Anda di halaman 1dari 12

TUGAS

“HUKUM KEPAILITAN”

Disusun Oleh:

TOMI ABDUL AZIZ

(B2B020002)

Dosen Pembimbing :
Dr. TITO SOFYAN, SH., M.S

HUKUM KEPAILITAN
MAGISTER KENOTARIATANUNIVERSITAS
BENGKULU
2020
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Krisis moneter telah memberi pengaruh yang tidak menguntungkan terhadap


perekonomian nasional, sehingga menimbulkan kesulitan besar terhadap dunia usaha
terutama dalam hal keuangan yang mengakibatkan banyak perusahaan mengalami
kepailitan.
Menurut Adrian Sutedi, terjadinya kepailitan adalah apabila dalam jangka waktu
tertentu Debitor tidak dapat melakukan pembayaran pokok atau bunganya. 1 Secara lebih
jelas tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kepailitan adalah sita umum
atas semua kekayaan Debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini.
Seiring dengan perkembangan bisnis di Indonesia, tidak sedikit perusahaan yang
diajukan pailit oleh Kreditornya, disebabkan karena adanya utang Debitor terhadap
Kreditor yang tidak dibayar sampai pada waktu yang diperjanjikan. Tentu saja dalam
kepailitan utang memiliki peran yang sangat penting, tanpa adanya utang maka
perusahaan tidak dapat dipailitkan.
Selain utang di dalam hukum kepailitan mengenal istilah concursus
creditorumyang juga merupakan syarat wajib dalam kepailitan. Concursus
creditorumyaitu merupakan syarat mengenai keharusan Debitor memiliki dua Kreditor
atau lebih agar bisa dipailitkan. Jika Debitor hanya memiliki satu Kreditor maka
permohonan kepailitan tidak bisa dikabulkan.

1
Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009, Hlm.14.
1
TOMI ABDUL AZIZ, SH
HUKUM KEPAILITAN
UNIVERSITAS BENGKULU
Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah dipenuhi.2
Jika sudah terpenuhi maka hakim diharuskan untuk mengabulkan permohonan
pailit yang diajukan oleh Kreditor. Namun meskipun telah dijelaskan demikian, terdapat
fakta di lapangan mengenai adanya permohonan pailit Kreditor yang ditolak oleh
Pengadilan Niaga karena persoalan concursus creditorum yaitu mengenai adanya 2
(dua) Kreditor lain yang tidak setuju dengan adanya upaya kepailitan sehingga Hakim
berpendapat bahwa syarat pailit dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak
terpenuhi.
Seperti contoh kasus pada putusan nomor: 835K/Pdt.Sus/2012, berawal dari
Graciana Budhi Hartuti (selanjutnya disebut Kreditor) melakukan pembelian unit
Apartemen Pancoran Riverside kepada PT. Graha Rayhan Tri Putra (selanjutnya disebut
Debitor). Kreditor telah melakukan pelunasan pembayaran kepada Debitor, namun
sampai pada waktu yang dijanjikan untuk melakukan penyelesaian pembangunan,
Debitor belum juga menyerahkan unit apartemen tersebut. Maka dengan demikian,
Debitor memiliki kewajiban membayar utang-utangnya kepada Kreditor.
Oleh karena itu, Kreditor mengajukan permohonan pailit terhadap Debitor disertai
dengan adanya Kreditor lain yaitu Siti Aminah dan Rita Kurnia Utari guna memenuhi
persyaratan pengajuan kepailitan dalam Pasal 2 ayat (1)Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Meskipun syarat pailit yang diajukan oleh Kreditor telah terpenuhi, namun hakim
Pengadilan Niaga berpendapat bahwa permohonan pailit yang diajukan oleh Kreditor
ditolak, yang salah satu pertimbangannya adalah karena tidak terpenuhinya asas
concursus creditorum. Pada tingkat kasasi Mahkamah Agung dalam amar putusannya
juga menguatkan dan membenarkan putusan Pengadilan Niaga sehingga permohonan
kasasi Kreditorpun kembali ditolak.

2
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Pasal 8 Ayat (4).
2
TOMI ABDUL AZIZ, SH
HUKUM KEPAILITAN
UNIVERSITAS BENGKULU
Akan tetapi pendapat hakim Mahkamah Agung terdapat beragam penafsiran,
sebab terdapat dissenting opinion3 dalam putusan tersebut. Dengan adanya contoh kasus
di atas, Hal inilah yang menarik minat penulis telusuri lebih dalam.
Dalam putusan nomor: 835K/Pdt.Sus/2012 bermula dari Kreditor melakukan
pembelian unit Apartemen Pancoran Riverside kepada Debitor. Dalam hal ini Kreditor
telah melakukan pelunasan pembayaran kepada Debitor, namun sampai pada waktu
yang dijanjikan untuk melakukan penyelesaian pembangunan, Debitor belum juga
menyerahkan unit apartemen tersebut. Maka dengan demikian, Debitor memiliki
kewajiban membayar utang-utangnya kepada Kreditor.
Oleh karena itu, Kreditor mengajukan permohonan pailit terhadap Debitor disertai
dengan adanya Kreditor lain yaitu Siti Aminah dan Rita Kurnia Utari guna memenuhi
persyaratan pengajuan kepailitan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Meskipun syarat pailit yang diajukan oleh Kreditor telah terpenuhi, namun permohonan
pailit tersebut ditolak oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dikarenakan 2 (dua) Kreditor lain tidak menyetujui adanya upaya hukum kepailitan.
Oleh sebab itu, hakim mengatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak
terpenuhi. Kemudian Kreditor berusaha melakukan upaya hukum kembali yang
menyatakan keberatan dengan pertimbangan Judex Facti.4 namun pada putusan
Mahkamah Agung permohonan kasasi dari Kreditorpun ditolak.

B. RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana penerapan asas concursus creditorum oleh Hakim peradilan Mahkamah
Agung dalam perkara nomor 835K/Pdt.Sus/2012?

3
Menurut M. Hadi Subhan dalam buku Hukum Kepailitan Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan,
Dissenting Opinion adalah pendapat dari salah satu hakim majelis yang menyatakan berbeda pendapat dari putusan
majelis.
4
Menurut Sudarsono dalam kamus hukumnya mengatakan bahwa Judex Facti adalah hakim yang memeriksa
tentang duduknya permasalahan perkara yang berhubungan langsung dengan fakta-faktanya yaitu hakim tingkat
pertama dan hakim tingkat banding (tidak termasuk hakim kasasi).
3
TOMI ABDUL AZIZ, SH
HUKUM KEPAILITAN
UNIVERSITAS BENGKULU
b. Apakah putusan Hakim Mahkamah Agung nomor 835K/Pdt.Sus/2012 tersebut telah
sesuai dengan prinsip-prinsip umum hukum kepailitan?
C. TUJUAN
a. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan asas concursus creditorum oleh
Hakim peradilan Mahkamah Agung dalam perkara nomor 835K/Pdt.Sus/2012.
b. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian putusan Hakim Mahkamah
Agung nomor 835K/Pdt.Sus/2012 dengan prinsip-prinsip umum hukum kepailitan.

D. KERANGKA TEORITIS, KERANGKA KONSEPTUAL


1. Kerangka Teoritis
Untuk memberikan landasan operasional penulisan ini, penulis menguraikan
teori yang berkaitan dengan permasalahan yang diajukan yaitu :
Asas Concursus Creditorum adalah asas yang menyatakan bahwa dalam
permohonan pailit Debitor harus memiliki 2 (dua) Kreditor atau lebih agar Debitor
bisa dinyatakan pailit. Mengenai asas ini diuraikan secara lebih jelas bahwa
concursus creditorum merupakan asas mengenai Debitor yang mempunyai dua atau
lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih Kreditornya.

2. Kerangka Konseptual
Selain didukung dengan kerangka teoritis, penulisan ini juga didukung
oleh kerangka konseptual yang merumuskan definisi-definisi tertentu yang
berhubungan dengan judul yang diangkat, yaitu:
a. Perusahaan
Menurut Prof. Molengraaff perusahaanadalah keseluruhan perbuatan yang
dilakukan secara terus-menerus, bertindak keluar, untuk mendapatkan

4
TOMI ABDUL AZIZ, SH
HUKUM KEPAILITAN
UNIVERSITAS BENGKULU
penghasilan,dengan cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-
barang, atau mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan.5
b. Debitor
Dalam Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Debitor adalah orang yang
mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat
ditagih di muka pengadilan.
c. Kreditor
Menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kreditor adalah
orang yang mempunyaipiutang karna perjanjian atau undang-undang yang
dapat ditagih di muka pengadilan.
d. Utang
Dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, utang merupakan
kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam
mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun
yang akan timbul dikemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian
atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak
dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari
harta kekayaan Debitor.
e. Kepailitan
Menurut HM.N Purwosujipto kepailitan merupakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan peristiwa pailit, pailit itu sendiri adalah keadaan berhenti
membayar utang-utangnya dan dalam kepailitan ini terkandung sifat adanya
penyitaan umum atas seluruh harta kekayaan debitor untukkepentingan semua
Kreditor yang bersangkutan, yang dijalankan dengan pengawasan
pemerintah.

5
HM.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1999, Hlm.15
5
TOMI ABDUL AZIZ, SH
HUKUM KEPAILITAN
UNIVERSITAS BENGKULU
BAB II

PEMBAHASAN
A. KASUS POSISI

Analisis Kasus Pailit

PUTUSAN NOMOR 835 K/Pdt.Sus/2012


KASUS POSISI

Pihak – pihak dalam perkara ini adalah GRACIANA BUDHI HARTUTI sebagai
Pemohon Pailit – Kreditor dan PT. GRAHA RAYHAN TRI PUTRA sebagai Termohon Pailit
– Debitor. Yang beralamat, Menara Hijau Lt. 9, Mt Haryono, RT.3/RW.2, Cikoko, Kec.
Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Perkara bermula pada saat Pemohon membeli apartermen dari Termohon yang
merupakan perusahaan yang bergerak dibidang usaha pengembangan properti. Pada saat itu
setelah pemohon melihat katalog apartemen, Pemohon membeli sebuah apartemen yang terletak
di Pancoran, Jakarta Selatan yang lebih dikenal dengan sebutan “Pancoran Riverside” yang
beralamat di Jl. Pengadegan Timur I No.30, RT.6/RW.1, Pengadegan, Kec. Pancoran, Kota
Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Atas perjanjian tersebut, maka Pemohon
melakukan kewajibannya untuk melakukan pembayaran dalam beberapa tahap, yaitu :
a. Pada 26 November 2008, Pemohon Pailit membayar kepada Termohon pailit
sejumlah Rp 11.000.000,00 (sebelas juta rupiah);
b. Pada 22 Desember 2008, Pemohon Pemohon Pailit membayar melalui transfer
perbankan kepada Termohon Pailit sejumlah Rp 21.480.000,00 (dua puluh satu juta
empatRepublikratus delapan puluh ribu rupiah);
c. Pada 29 Januari 2009, Pemohon Pailit membayar lunas harga jual unit apartemen
melalui pembayaran cara transfer perbankan kepada Termohon pailit sejumlah Rp
129.960.000,00 (seratus dua puluh Sembilan juta sembilan ratus enam puluh ribu
rupiah).

6
TOMI ABDUL AZIZ, SH
HUKUM KEPAILITAN
UNIVERSITAS BENGKULU
Setelah itu perjanjian jual beli apartemen ini diikat dengan Perjanjian Pengikatan Jual
Beli (PPJB) Satuan Unit Apartemen Pancoran Riverside Nomor 0127/PR-GRTP/PPJB/I/2011
tertanggal 18 Januari 2011. Dalam Pasal 5 ayat 5.1 PPJB ini menyatakan :
“Pihak Pertama (in casu Termohon Pailit) dengan ini berjanji dan mengikatkan diri
untuk menyelesaikan pembangunan apartemen pada tanggal 21 Desember 2011”;

Namun, Termohon Pailit dengan surat tertanggal 21 Desember 2011 yang ditujukan
kepada seluruh konsumen pembeli/pemesan apartemen in casu termasuk Pemohon Pailit,
meminta penundaan waktu 100 (seratus) hari guna penyelesaian pembangunan apartemen sesuai
Pasal 5 ayat 5.3 PPJB atau sampai 1 April 2012. Namun dalam waktu tersebut Termohon tidak
dapat juga menyelesaikan pembangunannya dan menyerahkan unit – unit apartemen kepada para
pembeli yang telah melakukan pembayaran. Sehingga Pemohon Pailit melayangkan
teguran/somasi kepada Termohon Pailit supaya Termohon Pailit memenuhi kewajibannya
menyerahkan unit apartemen kepada Pemohon Pailit selambatnya tanggal 30 Juli 2012
namun ternyata Termohon Pailit tetap tidak dapat memenuhi kewajibannya.

B. BERDASARKAN PASAL 2 AYAT (1) UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG


KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004, maka apabila
Debitor mempunyai dua atau lebih kreditor dan ada utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih serta kedua hal tersebut dapat dibuktikan secara sederhana, maka pengadilan harus
memutuskan Debitor dinyatakan pailit. Dengan demikian perkara ini akan dianalisis
berdasarkan:

1. Debitor Yang Memiliki Dua atau Lebih Kreditor (concursus creditorium)


Adanya persyaratan concursus creditorium adalah sebagai bentuk konsekuensi
berlakunya ketentuan Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek dimana rasio kepailitan adalah
jatuhnya sita umum atas semua harta benda debitor untuk kemudian setelah dilakukan
rapat verifikasi utang-piutang tidak tercapai perdamaian atau accoord, dilakukan proses
7
TOMI ABDUL AZIZ, SH
HUKUM KEPAILITAN
UNIVERSITAS BENGKULU
likuidasi atas seluruh harta benda debitor untuk kemudian dibagi-bagikan hasil
perolehannya kepada semua kreditor sesuai urutan tingkat kreditor yang telah diatur oleh
undang-undang.

Jika debitor hanya memiliki satu kreditor, maka eksistensi Undang-Undang


Kepailitan kehilangan raison d’etre-nya. Bila debitor hanya memiliki satu kreditor, maka
seluruh harta kekayaan debitor otomatis menjadi jaminan atas pelunasan utang debitor
tersebut dan tidak diperlukan pembagian secara pari passu prorata parte, dan terhadap
debitor tidak dapat dituntut pailit karena hanya mempunyai satu kreditor.

Oleh karena itu maka dalam perkara ini harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa
Termohon memiliki kreditur lain selain Pemohon. Dalam perkara ini, Pemohon telah
membuktikan bahwa selain dirinya, terdapat kreditur – kreditur lain yang memiliki piutang
atas Termohon, yaitu :

 - Dra. Siti Aminah, dengan tagihan kepada Termohon Pailit sejumlah Rp


103.680.000,00 (seratus tiga juta enam ratus delapan puluh ribu rupiah);

 - Rita Kurnia Utari SSI, dengan tagihan kepada Termohon Pailit sejumlah Rp
103.680.000,00 (seratus tiga juta enam ratus delapan puluh ribu rupiah).

Dengan demikian unsur ini terpenuhi, bahwa Termohon memiliki dua atau lebih kreditor.

2. Ada utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih


Utang berdasarkan Pasal 1 angka 6 UUK adalah Utang Termohon kepada
Pemohon, jelasnya Pasal 1 angka 6 UUK menyatakan:
“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah
uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara
langsung mapun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul
karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan
bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya
dari harta kekayaan Debitor”

Berdasarkan pengerian ini, jika dilihat bahwa utang harus dapat dinyatakan dalam
jumlah uang, maka Termohon termasuk memiliki utang. Utang Termohon adalah unit

8
TOMI ABDUL AZIZ, SH
HUKUM KEPAILITAN
UNIVERSITAS BENGKULU
apartemen yang seharusnya diberikan kepada Pemohon berdasarkan PPJB maupun
KUHPerdata maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Unit apartermen tersebut
dapat dinyatakan dalam jumlah uang sebesar uang yang telah dibayarkan kepada
Termohon yaitu sebesar Rp162.440.000,00 (seratus enam puluh dua juta empat ratus empat
puluh ribu rupiah), yang dibayarkan dengan cara :

 - Pada 26 November 2008, Pemohon Pailit membayar kepada Termohon pailit sejumlah
Rp 11.000.000,00 (sebelas juta rupiah)

 Pada 22 Desember 2008, Pemohon Pemohon Pailit membayar melalui transfer perbankan
kepada Termohon Pailit sejumlah Rp 21.480.000,00 (dua puluh satu juta
empatRepublikratus delapan puluh ribu rupiah);

 Pada 29 Januari 2009, Pemohon Pailit membayar lunas harga jual unit apartemen melalui
pembayaran cara transfer perbankan kepada Termohon pailit sejumlah Rp
129.960.000,00 (seratus dua puluh Sembilan juta sembilan ratus enam puluh ribu rupiah).

Ketentuan adanya syarat utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, menurut
Sutan Remy Sjahdeini, kedua istilah tersebut memiliki pengertian dan kejadian yang
berbeda. Suatu utang dikatakan sebagai utang yang telah jatuh waktu atau utang yang
expired, yaitu utang yang dengan sendirinya menjadi utang yang telah dapat ditagih.
Sedangkan utang yang telah dapat ditagih belum tentu merupakan utang yang telah jatuh
waktu.

Pengaturan suatu utang jatuh tempo dan dapat ditagih, dan juga wanprestasi dari
salah satu pihak dapat mempercepat jatuh tempo utang, yang diatur di dalam perjanjian.
Ketika terjadi default, jatuh tempo utang telah diatur, maka pembayaran utang dapat
dipercepat dan menjadi jatuh tempo dan dapat ditagih seketika itu juga sesuai dengan
syarat dan ketentuan perjanjian.

Dalam perkara ini, hal ini dapat dilihat bahwa berdasarkan Surat Perjanjian
Pengikatan Jual Beli Satuan Unit Apartemen Pancoran Riverside Nomor 0127/PR-
GRTP/PPJB/I/2011 tertanggal 18 Januari 2011 pada Pasal 5 ayat 5.1 menyatakan :

9
TOMI ABDUL AZIZ, SH
HUKUM KEPAILITAN
UNIVERSITAS BENGKULU
“Pihak Pertama (in casu Termohon Pailit) dengan ini berjanji dan
mengikatkan diri untuk menyelesaikan pembangunan apartemen pada tanggal
21 Desember 2011.”

Namun, Termohon Pailit dengan surat tertanggal 21 Desember 2011 yang


ditujukan kepada seluruh konsumen pembeli/pemesan apartemen in casu termasuk
Pemohon Pailit, meminta penundaan waktu 100 (seratus) hari guna penyelesaian
pembangunan apartemen sesuai Pasal 5 ayat 5.3 PPJB yang berarti tenggang waktu 100
hari sejak 21 Desember 2011 adalah 01 April 2011. Berdasarkan ketentuan tersebut maka
utang Termohon Pailit telah definitif jatuh tempo pada tanggal 21 Desember 2011
berdasarkan Pasal 5 angka 5.1 PPJB atau pada 01 April 2012 berdasarkan Pasal 5 angka
5.3 PPJB atau pada 15 Mei 2012 berdasarkan Pasal 6 angka 6.1 PPJB atau pada 30 Juli
2012 berdasarkan Somasi.

Dengan demikian hal ini terpenuhi.

10
TOMI ABDUL AZIZ, SH
HUKUM KEPAILITAN
UNIVERSITAS BENGKULU
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan analisa diatas maka seharusnya Majelis Hakim mengabulkan Pemohon


untuk menyatakan Termohon pailit. Hal ini karena syarat-syarat pailit yaitu mempunyai dua
kreditor atau lebih dan utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dapat dibuktikan secara
sederhana telah terpenuhi sebagaimana amanat Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (4) UU No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Namun,
Pengadilan Niaga dalam tingkat pertama maupun Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi
memutuskan menolak permohonan Pemohon dan menghukum Pemohon untuk membayar biaya
perkara.

Mahkamah Agung memutuskan hal tersebut berdasarkan bahwa keterlambatan


penyelesaian terhadap apartemen Pancoran Riverside adalah faktor-faktor di luar
kemampuan Termohon antara lain adanya perubahan peraturan perundang-undangan dan
kebijakan pemerintah dalam pemberian izin serta adanya perlawanan dari masyarakat setempat
yang menghambat penyelesaian pembangunan apartemen tersebut, yang tidak mudah dalam
pembuktiannya oleh karenanya permohonan Pemohon tidak memenuhi ketentuan Pasal 8 ayat
(4) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran
Utang. Namun dalam hal ini salah satu Hakim Agung yaitu Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H.,
LL.M., menyatakan telah berpendapat berbeda (dissenting opinion).

11
TOMI ABDUL AZIZ, SH
HUKUM KEPAILITAN
UNIVERSITAS BENGKULU

Anda mungkin juga menyukai