Anda di halaman 1dari 11

Inisiasi 8

HUKUM DIPLOMATIK & KONSULER


Inisiasi ke 8 dirangkum dari modul 8 Hukum Internasional dan sumber lainnya.

I. PENDAHULUAN
Dasar dari diplomasi adalah komunikasi1 yang berisi tentang pemikiran dan berbagai
ide antar pemerintahan negara-negara di dunia. Hubungan komunikasi tersebut terus
mengalami peningkatan baik mutu maupun kuantitasnya, sehingga perlu dibuat aturan
yang lebih rinci tentang peran perwakilan-perwakilan negara tersebut. Salah satu
upaya negara-negara adalah menjadikan perwakilan tersebut sebagai suatu lembaga
yang permanen dan resmi. Pemikiran tersebut ditangkap oleh Lembaga Bangsa-
Bangsa dan Persatuan Bangsa-bangsa sehingga ditetapkanlah berbagai konvensi yang
mengatur tentang diplomatik dan konsuler.

II. SEJARAH SINGKAT HUKUM DIPLOMATIK


Hubungan diplomatik & konsuler terbukti telah dilaksanakan oleh masyarakat di
dunia sejak jaman Mesir kuno, India kuno dan China kuno. Pada tahun 1179 Sebelum
Masehi antara Ramses II (Mesir) dan Hattusili II (Kerajaan Kheta di Asia Kecil) telah
membuat perjanjian perdamaian. Demikian juga Raja Iskandar Agung menjalin
hubungan diplomatik dengan kerjaan Maurya di India.2
Pada jaman Romawi hubungan diplomatik telah dilakukan juga dengan negara-negara
tetangganya melalui perjanjian dan dengan prinsip tidak diganggugugatnya harta
perwakilan asing.
Pada jaman raja-raja Yahudi hubungan diplomatik juga sudah dipraktikkan, namun
hanya dengan negara-negara berdasarkan pilihan mereka. Dalam melakukan
hubungan diplomatiknya bangsa Yahudi memberikan penghormatan terhadap para
duta besar asing yang berada di negaranya.3

1
R.G. Feltham, Diplomatic Handbook, Third Edition, London New York: Longman, 1980, hal. 1.
2
Widodo, Hukum Diplomatik dan Konsuler Pada Era Globalisasi, Surabaya: Laksbang Justitia, 2009, hal. 19.
3
Modul 8, hal. 8.5.

Ruth Hanna Simatupang Page 1


Hubungan diplomatik berkembang lagi pada era perjanjian Westphalia (1648) dimana
negara-negara mulai mengirimkan perwakilannya secara permanen dan diterima oleh
negara-negara lain karena hubungan mereka semakin intens.4
Perkembangan selanjutnya adalah pada era 40-an dimana peran perwakilan negara
memainkan peran penting menjelang Perang Dunia I dan II. Para wakil negara
tersebut dianggap sebagai pelaksana diplomasi yang akan dijalankan bersama untuk
saling melindungi diantara mereka.5
Setelah bekerja selama 30 tahun, akhirnya PBB mengesahkan Konvensi Wina 1961
sebagai hukum yang mengatur tentang hubungan diplomatik yang terdiri dari 52 pasal
dan 2 protokol pilihan. Kemudian pada tahun 1963 mengesahkan lagi Konvensi Wina
1963 tentang hubungan konsuler.
Pada tanggal 8 Desember 1969 Majelis Umum PBB menyetujui Resolusi 2530
(XXIV) mengeluarkan konvensi tentang misi khusus. Pada tanggal 2 Februari 1977,
Majelis Umum PBB memberlakukan Resolusi 3166 (XXVII) konvensi tentang
Pencegahan dan penghukuman terhadap orang-orang yang menurut hukum
internasional dilindungi termasuk Diplomat.

III. SUMBER HUKUM DIPLOMATIK


Dalam hukum internasional sumber hukum diplomatic juga didasarkan pada 3 hal
berikut:6
a. Sumber hukum formil;
b. Sumber hukum materil:
Dalam hal ini perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat diantara negara-
negara merupakan sumber hukum diplomatik, yaitu:
1. The final Act of the Congress of Vienna (1815) on Diplomatic Ranks;
2. Convention on the Privileges and Immunities of the United Nations 1946;
3. Convention on the Privileges and Immunities of the Specialized Agencies
(1947);

4
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung: Alumni,
2011, hal. 511.
5
Loc.cit., Widodo, hal. 20.
6
Modul 8, hal. 8.10.

Ruth Hanna Simatupang Page 2


4. Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocol (1961)
yang mengatur tentang:
 Vienna Convention of Diplomatic Relations;
 Optional Protocol Concerning Acquisition Nationality;
 Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement.
5. Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocol (1963), di
dalamnya tentang:
 Vienna Convention on Consular Relations;
 Optional Protocol Concerning Acquisition Nationality;
 Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes.
6. Convention of Special Mission and Optional Protocol (1969) yang memuat:
 Convention of Special Missions;
 Optional Protocol Concerning The Compulsory Settlement of
Disputes.
7. Convention of the Prevention and Punishment of Crimes Against
Internationality Protected Persons Including Agents (1973);
8. Vienna Convention ofn the Representation of States in Their Relations with
International Organizations of a Universal Character (1975).
c. Sumber hukum dalam arti yang lain:7
 Resolusi Majelis Umum PBB 3166 (XXVIII) tentang Konvensi Mengenai
Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan-kejahatan terhadap rang-orang
yang secara internasional dilindungi;
 Resolusi Majelis Umum PBB 169 (II) 1947 tentang Persetujuan antara
PBB dengan Amerika Serikat yang ditandatangani oleh Trygve Lie
(Sekjen PBB) dengan George C. Marshal (Menlu AS) tanggal 26 Juni
1947 tentang Letak Markas Besar PBB di New York.

IV. PENGERTIAN

7
Loc.cit., Widodo, hal. 36.

Ruth Hanna Simatupang Page 3


Hukum diplomatik merupakan bagian dari hukum internasional oleh karena itu
kedudukannya juga melintasi batas yurisdiksi nasional. Dalam hal ini hukum
diplomatik merupakan bagian dari hukum internasional yaitu khusus mengatur
hubungan diplomatik, hubungan konsuler dan keterwakilan negara dalam organisasi
internasional.8
Menurut Osmanczyk9, hukum diplomatik merupakan cabang dari hukum kebiasaan
internasional yang terdiri dari seperangkat kaidan dan norma hukum yang
menetapkan kedudukan dan fungsi para diplomat termasuk berbagai aturan tentang
bentuk-bentuk organisasi dan dinas kediplomatikan.

V. ASAS/PRINSIP HUKUM DIPLOMATIK


1. Prinsip Resiprositas
Pada prinsipnya pembukaan perwakilan diplomatik akan dilaksanakan
berdasarkan suatu asas resiprositas (timbal balik). Berlakunya asas resiprositas
tercermin dalam hal berlakunya ‘right of legation’ (hak legasi), bahwa setiap
Negara yang merdeka dan berdaulat diakui mempunyai hak untuk mengirim
para utusannya untuk mewakili kepentingannya di Negara lain, dan sebaliknya
berkewajiban menerima utusan-utusan Negara lain. Pemberian kekebalan dan
keistimewaan kepada para diplomat, keluarganya, kepada kantor perwakilan
oleh negara penerima juga bersifat resiprositas, karena negara penerima ini juga
meminta diplomatnya di negara lain diberikan hak-hak kekebalan dan
keistimewaan diplomatik yang sama, yang dijamin dalam Konvensi Wina 1961
tentang Hubungan Diplomatik.
2. Prinsip Mutual Consent
Untuk membuka hubungan diplomatik antarnegara diperlukan kesepakatan di
antara mereka (mutual consent). Antarnegara yang berdaulat, pada umumnya
akan mempunyai kepentingan yang meningkat, seperti di bidang pembangunan,
investasi, melihat jumlah mahasiswa/warga negara yang banyak, merupakan
alasan-alasan untuk membina hubungan diplomatik dan membuka perwakilan
diplomatik. Kesepakatan bersama dipersyaratkan dalam pembukaan hubungan
8
Ibid., Widodo, hal. 11.
9
Ibid., hal. 11.

Ruth Hanna Simatupang Page 4


diplomatik dan kemudian pembukaan perwakilan tetap. Prinsip kesepakatan
bersama (mutual consent) dinyatakan dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1961
tentang Hubungan Diplomatik, bahwa “The establishment of diplomatic
relations between States, and of permanent diplomatic missions, takes place by
mutual consent.” Setelah ada kesepakatan bersama antara negara pengirim dan
negara penerima, maka di antara kedua negara tersebut bisa membuka
perwakilan diplomatik; bisa dirangkap oleh negara lain; dan bisa membuka
perwakilan konsuler. Pembukaan perwakilan diplomatik biasanya telah diawali
dengan adanya saling pengakuan (recognition) di antara negara penerima dan
negara pengirim. Kesepakatan bersama ini harus diumumkan pada tempat dan
tanggal kesepakatan dan harus ada pernyataan bersama yang disebut ”joint
communique”. Tingkatan kepala perwakilan bisa disetujui, apakah akan
membuka tingkatan yang paling tinggi yang dikepalai oleh Duta Besar Luar
Biasa dan Berkuasa Penuh (Ambassador Extraordinary and Plenipotentiary)
atau membuka tingkat yang lebih rendah yang dikepalai oleh Kuasa Usaha
Tetap (Charge d’affairs en pied).10
3. Extrateritorial
Prinsip extrateritorial mempunyai makna bahwa gedung perwakilan diplomatik
adalah berada di luar negara penerima dan mencerminkan semacam perluasan
wilayahnya (Negara pengirim) di negara penerima. Berlakunya prinsip
extrateritorial tersebut adalah dalam rangka memberikan dasar hukum bagi
kekebalan dan keistimewaan diplomatik.
Berdasarkan prinsip extraterritorial atau exterritoriality mencerminkan
kenyataan bahwa para diplomat hampir dalam segala hal harus diperlakukan
sebagaimana mereka tidak berada di wilayah Negara penerima, tetapi di Negara
pengirim, meskipun kenyataannya mereka berada di wilayah Negara penerima,
dan tidak dapat dikuasai oleh hukum dan peraturan di Negara penerima.
Seorang diplomat menurut prinsip ini hanya dikuasai oleh hukum Negara
pengirim.

10
Sumaryo Suryokusumo, Materi Kuliah: Perkuliahan Hukum Diplomatik, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Pancasila, 2006.

Ruth Hanna Simatupang Page 5


Selain terhadap para diplomat, terhadap gedung perwakilan diplomatik, tempat
kediaman para pejabat diplomatik, kediaman kepala perwakilan diplomatik juga
berlaku prinsip extrateritorial ini, artinya bahwa gedung perwakilan diplomatik,
tempat kediaman para pejabat diplomatik tidak dapat diganggu gugat oleh para
pejabat dari negara penerima.11 Demikian juga terhadap arsip dan semua
dokumen perwakilan.
4. Prinsip Free Appointment
Prinsip ‘free appointment’ atau asas penunjukan bebas diterapkan dalam
penunjukan anggota staf diplomatik. Negara pengirim dapat secara bebas
menunjuk anggota staf diplomatiknya.12 Artinya bahwa anggota staf diplomatik
yang akan diakreditasikan di negara lain, tidak perlu memperoleh agreement
dari negara penerima. Untuk penunjukan calon Duta Besar tidak diberlakukan
asas penunjukan bebas (free appointment), karena berdasarkan ketentuan Pasal
4 (1) Konvensi Wina 1961, harus memperoleh agreement atau agreation dari
negara penerima.
5. Prinsip Inviolability
Prinsip inviolability atau tidak diganggu-gugat dinyatakan pada Pasal 29
Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik, bahwa para diplomat
tidak dapat diganggu-gugat (inviolable). Para diplomat tidak dapat ditahan atau
ditangkap. Negara penerima harus memperlakukan para diplomat dengan
hormat dan harus mengambil setiap langkah yang tepat untuk mencegah setiap
serangan terhadap para diplomat, kebebasannya atau martabatnya. Berdasarkan
Pasal 30 Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik, tempat tinggal
para diplomat, surat-surat, korespondensi dan hartanya juga tidak dapat
diganggu-gugat.

6. Prinsip Free Movement


Negara penerima menjamin adanya kebebasan bergerak dan melakukan
perjalanan bagi anggota perwakilan di dalam wilayah negara penerima, kecuali

11
Konvensi Wina 1961. Art. 22 : The premises of the mission shall be inviolable. The agents of the receiving State
may not enter them, except with the consent of the head of the mission.
12
Ibid. Pasal 7.

Ruth Hanna Simatupang Page 6


untuk kepentingan keamanan. Kebebasan bergerak bagi para anggota
perwakilan diplomatik di wilayah negara penerima merupakan salah satu hal
penting agar dapat melaksanakan tugas-tugasnya secara efektif.
7. Prinsip Free Communication
Negara penerima memberikan kemudahan yaitu memberi izin dan memberi
perlindungan kebebasan berkomunikasi bagi perwakilan untuk tujuan kedinasan
resmi. Para wakil diberi kebebasan berkomunikasi dengan pemerintahnya,
dengan anggota perwakilan lainnya dan dengan konsulat dari negaranya.
Perwakilan diplomatik dapat mempergunakan semua cara yang layak, termasuk
kurir diplomatik, pemasangan radio transmiter dengan izin negara penerima.
Semua korespondensi yang terkait dengan pelaksanaan fungsi diplomatik
dinyatakan tidak dapat diganggu-gugat.
8. Prinsip Reasonable and Normal
Jika suatu negara telah menyetujui pembukaan hubungan diplomatik dengan
negara lain berdasarkan asas timbal balik (principle of reciprocity) dan prinsip
kesepakatan bersama (principle of mutual consent), negara-negara tersebut
harus memikirkan masalah pembukaan perwakilan diplomatik. Bilamana tidak
ada kesepakatan mengenai jumlah anggota staf perwakilan yang akan
diakreditasikan di negara penerima, maka jumlah anggota staf perwakilan
tersebut harus didasarkan pada asas yang wajar dan pantas (principle of
reasonable and normal) dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang terjadi
di Negara Penerima dan volume pekerjaan dan kepentingan yang harus
dilindungi di negara penerima. Besarnya perwakilan, seperti jumlah anggota staf
perwakilan yang akan ditempatkan di negara penerima diserahkan kepada
negara pengirim untuk membatasinya. Negara penerima dalam batas-batas yang
pantas dan wajar serta atas dasar nondiskriminatif, dapat juga menolak untuk
menerima pejabat-pejabat dari kategori tertentu.13
Sebagai contoh, Suriname pada tahun 1983 meminta Cuba untuk menarik Duta
Besarnya dan mengurangi staf diplomatiknya. 14 Contoh lain, di Kedutaan Besar
Amerika Serikat di Jakarta mempunyai 224 diplomat, sedangkan Pemerintah
13
Ibid. Pasal 11.
14
Sen. Op.Cit., Hlm.40.

Ruth Hanna Simatupang Page 7


Republik Indonesia hanya mengirim 24 diplomatnya untuk diakreditasikan di
Amerika Serikat.15

VI. TUGAS PERWAKILAN DIPLOMATIK & KONSULER


Tugas seorang Duta Besar beserta para pejabat diplomatik adalah mewakili negara di
negara akreditasi dan sebagai penghubung antara pemerintahan kedua negara.
Dalam Pasal 3 Konvensi Wina 1961 tugas diplomat antara lain:
a. Mewakili negara pengirim di negara penerima;
b. Melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warganegaranya di
negara penerima dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh hukum internasional;
c. Melakukan perundingan dengan pemerintah negara penerima;
d. Memperoleh kepasian dengan semua cara yang sah tentang keadaan dan
perkembangan negara penerima dan melaporkannya kepada pemerintah negara
pengirim;
e. Meningkatkan hubungan persahabatan antara negara pengirim dan negara
penerima serta mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu
pengetahuan.
Sedangkan tugas-tugas Perwakilan Konsuler adalah:16
a. Melindungi kepentingan-kepentingan negara pengirim dan warganegara yang
berada di negara penerima;
b. Memajukan perkembangan hubungan niaga, ekonomi, kebudayaan dan ilmu
pengetahuan;
c. Mengamati dengan segala cara yang sah keadaan dan perkembangan di bidang
perdagangan, ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan;
d. Mengeluarkan paspor dan surat jalan kepada warganegara negara pengirim dan
memberikan visa kepada orang-orang yang bermaksud berkunjung ke negara
pengirim;
e. Menolong dan membantu warganegara pengirim baik perorangan maupun badan
usaha;
f. Bertindak sebagai notaris dan petugas pencatatan sipil;
15
Suryokusumo. Op.Cit.
16
Pasal 5, Konvensi Wina 1963.

Ruth Hanna Simatupang Page 8


g. Melindungi kepentingan warganegara negara pengirim;
h. Melindungi kepentingan anak-anak di bawah umur dan warga negara yang kurang
mampu melakukan tindakan hukum;
i. Tunduk pada praktik dan tata cara yang berlaku di negara penerima;
j. Meneruskan dokumen-dokumen pengadilan di luar pengadilan atau melaksanakan
surat-surat pertanyaan atau kuasa untuk mengambil keterangan dari pengadilan
negara pengirim;
k. Melaksanakan hak pengawasan dan pemeriksaan sesuai hukum dan peraturan
negara pengirim terhadap kapal laut berbendera negara pengirim, pesawat-
pesawat udara beserta awaknya;
l. Memberikan bantuan kepada kapal laut, pesawat udara seperti yang diatur di atas
tentang perjalanan kapal, memeriksa dan memberikan cap pada surat-surat kapal
tanpa merugikan instansi-instansi di negara penerima;
m. Melaksanakan fungsi-fungsi lain yang dipercayakan kepada suatu perwakilan
konsuler oleh negara pengirim yang tidak dilarang oleh hukum dan peraturan
negara penerima.

VII. HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN


Seluruh pejabat diplomatik dan misi-misi diplomatik yang berada di suatu negara
untuk mempermudah pelaksanaan tugas-tugas perwakilan tersebut. Hak-hak istimewa
dan kekebalan diplomatik tersebut adalah:17
1. Kekebalan pribadi (Pasal 29, Konvensi Wina 1961);
2. Kekebalan yurisdiksi;
3. Penanggalan kekebalan kepada pejabat diplomat (Pasal 32, Konvensi Wina 1961);
4. Pembebasan pajak (Pasal 34, Konvensi Wina 1961);
5. Hak-hak istimewa dan kekebalan terhadap anggota keluarga pejabat diplomatik
(Pasal 37, Konvensi Wina 1961);
6. Hak-hak istimewa dan kekebalan terhadap anggota perwakilan lain dan pembantu
rumah tangga (Pasal 37, Konvensi Wina 1961);
7. Perlindungan terhadap gedung-gedung perwakilan;

17
Supra., Mauna, hal. 547-568.

Ruth Hanna Simatupang Page 9


8. Kebebasan komunikasi (Pasal 27);
9. Kekebalan kediaman pejabat diplomatik (Pasal 30);
10. Keistimewaan terhadap kantong-kantong diplomatik (Pasal 27 ayat 3);
11. Kurir Diplomatik (Pasal 27 ayat 5).

DAFTAR PUSTAKA

1. Akehurst, Modern Introduction to International Law, London: Harper Collins Academic,


1997.

Ruth Hanna Simatupang Page 10


2. Feltham, R.G., Diplomatic Handbook, Third Edition, London New York: Longman,
1980.
3. Mauna, Boer, Hukum Internasional, Jakarta: Pusat Pendidikan dan Latihan Departemen
Luar Negeri, 1987.
4. Suryokusumo, Sumaryo, Hukum Diplomatik: Teori dan Kasus, Bandung:Alumni, 1995.
5. Widodo, Hukum Diplomatik dan Konsuler Pada Era Globalisasi, Surabaya: Laksbang
Justitia, 2009.

Ruth Hanna Simatupang Page 11

Anda mungkin juga menyukai