Anda di halaman 1dari 7

INISIASI 8

Penyelesaian Sengketa Secara Damai

Malcolm dalam bukunya memasukkan perundingan atau negosiasi (negotiation),


mediasi (mediation), penyelidikan (inquiry) dan konsiliasi (conciliation) sebagai cara-
cara penyelesaian sengketa melalui jalur diplomatik. Keempat cara penyelesaian
sengketa tersebut merupakan cara-cara penyelesaian sengketa dengan cara damai,
yang biasa dipergunakan, sesuai ketentuan hukum Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB.
Cara-cara penyelesaian dengan jalur diplomatik mencakup negosiasi (negotiation),
jasa-jasa baik (good offices), mediasi (mediation), penyelidikan (inquiry) dan konsiliasi
(conciliation).1
Dalam praktek negara-negara, metode penyelesaian sengketa yang sering
dipergunakan adalah metode penyelesaian sengketa dengan cara diplomatik, yang
memberi keleluasaan kepada negara-negara yang bersengketa untuk mengawasi
hasilnya.
A. Negosiasi (negotiation)
Negosiasi atau perundingan dengan cara diplomatik secara langsung, merupakan
cara paling sederhana dan banyak dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa antar
Negara, dibanding cara-cara penyelesaian sengketa lainnya. Negara dibebani
kewajiban untuk melakukan negosiasi sebagai salah satu kewajiban internasional guna
menyelesaikan sengketanya, sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (3) Piagam PBB, dan
sesuai kewajiban dalam Deklarasi mengenai Hubungan Bersahabat 1970 untuk memilih
“means as may be appropriate to the circumstances and the nature of the dispute .
Pasal 283 (1) Konvensi Hukum Laut 1982 juga memuat ketentuan, bahwa apabila
timbul suatu sengketa antara negara-negara peserta perihal interpretasi atau
penerapan Konvensi ini, maka para pihak dalam sengketa tersebut harus secepatnya
melakukan tukar menukar pendapat mengenai penyelesaian dengan perundingan atau
cara damai lainnya. Kewajiban untuk berunding kadang-kadang diatur dalam perjanjian.
Negosiasi atau perundingan dapat didefinisikan sebagai upaya untuk mempelajari
dan merujuki mengenai sikap yang dipersengketakan agar dapat mencapai suatu hasil
yang dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa. Apapun bentuk hasilnya yang
dicapai, walaupun sebenarnya lebih banyak diterima oleh satu pihak dibandingkan
dengan pihak lainnya, tujuan dari perundingan tersebut adalah mengenai bidang-bidang
yang menjadi kepentingan bersama dan yang bisa menjadi pertikaian. 2
Negosiasi pada intinya merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul di antara
dua pihak yang mempermasalahkan, untuk menjajaki kemungkinan untuk mencapai
suatu penyelesaian pertikaian secara damai. Perundingan merupakan proses di mana
usul-usul eksplisit disampaikan secara nyata dengan tujuan untuk mencapai
persetujuan mengenai suatu perubahan atau realisasi dari suatu kepentingan bersama
jika terdapat kepentingan yang dipersengketakan. Perundingan juga merupakan suatu
teknik diplomasi, bukan saja untuk menyelesaikan persengketaan secara damai tetapi
1
Akehurst. Modern Introduction to International Law. Seventh Revised Edition. London: Routledge. 1997. Hlm. 274.
2
F.C. Ikle. How Nations Negotiate. 1964 dalam Sumaryo Suryokusumo. Pengantar Hukum Internasional. Materi Kuliah.
Fakultas Hukum Universitas Pancasila. 2008. Hlm. 45.
juga untuk meningkatkan kepentingan nasional dengan tujuan agar dapat dicapai
kompromi dan penyesuaian melalui kontak secara pribadi dan langsung. 3
Prosedur untuk berunding atau bernegosiasi tidak ada, maka negosiasi dapat
dilakukan dengan bertemu muka dalam suatu pertemuan. Cara penyelesaian sengketa
melalui perundingan dapat dilakukan dengan cara diplomatik termasuk perundingan
(diplomatic negotiation) dan saluran diplomasi lainnya, konsultasi dan pertukaran
pandangan (exchange of views) di antara para pihak yang bersengketa. Apabila
sengketa itu melibatkan beberapa Negara, maka perundingan dapat ditempuh melalui
konferensi internasional sebagai proses negosiasi baik yang bersifat plurilateral atau
multilateral. Sedangkan jika beberapa Negara yang bersengketa itu merupakan
anggota suatu organisasi internasional, maka perundingan itu dapat dilakukan secara
kolektif (collective negotiations).4
Apabila para pihak yang bersengketa secara khusus setuju bahwa penyelesaian
melalui perundingan atau negosiasi akan mengikat secara hukum, maka kemudian
akan dituangkan di dalam suatu perjanjian internasional. Sebaliknya dapat juga terjadi,
bahwa persyaratan-persyaratan dalam perjanjian dituangkan dalam pertukaran nota
atau memorandum diplomatik (diplomatic memoranda) yang tidak mempunyai akibat
hukum. Disarankan bahwa sekali suatu Negara secara sukarela menggunakan
perundingan, maka perundingan harus dilakukan dengan itikad baik. Jika hal ini
merupakan aturan dalam hukum internasional, maka negara-negara diharuskan
berperilaku jujur serta masuk akal dan melakukan upaya-upaya (attempts) untuk
mencapai penyelesaian.5

B. Mediasi (Mediation)
Penyelesaian sengketa melalui mediasi akan melibatkan pihak ketiga. Mediasi
hanya akan dilakukan apabila para pihak dalam sengketa menghendakinya dan
mediator bersedia untuk menjalankan kapasitas sebagai mediator. Mediasi mirip
dengan konsiliasi. Dalam mediasi, mediator biasanya membuat usulan-usulan secara
informal dan berdasarkan informasi yang diberikan oleh para pihak yang bersengketa,
bukan diperoleh dari penyelidikan independen yang cenderung merupakan ciri cara
konsiliasi.
Mediator dapat dilakukan oleh organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-
Bangsa dan organisasi-organisasi regional. Organisasi nonpemerintahan seperti ICRC
dapat juga bertindak sebagai mediator. 6 Berhubung mediator itu menawarkan
kesempatan untuk terlibat dalam suatu sengketa dan untuk mempengaruhi hasilnya,
maka peran mediator mempunyai daya tarik terhadap Negara-negara, atau perorangan,
yang memiliki kualifikasi.
Jika cara penyelesaian yang melibatkan campur tangan pihak ketiga ini diterima,
tugas mediator adalah memikirkan atau mengusulkan suatu solusi yang dapat diterima
oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Mediator adalah seseorang, yang harus
disetujui oleh kedua belah pihak yang bersengketa, yang turut mengambil bagian dalam
perundingan. Tugas mediator adalah menyarankan persyaratan-persyaratan untuk
3
Ibid. Hlm. 45.
4
Ibid.
5
Martin Dixon. International Law. Blackstone Press Ltd. 1993. Hlm. 223-224.
6
Shaw. Op.Cit. Hlm. 533.
penyelesaian sengketa dan berupaya untuk melakukan kompromi antara dua pihak
yang bersengketa. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, banyak
menawarkan jasa-jasa baiknya di dalam sejumlah sengketa dan kemudian bertindak
sekaligus sebagai mediator ketika para pihak yang bersengketa mau bertemu. 7
Dalam praktek, sering sulit membedakan antara cara ’mediasi’ dan ’konsiliasi’, atau
mengatakan bahwa cara penyelesaian dengan ’jasa-jasa baik’ telah selesai dan mulai
dengan cara perundingan. Martin Dixon menyatakan bahwa meskipun dimungkinkan
membedakan antara ’mediasi’ dan ’jasa-jasa baik’ dari ’perundingan’ (negosiasi), di
dalam prakteknya ketiga cara penyelesaian sengketa tersebut merupakan bagian dari
satu proses penyelesaian. Seseorang yang menawarkan ’jasa-jasa baiknya’, biasanya
adalah pihak yang dipercaya netral oleh kedua belah pihak yang bersengketa, akan
berupaya membujuk pihak-pihak yang bersengketa untuk berunding. Contohnya adalah
Sekretaris Negara AS, Alexander Haig, di saat Inggris mengokupasi kembali Falkland
Island.
Mediasi sebenarnya merupakan kelanjutannya, dan sering kali mediatornya adalah
orang yang telah membawa para pihak yang bersengketa tersebut duduk bersama. 8
Akehurst menyatakan bahwa ikut campurnya pihak ketiga yang ingin membantu pihak-
pihak yang bersengketa, apakah negara, organisasi internasional atau perorangan,
dapat dalam dua cara penyelesaian, yaitu ’jasa-jasa baik’ dan ’mediasi’. Dalam mediasi,
peran mediator lebih aktif dan benar-benar ikut ambil bagian di dalam perundingan-
perundingan dan bahkan menyarankan syarat-syarat penyelesaian kepada pihak-pihak
yang bersengketa. Seorang mediator mendapatkan kepercayaan dari pihak-pihak yang
bersengketa, dan sering kali sulit untuk mendapatkan seorang mediator yang dapat
memenuhi persyaratan, seperti dalam sengketa antara Argentina dengan Chili, dalam
penerapan keputusan kasus Beagle Channel, kedua negara tersebut telah menerima
Kardinal Antonio Samore sebagai mediator, atas usulan Paus. 9
Contoh mediasi lain dilakukan oleh Sekretaris Negara AS di Timur Tengah pada
tahun 1973-74, mempunyai fungsi yang aktif dan vital untuk membujuk para pihak yang
bersengketa agar menerima usul-usul mediator. Mediator mempunyai tanggung jawab
mendamaikan tuntutan yang berbeda dan meningkatkan suasana ke arah perundingan.

C. Jasa-jasa Baik (Good Offices)


Penyelesaian sengketa dengan menggunakan jasa-jasa baik (good offices) akan
melibatkan campur tangan pihak ketiga. Seseorang yang menawarkan ’jasa-jasa baik’
biasanya merupakan pihak yang dipercaya netral bagi kedua belah pihak yang sedang
bersengketa yang akan berupaya membujuk para pihak yang bersengketa untuk mau
berunding. ’Jasa-jasa baik’ dapat diperoleh dari negara ketiga, dari organisasi
internasional, bahkan dari orang yang dikenal unggul (eminent individual). Pada tahun
1947, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan jasa-jasa baiknya
dalam sengketa antara Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia. 10

7
Dixon. Op.Cit. Hml. 224.
8
Ibid.
9
Akehurst. Op.Cit. Hlm. 276.
10
J.G. Starke. International Law. Eleventh edition. Butterworths. 1994. Hal. 466: ”The meanings of good offices and mediation
has not been strictly followed in the practice of the United Nations practice. The United Nations Good Offices Committee in
Indonesia appointed by the Security Council in 1947 had more extensive functions, than good offices as such, e.g. Reporting
Jasa-jasa baik pernah diberikan berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB 367
(1975) yang meminta Sekretaris Jenderal PBB untuk mengadakan misi jasa-jasa baik
untuk Cyprus. Dewan Keamanan dapat meminta Sekjen PBB untuk memberikan jasa-
jasa baiknya, seperti masalah perbatasan antara Yemen dan Federasi Arab Selatan
dalam tahun 1966.
Mekanisme pemberian jasa-jasa baik dilakukan oleh pihak ketiga sebatas
menawarkan bantuan agar pihak-pihak yang bersengketa mau bertemu, dan
menyarankan suatu penyelesaian, tanpa perlu berpartisipasi di dalam perundingan-
perundingan atau terlibat dalam berbagai aspek yang dipersengketakan. Maka, apabila
para pihak yang bersengketa sudah bersedia untuk duduk bersama guna mencari
solusi mengenai perbedaan-perbedaan di antara mereka, tugas pihak ketiga yang
menawarkan jasa-jasa baik selesai. Menurut Akehurst ”a third party (as a-go between)
is said to offer its good offices when it tries to persuade disputing states to enter into
negotiations, it passes messages and suggestions ... and when the negotiations start,
its functions are an end.”11
Intinya bahwa peran pihak ketiga yang menawarkan Jasa-jasa Baik adalah
membujuk negara-negara yang sedang bersengketa untuk mau berunding, dan pihak
yang menawarkan jasa-jasa baik tidak terlibat dalam perundingan-perundingannya.

D. Penyelidikan (Inquiry)
Penyelesaian sengketa internasional dapat juga dilakukan oleh pihak ketiga, yang
tidak memihak, dengan cara melakukan suatu ’Penyelidikan’ atau Inquiry terhadap
masalah-masalah yang dipersengketakan. Istilah ’Inquiry’ diterjemahkan sebagai
’Penyelidikan’ atau ’Angket/Pemeriksa’. Menurut Akehurst, fact finding (pencarian fakta)
dan inquiry (penyelidikan) merupakan cara menyajikan fakta-fakta dalam hukum
internasional yang dapat dipergunakan untuk berbagai tujuan, termasuk untuk
pengambilan keputusan dalam organisasi internasional. Kedua istilah tersebut sering
dipertukarkan apabila dipergunakan untuk penyelesaian sengketa. Setelah dilakukan
perundingan-perundingan, banyak sengketa internasional dilanjutkan dengan
menggunakan Penyelidikan, dan menyetujui untuk menunjuk lembaga yang tidak
memihak, dapat bersifat sementara atau yang permanen, untuk melakukan
penyelidikan, yang tujuannya adalah untuk memperoleh mencari fakta-fakta yang tidak
memihak dari fakta-fakta yang dipersengketakan, dan dengan demikian untuk
mempersiapkan cara penyelesaiannya. Para pihak yang bersengketa tidak diwajibkan
untuk menerima temuan fakta-fakta dari hasil penyelidikan, namun hampir kebanyakan
diterima.12
Konvensi Den Haag 1899 telah memasukkan ketentuan tentang bentuk penyelidikan
yang dikenal dengan Komisi Penyelidik (Commission of Inquiry). Penggunaan Komisi
Penyelidik kebanyakan dilakukan dengan tujuan untuk menggambarkan fakta-fakta
dasar untuk menyelesaikan sengketa antara negara. Negara-negara yang bersengketa
akan sepakat untuk menyerahkan masalahnya ke pihak komisi penyelidik yang tidak
memihak, yang tugasnya adalah menghasilkan temuan-temuan berdasarkan fakta yang
to the Security Council on, and making recommendations as to the development in Indonesia, 1947-48; the United Nations
Mediator in Palestine in 1948 was entrusted with the duties of reporting on developments, of promoting the welfare of
inhabitants of Palestine and of assuring the protection of the Holly Places; ...”.
11
Akehurst. Op .Cit. Hlm. 276.
12
Akehurst. Op. Cit. Hlm. 277.
tidak bias. Kemudian, terserah kepada pihak-pihak yang sedang bersengketa, apakah
mereka akan berunding untuk penyelesaian sengketa dengan menggunakan hasil
temuan Komisi Penyelidik. Dalam praktek, pihak-pihak yang bersengketa jarang
menyetujui untuk menerima temuan-temuan Komisi Penyelidik. 13
Dalam Konferensi tahun 1899 tersebut disetujui persyaratan-persyaratan tertentu
untuk penunjukan Komisi Angket/Pemeriksa, yakni: 14
1. hanya dipergunakan dalam penyelesaian sengketa yang tidak mempengaruhi
kehormatan ataupun kepentingan yang esensial suatu negara;
2. tugas Komisi Angket/Pemeriksa hanya sehubungan dengan pertanyaan fakta dan
tidak berhubungan dengan masalah hukum;
3. pembentukan Komisi ataupun implementasi dari hasil penemuan komisi bukan
merupakan kewajiban dari para pihak untuk menerimanya.

Cara penyelesaian dengan cara pencarian fakta juga diatur dalam Konvensi Den
Haag 1907 yang menyempurnakan Konvensi Den Haag 1899, yang menetapkan tugas
Komisi Penyelidik (Commission of Inquiry) sebagai ”to facilitate a solution by means of
an impartial and conscientious investigation” (Pasal 9) dan membatasi laporannya
hanya dalam “a statement of facts”, artinya hanya terbatas dalam pernyataan fakta-
fakta, di mana hasil temuan komisi tidak mempunyai sifat seperti putusan. Kasus
pertama yang diselesaikan dengan Konvensi Den Haag 1907 adalah sengketa antara
Turki dan Italia pada tahun 1911-1912. Meskipun Prancis netral pada saat perang
terjadi, namun Italia menuduh Prancis terlibat membantu Turki. Pada tahun 1912 kapal
Prancis ’Tavignano’ ditahan oleh Italia dan dua kapal lainnya ditembak. Menurut Italia
kejadian itu terjadi di laut bebas, sedangkan menurut Prancis terjadi di wilayah Tunisia.
Atas kejadian tersebut, kedua belah pihak setuju untuk menyelesaikan kasusnya
melalui Komisi Angket/Pemeriksa. Komisi tersebut terdiri dari wakil Prancis, Italia dan
Inggris. Tugas komisi menentukan kejadian tersebut terjadi di mana. Dalam
menentukan kejadian tersebut terjadi di mana, Komisi tidak hanya memeriksa dokumen
dan saksi-saksi, namun juga berkunjung ke tempat kejadian. Komisi berpendapat
bahwa tugasnya adalah hanya menentukan di daerah mana kejadian itu terjadi. Dari
hasil penyelidikan Komisi berpendapat bahwa kejadian itu terjadi di wilayah Tunisia dan
penembakan memang terjadi. Keputusan Komisi dilengkapi dengan suatu perjanjian
bahwa langkah selanjutnya jika menyangkut masalah hukum akan diselesaikan dengan
Perwasitan (Arbitrasi). Menindaklanjuti keputusan Komisi, maka pihak Italia akan
membayar klaim Prancis 5000 Franc.15
Upaya penyelidikan dapat dilakukan melalui Misi Pencari Fakta (Fact Finding
Mission), Komisi Penyelidik Internasional (International Commission on Investigation)
dan Komisi Penyelidik (Commission on Enquiry) yang bisa dilakukan oleh seseorang
atau kelompok yang harus disetujui oleh para Pihak yang bersengketa. Jika
penyelidikan itu dilakukan hanya oleh seorang, maka Sekretaris Jenderal PBB bisa
menunjuk seorang Wakil Khusus (Special Representative of the United Nations
Secretary General) dan dalam hal beberapa orang atau kelompok dapat ditunjuk suatu
Misi (Mission). Para penyelidik harus bersifat independen dan benar-benar mewakili
13
Dixon. Op.Cit. Hlm. 224.
14
Mc Auslan dalam Sri Setianingsih Suwardi. Ibid. Hlm. 23.
15
Suwardi. Op.Cit. Hlm. 26.
kepentingan para pihak yang bersengketa. Sekretaris Jenderal PBB atas rekomendasi
Dewan Keamanan PBB dapat menunjuk Wakil Khusus dalam usaha untuk mencari
penyelesaian sengketa di Timur Tengah (1967, 1968), dalam masalah pertikaian India-
Pakistan mengenai Kashmir (1971), untuk Namibia (1972, 1978), untuk masalah Tim-
Tim (1976) untuk pertikaian Maroko dan Aljazair mengenai Sahara Barat (1988).
Sekretaris Jenderal PBB juga dapat melakukan sendiri atas rekomendasi Dewan
Keamanan dalam konflik Irak-Iran (1974) dan di Malvinas. 16

E. Konsiliasi (Conciliation)
Cara penyelesaian sengketa internasional lain adalah dengan melalui Konsiliasi.
Konsiliasi merupakan cara penyelesaian sengketa internasional yang diserahkan
kepada pihak ketiga, biasanya berbentuk Komisi atau Komite, yang tugasnya adalah
untuk menghasilkan suatu laporan yang memuat rekomendasi usulan penyelesaian.
Komisi Konsiliasi (Commission of Conciliation) berbeda dari Komisi Penyelidik/Inquiry
(Commission of Inquiry), karena tugas Komisi Penyelidik/Inquiry tidak harus
mengajukan usulan-usulan yang sifatnya konkret, seperti tugas dari Komisi Konsiliasi.
J.G. Merrils mengutip definisi yang dikemukakan oleh Institute of International
Law pada tahun 1961 bahwa Konsiliasi (conciliation) sebagai:
”A method for the settlement of international disputes of any nature according to
which a Commission set up by the Parties, either on a permanent basis or an ad hoc
basis to deal with a dispute, proceeds to the impartial examination of the dispute and
attempts to define the terms of a settlement susceptible of being accepted by them
or of affording the Parties, with a view to its settlement, such aid as they may have
requested.’17

Dengan pengertian, bahwa Konsiliasi merupakan metode penyelesaian sengketa


internasional melalui Komisi yang dibentuk oleh Pihak-pihak yang bersengketa, baik
secara permanen atau ad hoc untuk menangani sengketa mereka, dengan melakukan
pemeriksaan secara tidak memihak mengenai sengketanya dan berupaya untuk
merumuskan persyaratan-persyaratan penyelesaian, sebagaimana diminta oleh para
pihak.
Menurut Sri Setianingsih Suwardi, Konsiliasi merupakan suatu proses penyelesaian
sengketa yang melibatkan pihak ketiga secara formal (on formal legal footing) dan
terinstitusikan, dapat dibandingkan dengan Komisi Angket/Pemeriksa dan Arbitrase,
tetapi tidak sama. Jika Mediasi adalah kepanjangan dari Negosiasi, maka Komisi
Angket/Pemeriksa yang tugasnya mencari fakta, maka hasil pemeriksaan fakta
mungkin penting untuk Konsiliasi, tetapi tidak mengikat para pihak yang bersengketa.
Jadi Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa di mana para pihak setuju untuk
menyerahkan penyelesaian sengketanya pada Komisi baik permanen ataupun ad hoc,
di mana tugas Konsiliasi adalah mempelajari sebab-sebab timbulnya sengketa dan
mencoba untuk merumuskan penyelesaian secara tidak memihak sebagaimana yang
diminta oleh para pihak.18

16
Suryokusumo. Op.Cit. Hlm. 47.
17
Merrils. Op.Cit. Hlm.62.
18
Suwardi. Op.Cit. Hlm. 34.
Konsiliasi merupakan kombinasi antara unsur-unsur dalam inquiry (penyelidikan)
dan Mediasi. Konsiliasi juga merupakan suatu proses dari usulan resmi yang dimajukan
mengenai penyelesaian setelah melalui suatu penyelidikan tentang fakta-fakta di mana
para pihak dapat menerima atau menolak usulan rekomendasi yang telah dirumuskan.
Dengan demikian usul tersebut tidak mengikat pada para pihak. Konsiliasi berbeda
dengan Mediasi. Konsiliasi melibatkan suatu Penyelidikan (Inquiry) yang dilakukan oleh
badan yang independen, sedangkan Mediasi dilakukan oleh pihak ketiga yang
bertindak sebagai mediator.
Perjanjian yang pertama kali menyebutkan adanya kesepakatan tentang
penyelesaian sengketa dengan Konsiliasi adalah perjanjian antara Swedia dan Chili
tahun 1920. Setelah itu, pada tahun 1921 perjanjian antara Swiss dan Jerman
menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa akan diselesaikan dengan cara
membentuk Komisi Tetap Konsiliasi yang tugas adalah untuk memeriksa fakta dan
hukum serta merumuskan usul penyelesaian sengketa. Kemudian pada masa Liga
Bangsa-Bangsa, pada 22 September 1922 Majelis (Assembly) LBB setelah melalui
perdebatan mengeluarkan Resolusi yang menganjurkan kepada negara anggotanya
untuk membuat perjanjian yang memungkinkan penyelesaian antara mereka akan
diserahkan kepada Komisi Konsiliasi. Atas anjuran tersebut telah dibuat 20 perjanjian
yang memasukkan Komisi Konsiliasi sebagai cara penyelesaian sengketa di antara
mereka. Selanjutnya pada tahun 1925 ditandai dua perkembangan penting, pertama,
dalam perjanjian antara Prancis dan Swiss telah dirumuskan tugas Komisi Konsiliasi,
dan kedua, ada perjanjian Kocarno yang berisi 4 perjanjian yang dibuat oleh Jerman
dengan Belgia; Jerman dengan Prancis; Jerman dengan Polandia dan Jerman dengan
Czechoslovakia, berisi kecuali bila para pihak menyetujui untuk membawa sengketanya
ke penyelesaian secara hukum atau ke Arbitrase, semua sengketa antara mereka akan
diselesaikan dengan cara Konsiliasi.19

19
Ibid. Hlm. 34-35.

Anda mungkin juga menyukai