pailit yang
telah dinyatakan lengkap dan telah diberi nomro
registerasi yang diajukan kepada ketua pengadilan,
ketua pengadilan akan menetapkan susunan majelis
hakim dan panitera pengganti, serta menentapkan
hari/tanggal sidang. Hal ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 6 ayat (5) UUKPKPU yang menentukan bahwa;
“Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari
setelah tanggal permohonan pernyataan pailit
didaftarkan, pengadilan mempelajari permohonan
dan menetapkan hari sidang.”
Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit
diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20
(dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
Atas permohonan debitor dan berdasarkan alasan yang
cukup, pengadilan dapat menunda penyelenggaraan
sidang sampai dengan paling lambat 25 (dua puluh lima)
hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
Setelah tanggal sidang ditetapkan, pengadilan
melalui juru sita wajib memanggil debitor, dalam hal
permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditor,
kejaksaaan, bank Indoneia, Badan Pengawas Pasar
Modal, atau Menteri Keuangan )vide Pasal 8 ayat (1)
huruf a UUKPKPU). Engadilan juga dapat memanggil
kreditor dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan
oleh Debitor dan terdapat keraguan bahwa persyaratan
untum dintakan pailigt sebagiaman dimaksud dalam pasal
2 ayat (1) UUKPKPU telah terpenuhi. Pemanggilan baik
kepada Kreditor maupu debitor dilakukan oleh juru sita
dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 hari sebelum
seidang pemeriksaan pertama diselelnggarakan.

5. Proses Persidangan
Putusan atas permohonan pernyataan pailitn
harus diucapkan dalam jangka wati maksima 60 hari.
Bebreda dengan persidangan perkara perdata jumum
yang bisa memakan waktu maksimal 6 bulan,

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 107


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
;persidangan permohonan pernytaan pailit memilki waktu
oenyelesaian yang relatif singkat.
Pada persidangan pertama, majelis hakim wajib
meneliti kelengkapan formal, antara lain identitas
permohon, advokat, surat kuasa khusus, dan laon-lain.
Berbeda dengan oersidangan perkara perdata biasa,
persidanga prmohonan pernyataan apailit tidak mengenal
perdmaian (mediasi). Apabila pda sidang pertama
pemohon tidak hadir, pengadilan memutuskan bahwa
permohonan pernyataan pailit gugur. Sebaliknya apabila
termohon tidak hadir dalam persidangan pertama, ia akan
dipanggil lagi oleh juru sita. Apabila setelah panggilan
dilakukan termohon tidak juga hadir, pada hal penggtilan
telah dilakukan secara patt dan sah, pengadilan
melanjutkan pemeriksaan melalui cara-cara verstek
*tanpa kehadiran termaohon).
Agenda persidangan pertama adalah pembacaan
permhonan pernyataan pailit oleh pemohon. Termohon
diberikan kesempatan untuk di dengar keterangannya
dan menyampaikan jawaban. Apabila keterangan
termohon berisi penyangkalan terhadap permohonan
pernyataan pailit, termohon dibebani pembuktian.
Jawaban termohon yan beirisi pengangkalan harus
disertai dengan alat bukti. Persidangan permohonan
pernytaan pailit tidak mengenal tahap persidangan replik,
duplik, intervensi, ataupn rekonvensi.
Selama berlangsungnya persidangan dan selama
putusan atas permohonan pernyataan pailit beum
diucapkan, sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1)
UUKPKPU, setiap kreditor, kejaksaan, bank Indonesia,
Badan pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan
dapat mengaukan permohonan kepada pengadilan untuk:
a. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagaian atau
seluruh kekayaan Debhitor; atau
b. Menunjukkan Kurator sementara untuk mengawasi:
1) Pengelolaan usaha Debitor; dan
2) Pembayaran kepada kreditor, oengalihanatau
pengagunan kekayaan Debitor yang dalam
kepailitan merupakan wewenang Kurator.

108 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Permohonan yang doajukan sebagaimana disebutkan
dalam pasal 10 ayat (1) UUKPKPU di atas hanya dapat
dilakabulkan apabila hal tersebut diperlukan guna
melindungi kepentingan kreditor. Dalam hal permohonan
tersebut dikabulkan, pengadilan dapat menetapkan
syarat agar kreditor pemohon memberikan jaminan yang
dianggap wajar okeh oengadilan.

E. Syarat Substansial Kepailitan


Syarat substansial dalam pengajuan permohonan
pernyataan pailit dan syarat substansial agar permohonan
pernyataan pailit dikabulkan sehingga debitor dinyatakan
paili,mdiatur dalam Pasal 2 ayat 910 UUKPKPU yang
berbunyi:
“Debitor yang mempunyai 2 (dua) atau lebih Kreditor
dan tidak membayar lunas sedikitnya 1 (sat) utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan 1
(satu0 atau lebih kreditornya.”
Ada beberapa unsur yang didapat dari pasal di atas,
anatara lain:
1. Adanya debitor;
2. Adanya (dua) atau lebih kreditor;
3. Debitor tidak membayar lunas sedikitnya 1 utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih; dan
4. Adaya permohonan pernyataan ailit dari debitor sendiri
atau permohonan pernyataan pailit dari 1 atau lebih
kreditornya.
Subyek dari permohonan pernyataan pailit adalah kreditor
dan debitor. Sedangkan obyeknya adalah adanya 2
kreditor (artinya ada 2 utang), dan ada sedikitnya 1 utang
yang tidak terbayar lunas, telah jatuh tempo dan dapat
ditagih. Dengan demimkian, unsur utang dalam
permohonan pernyataan pailit merupakan unsur utama
dalam putusan pernyataan pailit.
1. Syarat adanya dua atau lebih kreditor
Salah satu syarat dikabulkannya perohnan
pernyataan pailit sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 2

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 109


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
ayat (1) UUKPKPU adalah adanya 2 atau lebih kreditor.
Kreditor terdiri dari beberapa macam, baik kreditor
konkuren, kreditor separatis, maupun kreditor preferen.
Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen,
mereka dapat mengajukan permohonan pernytaan pailit
tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang
mereka miliki terhadap harta debitor dan haknya untuk
didahulukan. Bilamana terdapat sindikasi kreditor, masing-
masing kreditor adalah kreditor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 2 UUKPKPU.
Adanya 2 atau lebih kreditor sebagai salah satu
syarat dikabulkannya permohonan pernyataan pailit, di
mana penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU menentukan
bahwa kreditor yang dimaksud adalah baik kreditor
konkuren, kreditor separatis, maupun kreditor preferen
adalah sesuai dengan contoh Putusan mahakamah Agung
berdasarkan Putusan No. 021/K/N//2001 tanggal 18 Mei
2001.
Putusan Mahkama Agung No. 021/K/N/2001
tanggal 18 Mei 2001, yang mengadili prkara pernyataan
pailit antara PT SumberDaya Sewatama (pemohon
pailit/pemohon kasasi) melawan PT. Atika Ekaputra
(termohon pailit/termohon kasasi), membatalkan putusan
Pengadilan Niaga pada Pengadilan negeri surabaya No.
02/Pailit/2001/PN. Niaga.Sby tanggal 4 April 2001. Dalam
pertimbangan Putusan Mahakmah Agung No. 21/K/N/2001
tanggal 18 Mei 2001 dinyatakan.
“Bahwa keberatan ini dapat dibenarkan oleh
karena Judex Faxtie telah salah menerapkan hukum
mengenai adanya syarat-syarat 2 (dua) orang Kreditor
atau lebih.
Bahwa pertimbangan Judex Vactie mengenai hal
tersebut bersifat kontradiktif yakni “disatu pihak
menyatakan bahwa Termohon Pailit terbukti mempunyai
2 (dua) orang Kreditor, yakni Pemohon pailit sebagai
Kreditor Konkuren dan BPPN sebagai Kreditor Separatis.
Akan tetapi, dilain pihak menyatakan bahwa BPPN
sebagai kreditor separatis dapat melaksanakan hak
istimewanya atas kekayaan Debitor sehingga kepailitan

110 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Termohon pailit tidak berpengaruh bagi BPPN, maka
BPPN dianggap bukan lgi Kreditor.
Bahwa pendapat tersebut tidak dapat dibenarkan
karena pengambilalihan utang PT Bank Bali oleh BPPN
yang tidak mempunyai hak istkmewa/sebagai Kreditor
Separatis, tidak berarti hilangnya hak menagih bagi
BPPN terhadap termohon pailit, dan juga tidak ada bukti
adanya pelunasan utang Termohon Pailit kepada BPPN.
Dengan demikian, Termohon ailit harus dinyatakan
terbukti masih mempunyai utang kepada BPPN.”
Sesuai dengan pertimbangan Putusan Mahkamah
Agung No. 021/K/N/2001 tanggal 18 Mei 2001 yang
dhubungkan dengan Pasal 2 Ayat (10 UUKPKPU, pihak
yang dapat disebut sebagai kreditor dalam permohonan
pernyataan; pailit, antara lain, mencakup kreditor konku-
ren, kreditor separatis, dan kreditor preferen.
2. Syarat ada sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo
dan dapat ditagih
Syarat lanjut dikabulkannya permohonan pernya-
taan pailit selain adanya 2 atau lebih kreditor, juga ada
sedikitnya 1 utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih. Jadi, di antara 2 kreditor atau lebih tersebut harus
ada minimal 1 yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Yang dimaksud dengan “utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih” adalah kewajiban untuk
membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena
telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihan-
nya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan
sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang,
maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis
arbitrase.
Sjutau utang dapat dikatakan telah jatuh waktu
dan dapat ditagih berdasarkan perjanjian yang telah
dibuat oleh kreditor dan debitor. Apabila ketentuan
mengenai jath waktu dan dapat ditagihnya suatu utang
idak diatur secara khusus dalam perjanjian, penentuan
nya dilakukan melalui pengiriman surat teguran (somasi)
dari kreditor kepada debitor. Dalam surat teguran
(somasi) tersebut, kreditor dapat memberikan jangka

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 111


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
waktu tertentu bagi debitor agar melaksanakan
kewajibannya. Jika dalam jangka waktu tersebut telah
terlewati dan debitor tidak juga melaksanakan kewajiban-
nya, debitor dianggap lali dan utang yang dimilikinya
secara hukum telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
3. Fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana
Syarat lain yang harus dipenuhi sebelum penga-
dilan mengabulkan permohonan pernyataan pailit adalah
apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara
sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah
dipenuhi (vide Pasal 8 ayata (4) UUKPKPU).
Yang dimaksud dengan “fakta atau keadaan yang
terbukti secara serhana” adalah adanya fakta satu atau
lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan
tidak dibayar. Sedangkan perbedaan besarnya jumlah
utang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit
tidak menghalangi dijatuhkannya putusan ernyataan palit.
Dengan demikian, “fakta atau keadaan yang terbukti
secara sederhana’ merupakan beban pembuktian bagi
pemohon pailit (baik kreditor maupn debitor).
Beban pembutkian merupakan kewajiban bagi
siapa pun yang hendak meneguhkan haknya atau hendak
membatah hak orang di dalam persidangan. Pasal 8 ayat
(4) UUKPKPU sejajar dengan ketentuan Pasal 1865 KUH
Perdata yang berbunyi:
“Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak,
atau menunjuksuatu peristiwa untuk meneguhkan
haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang
lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian
yang dikemaukakan itu.”

F. Putusan Pernyataan Pailit


Pasal 8 ayat (5) UUKPKPU menentukan bahwa:
“Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit
harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari
setela tanggal permohonan pernyataan paili di daftarkan.”
Cara menghitung batas waktu 60 hari berdasarkan
hitungan kelender. Hl ini tent berbeda dengan perkara

112 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
perselisihan industrial yang menentukan waktu berdasar
kan hari kerja.
Sesuai dengan ketentuan pasal 8 ayat (6) UUKKPU,
putusan atas permohonan pernyataan paili wajib memuat:
1. Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan dan/atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili; dan
2. Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari
Hakim anggota atau ketua majelis.
Putusan atas permohonan pernyataan pailit yang
memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang
mendasari putusan tersebut harus diucapka dalam sidang
terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih
dahulu meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu
upaya hukum.
Sesuai dengan Pedoman Teknis Administrasi dan
Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khsuus,
dalam hal permohonan pernataan pailit dikabulkan, amar
putusan memuat:
1. Pernyataan pailit debitor;
2. Penunjukkan hakim pengawas;
3. Pengangkatan kuratorImbalan jasa kurator dan biaya
kepailitan;
4. Pembebanan baya perkara
Salinan putusan pengadilan atas permohonan
pernyataan pailit yang memuat pasal tertentu dari
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar
untuk mengadili; dan pertimbangan hukum dan pendapat
yang berbeda dari hakim anggota atau Ketua Majelis.
Disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat
kepada debitor, pihak yang mengajukan permohonan
pernyataan pailit, kurator, dan hakim pengawas paling
lambat 3 hari setelah tanggal putusan atas permohonan
pernyataan pailit diucapkan.

G. Prosedur Formal Pengajuan Permohonan PKPU


Permohonan PKPU (baik yang diajukan oleh
debitor maupun kreditor) harus diajukan kepada pengadilan

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 113


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
niaga yang berwenang dengan ditandaitangani oleh
pemohon dan oleh advokatnya. Hal ini berbeda dnegan
pengajuan permohonan pernyataan pailit yang cukup
ditandatangani oleh advokat yang ditunjuk oleh pemohon
saja.
Permohonan PKPU dapat diajukan dalam dua hal yakni:
1. Permohonan PKPU yang diajukan setelah permohonan
pernyataan pailit; dan
2. Permohonan PKPU yang diajukan tersendiri.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 229 ayat (3) UUKPKPU
bahwa:
“Apabila permohonan pernyataan pailit dan
permohonan PKPU diperiksa pada saat yang
bersamaan, permohonan PKPU harus diputuskan
terlebih sahulu.”
Apabila permohonan diajukan oleh debitor,
permohonan PKPU harus disertai daftar yang memuat sifat,
jumlah piutang, dan utang debitor beserta surat bukti
secukupnya. Sedangkan apabila permohonan diajukan
oleh kreditor, pengadilan wajib memanggil debitor melalui
juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat tujuh hari
sebelum sidang.
Sesuai dengan Pedoman Teknis Administrasi dan
Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus,
dokumen yang harus dilenhkapi terkait dengan oersyaratan
dalam pengajuan pemohonan PKPU sama dengan
persyaratan kelengkapan dokumen pada permohonan
pernyataan pailit. Begitu pula dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), (2), (3), (4),
dan (5) UUKPKPU berlaku mutatis mutandis sebagai tata
cara pengajuan permohonan PKPU.
Permohonan PKPU diajukan kepada Ketua
Pengadilan. Panitera mendaftarkan permohonan PKPU
pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan
kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang
ditandatangani oleh ejabat yang berwenang dengan
tanggal yang samadengan tanggal pendaftaran. Dalam
persidangan permohonan PKPU, di mana kreditor
bertindak sebagai pemohon, debitor mengajukan daftar

114 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
yang memuat sifat, jumlah utang, dan utang debitor beserta
surat bukti secukupnya dan, bila ada rencana perdamaian.
(vide Pasal 224 (4) UUKPKPU). Dalam hal permohonan
diajukan oleh debitor, debitor yang bersangkutan dapat
melampirkan rencana perdamaiannya (vide Pasal 224 ayat
(5) UUKPKPU).
Surat permohonan PKPU berikut ampirannya, bila
ada, harus disedikan di kepaniteraan pengadilan agar
dapat dilihat oleh setiap orang dengan Cuma-Cuma (vide
Pasal 225 ayat (1) UUKPKPU).

H. Syarat Substansial PKPU


Syarat Substansial PKPU yang harus dipenuhi oleh
pemohon yang merupakan debitor didasarkan pada
ketentuan pasal 222 ayat (2) UUKPKPU yang menyatakan;
“Debitor yang tidak dapat PKPU, dengan maksud untuk
mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran
pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada
Kreditor.”
Sesuai dengan ketentuan diatas, syarat substansial
PKPU bagi debitor yang bertindak sebagai pemohon,
antara lain:
1. Debitor tidak dapat melanjutkan membayar utang-
utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih;
2. Debitor memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan
membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu
dan dapat ditagih; dan
3. Adanya maksud untuk mengajukan rencana
perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran
sebagian atau seluruh utang kepada kreditor.
Sedangkan syarat substansial KPKU yang harus
dipenuhi oleh Pemohon yang merupakan kreditor adalah
sesuai Pasal 22 ayat (3) UUKPKPU yang berbunyi:
“Kreditor yang memperkirakan bahwa Debitor
tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah
jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar
kepada Debitor diberi PKPU, untuk memjngkinkan
Debhitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 115


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang
kepada Kreditornya.”
Berdasarkan pasal diatas, syarat substansial
PKPU bagi kreditor yang bertindak sebagai pemohon,
antara lain:
1. Adanya perkiraan bahwa debitor tidak dapat
melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh
waktu dan dapat ditagih; dan
2. Pemberian kemungkinan kepada debitor agar
mengajukan rencana perdamaian yang meliputi
tawaran pembayaran sebagaian atau seluruh utang
kepada kreditornya.
Syarat sebstansial PKPU sebagaimana tersebut
di atas dapat dipelajari adalah contoh Putusan No.
02/PKPU/2014/PN. Niaga SBY tanggal 5 Mei 2014,
dalam perkara antara Andi Koeswara, SH dan Ajeng
Retno Wulansari (Para Pemohon PKPU) Melawan PT
Ladang Rizky Jaya Sentosa, di mana dalam salah satu
pertimbangan putusan dinyatakan:
“menimbang, bahwa Para Pemohon PKPU juga
telah melakukan somasi beberapa kali terhadap
Termohon PKPU melalui kuasa hukumnya, yaitu somasi
pertama tanggal 11 September 2013, somasi kedua pada
tanggal 20 September 2013, dan atas somasi terseut
Termohon PKPU memberikan tanggapan yang isinya
antara lain, bahwa Termohon PKPU telah mengakui jika
memiliki kewajiban pengembalian uang pembatalan
pembelian satuan unit rumah yang telah jatuh tempo oleh
pihak Termohon PKPU dan akan menjadwalkan
pengembalian uang sebagaimana dimaksud dengan
waktu paling lambat pada tanggal 26 januari 2014, namun
setelah beberapa kali diberikan kesempatan, Termohon
PKPU belum juga dapat memenuhi kewajibannya;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum
tersebut di atas, telah dapat dibuktikan Debitur memiliki
dua kreditur atau lebih dan Para Pemohon memiliki
kepasitas sebagai Para pemohon PKPU;
Menimbang, bahwa untuk dapat diajukan PKPU
oleh kreditur, maka disyaratkan sebagaimana diatur

116 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dalam pasal 222 ayat (30 UU No. 37 Tahun 2004 Debitur
harus memiliki satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih;
Menimbang, bahwa oleh karena telah dapat
dibuktikan oleh Para Pemohon PKPU, termohon PKPU
memiliki lebih dari satu Kreditur dan memiliki utang satu
utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, maka
permohonan PKPU Para Pemohon beralasan menurut
hukum untuk dikabulkan.”
Pertimbangan Putusan No. 02/PKPU/2014/PN.
NIAGA.SBY tanggal 5 Mei 2014 di atas merupakan
contoh dari pemberlakuan ketentuan Pasal 222 ayat (3)
UUKPKPU.

I. Putusan PKPU Sementara


Setiap permohonan PKPU harus diperiksa dan
diputus oleh pengadilan, terlepas dari apakah permohonan
tersebut dikabulkan, ditolak, atau tidak diterima. Putusan
pengadilan harus diucapkan dalam jangka waktu tertentu,
tergantung siapa yang mengajukan permohonan, debitor
atau kreditor.
Pasal 225 ayat (2) UUKPKPU menentukan bahwa:
“Dalam hal permohonan diajukan oleh Debitor,
Pengadilan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari sejak
tanggal didaftarkannya surat permohonan PKPU, harus
mengabulkan PKPU sementara dan harus enunjuk
seorang Hakim pengawas dari Hakim pengadilan serta
engangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama
dengan debitor mengurus harta Debitor.”
“dalam hal permohonan diajukan oleh Kreditor,
pengadilan dalam waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari
sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan, harus
mengabulkan permohnan PKPU sementara dan harus
menunjuk Hakim pengawas dari hakim pengadilan serta
mengangkat 1 (satu0 atau lebih pengurus yang bersama
dengan Debitor mengurus harta Debitor”. (vide Pasal 225
ayat (3) UUKKPU).
Didasarkan pada kontruksi kalima dalam pasal 225 ayat
(2) dan (3) UUKKPU, setiap permohonan PKPU harus

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 117


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dikabulkan. Dengan adanya kata “harus”, maka
kemungkinan dikabulkannya permohonan PKPU menjadi
sebuah kepastian. Tentu dalam hal ini timbul dari asumsi
bahwa hal ikhwal adanya utang juga telah dapat
dibuktikan oleh pemohon (baik yang merupakan debitur
dan kreditur).
Putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan
PKPU memuat amar sebagai berikut:
1. Pernyataan PKPU dikabulkan;
2. Penunjukkan hakim oengawas;
3. Pengangkatan pengurus;
4. Imbalan jasa engurus; dan
5. Pembebanan biaya perkara.
Produk putusan pengadilan atas permohonan PKPU
adalah pernyataan PKPU sementara. PKPU sementara
berlaku sejak tanggal putusan PKPU tersebut diucapkan
dan berlangsung sampai dengan tanggal sidang rapat
permusyawaratan hakim diselenggarakan. Segera
setelah putusan PKPU sementara diucapkan, Pengadilan
melalui pengurus wajib memanggil debitordan kreditor
yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kjurir,
untuk menghadap dalam sidang yang diselenggarakan
paling lama pada hari ke-45 terhitung sejak putusan
PKPU sementara diucapkan.

J. Putusan PKPU Tetap


Berbeda dengan putusan PKPU sementara,
putusan PKPU tetap ditetapkan oleh pengadilan setelah
dilaksanakannya rapat permusyawaratan hakim. Jika
putusa PKPU sementara merupakan putusan yang
mengabulkan permohonan PKPU, putusan PKPU tetap
merupakan putusan pengadilan yang mengubah status
PKPU sementara menjadi PKPU tetap.
Pemberian PKPU tetap berikut perpanjangannya
ditetapkan oleh pengadilan berdasarkan ketentuan pasal
229 ayat (1) UUKPKPU, yakni;
1. Persetujuan lebih dari ½ (satu per dua) julah kreditor
konkurenyang haknya diakui atau sementara diakui
yang hadir dan mewakili palingsedkit 2/3 (dua pertiga)

118 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang
sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya
yang hadir dalam sidang tersebut; dan
2. Persetujuan lebih dari ½ (satu perdua) jumlah Kreditor
yang piutangnyadijamin dengan gadai, jaminan fidusia,
hak tanggungan, hupotik, atau hak agunan atau s
kebendaan lainnya yang hadir dan meakili paling sedikit
2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan Kreditor
atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.
Perselisihan yang timbul antara pengurus dan
kreditor konkuren tentang hak suara kreditor sebagaimana
dimaksud pada 229 ayat (10 huruf a UUKPKPU diputus
oleh Hakim Pengawas. Setelah muncul keputusan yang
diambil alih oleh hakim pengawas atas perselisihan
engenai hak suara tersebut, sidang pemungutan suara
terhadap rencana pemberian PKPU tetap dilanjutkan.
Apabila PKPU tetap disetujui, penndaan tersebut berikit
perpanjangannya tidak boleh melebih 270 hari seetelah
putusan PKPU sementara diucapkan. Sebaliknya, jika
PKPU tetap tidak disetujui, debitor dinyatakan pailit

K. Penerapan norma dan prinsip Hukum Kepailitan dalam


Putusan Peradilan.
Setelah berlakunya UU No. 37 Tahun 2004,
Pengadilan Niaga telah konsekwen menerapkan
UUKPKPU. Pasal 304 UUKPKPU menyebutkan perkara
yang pada waktu undang-undang ini berlaku:
a. Sudah diperiksa dan diputus tetapi belum dilaksana-
kan atau sudah diperiksa tetapi belum diputus maka
diselesaikan berdasarkan peraturan perundang-
undangan di bidang kepailitan sebelum berlakunya
Undang-undang ini;
b. Sudah diajukan tetapi belum diperiksa, diselsaikan
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Atas dasar ketentuan Pasal 304 UUKPKPU, maka
Pengadilan teleh menerapkan UU No. 37 tahun 2004
dalam setiap perkara kepailitan yang diajukan. Penerapan
ini dapat dibuktikan dari penggunaan pengertian debitor,

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 119


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
kreditor, utang, penggunaan jasa advokat, jangka waktu
dan pemakaian jasa kurator.

ANALISIS
A. Analisis Penerapan Prinsip Paritas Creditorium dan
Prinsip Sructured Prorata Dalam Putusan Peradilan
Prinsip paritas creditorium menentukan bahwa para
kreditor baik kreditor separatis, kreditor preferen, maupun
kreditor konkuren memiliki hak yang sama terhadap
segenap harta benda debitor. Apabila debitor tidak dapat
membayar utangnya, maka harta kekayaan debitor menjadi
sasaran kreditor. Prinsip paritas creditorium mengandung
makna bahwa semua kekayaan debitor baik yang berupa
barang bergerak maupun barang tidak bergerak maupun
harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang-
barang di kemjudian hari akan dimiliki debitor terikat
kepada penyelesaian kewajiban debitor sehingga demi
hukum akan menjadi jaminan umum terhadap pemenuhan
utang-utang debitor kepada para kreditornya.
Sedangkan prinisp structured prorata adalah prinsip
yang mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai
macam kreditor sesuai dengan kelasnya masing-masing.
Dalam kepailitan kreditor diklasifikasikan menjadi tiga
macam, yaitu kreditor separatis, kreditor preferen, dan
kreditor konkuren. Pensgtrukturan kreditor tersebut adalah
memiliki makna tentang preferensi masing-masing kreditor
tersebut atas harta debitor untuk memenuhi kewajiban
utang terhadap para kreditornya tersebut.
Dari hasil penelitian terhadap putusan yang ada
dapat dikelompokkan menjadi dua kategori. Kelompok
pertama adalah putusan yang konsisten dan benar
menerapkan norma serta prinsip paritas creditorium dan
prinsip structured prorata, yakni:
i. Kasus Bank Niaga cs melawan PT Dharmala Agrifood
Tbk.
ii. Kasus Bank Credit Lyonnais Indonesia melawan PT
Sandjaja Graha Sarana, Tjokro Sandjaya dan Ny.
Patricia sandjaja.

120 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Sedangkan kelompok kedua adalah putusan
pengadilan yang tidak konsisten dan tidak benar
menerapkan norma serta prinsip paritas crediorum dan
prinsip structiural prorata, yakni pada:
1. Kasus Sojitz Corporation melawan PT Thirtha Ria
2. Kasus PT BANK Yama melawan PT Nassau Sports
Indonesia.

Kasus 1. Bank Niaga cs Melawan PT Dharmala Agriffod


Tbk.
PT Bank Niaga Tbk. (Bank Niaga), PT ING
Indonesia Bank (ING Bank) dan Internasional Finance
Copporation (IFC) bersama-sama mengajukan
permohonan pailit terhadap PT Dharmala Agrifood, Tbk,
(PTDA), karena PT DA tidak membayar utangnya yang
jatuh tempo dan dapat ditagih oleh PT DA berdasarkan
perjanjian kredit masing-masing ketiga kreditor itu. Utang
PT DA kepada Bank Niaga yang dalam bentuk Perjanjian
Kredit itu. Utang PT DA kepada Bank Niaga yang dalam
bentuk Perjanjian Kredit No. 973/CBG/JKT/97 tertanggal 15
Oktober 1997 dan fasilitas kredit yang telah diginakan
adalah sebesar Rp 6 miliar dan utang tersebut telah jatuh
tempo serta dapat ditagih. Utang PT DA terhadap ING
Indonesia Bank adalah berdasarkan perjanjian fasilotas
ponjaman sebagaimana dimaksud dalam surat fasilitas
Ref.No. 133/97/ASH/JWO/LG tertanggal 30 Juni 1997 dan
fasilitas pinjaman yang telah digunakan adalah sebesar
US$6,7 juta dan utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat
ditagih sesuai surat perjanjian itu. Sedangkan terhadap
IFC, PT DA memiliki utang sebesar US$ 32 juta
berdasarkan loan agreement dengan jaminan beberapa
aset tanah PT DA sebagaimana diikat dalam Akta
Pembebanan Hak tanggungan (APHT).
Atas permohonan pailit PT DA tersebut, Pengadilan
Niaga dalam putusannya Nomor 6/Pailit/1998/PN/
Niaga/Jkt.Pst tanggal 7 Desember 1998 memutuskan
menolak permohonan pailit tersebut. Adapun pertimbang
an hukum Hakim Pengadilan Niaga adalah bahwa utang
PT DA kepada ING Bank Dan IFC, Majelis Hakim Niaga

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 121


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
berkesimpulan bahwa atas dasar alat bukti yang ada
ternyata utang yang memang ada itu belum jatuh tempo.
Utang PT DA kepada ING Bank belum jatuh tempo karena
belum ada pemberitahuan khusus untuk mengakhiri
fasilitas yang ada. Sedangkan utang PT DA kepada IFC
belum jatuh tempo karena hal itu baru akan terjadi di tahun
2003. Majelis Hakim Niaga berpendapat bahwa ketentuan
Pasal 1 (10 UUK tidak terpenuhi. Permohonan pailit ditolak.
Tentang kewenangan kreditor separatis mengajukan
permohonan pailit terhadap debitornya, hakim Pengadilan
Niaga berpendapat bahwa karena undang-undang hanya
menyebut seorang atau lebih kreditor dan tidak
membedakan kreditor dan tidak pula ada larangan bagi
kreditor seperatis untuk mengajukan permohonan
kepailitan tersebut, maka menurut hemat majelis, kreditor
separtis dapat mengajukan permohonan kepailitan serta
bahwa walaupun benar bahwa prinsip kepailitan
diperuntukkan para kreditor konkuren (karena kredit
separtis berdasarkan Pasal 56 Undang-undang No. 4
Tahun 1998 dapat mebgeksekusi haknya seolah-olah tidak
terjadi kepailitan) akan tetapi tidaklah menghilangkan hak
bagi para kreditor separatis untuk mengajukan permohonan
kepailitan.
Bank Niaga, ING Bank, dan IFC mengajukan
permohonan kasasi Majelis hakim kasasi dalam
putusannya Nomor 07/K/N/1998 tanggal 25 Januari
memjutuskan menolak permohonan kasasi p[ara kreditor
dengan pertimbangan hukum yang sama dengan alasan
penolakan Pengadilan Niaga, yakni tidak adanya uatng
yang jatuh tempo dan dapat ditagih karena utang yang
dijadikan dasar permohonan pailit adalah transaksi derivatif
dan itu dilarang oleh Bank Indonesia. Namun demikmian,
ada perbedaan pertimbangan hukum antara majelis
kasaski dengan Pengadilan Niaga mengenai kewenangan
kreditor separatis untuk mengajukan permohonan pailit.
Majelis kasasi berpendapat bahwa disamping pertimba-
ngan tersebut para kreditor adalah kredkitur yang
memegang hak tanggungan, hypoteek, dan fiducia atau
disebut sebagai kreditor separatis, yang dalam proses

122 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
kepailitan kreditor separatis tidak mempunhyai hak untuk
mengeluarkan suara. Karena sesuai Pasal 50 Undang-
Undang kepailitan kreditor separatis dapat mengeksekusi
haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Sehingga
dengan demikian, kalau kreditor separatis mengajukan
permohonan kepailitan terhadap debitor, seharusnya
melepaskan haknya terlebih dahulu sebagai kreditor
separatis dan menjadi kreditor konkuren. Sehingga dengan
demikian, unsur kreditor tidak terpenuhi.
Bank Niaga, Ing Bank, dan IFC mengajukan
permohonan PK, atas permohonan PK tersebut, majelis
hakim PK dalam putusannya Nomor 02 PK/N/1999 tanggal
6 April 1999 mengabulkan permohonan PK dan
menyatakan PT Dharmala Agrifood Tbk. Pailit.
Pertimbangan Hukum PK adalah bahwa mejelis Hakim
Kasasi telah salah menerapkan pasal Ayat (1) dan Pasal 6
Ayat (3) UUKPKPU berkaitan dengan keberhasilan kreditor
separatis dalam mebgajukan permohonan pailit debitornya.
Majelis Hakim Kasasi dalam Putusan Mahkamah Agung
tidak mempertimbangkan arrest H.R. tertanggal 10 Mei
1996, N. J. 1996 524 di mana ditentukan bahwa pemegang
agunan (hipotek dan hak tanggungan) tidak kehilangan
kewenangannya untuk mengajukan permohonan kepailitan
atas debitor yang berada dalam keadaan berhenti
membayar (Mr. N. J. Polak, Failissement Samson H. D.,
Tjeeng Willink, Alphen aan den Rijn, 1997, halaman 27).
Pertimbangan hukum PK mengenai transalasi valas adalah
bahwa suatu kesalahan berat dalam penerapan hukum bila
dikatakan bahwa Bnak Indonesia melarang pemberian
kredit oleh bank-bank kepada nasabahnya untuk keperluan
menutup kerugian transaksi valas yang sifatnya bukan
untuk memenuhi margin deposit. Hakim PK juga
berpendapat bahwa utang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih.

Kasus 2. Bank Credit Lyonnais Indonesia melawan PT


sandjaja Graha Sarana Cs.
Bank Credit Lyonnais Indonesia mengajukan
permohonan pailit terhadap PT Sandjaya Graha sarana

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 123


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(SGS), Tjokro Sandjaya dan ny. Patricia Sandjaya, karena
PT SGS tidak membayar utangnya yang jatuh tempo dan
dapat ditagih senilai US$ 1,9 juta berdasarkan Perjanjian
Kredit. Tjokro Sandjaya dan Ny. Patricia Sandjaya turut
dinayatakan pailit karena mereka berdua bertindak sebagai
pemberi jaminan pribadi atas pebayaran utang PT
Sandjaya Graha Sarana. Selain jaminan pribadi itu, PT
SGS telah memberikan agunan berupa tanah sebagai
jaminan kepada Bank Credit Lyonnais Indonesia, sehingga
bank Lyonnais Indonesia adalah kreditor separatis. Selain
kepada Bank Credit Lyonnais Indonesia, SGS cs juga
memiliki kreditor lain yakni BNP Lippo Indonesia yang
memiliki piutan sebesar 4 miliar rupiah dan US$ 4 juta.
Atas permohonan pailit tersebut, Pengadilan Niaga
dalam pautusannya Nomor 29/PAILIT/1999/PN.NIAGA/JKT
PST. Tanggal 2 Juni 1999 memutuskan mengabulkan
permohonan pailit ini dan menyatakan PT SGS, Tjokro
Sandjaya dan Ny Patricia Sandjaya pailit. Adapaun
pertimbangan hukum Hakim Pengadilan Niaga adalah
bahwa apersyaratan debitor untuk dinayatakan pailit telah
terpenuhi yakni memiliki minal dua kreditor dalam ha ini
kreditornya adalah Bank Credit Lyonnais Indonesia dan
BNP Lippo Indinesia dan utang yang telah jatuh tempo dan
dapat ditagih. Di samping itu pula, Majelis Hakim Niaga
berpendapat pula bahwa walaupun Bank Lyonnais adalah
kreditor separatis, Bank Lyonnais tetap dapat megajukan
permohonan pailit. Oleh karena Pasal 1 Ayat (1) UUKPKPU
mengatur bahwa yang dapa mmengajukan permohonan
kepailitan adalahdebjtor sendiri atau atas permohonan
seseorang atau lebih kreditornya. Jadi tidak ada perbedaan
antra kreditor konkuren dengan kreditor separats.
Pemisahan yang demikian tidak disebutkan dalam Pasal 1
Ayat (1) UUKPKPU. Hal itu diperkuat bahwa Pasal 56
UUKPKPU hanya dimaksudkan untjk melaksanakan
eksekusi dan bukan untuk mengajukan permohonan pailit
atas debitornya.
Atas putusan Pengadilan Niaga tersebut, debitor
pailit tidak memggunakan upaya hukum yang ada.

124 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Kasus 1. Sojitc Corporation Melawan PT Thrta Ria
Sojitz Corporation mengadakan perjanjian jual beli
dengan PT Thirta Ria atas sejumlah mesin-mesin tenun
dan persiapan filament polyester beserta aksesorisnya
(polyester weaving and prepatory machinery and
accessories), dengan total nilai kontrak sebesar JPY
405.870.527,- dimana pembayaran terhadap jumlah
pembelian tersebut disepakati dilakukan dengan cara
cicilan sebanyak 12 (dua belas) kali cicilan. Terhadap
perjanjian jual beli ini, telah dilakukan pengikatan jaminan
fidusia atas mesin-mesin tefrsebut.
Atas perjanjian jual beli tersebut, ternyata PT Thirta
Ria hanya membayar cicilan 1 dan cicilan 2, sedangkan
cicilan 3 dan seterusnya tidak dibayar. Atas kondisi ini,
maka diadakan penjadwalan utang (reschedulling), di mana
PT Thirta Ria berkewajiban membayar sisa utangnya
dalam 16 kali cicilan, akni cicilan pertama tanggal 26 Juli
2003 dan cicilan terakhir tanggal 26 Februari 2006.
Cicilan PT Thirta Ria tersebut ternyata bermasalah
lagi. PT Thirta Ria hanya mampu membayar samapai
dengan cicilan yang ke-7. Untuk cicilan yang ke-8 dan
seterusnya sama sekali tidak dibayar oleh PT Thirta Ria.
Sojitz Corporation telah melayangkan somasi terhadap PT
Thirta Ria, akan tetapi PT Thirta Ria tetap tidak melakukan
pembayaran tersebut.
Di samping berutang kepada Sojitz Corporation, PT
Thirtha Ria juga berutang kepada kreditor lainnya, seperti
Bank mandiri dan PT Indorama Syntheics Tbk. Atas kasus
tersebut, Sojitz Corporation menhgajukan permohonan
pailit terhadap PT Thirta Ria ke Pengadilan Niaga.
Atas kasus tersebut, Pengadilan Niaga dengan
putusannya Nomor 18/Pilit/2004/Jkt. Pst. Tanggal 28 juni
2004 memutuskan menolak permohonan pailit terhadap PT
Thirtha Ria tersebut. Adapun pertimbangan hukum
Pengadilan Niaga adalah permohonan pailit yang diajukan
oleh Sojitz corporation terhadap PT Thirta Aria adalah
prematur karena Sojitz adalah kreditur pemegang hak
jaminan kebendaan dalam hal ini fidusia. Menurut
Pertimbangan hakim Pengadilan Niaga bahwa oleh karena

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 125


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Sojitsz merupakan kreditor pemegang hak jaminan
kebendaan fidusia, maka Sojitz harus terlebih dahulu
mengeksekusi onjek fidusianya. Jika kemudian dari hasil
eksekusi jaminan fidusia tersebut masih terdapat sisa utang
yang belum terbayar, maka debitor berkewajiban
membayar sisa utang tersebut, baru Sojitz dapat
mengajukan permohoinan pailit terhadap debitornya tanpa
memerhatikan syarat ada tidaknya kreditor lain.
Atas putusan Pengadilan Niaga tersebut, Sojitz
mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Mhakamah
Agung melalui putusannya Nomor 14 K/N/2004 tanggal 10
Agustus 2004 memutuskan menlak kasasi gtersebut dan
membenarkan putusan pengadilan Niaga tersebut dengan
pertimbangan hukum karena putusan Yudex factie
(Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat)
sudah tepat yaitu tidak salah menerapkan atau melanggar
hukum yang berlaku, lagi pula mengenai penilaian hasil
pembuktian yang bersifat openghargaan tentang suatu
kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam
pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan
dalam tingkat kasasi hanyaberkenaan dengan tidak
dilaksanakan atau ada kesalahan dalam pelaksanaan
hukum. Di samping itu, Mahkamah Agung berpendapat
bahwa sebelum Permohonan pailit mengajukan
permohonan ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan negeri
Jakarta Pusat, seharusnya perlu melaksanakan hal-hal
yang tercantum dalam Akta jaminan Fidusia , yang mana
bila Termohon Pailit (pemberi fidusia) melakukan
wanprestasi, maka barang-barag yang dijadikan jaminan
tersebut dilelang terlebih dahulu dan bahwa dalam
kenyataannya hal tersebut tidak dilakukan oleh pemohon
pailit, sehingga dapat disimpulkan bahwa permohonan
pailit tersebut dinyatakan prematur.
Ats putusan kasasi tersebut Sojitz Corporation
selaku kreditor pemohon pailit tidak menggunakan upaya
hukum luar biasa peninjauan kembali.

Kasus 2. PT Bank Yama Melawan PT Nassau sports


Indonesia.

126 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
PT. Bank Yama dengan PT Nassau Sports Indonesia
mengadakan perjanjian kredit yang berupa fasilitas kredit
modal kerja dalam dua kali perjanjian kredit, yakni, akta
notaris yang dibuat di hadapan Notaris Pudji Rejeki Irawati
Nomor 253 dan 254 tanggal 26 Septeber 1996. Total
fasilitas kredit yang diterima oleh PT Nassau sebesar US$
1.000.000,- atas perjanjian kredit tersebut dibuat juga
prjanjian jaminan kebendaan berupa Hak Tanggungan
atas sebidang tanah HGB (Hak Guna Bangunan) No.
308/megamendung terletak di propinsi Jawa barat,
kabupaten Bogor, kecamatan Cisarua, kelurahan Mega
mendung, yang setempat dikenal sebagai Mega Villa Indah
Estate Blok I Nomor 40 seluas 4.470 M2, sesuai gambar
situasi tanggal 28 Februari 1991 Nomor: 2918/1991.
Kredit yang diberikan oleh bank yama tersebut
ternyata tidak dibayar sebagaimana mestinya oleh PT
Nassau. Bank Yama telah melakukan somasi berkali-kali,
namun PT Nassau tidak menghiraukan somasi tersebut.
Total uang pokok beserta bungan yang telah jatuh tempo
dan tidak dibayar sebesar US% 1.094.678,- selain Bank
yama, PT Nassau Indonesia juga memiliki mkreditor lain
yakni Bank BDN. Akhirnya PT Bank Yama mengajukan
permohonan pailit terhadap PT Nassau Sports Indonesia
tersebut di Pengadilan Niaga.
Atas permohonan pailit oleh bank Yama terhadap PT
Nassau Soprts Indonesia, pengadilan Niaga melalui
putusannya Nomor 06/PILIT/1999/JKT PST. Tanggal 15
Februari memutuskan menolak permohonan pailit tersebut.
Adapun pertimbangan hukum dari penolakan
permohonan pailit oleh Pengadilan Niaga adalah bahwa
dengan fakta dan kedudukan seperti tersebut, maka
kreditor pemohon menurut hukum berkedudukan sebagai
kreditor separatis (kreditor dengan hal mendahului) seperti
dimaksud dalam pasal 1178 KUH Perdata, dan yang
menurut pasal 56 UUK Kreditor separatis dapat
mengeksekusi haknya sekalipun debitor dinayatkan pailit.
Bahwa dihubungkan dengan Pasal 56 A, Pemohon selaku
kreditor separatis menjadi tidak berkualitas untuk
memohon pailit terhadap debotornya (C.q. termohon),

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 127


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
sebab, apabila permohonannya dikalbulkan, menurut
hukum hak eksekusi yang dimiliki pemohon justru
tertangguh selama-lamanya 90 hari, sedangkan aturan
kepailitan menurut UU No. 4 tahun 1998 memiliki rasio bagi
percepatan poenyelesaian pembayaran utang. Di samping
itu pula, bahwa dalam permohonannya kreditor yang
berkedudukan sebagai bank terhadap pemohon ternyata
tidak tegas=tegas menyatakan melepaskan hak istimewa
(hak mendahulukan atas piutangnya terhadap debitor), dan
tidak pula terbukti bahwa kreditor hanya menagih sisa
piutangnya setelah dikurangi dengan hasil penjualan hak
hipoteek yang dimiliki nya (sehingga krditor pemohon dapat
bertindak sebagai kreditor konkuren).
Atas pitusan Pengadilan Niaga tersebut, bank
yama mengajukan Kasasimke Mahkamah Agung,
Mahkamah Agung melalui putusannya Nomor 07/K/N/1999
tanggal 28 April 1999 memutuskan menolak kasasi dari
bank Yama dengan pertimbangan hukum bahwa
pengajuan kasasi telah melewati batas waktu, yakni
putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dijatuhkan pada
tanggal 12 Februari 1999 seangkan permohonan kasasi
baru diajukan pada tanggal 23 Februari 1999 (12 hari)
padahal menurut Pasal 8 Ayat (2) Undang-Undang No. 4
Tahun 1998 yang menyebutkan bahwa : “permohinan
kasasi diajukan dalam jangka waktu paling lambat 8
(delapan) hari terhitung sejak tanggal putusan yang
dimohonkan kasasi ditetapkan”.
Selanjutnya nak yama mengajukan Peninjauan
kembali. Dalam Peninjaua Kembali, Mahkamah Agung
dalam putusannya nomor 11/PK/N/1999 tanggal 15 Juli
1999 memutuskan menolak permohonan Peninjauan
kembali tersebut dengan pertimbangan hukum karena
majelis kasasi tidak salah dalam menerapkan hukum
yakni permohonan kasasi telah melampau batas waktu.
Kepailitan adalah merupakan pelaksanaan lebih
lanjut dari prinsip paritas creditorium, prinsip pari passu
prorate parte, dan prinisp structured pro rate dalam rezim
hukum harta kekayaan (vermogensrechts). Bahwa semua
kekayaan debitor baik yang berupa barang bergerak

128 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang
sekarang telah dipunyai debitor dan barang-barang di
kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada
penyelesaian kewajiban debitor kepada semua kreditor
tanpa kecuali. Sedangkan prinsip pari passu pro rata
parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan
jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus
dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali jika
antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang
harus didahulukan dalam menerima pembayaran
taguhannya. Kedua prinisp tersebut juga dilengkapi
dengan prinsip structured creditor.
Prinsip structure praorata adalah prinsip yang
mebgkalsifikasikan dan megelompokkan berbagai macam
debitor sesuai dengan kelasnya masing-masing. Dalam
kepailitan kreditor dikalsifikasikan menjadi tiga macam,
yaitu:
(1) Kreditor separatis, (2) kreditor preferen, dan (3)
kreditor konkuren. Ketiga kreditor dalam kepailitan
diakui eksistensinya sehingga masing-masing kreditor
tersebut diberikan perlindungan hukum terhadapnya.
Secara normatif, untuk mengkaji ruang lingkup
kreditor dalam kepailitan adalah dengan merujuk pada
norma yang terdapat dalam UU Nomor 37 Tahun 2004
tersebut menegaskan kembali terhadap prinisp
creditorium dan pronsip structues prorata. Demikian pula
dengan pendapat dari para perancang Undang-Undang
kepailitan secara tegas mengatakan bahwa kreditor
separatis dan mkreditor preferen sama sekali tidak
kehilangan hak untuk megajukan permohonan pailit tanpa
khilanagan hak jaminan yang dimilikinya.
Bahwa yang dimaksud dengan kreditor
sebagaimana dalam Undang-Undang Kepailitan adalah
orang yang berdasarkan suatu perikatan mempujnyai hak
subyektif untuk menuntut dari debitornya pemenuhan
kewajiban (prestasi) tertentu atas kekayaan debitor.
Dengan demikian, untuk dapat dikualifikasikan sebagai
kreditor sebagaimana dimaksud dalam UUKPKPU,
kreditor tersebut harus dapat secara hukum menunutut

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 129


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
pemenuhan tagihannya terhadap debitornya di muka
pengadilan.
Dengan demikian, putusan atas kasus Bank
Niaga, ING Indonesia Bank, IFC melawan PT Dharmala
Agrifood Tbk, dan kasus bank Credit Lyionnais Indonesia
melawan PT andjaya Graha sarana, Tjokro Sandjaya dan
patricia Sandjaya, sudah konsisten dan benar dalam
menerapkan norma serta prinisp paritas creditorium dan
prinsip sructured prorata tersebut, di mana para kreditor
separatis pun berwenang mengajukan permohonan
kepailitan terhadap debitornya.
Sedangkan dalam kasus Sojits melawan PT
Tirtha Ria dan kasus Bank Yama melawan PT Nassau,
putusannya telah menyimpang dan tidak konsisten
terhadap norma dan prinisp paritas creditorium dan
prinsip structured prorata. Hakim Pengadilan Niaga dalam
kedua kasus tersebut berpendapat bahwa kreditor
separatis atau kreditor preferen tidak berhak mengajukan
permohonan pailit terhadap debitornya. Pendapat Hakim
Peradilan Niaga tersebut bertentangan dengan prinsip
paritas creditorium dan prinsip structured prorata
sebagaimana tersebut di atas.

B. Analisis penerapan Prinsip Utang Dalam Putusan


Peradilan.
Sebelum kreditor mengajukan permohonan
kepailitan terhadap debitor, syarat materiil yang harus
dipenuhi oleh kreditor adalah adanya suatu utang yang
telah jatuh tempo yang tidak dibayar dan debitor memiliki
setidak-tidaknya dua kreditor. Hal ini secara btegas
ditetapkan dalam pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang
kepailitan, yang menyatakan bahwa debitor yang
mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar
harus sedikitnya satu utang yang telah jatuh waku dan
dapat ditagih, dinaytakan pailit dengan ptusan pengadilan
baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya.
Jika dianalisis persyaratan magteriil untuk
mengajukan perkarakepailitan adalah sangat sumir, yakni

130 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
adanya utang dan memikki sekurang-kurangnya dua
kreditor. Adanya suatu utang akan dibuktikan oleh
kreditor bahwa debitor mempunyai utang yang dapat
ditagih kaenanya sudah jatuh tempo ataupun kerena
dimungkinkan oleh perjanjiannya untuk dapat ditagih.
Sedangkan yang dimaksud dengan kreditor dalam
Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UUKPKPU dikatakan bahwa
baik kreditur konkuren, kreditor separatis, maupun
kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis
dan kreditor preferen, mereka dapat mengajukan
permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak
agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap
harta debitor dan haknya untuk didahulukan. Sedangkan
yang dimaksud dengan uatng yang telah jatuh waktu dan
dapat digih adalah kewajiban untuk membayar utang
yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan,
karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana
diperjanjikan karena pengenaan sanksi atau denda oleh
instansi yang berwenang maupun karena putusan
pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.
Dengan demikian, yang menjadi permaslahan
yang berkaiatan dengan utang yang dapat dijadikan dasar
untuk mengajukan permohonan kepailitan adalah utang
yang menjadi dasar dari permohonan pailit tersebut, yakni
apakah utang yang timbul dari perjanjian utang piutang
ataukah uatnag yang timbul dari pemenuhan prestasi
suatu perkatan dan besarnya utang dibandingkan dengan
aset perseroan, yakni apakah utang yang sangat kecil
dibandingkan dengan aset perseroan dapat dijadikan
dasar untuk mengajukan kepailitan terhadap suatu
perseroan.
Dalam kasus ppertama dan kedua, hakaim telah
tepat dalam menerapkan norma dan prisip utang.
Sedangkan pada kasus ketiga, keempat, kelima, dan
keenam merupakan bentuk penyimpangan terhaddap
norma dan prinsip mutang dalam hukum kepailitan. Utang
dalam hukum kepailitan adalah utang prestasi bukan
hanya utang dalam bentuk uang sebagai akibat dari
perjanjian utang piutang. Meurut Asser, pada dasarnya

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 131


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
utang adalah kewajiban yang harus dilakukan terhaap
pihak lain. Kewajiban ini lahir dari perikatan yang
dilakukan antara para subyek hukum. Perikatan secara
umum diartikan sebagai hubungan hukum harta kekayaan
antara dua orang atau lebih berdasarkan mana orang
yang satu terhadap orang yang lainnya berhak atas suatu
prestasi an orang lain terhadap orang itu berkewajiban
atas pemenuhan prestasi itu.
Tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban
sebagaimana mestinya merupakan tindakan wanprestasi,
yang bentuknya dapat berupa tidak dipenuhinya prestasi,
keterlambatan pemenuhan prestasi serta tidak
sempurnanya pemenuhan prestasi. Sementara itu, tidak
sempurnanya pelaksanaan prestasi dapat berupa tidak
dilaksanakannya prestasi secara substansial (material
breach) atau tidak dipenuhinya prestasi secara
keseleuruhan. Oleh karena itu, utang dalam kerangka
pemikiran diatas, tidak saja yang berupa tindakan
penyerahan uang semata (membayar), melainkan juga
dari tidak dipoenuhinya suatu prestasi dam hubungan
perikatan.
Bila dikaji sekilas ke belakang, maka ketentuan
kepailitan merupakan aturan yang mempunyai tujuan
untuk melakukan pembagian harta debitor kepada para
kreditornya dengan melakukan sita umum terhadap
seluruh harta debitor yang selanjutnya dibagikan kepada
kreditor sesuai dengan hak proporsinya. Ketentuan
kepailitan ini merupakan pelaksanaan lebibih lanjut dari
ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata juncto Pasal 1132
KUH Perdata.
Bahwa dalam hal seorang debitor hanya
mempunyai satu kreditor dan debitor tidak membayar
utangnya secara sukarela, maka kreditor akan
menggugat denitor secara perdata ke pengadilan negeri
yang berwenang dan seluruh harta debitor menjadi
sumber pelunasan utangnya kepada kreditor tersebut.
Hasil bersih eksekusi harta debitor dioakai untuk
membayar kreditor tersebut. Dalam hal debitor
mempunyai banyak kreditor dan harta kekayaan debitor

132 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
tidak cukup untuk membayar luas semua kreditor, makam
para kreditor akan berlomba dengan segala cara, baik
yang halal maupun tidak halal, untuk mendapatkan
pelunasan tagihannya terlebih dahulu. Kreditor yang
datang belakangan sudah tidak dapat lagi pembayaran
karena harta debitor sudah habis. Hal ini sangat tidak adil
dan merugikan. Berdasarkan alasan tersebut, timbullah
lembaga kepailitan yang menhatur tata cara yang adil
mengenai pekbayaran tagihan-tagihan para kreditor,
dengan berpedoman pada KUH Perdata Pasal 1131
sampai dengan pasal 1149 maupun pada ketentuan
dalam UUKPKPU sendiri.

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 133


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
134 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Prinsip-prinisp hukum kepailitan yang dinormakan/diatur
dalam hukum kepailitan di Indonesia adalah prinsip paritas
creditorium, prinsip pari passu prorata parte, prinsip
structure prorata, prinsip debt collection, prinsip universal,
dan prinsip teritorial. Prinsip pengaturan prinsip-prinsip
kepailitan yang universal tesebut di dalam UndangUndang
No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang dan undang-undnag terkait,
tidak terbatas sebagai berikut: Prinisp paritas creditorium
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (1), Pasal 2
Ayat (1), Pasal 21 UUK dan Pasal 1131 KUH Perdata.
Prinsip pari passu prorata parte sebagaiamna yang diatur
dalam pasal 189 Ayat (4), (5), dan Penjelasan Pasal 176
Huruf a. UUK. Prinisp structurd prorata sebagaimana yang
duatur dalam Pasal 1 angka 2, Penjelasan Pasal 1 Ayat (1)
UUK. Prinsip Utang dalam arti luas sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 1 angka 6 UUK, Pasal 1233 KUH
Perdata, Pasal 1234 KUH Perdata naiun tidak diatur
mengenai pembatasan jumlah minimal utang yang dapat
dijadikan dasar mengajukan permohonan pailit. Prinisp
debt collection sebagaimana diaur dalam pasal 1 Ayat (1)
Pasal 21, Pasal 65, Pasal 69 Ayat (1) , Pasal 91, Pasal 93
Ayat (1), Pasal 8 Ayat (7), dan Pasal 24 Ayat (2) UUK.
Prinisp universal sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21,
Pasal 213, Pasal 214 UUK, Prinsip teritorial sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 456 RV.
2. Akibat-akibat yuridis dari putusan pailit terhadap harta
kekayaan debitor maupun terhadap debitor adalah sebagai
berikut:

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 135


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
a. Rasio legis dari pemberlakuan putusan pailit secara
serta-merta adalah bahwa kepailitan pada dasarnya
sebagai alat untuk mempercepat likuidasi terhadap
harta-harta debitor untuk digunakan sebagai pembaya-
ran utang-utangnya. Demikian pula, kepailitan adalah
sarana untuk menghindari perebutan harta kekayaan
debitor pailit dari eksekusi yang tidak legal dari para
kreditor serta menghindari dari perlombaan memperoleh
harta kekayaan debitor di mana akan berlaku “siapa
cepat akan dapat dan kreditor yang datang terlambat
tidak akan kebagian harta kekayaan tersebut”, dan juga
untuk menghindari penguasaan harta kekayaan debitor
dari kreditor yang memiliki kekuatan baik kekuatan fisik
maupun kekuasaan sehingga kreditor yang lemah tidak
kebagian harta kekayaan debitor tersebut.
b. Rasio legis ketentuan bahwa kepailitan hanya
bersangkut paut dengan harta kekayaan debitor saja
adalah bahwa maksud adanya kepailitan adalah untuk
melakukan distribusi harta kekayaan dari debitor untuk
membayar utang-utang debitor kepada para kreditornya.
Dengan demikian, kepailitan hanya bermakna terhadap
persoalan harta kekayaan saja. Debitor pailit sama
sekali tidak terpengaruh terhadap hal-hal lain yang tidak
bersangkutan dengan harta kekayaan. Debitor masih
cakap (berkwaam) untuk melangsungkan perkawinan, ia
pula masih cakap untuk melaksanakan hak-haknya
sebagai warga negara di bidang hukum publik seperti
menjadi pejabat publik dan lain sebagainya.
c. Rasio legis ketentuan bahwa kepailitan hanya
bersangkut paut dengan harta kekayaan debitor saja
adalah bahwa maksud adanya kepailitan adalah untuk
melakukan distribusi harta kekayaan dari debitor untuk
membayar utang-utang debitor kepada para kreditornya.
Dengan demikian, kepailitan hanya bermakna terhadap
persoalan harta kekayaan saja. Debitor pailit sama
sekali tidak terpengaruh terhadap hal-hal lain yang tidak
bersangkutan dengan harta kekayaan. Debitor masih
cakap (berkwaam) untuk melangsungkan perkawinan, ia
pula masih cakap untuk melaksanakan hak-haknya

136 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
sebagai warga negara di bidang hukum publik seperti
menjadi pejabat publik dan lain sebagainya.
d. Rasio legis dari ketentuan ini adalah bahwa kepailitan
antara lain ditujukan untuk menghindari dan menghenti-
kan perebutan harta lain ditujukan untuk menghindari
dan menghentikan perebutan harta baik yang saling
mendahului maupun yang saling adu kekuatan,
sehingga dengan adanya putusan pailit ini, maka saling
mendahului atau saling adu kekuatan dapat dihindari
dan bahkan jika hal itu sudah terlanjut terjadi, maka
dapat dihentikan dengan putusan pailit ini. Makna dari
filosofi ini adalah demi perlindungan baik terhadap
debitor pailit itu sendiri maupun terhadap kreditornya.
Perlindungan terhadap debitor akan bermakna bahwa
dengan adanya putusan pailit, maka eksekusi yang tidak
legal (unlawful execution) dapat dihindari dan bahkan
bisa dihentikan, demikian pula eksekusi harta debitor
yang kendatipun dalam koridor hukum akan tetapi dapat
lebih menguntungkan salah satu kreditor saja pun dapat
dihindari misalnya, dengan lebih dahulu melakukan aksi
hukum terhadap debitor dibanding dengan kreditor lain.
e. jika terjadi perselisihan mengenai PHK yang ada
kaitannya dengan kepailitan, maka penyelesaiannya
adalah melalui Hakim Pengawas dan sejauhmana perlu
melalui Pengadilan Niaga. Dalam Pada itu juga sudah
dimakalumi, bahwa pekerja suatum perusahaan pailit
adalah merupakan kreditor dari harta pailit tersebut an
bahkan masuk kalsifikasi kreditor preferen, sehingga
persoalan pemenuhan hak-hak pekerja adalah
persoalan pendistribusian harta pailit kepada para
kreditornya.
f. Ketentuan hak tangguh (stay) diatur dalam Pasal 56
Ayat (20 UUK yang menentukan bahwa kreditr separatis
tersebut ditangguhkan Haknya selama 90 hari untuk
megeksekusi benda jaminan yang dipegangnya. Filosofi
ketentuan ini adalah bahwa Dalam praktek sering kali
para pemegang hak jaminan akan menjual benda
jaminannya dengan harga jual cepat, di mana harga jual
cepat adalah harga yang di bawah harga pasar. Strategi

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 137


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
penjualan cepat dengan harga cepat ini adalah hanya
demi memenuhi kepentingan kreditor pemegang
jaminan saja. Sedangkan jika ditangguhkan selama 90
hari tersebut memberikan kesempatan pada kurator
untuk memperoleh harga yang layak dan bahkan harga
yang terbaik. Hal ini karena pada dasarnya pemegang
jaminan memiliki hak preferensi atas benda jaminan
sampai senilai piutangnya terhadap debitor, sehingga
jika nilai lkuidasi benda jaminan melebihi nilai piutang
kreditor, maka sisa nilai likuidasi benda jaminan harus
dikembalikan pada debitor. Dalam konteks kepailitan,
maka jika terdapat niali sisa likuidasi benda jaminan
tersebut, maka sisa tersebut dimasukkan dan boudel
pailit. Pengaturan yang demikian ini akan memberikan
perlindungan hukum baik terhadap debitor pailit maupun
kepada para kreditor lainnya, sementara kreditor
pemegang benda jaminan sama sekali tidak
dirugikannya.
g. Ketentuan ini adalah tidak tepat mengingat bahwa
kepailitan hanya berakibat hukum terhadap harta
kekayaan saja dan tidak berakibat pada hak-hak
subyektif lainnya. Pada dasarnya kepailitan merupakan
sigtaan umum terhadap harta kekayaan si pailit dan
tidak mencakup sttaus pribadinya. Yang dimaksud
dengahn harta kekayaan di sini, menurut Fred BG
Tumbuan adalah semua barang dan hak atas benda
yang dapat diuangkan (ten gelde kunnen worden
gemaakt).
3. Adapun akibat hukum adanya putusan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah sebagai
berikut, antara lain:
a. Debitor tidak berwenang lagi untuk melakukan tindakan
pengurusan maupun tindakan pengalihan secara
mandiri, melainkan dia berwenang melakukan hal
tersebut jika diberikan persetujuan atau pun bersama-
sama dengan pengurus;
b. Selama jangka waktu PKPU debitor tidak berkewajiban
membayar utang-utangnya, demikian pula para kreditor
tidak berhak ntuk menagih utang-utangnya;

138 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
c. Selama berlakunya PKPU, semua tindakan eksekusi
terhadap barang sitaan yang telah berlangsung untuk
melunasi utang-utang debitor harus ditangguhkan.
Demikian juga masa penangguhan beraku terhadap
kreditor separatis untuk mengeksekusikan jaminannya.
Ketentuan stay (pennagguhan0 ini berlaku selama
jangka waktu PKPU, tidak hanya 90 hari seperti dalam
kepailitan;
d. Dengan adanya PKPU, tidak akan menghentikan
proses perkara yang sudah mulai diperiksa oleh
pengadilan, maupun menghalangi dimajukannya
perkara-perkara baru.. Debitor tidak berwenang menjadi
ntergugat ataupun penggugat dalam perkara-perkara
yang berkaiatan dengan hak dan kewajiban harta
kekayannya kecuali bersama-sama atau dengan
persetujuan pengurus;
e. Dengan adanya PKPU, maka berlaku ketentuan masa
tunggu (stay) terhadap mlreditor pemegang jaminan
kebendaan dan kreditur yang diistimewakan selama 90
hari;
f. Dengan adanya PKPu dapat dilakukan perjumpaan
utang (kompensasi, set-off) antara debitor dengan para
kreditor dengan syarat utang dan piutang tersebut
terjadi sebelum PKPU ditetapkan dan utang piutang
tersebut timbul karena tindakan-tindakan yang diambil
asebelum PKPU ditetapkan. Perjumpaan utang tidak
dapat dilakukan dalam hal seseorang yang telah
mengambil alih utang atau piutang terhadap harta
kekayaan debitor, yang dilakukan dengan itikad tidak
baik.
g. Perjanjian timbal balik yang baru atau belum akan
dilakukan oleh debitor dapat dilangsungkan, di mana
pihak tersebut dapat meminta kepada pengurus untuk
memberikan kepastian mengenai kelanjutan pelaksana-
an perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang
disetujui pengurus dan pihak tersebt. Jika pengurus dan
;pihak tersebut tidak tercapai suatu kesepakatan
mengenai waktu tersebut, maka hakim pengawaslah
yang menetapkan jangka waktu tersebut. Jika pengurus

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 139


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
tidak memberi tanggapan tau tidak bersedia
melanjutkan pelaksanaan perjanjian itu, maka perjanjian
tersebt berakhir dan pihak tersebut dapat menunutut
ganti rugi sebagai kreditor konkuren. Akan tetapi, jika
pengurus menyatakan kesanggupannya untuk melaksa
nakan perjanjian tersebut;
h. Perjanjian mengenai penyerahan barang yang diperda
gangkan di bursa menjelang suatu saat atau dalam
waktu tertentu, jika tibanya saat penyerahan atau jangka
waktu penyerahan jatuh setelah ditetapkan PKPU, maka
berahirlah perjanjian ini dengan diberikannya PKPU
sementara dan pihak lain dalam perjanjian tersebut
berhak mendapat ganti rugi. Jika karena pengakhiran
perjanjian itu harta debitor menderita rugi, maka pihak
lawan wajib mengganti kerugian tersebut;
i. Debitor dapat melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap karyawan dengan tetap memerhatikan
tenggang waktu pemberitahuan kepada karyawan yang
bersangkutan sesuai peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan yang berlaku. Juga, gaji serta b iaya
lain yang timbul dalam hubungan kerja tersebut menjadi
utang harta debitor;
j. PKPU tidak berlaku apabila mengungkan kawan
berutang (mede achuldenaren) dan penjamin (borg).
Kartini Mulyadi enyatakan bahwa hal itu berarti mereka
tetap harus melaksanakan kewajiban mereka.
4. Penerapan norma dan prinsip Hukum Kepailitan dalam
Putusan Peradilan terhadap putusan yang ada dapat
dikelompokkan menjadi dua kategori. Kelompok pertama
adalah putusan yang konsisten dan benar menerapkan
norma serta prinsip paritas creditorium dan prinsip
structured prorata Sedangkan kelompok kedua adalah
putusan pengadilan yang tidak konsisten dan tidak benar
menerapkan norma serta prinsip paritas crediorum dan
prinsip structureed prorata.

140 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
B. Saran

SARAN TERHADAP REVISI UU NO 37 TAHUN 2004


TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG

No PASAL YANG DIANGGAP URAIAN TERHADAP PASAL YANG


PERLU DIREVISI DIANGGAP PERLU DIREVISI
1 Bab II, Kepailitan, Bagian Kesatu, Perlu ada revisi terhadap Pasal 2 ayat
Syarat dan Putusan Pailit, (1) mengenai satu utang yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih,
-Pasal 2 ayat (1) Debitor yang dinyatakan pailit dengan putusan
mempunyai dua atau lebih Pengadilan, baik atas
Kreditor dan tidak membayar permohonannya sendiri maupun atas
lunas sedikitnya satu utang yang permohonan satu atau lebih
telah jatuh waktu dan dapat kreditornya.
ditagih, dinyatakan pailit
dengan putusan Pengadilan, Perlu adanya pengaturan mengenai
baik atas permohonannya sendiri batasan jumlah/nilai utang debitor
maupun atas permohonan satu yang dapat diterima sebagai syarat
atau lebih kreditornya. pailit di Pengadilan Niaga. Hal ini
ditujukan untuk menghindari harta
pailit tidak cukup untuk membayar
biaya-biaya dalam kepailitan.

Jumlah/nilai utang debitor yang telah


jatuh waktu dan dapat ditagih, bila
tidak dibuat batasan minimal jumlah
utang (dapat dianggap terlalu kecil)
dan jumlah utang di bawah biaya
pendaftaran perkara di pengadilan
niaga dapat mengakibatkan tidak
Bab II, Kepailitan, Bagian Kesatu, dapat dipenuhinya syarat pailit bila
Syarat dan Putusan Pailit, diajukan ke Pengadilan Niaga.
2 Pasal 2 ayat (3), ayat (4), ayat (5)
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
-Pasal 2 ayat (3) Dalam hal dibentuk berdasarkan mandat
Debitor adalah bank, permohonan dari Undang-Undang Nomor 21
pernyataan pailit hanya dapat Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
diajukan oleh Bank Indonesia. Keuangan (UU OJK).

-Pasal 2 ayat (4) Dalam hal Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-


Debitor adalah Perusahaan Efek, Undang Nomor 21 Tahun 2011
Bursa Efek, Lembaga Kliring dan tentang Otoritas Jasa Keuangan,
Penjaminan, Lembaga yang dimaksud dengan OJK adalah
Penyimpanan dan Penyelesaian, lembaga yang independen dan bebas
permohonan pernyataan pailit dari campur tangan pihak lain, yang

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 141


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
hanya dapat diajukan oleh Badan mempunyai fungsi, tugas, dan
Pengawas Pasar Modal. wewenang pengaturan, pengawasan,
pemeriksaan, dan penyidikan
-Pasal 2 ayat (5) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam
Debitor adalah Perusahaan Undang-Undang ini.
Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, Dana Pensiun, atau OJK berfungsi menyelenggarakan
Badan Usaha Milik Negara yang sistem pengaturan dan pengawasan
bergerak di bidang kepentingan yang terintegrasi terhadap
publik, permohonan pernyataan keseluruhan kegiatan di dalam sektor
pailit hanya dapat diajukan oleh jasa keuangan.
Menteri Keuangan.
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan, menyatakan bahwa:

“OJK melaksanakan tugas


pengaturan dan pengawasan
terhadap:
a. Kegiatan jasa keuangan di sektor
Perbankan;
b.Kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal; dan
c.Kegiatan jasa keuangan di sektor
Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.”

Sebelum adanya OJK, tugas-tugas di


atas dilaksanakan oleh Menteri
Keuangan, Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan
(Bapepam-LK) dan Bank Indonesia.

BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 55 ayat (1)Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan. Sejak
tanggal 31 Desember 2012, fungsi,
tugas, dan wewenang pengaturan
dan pengawasan kegiatan jasa
keuangan di sektor Pasar Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun,
Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga
Jasa Keuangan Lainnya beralih dari
Menteri Keuangan dan Badan
Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan ke OJK.

142 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Pasal 55 ayat (2) Sejak tanggal 31
Desember 2013, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan
pengawasan kegiatan jasa keuangan
di sektor Perbankan beralih dari Bank
Indonesia ke OJK.

-Dari bunyi ketentuan Pasal 2 ayat


(3), ayat (4) dan ayat (5) di atas
pertanyaan selanjutnya adalah
apakah dengan adanya OJK
persyaratan pengajuan permohonan
pailit terhadap Bank, Perusahaan
Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring
dan Penjaminan, Lembaga
Penyimpanan dan Pemyelesaian,
Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, Dana Pensiun otomatis
beralih kepada OJK? Bila jawabannya
ya, maka perlu ada revisi terhadap
keberadaan Pasal 2 ayat (3), ayat (4),
ayat (5) UU No 37 Tahun 2004
3 -Pasal 7 ayat (2) tentang Kepailitan dan PKPU
Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku dalam hal permohonan
diajukan oleh Kejaksaan, Bank
Indonesia, Badan Pengawas Perlu dilakukan revisi Pasal dan
Pasar Modal, dan Menteri penyesuaian terhadap keberadaaan
Keuangan. Pasal 7 ayat (2); Pasal 8 ayat (1)
huruf a dan Pasal 15 ayat (2),
-Pasal 8 ayat (1) berkenaan dengan adanya Pasal 6
Pengadilan: a. wajib memanggil Undang-Undang Nomor 21 Tahun
Debitor, dalam hal permohonan 2011 tentang Otoritas Jasa
pernyataan pailit diajukan oleh Keuangan:
Kreditor, kejaksaan, Bank
Indonesia, Badan Pengawas BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasar Modal, atau Menteri Pasal 55 ayat (1) Sejak tanggal 31
Keuangan. Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan
-Pasal 15 ayat (2) pengawasan kegiatan jasa keuangan
Dalam hal Debitor, Kreditor, atau di sektor Pasar Modal,
pihak yang berwenang Perasuransian, Dana Pensiun,
mengajukan permohonan Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga
pernyataan pailit sebagaimana Jasa Keuangan Lainnya beralih dari
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Menteri Keuangan dan Badan
ayat (3), ayat (4), atau ayat (5) Pengawas Pasar Modal dan
tidak mengajukan usul Lembaga Keuangan ke OJK.
pengangkatan Kurator kepada
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 143
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Pengadilan maka Balai Harta Pasal 55 ayat (2) Sejak tanggal 31
Peninggalan diangkat selaku Desember 2013, fungsi, tugas, dan
Kurator wewenang pengaturan dan
4. pengawasan kegiatan jasa keuangan
di sektor Perbankan beralih dari Bank
Indonesia ke OJK.

-Pasal 18 ayat (1)


Dalam hal harta pailit tidak Pasal 18 ayat (1) ini perlu direvisi
cukup untuk membayar biaya dengan Pasal yang memuat batasan
kepailitan maka Pengadilan atas yang jelas mengenai apa yang
usul Hakim Pengawas dan setelah dimaksud dengan harta pailit tidak
mendengar panitia kreditor cukup untuk membayar biaya
sementara jika ada, serta setelah kepailitan, batasan jumlah/nilai
memanggil dengan sah atau harta pailit yang dianggap
mendengar Debitor, dapat memenuhi kategori harta pailit
5 memutuskan pencabutan putusan tidak cukup untuk membayar biaya
pernyataan pailit. kepailitan dan kaitannya dengan
pencabutan putusan pernyataan
pailit.

-Pasal 72
Kurator bertanggung jawab Perlu ada revisi Pasal 72 mengenai
terhadap kesalahan atau sejauh mana batasan kesalahan
kelalaiannya dalam melaksanakan dan kelalaian kurator dalam
tugas pengurusan dan/atau melaksanakan tugas pengurusan
pemberesan yang menyebabkan atau pemberesan harta pailit.
kerugian terhadap harta pailit. Disamping kurator diberi
6 tanggungjawab, juga harus ada
perlindungan hukum Kurator dalam
melaksanakan tugasnya.

-Pasal 31 ayat (1) Perlu adanya revisi Pasal 31


Putusan pernyataan pailit berkenaan adanya pelaksanaan
berakibat bahwa segala Pengadilan terhadap setiap bagian
penetapan pelaksanaan dari kekayaan Debitor yang telah
Pengadilan terhadap setiap dimulai sebelum kepailitan, harus
bagian dari kekayaan Debitor dihentikan seketika; adanya
yang telah dimulai sebelum penyitaan yang telah dilakukan
kepailitan, harus dihentikan menjadi hapus dan jika diperlukan
seketika dan sejak itu tidak ada Hakim Pengawas harus
suatu putusan yang dapat memerintahkan pencoretannya;
dilaksanakan termasuk atau juga Debitor yang sedang dalam
dengan menyandera Debitor. penahanan harus dilepaskan seketika
setelah putusan pernyataan pailit

144 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
-Pasal 31 ayat (2) diucapkan.
Semua penyitaan yang telah
dilakukan menjadi hapus dan Ada akibat kepailitan terhadap sita
jika diperlukan Hakim Pengawas pidana. Dalam Pasal 31 ayat (2) UU
harus memerintahkan Kepailitan segala penyitaan menjadi
pencoretannya. hapus jika terjadi kepailitan terhadap
debitor, namun di dalam prakteknya,
-Pasal 31ayat (3) hal ini sering menimbulkan
Dengan tidak mengurangi permasalahanjika ada sita pidana
7 berlakunya ketentuan atas harta pailit.
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 93, Debitor yang sedang
dalam penahanan harus
dilepaskan seketika setelah
putusan pernyataan pailit
diucapkan.

Perlu adanya revisi Pasal dan


penjelasan lebih lanjut terhadap Pasal
-Pasal 127 ayat (1) 127 ayat (1) berkenaan dengan
Dalam hal ada bantahan adanya perselisihan yang telah
sedangkan Hakim Pengawas tidak diajukan ke pengadilan.
8 dapat mendamaikan kedua belah
pihak, sekalipun perselisihan
tersebut telah diajukan ke
pengadilan, Hakim Pengawas
memerintahkan kepada kedua
belah pihak untuk
menyelesaikan perselisihan
tersebut di pengadilan.
Perlu ada revisi Pasal 93 ini, perihal
perlu atau tidak perlu atas
keberadaan Pasal ini berkenaan
-Pasal 93 dengan kebutuhan praktek dalam
Tindakan Setelah Pernyataan kepailitan debitor di Pengadilan
Pailit dan Tugas Kurator Niaga.

Pasal 93 ayat (1) Pengadilan


dengan putusan pernyataan pailit
atau setiap waktu setelah itu, atas
usul Hakim Pengawas,
permintaan Kurator, atau atas
permintaan seorang Kreditor atau
lebih dan setelah mendengar
Hakim Pengawas, dapat
memerintahkan supaya Debitor
Pailit ditahan, baik ditempatkan di
Rumah Tahanan Negara maupun
di rumahnya sendiri, di bawah
Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 145
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
pengawasan jaksa yang ditunjuk
oleh Hakim Pengawas.

-Pasal 93 ayat (2) Perintah


penahanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh jaksa yang
ditunjuk oleh Hakim Pengawas.

-Pasal 93 ayat (3) Masa


penahanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berlaku
paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak penahanan
dilaksanakan.

-Pasal 93 ayat (4) Pada akhir


tenggang waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), atas usul
9 Hakim Pengawas atau atas
permintaan Kurator atau seorang
Kreditor atau lebih dan setelah
mendengar Hakim Pengawas,
Pengadilan dapat memperpanjang
masa penahanan setiap kali untuk
jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari.

-Pasal 93 ayat (5) Biaya Perlu adanya revisi dan penjelasan


penahanan dibebankan kepada lebih lanjut terhadap Pasal 142
harta pailit sebagai utang harta berkenaan dengan tanggungjawab
pailit. Debitor yang tanggung-menanggung.
Perlu penjabaran Pasal terkait
tanggung menanggung yang
dilakukan orang perorangan dan
-Pasal 142 ayat (1) Dalam hal tanggung-menanggung yang
terdapat Debitor tanggung- dilakukan Perseroan Terbatas
menanggung dan satu atau dikaitkan dengan kepailitan Debitor.
lebih Debitor dinyatakan pailit,
Kreditor dapat mengajukan
piutangnya kepada Debitor yang
dinyatakan pailit atau kepada
masing-masing Debitor yang
dinyatakan pailit sampai seluruh
piutangnya dibayar lunas.

-Pasal 142 ayat (2) Setiap


Debitor tanggung-menanggung
yang mempunyai hak untuk

146 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
menuntut penggantian dari
harta pailit Debitor lainnya yang
dinyatakan pailit dapat diterima
secara bersyarat dalam
pencocokan apabila Kreditor tidak
melakukan pencocokan sendiri.

-Pasal 142 ayat (3) Dalam hal


harta pailit seluruh Debitor
tanggung-menanggung melebihi
100% (seratus persen) dari
tagihan, kelebihannya dibagikan di
antara Debitor tanggung-
menanggung menurut
hubungan hukum di antara
mereka.

Praktisi Hukum Kepailitan Dr. Ricardo Simanjuntak, SH.


LL.MANZIIF.CIP (Ketua Dewan Penasehat AKPI, termasuk
yang memberikan masukan terkaiat revisi UU No. 37 Tahun
2004 Tentang kepailitan dan PKPU ada tujuh masalah yang
muncul, dan karena itu perlu diperbaiki aturannya Antara lain:
1. Penekanan utama adalah terkait tidak adanya kepastian
pelaksanaan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan mengenai
“Utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih”, menurut
Ricardo, tidak ada ukuran yang pasti terhadap pelaksanaan
pasal 2 ayat (1). Pemahaman terhadap utang yang telah
jatuh tempo dan dapat ditagih juga tidak sama. “selain itu,
teori pembuktian sederhana belum dipahami secara baik
oleh Pengadilan Niaga,”.
2. Sebagian hakim niaga tidak mememiliki record atau jam
terbang keahlian yang cukup dalam memahami dan
mendalami esensi hukum kepailitan baik di tingkat
Pengadilan Negeri maupun tingkat Mahkamah Agung.
Pendidikan calon hakim niaga terlalu pendek dan seleksi
pemilihan calon hakim niaga tidak jelas. Ricardo
mengusulkan perkara niaga sebaiknya diselesaikan di
Pengadilan Tinggi, seperti yang dilakukan di Singapura.
“Hakim tinggi itu memiliki kemampuan yang baik dan jam
terbang yang pasti sudah lama. Jadi seharusnya kasus-
kasus niaga itu diselesaikan disana. Kalau Pengadilan
Niaga . masih digabung di PN Pusat, saya tidak yakin.

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 147


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
3. Tidak ada kepastian hukum tentang jangka waktu
penyelesaian perkara (time frame) Menurut Ricardo
permohonan pailit diperiksa dan diputuskan (khususnya
oleh MA) tidak sesuai dengan waktu yang diwajibkan oleh
UU Kepailitan. Salinan putusan kasasi dan PK MA selalu
dikirimkan tanpa ketentuan waktu yang pasti, dan kurator
tidak memiliki kepastian waktu tentang kapan penanganan
kepailitan dan PKPU dapat dimulai dan diakhiri.
4. Dalam praktek, terjadi, kebingungan tentang implementasi
ladder of creditor’s claim priority. Tidak ada kepastian
hukum terhadap pelaksanaan hak separatis ketika
dihadapkan pada hak tagih pajak dan hak tagih buruh.
Juga tidak ada upaya pembuktian dugaan kreditor fiktif,
dan ada pelanggaran hukum pembuktian dalam hal
Pengadilan Niaga mewajibkan kreditor lain dalam
persidangan Pasal 127 UU Kepailitan juga tidak
memberikan kepastian terhadap langkah renvoi prosedur.
5. Pelaksanaan hak mengajukan usulan perdamaian oleh
debitor tidak realistis. Alasannya hak untuk mengajukan
usulan perdamaian dalam pasal 144 adalah hak debitor
pailit tetapi pengajuan berdasarkan Pasal 145 UU
kepailitan tidak adil begitu debitor pailit yang masih memiliki
upaya hukum.
6. Tidak ada kepastian terhadap hak eksekusi dari kreditor
separatis terhadap boedel pailit yang telah dijaminkan hak
kebendaan dihubungkan dengan Pasal 56 dan Pasal 59.
7. Tidak ada kepastian terhadap pelindungan kurator dan juga
terhadap tata cara perhitungan fee kurator atau pengurus.
Masukuan Ketua Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia
(AKPI) Jamaslin James Purba juga memberikan 7 masukan
terhadap revisi UU Kepailitan:
1. Tanggung jawab kurator dan perlindungan hukum kurator
harus diperkuat dan jelas. Sejauhmana batasan kesalahan
dan kelalaian kurator dalam melaksanakan tugas
pengurusan atau peberesan harta pailit. Disamping kurator
diberi tanggungjawab juga harus ada perlindungan hukum
dalam melaksanakan tugas.
2. Kewenangan pengurusan dan pemberesan harta pailit
antara kurator dan pemegang jaminan masalahnya,

148 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
bagaimana jika kreditor separatis menolak menyerahkan
agunan kepada kurator. Masalah ini belum diatur dalam UU
kepailitan.
3. Akibat kepailitan terhadap sita pidana, menurut james
dalam pasal 3 ayat (2) UU Kepailitan segala penyitaan
menjadi hapus jika terjadi kepailitan terhadap debitor. Tapi
dalam prakteknya, hal ini sering menimbulkan
permasalahan jika ada sita pidana atas harta pailit.
Permasalahan dimaksud pernah terjadi antara kurator PT
SCR melawan Bareskrim Polri.
4. Peringkat kreditor (pekerja) agar diatur tegas dalam UU
kepailitan, Permasalahan yang bisa timbul adalah dalam
hal kreditor separatis melakukan eksekusi sendiri benda
agunan di mana harta pailit hanya benda agunan tersebut.
Apakah dalam hal ini kreditor separatis wajib
mendahulukan pembayaran kepada buruh ?
5. Renvoi prosedur agar tegas diatur, termasuk jangka
waktunya menyoal fee kurator. Dalam pasal 17 ayat (2) UU
Kepilitan majelis hakim yang membatalkan putusan
pernyataan pailit menetapkan biaya kepailitan dan imbalan
jasa kurator. Bagaimana kalau yang membatalkan putusan
itu MA dalam kasasi atau PK?
6. Status tagihan kreditor yang dibantah dalam PKPU UU
Kepailitan tidak secara jelas menentukan nasib kreditor
yang dibantah oleh pengurus PKPU lalu apakan setelah
PKPU tercapai perdamaian maka kreditor yang tagihannya
dibantah masih mmemiliki hak-haknya, atau adakah upaya
hukum lain yang diberikan UU Kepailitan ingat pasal 286
UU kepailitan menyebutkan perdamaian yang telah
disahkan mengikat bagi semua kreditor konkuren. (sumber:
http://www.kai.or.id/erita/2253/pemerintah -terima-33-
masukan-untuk revisi undang-undang kepailitan.
Pengadilan Niaga Jakarta
1. PKPU yang diajukan debitur selama 3 hari kalender perlu
ada penambahan waktu menjadi 14 hari kerja untuk
meneliti dan mencemati perkara
2. Batas penentuan vie kurator dan pengurus harus di
perjelas agar tidak memberatkan debitur pailit

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 149


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
3. Dalam pasal 292 jika PKPU dinyatakan pailit maka demi
hukum insolven bukti verifikasi tagian berupa bentuk berita
acara ataukah penetapan sehingga jelas dasar hukumnya
yang selama ini kurang jelas sehingga perlu ada kejelasan
aturannya
4. Dalam pasal 270-360 tentang Jangka waktu dalam
pengajuan pailit sampai penetapan hakim pengawas perlu
dipertegas sehingga jelas kepastian hukumnya (satu tahun
setelah putusan)
5. Putusan PKPU dalam pasal 235 ayat 1 (dalam beberapa
cetakan salah ketik) sehingga tidak dapat dilakukan upaya
hukum banding sedangkan dalam pasal 295 dapat
dilakukan upaya hukum maka perlu ada singkronisasi yang
jelas terhadap pasal tersebut agar tidak terjadi multitafsir
yang sering dilakukan di pengadilan
6. Dalam hal masalah pajak setelah tagihan tetap seharusnya
sudah tidak ada prosedur lagi.
7. Kurator dari kemenkumham dalam hal ini BHP kewenagan
sering terabaikan termasuk SDM melalui pendidikan
pelatihan maupun hal lain yang sangat berbeda dengan
kurator swasta.

C. Rekomendasi
1. Perlunya pembedaan pengaturan antara kepailitan
terhadap badan hukum, khususnya perseroan terbatas,
dengan kepailitan terhadap orang perseorangan dan badan
usaha non badan hukum, karena ada perbedaan-
perbedaan prinsip didalamnya, diantaranya mengenai
akibat kepailitan, mengenai on goin concern, dan mengenai
pertanggungjawaban. Tanpa ada pembedaan terhadapnya
bisa terjadi kerancuan norma antara satu terhadap lainnya.
2. Perlunya undang-undang perseroan terbatas mengatur
mengenai bubarnya perseroan terbatas adalah antara lain
karena tidak cukupnya harta perseroan untuk melunasi
utang-utang perseroan terbatas yang pailit serta karena
perseroan terbatas memasuki fase insolvensi dalam proses
kepailitan. Sehingga suatu perseroan terbatas pailit yang
harta perseroan tidak mencukupi untuk membayar utang-
utangnya kepada para kreditornya tidak dapat dicabut

150 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
kepailitannya, akan tetapi perseroan terbatas tersebut demi
hukum bubar.
3. Berkaitan dengan prinsip debt collection, maka perlunya
pencabutan peraturan yang membatasi hak-hak
keperdataan maupun hak-hak di bidang hukum publik bagi
mantan direksi, komisaris, pemegag saham ataupun
subyek hukum lainnya karena hal tersebut tidak sesuai
dengan hakikat kepailitan yang hanya cukup mengenai
harta kekayaannya saja dan tidak menyangkut hak-hak
keperdataan atau hak personal lainnya apalagi hak-hak di
bidang hukum publik.
4. Penerapan prinsip dan norma hukum kepailitan dalam
praktek di peradilan niaga adalah telah terjadi banyak
inkonsistensi putusan peradilan terhadap prinsip dan norma
hukum kepailitan sehingga terjadi pula disinkroinisasi
antara satu putusan dengan putusan yang lainnya. Terjadi
inkonsistensi dan disinkronisasi tersebut karena terjadi
penyimpangan-penyimpangan prinsip dan norma hukum
kepailitan dalam putusan-putusan kepailitan di peradilan
niaga baik itu penyimpangan terhadap ketentuan
perundang-undangan yang ada maupun penyimpangan
terhadap prinsip kepailitan pada umumnya.

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 151


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
152 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku.

Abdurrachman, Dalam Black’s Law Dictionary, 1991, hlm.


89.
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaya, 2004, hlm. 11.
Algra, N.E., Ileiding tot Het Nederlands Privaatresht, Tjeenk
Willink, Groningen, 1974, hlm. 425.
Alvi Syahrin, Hubungan Berfikir Ilmiah dan karya Ilmiah
(Medan; Program Pascasarjana Ilmu Hkum Universitas
sumatera Utara, 2010)hlm. 12-13.
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 195,
sebagaimana dikutip dari Sorjono soekanto dan Sri
Mamudji, penelitian hukum Normatif suatu Tinjauaj
Singkat (Rajawali Pers, 1990), hlm. 41.
Bernarrd L. Tanya, dkk, Teori Hukum strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta,
genta Publishing, 2010, hlm. 129-130.
Bruggink, Rechtsreflecties, Terjemahan: Srief Sidahrta,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 121.
Bufrhan Bungin, penelitian Kualitatif: Komunikasi.Ekonomi,
Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya (Jakarta: PT.
Kencana, Edisi I, Cet. Ke-3, 2009) hlm. 153.
Dardji darmodihardjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat
Hkum: Apa dan bagaimana Filsafat Hukum Indonesia,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hlm.
154.
Denny Kailimang, Aspek-Aspek Pidana dalam kepailitan,
dalam Buku: Rudhy A. Lontoh (ed), Penyelesaian
Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung,
2001, hlm. 325-326.

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 153


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Fred BG Tumbuan, “Komentar atas Catatan Terhadap
Putusan Nomor 14 K/N/2004 jo Nomor 18/Pailit/2004/
P.Niaga/Jakarta Pusat”, Dalam: Analisa Putusan
Kepailitan pada Pengadilan Niaga Jakarta, Valerie
Selvie Sinaga, FH. UNIKA Atmajaya, Jakarta
(selanjutnya disebut sebagai Fred BG Tumbuan 2),
2005, hlm. 11.
Fred BG Tumbuan, Tanggung Jawab Direksi Sehubungan
Dengan kepailitan Perseroan Terbatas”, Makalah
(selanjutnya disebut sebagai Fred B.G. Tumbuan 4),
1998), hlm. 7-8.
Henry Campbell Balck, Balck’s Law dictionary, West
Publishing Co., St. Paul Meinnesota, 1979, hlm. 134.
Y. Sogar Simamora, “Prinisp Hukum Kontrak dalam
Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah”,
Disertasi, Pascasarjana, Unair, 2005., hlm. 22-23
Jerry Hoff, Indinesian Bankruptcy Law, Tatanusa, Jakarta,
1999, hlm. 11.
John Rawls, A Theory of Justice, Teori Keadilan, Dasar-
dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial dan negara, Yogyakarta,
Pustaka pelajar, 2006, hlm. 74.
J. Djohanjah, ‘Kreditor Prefern dan Separatis”, Dalam:
Emmy Yuhassarie (ed), Undang-Undang Kepailitan
dan Perkembangannya, Pusat Pengkajian Hukum,
Jakarta, 2004, hlm. 138.
Johny Obrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum
Normatif (surabaya: Byu Media Publishing, cet. Ke-2,
2006), hlm. 73.
Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),
hlm. 170.
Kartini Mulyadi, “Kepailitan dan Penyelesaian Utang
Piutang”, Dalam: Rdhy A. Lontoh (ed), Penyelesaian
Utang Piutang Melalui Pailit atau {enundaan Keeajiban
Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001
(selanjutnya disebut sebagai kartini Mulyadi 1), hlm.
168
Kartini Mulyadi, “Actio Pauliana dan pokok-pokok
Pengadilan Niaga:, Dalam: Rudhy A. Lontoh et. Al,

154 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Penyelesaian Utang piutang Melalui Pailit atau
penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Alumni:
bandung (selanjutnya disebut sebagai kartini Mulyadi
4), 2001., hlm. 300.
Kartono, Kepailitan dan Penginduran Pembayaran,
(Penerbit: Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, hlm. 19.
Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran,
Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, hlm. 42.
Komisi Hukum Nasional, Pengembangan Hukum dalam
Rangka Pemulihan Ekonomi, (Jakarta: Artikel, tanggal
14 Maret 2002), hlm. 14.
Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif 9Jakarta:
Remaja Rodakarya, Cet. Ke-10, 1999) hlm. 103.
Mahadi, Falsafah Hukum: Suatu Pengantar, Alumni
:bandung, 2003., hlm. 135.
Marjan E. Pane, “Inventarisasi dan Verifikasi dalam rangka
pemberesan Harta pailit dalam Pelaksanaannya”,
Dalam: emmy Yuhassarie (ed0, Undang-Undang
Kepailitan dan perkembangannya”, Pusat pengkajian
Hukum, Jakarta, 2005, hlm. 280.
M. Hadi Shubehan, Hukum Kepilitan: Prinsip, Norma, dan
Praktek di Peradilan, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006), hlm. 162.
Milman, David & Christopher Durrant, Corporate
Insolvency: Law and Practice, London: mSweet &
Maxwell, 1987, page. 175-176.
Munir Fuadi, Pengantar Hukum Bisnis (Bandung: citra
Aditya Bakti, 2001), hlm. 82.
Ned Waxman, Bankruptcy, Gilbert Law Summaries,
Hasrcourt Brace Legal and Proesional Publication Inc,
Chicago, 1992., hlm. 6.
Nur Aslam Bataman, “paksa Badan menurut Perpu omor 1
Tahun 1998 yang kemudian Disahkan Menjadi UU
Nomor 4 tahun 1998 tentang Kepailitan”, Dalam Bku:
emmy Yuhassari (eds), kepailitan dan ransfer Aset
Secara Melawan hukum”, Pusat pengkajian hukum,
Jakarta, 2004, hlm. 275.
Paton, A Texbook of jurisprudence, penerbit Alumni
bandung, 1986, hlm. 85.

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 155


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta:
Pradnya Paramita, 2006) hlm. 93.
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat
Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1987, hlm.
Rachmadi Usman, Aspek-Asepek Hukum Perbankan di
Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001),
hlm, 292-293.
R. Otje Salma, Ikhtiar Filsafat Hukum, Penerbit: Armico,
Bandung, 1987, hlm. 74.
Ricardo Simanjuntak, “esensi Pembuktian Sederhana
dalam Kepailitan”, Dalam: Emmy Yujhassarie (ed),
Undang-Undang kepailitan dan Perkembangannya,
Puat Pengkajian Hukum, Jakarta, 2005 (selanjutnya
disebut sebagai Ricardo Simanjunta 1), hlm. 55-56.
Satjipto Rahardjo, Ilmu hakum, Penerbit: Alumji Bandung,
1969, hlm. 85.
Siti Anisah, Perlindungan kepentingan Kreditor dan Debitor
Dalam hkum kepailitan di Indonesia, Pnerbit Total
Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 43.
Siti Anisah, Perlindungan kepentingan Kreditor dan Debitor
dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Studi Putusan-
Putusan Pengadilan, Jakarta: Total Media, 2008, hlm.
43.
Sudikno Mertokusumo, “Mengenal Hukum Suatu
Pengantar”, Liberty: Yogyakarta, 2005., hlm. 34.
Sutan Remy Syahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami
Failissements Verordening Juncto Undang-Undang
No. 4 Tahun 1998, (Jakarta: PT. Pustaka Utama
Grafiti, 2002), hlm. 321.
Sutan Remy Syahdeini, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum
Kepailitan Memahami UU No. 37 Tahun 204 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran,
Jakarta: Prenadamedia Group, Juli 2016, hlm. 5-6.
Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan
Di Indonesia Edisi 2, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010),
hlm. 14.
Vide: Dennis Campbell, International Corporate Insolvency
Law, Butterworth & co (Peblisher Ltd. Ondon, 1992, p.
492-493. Ricardo Simanjuntak (2005), “Esensi

156 | Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Pembuktian Sederhana dalam Kepailitan “, Dalam :
Emmy Yuhassarie Undang-Undang Kepailitan dan
Perkembangannya, Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta,
p. 60.
Vollmar, De Faillesmentwet, Tjeenk Willink & Zoon N.V.
Haarlem, 1948., hlm. 1.

B. Peraturan Perundang-undangan.
KUH Perdata khususnya Pasal 1131, Pasal 1132, Pasal
1133 dan Pasal 1134
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
tentang Kepailitan (Lembaran negara Tahun 1998
Nomor 87 Tambahah Lembaran negara Nomor 3761),
kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan
dan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang,
Lembaran Negara Republik Indonesia. 2004, No. 131
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, khususnya Pasal 104 dan Pasal 142.

C. Internet
Artikel Kepalilitan, http://cafe-ekonomi.blogspot.com/209/
08/artikel-kepeilitan. html, diakses pada tanggal 17
Januari 2011.
Debt.org.Insovency, cfm https://www.debt.org/faqs/ insol
vency/. http://www.hukumkepailitan.com/pengertian-
kepailitan / pengertian-dan-syarat-kepalilitan.
Baca pula: wibowo Tunardy, Actio Paliana, cfm
http://www.jurnalhukum.com/actio-pauliana/;Info
Hukum, Actio Pauliana, cfm http:// hukumindonesia
terkini.blogspot.com/2012/07/actiopauliana.htm
http://humanlawoffice.blogspot.co.id/2014/04/pengertian-
kepailitan-dan-pkpu-html

Penelitian Hukum Tentang Tentang Kepailitan dan | 157


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Anda mungkin juga menyukai