Anda di halaman 1dari 13

Perjanjian Internasional

Disusun Oleh:
Geri Dwiputra
110110120168

Diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Hukum Internasional


Dosen:
Laina Rafianti, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2016

Dengan inisaya menyatakan bahwa tugas ini dibuat oleh saya sendiri tanpa bekerja
sama dengan pihak lain adapun sumber, kutipan dan referensi yang digunakan dalam
tugas ini telah saya cantumkan sesuai dengan pedoman penulisan karya ilmiah di
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Apabila pernyataan yang saya buat ini
terbukti sebaliknya saya bersedia menerima sanksi akademikyang berlaku di Fakultas
hukum Universitas Padjadjaran.
Bandung, 31 Maret 2016

Geri Dwiputra
110110120168

PENDAHULUAN
Dalam hukum internasional terdapat beberapa sumber hukum internasional. Menurut
sumber tertulis yang ada terdapat dua konvensi yang menjadi rujukan apa saja yang menjadi
sumber hukum internasional. Pada Konvensi Den Haag XII, Pasal 7, tertanggal 18 Oktober 1907,
yang mendirikan Mahkamah Internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court)
dan dalam Piagam Mahkamah Internasional Permanen, Pasal 38 tertanggal 16 Desember 1920,
yang pada saat ini tercantum dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional tertanggal 26 Juni
1945.1
Sesuai dengan dua dokumen tertulis tersebut yang berisi penunjukan pada sumber hukum
formal, hanya dua dokumen yang penting untuk dibahas, yaitu Piagam Mahkamah Internasional
Permanen dan Piagam Mahkamah Internasional. Ini disebabkan karena Mahkamah Internasional
mengenai Perampasan Kapal tidak pernah terbentuk, karena tidak tercapainya minimum
ratifikasi. Dengan demikian Pasal 38 Mahkamah Internasional Permanen dan Pasal 38 ayat 1
Mahkamah Internasional, dengan demikian hukum positif yang berlaku bagi Mahkamah
Internasional dalam mengadili perkara yang diajukan dihadapannya adalah perjanjian
Internasional, kebiasaan Internasional, prinsip Hukum Umum, keputusan Pengadilan dan ajaran
para sarjana yang terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan
hukum.
Dalam laporan self study ini penulis membahas tentang bagaimana suatu perjanjian
internasional menjadi sumber hukum internasional dapat mengikat subjek-subjek hukum
internasional.

1 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumi, Bandung 2003,


hlm. 114.

TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Bagaimana terbentuknya perjanjian internasional dan apa saja bentuk-bentuknya
2. Bagaimana suatu Negara mengikatkan diri padasuatu perjanjian dan apa akibat
hukumnya
3. Apakah Negara ignis dapat memutuskan perjanjian dengan Negara aqua dan apa akibat
hukumnya
4. Bagaimana hubungan piagam deklarasi dan konvensi internasional dalam kasus ini

PEMBAHASAN
1. Bagaimana terbentuknya perjanjian internasional dan apa saja bentuk-bentuknya
Di zaman modern, perjanjian internasional telah merupakansumber Hukum Internasional
yang sangat penting. bila mahkamah Internasional harus memutuskan satu perselisihan
internasional,upaya pertama adalah untuk menemukan apakah ada perjanjian internasional apa
tidak. Dalam hal terdapat suatu perjanjian yang mengatur persoalan yang disengketakan,
keputusan mahkamah akan didasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut.
perjanjian internasional menempati posisi sama yang penting di dalam bidang Hukum
Internasional sebagaimana perundang-undangan di dalam hukum nasional.
Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antara dua negara atau lebih di mana
mereka membina atau mencari hubungan yang diatur oleh Hukum Internasional. Menurut
pandangan Oppenheim, perjanjian internasional adalah persetujuan yang bersifat kontraktual
antara negara atau organisasi Negara yang menimbulkan hak dan kewajiban secara hukum bagi
para pihak.2 Lain halnya pendapat Schwarzenberger yang mende!nisikan, perjanjian adalah
persetujuan diantara subyek Hukum Internasional yang menimbulkan suatu kewajiban yang
mengikat di dalam Hukum Internasional, sedangkan menurut Starke,dalam hampir semua kasus
obyek perjanjian adalah untuk mengenakan kewajiban yang mengikat pada negara-negara yang
menjadi pihak pada perjanjian tersebut.3
1.1 proses pembuatan perjanjian internasional
Proses pembuatan Perjanjian Internasional bukanlah proses yang sederhana apalagi jika
masalah yang dibahas merupakan isu-isu yang penting. Umumnya diperlukan waktu yang cukup
lama untuk menghasilkan suatu perjanjian internasional. Misalnya untuk melahirkan Konvensi
PBB tentang Hukum laut III (United Nations Conference on the Law of the Sea /UNCLOS III)
diperlukan waktu selama 9 tahun.4 Hal ini karena proses pembuatan Perjanjian Internasional
merupakan rangkaian dari tahap-tahap penting sebagai berikut:
1. Penunjukan Delegasi dan verifikasi Delegasi

2 Oppenheim L, Internasional Law, vol. 1, eight edition, hlm. 877


3 Starke, JG, An Introduction to International Law, Eight Edition (1977), hlm.459.
4 Proses pembuatan UNCLOS III dimulai dari desember 1973 sampai September
1982 yang secara keseluruhan berjumlah i2 kali sidang. Konvensi ini diterima dalam
Konferensi Hukum Laut III pada tanggal 30 April 1982 di New York untuk
ditandatangani mulai tanggal 10 desember 1982 di montego bay Jamaika.

Untuk membuat perjanjian internasonal baik negara maupun organisasi internasional


memerlukan petugas untuk melakukan perundingan. Dalam Pasal 7 Konvensi Wina 1969
disebutkan bahwa para pihak yang secara otomatis dapat mewakili suatu negara tanpa melalui
harus memiliki full power adalah :
a. Kepala Negara, Kepala Pemerintahan dan Menteri Luar Negeri untuk maksud melakukan
semua tindakan yang berhubungan dengan penutupan suatu perjanjian;
b. Kepala Misi diplomatik untuk maksud menyetujui teks perjanjian antar negara pengirim
dan negara dimana mereka diakreditasikan;
c. Wakil-wakil yang dikirim oleh suatu negara kepada suatu Konferensi internasional atau
organisasi internasionl atau satu dari organ-organnya untuk maksud menyetujui teks
perjanjian di dlam konferensi itu, organisasi itu atau organ-organnya.
Selain pihak-pihak yang disebutkan di atas, maka seorang delegasi untuk menjadi wakil
dalam suatu perundingan harus memiliki dokumen surat kuasa penuh yang disebut Full
Power, yakni suatu dokumen yang berasal dari penguasa yang berwenang dari suatu negara
yang menunjuk seseorang atau orang-orang untuk mewakili negara tersebut untuk berunding,
menyetujui atau mengesahkan teks suatu perjanjian, untuk menyatakan persetujuan negara
terikat pada perjanjian atau untuk menyelesaikan tindakan-tindakan lainnya yang berkenaan
dengan suatu perjanjian. Full power ini umumnya berisi nama-nama utusan dan juga luasan
wewenang yang dimiliki.
Hukum internasional dewasa ini juga memungkinkan seseorang yang tidak memiliki
surat kuasa penuh mewakili suatu Negara dalam konferensi internasional yang mengikat Negara
itu dalam pembentukan suatu perjanjian apabila tindakan orang tersebut kemudian disahkan oleh
pihak yang berwenang oleh Negara yang bersangkutan.5
2. Perundingan/Negosiasi dan Persetujuan
Perundingan dalam pembuatan Perjanjian Internasional bilateral dilakukan dengan saling
bicara secara langsung, sementara dalam pembuatan perjanjian internasional multilateral
perundingan dilakukan dalam konferensi diplomatik. Konferensi diplomatik itu merupakan
5 Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit., hlm. 127.

perundingan yang resmi. Disamping perundingan resmi itu dapat pula dilakukan perundingan
yang tidak resmi di luar konferensi. Dalam tahapan ini para delegasi tetap mengadakan hubungan
dengan Pemerintah masing-masing untuk berkonsultasi cara untuk mempertahankan konsep dari
pemerintahnya dan untuk mendapatkan instruksi-instruksi baru terkait dengan masalah yang
dibahas. Perundingan diharapkan ditutup dengan penetapan keputusan yang diperjanjikan.
Penetapan keputusan itu, dalam Perjanjian Internasional Bilateral dilakukan berdasarkan
persetujuan kedua belah pihak yang berjanji, sementara dalam Perjanjian Internasional
Multilateral, penerimaan naskah biasanya dilakukan dengan duapertiga suara dari peserta
konferensi, kecuali jika para peserta konferensi menentukan lain.6
3. Penandatanganan
Persetujuan suatu Negara untuk mengikat diri pada suatu perjanjian (consent to be bound
by a treaty), dapat diberikan dengan berbagai macam cara dan bergantung pada persetujuan
Negara-negara peserta pada waktu perjanjian diadakan. Persetujuan untuk mengikatkan diri pada
suatuperjanjian itu dapat dilakukan dengan suatu penandatanganan.7
Tahap penandatanganan biasanya merupakan hal yang paling formal di mana tindakan
penandatanganan merupakan hal yang essensial bagi suatu perjanjian internasional, karena
terutama penandatangananlah yang memberi status otentik suatu teks perjanjian internasional.
4. Pengesahan (ratifikasi)
Ratifikasi adalah proses yang dilalui oleh pemerintah atau organisasi internasional untuk
secara resmi menyatakan terikat oleh traktat atau perjanjian internasional lain setelah pemerintah
atau organisasi internasional menandatanganinya. Ratifikasi ini merupakan tahap wajib yang
harus dilakukan dalam pembuatan sebuah perjanjian internasional, khususnya perjanjian
internasional yang sifatnya multilateral sebagai tanda penerimaan atau pengesahan terhadap
sebuah naskah perjanjian internasional untuk menciptakan ikatan hukum bagi para pihaknya
1.2 bentuk bentuk perjanjian internasional
6 Ibid., hlm.128
7 Ibid., hlm. 128-129

Suatu penggolongan yang lebih penting dalam dalam rangka pembahasan perjanjian
internasional sebagai sumber hukum formal adalah penggolongan perjanjian dalam treaty
contract dan law making treaty. treaty contract adalah perjanjian seperti halnya kontrak atau
perjanjian dalam hukum perdata,hanya mengakibatkan hak dan kewajiban kepada para pihak
yang mengadakan perjanjianitu. Contohnya adalah perjanjian mengenai dwikewarganegaraan,
perjanjian perbatasan, perjanjian perdagangan.
Law making treaty adalah oerjanjian yang meletakan ketentuan kaidah hukum bagi
masyarakat internasional sebagai keseluruhan. Contohnya adalah konvensi tahun 1949 mengenai
perlindungan korban perang, konvensi-konvensi tahun 1958 tentang hukum laut.8
Perbedaan antara keduanya terdapat pada pihak yang turut serta dalam perundingan yang
melahirkan perjanjian tersebut. Pihak ketiga umumnya tidak dapat turut serta dalam treaty
contract yang diadakan antara para pihak yang mengadakan perjanjian semula. Sebaliknya
perjanjian yang digolongkan sebagai law making treaty selalu terbuka bagi pihak lain yang
tadinya tidak turut serta dalam perundingan, karena yang diatur oleh perjanjian ini merupakan
masalah umum mengenai seluruh masyarakat internasional.9
Selain itu, perjanjian internasional juga dikenal dengan berbagai nama yang berbeda yang
digunakan. Perjanjian internasionalada kalanya dinamakan traktat (treaty), pakta (pact), konvensi
(convention), piagam (statute), charter, deklarasi, arrangement,dan sebagainya.10
2. Bagaimana suatu Negara mengikatkan diri pada suatu perjanjian dan apa akibat
hukumnya
Perjanjian internasional sudah dikenal oleh berbagai berbeda nama, mulai dari dinamakan
traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute), charter, deklarasi,
arrangement,dan sebagainya Semua istilah ini merujuk untuk tujuan yang sama, yaitu untuk
membuat sebuah perjanjian tertulis dimana negara yang berpartisipasi mengikat diri secara
hukum untuk bertindak dengan cara tertentu atau untuk mengatur hubungan khusus di antara
mereka.11
Hakikat perjanjian internasional didasarkan pada kebiasaan internasional yang memiliki
prinsip hukum bahwa perjanjian mengikat (pacta sunt servanda). Perjanjian dapat dibagi menjadi
8Ibid., hlm. 122.
9 Ibid., hlm. 123.
10 Ibid., hlm. 119.
11 Malcolm L. Shaw, Internasional Law, sixth edition, hlm. 93

perjanjian 'law-making', yang dimaksudkan untuk mempunyai relevansi yang universal, dan
'treaty-contracts', yang hanya berlaku diantara dua atau sejumlah kecil negara. Perbedaan
tersebut adalah dimaksudkan untuk mencerminkan penerapan umum atau lokal dari perjanjian
tersebut dan berbagai kewajiban yang dikenakan.12
Tahapan dalam pembuatan perjanjian internasional adalah negosiasi, penandatanganan
dan ratifikasi atau aksesi.13 Dalam hal keterikatan Negara terhadap suatu perjanjian internasional
dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu tandatangan dan ratifikasi atau aksesi. Menurut
Starke, konsekuensi dari sebuah penandatanganan perjanjian internasional sangat bergantung
pada apakah perjanjian tersebut mensyaratkan ratifikasi atau tidak. Jika mensyaratkan, maka
tindakan menandatangani perjanjian internasional tersebut hanyalah persetujuan atas substansi
dari perjanjian yang bersangkutan dan negara penandatangan terikat oleh Pasal 18 Konvensi
Wina 1969. Keberlakuan akan menjadi berbeda jika perjanjian internasional tersebut tidak
mensyaratkan ratifikasi.
Di Kanada ratifikasi perjanjian internasional sama sekali tidak memiliki konsekuensi
hukum apapun di pengadilan sebelum dibuatnya implementing legislation oleh Parlemen Federal
Kanada atau Parlemen Provinsi. Dalam hal membuat dan menerapkan perjanjian internasional,
sistem ketatanegaraan Kanada membagi dua kekuasaan utama, yaitu eksekutif dan legislative.
Pemerintah Eksekutif Federal dapat mengikatkan diri pada perjanjian internasional apapun
tetapi mereka tidak dapat memastikan apakah perjanjian internasional tersebut dapat berlaku dan
menjadi bagian hukum nasionalnya. Hal ini disebabkan oleh pembedaan kewajiban negara di
tingkat internasional dan nasional, di mana kewajiban di tingkat internasional yang dibebankan
kepada Pemerintah Kanada tidak secara otomatis menjadi kewajiban nasional karena ada proses
transformasi oleh legislatif, baik di tingkat federal maupun provinsi.14
3. Apakah Negara ignis dapat memutuskan perjanjian dengan Negara aqua dan apa
akibat hukumnya
Secara umum suatu perjanjian dapat berakhir karena beberapa sebab, diantaranya adalah:
1.
2.
3.
4.

Karena telah tercapai tujuan perjanjian itu;


Karena habis waktu berlakunya perjanjian itu;
Karena punahnya salah satu pihak perjanjian atau punahnya objek perjanjian itu;
Karena adanya persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri perjanjian itu;

12 Ibid., hlm. 94
13 Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, hlm. 83-84.
14 Jurnal Ilmu Hukum Veritas et Justitia, Volume 1, No. 1, Juni 2015, hlm. 14-15

5. Karena diadakannya perjanjian antara peserta kemudian meniadakan perjanjian yang


terdahulu;
6. Karena dipenuhinya syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai denganketentuan
perjanjian itu sendiri; dan
7. Diakhirinya perjanjian secara sepihak oleh salah satu peserta dan diterimanya
pengakhiran itu oleh pihaknlainnya.
Dari berbagai ketentuan umum mengenai punahnya suatu perjanjian diatas tampak bahwa
berakhirnya suatu perjanjian dapat diatur oleh para peserta perjanjian itu sendiri berupa
ketentuan yang disepakati oleh para pihak.
Namun bagaimana apabila kelangsungan perjanjian dipengaruhi oleh hal yang tidak
diatur dalam perjanjian sepertihalnya pembatalan sepihak oleh salah satu pihak yang
menimbulkan kesulitan apabila tidak diatur dalam perjanjian tersebut. Menurut hukum
internasional apabila terjadi suatu pembatalan atau pengunduran diri suatu pihak dari perjanjian
yang tidak memuat ketentuan mengenai pembatalan, Konvensi Vienna mengenal hukum Traktat
telah menetapkan suatu ketentuan yang menetapkan bahwa pembatalan atau pengunduran
walaupun tidak tertulis dalam perjanjian dapat diadakan apabila pembatalan atau pengunduran
diri telah disepakati oleh para peserta atau dianggap tercakup dalam sifat perjanjian itu sendiri.
Pada kasus perjanjian antara Negara Aqua dan Ignis. Negara Ignis dapat mengadakan
perundingan dengan Negara Aqua untuk membatalkan perjanjian dengan Negara Ignis dengan
alasan ada kemungkinan terjadinya kekacauan yang akan berakibat buruk pada investasi yang
dilakukan.
4. Bagaimana hubungan piagam deklarasi dan konvensi internasional dalam kasus ini
Aqua dan Ignis adalah dua Negara yang berkomitmen terhadap perlindungan Hak Asasi
Manusia, sehingga menjadi pihak dan Negara perunding dalam sebagian besar instrument HAM
internasional.
Pada tahun 2005, berbagai kelompok berusaha memisahkan diri dari Negara Aqua
dengan mengemukakan isu ras dan etnis. Kelompok-kelompok tersebut mendasarkan
argumentasinya sebagai hak untuk menentukan nasib sendiri yang dijamin Konvensi
Internasional Hak Sipil dan Politik 1966. Padahal pada faktanya, lima tahun setelah meratifikasi
kedua instrument tersebut piagam deklarasi terkait Pasal 1 konvensi Internasional Hak Sipil dan
Politik yang pada intinya menyatakan pasal tersebut tidak bisa dipergunakan sebagai justifikasi
untuk memisahkan diri dari Negara yang berdaulat.
Hubungan piagam deklarasi dengan kasus tersebut adalah terkait ratifikasi konvensi
internasional yang digunakanpara kelompok-kelompok yang ingin memisahkan diri dari Negara
Aqua.

Makna ratifikasi perjanjian internasional tidak memiliki akibat hukum apapun bagi
keberlakuan perjanjian intemasional di level nasional karena ratifikasi hanya bertujuan untuk
membuat perjanjian internasional berlaku di level nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 1
Ayat 1(b) Konvensi Wina 1969.15 Sehingga piagam deklarasi dan konvensi internasional dalam
kasus tersebut tidak dapat digunakan dalam hal persoalan dalam negeri Negara Aqua.

15 Ibid., hlm. 22

PENUTUP
Proses pembuatan Perjanjian Internasional bukanlah proses yang sederhana apalagi jika
masalah yang dibahas merupakan isu-isu yang penting. Umumnya diperlukan waktu yang cukup
lama untuk menghasilkan suatu perjanjian internasional. Hal ini karena proses pembuatan
Perjanjian Internasional merupakan rangkaian dari tahap-tahap penting yaitu; penunjukan
delegasi, perundingan, penandatanganan dan ratifikasi.
Perjanjian internasional sudah dikenal oleh berbagai berbeda nama, mulai dari dinamakan
traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute), charter, deklarasi,
arrangement,dan sebagainya. Suatu penggolongan yang lebih penting dalam dalam rangka
pembahasan perjanjian internasional sebagai sumber hukum formal adalah penggolongan
perjanjian dalam treaty contract dan law making treaty.
Dalam hal keterikatan Negara terhadap suatu perjanjian internasional dapat dilakukan
dengan beberapa cara, yaitu tandatangan dan ratifikasi atau aksesi. Menurut Starke, konsekuensi
dari sebuah penandatanganan perjanjian internasional sangat bergantung pada apakah perjanjian
tersebut mensyaratkan ratifikasi atau tidak. Jika mensyaratkan, maka tindakan menandatangani
perjanjian internasional tersebut hanyalah persetujuan atas substansi dari perjanjian yang
bersangkutan dan negara penandatangan terikat oleh Pasal 18 Konvensi Wina 1969. Keberlakuan
akan menjadi berbeda jika perjanjian internasional tersebut tidak mensyaratkan ratifikasi.
Pada kasus perjanjian antara Negara Aqua dan Ignis. Negara Ignis dapat mengadakan
perundingan dengan Negara Aqua untuk membatalkan perjanjian dengan Negara Ignis dengan
alasan ada kemungkinan terjadinya kekacauan yang akan berakibat buruk pada investasi yang
dilakukan.
Makna ratifikasi perjanjian internasional tidak memiliki akibat hukum apapun bagi
keberlakuan perjanjian intemasional di level nasional karena ratifikasi hanya bertujuan untuk
membuat perjanjian internasional berlaku di level nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 1
Ayat 1(b) Konvensi Wina 1969.

DAFTAR PUSTAKA
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global,
Bandung: Alumni, 2005.
I Wayan Phartiana, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju, cet. 2, 2003.
Jurnal Ilmu Hukum Veritas et Justitia, Volume 1, No. 1, Juni 2015
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: P.T. Alumni, 2003
Malcolm L. Shaw, Internasional Law, sixth edition, New York, 2008
Starke, JG, An Introduction to International Law, Eight Edition, 1997

Anda mungkin juga menyukai