“HUKUM KEPAILITAN”
Disusun Oleh:
(B2B020002)
Dosen Pembimbing :
Dr. TITO SOFYAN, SH., M.S
HUKUM KEPAILITAN
MAGISTER KENOTARIATANUNIVERSITAS
BENGKULU
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009, Hlm.14.
1
TOMI ABDUL AZIZ, SH
HUKUM KEPAILITAN
UNIVERSITAS BENGKULU
Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah dipenuhi.2
Jika sudah terpenuhi maka hakim diharuskan untuk mengabulkan permohonan
pailit yang diajukan oleh Kreditor. Namun meskipun telah dijelaskan demikian, terdapat
fakta di lapangan mengenai adanya permohonan pailit Kreditor yang ditolak oleh
Pengadilan Niaga karena persoalan concursus creditorum yaitu mengenai adanya 2
(dua) Kreditor lain yang tidak setuju dengan adanya upaya kepailitan sehingga Hakim
berpendapat bahwa syarat pailit dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak
terpenuhi.
Seperti contoh kasus pada putusan nomor: 835K/Pdt.Sus/2012, berawal dari
Graciana Budhi Hartuti (selanjutnya disebut Kreditor) melakukan pembelian unit
Apartemen Pancoran Riverside kepada PT. Graha Rayhan Tri Putra (selanjutnya disebut
Debitor). Kreditor telah melakukan pelunasan pembayaran kepada Debitor, namun
sampai pada waktu yang dijanjikan untuk melakukan penyelesaian pembangunan,
Debitor belum juga menyerahkan unit apartemen tersebut. Maka dengan demikian,
Debitor memiliki kewajiban membayar utang-utangnya kepada Kreditor.
Oleh karena itu, Kreditor mengajukan permohonan pailit terhadap Debitor disertai
dengan adanya Kreditor lain yaitu Siti Aminah dan Rita Kurnia Utari guna memenuhi
persyaratan pengajuan kepailitan dalam Pasal 2 ayat (1)Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Meskipun syarat pailit yang diajukan oleh Kreditor telah terpenuhi, namun hakim
Pengadilan Niaga berpendapat bahwa permohonan pailit yang diajukan oleh Kreditor
ditolak, yang salah satu pertimbangannya adalah karena tidak terpenuhinya asas
concursus creditorum. Pada tingkat kasasi Mahkamah Agung dalam amar putusannya
juga menguatkan dan membenarkan putusan Pengadilan Niaga sehingga permohonan
kasasi Kreditorpun kembali ditolak.
2
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Pasal 8 Ayat (4).
2
TOMI ABDUL AZIZ, SH
HUKUM KEPAILITAN
UNIVERSITAS BENGKULU
Akan tetapi pendapat hakim Mahkamah Agung terdapat beragam penafsiran,
sebab terdapat dissenting opinion3 dalam putusan tersebut. Dengan adanya contoh kasus
di atas, Hal inilah yang menarik minat penulis telusuri lebih dalam.
Dalam putusan nomor: 835K/Pdt.Sus/2012 bermula dari Kreditor melakukan
pembelian unit Apartemen Pancoran Riverside kepada Debitor. Dalam hal ini Kreditor
telah melakukan pelunasan pembayaran kepada Debitor, namun sampai pada waktu
yang dijanjikan untuk melakukan penyelesaian pembangunan, Debitor belum juga
menyerahkan unit apartemen tersebut. Maka dengan demikian, Debitor memiliki
kewajiban membayar utang-utangnya kepada Kreditor.
Oleh karena itu, Kreditor mengajukan permohonan pailit terhadap Debitor disertai
dengan adanya Kreditor lain yaitu Siti Aminah dan Rita Kurnia Utari guna memenuhi
persyaratan pengajuan kepailitan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Meskipun syarat pailit yang diajukan oleh Kreditor telah terpenuhi, namun permohonan
pailit tersebut ditolak oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dikarenakan 2 (dua) Kreditor lain tidak menyetujui adanya upaya hukum kepailitan.
Oleh sebab itu, hakim mengatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak
terpenuhi. Kemudian Kreditor berusaha melakukan upaya hukum kembali yang
menyatakan keberatan dengan pertimbangan Judex Facti.4 namun pada putusan
Mahkamah Agung permohonan kasasi dari Kreditorpun ditolak.
B. RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana penerapan asas concursus creditorum oleh Hakim peradilan Mahkamah
Agung dalam perkara nomor 835K/Pdt.Sus/2012?
3
Menurut M. Hadi Subhan dalam buku Hukum Kepailitan Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan,
Dissenting Opinion adalah pendapat dari salah satu hakim majelis yang menyatakan berbeda pendapat dari putusan
majelis.
4
Menurut Sudarsono dalam kamus hukumnya mengatakan bahwa Judex Facti adalah hakim yang memeriksa
tentang duduknya permasalahan perkara yang berhubungan langsung dengan fakta-faktanya yaitu hakim tingkat
pertama dan hakim tingkat banding (tidak termasuk hakim kasasi).
3
TOMI ABDUL AZIZ, SH
HUKUM KEPAILITAN
UNIVERSITAS BENGKULU
b. Apakah putusan Hakim Mahkamah Agung nomor 835K/Pdt.Sus/2012 tersebut telah
sesuai dengan prinsip-prinsip umum hukum kepailitan?
C. TUJUAN
a. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan asas concursus creditorum oleh
Hakim peradilan Mahkamah Agung dalam perkara nomor 835K/Pdt.Sus/2012.
b. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian putusan Hakim Mahkamah
Agung nomor 835K/Pdt.Sus/2012 dengan prinsip-prinsip umum hukum kepailitan.
2. Kerangka Konseptual
Selain didukung dengan kerangka teoritis, penulisan ini juga didukung
oleh kerangka konseptual yang merumuskan definisi-definisi tertentu yang
berhubungan dengan judul yang diangkat, yaitu:
a. Perusahaan
Menurut Prof. Molengraaff perusahaanadalah keseluruhan perbuatan yang
dilakukan secara terus-menerus, bertindak keluar, untuk mendapatkan
4
TOMI ABDUL AZIZ, SH
HUKUM KEPAILITAN
UNIVERSITAS BENGKULU
penghasilan,dengan cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-
barang, atau mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan.5
b. Debitor
Dalam Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Debitor adalah orang yang
mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat
ditagih di muka pengadilan.
c. Kreditor
Menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kreditor adalah
orang yang mempunyaipiutang karna perjanjian atau undang-undang yang
dapat ditagih di muka pengadilan.
d. Utang
Dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, utang merupakan
kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam
mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun
yang akan timbul dikemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian
atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak
dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari
harta kekayaan Debitor.
e. Kepailitan
Menurut HM.N Purwosujipto kepailitan merupakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan peristiwa pailit, pailit itu sendiri adalah keadaan berhenti
membayar utang-utangnya dan dalam kepailitan ini terkandung sifat adanya
penyitaan umum atas seluruh harta kekayaan debitor untukkepentingan semua
Kreditor yang bersangkutan, yang dijalankan dengan pengawasan
pemerintah.
5
HM.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1999, Hlm.15
5
TOMI ABDUL AZIZ, SH
HUKUM KEPAILITAN
UNIVERSITAS BENGKULU
BAB II
PEMBAHASAN
A. KASUS POSISI
Pihak – pihak dalam perkara ini adalah GRACIANA BUDHI HARTUTI sebagai
Pemohon Pailit – Kreditor dan PT. GRAHA RAYHAN TRI PUTRA sebagai Termohon Pailit
– Debitor. Yang beralamat, Menara Hijau Lt. 9, Mt Haryono, RT.3/RW.2, Cikoko, Kec.
Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Perkara bermula pada saat Pemohon membeli apartermen dari Termohon yang
merupakan perusahaan yang bergerak dibidang usaha pengembangan properti. Pada saat itu
setelah pemohon melihat katalog apartemen, Pemohon membeli sebuah apartemen yang terletak
di Pancoran, Jakarta Selatan yang lebih dikenal dengan sebutan “Pancoran Riverside” yang
beralamat di Jl. Pengadegan Timur I No.30, RT.6/RW.1, Pengadegan, Kec. Pancoran, Kota
Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Atas perjanjian tersebut, maka Pemohon
melakukan kewajibannya untuk melakukan pembayaran dalam beberapa tahap, yaitu :
a. Pada 26 November 2008, Pemohon Pailit membayar kepada Termohon pailit
sejumlah Rp 11.000.000,00 (sebelas juta rupiah);
b. Pada 22 Desember 2008, Pemohon Pemohon Pailit membayar melalui transfer
perbankan kepada Termohon Pailit sejumlah Rp 21.480.000,00 (dua puluh satu juta
empatRepublikratus delapan puluh ribu rupiah);
c. Pada 29 Januari 2009, Pemohon Pailit membayar lunas harga jual unit apartemen
melalui pembayaran cara transfer perbankan kepada Termohon pailit sejumlah Rp
129.960.000,00 (seratus dua puluh Sembilan juta sembilan ratus enam puluh ribu
rupiah).
6
TOMI ABDUL AZIZ, SH
HUKUM KEPAILITAN
UNIVERSITAS BENGKULU
Setelah itu perjanjian jual beli apartemen ini diikat dengan Perjanjian Pengikatan Jual
Beli (PPJB) Satuan Unit Apartemen Pancoran Riverside Nomor 0127/PR-GRTP/PPJB/I/2011
tertanggal 18 Januari 2011. Dalam Pasal 5 ayat 5.1 PPJB ini menyatakan :
“Pihak Pertama (in casu Termohon Pailit) dengan ini berjanji dan mengikatkan diri
untuk menyelesaikan pembangunan apartemen pada tanggal 21 Desember 2011”;
Namun, Termohon Pailit dengan surat tertanggal 21 Desember 2011 yang ditujukan
kepada seluruh konsumen pembeli/pemesan apartemen in casu termasuk Pemohon Pailit,
meminta penundaan waktu 100 (seratus) hari guna penyelesaian pembangunan apartemen sesuai
Pasal 5 ayat 5.3 PPJB atau sampai 1 April 2012. Namun dalam waktu tersebut Termohon tidak
dapat juga menyelesaikan pembangunannya dan menyerahkan unit – unit apartemen kepada para
pembeli yang telah melakukan pembayaran. Sehingga Pemohon Pailit melayangkan
teguran/somasi kepada Termohon Pailit supaya Termohon Pailit memenuhi kewajibannya
menyerahkan unit apartemen kepada Pemohon Pailit selambatnya tanggal 30 Juli 2012
namun ternyata Termohon Pailit tetap tidak dapat memenuhi kewajibannya.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004, maka apabila
Debitor mempunyai dua atau lebih kreditor dan ada utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih serta kedua hal tersebut dapat dibuktikan secara sederhana, maka pengadilan harus
memutuskan Debitor dinyatakan pailit. Dengan demikian perkara ini akan dianalisis
berdasarkan:
Oleh karena itu maka dalam perkara ini harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa
Termohon memiliki kreditur lain selain Pemohon. Dalam perkara ini, Pemohon telah
membuktikan bahwa selain dirinya, terdapat kreditur – kreditur lain yang memiliki piutang
atas Termohon, yaitu :
- Rita Kurnia Utari SSI, dengan tagihan kepada Termohon Pailit sejumlah Rp
103.680.000,00 (seratus tiga juta enam ratus delapan puluh ribu rupiah).
Dengan demikian unsur ini terpenuhi, bahwa Termohon memiliki dua atau lebih kreditor.
Berdasarkan pengerian ini, jika dilihat bahwa utang harus dapat dinyatakan dalam
jumlah uang, maka Termohon termasuk memiliki utang. Utang Termohon adalah unit
8
TOMI ABDUL AZIZ, SH
HUKUM KEPAILITAN
UNIVERSITAS BENGKULU
apartemen yang seharusnya diberikan kepada Pemohon berdasarkan PPJB maupun
KUHPerdata maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Unit apartermen tersebut
dapat dinyatakan dalam jumlah uang sebesar uang yang telah dibayarkan kepada
Termohon yaitu sebesar Rp162.440.000,00 (seratus enam puluh dua juta empat ratus empat
puluh ribu rupiah), yang dibayarkan dengan cara :
- Pada 26 November 2008, Pemohon Pailit membayar kepada Termohon pailit sejumlah
Rp 11.000.000,00 (sebelas juta rupiah)
Pada 22 Desember 2008, Pemohon Pemohon Pailit membayar melalui transfer perbankan
kepada Termohon Pailit sejumlah Rp 21.480.000,00 (dua puluh satu juta
empatRepublikratus delapan puluh ribu rupiah);
Pada 29 Januari 2009, Pemohon Pailit membayar lunas harga jual unit apartemen melalui
pembayaran cara transfer perbankan kepada Termohon pailit sejumlah Rp
129.960.000,00 (seratus dua puluh Sembilan juta sembilan ratus enam puluh ribu rupiah).
Ketentuan adanya syarat utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, menurut
Sutan Remy Sjahdeini, kedua istilah tersebut memiliki pengertian dan kejadian yang
berbeda. Suatu utang dikatakan sebagai utang yang telah jatuh waktu atau utang yang
expired, yaitu utang yang dengan sendirinya menjadi utang yang telah dapat ditagih.
Sedangkan utang yang telah dapat ditagih belum tentu merupakan utang yang telah jatuh
waktu.
Pengaturan suatu utang jatuh tempo dan dapat ditagih, dan juga wanprestasi dari
salah satu pihak dapat mempercepat jatuh tempo utang, yang diatur di dalam perjanjian.
Ketika terjadi default, jatuh tempo utang telah diatur, maka pembayaran utang dapat
dipercepat dan menjadi jatuh tempo dan dapat ditagih seketika itu juga sesuai dengan
syarat dan ketentuan perjanjian.
Dalam perkara ini, hal ini dapat dilihat bahwa berdasarkan Surat Perjanjian
Pengikatan Jual Beli Satuan Unit Apartemen Pancoran Riverside Nomor 0127/PR-
GRTP/PPJB/I/2011 tertanggal 18 Januari 2011 pada Pasal 5 ayat 5.1 menyatakan :
9
TOMI ABDUL AZIZ, SH
HUKUM KEPAILITAN
UNIVERSITAS BENGKULU
“Pihak Pertama (in casu Termohon Pailit) dengan ini berjanji dan
mengikatkan diri untuk menyelesaikan pembangunan apartemen pada tanggal
21 Desember 2011.”
10
TOMI ABDUL AZIZ, SH
HUKUM KEPAILITAN
UNIVERSITAS BENGKULU
BAB III
KESIMPULAN
11
TOMI ABDUL AZIZ, SH
HUKUM KEPAILITAN
UNIVERSITAS BENGKULU