Anda di halaman 1dari 9

RESUME

NEGOSIASI SENGKETA INTERNASIONAL

Disusun Oleh Kelompok 1 :


1. Azaz Sundari
2. Moza Arifal Hidayat
3. Sri Ayunda
4. Irma Fitriani

PROGRAM STUDI HUKUM


FAKULTAS ILMU HUKUM
UNIVERSITAS PASIR PENGARAIAN
2021

1
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Secara Damai
Perjanjian internasional seringkali menciptakan berbagai sengketa, baik tentang
interpretasi maupun tentang pelaksanaannya.1 Apabila arti dari suatu ketentuan sudah
jelas, maka tidak akan timbul masalah. Namun, ketika artinya tidak jelas, maka akan
timbul permasalahan interpretasi. Di sinilah sengketa sering terjadi. Tidak hanya itu,
begitu suatu ketentuan atau interpretasinya sudah disepakati, masih mungkin timbul
sengketa tentang pelaksanaannya.
Mekanisme penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara yang begitu beragam
dan tidak ada patokan tertentu dalam menggunakannya. Dalam prakteknya, banyak
sengketa yang diselesaikan dengan cepat secara informal, namun ada juga yang memakan
waktu bertahun- tahun untuk diselesaikan. Tidak ada satu metode khusus dalam
menangani sengketa, bahkan tidak bisa ditentukan mekanisme mana yang paling umum
digunakan. Suatu mekanisme penyelesaian sengketa juga tidak bisa ditentukan
berdasarkan besar, tingkat kepentingan, jumlah pihak yang bersengketa, atau jenis
perjanjiannya. Sengketa dalam perjanjian multilateral tidak bisa begitu dibedakan dengan
perjanjian bilateral karena umumnya sengketa terjadi antara dua belah pihak saja.2
Pasal 33 United Nations Charter mengelaborasi prinsip dasar yang termuat dalam
Pasal 2 ayat (3) UN Charter, yaitu bahwa tiap anggota harus menyelesaikan sengketa
internasional secara damai, dan memberikan beberapa mekanisme yang paling sering
digunakan: negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, dan penyelesaian yudisial. Berbagai
mekanisme ini secara umum
dapat dibagi menjadi penyelesaian yang mengikat (compulsary settlement) dan
penyelesaian sukarela (voluntary settlement); keduanya dibedakan dari sifat mengikat
atau tidaknya hasil dari penyelesaian sengketa.3 Meskipun begitu, bukan berarti para
pihak yang menyelesaikan sengketa secara sukarela tidak terikat dengan hasilnya; bukan
berarti pula hasil penyelesaian berdasarkan kewajiban selalu mengikat - keduanya
tergantung pada kesepakatan.

1
Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice, (United Kingdom: Cambridge
University Press, 2000), hlm. 285.
2
United Nations, Treaty Handbook, Prepared by the Treaty Section of the Office of
Legal Affairs, (UN: United Nations Publication, 2012), hlm. 24.
3
Anthony Aust, Op.Cit, hlm. 286.

2
1. penyelesaian sukarela
a. negosiasi dan konsultasi
Dari berbagai macam mekanisme penyelesaian sengketa, negosiasi
adalah mekanisme yang paling pertama disebutkan dalam Pasal 33 UN Charter.
Hal ini dikarenakan oleh fakta bahwa negosiasi adalah cara prinsipil dalam
menangani penyelesaian sengketa internasional. Dalam sejarah penyelesaian
sengketa internasional, negosiasi lebih sering digunakan daripada seluruh
mekanisme lain.4
Negosiasi biasanya adalah mekanisme pertama yang ditempuh dalam
menyelesaikan sengketa; bahkan ketika penyelesaiannya dirujuk ke arbitrase
atau penyelesaian yudisial, poin-poin yang hendak dimintakan penyelesaian
ditentukan dengan cara negosiasi. Negosiasi dapat dilaksanakan dalam suasana
yang penuh privasi sehingga lebih mudah untuk mencapai kesepakatan. Ketika
suatu sengketa masuk ke tahap yang lebih formal dan publik, akan lebih sulit,
setidaknya secara politis, untuk menyelesaikannya. Hal tersebut dikarenakan
para pihak menjadi lebih banyak dan “berkubu” serta di depan publik, para
pihak tidak mau terlihat banyak berkompromi.5
Ketika pemerintah memperkirakan bahwa keputusannya akan merugikan
negara lain, maka ia akan melakukan konsultasi untuk membicarakan
kemungkinan adanya penyesuaian atau pengakomodasian mengenai suatu
perjanjian yang telah dibuat di antara mereka, misalnya dengan melakukan
modifikasi. Dalam hal ini konsultasi dilakukan dalam tahap sebelum terjadinya
sengketa yang dimungkinkan terjadi, yaitu untuk mencegah adanya sengketa di
masa depan.6
Konsultasi juga dilakukan di tahap lain, misalnya dalam tahap mencari
kesepakatan dalam melanjutkan penyelesaian dengan bantuan pihak ketiga.
Misalnya, ketentuan penyelesaian sengketa di UK-US Air Services Agreement

4
J. G. Merills, Op.cit., hlm. 2.
5
Anthony Aust, Loc.cit.
6
J. G. Merills, Op.cit., hlm. 4.

3
1977 („Bermuda 2‟) mengatur bahwa suatu sengketa harus diselesaikan melalui
‘first round of consultation‟ sebelum sengketa tersebut dapat dirujuk ke pihak
ketiga. ‘First round di sini umumnya dipahami sebagai setidaknya dua kali
pertemuan dengan jarak waktu antara keduanya.7
Prosedur negosiasi dan negosiasi sangatlah fleksibel - tahap-tahapnya
ditentukan sendiri oleh para pihak. Negosiasi dapat dilakukan selama yang
diinginkan dan dapat dihentikan kapanpun sesuai keinginan para pihak. Namun,
beberapa perjanjian internasional mengatur limitasi waktu untuk bernegosiasi. 8
Negosiasi dapat dilakukan oleh perwakilan diplomatik atau perwakilan
departemen pemerintah yang berkaitan dengan sengketa - misalnya antara
Menteri Perdagangan dalam sengketa tentang perjanjian komersial atau antara
Menteri Pertahanan dalam sengketa tentang perjanjian pengadaan senjata.9
Beberapa perjanjian internasional terkadang hanya memberi pilihan
negosiasi dan konsultasi dalam pilihan penyelesaian sengketa. Hal ini dilakukan
dengan pandangan bahwa para pihak tersebut bisa menyepakati lebih lanjut
mekanisme penyelesaian sengketa yang lain. Hal ini harus dilakukan dengan
iktikad baik sehingga sebuah negosiasi harus dilaksanakan dengan suatu tujuan -
bukan hanya formalitas belaka.10
Ketika negosiasi berhasil, penting bagi para pihak untuk mencatat hal-hal
yang mereka sepakati. Kesepakatan ini bisa berupa amandemen suatu perjanjian
atau pernyataan publik. Jika para pihak tidak menghendaki adanya publikasi,
mereka bisa mencatat kesepakatannya dalam MOU yang tidak dipublikasikan11
Jika negosiasi tidak berhasil, salah satu pihak bisa memutuskan untuk
melakukan terminasi. Hal ini juga bisa disebut the other way of settling a
treaty. Sejak

7
Anthony Aust, Op.cit., hlm. 287.
8
Ibid.
9
J. G. Merills, Op.cit., hlm. 8.
10
Anthony Aust, Loc.cit.
11
Ibid.

4
tahun 1945, Inggris sudah melakukan terminasi terhadap empat perjanjian
pelayanan udara (air service agreement), yaitu dengan Filipina (1953 dan 1984),
Amerika Serikat (1976) dan Lebanon (1981). Terkadang, sebuah sengketa bisa
menjadi sangat buruk sehingga terminasi menjadi pilihan yang terbaik. Jika sudah
demikian, bukan berarti penyelesaian dengan bantuan pihak ketiga tidak lagi bisa
dilakukan apabila para pihak menghendaki hal tersebut. Terlebih lagi, beberapa
perjanjian internasional mengatur bahwa ketentuan mengenai sengketa masih berlaku
setelah terminasi dalam hal sengketa terjadi sebelum dilakukannya terminasi.
Terminasi bisa jadi bermanfaat agar para pihak yang bersengketa dapat membuat
12
perjanjian baru yang memenuhi kebutuhan masing-masing. b. pengikutsertaan
pihak ketiga
Jika suatu sengketa tidak bisa diselesaikan dengan negosiasi, pihak ketiga
bisa diundang untuk membantu. Berhasil atau tidaknya bergantung pada banyak
faktor. Salah satunya adalah tingkat kerjasama antara para pihak. Tidak semua
perjanjian mengatur perihal penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga
sehingga para pihak perlu menegosiasikan suatu kesepakatan ad hoc tentang hal
ini. Jika pilihannya adalah mediasi atau konsiliasi, kecuali para pihak
menghendaki sebaliknya, para pihak tidak terikat pada rekomendasi yang
diberikan oleh pihak ketiga ini.13 14
i. konsiliasi
Pilihan konsiliasi bisa diberikan oleh perjanjian itu sendiri, perjanjian
mengenai penyelesaian sengketa secara umum di mana kedua belah pihak
menjadi pihak di dalamnya, atau disepakati secara ad hoc29 Karakteristik
konsiliasi telah dijelaskan dengan baik dalam Annex VCLT itu sendiri, yang
memberikan pilihan konsiliasi antara para pihak konvensi untuk beberapa
kasus tertentu saja.
(4) The [Conciliation] Commission may draw the attention of the
parties to the dispute to any measures which might facilitate an

12
Ibid., hlm. 288.
13
Ibid.
14
Ibid.

5
amicable settlement.
(5) The Commission shall hear the parties, examine the claims and
objections, and make proposals to the parties with a view to
reaching an amicable settlement of the dispute.15
Format ini dijadikan contoh untuk berbagai perjanjian internasional yang
lain, salah satunya adalah United Nations Convention on the Law of the Sea
1982.
Komisi konsiliasi biasanya terdiri dari tiga sampai empat anggota; satu (atau
dua) anggota dipilih oleh masing-masing pihak dan satu pihak dipilih oleh
anggota yang ditunjuk tadi untuk bertindak sebagai ketua. Jika para pihak gagal
untuk menunjuk anggotanya atau tidak tercapai kesepakatan antara para anggota
yang ditunjuk atas anggota ketiga, biasanya pemilihan anggotanya diserahkan
kepada seseorang yang independen seperti Presiden ICJ atau Sekretaris Jenderal
PBB. Atas dasar inilah, penetapan tenggat waktu menjadi penting. Annex VCLT
ini memberikan model yang baik bagi perjanjian multilateral dengan
menyediakan daftar tetap konsiliatior agar penunjukan konsiliator tidak hanya
diserahkan kepada para pihak yang bersengketa.16
Konsiliasi, tidak dapat dipungkiri, menjadi mekanisme penyelesaian
sengketa yang lebih mahal daripada negosiasi karena tiap pihak tidak hanya
perlu membayar pengacara atau ahli lainnya, tetapi juga setengah dari biaya para
konsiliator termasuk akomodasi dan staf mereka.17
Hasil konsiliasi hampir selalu tidak mengikat (non-binding). Hal ini
dijelaskan dengan baik dalam Annex VCLT:
(6) . . . The report of the Commission, including any conclusions stated
therein regarding the facts or questions of law, shall not be binding upon
the parties and it shall have no other character than that of
recommendations submittedfor the consideration of the parties in order
to facilitate an amicable settlement of the dispute.18

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa konsiliasi, di satu sisi, adalah

15
Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969, Annex.
16
Anthony Aust, Op.cit., hlm. 289.
17
Ibid.
18
Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969, Annex.

6
mekanisme penyelesaian yang kurang efektif dibandingkan arbitrase atau
penyelesaian secara yudisial - yang mana keputusannya mengikat (binding) -
tetapi biayanya dan waktu yang digunakan bisa sama besarnya. Jika konsiliasi
tidak berhasil, kecuali kemudian para pihak sepakat untuk menggunakan
arbitrase atau penyelesaian secara yudisial, maka tidak ada cara lain yang bisa
digunakan untuk menyelesaikan sengketa.19
ii. mediasi dan jasa-jasa baik (good offices)
Mediasi biasanya adalah mekanisme ad hoc yang melibatkan intervensi dari
pihak ketiga dalam upaya mempertemukan klaim para pihak dengan
mengajukan sebuah rekomendasi penyelesaian. Mediasi kurang tepat digunakan
dalam penyelesaian sengketa terkait interpretasi maupun aplikasi dari perjanjian
internasional karena proses mediasi lebih bersifat politis.
Jasa-jasa baik (good offices) adalah mekanisme yang mirip dengan mediasi
(istilahnya bahkan seringkali dipertukarkan), yaitu melibatkan juga pihak ketiga
- biasanya Sekretaris Jenderal PBB atau wakil khususnya - yang memberikan
asistensi berimbang dalam upaya menyelesaikan sengketa. Prosesnya juga
memiliki kelemahan yang sama dengan mediasi.
Mediasi dan jasa-jasa baik pada dasarnya adalah suatu negosiasi antara
kedua belah pihak yang bersengketa dengan mediator sebagai pihak yang aktif,
berwenang, malah diharapkan untuk mengajukan proposal yang fresh - yang
tidak terpikirkan oleh kedua pihak serta untuk menginterpretasi dan
mempertemukan proposal para pihak yang bersengketa. Hal yang membedakan
mediasi dengan konsiliasi adalah bahwa mediasi umumnya mengajukan
rekomendasi penyelesaian secara informal dan berdasarkan informasi yang
diberikan oleh kedua belah pihak; tidak seperti konsiliasi yang menggunakan
jasa investigasi tersendiri, meskipun dalam praktek perbedaanya sangat kabur.20

19
Anthony Aust, Op.cit., hlm. 289.
20
J. G. Merills, Op.cit., hlm. 26.

7
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Adolf, Huala. 1991. Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta: Rajawali Press.
Aust, Anthony. 2000. Modern Treaty Law and Practice. (United Kingdom: Cambridge
University Press).
Dorr, Oliver dan Kirsten Schmalenbach (Eds). 2012. Vienna Convention on the Law of
Treaties, A Commentary. (New York: Springer Heidelberg Dordrecht)
Fuady, Munir. 2000. Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis).
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Harahap, Yahya. 1991. Arbitrase. n.p.: Pustaka Kartini.
Merills, J. G. 2011. International Dispute Settlement. (New York: Cambridge
University Press) Sefriani. 2012. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. (Jakarta:
Rajawali Pers).
Suwardi, Sri Setianingsih. 2006. Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: UI
Press). United Nations. 2012. Treaty Handbook, Prepared by the Treaty Section of the
Office of Legal Affairs. (UN: United Nations Publication).

Artikel dalam Jurnal


Danial. “Peranan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Proses
Penyelesaian Konflik Internasional.” Jurnal Ilmu dan Budaya Universitas
Nasional Jakarta.
Eliza, Emi et. all. “Intervensi Kemanusiaan (Humanitarian Intervention) Menurut
Hukum Internasional dan Implementasinya dalam Konflik Bersenjata.” Jurnal
Ilmu Hukum, Vol. 8 No. 4. (Okt-Des 2014).
Pede, Albert. “Peran Negara dalam Penyelesaian Sengketa Intenasional dengan
Kekerasan Bukan Perang.” Jurnal Hukum Internasional Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin. Vol. 1 No. 3 (2014).
Randy, Daeng. “Statute of the International Tribunal for the Law of the Sea.” Indonesian
Journal of International Law Vol. 1 No. 3 (Apr, 2004).
Sulistya, Teguh. “Pengaturan Perang dan Konflik Bersenjata dalam Hukum Humaniter

8
Internasional.” Jurnal Hukum Internasional. Vol. 4 No. 3 (Apr, 2007).
Wahid, Abdul. “Pengangkatan Arbiter dalam Arbitrase Internasional: Suatu Studi
Perbandingan Berdasarkan UNCITRAL, ICC, AAA, dan LCIA Rules.” Jurnal
Hukum dan Pembangunan No. 3 Tahun XXIX (Jul-Sept, 1999).
Instrumen Hukum
Convention (II) with Respect to the Laws and Customs of War on Land and its annex:
Regulations concerning the Laws and Customs of War on Land. The Hague, 29
Juli 1899.
Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-
Operation Among States in Accordance with the Charter of the United Nations.
Adopted by the UN General Assembly Resolution 2625 (XXV) Of 24 October
1970.
United Nations Charter. 1945.
Vienna Convention on the Law of Treaties. 1969

Tesis
Williamson, Ross. “A Friendly Demonstration of Force: Pacific Blockade, International
Law and State Identity, 1827 to 1921.” Thesis submitted as requirement for the
degree of Master of Arts in Legal Studies. (Ontario: Charleton Univeristy).

Anda mungkin juga menyukai