PERJANJIAN
INTERNASIONAL
DALAM HUBUNGAN
INTERNASIONAL
Outline Rapat yang
Hubungan internasional diperankan negara-
negara dan organisasi internasional, tidak akan tercipta
secara harmonis jika tidak didukung perjanjian
internasional. Suatu instrumen hukum internasional,
digunakan sebagai peraturan, pedoman utama dan
kaidah normatif bagi pihak-pihak dalam menjalankan
hubungan internasional secara baik dan damai.
Menurut Pasal 2 ayat (1) butir (a) Konversi Wina 1969, definisi Pl
adalah: "An International Agreement concluded between States (and International
Organizations) in written form and governed by International Law, whether embodied in
a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular
designation". (suatu persetujuan internasional yang diadakan antara negara-negara
dalam bentuk yang tertulis dan diatur oleh hukum internasional baik yang berupa satu
instrumen tunggal atau berupa dua atau lebih instrumen yang saling berkaitan tanpa
memandang apapun juga namanya.)
Outline
Menurut Rapat
John O'Brien, ada enam hal penting terkandung
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yaitu definisi tersebut menunjukan
bahwa maksud yang persisnya bukan materiil, melainkan
mencerminkan fakta yang lebih luas dari terminologi yang akan
digunakan. Kedua, kesesuaian dari instrumen terdiri dari
perjanjian yang tidak berkaitan dengan substansi persoalan. Ketiga
definisi hanya merujuk pada suatu kesepakatan antar negara.
Hal ini dimaksudkan bahwa negara-negara bermaksud hanya untuk membedakan
adanya perjanjian yang dilakukan oleh organisasi internasional. Keempat, definisi
mengkhususkan adanya bentuk perjanjian internasional yang tertulis. Hal ini
dimaksudkan untuk memudahkan sistem pendaftaran di Sekretariat PBB sebagaimana
diperintahkan Pasal 18 Piagam Liga Bangsa-Bangsa. Kelima, definisi juga merujuk pada
PI yang dibuat berdasarkan pada prosedur hukum internasional. Keenam,
sebagaimana definisi tersebut telah mencakup PI dibuat harus berdasarkan prosedur
dari Komisi Hukum Internasional.
Adapun fungsi PI dalam hubungan internasional,
sebagaiOutline
berikut: Rapat
Pertama, PI merupakan suatu tanda bagi suatu negara yang telah menempatkan dirinya
sebagai negara moderen yang beradab. Menggunakan perundingan dan perjanjian,
negara-negara akan berusaha untuk menahan diri dari tindakan penggunaan kekeran di
dalam penyelesaian sengketa. Dalam merumuskan perjanjian internasional, pihak-pihak
yang mewakili negara hendaknya menggunakan mekanisme lobi, negosiasi, dan
pertimbangan untung dan rugi bagi kepentingan nasional (national interest).
Kedua, sebagai pedoman tertulis yang mengandung kepastian hukum bagi kedua negara
atau lebih untuk dijadikan rujukan dalam melakukan hubungan internasional dan juga
sebagai arah dari pembangunan nasional negara masing-masing. Misalnya, berdirinya
badan PBB terkait dengan bantuan program pembangunan (United Nations for
Development Program - UNDP). bagi negara-negara yang sedang membangun dan
mengembangkan demokrasi.
Ketiga, sebagai sertifikat atau bukti bahwa negara-negara tersebut terikat berbagai
kesepakatan internasional, sehingga jika dikemudian hari terdapat sengketa maka model
penyelesaian sudah jelas ada rujukannya di luar atau di dalam pengadilan. Tidak
mengherankan karenanya, jika suatu negara memiliki atau meratifikasi instrumen hukum
internasional, maka negara tersebut dipandang sebagai negara yang maju dan lebih
beradab.
4.2 Peristilahan yang digunakan dalam Perjanjian Internasional
Outline Rapat
Bila mengacu pada John O'Brien, maka ada sembilan istilah yang digunakan untuk
menyebutkan adanya Perjanjian Internasional antara lain sebagai berikut:
1. Convention (konvensi), yaitu persetujuan formal yang bersifat multilateral dan tidak
berurusan dengan kebijaksanaan tingkat tinggi (high policy). Contohnya, Konvensi Wina
1961 tentang Hubungan Diplomatik,
2. Protocol (protokol), yaitu persetujuan yang tidak resmi dan pada umumnya tidak
dibuat oleh kepala negara, mengatur masalah masalah tambahan seperti ketentuan
tambahan sebuah perjanjian.
6. Modus vivendi, yaitu dokumen untuk mencatat persetujuan internasional yang bersifat
sementara sampai berhasil diwujudkan perjumpaan yang lebih permanent, terinci dan
sistematis serta tidak memerlukan ratifikasi.
7. Covenant yaitu anggaran dasar LBB (Liga Bangsa Bangsa yang dipergunakan pada tahun
1919. Contohnya adalah Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, dan Kovenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Outline Rapat
Sebelum rancangan PI diterima, disahkan dan mengikat negara-negara pihak,
sebelumnya harus disetujui oleh /, wakil wakil negara yang hadir. Hal ini diatur
dalam Pasal 9, dan prosedur ini juga digunakan Majelis Umum PBB. Kedua, ada juga
rancangan Pl disetujui dan diterima oleh wakil negara-negara melalui kesepakatan
aklamasi, sehingga tidak memerlukan pengumpulan suara didalamnya. Singkatnya,
suatu PI akan mengikat negara negara sangat tergantung pada kesepakatannya.
Oleh karenanya, tidak ada persetujuan dilahirkan, tanpa pasal-pasal Pl mengikat.
Menurut Malgosia Fitzmaurice, ada beberapa cara menyetujui suatu Perjanjian
Internasional. Pertama, persetujuan dengan tanda tangan (consent by
signature), suatu sikap diberikan oleh negara negara pihak untuk menandatangani
teks yang telah dibuat dan diharapkan mengikat. Penandatanganan tersebut
utamanya dilakukan oleh wakil-wakil yang memiliki kewenangan penuh Namun,
penandatanganan suatu perjanjian lebih memperlihatkan prosedur formal. Maksud
dan tujuan sebagaimana diatur Pasal 12 negara-negara yang memberikan tanda
tangan terkadang tidak otomatis dapat diberlakukan dan mengikat, mengingat
adanya keharusan untuk meratifikasi didasarkan pada hukum nasionalnya.
Outline Rapat
c. The Formal Clauses, atau ketentuan-ketentuan protokoler yang berkaitan dengan teknik
atau prosedur formal atau hal yang berkaitan dengan penerapan atau hukum prosedural
dari pemberlakuan perjanjian internasional.
d. Adapun ketentuan-ketentuan yang biasanya terpisah muncul
sebagai berikut:
Outline Rapat
(1) tanggal perjanjian internasional,
(2) model dari penerimaan (tanda tangan, aksesi),
(3) peluang keterbukaan perjanjian internasional untuk ditanda
tangani,
(4) pemberlakuan,
(5) lamanya,
(6) pembatalan oleh membuat hukum, dimaknai sebagai suatu
kesepakatan yang memiliki daya ikat hukum yang terbuka
dan luas, dapat dipaksakan baik kepada negara-negara yang
ikut menandatangani (third parties) atau sebagai negara
pihak, atau negara-negara yang tidak hadir karena memang
negara tersebut belum berdiri atau belum memiliki
kedaulatan penuh atau negara-negara tersebut tidak mau
menyetujui.
e. Tanda tangan, tanggal dan tempat, formulir tanda tangan.
f. Tanda tangan dilakukan peserta yang berwewenang
4.6 Prosedur Pembuatan Perjanjian Internasional
Outline Rapat
Begitu banyak praktek dan pengalaman negara-negara dalam proses
pembuatan Perjanjian Internasional (the Treaty Law Making). Namun, tidak
ada yang menjadi satu standar yang dipergunakan. Mengingat setiap negara
dengan sistem hukumnya memiliki cara dan sikap yang tidak sama. Namun,
secara umum seperti dijelaskan oleh J. G. Starke, ada delapan (8) tahap
bagaimana prosedur Perjanjian Internasional wajib dipatuhi, Tahapan
tersebut yaitu sebagai berikut:
Kedua, persoalan PI bukan sekedar urusan Presiden, atau Perdana Menteri melainkan
juga urusan dari wakil-wakil rakyat. Setiap upaya untuk memberlakukan PI menuntut
adanya suatu pengesahan dari anggota parlemen. Model ratifikasi demikian ini, tentu
tidak saja terbatas pada PI bersifat Multilateral saja, akan tetapi berlaku pada PI bersifat
bilateral dan Trilateral.
Ketiga, dalam praktek ratifikasi PI ke dalam hukum nasional di
Outline Rapat
negara-negara penganut teori dualisme memang tidak mudah.
Selain hakim-hakim dalam hal menemukan hukum baru ketika
dalam hukum nasional tidak diaturnya, maka hakim sangat
tergatung kepada pengesahan dari anggota parlemen. Hal ini juga
menjadi lebih rigid ketika hakim-hakim di negara-negara sistem
kontinental tidak memberlakukan doktrin precedent. Meski putusan
putusan hakim di masa lalu, yang mengandung kebenaran dan
keadilan sekalipun, tetap saja hakim tidak mudah untuk menjadi
putusan-putusan tersebut sebagai sumber hukum yang patut
dipertimbangkan.
C. AKSESI DAN ADHESI
Aksesi terjadi ketika suatu negara tidak menandatangani suatu perjanjian, namun
negara tersebut dapat menerima atau mematuhinya. Para pemikir hukum internasional
membedakan antara aksesi dengan adhesi. Aksesi merupaka suatu bentuk penerimaan atas
perjanjian yang dilakukan oleh suatu negara menjadi pihak dan menerima atas keseluruhan
pasal tanpa ada reservasi atas perjanjian internasional tersebut. Sedangkan adhesi
merupakan bentuk pemberlakuan dimana suatu negara hanya menerima sebagian saja dari
pasal-pasal perjanjian internasional tersebut. Karena itu, negara-negara yang tergolong
pada aksesi memiliki status yang sama dengan negara negara yang menandatangani
perjanjian internasional sebelumnya. Dasar aksesi diatur dalam Pasal 2 Konvensi Wina,
"accession has received the same definition as ratification.”
Secara praktis, negara-negara yang tidak menanda tangani suatu perjanjian
secara teori dapat menerima perjanjian internasional hanya apabila ada
Outline Rapat
persetujuan dari seluruh negara yang telah menjadi pihak dalam perjanjian
internasional tersebut. Rasio hukum dari alasan tersebut adalah negara-negara
pihak berhak untuk mengetahui dan menyetujui terhadap pihak-pihak lain
dimana perjanjian internasional telah mengikat mereka, sehingga keseimbangan
antara hak dan kewajiban yang dibuat oleh perjanjian internasional tidaklah
mengganggu.
A. RESERVASI
Sebagaimana diatur Pasal 19 Konvensi Wina 1969, suatu Negara pada waktu melakukan
penandatangan, ratifikasi, menerima, mengesahkan atau aksesi terhadap suatu perjanjian
boleh mengajukan reservasi kecuali jika (a) Reservasi itu dilarang oleh perjanjian; (b)
Perjanjian itu sendiri menyatakan bahwa hanya reservasi-reservasi tertentu yang tidak
termasuk reservasi yang dipersoalkan, boleh diajukan. Dalam hal tidak termasuk di dalam
sub paragraph (a) dan (b), maka reservasi itu bertentangan dengan tujuan dan maksud
perjanjian.
Outline
Reservasi Rapat
dapat dilakukan dengan 2 macam cara, yaitu
dengan tidak memerlukan persetujuan negara peserta
lainnya dan melalui persetujuan dari: Semua negara peserta,
Organ yang kompeten dari organisasi internasional yang
bersangkutan. Akibat hukum Pensyaratan / reservasi adalah :
merubah ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian,
memodifikasi akibat hukum ketentuan tertentu dalam hal
pelaksanaannya oleh negara yang melakukan ratifikasi.
Prosedur reservasi, pernyataan menerima reservasi,
menolak reservasi harus diformulasikan dalam dalam bentuk
tertulis dan disampaikan kepada negara peserta lain dan
negara yang berhak menjadi peserta. Jika reservasi
diformulasikan pada saat penandatanganan maka harus
diformalkan pada saat meratifikasi atau mengikutsertai
perjanjian.
B. PENDAFTARAN DAN PENERBITAN
Outline Rapat
Pentingnya pendaftaran dan penerbitan perjanjian internasional telah diatur dalam
Konvensi Wina. Dalam Pasal 102, dan kesepakatan hukum internasional terdaftar sebagai
anggota PBB, secepat mungkin dengan didaftarkan di seluruh perjanjian Sekretariat
Organisasi Internasional dan dipublikasikan. Tidak ada keanggotaan dari perjanjian
internasional tanpa ada pendaftaran atau didaftarkan oleh badan PBB. Konsekuensinya,
negara pihak tidak mendaftarkan perjanjian atau persetujuan tidak dapat menjadi subyek
yang dapat berperkara di Pengadilan Internasional. yang Pembatalan dan Berakhirnya
Perjanjian Internasional
Untuk mencegah negara mengelak dari tanggungjawab yang dibebankan kepadanya
dalam sebuah perjanjian internasional. Pasal 42 ayat (1) VCLT menyatakan bahwa sahnya
sebuah perjanjian atau persetujuan sebuah negara untuk tunduk pada aturan dalam
sebuah perjanjian internasional hanya dapat diberhentikan melalui aturan yang tertuang
dalam konvensi ini". Tujuan pembuatan pasal tersebut adalah untuk mencegah adanya
tindakan meremehkan integritas perjanjian internasional dengan alasan yang tidak masuk
akal. Dalam peraturan lebih lanjut Pasal 44 ayat (1) VCLT secara tegas menyatakan bahwa
negara hanya diperbolehkan untuk menangguhkan atau menarik pemberlakuan
perjanjian internasional secara keseluruhan dan bukan pada bagian tertentu saja
terkecuali apabila terdapat peraturan dalam perjanjian tersebut yang mengatur
sebaliknya.
Outline Rapat
Demikian pula dalam Pasal 44 ayat (3) VCLT yang hanya
memperbolehkan penangguhan atau menarik pemberlakuan
sebuah perjanjian pada bagian/aturan tertentu apabila
berkenaan dengan :
a. Pasal yang dimaksud merupakan pasal tunggal yang tidak
berkaitan dengan pasal-pasal yang lain dalam perjanjian tersebut
dalam penerapanya.
b. Telah diatur dalam perjanjian tersebut bahwa pengakuan
terhadap pasal yang dimaksud bukanlah hal yang
perludilakukan/wajib sehingga tidak membutuhkan keterikatan
kepada seluruh peserta perjanjian.
c. Keberlangsungan penerapan sisa pasal-pasal dalam perjanjian
tidak akan diragukan/terpengaruh.
Outline
Malgosa Rapat
Fitzmaurice, menegaskan bahwa batalnya suatu Pl juga bisa
dilihat dari kedudukan negara-negara pihak. Dari Pasal 49-50 konvensi,
bahwapenipuandankorupsi dipandangsebagaifaktayang dapat
membatalkan PL. Misalnya, Pemerintah Thailand mengklaim Candi yang
berada di wilayah perbatasan dengan Kamboja. Pemerintah Thailand
berargumentasi bahwa batas wilayah yang ditunjukan dalam peta lampiran
perjanjian adalah salah sejak tidak mengikuti garis batas laut yang
dijelaskan dalam teks perjanjian. Pengadilan internasional menolak gugatan
Pemerintah Thailand, dengan mengatakan bahwa suatu peraturan hukum
menetapkan bahwa penggugat yang keliru tidak diperbolehkan sebagai
suatu persetujuan, jika pihak yang mengajukan telah berkontribusi dalam
membuat kekeliruan.
Selain itu, alasan-alasan dasar yang dapat membatalkan PI
adalahpenggunaankekerasan. Pasal 52 denganjelas memperlihatkan adanya
hubungan antara negara pihak menggunakan kekerasan dalam perjanjian
Piagam PBB mengakui Pasal 52 Konvensi Wina bahwa dalam hukum
internasional kontemporer, suatu persetujuan PI akan menjadi batal jika
dilakukan dengan menggunakan ancaman atau menggunakan kekerasan.
Outline Rapat
Dalam konsep pembatalan sebuah perjanjian internasional acapkali yang
menjadi kendala adalah keabsahan sebuah perjanjian internasional ditinjau dari
segi konstitusi sebuah negara peserta perjanjian. Di beberapa kasus terdapat
negara yang dalam konstitusinya menjelaskan bahwa pelaksana eksekutif sebuah
negara tidak dapat melakukan kewajiban tertentu yang dibebankan sebuah
perjanjian internasional tanpa seijin parlemen atau penguasa legislatif. Hal tersebut
menyebabkan negara melakukan tindakan ketidakpatuhan terhadap perjanjian
internasional yang dibebankan oleh konstitusinya.
Berbagai macam pendapat ahli berkembang menanggapi isu tersebut, namun
terdapat sebuah pendapat yang menyatakan bahwa sebuah perjanjina
internasional akan secara otomatis batal demi hukum apabila dalam aturan
konstitusi negara peserta perjanjian internasional tersebut melarang
pemberlakuanya. Alasan dasar pendapat tersebut adalah ketika perwakilan negara
(penguasa eksekutif) bertindak dalam ranah wewenang yang diberikan oleh
konstitusiyang mana koridor kebebasan bertindak dibatasi oleh aturan-aturan yang
tercantum dalam konstitusi.
Pendapat ahli yang lainya menyebutkan bahwa perjanjian internasional masih
dapat berlaku, namun keabsahanya tidak lagi terjaga apabila rekanan negara
peserta perjanjian internasional tersebut mengetahui bahwa negara tersebut telah
melanggar peraturan konstitusinya dengan tunduk pada perjanjian internasional
yang dipermasalahkan.
Outline Rapat
Pendekatan yang kedua dapat dilihat dalam Pasal 46 VCLT yang
menyatakan bahwa:
1. Negara tidak dapat menarik kembali fakta ketika negara tersebut telah
mengekspresikan keinginanya untuk tunduk terhdap sebuah perjanjian
internasional telah melanggar aturan hukum di dalam negerinya terkait
kompetensi untuk mengikatkan diri terhdap sebuah perjanjian dan akan
berakibat batalnya pernyataan untuk mengikatkan diri tersebut, kecuali
pelangaran tersebut merupakan perwujudan dan dianggap terkait dengan
hukum nasional yang sifatnya fundamentalis.
2. Sebuah pelanggaran akan menjadi nyata apabila pelanggaran tersebut
akan menjadi bukti obyektif bagi setiap negara yang melakukan hal serupa
apabila dibandingkan dengan praktek pada umunya dan prinsip iktikad
baik
4.10 Berakhirnya Perjanjian Internasional
Outline Rapat
Sedangkan dalam berakhirnya perjanjian internasional terdapat beberapa metode
yang dapat diterapkan, yang paling umum adalah berakhirnya perjanjian berdasarkan
kesepakatan yang telah diatur dalam perjanjian terlebih dahulu. Pada umumnya dalam
penyusunan sebuah perjanjian internasional akan mencantumkan kapan mulai
berlakunya perjanjian dan pilihan apakah perjanjina akan berakhir atau dapat
diperbaharui dalam jangka waktu tertentu. Dalam Pasal 54(1)(b) VCLT mengakui adanya
praktek pengakhiran perjanjian internasional dengan kesepakatan para pihak dengan
adanya musyawarah/konsultasi terlebih dahulu.
Apabila didalam sebuah perjanjian tidak terdapat pasal yang menjelaskan
mengenai masa berakhirnya perjanjian maka negara peserta perjanjian dapat merujuk
pada aturan Pasal 56 VCLT yang memberikan hak kepada negara peserta perjanjian
internasional untuk menarik atau mengakhiri keikutsertaanya dalam perjanjian yang
dapat dilakukan dengan memberikan sebuah pemberitahuan tidak kurang dari 12 bulan
dari keinginan untuk menarik diri atau mengakhiri perjanjian. Aturan serupa juga dapat
dijumpai pada Pasal 58 VCLT yang memperbolehkan dua atu lebih negara peserta dapat
menunda pemberlakuan perjanjian selama penangguhan tersebut tidak akan
berpengaruh terhadap hak kewajiban dan tidak melanggar atau bertentangan dengan
isi dari ketentuan dalam perjanjian.
A. BERAKHIRNYA PERJANJIAN INTERNASIONAL KARENA MATERINYA
Outline Rapat
Melanggar Pelanggaran isi perjanjian dapat pula menyebabkan negara
mengajukan berakhirnya perjanjian atau pemberian ganti rugi. Dalam
beberapa perdebatan banyak dibahas mengenai kategori pelanggaran berat
dan pelanggaran ringan terhadap perjanjian dimana pelanggaran berat dapat
menjadi alasan pengajuan berakhirnya perjanjian.
B. PELANGGARAN ISI PERJANJIAN
TERIMA KASIH