Anda di halaman 1dari 44

BAB IV

PERJANJIAN
INTERNASIONAL
DALAM HUBUNGAN
INTERNASIONAL
Outline Rapat yang
Hubungan internasional diperankan negara-
negara dan organisasi internasional, tidak akan tercipta
secara harmonis jika tidak didukung perjanjian
internasional. Suatu instrumen hukum internasional,
digunakan sebagai peraturan, pedoman utama dan
kaidah normatif bagi pihak-pihak dalam menjalankan
hubungan internasional secara baik dan damai.

Sebagai sumber hukum utama, Pasal 38 ayat (1)


ICJ (International Court of Justice) menegaskan
bahwa Perjanjian Internasional memberikan kepastian
hukum yang saling mengikat bagi para pihak dalam
melangsungkan praktek hubungan antara satu atau lebih
negara dalam berbagai kepentingan. Perjanjian
internasional atau konvensi internasional merupakan
sumber hukum utama yang digunakan para juris dalam
mengadili kasus-kasus hukum.
Outline Rapat
Perlu dikemukakan bahwa keberadaan sumber hukum Konvensi Wina tentang
Hukum Perjanjian Internasional yang digunakan dalam hubungan internasional
antara negara-negara?
 
Kedua, apakah fungsi dan kegunaan PI dalam hukum hubungan internasional?

Ketiga, bagaimana daya ikat perjanjian internasional terhadap negara-negara


baik karena putusan yang mengikat secara terbatas (closed agreement) atau
daya ikat terhadap negara secara lebih terbuka dan meluas (open agreement)?

Keempat, bagaimana kontribusi negara-negara dalam proses pembuatan


hukum perjanjian internasional?

Kelima, bagaimana praktek dan metode negara-negara dalam memberlakukan


hukum perjanjian internasional dalam sisten hukum nasional masing, termasuk
dalam praktek di Indonesia?
4.1 DEFINISI PERJANJIAN INTERNASIONAL DAN FUNGSINYA
Outline Rapat
Secara populer, perjanjian internasional memiliki arti semua
bentuk perjanjian yang bersifat lintas batas negara atau
transnasional. Di kalangan ahli hukum publik, tidak dibedakan
antara perjanjian internasional dan kontrak internasional, karena
keduanya dipahami sebagai perjanjian internasional tanpa melihat
subjek, karakter hubungan hukum, serta rezim hukum yang
menguasainya.

Menurut Pasal 2 ayat (1) butir (a) Konversi Wina 1969, definisi Pl
adalah: "An International Agreement concluded between States (and International
Organizations) in written form and governed by International Law, whether embodied in
a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular
designation". (suatu persetujuan internasional yang diadakan antara negara-negara
dalam bentuk yang tertulis dan diatur oleh hukum internasional baik yang berupa satu
instrumen tunggal atau berupa dua atau lebih instrumen yang saling berkaitan tanpa
memandang apapun juga namanya.)
Outline
Menurut Rapat
John O'Brien, ada enam hal penting terkandung
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yaitu definisi tersebut menunjukan
bahwa maksud yang persisnya bukan materiil, melainkan
mencerminkan fakta yang lebih luas dari terminologi yang akan
digunakan. Kedua, kesesuaian dari instrumen terdiri dari
perjanjian yang tidak berkaitan dengan substansi persoalan. Ketiga
definisi hanya merujuk pada suatu kesepakatan antar negara.
Hal ini dimaksudkan bahwa negara-negara bermaksud hanya untuk membedakan
adanya perjanjian yang dilakukan oleh organisasi internasional. Keempat, definisi
mengkhususkan adanya bentuk perjanjian internasional yang tertulis. Hal ini
dimaksudkan untuk memudahkan sistem pendaftaran di Sekretariat PBB sebagaimana
diperintahkan Pasal 18 Piagam Liga Bangsa-Bangsa. Kelima, definisi juga merujuk pada
PI yang dibuat berdasarkan pada prosedur hukum internasional. Keenam,
sebagaimana definisi tersebut telah mencakup PI dibuat harus berdasarkan prosedur
dari Komisi Hukum Internasional.
Adapun fungsi PI dalam hubungan internasional,
sebagaiOutline
berikut: Rapat
Pertama, PI merupakan suatu tanda bagi suatu negara yang telah menempatkan dirinya
sebagai negara moderen yang beradab. Menggunakan perundingan dan perjanjian,
negara-negara akan berusaha untuk menahan diri dari tindakan penggunaan kekeran di
dalam penyelesaian sengketa. Dalam merumuskan perjanjian internasional, pihak-pihak
yang mewakili negara hendaknya menggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan
pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest).
 
Kedua, sebagai pedoman tertulis yang mengandung kepastian hukum bagi kedua negara
atau lebih untuk dijadikan rujukan dalam melakukan hubungan internasional dan juga
sebagai arah dari pembangunan nasional negara masing-masing. Misalnya, berdirinya
badan PBB terkait dengan bantuan program pembangunan (United Nations for
Development Program - UNDP). bagi negara-negara yang sedang membangun dan
mengembangkan demokrasi.
 
Ketiga, sebagai sertifikat atau bukti bahwa negara-negara tersebut terikat berbagai
kesepakatan internasional, sehingga jika dikemudian hari terdapat sengketa maka model
penyelesaian sudah jelas ada rujukannya di luar atau di dalam pengadilan. Tidak
mengherankan karenanya, jika suatu negara memiliki atau meratifikasi instrumen hukum
internasional, maka negara tersebut dipandang sebagai negara yang maju dan lebih
beradab.
4.2 Peristilahan yang digunakan dalam Perjanjian Internasional

Outline Rapat
Bila mengacu pada John O'Brien, maka ada sembilan istilah yang digunakan untuk
menyebutkan adanya Perjanjian Internasional antara lain sebagai berikut:
 
1. Convention (konvensi), yaitu persetujuan formal yang bersifat multilateral dan tidak
berurusan dengan kebijaksanaan tingkat tinggi (high policy). Contohnya, Konvensi Wina
1961 tentang Hubungan Diplomatik,
 
2. Protocol (protokol), yaitu persetujuan yang tidak resmi dan pada umumnya tidak
dibuat oleh kepala negara, mengatur masalah masalah tambahan seperti ketentuan
tambahan sebuah perjanjian.

3. Proses verbal, yaitu catatan-catatan atau ringkasan ringkasan atau kesimpulan-


kesimpulan konferensi diplomatic atau catatan-catatan suatu permufakatan. Proses
verbal tidak diratifikasi.

4. Agreement (persetujuan), yaitu istilah yang digunakan untuk transaksi-transaksi yang


bersifat sementara. Perikatan ini tidak seresmi traktat dan konvensi, mengingat isinya
lebih pada ikhwal tenis dan administratif, lebih sering dipergunakan berkaitan dengan
isi-isi politik dalam suatu keadaan tertentu. Misalnya, the Dayton Peace Agreement
1995 tentang perjanjian damai antara Bosnia, Kroasia, dan Serbia
5. Statute (piagam); yaitu himpunan peraturan yang ditetapkan oleh persetujuan
internasional baik mengenai pekerjaan maupun kesatuan-kesatuan tertentu seperti
Outline Rapat
pengawasan internasional yang mencakup tentang minyak atau mengenai lapangan kerja
lembaga-lembaga internasional. Piagam itu dapat digunakan sebagai alat tambahan untuk
pelaksanaan suatu konvensi seperti piagam kebebasan transit.

6. Modus vivendi, yaitu dokumen untuk mencatat persetujuan internasional yang bersifat
sementara sampai berhasil diwujudkan perjumpaan yang lebih permanent, terinci dan
sistematis serta tidak memerlukan ratifikasi.

7. Covenant yaitu anggaran dasar LBB (Liga Bangsa Bangsa yang dipergunakan pada tahun
1919. Contohnya adalah Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, dan Kovenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

8. Declaration (Deklarasi), yaitu perjanjian internasional yang berbentuk traktat dan


dokumen tidak resmi. Deklarasi sebagai traktat bila menerangkan suatu judul dan batang
tubuh ketentuan traktat dan sebagai dokumen tidak resmi apabila merupakan lampiran
pada traktat atau konvensi Deklarasi sebagai persetujuan tidak resmi bila mengatur hal hal
yang kurang penting, misalnya Declaration of Universal Human Rights (DUHAM) 10
Desember 1948.
 
9. Final act (Ketentuan penutup), yaitu ringkasan hasil konvensi yang menyebutkan negara
peserta, nama utusan yang turut diundang serta Inasalah yang disetujui konferensi dan
tidak memerlukan ratifikasi
4.3 Pembuatan dan Jenis Perjanjian Internasional
Outline Rapat
Tidak ada bentuk atau prosedur yang sama dipergunakan oleh negara-
negara terkait perumusan perjanjian dan siapa yang berwenang untuk
menandatangani. Hal ini sangat tergantung pada niat dan maksud negara-
negara pihak. Dalam prakteknya,penyusunan rancangan PI dibuat selain oleh
Kepala Negara, Departemen Pemerintahan terkait, termasuk dilakukan oleh
Departemen Perdagangan.
Beberapa praktek negara dalam pembuatan rancangan Perjanjian Internasional,
diantaranya sebagai berikut:

a. Di Inggris, kekuasaan membuat Perjanjian Internasional berada di tangan kekuasaan Ratu.


Sedangkan di Amerika Serikat berada di tangan Presiden dengan saran dan persetujuan Senat,
serta dengan persetujuan dari 2/ Senator-senator.
 
b. Terdapat praktek negara-negara yang secara langsung menentukan orang-orang yang memiliki
kewenangan untuk ikut mengesahkan Perjanjian Internasional. Hal tersebut sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 dari Konvensi Wina 1969. Setiap orang yang terlibat dalam Pl harus memiliki suatu
kewenangan penuh (full power) sebelum mewakili negaranya. Full Power merupakan suatu sifat
dokumen yang memberikan status dari pejabat yang berwenang di negaranya. Hal ini
dimaksudkan sebagai cara untuk memastikan dan memberikan jaminan keamanan pada pihak-
pihak lain, bahwa mereka yang terlibat dalam pembuatan perjanjian benar-benar utusan yang
tepat. Sebaliknya, beberapa pejabat negara yang tidal memerlukan dokumen Full Power adalah
Kepala-kepala Negara dan Menteri Luar Negeri.
4.4 Praktek Persetujuan dan Daya Ikat Perjanjian Internasional

Outline Rapat
Sebelum rancangan PI diterima, disahkan dan mengikat negara-negara pihak,
sebelumnya harus disetujui oleh /, wakil wakil negara yang hadir. Hal ini diatur
dalam Pasal 9, dan prosedur ini juga digunakan Majelis Umum PBB. Kedua, ada juga
rancangan Pl disetujui dan diterima oleh wakil negara-negara melalui kesepakatan
aklamasi, sehingga tidak memerlukan pengumpulan suara didalamnya. Singkatnya,
suatu PI akan mengikat negara negara sangat tergantung pada kesepakatannya.
Oleh karenanya, tidak ada persetujuan dilahirkan, tanpa pasal-pasal Pl mengikat.
 
Menurut Malgosia Fitzmaurice, ada beberapa cara menyetujui suatu Perjanjian
Internasional. Pertama, persetujuan dengan tanda tangan (consent by
signature), suatu sikap diberikan oleh negara negara pihak untuk menandatangani
teks yang telah dibuat dan diharapkan mengikat. Penandatanganan tersebut
utamanya dilakukan oleh wakil-wakil yang memiliki kewenangan penuh Namun,
penandatanganan suatu perjanjian lebih memperlihatkan prosedur formal. Maksud
dan tujuan sebagaimana diatur Pasal 12 negara-negara yang memberikan tanda
tangan terkadang tidak otomatis dapat diberlakukan dan mengikat, mengingat
adanya keharusan untuk meratifikasi didasarkan pada hukum nasionalnya.
Outline Rapat

Kedua, persetujuan dengan ratifikasi (consent by ratification Berdasarkan Pasal 13,


suatu persetujuan dapat dilakukan dengan tukar menukar instrumen, sehingga
kesepakatan dapat mengikat pihak-pihak. Persetujuan melalui ratifikasi ini terjadi
bilamana pihak yang memiliki kewenangan dari suatu negara mengajukan pengesahan
atas dasar aturan konstitusinya. Pemberlakuan Pl di suatu negara harus menunggu
hingga pemerintah negara meminta persetujuan dari Parlemen, Senat atau Dewan
Perwakilan tersebut Rakyat (DPR). Penandatanganan oleh wakil yang berwenang
menuntut negara penandatangan untuk meratifikasi Di Inggris, kewajiban untuk
meratifikasi dilakukan dalam waktu 21 hari sebelum ratifikasi dilakukan Parlemen. Di
Amerika Serikat, ratifikasi tergolong persoalan internal yang dilakukan oleh Presiden.
Sebelum pemberlakuan PL, syarat lain adalah ratifikasi harus dilakukan sejak 30 hari
ditandatangani, dengan tidak kurang dari 35 negara meratifikasi dan didaftarkan di
Sekretaris PBB. Untuk pemberlakuan PI dengan ratifikasi tidak selalu sama. Hal tersebut
tergantung pada kondisi yang menuntut negara-negara untuk memberlakukannya.
Outline
Ketiga, Rapat
persetujuan dengan Aksesi (consent by accession), yaitu suatu persetujuan
atas Pl diberikan oleh negara-negara untuk menjadi negara pihak dari PI tersebut, tanpa
menandatangani dokumen PL. Metode tersebut diberlakukan ketika negara negara pihak
menyetujui dengan aksesi dalam hal perjanjian multilateral.Sangat penting dicatat bahwa
pada umumnya negara negara menyetujui (accession) dengan menerima hasil perjanjian
internasional yang dilakukan banyak negara. Hal ini diatur dalam Pasal 15 dan berlaku
pada tahun 1950, sebagaimana pemberlakuan Konvensi Jenewa terkait hukum laut
internasional."
 
Setidaknya ada tiga jenis PI yang selama ini dijadikan pegangan dalam memahami
kerjasama internasional. Pertama, PI dilakukan oleh dua negara (Bilateral Treaties) untuk
mengikatkan diri ke dalam suatu obyek perjanjian bersifat publik (ketertiban, perdamaian,
kepentingan politik, militer, pertahanan dan keamanan, ilmu pengetahuan dan teknologi,
dan bidang kebudayaan lainnya). Selain itu bisa juga obyeknya keperdataan, bersifat
mengikat tetapi terbatas hanya kepada dua pihak saya (closed agreement). Negara yang
menyelenggarakan PI secara bilateral wajib mematuhi dan menghormatinya (Pacta Sunt
Servanda).
A. BILATERAL TREATIES (PERJANJIAN BILATERAL)
Outline
Praktik perjanjian Rapat
bilateral hanya memihak terbatas pada
negara-negara yang menyepakati saja. Namun, tidak berarti
negara negara lain dapat mencampurinya. Kewajiban untuk
menghormati dan untuk tidak intervensi, menjadi batasan
moralitas/kode etik internasional. Dalam suatu hubungan antara
kedua negara (Bilateral treaties) tidak mudah dilakukan
mengingat kedua sistem hukum mereka berbeda-beda.

B. TRILATERAL TREATIES (PERJANJIAN TRILATERAL)


Trilateral Treaties, yaitu perjanjian internasional dilakukan tiga negara
mengikatkan diri untuk menyepakati suatu obyek tertentu dan melakukan
tindakan atau tidak melakukan tindakan, timbul hak dan kewajiban yang
mengikat negara-negara. Misalnya perjanjian ketiga negara yaitu Indonesia,
Malaysia, dengan Singapura terhadap keberadaan Selat Malaka sebagai
suatu wilayah perairan yang bersentuhan ketiga negara tersebut. Dalam
kenyataan Selat Malaka sebagai suatu selat perairan yang sangat sibuk
dengan lalu lintas kapal pengangkut barang-barang berbagai negara.
Outline Rapat
C MULTILATERAL TREATIES yaitu suatu perjanjian atau
perundingari yang diikuti banyak negara untuk membuat
kesepakatan terhadap obyek tertentu, dengan prosesdur dan
mekanisme menurut ketentuan Komisi Hukum Internasional,
dilakukan secara tertulis dimana setiap utusan negara-negara
memiliki hak lobi, negosiasi (berunding) untuk dan atas kepentingan
memperjuangkan kepentingan negara-negara di tingkat
internasonal. Setiap delegasi negara memiliki hak untuk memohon
penjelasan klarifikasi (clarification), dan menentukan tentang
kepastian dan keakuratan katadan kalimat (authenticity),
untukmenyetujui (approve), menerima (accept) dan
menandatangani (signature) perjanjian tersebut. Pl bersifat
multilateral dapat mengikat negara-negara sepanjang negara-
negara tersebut selain turut menyetujui perundingan, juga memiliki
itikad baik (good faith) untuk menerima dan menjadikan PI tersebut
bagian dari hukum nasionalnya masing-masing.
Dalam membuat perjanjian internasional, selain prosedur dan
mekanisme kerja, tidak kalah penting adalah susunan dalam
Outline Rapat
pembuatan naskah perjanjian internasional. Pada dasarnya, ada
beberapa bagian penting yang harus ada dalam naskah perjanjian
internasional yang tersusun secara tertib dan sistematis. Dalam
suatu naskah perjanjian internasional, terdiri dari lima (5) bagian,
yaitu:

a. Preambule, atau suatu ungkapan-ungkapan yang menempatkan nama-nama negara


sebagai pihak, kepala negara, negara atau pemerintahan, tujuan perjanjian sebagai suatu
obyek yang hendak disepakati, pihak-pihak yang termasuk dalam perjanjian, serta nama-
nama dan kewenangan dari para delegasi.
 
b. The Substantive Clauses, atau pasal-pasal yang bersifat substantif, materiil yang
terkadang dikenal sebagai ketentuan-ketentuan atau putusan-putusan yang penting
(dispositive provisions).

c. The Formal Clauses, atau ketentuan-ketentuan protokoler yang berkaitan dengan teknik
atau prosedur formal atau hal yang berkaitan dengan penerapan atau hukum prosedural
dari pemberlakuan perjanjian internasional.
d. Adapun ketentuan-ketentuan yang biasanya terpisah muncul
sebagai berikut:
Outline Rapat
(1) tanggal perjanjian internasional,
(2) model dari penerimaan (tanda tangan, aksesi),
(3) peluang keterbukaan perjanjian internasional untuk ditanda
tangani,
(4) pemberlakuan,
(5) lamanya,
(6) pembatalan oleh membuat hukum, dimaknai sebagai suatu
kesepakatan yang memiliki daya ikat hukum yang terbuka
dan luas, dapat dipaksakan baik kepada negara-negara yang
ikut menandatangani (third parties) atau sebagai negara
pihak, atau negara-negara yang tidak hadir karena memang
negara tersebut belum berdiri atau belum memiliki
kedaulatan penuh atau negara-negara tersebut tidak mau
menyetujui.
e. Tanda tangan, tanggal dan tempat, formulir tanda tangan.
f. Tanda tangan dilakukan peserta yang berwewenang
4.6 Prosedur Pembuatan Perjanjian Internasional
  Outline Rapat
Begitu banyak praktek dan pengalaman negara-negara dalam proses
pembuatan Perjanjian Internasional (the Treaty Law Making). Namun, tidak
ada yang menjadi satu standar yang dipergunakan. Mengingat setiap negara
dengan sistem hukumnya memiliki cara dan sikap yang tidak sama. Namun,
secara umum seperti dijelaskan oleh J. G. Starke, ada delapan (8) tahap
bagaimana prosedur Perjanjian Internasional wajib dipatuhi, Tahapan
tersebut yaitu sebagai berikut:

A.Aktor yang memiliki kewenangan mewakili negara


 
Sekali suatu perjanjian internasional dibuat, pihak negara negara perlu menentukan dan mengangkat
seseorang yang akan mewakili dan melakukan negosiasi. Hal ini menjadi sangat penting oleh karena
seseorang yang akan mewakili proses pembuatan perjanjian bukan sekedar karena ada status pejabat, lebih
dari itu ia seseorang yang memiliki kewenangan untuk hadir dan melakukan negosiasi.
Secara praktis, seorang yang mewakili Kepala Negara bisa Menteri Luar Negeri. Ia mewakili kekuasaan
penuh (full power) dalam hal ikhwal proses perjanjian internasional. Dalam praktek di Inggris, ada dua
bentuk full power (a) jika perjanjian internasional harus dilakukan negosiasi oleh Kepala Negara,
dipersiapkan kewenangan khusus. Karena itu, akan dipergunakan dan disahkan oleh yang memiliki
kedaulatan tertinggi, yakni Ratu. (b) jika perjanjian internasional harus di negosiasikan antar pemerintahan
atau antar badan pemerintahan, maka kekuasaan penuh pemerintah (government full power) dikeluarkan
dan ditandatangani oleh Sekretaris Negara atau Kementerian Luar Negeri.
Outline Rapat
B. Negosiasi dan Adopsi
Suatu negosiasi terkait perjanjian internasional disetujui melalui
suatu kesepakatan dari kedua pihak atau peserta konferensi
diplomatik. Secara umum yang paling sering dilakukan ketika
suatu perjanjian internasional bersifat multilateral diadopsi.
Dalam dua hal, perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral,
para delegasi selalu berhubungan dengan pemerintahnya
masing-masing.
Komunikasi antar delegasi dengan pemerintahnya selalu dijaga,
bahkan sangat penting untuk diperbaruhi. Para delegasi selalu
melakukan komunikasi dan bahkan sebelum menentukan sikap
untuk menerima. Mereka juga terkadang menunggu instruksi,
apakah menerima sepenuhnya ataukah reservasi.
C. Autentifikasi dan Penandatanganan
Outline Rapat
Ketika naskah perjanjian internasional sudah siap untuk
disetujui, itu berarti perjanjian internasional juga siap untuk
ditandatangani. Dalam kebanyakan praktik, jika surat perjanjian
ditandatangani, adalah menjadi sangat penting bahwa tanda tangan
harus dilakukan oleh setiap delegasi dalam waktu dan tempat yang
sama, dan dalam kesempatan mereka sama-sama hadir. Karena itu,
tanggal dan hari dibuat pada perjanjian internasiol ditandatangi
menjadi penting.

Penundaan tanda tangan dalam suatu ketentuan formula penerimaan perjanjian


internasioanl, ditentukan bahwa terbuka kesempatan untuk diterima dalam waktu yang
tidak ditentukan untuk;

(a) pendandatangan tanpa adanya reservasi untuk penerimaan,


(b) tanda tangan merupakan tindakan yang akan disempurnakan dengan surat
penerimaan
(c) penerimaan, sebagai suatu contoh memberikan negara-negara terbebas dari ikatan
ketiga metode tersebut.
D. Ratifikasi
  Outline Rapat
Secara teoritis, ratifikasi adalah suatu persetujuan oleh Kepala Negara
atau Kepala pemerintahan dari suatu negara yang menandatangani perjanjian
internasional. Menurut Pasal 2 Konvensi Wina, ratifikasi di definisikan sebagai
suatu cara dari ketentuan hukum internasional, dimana suatu negara yang
menetapkan akan terikat oleh kesepakatan hukum internasional.
 
Sebaliknya, ratifikasi yang dibuat tidak memiliki dampak kecuali sejak
selesai di tanda tanganinya perjanjian internasional tersebut. Pasal 14
menegaskan bahwa ratifikasi adalah persetujuan suatu negara untuk terikat
pada suatu perjanjian yang dinyatakan melalui ratifikasi, jika (a) perjanjian
secara tegas menyatakan adanya ratifikasi, (b) negara-negara yang melakukan
negosiasi menyatakan bahwa ratifikasi diperlukan, (c) perjanjian internasional
merupakan subyek untuk diratifikasi, dan (d) maksud dari penanda tanganan
merupakan subyek ratifikasi yang tampak karena adanya full power.
Adapun mengapa ratifikasi itu dilakukan dan didasarkan pada alasan-alasan
Outline Rapat
sebagai berikut:
 
a. Negara-negara memiliki peluang untuk melakukan pengujian dan kajian atas
suatu perjanjian yang telah ditanda tangani oleh delegasi negara-negara sebelum
kewajiban
 
kewajiban tersebut secara rinci diberlakukan. b. Atas dasar adanya kedaulatan,
suatu negara berhak untuk mengundurkan diri dari keterlibatan dari suatu
perjanjian yang dikehendakinya.
 
c. Suatu perjanjian internasional acapkali mendorong adanya perubahan atau
penyesuaian atas sistem hukum nasional. Jarak antara penandatanganan dengan
ratifikasi dibuat sedemikian rupa agar negara-negara dapat mengesahkannya
melalui lembaga Parlemen. Sehingga mereka dapat meratifikasinya secara tepat.
Hal ini penting dilakukan mengingat dalam suatu negara federal, suatu ratifikasi
mengharuskan adanya konsultasi dengan Pemerintah Pusat.
 
d. Adanya juga alasan karena prinsip demokrasi, sehingga pemerintahan harus
berkonsultasi dengan pendapat publik atau Parlemen, apakah suatu perjanjian
ditolak atau harus disetujui.
4.7 Praktek Ratifikasi di Berbagai Negara
 
Outline Rapat
Ratifikasi merupakan suatu prosedur dan mekanisme hukum terkait dengan
pemberlakukan PI ke dalam hukum nasional, sehingga dapat menjadi sumber hukum untuk
dipergunakan hakim-hakim suatu pengadilan negaranya masing-masing. Dalam prakteknya,
ratifikasi dibedakan ke dalam beberapa tahapan, berdasarkan kepada landasan teoritis dan
filosofis suatu negara. Monisme dan dualisme merupakan dua teori yang paling masyhur
digunakan untuk melihat seberapa jauh negara-negara berdaulat dapat mematuhi
perjanjian internasional. Penting untuk dicatat, bahwa perbedaan isu hukum, antara hukum
publik dengan hukum ekonomi merupakan dua ranah hukum berdimensi internasional.

Di satu pihak, hukum ekonomi internasional, teknologi informatika lainnya.


negara negara adidaya dengan mudah  
menyetujui berbagai transaksi atau perjanjian Di pihak lain, isu-isu hukum publik, keamanan
internasional. Bahkan lebih dariitu, negara- dan pertahanan, kejahatan internasional, dan
negara adidaya dapat memaksa negara juga pelanggaran HAM berat acapkali menjadi
sekutunya untuk menyetujui perjanjian persoalan yang sangat sulit mendapatkan
perjanjian multilateral. Misalnya, berbagai dukungan dari negara-negara adikuasa. Kelima
perjanjian multilateral, termasuk APEC, negara anggota tetap DK PBB seringkali
perdagangan bebas dan WTO, tergolong P menjadi contoh paradoks atau tidak konsisten
multilateral yang mudah disepakati dan dalam mengimplementasikan perjanjian
diimplementasikan secara global. Kepentingan internasional, standar ganda pun merupakan
ekonomi nasional negara-negara peserta tidak hal yang lazim digunakan negara negara
luput dari perdagangan internasional, termasukadikuasa.
praktek impor dan ekspor barang, jasa dan
A. RATIFIKASI PI DI NEGARA PENGANUT MONISME
  Outline Rapat
Negara-negara penganut teori monisme tampak jauh lebih sederhana
dalam melakukan ratifikasi Pl. Sekali suatu negara telah menyepakati Pl,
suatu negara dapat memberlakukannya di tingkat nasional. Hal ini
terjadi karena negara-negara penganut paham monisme, menempatkan
hukum internasional, atau Pl dan hukum nasional merupakan kedua
sistem hukum yang satu sama lain tidak terpisahkan (inseparable part
of law) satu sama lain.

Ada tiga alasan mengapa negara-negara penganut monisme lebih mudah


dalam melakukan ratifikasi. Pertama, konstitusi atau hukum dasar negara-
negara tersebut menempatkan PI sebagai sumber hukum yang sejajar dengan
konstitusinya. Di Amerika Serikat, dengan jelas diatur dalam Pasal 6, bahwa PI
menjadi sumber hukum yang tinggi di negerinya, International Treaty shall be
the supreme law of the land. Meskipun Jerman tidak menggunakan sistem
Pemerintahan Presidensil, dalam konteks pemberlakuan P hampir sama dengan
AS, yaitu menempatkan Pl sebagai sumber hukum nasionalnya yang setara
dengan konstitusi.
AlasanOutline Rapat
kedua, negara-negara penganut monisme menempatkan PI dan urusan
hubungan luar negeri, sebagai urusan kekuasaan eksekutif (executive affairs). Dalam
pembelakuannya PI cukup dengan suatu keputusan Presiden (President Decree)
atau Perdana Menteri. Self executing treaties, suatu perjanjian internasional yang
dengan sendirinya dapat diberlakukan dengan penguatan atau pengesahan dari
Kepala Pemerintahan atau Presiden. Akibatnya, daya ikat PI di tingkat hukum
nasional lebih cepat oleh karena model ratifikasi tidak membutuhkan persetujuan
dari parlemen (parliament endorcement). Namun, dalam kondisi tertentu, seperti di
AS, ada juga suatu PI yang memerlukan suatu persetujuan dari Kongres, apabila
berkaitan dengan hal-hal yang penting dan dalam penerapannya akan berdampak
pada situasi nasional. Tentu saja, persoalan pertahanan dan keamanan (security and
defence) dipandang sebagai persoalan sensitif baik ke dalam negaranya maupun
dampak keluar negeri."
 
Alasan ketiga, hakim-hakim di negara-negara penganut teori monisme secara
teknis dapat dengan mudah menjadikan Pl sebagai sumber hukum dalam
putusannya, mengingat sejak ratifikasi hanya memerlukan pengesahan dari
Presiden. Penganut teori monisme, pemerintah suatu negara sangat jelas
menempatkan urusan luar negeri (foreign affairs) sebagai urusan eksekutif, sehingga
hampir sebagian besar kebijakan luar negeri dibuat oleh Presiden sebagai Kepala
Negara atau Kepala Pemerintahan.
B. RATIFIKASI PI DI NEGARA PENGANUT TEORI DUALISME
  Outline Rapat
Kondisi ratifikasi di negara-negara penganut teori dualisme memang
berbeda mengingat prosedur dan mekanisme agak berbelit belit. Hakim-
hakim di negara-negara tersebut hampir cenderung untuk mengutamakan
sumber hukum nasionalnya. Mengapa d negara-negara penganut teori
dualisme praktek ratifikasi tidak semudah praktek di negara-negara
penganut monisme.

Pertama, negara-negara penganut teori dualisme, beranggapan bahwa perjanjian


internasional (PI) dengan hukum nasional merupakan dua sistem hukum terpisah. Ajaran
kedaulatan hukum negara secara nasional lebih diutamakan untuk dijadikan sumber
hukum utama (prima facie). Mereka memandang bahwa PI hanya dapat dijadikan bagian
dari sistem hukum nasional manakala telah dilakukan suatu proses ratifikasi yang
prosedural oleh parlemen atau hakim-hakim di pengadilan.

Kedua, persoalan PI bukan sekedar urusan Presiden, atau Perdana Menteri melainkan
juga urusan dari wakil-wakil rakyat. Setiap upaya untuk memberlakukan PI menuntut
adanya suatu pengesahan dari anggota parlemen. Model ratifikasi demikian ini, tentu
tidak saja terbatas pada PI bersifat Multilateral saja, akan tetapi berlaku pada PI bersifat
bilateral dan Trilateral.
Ketiga, dalam praktek ratifikasi PI ke dalam hukum nasional di
Outline Rapat
negara-negara penganut teori dualisme memang tidak mudah.
Selain hakim-hakim dalam hal menemukan hukum baru ketika
dalam hukum nasional tidak diaturnya, maka hakim sangat
tergatung kepada pengesahan dari anggota parlemen. Hal ini juga
menjadi lebih rigid ketika hakim-hakim di negara-negara sistem
kontinental tidak memberlakukan doktrin precedent. Meski putusan
putusan hakim di masa lalu, yang mengandung kebenaran dan
keadilan sekalipun, tetap saja hakim tidak mudah untuk menjadi
putusan-putusan tersebut sebagai sumber hukum yang patut
dipertimbangkan.
 
C. AKSESI DAN ADHESI
Aksesi terjadi ketika suatu negara tidak menandatangani suatu perjanjian, namun
negara tersebut dapat menerima atau mematuhinya. Para pemikir hukum internasional
membedakan antara aksesi dengan adhesi. Aksesi merupaka suatu bentuk penerimaan atas
perjanjian yang dilakukan oleh suatu negara menjadi pihak dan menerima atas keseluruhan
pasal tanpa ada reservasi atas perjanjian internasional tersebut. Sedangkan adhesi
merupakan bentuk pemberlakuan dimana suatu negara hanya menerima sebagian saja dari
pasal-pasal perjanjian internasional tersebut. Karena itu, negara-negara yang tergolong
pada aksesi memiliki status yang sama dengan negara negara yang menandatangani
perjanjian internasional sebelumnya. Dasar aksesi diatur dalam Pasal 2 Konvensi Wina,
"accession has received the same definition as ratification.” 
Secara praktis, negara-negara yang tidak menanda tangani suatu perjanjian
secara teori dapat menerima perjanjian internasional hanya apabila ada
Outline Rapat
persetujuan dari seluruh negara yang telah menjadi pihak dalam perjanjian
internasional tersebut. Rasio hukum dari alasan tersebut adalah negara-negara
pihak berhak untuk mengetahui dan menyetujui terhadap pihak-pihak lain
dimana perjanjian internasional telah mengikat mereka, sehingga keseimbangan
antara hak dan kewajiban yang dibuat oleh perjanjian internasional tidaklah
mengganggu.

4.8 Pemberlakuan Perjanjian Internasional


 
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu perjanjian internasional yang bersifat
multilateral dan telah ditanda tangani oleh delegasi yang mewakili negara-negara tidaklah
otomatis dapat diberlakukan bagi negara-negara. Mengingat suatu perjanjian
internasional memerlukan metode ratifikasi, aksesi, dan/atau adhesi setelah persetujuan
dilakukan oleh negara-negara.
 
Dalam kaitannya dengan perjanjian multilateral, saat irti pemberlakuannya sangat
tergantung pada model ratifikasi dan pengesahan sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Selain itu kesepakatan diperlukan dari lima (5) hingga tiga puluh lima (35). Sebagai contoh
adalah Konvensi Genosida 1948, memiliki ratifikasi dari 20 negara-negara.
Terkadang juga perjanjian internasional tidak didasarkan pada ketentuan
yang pasti, terkadang perjanjian internasional sudah bisa beroperasi
Outline Rapat
secara efektif. Ada suatu perjanjian internasional, The Locarno Treaties of
Mutual Guarantee 1925, berlaku sejak setelah Jerman diterima ke dalam
Liga Bangsa-Bangsa tahun 1925.
 
Ada juga negara-negara pihak yang berhasrat untuk meratifikasi,
menerima dan menyetujui, tetapi hal itu hanya akan bisa berlaku
bilamana mereka melakukan ratifikasi dan akan mengikat terhadap
negara setelah dilakukan persetujuan antara waktu 90 hari setelah
negara-negara menanda tangani.

A. RESERVASI
 
Sebagaimana diatur Pasal 19 Konvensi Wina 1969, suatu Negara pada waktu melakukan
penandatangan, ratifikasi, menerima, mengesahkan atau aksesi terhadap suatu perjanjian
boleh mengajukan reservasi kecuali jika (a) Reservasi itu dilarang oleh perjanjian; (b)
Perjanjian itu sendiri menyatakan bahwa hanya reservasi-reservasi tertentu yang tidak
termasuk reservasi yang dipersoalkan, boleh diajukan. Dalam hal tidak termasuk di dalam
sub paragraph (a) dan (b), maka reservasi itu bertentangan dengan tujuan dan maksud
perjanjian.
Outline
Reservasi Rapat
dapat dilakukan dengan 2 macam cara, yaitu
dengan tidak memerlukan persetujuan negara peserta
lainnya dan melalui persetujuan dari: Semua negara peserta,
Organ yang kompeten dari organisasi internasional yang
bersangkutan. Akibat hukum Pensyaratan / reservasi adalah :
merubah ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian,
memodifikasi akibat hukum ketentuan tertentu dalam hal
pelaksanaannya oleh negara yang melakukan ratifikasi.
 
Prosedur reservasi, pernyataan menerima reservasi,
menolak reservasi harus diformulasikan dalam dalam bentuk
tertulis dan disampaikan kepada negara peserta lain dan
negara yang berhak menjadi peserta. Jika reservasi
diformulasikan pada saat penandatanganan maka harus
diformalkan pada saat meratifikasi atau mengikutsertai
perjanjian.
B. PENDAFTARAN DAN PENERBITAN
  Outline Rapat
Pentingnya pendaftaran dan penerbitan perjanjian internasional telah diatur dalam
Konvensi Wina. Dalam Pasal 102, dan kesepakatan hukum internasional terdaftar sebagai
anggota PBB, secepat mungkin dengan didaftarkan di seluruh perjanjian Sekretariat
Organisasi Internasional dan dipublikasikan. Tidak ada keanggotaan dari perjanjian
internasional tanpa ada pendaftaran atau didaftarkan oleh badan PBB. Konsekuensinya,
negara pihak tidak mendaftarkan perjanjian atau persetujuan tidak dapat menjadi subyek
yang dapat berperkara di Pengadilan Internasional. yang Pembatalan dan Berakhirnya
Perjanjian Internasional
 
Untuk mencegah negara mengelak dari tanggungjawab yang dibebankan kepadanya
dalam sebuah perjanjian internasional. Pasal 42 ayat (1) VCLT menyatakan bahwa sahnya
sebuah perjanjian atau persetujuan sebuah negara untuk tunduk pada aturan dalam
sebuah perjanjian internasional hanya dapat diberhentikan melalui aturan yang tertuang
dalam konvensi ini". Tujuan pembuatan pasal tersebut adalah untuk mencegah adanya
tindakan meremehkan integritas perjanjian internasional dengan alasan yang tidak masuk
akal. Dalam peraturan lebih lanjut Pasal 44 ayat (1) VCLT secara tegas menyatakan bahwa
negara hanya diperbolehkan untuk menangguhkan atau menarik pemberlakuan
perjanjian internasional secara keseluruhan dan bukan pada bagian tertentu saja
terkecuali apabila terdapat peraturan dalam perjanjian tersebut yang mengatur
sebaliknya.
Outline Rapat
Demikian pula dalam Pasal 44 ayat (3) VCLT yang hanya
memperbolehkan penangguhan atau menarik pemberlakuan
sebuah perjanjian pada bagian/aturan tertentu apabila
berkenaan dengan :
 
a. Pasal yang dimaksud merupakan pasal tunggal yang tidak
berkaitan dengan pasal-pasal yang lain dalam perjanjian tersebut
dalam penerapanya.
b. Telah diatur dalam perjanjian tersebut bahwa pengakuan
terhadap pasal yang dimaksud bukanlah hal yang
perludilakukan/wajib sehingga tidak membutuhkan keterikatan
kepada seluruh peserta perjanjian.
c. Keberlangsungan penerapan sisa pasal-pasal dalam perjanjian
tidak akan diragukan/terpengaruh.
Outline
Malgosa Rapat
Fitzmaurice, menegaskan bahwa batalnya suatu Pl juga bisa
dilihat dari kedudukan negara-negara pihak. Dari Pasal 49-50 konvensi,
bahwapenipuandankorupsi dipandangsebagaifaktayang dapat
membatalkan PL. Misalnya, Pemerintah Thailand mengklaim Candi yang
berada di wilayah perbatasan dengan Kamboja. Pemerintah Thailand
berargumentasi bahwa batas wilayah yang ditunjukan dalam peta lampiran
perjanjian adalah salah sejak tidak mengikuti garis batas laut yang
dijelaskan dalam teks perjanjian. Pengadilan internasional menolak gugatan
Pemerintah Thailand, dengan mengatakan bahwa suatu peraturan hukum
menetapkan bahwa penggugat yang keliru tidak diperbolehkan sebagai
suatu persetujuan, jika pihak yang mengajukan telah berkontribusi dalam
membuat kekeliruan.
 
Selain itu, alasan-alasan dasar yang dapat membatalkan PI
adalahpenggunaankekerasan. Pasal 52 denganjelas memperlihatkan adanya
hubungan antara negara pihak menggunakan kekerasan dalam perjanjian
Piagam PBB mengakui Pasal 52 Konvensi Wina bahwa dalam hukum
internasional kontemporer, suatu persetujuan PI akan menjadi batal jika
dilakukan dengan menggunakan ancaman atau menggunakan kekerasan.
Outline Rapat
Dalam konsep pembatalan sebuah perjanjian internasional acapkali yang
menjadi kendala adalah keabsahan sebuah perjanjian internasional ditinjau dari
segi konstitusi sebuah negara peserta perjanjian. Di beberapa kasus terdapat
negara yang dalam konstitusinya menjelaskan bahwa pelaksana eksekutif sebuah
negara tidak dapat melakukan kewajiban tertentu yang dibebankan sebuah
perjanjian internasional tanpa seijin parlemen atau penguasa legislatif. Hal tersebut
menyebabkan negara melakukan tindakan ketidakpatuhan terhadap perjanjian
internasional yang dibebankan oleh konstitusinya.
Berbagai macam pendapat ahli berkembang menanggapi isu tersebut, namun
terdapat sebuah pendapat yang menyatakan bahwa sebuah perjanjina
internasional akan secara otomatis batal demi hukum apabila dalam aturan
konstitusi negara peserta perjanjian internasional tersebut melarang
pemberlakuanya. Alasan dasar pendapat tersebut adalah ketika perwakilan negara
(penguasa eksekutif) bertindak dalam ranah wewenang yang diberikan oleh
konstitusiyang mana koridor kebebasan bertindak dibatasi oleh aturan-aturan yang
tercantum dalam konstitusi.
Pendapat ahli yang lainya menyebutkan bahwa perjanjian internasional masih
dapat berlaku, namun keabsahanya tidak lagi terjaga apabila rekanan negara
peserta perjanjian internasional tersebut mengetahui bahwa negara tersebut telah
melanggar peraturan konstitusinya dengan tunduk pada perjanjian internasional
yang dipermasalahkan.
Outline Rapat
Pendekatan yang kedua dapat dilihat dalam Pasal 46 VCLT yang
menyatakan bahwa:
 
1. Negara tidak dapat menarik kembali fakta ketika negara tersebut telah
mengekspresikan keinginanya untuk tunduk terhdap sebuah perjanjian
internasional telah melanggar aturan hukum di dalam negerinya terkait
kompetensi untuk mengikatkan diri terhdap sebuah perjanjian dan akan
berakibat batalnya pernyataan untuk mengikatkan diri tersebut, kecuali
pelangaran tersebut merupakan perwujudan dan dianggap terkait dengan
hukum nasional yang sifatnya fundamentalis.
 
2. Sebuah pelanggaran akan menjadi nyata apabila pelanggaran tersebut
akan menjadi bukti obyektif bagi setiap negara yang melakukan hal serupa
apabila dibandingkan dengan praktek pada umunya dan prinsip iktikad
baik
4.10 Berakhirnya Perjanjian Internasional
Outline Rapat
Sedangkan dalam berakhirnya perjanjian internasional terdapat beberapa metode
yang dapat diterapkan, yang paling umum adalah berakhirnya perjanjian berdasarkan
kesepakatan yang telah diatur dalam perjanjian terlebih dahulu. Pada umumnya dalam
penyusunan sebuah perjanjian internasional akan mencantumkan kapan mulai
berlakunya perjanjian dan pilihan apakah perjanjina akan berakhir atau dapat
diperbaharui dalam jangka waktu tertentu. Dalam Pasal 54(1)(b) VCLT mengakui adanya
praktek pengakhiran perjanjian internasional dengan kesepakatan para pihak dengan
adanya musyawarah/konsultasi terlebih dahulu.
 
Apabila didalam sebuah perjanjian tidak terdapat pasal yang menjelaskan
mengenai masa berakhirnya perjanjian maka negara peserta perjanjian dapat merujuk
pada aturan Pasal 56 VCLT yang memberikan hak kepada negara peserta perjanjian
internasional untuk menarik atau mengakhiri keikutsertaanya dalam perjanjian yang
dapat dilakukan dengan memberikan sebuah pemberitahuan tidak kurang dari 12 bulan
dari keinginan untuk menarik diri atau mengakhiri perjanjian. Aturan serupa juga dapat
dijumpai pada Pasal 58 VCLT yang memperbolehkan dua atu lebih negara peserta dapat
menunda pemberlakuan perjanjian selama penangguhan tersebut tidak akan
berpengaruh terhadap hak kewajiban dan tidak melanggar atau bertentangan dengan
isi dari ketentuan dalam perjanjian.
A. BERAKHIRNYA PERJANJIAN INTERNASIONAL KARENA MATERINYA
  Outline Rapat
Melanggar Pelanggaran isi perjanjian dapat pula menyebabkan negara
mengajukan berakhirnya perjanjian atau pemberian ganti rugi. Dalam
beberapa perdebatan banyak dibahas mengenai kategori pelanggaran berat
dan pelanggaran ringan terhadap perjanjian dimana pelanggaran berat dapat
menjadi alasan pengajuan berakhirnya perjanjian.
 
B. PELANGGARAN ISI PERJANJIAN

Pasal 60 ayat (1) menyatakan bahwa pelanggaran terhadap materi/isi pokok


perjanjian oleh salah satu pihak perjanjian bilateral dapat membuat pihak
yang lain mengajukan pembatalan atau penangguhan pelaksanaan perjanjian
baik sebagian maupun secara keseluruhan. Berbeda dengan perjanjian
bilateral, dalam perjanjian multilateral proses pengajuan pengakhiran
perjanjian jauh lebih rumit karena melibatkan banyak pihak. Apabila salah
satu pihak dalam perjanjian multilateral melakukan pelanggaran maka salah
satu pihak dapat mengajukan pembatalah atau pemutusan perjanjian karena
pelanggaran yang dilakukan akan memberikan ketidakadilan bagi pihak yang
lain.
Pasal 60 ayat (2) VCLT mengatur 3 hal yang dapat dilakukan dalam
pembatalan/pengakhiran perjanjian multilateral. Pertama adalah bahwa apabila terjadi
Outline Rapat
pelanggaran terhadap materi/isi pokok dalam sebuah perjanjian multilateral, maka
peserta perjanjian yang lain dengan suara bulat boleh mengajukan penangguhan atau
penghentian sebagian/keseluruhan perjanjian tersebut, baik terhadap pihak yang
melakukan pelanggaran ataupun terhadap semua pihak peserta perjanjian secara
keseluruhan. Kedua, pihak yang menderita kerugian secara langsung dapat mengajukan
penangguhan/mengakhiri perjanjian multilateral antara negara tersebut dengan negara
yang melakukan pelanggaran saja, dan yang terkahir pihak yang tidak secara langsung
dirugikan oleh pelanggaran yang dilakukan salah satu peserta perjanjian dapat
mengajukan penangguhan/mengakhiri keikutsertaan dalam perjanjian apabila
pelanggaran tersebut telah mempengaruhi proses berjalanya hak dan kewajiban yang
tercantum dalam perjanjian.

C. OBYEKNYA HILANG ATAU RUSAK


 
Berakhirnya perjanjian internasional juga dapat dilakukan ketika kewajiban yang
dibebankan oleh perjanjian tidak mungkin untuk dilakukan karena obyek yang
bersangkutan hilang/rusak secara permanen (Pasal 61 VCLT). Perjanjian internasional
juga dapat berakhir apabila terdapat perubahan mendasar yang terjadi sejak
pembentukan perjanjian, sehingga objek yang ingin dicapai oleh perjanjian menjadi
tidak mungkin untuk dilaksanakan. Pasal 62 VCLT membolehkan pembatalan perjanjian
yang diakibatkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelelah perjanjian dibuat dan
diterapkan.
4.11 Penafsiran, Amandemen dan ModifikasiPerjanjian Internasional
  Outline Rapat
Konvensi Wina 1969 mengatur tentang Interpretasi Perjanjian Internasional. hal
tersebut tertera dalam tiga pasal, yaitu Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 34, tetapi
meliputi masalah yang sangat luas sekali. Dalam bagian ini hanya membahas pokok-
pokok saja. Naskah suatu perjanjian dapat diartikan secara luas dan ditambah
pengertiannya selama masih sesuai atau sejalandengan kehendak semula daripada
pembuat perjanjian. Pasal 31 Konvensi Wina menetapkan ketentuan umum tentang
penafsiran yang terdiri dari empat ayat, yaitu:
 
a.Suatu perjanjian harus ditafsirkan dengan iktikad baik menurut arti kata katanya
yang biasa dalam rangka obyek dan maksudnya 
b. Kerangka maksud penafsiran harus mencakup sebagai tambahan atau teks,
kecuali naskah mukadimah dan lampiran yang mencakup setiap persetujuan dan
naskah yang ada hubungannya dengan penetapan perjanjian tersebut.
c. Harus juga diperhatikan setiap persetujuan dan praktek penerapan yang
menyusul pembentukan perjanjian, serta setiap aturan hukum internasional yang
relevan
d. Arti yang khusus dapat ditetapkan bagi suatu hal bila dikehendaki demikian
Outline Rapat
Pasal 31 ini memiliki dasarnya pada ayat yang pertama, yaitu pada Iktikad
baik (good faith) dan arti yang biasa dari kata kata (ordinary meaning of term)
Dalam Hukum Internasional dikenal three school of thoughts, aliran/approach
mengenal interpretasi Pertama aliran yang berpegang pada kehendak para
pembuat perjanjian itu. Aliran ini menggunakan secara luas "preparatory
work/travaux preparatories" pekerjaan pendahuluan dan bukti-bukti yang
menggambarkan kehendak para pihak.
 
Aliran pemikiran Ternal school, yang menghendaki bahwa kepada naskah
perjanjian hendaknya diberikan arti yang lazim dan terbaca dari kata-kata itu
(ordinary and apparent meaning of the words). Jadi unsur pentingnya adalah
naskah perjanjian itu dan kemudian kehendak para pihak pembuat perjanjian
serta obyek dan tujuan dari perjanjian in
 
Aliran Teleologis, cara penafsiran ini menitik beratkan pada interpretasi dengan
melihat obyek dan tujuan umum dari perjanjian it yang berdiri sendiri terlepas dari
kehendak semula pembuat perjanjian itu. Dengan demikian naskah suatu
perjanjian dapat diartikan secara luas dan ditambah pengertiannya selama masih
sesual atau sejalan dengan kehendak semula daripada pembuat perjanjian.
4.12 Outline Rapat
Amandemen Perjanjian Internasional
 
International lato comission (ILC) yang menyusunan Wina 1969, memberikan
pengertian Amademen sebagi perubahan terbatas maupun perubahan umum
dari suatu perjanjian yang dalam hal ini berlaku untuk semua peserta.
Amademen sebagai mana dimaksud dalam uraian tersebut, hanyalah satu
dari beberapa bentuk perubahan perjanjian yang dikenal dalam hukum
Internasional.
 
Perubahan perjanjian itu sendiri terjadi bilamana diadakan penambahan
ketentuan-ketentuan asli, sementara perjanjian itu sendiri tetap berlaku.
Karena amandemen merupakan suatu bentuk perubahan dari suatu
perjanjian, maka bentuk-bentuk lainya adalah modifikasi. Konvensi wina 1969
membedakan secara tegas antara amademen dan modifikasi serta
mengaturnya dalam ketentuan yang berbeda. Modifikasi adalah perubahan
perjanjian yang diadakan oleh dua atau lebih peserta akan tetapi tidak semua
peserta terlibat dalam perjanjian multilateral.
Perubahan atau pembuatan amandemen terhadap perjanjian itu tergantung dari
kesepakatan para pihak. Mengenai perubahan atau amandemen terhadap perjanjian
Outline Rapat
multilateral ini tidak mengharuskan adanya prakarsa dari semua Negara pihak dari
perjanjian tersebut.
 
Namun setiap usul perubahan baik di dalam bentuk amandemen atau revisi haruslah
diberitahukan kepada semua Negara pihak dan semuanya berhak untuk ikut serta dalam
mengambil keputusan tentang kelanjutan usul perubahan tersebut. Setiap Negara akan
mempunyai hak untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang
yang akan diambil mengenai usul tersebut dan berpartisipasi dalam perundingan dan
persetujuan mengenai perubahan perjanjian tersebut. Doktrin Hukum Antar Waktu
(Doctrine of Inter-temporary Law), memberikan penafsiran terhadap hukum internasional,
bahwa keabsahan dari suatu perbuatan harus merujuk pada ddaya paksa hukum,
diberlakukan pada waktu dan tempat yang bersamaan.
 
Dengan kata lain, suatu penafsiran dilakukan berdasarkan hukum yang dapat
diterapkan ketika disetujui. Mahkamah Internasional menegaskan bahwa prinsip Doctrine
of Inter-temporary Law dalam kasus Namibia, Advisory Opinion menyatakan bahwa suatu
Pl ditafsirkan dan diterapkan dalam suatu kerangka seluruh sistem hukum yang
menyediakan waktu untuk melakukan penafsiran Dalam kasus Eritrea - Ethiopia Boundary
Decission pengadilan menyatakan bahwa prinsip contemporarity berpengaruh suatu Pl
ditafsirkan merujuk pada suatu kondisi yang tersedia ketika Pl disahkan."
4.13 Perjanjian antara Negara dengan Organisasi Internasional dan
antar-Organisasi Internasional
Outline Rapat
 
Selama ini, pengaturan Plantara negara-negara sebagaimana diatur dalam
Konvensi Wina 1969 memang pada mulanya konvensi tersebut telah berusaha
mengatur tentang PI antara negara dengan organisasi internasional. Namun, karena
organisasi internasional memiliki karakter yang khusus dan untuk mencegah
tertundanya Konvensi 1969, maka konvensi tersebut dibatasi cakupannya hanya
untuk negara saja. Dalam kondisi demikian, maka Konvensi Wina 1969 diterapkan
hanya terhadap Plantar negara saja, apakah didasarkan pada kodifikasi atas hukum
kebiasaan internasional?
Untuk mengisi pengaturan Plantar negara dengan organisasi internasional,
kemudian Komisi Hukum Internasional menyiapkan suatu naskah tahun 1982 terkait
pengaturan PI antar organisasi internasional yang kemudian diadipsi tahun 1986.
Konvensi Wina 1986 telah mulai mengikat setelah diratifikasi oleh 35 negara. Pasal
73 dari Konvensi 1986 menyediakan aturan untuk menjawab persoalan tumpang
tindih antara pihak negara diatur dalam Konvensi 1969 yang ada kaitannya dengan
perjanjian antar negara negara dan satu atau lebih organisasi-organisasi
internasional.
Outline Rapat
Selain itu, ada persoalan yang timbul pertanggungjawaban negara terhadap
PI yang disahkan oleh terkait organisasi internasional, dimana negara-negara
tersebut bukan pihak dari Pl tersebut. Suatu contoh terkait timbulnya
kekuatan mengikat pembuatan perjanjian secara eksternal (the external
treaty making power) Masyarakat Ekonomi Eropa. Dalam beberapa kasus,
pertanggung jawaban suatu negara sangat tergantung pada UUD material
suatu negara dari organisasi internasional tersebut. Begitu juga organisasi
internasional tidak dapat menjadi pihak dalam suatu prosedur didepan
pengadilan internasional.

Dari penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa PI dalam hubungan


internasional menjadi sangat penting bagi negara-negara, melainkan
juga bagi organisasi-organisasi internasional. Selain organisasi
internasional dapat terikat oleh Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina
1986, juga terikat oleh konstitusi diman organisasi internasional
berdomisili.
Outline Rapat

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai