Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH SISTEM PERADILAN PIDANA

DI INDONESIA

DOSEN PENGASUH :
Pandji Susilo, S.H., M.Hum.

Disusun oleh :

NAMA : RIKY ARDIYANTO


Kelas : G (Kelas Mitra)
NIM : 1511121199
JURUSAN : HUKUM

UNIVERSITAS BHAYANGKARA SURABAYA


2018

0
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Konstruksi hukum pidana yang dibangun berdasar pandangan retributif, penderitaan


atau kerugian korban telah diabstraksi dan dikompensasikan dengan ancaman sanksi pidana
yang dapat dikenakan pada pelaku. Penyelesaian atas tindak pidana yang terjadipun
sepenuhnya menjadi kewenangan aparat penegak hukum. Abstraksi terhadap kerugian atau
penderitaan korban serta kewenangan penyelesaian tindak pidana dalam jalur hukum yang
hanya dimiliki oleh aparat penegak hukum tersebut tidak terlepas dari pengertian tindak pidana
yang menurut pandangan retributif dikonsepsikan sebagai perbuatan yang melanggar hukum
negara. Dengan konsepsi tersebut maka negara, yang aturan-aturan hukumnya telah dilanggar
oleh pelaku tindak pidana, menempatkan diri sebagai korban dan dengan demikian juga
berhak, melalui aparat penegak hukumnya, untuk menuntut dan menjatuhkan sanksi kepada
pelaku.

Dalam pandangan retributif, konstruksi penyelesaian tindak pidana akan menghadap-


hadapkan pelaku, sebagai pihak yang melanggar aturan hukum, melawan negara, sebagai pihak
yang aturan hukumnya telah dilanggar. Pada saat ini pemidaan hukum pidana berdasarkan
KHUP, KUHP yang sekarang diberlakukan di Indonesia adalah KUHP yang bersumber dari
hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang pada prakteknya sudah tidak sesuai
dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang. KUHP yang merupakan warisan KUHP
Kerajaan Belanda diberlakukan di Indonesia dengan beberapa penyesuaian, bahkan Prof.
Soedarto menyatakan bahwa teks resmi KUHP hingga saat ini masih dalam bahasa Belanda.
Pasca kemerdekaan, baik pada masa demokrasi terpimpin maupun Orde Baru, KUHP warisan
Belanda ini masih tetap berlaku termasuk pula hatzaai artikelen (pasal-pasal penyebar
kebencian) terhadap pimpinan politik, pejabat atau golongan etnis.

Dalam konstruksi hukum pidana yang demikian, segala keinginan korban yang
berkaitan dengan penyelesaian tindak pidana yang menimpa dirinya menjadi kurang bahkan
tidak diakomodasi. Padahal secara moral yuridis telah disepakati bahwa keadilan hukum
diberikan kepada orang atau pihak yang terlanggar haknya. Lembaga peradilan, termasuk
peradilan pidana, adalah lembaga yang memberikan jaminan tegaknya keadilan yang ditujukan
kepada orang atau pihak yang terlanggar hak-hak hukumnya, yang disebut sebagai korban.
1
Pada kenyataannya, putusan lembaga peradilan tersebut seringkali mengecewakan perasaan
korban mengenai keadilan yang didambakan

Berbeda dengan pandangan retributif yang lebih menitikberatkan pada pemidanaan


terhadap pelaku sebagai pembalasan atau pengimbalan atas kesalahan yang telah dilakukannya,
pandangan keadilan restoratif lebih menitikberatkan atau fokus pada perbaikan atau pemulihan
penderitaan korban sebagai wujud pertanggungjawaban pelaku tanpa mengesampingkan
kepentingan rehabilitasi terhadap pelaku dan kepentingan untuk menciptakan serta menjaga
ketertiban masyarakat. Pandangan keadilan restoratif juga memberi kesempatan kepada korban
untuk terlibat secara aktif dalam proses penyelesaian perkaranya.

Keadilan restoratif ditawarkan sebagai suatu pendekatan yang dianggap dapat


memenuhi tuntutan itu. Pengembalian otoritas penyelesaian pidana dari lembaga peradilan
sebagai wakil negara kepada masyarakat melalui pendekatan keadilan restoratif dimana korban
dan masyarakat merupakan komponen yang harus ada dan menentukan. Barb Toews melihat
bahwa perhatian terhadap korban merupakan “core values” dari keadilan restoratif. Meskipun
perhatian terhadap pelaku juga tidak kurang porsinya dibandingkan dengan teori sebelumnya.
Makna yang terkandung dalam konsep rehabilitasi, resosialisasi, restitusi, reparasi dan
kompensasi tampaknya hanya merupakan bagian dari konsep yang terkandung dalam restoratif.

Berdasarkan dari latar belakang yang dijelaskan diatas dan kebutuhan untuk melakukan
pembaruan hukum pidana dengan hasil dengan hasil dari Kongres PBB tahun 1976 tentang
pencegahan kejahatan dan perlakuan kepada pelaku kejahatan. Dalam kongres tersebut
dinyatakan bahwa hukum pidana yang ada selama ini di berbagai negara yang sering berasal
dari hukum asing dari zaman kolonial yang pada umumnya telah asing dan tidak adil (obsolete
and unjustice) serta ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan (outmoded and
unreal) karena tidak berakar dan pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada diskrepansi dengan
aspirasi masyarakat serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini. Dengan
demikian pada makalah kali ini akan dibahas dengan prospek pendekatan keadilan restoratif
dalam sistem peradilan pidana yang ada di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH

2
Berdasarkan latar bekalang masalah dari makalah yang berjudul Gagasan Keadilan
Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia ini, akan membahas beberapa masalah
yaitu:

1. Bagaimana sifat keadilan restoratif secara mendalam

2. Bagaimana implementasi keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia

BAB II

3
PEMBAHASAN

A. SISTEM PERADILAN PIDANA

Tatanan instrumen hukum acara pidana dan pemidanaan di Indonesia telah mengatur
mengenai prosedur formal yang harus dilalui dalam menyelesaikan sebuah perkara pidana.
Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan
hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formil
maupun hukum pelaksanaan pidana. Dalam sistem peradilan pidana pelaksanaan dan
penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing
memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan
dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu
akan berpengaruh pada badan yang lainnya.

Dalam sistem peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu: pendekatan
normatif, administratif dan sosial.

1. Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan,


pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-
undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari sistim penegakan hukum semata-mata.

2. Pendekatan administratif, memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu


organisasi manajeman yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat
horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku
dalam organisasi tersebut. Sistem yang dipergunakan adalah sistem administrasi.

3. Pendekatan sosial, memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari suatu sistim sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut
bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak
hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang dipergunakan adalah sistem
sosial.

Lebih lanjut menurut Romli Atmasasmita, ciri pendekatan sistim dalam peradilan
pidana, ialah :
4
1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan).

2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana.

3. Efektifitas sistim penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian


perkara.

4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “The administration of justice”

Adapun tujuan dari sistem peradilan pidana adalah :

1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan

2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah
ditegakkan dan yang bersalah dipidana

3. Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi


kejahatannya.

Pelaksanaan peradilan pidana, ada satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita
peradilan pidana, yaitu “due process of law” yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan
menjadi proses hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan
layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu
Negara pada seorang tersangka atau terdakwa.

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap batin
penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat meskipun ia menjadi pelaku
kejahatan. Namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia untuk mendapatkan
hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar pandangannya tentang
peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum dalam setiap tahap pemeriksaan, hak
memajukan pembelaan dan hak untuk disidang dimuka pengadilan yang bebas dan dengan
hakim yang tidak memihak. Konsekuensi logis dari dianutnya proses hukum yang adil dan
layak tersebut ialah sistem peradilan pidana selain harus melaksanakan penerapan hukum acara
pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin penegak hukum yang
menghormati hak-hak warga masyarakat

B. PEMAHAMAN PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF

5
Keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan
sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan
korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana
yang ada pada saat ini. Di pihak lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka
berpikir yang baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak
dan pekerja hukum.

Pendekatan keadilan restoratif diasumsikan sebagai pergeseran paling mutakhir dari


berbagai modal dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan pidana dalam menangani
perkara-perkara pidana pada saat ini. PBB melalui basic principles yang telah digariskannya
menilai bahwa pendekatan keadilan restoratif adalah pendekatan yang dapat dipakai dalam
sistem peradilan pidana yang rasional. Hal ini sejalan dengan pandangan G.P Hoefnagels yang
menyatakan bahwa politik criminal harus rasional (a rational total of the responses to crime).
Pendekatan keadilan restorative merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai sebagai
bingkai dari strategi penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab ketidakpuasan atas
bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini.

Keadilan Restoratif menurut Lode Walgrave menyatakan bahwa restorative justice are
not “alternative to punishment” but alternative punishment. Sementara Stephen VP Grvey
menyatakan keadilan restoratif sebagai a way of responding to crime. Meskipun dinyatakan
adanya perbedaan mendasar antara konsep keadilan restorative dengan teori pemidanaan yang
ada saat ini, namun tidak sedikit yang memandang bahwa teori ini pada dasarnya hanya
melengkapi teori lain dan berhubungan dengan elemen-elemen yang ada dalam paradigma
retributif, rehabilitatif, resosialisasi sebagai paradigma pemidanaan lainnya yang telah ada
terlebih dahulu.

Untuk dapat memberikan gambaran yang lebih terperinci mengenai keadilan restoratif,
berikut ini dikutip pendapat beberapa orang ahli tentang hal tersebut :

1. Tony F. Marshall

Menurut Tony F. Marshall, keadilan restoratif adalah suatu pendekatan untuk memecahkan
masalah kejahatan di antara para pihak, yaitu korban, pelaku, dan masyarakat, dalam suatu
relasi yang aktif dengan aparat penegak hokum. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk
memecahkan masalah kejahatan tersebut, keadilan restoratif mempergunakan asumsi-asumsi
sebagai berikut:

a. Sumber dari kejahatan adalah kondisi dan relasi sosial dalam masyarakat
6
b. Pencegahan kejahatan tergantung pada tanggung jawab masyarakat (termasuk
pemerintah lokal dan pemerintah pusat dalam kaitannya dengan kebijakan sosial pada
umumnya) untuk menangani kondisi-kondisi sosial yang dapat menyebabkan terjadinya
kejahatan

c. Kepentingan para pihak dalam penyelesaian

d. Kasus kejahatan tidak dapat diakomodasi tanpa disediakannya fasilitas untuk terjadinya
keterlibatan secara personal. Ukuran keadilan harus bersifat fleksibel untuk merespon
fakta-fakta penting, kebutuhan personal, dan penyelesaian dalam setiap kasus

e. Kerjasama di antara aparat penegak hukum serta antara aparat dengan masyarakat
dianggap penting untuk mengoptimalkan efektifitas dan efisiensi cara penyelesaian
kasusnya.

f. Keadilan dicapai dengan prinsip keseimbangan kepentingan di antara para pihak

2. Mark Umbreit

Meskipun tidak secara tegas menyebutkan pengertiannya, menurut Mark Umbreit, keadilan
restoratif merupakan suatu cara pemikiran atau pemahaman mengenai kejahatan dan
viktimisasi yang sangat berbeda dibanding dengan paham retributif. Pada paham retributif,
negara dianggap sebagai pihak yang paling dirugikan ketika kejahatan terjadi. Oleh karena
itu, dalam proses pemidanaan, korban dan pelaku ditempatkan pada peran serta posisi yang
pasif. Sedangkan dalam pandangan keadilan restoratif, kejahatan dipahami sebagai konflik
antar individu. Oleh karena itu, mereka yang terkait lebih langsung dengan terjadinya
kejahatan, yaitu korban, pelaku dan masyarakat, harus diberi kesempatan untuk secara aktif
terlibat dalam upaya penyelesaian konflik tersebut.

3. Cornier

Cornier, memberikan pengertian keadilan restoratif sebagai suatu pendekatan untuk


menegakkan keadilan yang difokuskan pada perbaikan atau pemulihan penderitaan yang
ditimbulkan oleh kejahatan. Cornier juga mengatakan bahwa dalam keadilan restoratif ini
mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban pelaku dilakukan dengan memberikan
kesempatan kepada para pihak yaitu korban, pelaku dan masyarakat untuk mengidentifikasi
dan menentukan kepentingan mereka yang terkait dengan akibat kejahatan, mengupayakan
penyelesaian yang bertujuan menyembuhkan, perbaikan dan re-integrasi, serta pencegahan
penderitaan di masa datang.

7
Dari pendapat-pendapat tersebut di atas tampak bahwa dalam keadilan restoratif,
pelaku, korban, dan masyarakat dianggap sebagai pihak-pihak yang berkepentingan dalam
penyelesaian tindak pidana, di samping negara sendiri. Keterlibatan pihak-pihak tersebut,
khususnya pelaku, korban, dan masyarakat dalam penyelesaian tindak pidana dianggap bernilai
tinggi. Selain itu, cara pandang keadilan restoratif menuntut usaha kerja sama masyarakat dan
pemerintah untuk menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan korban dan pelaku dapat
melakukan rekonsiliasi konflik dan menyelesaikan kerugian mereka dan sekaligus menciptakan
rasa aman dalam masyarakat. Meskipun demikian, keterlibatan korban dalam proses
pemidanaan perlu diatur secara hati-hati supaya tidak menimbulkan viktimisasi sekunder yang
akan menambah berat penderitaan korban setelah yang bersangkutan mengalami penderitaan
akibat tindak pidana.

Tindak pidana menurut kaca mata keadilan restoratif, adalah suatu pelanggaran
terhadap manusia dan relasi antar manusia. Keadilan restoratif, dapat dilaksanakan melalui:

1. Mediasi korban dengan pelanggar

2. Musyawarah kelompok keluarga

3. Pelayanan di masyarakat yang bersifat pemulihan baik bagi korban maupun pelaku.

Secara lebih rinci Muladi menyatakan bahwa model keadlilan restoratif mempunyai
beberapa karakteristik yaitu :

1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai
konflik

2. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa
depan

3. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi

4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan
utama

5. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil

6. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial

7. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif

8. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian
hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab
8
9. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap
perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik

10. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis

11. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.

Keadilan restoratif menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang
langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara
pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki
kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai
sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat
komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan
pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli proses peradilan sekarang ini.
Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah
untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik
mereka dan memperbaiki luka-luka mereka.

Keadilan restoratif mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling terkenal


pengaruh korban, pelaku dan kepentingan komunitas mereka, dan memberikan keutamaan
pada kepentingan-kepentingan mereka. Restorative justice juga menekankan pada hak asasi
manusia dan kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara
yang sederhana untuk mengembalikan mereka daripada secara sederhana memberikan pelaku
keadilan formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan apapun. Kemudian
restorative justice juga mengupayakan untuk merestore keamanan korban, penghormatan
pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.

C. IMPLEMENTASI KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PIDANA

Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi
terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi
pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan

9
atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan
mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya,
melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan
lainnya. Misalnya apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban, dan sang korban
telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan
penegak hukum untuk terus meneruskan perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya
berujung pada pemidanaan sang pelaku pidana. Proses formal pidana yang makan waktu lama
serta tidak memberikan kepastian bagi pelaku maupun korban tentu tidak serta merta
memenuhi maupun memulihkan hubungan antara korban dan pelaku, konsep restorative justice
menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam
penyelesaian masalahnya.

Proses pidana konvensional hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi dalam
tingkat persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan, tugas penuntutan
tetap diberikan terhadap Jaksa yang hanya menerima berkas-berkas penyidikan untuk
selanjutnya diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti kondisi
permasalahan tersebut secara riil, dan sang pelaku berada di kursi pesakitan siap untuk
menerima pidana yang akan dijatuhkan kepadanya. Sedangkan proses restorative justice pada
dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijaksanaan) dan diversi ini, merupakan upaya
pengalihan dari proses peradilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara
musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi bangsa
Indonesia. Sebelum pendudukan Belanda, bangsa kita sudah memiliki hukum sendiri, yaitu
hukum adat. Hukum adat tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dengan perkara
perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk
mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan atau kita kenal dengan istilah
“penyelesaian di luar pengadilan”.

Istilah “penyelesaian di luar pengadilan” umumnya dikenal sebagai kebijakan yang


dilakukan oleh aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk melakukan beberapa
hal sebagai berikut: sebagai penentu keluaran akhir dari suatu kasus sengketa, konflik,
pertikaian atau pelanggaran, namun juga memiliki wewenang melakukan diskresi atau
pengenyampingan perkara pidana yang dilakukan oleh pihak tertentu, dilanjutkan dengan
permintaan kepada pelaku agar mengakomodasi kerugian korban. Istilah umum yang populer
adalah dilakukannya “perdamaian” dalam perkara pelanggaran hukum pidana. Keuntungan
dari penggunaan “penyelesaian di luar pengadilan” dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana
10
adalah bahwa pilihan penyelesaian pada umumnya diserahkan kepada pihak pelaku dan
korban. Keuntungan lain yang juga amat menonjol adalah biaya yang murah.

Sebagai suatu bentuk pengganti sanksi, pihak pelaku dapat menawarkan kompensasi
yang dirundingkan atau disepakati dengan pihak korban. Dengan demikian, keadilan menjadi
buah dari kesepakatan bersama antar para pihak sendiri, yaitu pihak korban dan pelaku, bukan
berdasarkan kalkulasi jaksa dan putusan hakim. Sebelumnya perlu dikemukakan beberapa
alasan bagi dilakukannya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan pidana sebagai
berikut :

1. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan, baik aduan yang
bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif.

2. Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai ancaman pidana dan
pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP).

3. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran, bukan kejahatan, yang
hanya diancam dengan pidana denda.

4. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di bidang hukum administrasi
yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium.

5. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan atau serba ringan dan aparat
penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan diskresi.

6. Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses ke pengadilan
(deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang hukum yang dimilikinya.

7. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran hukum pidana adat
yang diselesaikan melalui lembaga adat.

Sedangkan kelemahan dari penggunaan “penyelesaian di luar pengadilan”, dapat


menjadi sumber penyalahgunaan wewenang dari para penegak hukum, khususnya apabila
diskresi dibelokkan menjadi ”komoditi”. Ketidakmauan menghukum juga dapat dipersepsi
sebagai melunaknya hukum dimata para pelaku kejahatan atau pelanggar aturan.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai prospek keadilan restorative baiknya kita
melihat terlebih dahulu penerapan keadilan restoratif di beberapa negara. Hal bertujuan untuk
mengetahui gambaran sedikit contoh dari banyak negara lain yang mencoba menerapkan
pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan perkara pidana. Trend yang berkembang

11
menunjukan bahwa keadilan restoratif ini hanya terbatas pada tindak pidana tertentu saja dan
yang paling banyak diterapkan adalah pada kasus-kasus tindak pidana yang dilakukan oleh
anak-anak dan remaja seperti di New Zealand, Inggris dan Wales, Philipina dan Canada.
Pandangan ini dapat menjadi berbeda jika melihat kepada kasus di Afrika Selatan pasca
aparheid. Pemerintah Afrika Selatan justru mempergunakan pendekatan restorative justice
dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan yang pernah dilakukan oleh rezim Aparheid.

Keadilan restoratif telah diterjemahkan dalam berbagai variasi rumusan dengan


berbagai variasi nilai atau dasar filosofis, syarat, strategi, mekanisme, program, dan bahkan
jenis maupun tindak pidana dan terhadap siapa saja pihak yang dapat terlibat didalamnya.
Didalam beberapa regulasi bahkan mekanisme ini diterjemahkan secara rinci. Namun yang
menarik dari berbagai regulasi tersebut adalah bahwa :

1. Terdapat beberapa negara yaitu Australia, Canada, Finlandia, Ghana, Bulgaria, atau Belgia,
yang menerjemahkannya sebagai suatu konsep mediasi dimana dibuka peluang
penyelesaian perkara pidana diluar sistem peradilan sementara

2. Terdapat beberapa negara yaitu Inggris, Selandia Baru, atau Afrika Selatan, yang
memasukkan konsep ini sebagai bagian dari sistem pemidanaan.

Dari kedua hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa keadilan restoratif, dalam
pandangan pihak-pihak penyusun regulasi tersebut telah diterjemahkan sebagai mekanisme
penanganan perkara pidana diluar sistem peradilan pidana maupun sebagai filosofis
pemidanaan baru yang melahirkan bentuk-bentuk sanksi pidana yang sifatnya berbeda dari
jenis pidana konvensional yang dikenal selama ini.

Di Indonesia pendekatan keadilan restoratif meyangkut 2 pelaku utama penegak hukum


yang ada, yaitu :

1. Lembaga Musyawarah atau Lembaga Adat

Masyarakat Indonesia menganggap fungsionalisasi lembaga musyawarah sebagai bagian


dari mekanisme yang dipilih untuk menyelesaian perkara pidana. Musyawarah baik yang
diselenggarakan oleh pelaku dan korban sendiri, atau dengan melibatkan institusi
kepolisian atau kejaksaan, atau dengan melalui lembaga adat memperlihatkan pola pikir
12
masyarakat dalam melihat suatu permasalahan yang muncul. Penyelesaian masalah
termasuk didalamnya adalah tindak pidana melalui musyawarah merupakan pola pikir yang
terangkum dalam keadilan restorative sebagaimana didefiniskan diatas. Karenanya tanpa
mengabaikan mekanisme yang bekerja dalam sistem hukum formal, mekanisme
penyelesaian melalui lembaga musyawarah pun bekerja dalam masyarakat.

Dalam berbagai asas dan model pendekatan keadilan restorative, proses dialog antara
pelaku dan korban merupakan moral dasar dan bagian terpenting dari penerapan keadilan
ini. Dialog langsung antara pelaku dan korban menjadikan korban dapat mengungkapkan
apa yang dirasakannya, mengemukakan harapan akan terpenuhinya hak-hak dan keinginan-
keinginan dari suatu penyelesaian perkara pidana. Melalui proses dialog juga pelaku
diharapkan tergugah hatinya untuk mengoreksi diri, menyadari kesalahannya dan menerima
tanggungjawab sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukan dengan penuh
kesadaran. Dari proses dialog ini pula masyarakat dapat turut serta berpartisipasi dalam
mewujudkan hasil kesepakatan dan memantau pelaksanaannya. Dari nilai dasar inilah
keadilan restorative sebagai implementasi dari niali dasar yang ada dalam masyarakat
Indonesia memiliki fondasi nilai yang kuat. Sayangnya penyelesaian model ini belum
memiliki justifikasi perundang-undangan yang jelas.

2. Lembaga Hukum Formal atau Lembaga Penegak Hukum

Polisi melalui diskresi yang dimilikinya, Jaksa melalui opportunitas-nya serta hakim
melalui kebebasannya. Dalam praktiknya pun sebenarnya di tingkat penyidikan kepolisian
sering terbentur dengan tata acara pidana formil apabila hendak mengesampingkan sebuah
perkara pidana, diskresi yang dimiliki oleh polisi tidak melingkupi kewenangannya untuk
menilai sebuah perkara untuk terus dilanjutkan atau dihentikan, takarannya hanya terbatas
pada bukti tindak pidana yang cukup.

Terkait dengan Kepolisian, sebagai elemen awal dalam sistem peradilan pidana Indonesia,
maka dapat disebutkan bahwa dalam Naskah Akademis mengenai Court Dispute
Resolution dari Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2003, dalam salah satu
kesimpulan terakhirnya antara lain disebutkan bahwa mediasi sebagai salah satu bentuk,
seyogyanya bersifat wajib untuk perkara kecil baik perdata maupun pidana. Itulah yang
menjadikan penanganan masalah secara alternatif ini relevan untuk dikaitkan dengan
proses penegakan hukum Polri, khususnya menyangkut perkara pidana yang ringan.
Beranjak dari pemikiran tentang keunggulan dan kelemahan dari penyelesaian perkara

13
pidana diluar system yang tidak diakui oleh hokum formal yang berlaku, restorative justice
telah menjadi suatu kebutuhan daam masyarakat. Hal ini erat kaitannya dengan prinsip dan
tujuan pemidanaan dari peradilan adat yang berbeda dengan sistem formal yang ada
sehingga dampak dari putusan yang dihasilkan pun akan sangat berbeda.

Melihat permasalahan yang dihadapi oleh kedua lembaga penegak hukum baik formal
dan non formal pendekatan keadilan restorative menghadapi hambatan. Menurut mantan Ketua
Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL bahwa hambatan dalam melaksanakan
perdamaian antara korban dan pelaku seringkali bersumber pada sikap penegak hukum yang
sangat formalistik dengan mengatakan proses hukum akan tetap berjalan walaupun telah terjadi
perdamaian, sifat melawan hukum tidak akan hapus karena perdamaian.

D. CONTOH KASUS PENERAPAN PENDEKATAN RESTORATIF YANG SUDAH


DILAKUKAN PADA SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

1) Pada tanggal 19 Maret 2007, terjadi kecelakaan lalu lintas di daerah Jakarta Pusat oleh
seorang sopir angkutan umum yang menewaskan 2 (dua) orang korban. Seminggu kemudian
perkara ini diselesaikan dengan cara damai di mana pelaku menyantuni keluarga korban
dengan sejumlah uang sebagai modal dagang bagi istri korban. Alasan polisi melakukan ini
semata-mata melihat bahwa tindak pidana ini merupakan kelalaian yang ancaman pidananya di
bawah 5 (lima) tahun dan kondisi ekonomi baik pelaku maupun korban yang tidak
menguntungkan. Atas pertimbangan bahwa penyelesaian melalui proses peradilan pidana akan
lebih menyengsarakan kedua belah pihak dan dengan pertimbangan bahwa keluarga korban
pun telah memaafkan pelaku, maka upaya damai tersebut ditempuh.

2) Dalam hal pelanggaran lalu lintas misalnya, kurang lebih 2 ribu lembar perbulan
dikeluarkan surat tilang atas pelanggaran lalu lintas di jalan raya oleh Polda Metro Jaya. Dari
1076 perkara lalulintas yang masuk ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 2004 dan
3.904 Di tahun 2006, seluruhnya dipidana denda. Demikian pula di Pengadilan Negeri Bitung
di mana 13.265 perkara pelanggaran lalulintas yang masuk semuanya diputus dengan pidana
denda. Oleh karena itu terlihat bahwa masyarakat memperhitungkan pengeluaran atau biaya
yang akan dikeluarkan dalam penyelesaian suatu perkara yang dihadapi. Dibandingkan
menghadapi birokrasi yang panjang dan hasilnya akan sama saja, maka penyelesaian langsung
melalui polisi menjadi pilihan utama.
14
3) Penerapan Restorative Justice Terhadap Anak Sebagai Pelaku Kejahatan di Wilayah Hukum
Polresta Samarinda. Berdasarkan data statistik kriminal di Satuan Reserse Kriminal Polresta
Samarinda jumlah tindak pidana yang terjadi selama tahun 2011 sebanyak 3.188 kasus (crime
total) dan tindak pidana yang diselesaikan (crime clearance) adalah sebanyak 2.014, dengan
clearance rate adalah 63,18%. Dari 3.188 kasus yang ditangani oleh Satuan Reserse Kriminal
Polresta Samarinda, 563 kasus adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan jumlah
penyelesaian kasus sebanyak 423 (clearance rate 75,13 %). Sedangkan pada tahun 2012 jumlah
tindak pidana yang terjadi sebanyak 2.659 kejadian dan tindak pidana yang diselesaikan (crime
clearance) adalah sebanyak 1.391, dengan clearance rate adalah 52,31%. Dari 2.659 kasus yang
ditangani oleh Satuan Reserse Kriminal Polresta Samarinda, 364 kasus adalah tindak pidana
yang dilakukan oleh anak dengan jumlah penyelesaian kasus sebanyak 261 kasus (cleareance
rate 71,7 %). Berdasarkan data statistik kriminal di atas, terlihat bahwa jumlah perkara pidana
yang dilakukan oleh anak yang ditangani oleh Satuan Reserse Kriminal Polresta Samarinda
cukup tinggi dengan rata-rata 20% dari seluruh jumlah kasus yang ditangani, dalam
penyelesainnya pun cukup tinggi dengan rata-rata penyelesaian sebesar 73%. Dalam proses
penyelesaian kasus, baik pelaku maupun korban cenderung memilih penerapan konsep
restorative justice dengan jalan kesepakatan untuk berdamai dari pada harus melalui jalur
pengadilan.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Berikut ini adalah proses dalam model penyelenggaraan restorative justice seperti :

15
a) Mediasi antara pelaku dan korban yaitu suatu forum yang mendorong adanya
pertemuan antara pelaku dan korban yang dibantu oleh mediator sebagai coordinator
dan fasilitator dalam pertemuan tersebut.

b) Conferencing yaitu pelibatan penyelesaian bukan hanya melibatkan pelaku dan korban
langsung (primary victim), tetapi juga korban tidak langsung (secondary victim),
seperti keluarga atau kawan dekat korban serta keluarga dan kawan dekat pelaku.
Adapun alasan pelibatan para pihak tersebut adalah karena mereka mungkin terkena
dampak baik langsung ataupun tidak langsung atas tindak pidana yang terjadi atau
mereka memiliki keperdulian yang tinggi dan kepentingan akan hasil dari musyawarah
serta mereka juga dapat berpartisipasi dalam mengupayakan keberhasilan proses dan
tujuan akhirnya.

c) Circles, suatu model penerapan restorative justice yang pelibatannya paling luas
dibandingkan dengan dua bentuk sebelumnya, yaitu forum yang bukan hanya korban,
pelaku, keluarga atau mediator saja tapi juga anggota masyarakat yang merasa
berkepentingan dengan perkara tersebut.

Ketiga model dasar dari bentuk penerapan pendekatan restoratif justice tersebut pada
dasarnya merupakan bentuk-bentuk yang menjadi variasi dari model dialog yang
merupakan pelaksanaan dari bentuk musyawarah dan mufakat.

2. Pendekatan restorative sebenarnya penjabaran dari ide kesimbangan yang ada di RUU
KHUP yang masih memiliki kekurangan, khususnya dalam perkara besar apakah
dimungkin keadilan restorative tersebut Maka perlu penyembpuraan agar pendakatan ini
dapat diterima oleh seluruh pemaku kepentingan hukum yang ada di Indonesia

3. Penegak hukum khususnya polisi harus bekerja sama dengan lembaga adat atau polisi adat
yang mempunyai hak menjatuhkan hukuman pidana beruapa ganti rugi atau aturan hukum
yang ada, Jika pendekatan keadilan restorative ini jadi diterapkan.

4. Basic PrincipleThe Use Of Restoratif Justice mengamanatkan bahwa pendekatan ini dapat
diterapkan dalam bingkai sistem hukum suatu negara. Hal ini menandakan bahwa bila di
Indonesia pendekatan ini akan dipakai sebagai bagian dari mekanisme penyelesaian
perkara pidana, maka sistem peradilan pidana yang ada harus disesuaikan hingga bisa
menjangkau dan mewadahi mekanisme penyelesaan perkara pidana melalui pendekatan ini.

16
5. Jika pendekatan restorative diimplemantasikan maka sesuai dengan ide kesimbangan yang
ada di RUU KUHP, oleh karena itu perlu didorong pendekatan penanganan tindak pidana
yang lebih humanis, lebih menekankan dan mendahulukan pendekatan restorative justice
dibandingkan pertimbangan legalistik yang formil.

17
Daftar Pustaka

Ali. 2009. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Jakarta: Prenada Media Group.

Bambang Kesowo. 1995. Pengantar Umum Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Indonesia.
Yogyakarta : Fakultas Hukum Gadjah Mada

Barda Nawawi Arief III, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,
PT.Citra Aditya Bakti,Bandung.

Barda Nawawi Arief, 2008. Restoratif Justice: Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan, Pustaka Magister
Semarang

Dewi dkk., 2011. Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak di Indonesia. Depok: Indie
Publishing.

Eko Soponyono. 2012. Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada Korban. Semarang.:
Publikasi MMH, Jilid 41 No. 1 Januari 2012

Eva Achjani Zulfa. 2010 Keadilan Restoratif Dan Revitalisasi Lembaga Adat Di Indonesia. Publikasi : Jurnal
Kriminologi Indonesia Vol. 6 No.II Agustus 2010

G. Widiartana. 2011. Ide Keadilan Restoratif Pada Kebijakan Penanggulangan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Dengan Hukum Pidana. Publikasi : Ringakasan Disertasi Universitas Diponegoro. Semarang

I made,dkk,.. 2011. Kebijakan Formulasi Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Publikasi :
Bali, Universitas Udayana

Muladi. 2012. Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana. Publikasi : Jurnal : Seminar Nasional Hari
Ulang Tahun Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) Ke-59. Jakarta

Nugraheni. 2009. Sistem Pemidanaan Edukatif Terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana. Semarang: Undip.

Sri Rahmi, 2013.Makalah. Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Kota
Makassar (Suatu Pembaruan Hukum Acara Pidana Anak). Makassar: Universitas Hassanudin

Sukanegara. 2007. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan dalam Pembaruan Sistem emidanaan di Indonesia.
Semarang: Universitas diponegoro.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana 2004

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana 2008

18

Anda mungkin juga menyukai