Anda di halaman 1dari 10

PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU)

Tugas Hukum Acara Peradilan Niaga Kelas D

Disusun oleh :

Alodia Pandora E0015035

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2017
PENDAHULUAN

Kegiatan perekonomian di Indonesia dalam perkembangan dan pertumbuhannya tidak


mungkin terlepas dari proses pinjam meminjam yang menimbulkan utang-piutang. Alasan utama
Debitor meminjam atau memakai modal dari Kreditor adalah untuk mendapatkan mpdal dan
diperkiarakan dapat meningkatkan keuntungan dari usahanya. Untuk alasan Kreditor sendiri,
mayoritas dari mereka (Kreditor) berharap dari memberikan pinjaman tersebut akan lebih
mendatangkan keuntungan (semisal dari perolehan bunga pinjaman). Walaupun memang besar
resiko bagi kedua belah pihak baik Debitor maupun Kreditor. Yang pada akhirnya, harta yang
dimiliki Debitor merupakan sebuah jaminan bersama bagi semua orang yang memberikan
pinjaman kepada Debitor tersebut, sesuai dengan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang menyebutkan bahwa, Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi
semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi
menurut keseimbangannya, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali
apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
Ketentuan tersebut diharapkan bisa memberikan perlindungan hukum bagi Investor atau Kreditor
yang ingin menanamkan modal atau meminjamkan modalnya kepada Debitor
Kemudian, jika timbul masalah dalam penyelesaian utang Debitor terhadap Kreditor ada
sarana hukum yang bisa menjadi landasan bagi permasalahan penyelesaian utang piutang dalam
dunia usaha yang diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Yang akan saya bahas nanti adalah mengenai PKPU
dan bagaimana akibat hukumnya bagi debitor apabila proposal rencana perdamaiannya ditolak
oleh kreditor.

Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)?


2. Siapa sajakah yang dapat mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU)?
3. Bagaimana proses permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)?
4. Bagaimana akibat hukum bagi Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU)?
PEMBAHASAN

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (surseance van betaling atau suspension of
payment) diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Yang dimaksud dengan PKPU itu sendiri adalah suatu masa yang
diberikan oleh Undang-Undang melalui putusan hakim niaga di mana dalam masa tersebut
kepada pihak kreditor dan debitor diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara
pembayaran utangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian utangnya,
termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut. Jadi penundaan kewajiban
pembayaran utang sebenarnya merupakan sejenis moratorium, dalam hal ini legal moratorium1.
PKPU juga merupakan pemberian kesempatan kepada debitur untuk melakukan
restrukturisasi utang-utangnya, yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utangnya
kepada kreditor. PKPU akan membawa akibat hukum terhadap segala kekayaan debitur, dimana
selama berlangsungnya PKPU , debitur tidak dapat dipaksakan untuk membayar utang-utangnya,
dan semua tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk memperoleh pelunasan utang harus
ditangguhkan2.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud PKPU adalah sebuah kesempatan
yang diberikan oleh UU melalui putusan hakim niaga untuk memusyawarahkan cara-cara
pembayaran utang oleh Debitor yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utangnya
kepada Kreditor yang membawa akibat hukum terhadap segala kekayaan Debitor dan selama
berlangsungnya PKPU Debitor tidak dapat dipaksa untuk membayar utang-utangnya dan semua
tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk memperoleh pelunasan hutang harus ditangguhkan.
Ini menunjukkan bahwa PKPU merupakan usaha untuk menghindari kepailitan, tetapi usaha
PKPU untuk menghindarkan kepailitan adalah sangat sulit tergantung dari kejujuran dan tingkat
moralitas pihak debitor dan kreditor3. Saya setuju dengan pendapat tersebut, karena masih ada
kemungkinan Debitur dengan itikad tidak baik sengaja mempailitkan diri dan akan menimbulkan

1
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori & Praktek, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2014, hlm.175
2
Kheriah, S.H.,M.H., Independensi Pengurus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dalam Hukum
Kepailitan, 2013, hlm.240
3
Elviana Sagala S.H.,M.Kn., Efektifitas Lembaga Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) untuk
Menghindarkan Debitur dari Pailit, STIH Labuhanbatu, 2015, hlm.41
masalah bagi Kreditor, sama halnya dengan Kreditor dengan itikad tidak baik sengaja
mempailitkan Debitor untuk mendapatkan kembali piutangnya padahal Debitor tidak ingin
dinyatakan pailit dan masih yakin bisa melunasi utang-utangnya.

Pihak yang Dapat Mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang


(PKPU)
Pasal 222 UU No. 37 Tahun 2004 menyebutkan bahwa yang bisa mengajukan PKPU itu
bisa Debitor (yang mempunyai lebih dari 1 Kreditor) maupun Kreditor. Dalam Pasal tersebut
menyebutkan dalam hal Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat
melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat
memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana
perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditor.
Kemudian jika Kreditor yang memperkirakan bahwa Debitor tidak dapat melanjutkan membayar
utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada Debitor diberi
penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan Debitor mengajukan rencana
perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditornya.
Sehingga terlihat bahwa PKPU itu berbeda dengan kepailitan. Sesuai dengan pendapat Anton
Suyatno yang ada di dalam tesis I Wayan Wesna Astara yang menyebutkan perbedaan (PKPU
dengan Kepailitan) adalah bahwa dalam penundaan tersebut tidak didasarkan pada keadaan di
mana debitor tidak mampu membayar utangnya atau insolven dan tidak bertujuan untuk
dilakukan pemberesan budel pailit (likuidasi). Penundaan kewajiban pembayaran utang juga
tidak dimaksud untu kepentingan debitor saja, tetapi juga untu kepentingan para kreditornya,
khususnya kreditor preferen (konkuren).4
Selain itu, pihak-pihak yang dapat mengajukan pemohonan PKPU berdasarkan Pasal 223 UU
Kepailitan dan PKPU adalah:
(1) Debitor
(2) Kreditor
(3) Bank Indonesia bila Debitornya adalah Bank
(4) Bapepam bila Debitornya adalah Perusahaan Efek, Bursa efek, Lembaga kliring dan
penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.

4
I Wayan Wesna Atara, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam Kepailitan (Analisis terhadap Putusan
Pengadilan Niaga Nomor: 20/PAILIT/2011/PN.NIAGA.SBY), Universitas Udayana, 2015, hlm.38
(5) Menteri keuangan bila Debitornya Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana
Pensiun, dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik

Prosedur Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)


Kemudian, untuk prosedur permohonan PKPU sendiri diatur dalam Pasal 224 UU
Kepailitan dan PKPU yang berbunyi:

Pasal 224

(1) Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 222 harus diajukan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3,
dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh advokatnya.
(2) Dalam hal pemohon adalah Debitor, permohonan penundaan kewajiban pembayaran
utang harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta
surat bukti secukupnya.
(3) Dalam hal pemohon adalah Kreditor, Pengadilan wajib memanggil Debitor melalui juru
sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang.
(4) Pada sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Debitor mengajukan daftar yang
memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya dan, bila
ada, rencana perdamaian.
(5) Pada surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilampirkan rencana
perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5) berlaku mutatis mutandis sebagai tata cara pengajuan permohonan penundaan
kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Pasal 224 UU Kepailitan dan PKPU,
permohonan PKPU harus diajukan kepada Pengadilan Niaga secara tertulis dengan disertai
daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta bukti secukupnya. Surat
permohonan tersebut ditandatangani oleh pemohon dan advokatnya yang berarti pemohon harus
menunjuk advokat bila ingin mengajukan permohonan PKPU namun permohonan tersebut tidak
bisa diajukan oleh advokat sendirian tetapi harus bersama-sama dengan pemohon PKPU. Pada
permohonan tersebut bisa juga dilampirkan rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 222 UU Kepailitan dan PKPU.

Akibat Hukum dari Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)


Sifat putusan PKPU mempunyai kekuatan hukum pasti di mana putusannya bersifat final
and binding (akhir dan mengikat)5 karena putusan PKPU tidak dapat diajukan upaya hukum
apapun ini didasari oleh ketentuan dalam Pasal 235 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang
menyebutkan bahwa Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak dapat
diajukan upaya hukum apapun. Pernyataan pailit sebagai akibat hukum akibat dari penolakan
pengesahan perdamaian juga tidak dapat diajukan upaya hukum Kasasi maupun Peninjauan
Kembali ini didasari oleh ketentuan dalam Pasal 293 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang
menyebutkan bahwa:

Pasal 293

(1) Terhadap putusan Pengadilan berdasarkan ketentuan dalam Bab III ini tidak terbuka
upaya hukum, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
(2) Upaya hukum kasasi dapat diajukan oleh Jaksa Agung demi kepentingan hukum.

Permohonan PKPU yang telah ditetapkan sebagai PKPU sementara, di mana Pengadilan
Niaga memberikan kesempatan kepada debitor dan kreditor untuk verifikasi atas utang-utang
debitor, membicarakan dan mengupayakan tercapainya perdamaian sesuai proposal rencana
perdamaian debitor yang diajukan kepada kreditor dalam pengawasan Hakim Pengawas, hal
sesuai dengan ketentuan Pasal 224 ayat (4) UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.
Proposal rencana perdamaian debitor yang disetujui oleh kreditor berubah menjadi perjanjian
perdamaian yang mengikat bagi debitor dan kreditor, dimana debitor diwajibkan untuk
membayar utang-utangnya sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian perdamaian, terhadap
proposal rencana perdamaian yang ditolak oleh kreditor, maka demi hukum debitor menjadi
pailit berdasarkan Pasal 230 ayat (1) UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU6.
Undang-Undang tersebut menganut prinsip perdamaian tunggal. Prinsip perdamaian
tunggal ini terefleksi dalam Pasal 289 UU Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan para pihak

5
Rindy Ayu Rahmadiyanti, Akibat Hukum Penolakan Rencana Perdamaian Debitor oleh Kreditor dalam Proses
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Universitas Diponegoro, 2015, hlm.259
6
Ibid., hlm.257
hanya sekali dapat mengajukan rencana perdamaian7. Prinsip ini juga bisa kita temukan dalam
Pasal 292 UU Kepailitan dan PKPU, yang menyebutkan bahwa apabila perdamaian dalam proses
PKPU telah ditolak dan kemudian Debitor dinyatakan pailit, maka ia (Debitor pailit) tidak boleh
lagi mengajukan rencana perdamaian. Sehingga akan terjadi perubahan proses hukum yang
sebelumnya ditempuh dengan jalan damai (PKPU) berubah menggunakan ketentuan prosesyang
berlaku dalam ketentuan kepailitan.

7
Ibid., hlm.262
KESIMPULAN

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan sebuah kesempatan yang


diberikan oleh UU melalui putusan hakim niaga untuk memusyawarahkan cara-cara
pembayaran utang oleh Debitor yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian
utangnya kepada Kreditor yang membawa akibat hukum terhadap segala kekayaan Debitor
dan selama berlangsungnya PKPU Debitor tidak dapat dipaksa untuk membayar utang-
utangnya dan semua tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk memperoleh pelunasan
hutang harus ditangguhkan dan merupakan cara untuk menghindari kepailitan.
Yang bisa mengajukan PKPU itu bisa Debitor (yang mempunyai lebih dari 1 Kreditor)
maupun Kreditor.
Pihak-pihak yang dapat mengajukan pemohonan PKPU adalah:
(1) Debitor
(2) Kreditor
(3) Bank Indonesia bila Debitornya adalah Bank
(4) Bapepam bila Debitornya adalah Perusahaan Efek, Bursa efek, Lembaga kliring dan
penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
(5) Menteri keuangan bila Debitornya Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana
Pensiun, dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik
Proses permohonan PKPU harus diajukan kepada Pengadilan Niaga secara tertulis dengan
disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta bukti
secukupnya. Surat permohonan tersebut ditandatangani oleh pemohon dan advokatnya yang
berarti pemohon harus menunjuk advokat bila ingin mengajukan permohonan PKPU namun
permohonan tersebut tidak bisa diajukan oleh advokat sendirian tetapi harus bersama-sama
dengan pemohon PKPU. Pada permohonan tersebut bisa juga dilampirkan rencana
perdamaian
Akibat hukum bagi Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang mana
permohonan PKPU yang telah ditetapkan sebagai PKPU sementara, di mana Pengadilan
Niaga memberikan kesempatan kepada debitor dan kreditor untuk verifikasi atas utang-utang
debitor, membicarakan dan mengupayakan tercapainya perdamaian sesuai proposal rencana
perdamaian debitor yang diajukan kepada kreditor dalam pengawasan Hakim Pengawas, hal
sesuai dengan ketentuan Pasal 224 ayat (4) UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan
PKPU. Proposal rencana perdamaian debitor yang disetujui oleh kreditor berubah menjadi
perjanjian perdamaian yang mengikat bagi debitor dan kreditor, dimana debitor diwajibkan
untuk membayar utang-utangnya sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian perdamaian,
terhadap proposal rencana perdamaian yang ditolak oleh kreditor, maka demi hukum debitor
menjadi pailit.
Terhadap putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak dapat diajukan upaya
hukum apapun ini didasari oleh ketentuan dalam Pasal 235 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU
yang menyebutkan bahwa Terhadap putusan penundaan kewajiban pembayaran utang tidak
dapat diajukan upaya hukum apapun. Pernyataan pailit sebagai akibat hukum akibat dari
penolakan pengesahan perdamaian juga tidak dapat diajukan upaya hukum Kasasi maupun
Peninjauan Kembali
DAFTAR PUSTAKA

Elviana Sagala. 2015. Jurnal: Efektifitas Lembaga Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU) untuk Menghindarkan Debitur dari Pailit, Labuhanbatu: STIH
Labuhanbatu.

I Wayan Wesna Atara. 2015. Tesis: Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam Kepailitan
(Analisis terhadap Putusan Pengadilan Niaga Nomor: 20/PAILIT/2011/PN.NIAGA.SBY),
Denpasar: Universitas Udayana.

Kheriah. 2013. Jurnal: Independensi Pengurus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang


(PKPU) dalam Hukum Kepailitan. Jurnal Ilmu Hukum.

Munir Fuady. 2014. Hukum Pailit dalam Teori & Praktek. Jakarta: PT Citra Aditya Bakti.

Rindy Ayu Rahmadiyanti. 2015. Jurnal: Akibat Hukum Penolakan Rencana Perdamaian Debitor
oleh Kreditor dalam Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Semarang:
Universitas Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai