Anda di halaman 1dari 169

Hukum Perjanjian Internasional

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG


BY :
AVE AGAVE CHRISTINA SITUMORANG
Terminologi Perjanjian Internasional

Treaty Final Act Arrangement


Convention Exchange of Notes
Agreement Agreed Minutes
M of U Summary Records
Protocol Process Verbal
Charter Modus Vivendi
Declaration Letter of Intent
Basic Instrumens of Treaty
• Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969
• Vienna Convention on the Law of Treaties, between
States and International Organizations or Between
International Organization, 1986
• Vienna Convention on The Succession of States with
Respect to Treaties, 1978
• UU No.24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian
Internasional
• UU No.37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar
Negeri
Hukum Perjanjian Internasional
• The law of treaties
• Dalam hubungan internasional  kerjasama internasional dituangkan
dalam treaty  Alat utama kerjasama internasional
• Kerjasama antar negara-negara, negara – OI, OI – OI
• Salah satu sumber hukum internasional  sumber utama hukum
internasional
• Pasal 38 ayat (1) statuta mahkamah internasional
Pasal 38 ayat (1) Statuta MI
• Sumber hukum internasional :
1. International Conventions  General or Particular
2. International Custom
3. General Principles of Law  Civilized Nations
4. - Judicial Decisions
- The teachings of the most highly qualified publicists of the
various nations
Konvensi Wina 1969
• PBB / UN  Konferensi internasional di Wina Austria : 2 tahap
1. Tanggal 26 Maret s/d 24 Mei 1968
2. Tanggal 9 April s/d 22 Mei 1969
Tanggal 23 Mei 1969 : Penandatanganan “The Vienna Convention on The Law
of Treaties”  Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional
Sebagai dasar pembuatan atau pengaturan pembuatan treaty
Dalam praktek : HI Kebiasaan dalam pembuatan treaty masih diakui!  Lihat
bagian alinea terakhir preambule KW 1969
Konvensi mulai berlaku umum tanggal 27 Januari 1980 setelah dipenuhinya
syarat minimal yang ditetapkan konvensi
Pengertian Perjanjian Internasional
. Secarat Teoritis:
- Oppenheim
- DP O’ Connel
- Mochtar Kusumaatmadja
- JG Starke

Secara Yuridis:
- Vienna Convention 1969 & 1986
Pengertian
- UU No.37 Tahun 1999
Perjanjian Int’l
- UU No. 24 Tahun 2000

Karakter PI:
- persetujuan/kesepakatan Int’l
- Subyek HI
- Bentuk tertulis
- Tunduk pd rezim HI
- Menimbulkan hak dan kewajiban
Pengertian Treaty
• Banyak pengertian
1. Oppenheim:
International treaties are conventions, or contracts, between two or more states concerning various matters of
interest
2. D.P. O’Connell:
Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antar negara yang diatur oleh hukum internasional sebagai
pembeda dengan persetujuan menurut hukum nasional, yang terhadap konsekuensi hukum pembuatan
perjanjian internasional, bentuk dan caranya adalah tidak penting
3. Mochtar Kusumaatmadja : Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat
bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu
4. Michael Virally : A treaty is international agreement which is entered into by two or more states or other
international persons and is governed by international law.
5. JG Starke:
Traktat adalah suatu perjanjian di mana dua negara atau lebih mengadakan atau bermaksud mengadakan suatu
hubungan diantara mereka yang diatur dalam hukum internasional. Sepanjang perjanjian antar negara-negara
terwujud, dengan ketentuan bahwa perjanjian itu bukan hal yang diatur oleh hukum nasional.
6. B Sen : State practice as well as judicial and juristic opinion indicates that the essential elements of treaty are :
a. Treaties are agreements
b. They are agreements between states including international organisations of states
c. Such agreements have as their aims the creation of legal rights and obligations between the parties there to which operate
within the spere of the law nations
4. Pasal 2 ayat (1) butir a Konvensi wina 1969 : treaty means an international agreement concluded between states in
written form and governed by international law, whether embodied in single instrument or in two or more related
instruments and whatever its particular designation
5. Pasal 2 ayat (1) butir a konvensi wina 1986 : treaty means an international agreement governed by international law
and concluded in written form :
a. Between one or more states and one or more international organizations; or
b. Between international organizations, whether that agreements is embodied in a single instrument or in two or more related
instruments and whatever its particular designation
6. Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional :
 Perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum
internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik
7. Pasal 4 (1): Pemerintah RI membuat PI dg satu negara atau lebih, OI, atau subyek HI lain berdasarkan
kesepakatan, dan para pihak berkewajiban utk melaksanakan PI tersebut dg etikad baik.
8. Pasal 1 (3) UU No.37-1999: PI adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum
internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah RI dg satu atau lebih negara, OI atau subyek HI lainnya,
serta menimbulkan hak dan kewajiban pd Pemerintah RI yang bersifat hukum publik

 Dengan demikian apa yang diatur dalam KW 1969 bisa dikatakan mengatur treaty dalam arti sempit! : pihaknya
hanya negara dan bentuknya tertulis
 Padahal dalam praktek hubungan internasional :
a. Pihak : Negara dan OI (Negara-negara, Negara – OI, OI – OI)
b. Bentuk : Tertulis dan lisan (tunduk HI Kebiasaan)
Kriteria PI
1. Berkarakter internasional (an international agreement);
2. Bentuk tertulis
3. Harus dibuat oleh negara dan/atau OI (by subject of
international law);
4. Tunduk pada rezim HI (governed by International law)
5. Embodied in a single instrument or in two or more related
instruments
6. Whatever its particular designation
7. Menimbulkan hak dan kewajiban
Perbedaan Treaty dengan Perjanjian Lainnya
1. Perjanjian masa lampau : serikat – serikat dagang seperti East India
Company dan Verenigde Oost Indische Compagnie dengan Kepala-
kepala negeri bumi putra
2. Kontrak yang dilakukan oleh :
a. Negara dengan individu
b. Negara dengan suatu badan hukum
Tentang Kontrak bagi hasil/Production sharing
 Tunduk pada hukum nasional suatu negara
 Terjadi sengketa : HPI yang berperan
Penggolongan Treaty
1. Bentuk & Instrumen :
2. Pembuatan :
3. Pihak – Sumber Hukum Formil
a. Bilateral  dua pihak  treaty contract
b. Multilateral  banyak pihak  Law Making Treaty
4. Bentuk (Pejabat Pembuat)
i. Heads of States form : High Contracting Parties
ii. Inter Governmental Form  for technical or non-political agreement
iii. Inter State Form  The Parties
iv. Inter Minister Form : antar Menlu
v. Inter Departmental Agreement
vi. The Actual Political Heads of The Countries
5. Nama : Beranekaragam
a. Treaty (sempit) : multilateral dan mengatur hal-hal yang dianggap penting
b. Convention (Konvensi) : instrumen resmi, multilateral, penting, termasuk
instrumen yang dihasilkan / diadopsi oleh suatu OI, hasil kodifikasi HI. ex :
UNCLOS 1982  PBB ; Chicago Convention 1994 : ICAO , dll
c. Protocol : Instrumen pelengkap treaty, sebagai instrumen tambahan.
Treaty yang independen, catatan atau dokumen dari persetujuan tertentu.
Ex : Protocol Jenewa 1977 (I & II) ; Protokol Kyoto, dll
d. Agreement : penting, tidak seformal treaty atau konvensi, pihak-pihak
terbatas, mengatur hal-hal teknis dan administratif. Ex: Bilateral treaty
yang banyak dibuat
e. Arrangement : hampir sama dengan Agreement, untuk transaksi-
transaksi yang bersifat sementara
f. Charter (Piagam) : melandasi pembentukan suatu OI. Ex: Charter of
the United Nations ; Charter of The Organisation of American States
g. Covenant : dalam kamus disamakan dengan Agreement dan
Convention, tidak sering digunakan walau dianggap penting, dipakai
juga sebagai dasar pembentukan OI. Ex: Interntional Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) 1966 ; Internasional
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966 ; Covenant of The
League of Nations.
h. Statute (Statuta) : sama dengan Charter, perjanjian Kolektif,
tambahan suatu konvensi. Ex: Statute of Internasional Court of
Justice
i. Constitution : sama dengan charter. Ex: Constitution of WHO
j. Pact (Pakta) : Perjanjian yang berkaitan dengan unsur-unsur militer.
Ex: Briand Kellog Pact 1928 ; Baghdad Pact 1955 (Bentuk CTO) ;
Warsaw Pact 1955
k. Declaration (Deklarasi) :
 Sebagai treaty penuh : Deklarasi Bangkok 1967 : ASEAN
 Sebagai instrumen yang kurang formal, lampiran Treaty/Konvensi
 Sebagai persetujuan yang tidak begitu formal yang menyangkut hal-hal yang
kecil arti pentingnya (bukan tertulis)
 sebagai suatu resolusi dari sebuah konferensi diplomatik, untuk
menerangkan beberapa prinsip/kebutuhan agar ditaati semua negara. Ex :
Deklarasi Stockholm 1972 : lingkungan hidup ; Declaration on the prohibition
of military political, or economic coercion in the conclusion of treaties yang
diadopsi dalam Konferensi Wina 1968/1969
l. Final Act : mencatat hasil akhir suatu konferensi untuk dibentuk menjadi
perjanjian
m. General Act : sebuah treaty, dipakai semasa LBB. Ex: The general act for
pacific settlement of international disputes 1928  diterima MU – PBB
dengan perubahan tahun 1949
n. Modus vivendi : instrumen untuk mencatat kesepakatan internasional,
sementara (informal) dan akan diformalkan
o. Exchange of notes/of letters : saling pengertian, dipertukarkan antar
pejabat.
p. Istilah – istilah baru : LOI (Letter of Intent), MOU (Memorandum of
understanding), Concorde, Massage, dll.
Keterkaitan Treaty, HI, dan HN

• Posisi Treaty dalam HI


- sebagai sumber HI: “international conventions,
whether general or particular, establishing rules
expressly recognized by the contesting states”
(Art.38 par.1.a)

• Hubungan Treaty dg HN (Indoneaia)


- Teori Hubungan HI – HN
- Pembagian treaty yg self-executing dan
non self-executing
Teori Hubungan HI dan HN

• Aliran Dualisme:
Treaty menjadi berkarakter HN dan menjadi bagian dari
HN melalui proses transformasi (butuh legislasi nasional)

• Aliran Monisme:
Treaty menjadi berkarakter HN dan menjadi bagian dari
HN melalui proses inkorporasi (butuh implementasi)
Treaty akan tetap berkarakter sbg HI

• Bagaimana dg Indonesia ?
Self-executing dan
non self-executing treaty

• Non-self executing = dualisme ?


• Self executing = monisme ?
• Masalah Self execiting atau non-self tdk ditentukan
oleh adanya aliran dalam memandang hubungan HI –
HN, namun ditentukan oleh PI itu sendiri

• Persoalan non-self, muncul bila treaty menyangkut


hak dan kewajiban individu. PI macam ini mewajibkan
neg menciptakan norma (implementation legislation)
Misal: - UN Convention against Corruption
2003, UU N0.20 Th. 2001.
- UNCLOS 1982, art. 62 (a) UU
No.31 Th. 2004
• Ind turut pd PI yg berkarakter self-executing
- Free Trade Agreement (ASEAN- Jepang,
ASEAN-China, dsb.)
PI dlm sistem HN Ind.
• Kecenderungan Ind anut Monisme dg primat HI
- Pidato M Hatta, 1950: “…traktat lebih tinggi
dari undang-undang dasar”
- Psl. 22.a AB: “ kekuasaan hakim dibatasi oleh
yg ditetapkan oleh HI”
- Proses peradilan Erico Guterres: “
mendasarkan pd Psl. 7 butir 3 Statuta Roma
jo. Putusan ICTR, ttg tanggung jawab
komandan
- pemberlakuan asas retroaktif dlm UU No.16
Th. 2003, merujuk pd UDHR, Rome Statute
.
.

Keberadaan dan Pengertian

Beberapa
Asas hukum (prin- Beberapa asas hukum:
- Pacta sunt servanda & itikad baik
ciples of law) dlm - Pacta tertiis nec nocent nec prosunt
Treaty - Lex posterior derogat legi priori
- Non retroactivity
- Rebus sic stantibus
- Norma jus cogens
Keberadaan dan PengertianAsas hukum
 Di dalam atau di luar/melatar belakangi hukum

Pengertian Asas Hukum


Ron Jue:
bahwa asas hukum
Bellefroid: Paton: merupakan nilai-
Pengendapan hukum positif di suatu alam pikiran nilai yang melandasi
dalam masyarakat yang dirumuskan
secara luas dan kaidah-kaidah
mendasari adanya hukum
sesuatu norma
van Erkema Hommes:
hukum
bahwa asas hukum itu tidak boleh Sudikno M:
dianggap sebagai norma-norma Asas hukum bukan
hukum yang konkrit, akan tetapi merpkn hk konkrit,
perlu dipandang sebagai dasar- Ciri asas hukum: namun mrpkn pi-kiran
dasar umum atau petunjuk- - Mrpkn pikiran atau norma dasar dasar yg umum dan
petunjuk bagi hukum yang - Melatar belakangi hk positif abstrak yg melatar
- Mengandung penilaian bela-kangi peraturan
berlaku
kesusilaan konkrit, yg berada di
- Menjelma dlm per-uu-an dan dalam atau terjelma
kpts hukum dlm sistem hukum
.

Fungsi asas Hukum:


- Mengesahkan atau mempunyai pengaruh normatif
dan mengikat;
- Melengkapi sistem hukum, menjadikan sistem hukum
menjadi luwes.

Sifat: bersifat universal

Berlaku umum:
Asas pada semua bibang
Hukum hukum

Berlaku khusus:
pada satu bidang
hukum
Pacta sunt servanda
.
Hak:
Tuntutan utk dilak-sanakan Janji itu mengikat
atas apa yg tlh disepakati (Pacta sunt servanda)

Kesepaka Perikatan/ Dasar


tan perjanjian Konsensus
(Grotius)

Kewajiban: Kita hrs mematuhi janji kita


Melakukan sesuatu pd (promissorum implendorum
pihak lain obligati)
Pacta sunt servanda
• Sakralisasi atas suatu perjanjian (sanctity of contracts).
• Pd awalnya penerapan asas Pacta sunt servanda di kuatkan
dg sumpah  ajaran teologi moral: perjanjian yg tdk
dikuatkan dg sumpah juga mengikat.

• Akar religi (ajaran Islam):


- Surat Al Maidah: ”yaa ayyuhalladziinaaamanuu aufuu bil
uqua” (Hai orang-orang yang beriman, sempurnakanlah
segala janji...).

- Surat Al-Isra, Surat 34: ”....wa aufu bil’ahdi innal ‘ahda kana
mas uulan” (....dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu
akan diminta pertanggung jawabannya...).
.

Ajaran Nasrani:
- Old Testament: ”apabila seseorang berjanji
kepada Tuhan atau mengambil sumpah
untuk memenuhi kewajiban dengan suatu
janji, maka ia tidak boleh mengingkari
perkataannya dan haruslah ia melaksanakan
apa yang telah dikatakannya”.

- New Testament, terdapat perintah untuk


mematuhi perkataan:
”apa yang kamu katakan ` ya `, biarlah tetap
` ya ` dan ` tidak ` tetap ` tidak `.
.

• Grotius: sdh kodratnya bahwa mengikatnya perjanjian


berdasarkan dua alasan, yaitu:
1. bahwa manusia itu saling berinteraksi dan bekerjasama, saling
mempercayai, yg pd gilirannya memberikan kejujuran & kesetiaan.
2. bahwa setiap individu mempunyai hak yang paling mendasar yaitu
hak milik, yg diperoleh atau dilepas melalui perjanjian.

• Grotius & Anzilotti  Pacta sunt servanda:


- esensiil: menjadi dasar daya ikat perjanjian dan HI, yaitu
adanya janji atau persetujuan
- fungsionil : sumber eksklusif (satu-satunya sumber) bg
sifat mengikatnya norma-2 HI (norma fundamental/
tertinggi)
Dewasa ini:
• Asas pacta sunt servanda telah diterima sbg asas hukum
umum, dikenal baik dalam sisitem kontinental maupun
common law.
• Hans Wehberg:
- asas pacta sunt servanda dijumpai di
berbagai negara dan akan diberlakukan
sama baik terhadap perjanjian antar negara
atau negara dg perusahaan swasta asing.
- asas ini menjadi dasar penyelesaian
sengketa
• Di pihak lain berlakunya asas pacta sunt servanda ternyata
terdapat beberapa pembatasan.... ?
Itikad baik (bonafides atau good faith)

Arti subyektif (yaitu


Pelaksanaan dg itikad baik:
kejujuran) - Aser Rutten: melak-sanakan
=merupakan sikap batin
perjanjian sbgmn orang yg
atau keadaan jiwa.
beradab.
- Berarti kejujuran atau - PL Wery: berlaku yg satu kpd
kebersihan (Subekti)
yg lain spt patutnya di antara
orang-2 yg sopan. Tanpa tipu
Makna itikad daya, tanpa akal-akalan, tdk
menggaggu orang lain,
baik
melihat kpt orang lain.
- Persyaratan itikad baik:
meliputi semua yg dpt
Arti Obyektif (yaitu dimengerti dg baik
kepatutan) berdasarkan akal sehat dan
= umum menganggap/ perasaan.
- Melaksanakan perjanjian dg
seharusnya spt itu
mengandalkan norma-2
kepatutam dan kesusilaan
(Subekti)
.

Ilustrasi Pacta sunt servanda v.s asas itikad baik:


• para pihak harus melaksanakan ketentuan
perjanjian sesuai dengan isi, jiwa, maksud, dan
tujuan perjanjian;
• menghormati hak-hak dan kewajiban-kewajiban
dari masing-masing pihak maupun pihak ketiga
yang mungkin diberikan hak dan/atau dibebani
kewajiban (kalau ada);
• tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat
menghambat dlm mencapai maksud dan tujuan
perjanjian, baik sebelum perjanjian berlaku
maupun setelah perjanjian berlaku.
Pengaturan asas Pacta sunt servanda
 Pembukaan KW 1969: that the principles of free consent
and of good faith and the pacta sunt servanda rule are
universally recognized,

 Ps. 26 (1969 & 1986) : Every treaty in force is binding upon


the parties to it and must be performed by them in good
faith.

 Pasal 4 (1) UU No. 24 Th. 2000


Pemerintah RI membuat perjanjian internasional dengan
satu Negara atau lebih, organisasi internasional, atau
subyek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan;
dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan
perjanjian tersebut dengan itikad baik”.
• Pasal 1338 KUHPerdt.;
Ayat 1: semua persetujuan yang dibuat
sesuai dengan undang-2 berlaku sebagai
undang-2 bagi mereka yang membuatnya;
Ayat 2: persetujuan itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan kesepakatan
kedua belah pihak, atau karena alasan-2 yg
ditentukan oleh undang-2;
Ayat 3: persetujuan harus dilaksanakan dengan
itikad baik.
Pacta tertiis nec nocent nec prosunt.

- Ps.34 (1969): A treaty does not create either


obligations or rights for a third State without
its consent
- Ps.34 (1986): A treaty does not create either
obligations or rights for a third State or a
third organization without the consent of that
State or that organization.
Pengecualian

Pasal 35-37 jo Pasal 2(6) Piagam PBB,


1. dinyatakan dalam perjanjian bahwa para pihak dari
perjanjian tersebut menghendaki bahwa ketentuan itu
menjadi cara untuk menciptakan kewajiban pd pihak ke-3
dan negara ke-3 menerima secara tegas dan tertulis
mengenai kewajiban tersebut;
2. perjanjian multilateral yang menyatakan bahwa hukum
kebiasaan internasional yang sudah baku dapat mengikat
bahkan kepada negara yang bukan pihak dari perjanjian
tersebut;
3. perjanjian internasional yang menciptakan aturan baru
dalam hukum internasional. Seperti halnya Pasa 2 (6)
PiagamPBB yang menyatakan bahwa negara bukan anggota
PBB akan bertindak sesuai dg Piagam
4. Adanya klausula Most Favoured Nation (MFN)
Lex Posterior derogat legi Priori

Inconsistent Treaty: Ps. 30 (1969 & 1986)


Berlakunya PI yang berurutan yang mengatur
materi yang sama.

Bila ada suatu PI menyatakan tunduk atau


menyatakan tdk harus bertentangan dg PI
sebelumnya atau PI kemudian, maka PI terakhir
yg berlaku
Apabila semua pihak pada PI lama juga menjadi
pihak pd PI yg baru dan PI baru tdk menunda/
membatalkan berlakunya PI lama, maka PI lama
tetap berlaku sepanjang selaras dg PI baru

Jika pihak-2 pd Perjanjian baru tdk mencakup


semua pihak pd perjanjian lama, maka:
- perjanjian yg berlaku adl perjanjian yg pihak-2
nya sama menjadi peserta perjanjian;
- Jika ada suatu negara menjadi pihak pd PI lama
dan PI baru, sedangkan negara lain hanya
menjadi pihak pd salah satu PI, maka PI yang
berlaku adl PI yg masing-2 negara menjadi pihak.
.

• PI Lama PI Baru
A A
D B
E C
F F

Hub: A  F ? Hub: A  D ?

Hub: E

C B
Norma Jus Cogens (Ps. 53 jo.64: 1969 & 1986)
= norma dasar hukum internasional umum
= suatu norma yg diterima dan diakui oleh masyarakat
internasional secara keseluruhan sbg norma yg tdk
boleh dilanggar dan hanya dpt diubah oleh suatu
norma dasar HI umum yg baru yg mempunyai sifat
yg sama
= Public policy atau Ketertiban Umum  Hk. Nasional
- Jus Cogens : norma-2 hukum yg mengikat dan
bersifat imperatif
- Jus Dispositum : ketentuan-2 hk yg mengikat, ttp tdk
imperatif, krn dpt diubah oleh suatu
konvensi
.

Ps.53: perjanjian batal apabila pd saat


pembentukan PI tsb bertentangan dg norma
dasar hk internasional umum (jus cogens)
Ps.64: jika muncul jus cogens baru, dan atas PI yg
ada bertentangan dg norma tsb, maka PI
tersebut batal dan berakhir
Schwarzenberger:  Ciri-2 jus cogens
- bersifat universal
- bersifat fundamental
- mempunyai arti penting yg luar biasa
- mrpk bagian esensial drpd sistem HI
Brownlie:  Contoh jus cogens
- tindakan agresi,
- kejahatan kemanusiaan,
- perbudakan,
- kedaulatan,
- kejahatan genocide
Non-retroactivity: Ps. 4 jo 28 (1969 & 1986)
.

- Konvensi ini tdk berlaku bagi perjanjian yg


dibuat sebelumnya
- Konvensi ini tidak berlaku bagi perjanjian yg
- dibuat tunduk pd HI umum
- Dalam kaitannya dg penerapan perjanjian,
bahwa ketentuan-2 perjanjian tdk mengikat
suatu pihak dalam hubungan dengan suatu
perbuatan atau kenyataan yg terjadi atau suatu
keadaan terakhir sblm tgl berlakunya perjanjian
thd pihak-2 tsb.
Non-retroactivity, Ps.24: Statuta Roma
• seseorang tdk dpt dipertanggung jawabkan secara
.

pidana berdasarkan Statuta ini atas perbuatan yg


dilakukan sebelum berlakunya Statuta

• Dalam hal ada perubahan hukum dan proses


persidangan belum selesai, maka diberlakukan
hukum yg menguntungkan

 Turunan asas Legalitas ; nullum delictum noela


poena sine lege,
Asas Rebu sic Stantibus
.
Ahli-ahli hukum kanonik: contractus qui habent tractum
succesivum et depentiam de future rebus sic stantibus
intelliguntur, artinya bahwa ”perjanjian menentukan
perbuatan selanjutnya untuk melaksanakannya, pada masa
yang akan datang harus diartikan tunduk kepada per-
syaratan bahwa lingkungan dan keadaan di masa yang akan
datang tetap sama”.

Rebus Machiavelli bahwa; ”segala sesuatu tergantung pada


sic stantibus keadaan-keadaan yang kebetulan berlaku pada suatu
waktu yang dihadapi oleh penguasa negara

Alberico Gentili : ”yang paling penting atas hukum


traktat ialah dalil bahwa perjanjian (perdamaian)
selalu mengandung syarat tersimpul, jaitu bahwa
traktat hanya mengikat selama kondisi-kondisinya
tidak berubah
Asas Rebu sic Stantibus

Bynkershoek ; pada awalnya ia menolak asas


rebus sic stantibus, namun pada kesempatan
lain justru menyarankan kepada penguasa
berdaulat untuk melepaskan diri dari suatu
janji-janji, bilamana ia tdk lagi mempunyai
kekuasaan utk mentaati janji-janji itu.

Rebus
sic stantibus Bierly, bahwa dalam setiap perjanjian
internasional ada tersirat suatu syarat
tambahan yang menentukan bahwa
perjanjian itu hanya mengikat selama
keadaan-keadaan masih seperti semula.
• Dalam Konvensi Wina 1969 dan 1986 diatur dlm Ps.62 ; ”fundamental
change of circumtances
= suatu perubahan keadaan yg fundamental/mendasar
 kewajiban yg timbul dr PI hanya akan berlaku selama
keadaan-2 yg esensiel tetap atau tdk berubah (sbg klausula
diam-diam dlm perjanjian)
= negara boleh menggunakan rebus sic stantibus sbg alasan
utk mengakhiri atau menarik diri atau menunda berlakunya
perjanjian, bila:
- keadaan itu sbg dasar mengikatnya negara, dan
- akibat perubahan keadaan mempengaruhi kewajiban
negara

• Pasal 18 UU No. 24 Th. 2000


 rebus sic stantibus = force majeure atau vis major ?
Syarat penggunaan asas Rebus…
Mieke Komar:
• perubahan suatu kedaan tidak terdapat pada waktu pembentukan
perjanjian,
• perubahan tersebut adalah perihal suatu keadaan yang fundamental bagi
perjanjian tersebut,
• perubahan tersebut tidak dapat diramalkan sebelumnya oleh para pihak,
• akibat perubahan tersebut haruslah radikal, sehingga mengubah luas
lingkup kewajiban yang harus dilaksanakan menurut perjanjian
• penggunaan asas tersebut tidak dapat diterapkan pada perjanjian
perbatasan dan juga terjadinya perubahan keadaan akibat pelanggaran
yang dilakukan oleh pihak yang mengajukan tuntutan
Penerapan asas rebus sic stantibus dlm praktek
• Jerman pada tahun 1941 pernah berlindung di balik asas rebus sic stantibus
untuk membenarkan pelanggarannya terhadap kenetralan Belgia, dengan
jaminan sebagaimana tercantum dalam Perjanjian London 1831
• Pengadilan Paris menyatakan bahwa kekerasan dapat mengakibatkn
perubahan keadaan yang menghasilkan hak dan kewajiban baru bagi
negara belligerent dan Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt yang
menunda pelaksanaan kewajiban Amerika Serikat kepada International
Load Line Convention pada tahun 1930 karena perang dunia kedua
• Inggris melakukan penundaan perjanjian internasional atas dasar konflik
senjata pada tahun 1795 ketika Inggris menyatakan bahwa Konvensi
Nootka Sound 1790 tidak berlaku lagi karena perang yang terjadi antara
Inggris dan Spanyol.
.

• Belanda yang menunda pelaksanaan seluruh perjanjian internasional


bilateral dengan negara Suriname ketika terjadi pergolakan pada tahun
1982.
• Mesir melakukan penundaan atas perjanjian Suez Canal Base dengan
negara Inggris di tahun 1956. Keputusan Mesir ini disebabkan atas
serangan udara Inggris dan Perancis terhadap Mesir di tahun 1956.
• Konfik senjata Iran-Irak pada tahun 1980 sampai dengan 1988. Di dalam
konflik senjata ini kedua negara telah secara sepihak membatalkan
perjanjian internasional tentang batas negara. Iran membatalkan perjanjian
internasional Batas Shatt-al-Arab yang dibuat tahun 1937 sementara Irak
membatalkan perjanjian internasional Baghdad yang dibuat pada tahun
1975
.

• Alasan Pemerintah Indonesia membatalkan perjanjian KMB adalah sebagai


berikut:
“ Maka didalam keadaan yang sudah begitu berubah dan mendesak sekali
untuk membatalkan perjanjian KMB demi kepentingan nasional,
pemerintah tidak mempunyai pilihan lain daripada membatalkan perjanjian
tersebut atas dasar rebus sic stantibus yang berlaku di dalam hukum
internasional. Menurut asas rebus sic stantibus yang berarti atas dasar
kenyataan adanya perubahan-perubahan yang vital di dalam negeri
daripada salah satu pihak yang menandatangani, maka pihak tersebut
berhak untuk menarik diri dari ikatan perjanjian itu. Dengan lain perkataan
di dalam keadaan demikian, maka prinsip rebus sic stantibus bisa dibuat
sebagai dasar untuk meniadakan asas pacta sunt servanda tersebut”

• Kasus : Perjanjian Celah Timor ….. ?


Mengikatnya Treaty
1. Menurut HI : Treaty yang dibuat sebagaimana mestinya mengikat
para pihak.
 ada 2 hal yang harus dipenuhi :
 Dilakukan Subyek yang berwenang
 Melalui prosedur yang telah ditetapkan
2. Ajaran Anzilotti : Azas Pacta Sunt Servanda
 pembuatan treaty : inter alios acta
 Azas Pacta Tertiis Nec Nocent nec Prosunt : lihat pasal 34 KW
1969
Hak dan Kewajiban Treaty bagi Pihak III
• Pada dasarnya treaty tidak meletakkan hak dan kewajiban pada pihak ke III
• Dalam praktek banyak treaty terang-terangan menyatakan hanya mengikat para
pihak.
• Ada pengecualian (Starke):
1. Treaty yang dikehendaki oleh pihak-pihaknya memberi hak dan kewajiban
kepada negara III, dapat mengikat negara pihak III
2. Treaty multilateral yang merupakan pernyataan HI Kebiasaan yang telah ada 
kodifikasi HI, jadi lebih baik didasarkan pada HI Kebiasaan
3. Treaty multilateral yang tetapkan HI Baru  standart
4. Treaty multilateral  universal
5. Treaty yang dimaksud dalam Pasal 35 KW 1969
Pengalihtanganan Treaty
• Konsekwensi pembuatan treaty, apakah hak dan kewajiban bisa
dialihtangankan?
Secara umum hak dan kewajiban tidak bisa dialihtangankan!
 Pengecualian :
1. Dengan Novasi
2. Treaty secara terang-terangan tidak memperbolehkan syarat : harus
diindahkan negara assignor  terutama kualifikasi negara Assignee
3. Hutang piutang  hutang yang Liquidated/claimed : asal negara
kreditur tidak merugikan engara debitur.
Tahapan Pembuatan PI

• Dua Tahap: • Tiga Tahap

Perundingan
Perundingan
Perundingan

Penandatanganan

Penandatangan

Ratifikasi
Konferensi Internasional
Prakarsa Negara-negara Prakarsa OI

1. Obyek : masalah hukum


2. Peserta: semua negara
diundang
1. Obyek: masalah politik, 3. Persiapan & Pelaksanaan:
hukum, ekonomi, dsb. organ OI atau OI tsb
2. Peserta: negara tertentu 4. Pengesahan: melalui
3. Persiapan & Pelaksana: resolusi yg di
menunjuk negara ttu tandatangani ketua.
Untuk PBB
atau beberapa negara
ditandatangani oleh Ketua
4. Pengesahan: cara-cara dan Sekjend.
ttu yg disepakati 5. Konstitusi berlaku
sepenuhnya
Tahapan umum
TREATY
AKSESI ADHESI

PERNYATAAN TERIKAT RESERVASI


RESERVASI

PENANDA-
TANGAN

PERUNDINGAN

PANITIA KONF:
NEG. PESERTA PERSIAPAN
- TATA TERTIP - LEGAL
- CREDENTIAL - PRESIDEN DRAFTING
- FULL POWER - REPORTER - KOMITE-2
Praktek Penetapan & Berlakunya Treaty
1. Akreditasi wakil negara
2. Perundingan & penerimaan
3. Pengesahan, penandatanganan, & pertukaran instrumen
4. Ratifikasi  reservasi
5. Aksesi & Adhesi
6. Entry into force (Pemberlakuan)
7. Pemberlakuan & Publikasi
8. Penerimaan dan pelaksanaan
TAHAP PERSIAPAN
 Penetapan orang yg akan berunding (Credentials)
= Surat yg dikeluarkan oleh Presiden/Menteri yg
memberi kuasa kpd satu atau beberapa orang utk
mewakili Pemerintah dalam hal menghadiri,
merundingkan, dan atau menerima hasil akhir suatu
pertemuan internasional
Akreditasi Wakil Negara
• Menunjuk wakil negara untuk berunding, memberi kepercayaan,
ketetapan menunjuk wakil untuk melakukan perundingan.
•  fungsi : membuktikan statusnya sebagai utusan dan wewenang
yang dipunyai : 
 menghadiri perundingan
 ikut serta berunding
Menandatangani treaty (menerima naskah)
 menutup treaty  consent to be bound.
FULL POWER
• Bentuk : Dokumen full power
• Penerbitan full powers (surat kuasa)
= Surat yg dikeluarkan oleh Presiden/Menteri yg memberi kuasa kpd satu atau beberapa
orang utk mewakili Pemerintah untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian,
menyatakan persetujuan negara utk mengikatkan diri pd PI dan atau menyelesaikan hal-2
yg perlu dlm pembuatan PI
• Praktek inggris :
a. Special Full Power
Heads of state form
Ditandatangani Raja/Ratu dan dicap great seal
b. Government full power
Treaty inter govt / Inter state form
 Ditandatangani & dicap mentri luar negeri
Full Power
• Dokumen Full Power suatu keharusan?
 Umumnya YA!!
• Bagaimana Kalau tidak ada? Pengecualian :
1. Orang-Orang tertentu yang sudah dikenal baik
2. Perjanjian antar departemen 2 negara
3. Konferensi buruh internasional
• Full Power diberitahukan lawan berunding
a. Bilateral : saling dipertukarkan
b. Multilateral : diserahkan pada panitia full Power
Catatan utk Credentials & Full Powers
 Art. 7 VC of LT
 Sidang MU PBB:
- penentuan delegasi
- tdk dibutuhkan full powers
- hasil sidang di tandatangani Sekjend
 Konferensi dlm rangka OI
- Art. 27 Rules of Procerure GA: credentiasl diserahkan pd
sekjend 1 minggu sblm sidang
- credential dan full powers dibuat dlm satu dokmen
 Praktek Indonesia:
- credentials utk menghadiri sidang. Full Powers utk menandatangani
- kepala perwakilan diplomtik mwmbutuhkan full powers
SKEMA PEMBUATAN SURAT KEPERCAYAAN ( CREDENTIALS ) SKEMA PEMBUATAN SURAT KUASA ( FULL
POWERS )
Ps. 1(4) UU 24/2000 Ps. 1(3) UU 24/2000
Credentials adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menlu Full Powers adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menlu yang
yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili
mewakili Pemerintah RI untuk menghadiri, merundingkan dan / atau Pemerintah RI untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian ,
menerima hasil akhir suatu pertemuan internasional. dan / atau menyelesaikan hal-hal lain yang diperlukan dalam pembuatan
perjanjian internasional.

PENYELENGGARAAN
Full Powers diterbitkan jika: Para pihak telah
SIDANG, KONFERENSI,
1. Perjanjian bersangkutan sepakat dan menerima
KONVENSI, DLL.
mensyaratkan semua aspek Substansi
2. Berdasarkan pertimbangan Menlu dan Redaksional dari
untuk Perjanjian tersebut Draft Perjanjian
Instansi dalam negeri baik lembaga pemerintah maupun non
dibutuhkan ( adoption of the text )
pemerintah sebagai pemrakarsa yang diundang dalam Sidang / 3. Draft Perjanjian sudah melampaui
Konferensi / Konvensi dari suatu Badan atau Organisasi mekanisme konsultasi dengan
Internasional, membuat surat permohonan pembuatan Deplu dan instansi terkait
Credentials pada unit terkait di Deplu.
Naskah Full Powers Perjanjian
yang telah SIAP DITANDA
Unit terkait ditandatangani oleh TANGANI
Unit terkait Ditjen HPI Menlu akan
Deplu
Deplu jika melakukan diserahkan langsung
menyampaikan
diperlukan akan verifikasi dari kepada Pemrakarsa
draft susunan
menambah segi hukum atau melalui unit
Delegasi pada
kan sejumlah dan terkait di Deplu
Ditjen HPI, yang Pemrakarsa mengajukan
unsur prosedural
meliputi nama permohonan pembuatan Full
Deplu dan / atau terhadap draft
dan fungsinya Power kepada unit terkait di
Perwakilan susunan
dalam Delegasi Deplu atau Dirjen HPI
ke dalam Delegasi
dengan melampirkan salinan
susunan
(copy)
Delegasi.
PENANDATANGANA
Draft Credentials yang
PENANDATANGANA N OLEH MENLU Ditjen HPI akan meneliti
akan diinisial oleh
N OLEH MENLU draft Perjanjian dari segi
Kasubdit terkait,
juridis, politis, security,
Direktur terkait
Naskah dan teknis
( Direktur Perjanjian
Credentials yang Draft Credentials Polkamwil atau Draft Full Powers
telah yang telah diinisial Ekososbud ); Direktur yang telah diinisial
ditandatangani disampaikan ke Dit Jenderal Hukum dan disampaikan ke Dit. Draft Full Powers akan diinisial oleh
Menlu akan Perjanjian Perjanjian Perjanjian Kasubdit terkait, Direktur terkait (Direktur
diserahkan Ekososbud untuk Internasional. Eksosbud untuk Perjanjian Polkamwil atau Ekososbud):
langsung kepada dituangkan dalam dituangkan dalam Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian
Pemrakarsa atau format dan kertas format dan kertas Internasional
melalui unit terkait khusus. khusus.
Example of an instrument of full powers:

I have the honour to inform you that I Dr. Ir. Rafli Ahmad, President of the Republif of Indonesia, have given
full powers to the Honourable Mr. Tukul, General Secretary of the Police, to sign of behalf of Republic of
Indonesia the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime and the two protocols to be
opened for signature in Palermo, Italy, from 12th to 15 th December 2000:
I. Protocol against the smuggling of migrants by land, air and sea, supplementing the United
Nations Convention against Transnational Organized Crime.
II. Protocol to prevent, suppress and punish trafficking in persons, especially women and children,
supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime.
This note constitutes the full powers empowering the Honourable Mr. Tukul to sign the above-stated
Convention and Protokol

Jakarta; 10 Desember 2000


Dr. Ir. Rafli Ahmad, Precident of Republic Indonesia

(Signature )
Full Powers (SURAT KUASA)
Yang bertanda tangan di bawah ini, ….(nama pejabat)…, Menteri Luar
Negeri Republik Indonesia, memberi kuasa penuh kepada:

Nama Pejabat yang ditugasi


Jabatan dalam negara

Untuk menandatangani, atas nama Pemerintah Indonesia.


Naskah ....Persetujuan/MoU… antara Pemerintah Republik Indonesia
dan Pemerintah Republik …..mengenai kerjasama…..

Sebagai bukti, Surat kuasa ini saya tandatangani dan bubuhi meterei di
Jakarta pada tanggal….bulan….Tahun….

Nama Pejabat yang menugasi

tanda tangan
 Kuasa menandatangani perjanjian
1. Mensyaratkan Surat Kuasa
In Witness Whereof, the undersigned, being
duly authorized by their respective Governments, have
signed this Agreement.
2. Tidak mensyaratkan Surat Kuasa.
In Witness Whereof, the undersigned, have
signed this Agreement
atau
In Witness Whereof, the authorized representatives,
have signed this Agreement.

 Bahasa yg dipergunakan
Bentuk instrumen Full Power
 Tidak ada bentuk khusus yg seragam
 Mengandung:
- adanya pemberi kuasa yg syah dan tanda tangan
pemberi kuasa
- utk perjanjian yg akan ditandatangani
- nama terang dan gelar orang yg ditunjuk
- negara yang diwakili
- tempat dan tanda tangan di buat
- stempel negara /segel resmi

Persoalan:
- Bagaimana kalau orang yg ditunjuk berhalangan ?
- Bagaimana bila terjadi pergantian Penguasa/Pemerintahan ?
Credentials (Surat Kepercayaan)

Dengan hormat kami beritahukan kepada Yang Mulia bahwa susunan Delegasi RI pada
Sidang ……… yang diselenggarakan di Jenewa, Swiss pada Tanggal 7 – 14
Desember 2011 adalah sebagai berikut:
1. Tarzan Ketua Delegasi
Dubes LBdan BP
Perwakilan Tetap RI utk
PBB dan OI lainnya di Jenewa
2. Komeng WK Ketua
Deputi Bidang Observasi
Badan Meteorologi dan
Geovisika
3. Kadir Sekretaris
Kepala Pusat Sistem insttumen
4. Nunung Anggota
Kepala Bidang instrumen
5. Patrio Anggota
Kepala Bidang teknologi
Terimalah, Yang Mulia, penghargaan kami yang setinggi tingginya
Perundingan dan Penerimaan
A. Cara Perundingan :
1. Treaty Bilateral : Pourparlers
2. Treaty Multilateral : Konferensi Diplomatik  dengan perhatikan :
a. Inisiatif Treaty dari Negara  dipilih negara yang mempunyai inisiatif
b. Inisiatif Treaty dari PBB  Dipilih tempat yang sering dipakai untuk konferensi
internasional. Contoh : Wina, Jenewa, New York, London, Moscow, dll
B. Prosedur
Untuk konferensi diplomatik ada pola standard :
1. Pembentukan Steering Committee
2. Pembentukan Panitia Hukum dan Perumus
3. Pembentukan Rapporteur Committee
4. Panitia Full Power
C. Cara Perundingan :
1. Formal Meeting
2. Informal Meeting
D. Pengambilan Keputusan :
1. Umum : Lihat KW 1969, Pasal 9 ayat (2)  Persetujuan 2/3 suara dari
negara yang hadir dan memberikan suara
2. Bisa ditentukan berdasar mayoritas yang lain  Ex: ASEAN  Musyawarah
Mufakat
Persetujuan & Pengesahan naskah
= Pasal 9: persetujuan adalah menyetujui hasil
perundingan dg cara:
- mayoritas, 2/3 suara hadir dan berhak
bersuara,
- cara lain yg disepakati
= Pengesahan naskah (otentifikasi), dapat
dilakukan penandatanganan,
penandatanganan ad-referendum, paraf, final
act, cap, cara lain yg disepakati.
Pengesahan, Penandatanganan dan
Pertukaran Instrument
A. Fungsi tanda tangan : Authenticate Text
B. Cara Authenticate Text:
1. Prosedure dalam treaty
2. Persetujuan negara – negara bila tidak tetapkan prosedur
3. Signature
4. Signature ad referendum
5. Initialing
6. Incorporasi dalam final act
Waktu Penandatanganan

Article 305 UNCLOS Article 48 Vienna Convention 61


The present Convention shall be open
This Convention shall remain open for signature by all States Members of
for signature until 9 December 1984 the United Nations
at the Ministry of Foreign Affairs of
Jamaica and also, from 1 July 1983 or of any of the specialized agencies
until 9 December 1984, at United Parties to the Statute of the
International Court of Justice, and by
Nations Headquarters in New York any other State invited by the General
Assembly of the United Nations to
become a Party to the Convention, as
follows: until 31 October 1961 at the
Federal Ministry for Foreign Affairs of
Austria and
subsequently, until 31 March 1962, at
the United Nations Headquarters in
New York.
c. Penandatanganan:
1. Pada waktu akhir konferensi dan tempat yang sama
2. Oleh para utusan
3. Dihadiri satu sama lain
Dalam Praktek  Treaty 2 tahap
Diberi tenggang waktu tertentu  maksimal sampai 9 bulan, apabila
lewat waktu tidak bisa lagi, negara yang ingin mengikatkan diri
dilakukan lewat aksesi.
.

RATIFIKASI/PENGESAHAN PENANDATANGANAN

PERTUKARAN
INSTRUMEN

AKSEPTASI
Art. 11: Consent
to be bound

PERSETUJUAN ATAU
CARA LAIN
AKSESI
d. Akibat Hukum:
1. Tidak harus diratifikasi (langsung berlaku dan mengikat)
2. Harus diratifikasi, acceptance, approval
Catatan :
Ad.1. *kehendak para pihak (Negotiating state)  berlaku sejak
penandatanganan
*Ditetapkan dalam full Power  untuk mencegah pembatalan treaty.
Ad.2. Harus dengan ratifikasi, dst.  3 Tahap!
Ratifikasi
• Teori : Persetujuan kepala negara/kepala pemerintahan atas tanda
tangan yang diberikan perutusannya.  #Aksesi (bergabungnya pihak
III)
• Konvensi Wina 1969, Pasal 2 ayat (1) b Ratifikasi – acceptance =
approval = accession
• F. Sugeng Istanto :
1. Persetujuan atas tanda tangan perutusan
2. Pernyataan persetujuan atas treaty
Article 82
Ratification
• The present Convention is subject to ratification. The
instruments of ratification shall be deposited with the
Secretary-General of the United Nations.

Article 83
Accession
• The present Convention shall remain open for accession by any
State belonging to any of the categories mentioned in article
81. The instruments of accession shall be deposited with the
Secretary-General of the United Nations
Ratifikasi
• Doktrin :
1. Lord Stowell : “..... For the instrument, in point of legal efficacy, is
imperfect without it.”
2. Judge JB.Moore : “doktrin yang menyatakan treaty dapat berlaku
sebelum ratifikasi adalah dapat diabaikan/usang dan hanya
merupakan gema masa lampau.”
Secara umum tanpa ratifikasi treaty tidak dapat berlaku!
 catatan : tidak sepenuhnya benar, mengingat sampai sekarang
pembuatan treaty 2 tahap masih tetap terjadi.
Ratifikasi (Pengesahan=Ind)
• Hakikat Ratifikasi = Konfirmasi
= konfirmasi neg atas perbuatan hukum
dr pejabatnya yg tlh menandatangani
sbg tanda persetujuan utk terikat pd PI

Dasar Pertimbangan:
Dulu : alasan geografis
Kini : prinsip demokrasi
Ratifikasi
• Pasal 14 ayat (1) : keterikatan dengan ratifikasi  syarat :
1. Ditetapkan secara terang-terangan dalam treaty
2. Disetujui oleh negara-negara perunding
3. Wakil-wakil negara telah menandatangani treaty yang merupakan
subject untuk ratifikasi
4. Kemauan negara tampak dari dokumen full power.
• Keterikatan lewat Acceptance/approval  Pasal 14 ayat (2) KW
1969 : sama dengan ratifikasi.
Hak negara untuk Ratifikasi
• Dasar Pembenar :
1. Hak negara untuk tinjau kembali persetujuan yang telah
ditandatangani perutusannya, sebelum menerima kewajibannya.
2. Berdasar prinsip kedaulatan negara  hak untuk menarik diri dari
treaty
3. Kebutuhan penyesuaian dengan Hukum nasional
4. Prinsip demokrasi  diketahui parlemen (lembaga wakil rakyat)
Ratifikasi merupakan kewajiban ?
Dasar pertimbangan Ratifikasi:
• memberi kesempatan pada negara ybst. utk.
mengadakan peninjauan kembali; atau
• berdasarkan prinsip kedaulatannya, suatu negara
berhak utk menarik diri dari partisipasinya;
• utk diadakan penyesuaian dg hk nasionalnya;
• berdasarkan prinsip demokrasi, yaitu adanya
keharusan utk minta pendapat parlemen.
Ratifikasi = Kewajiban?
• HI tidak meletakkan hal itu sebagai kewajiban
• Apabila negara tidak ingin meratifikasi  courtecy : pemberitahuan
kepada negara lain.
• Ratifikasi # kewajiban : kedaulatan negara
• Akibat kelambatan ratifikasi  Law making treaty : treaty multilateral,
treaty tidak bisa segera berlaku (ada jumlah tertentu yang harus
dipenuhi)
• Keterikatan negara lewat ratifikasi  tidak berlaku surut (berlaku asas
non retroactive)  lihat Pasal 28 Konvensi Wina 1969
Ratifikasi dan Hukum Nasional
(Hukum Konstitusi Negara)
• Ratifikasi berhubungan erat dengan hukum konstitusi negara
1. Banyak organ negara terlibat, selain kepala negara/kepala
pemerintahan
2. Antara negara satu dan yang lain berbeda
• Praktek :
1. Treaty biasanya dilakukan kepala negara
2. Treaty kurang penting dilakukan kepala pemerintahan/menlu.
Praktik Ratifikasi di Indonesia
• Pasal 11 UUD 1945 : Perjanjian Internasional dibuat oleh Presiden
dengan persetujuan DPR
Dimaksudkan sebagai ratifikasi
• Praktek :
1. Surat presiden No. 2826/HK/1960:
a. Treaty (Penting) dimintakan persetujuan DPR, diundangkan dalam
bentuk UU
b. Agreement (Kurang Penting) tidak dimintakan persetujuan DPR
(hanya diberitahu) diundangkan dalam bentuk Keppres
Praktek Ratifikasi di Indonesia
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian
Internasional  menggantikan surat presiden No.. 2826/1960
a. Pasal 10  dilakukan dengan Undang-Undang : *Masalah politik,
perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara ; *Perubahan
wilayah atau penetapan batas wilayah negara RI; *Kedaulatan atau
hak berdaulat negara; *Hak asasi manusia dan lingkungan;
*Pembentukan kaidah hukum baru; *Pinjaman dan / atau hibah
luar negeri.
b. Pasal 11  dilakukan dengan keppres : diluar yang diatur dalam
Pasal 10
Pertukaran / Penyimpanan Dokumen
Ratifikasi
• Treaty Bilateral : saling dipertukarkan, disimpan di Deplu, dibuatkan
Process verbal
• Treaty Multilateral : disimpan di negara deposit (depository state) 
tergantung inisiatif pembuatan treaty
a. Negara : Deplu negara tempat treaty ditandatangani
b. PBB : Sekjen PBB (dulu semasa LBB disimpan pada Sekjen LBB)
Reservasi:
= pernyataan formal/sepihak dari suatu negara pada saat
menyatakan terikat, utk meniadakan atau merubah akibat
hukum atas beberapa ketentuan dlm perjanjian dlm
penerapan pada dirinya

Oscar Scahacter: boleh reservasi:


- bukan ketentuan substantif
- berkaitan dg tidak adanya pengakuan
- menyangkut penyelesaian sengketa
Reservasi
• Pasal 2 ayat (1) butir di KW 1969
• Reservasi terjadi karena :
1. Negara mau terkait pada treaty tetapi tidak seluruhnya
2. Negara menghendaki tidak mau terikat beberapa ketentuan
tertentu treaty
3. Menghendaki perubahan ketentuan tertentu
 HI menjamin / membenarkan Reservasi
Dasar Pembenar
• HI : Menjunjung tinggi Prinsip Kedaulatan negara dan Prinsip Perfect
Equality of State
• Dalam Praktek :
1. Partisipasi maksimal
Negara yang tidak dapat menyetujui beberapa ketentuan treaty yang
ada, lebih baik ikut serta sedara terbatas daripada tidak ikut sama sekali
2. Pengutamaan ketentuan dasar
Asal ketentuan dasar dalam treaty disetujui, perbedaan dalam
ketentuan/kewajiban yang kurang penting diperbolehkan.
Formulasi Reservasi  Pasal 19 KW 1969
• Dilakukan pada saat negara menandatangani, meratifikasi, accepting,
approving atau acceeding pada treaty
a. Treatynya tidak melarang
b. Treaty hanya mengijinkan reservasi pada bagian tertentu
c. Sejalan dengan butir a dan b, reservasi tidak bertentangan dengan
objek dan tujuan treaty
Advisory Opinion on Reservations to the Genocide ICJ 1953,

Ada 3 persoalan yang dimintakan AO, yaitu:


1. boleh tidaknya reservasi,
reservasi diperbolehkan sepanjang selaras dg hakikat dan tujuan PI

2. akibat dari reservasi


bg neg yang melakukan resevasi dan tdk selaras dg hakikat dan tujuan PI,
maka neg ybst bukan sebagai pihak

3. negara yg berhak menolak reservasi


adalah negara yg sudah menjadi pihak/sdh meratifikasi
Perlukah persetujuan dr negara peserta ?

 Secara teoritis ada dua paham:


• Unanimity principles (kesepakatan bulat) atau The principles of
absolute integrity (Prinsip keutuhan absolut)
• Pan American Union
Tidak diperlukan persetujuan bulat dari peserta
Artinya: bila ada negara yg mereservasi dan neg lain menyetujui maka
reservasi berlaku baginya, dmk sebaliknya
Pasal 20 Konvensi Wina (perlu tidaknya persetujuan negara
peserta lain):
• tidak perlu, bila dalam PI tsbt dg tegas mem-bolehkan
• perlu, bila sesuai dg maksud dan tujuan PI bhw untuk berlakunya PI
tsbt memerlukan per-setujuan semua negara,
• reservasi thd konstitusi OI, memerlukan perse-tujuan dari organ yg
berwenang,
• PI berlaku bagi negara pereservasi dan neg yg menerima reservasi,
sdgkan penolakan reservasi tdk menghalangi berlakunya PI, kecuali
diten-tukan sebaliknya
Berlakunya PI sehubungan dg Reservasi

• antara negara pereservasi dg neg menerima reservasi : berlaku


sebagaimana perubahan,
• reservasi tdk merubah berlakunya PI diantara negara interse (tdk
saling mereservasi)
• antara negara pereservasi dg neg menolak reservasi:
- perjanjian berlaku penuh, atau
- perjanjian berlaku sebagian, atau
- perjanjian tidak berlaku
Pembatalan/penarikan diri resevasi
• Dpt dilakukan setiap saat. Neg yg menerima reservasi
tdk perlu menarik persetujuannya.
• Penolakan reservasi juga dpt ditarik kembali
• Berlakunya penarikan diri:
= dalam hal perjanjian mengtatur dmk atau
menentukan lain, maka penarikan diri reservasi atau
penolakan reservasi bila telah diterima oleh pihak-2
Contoh reservasi yg dilakukan RI

• Konvensi Anti Korupsi, 2003


Ratifikasi melalui UU No.7 Th.2006 mereservasi Pasal
66 par.2
• Konvensi Internasional Pemberantasan Pengeboman
oleh Teroris 1977
ratifikasi melalui UU No.5 Th.2006 mereservasi pasal
20
Isi Reservasi:
= perselisihan penafsiran atau penerapan perjanjian dpt
dilakukan melalui ICJ atas persetujuan semua pihak.
Reservasi Konvensi Anti Korupsi
• Pemerintah RI tdk menganggap dirinya terikat pd
ktt Psl.66 ayat 2 dan mengambil posisi bhw
sengketa mengenai penafsiran dan penerapan
Konvensi yg td dpt diselesaikan melalui saluran
ayat 2 Psl 66 dpt dirujuk ke MI hanya dg
persetujuan para pihak yang bersengketa
Reservasi Konvensi Teroris 1977
• Deklarasi:
Pemerintah RI menyatakan bahwa ktt Psl.6 dari
Konvensi hrs dilksanakan dg seksama, dg tetap
berpegang pd prinsip-2 kedaulatan dan integritas
wilayah negara
• Reservasi
Pemerintah RI mempertimbangkan utk tdk terikat
oleh ktt Pasal 20 dan brpendirian bahwa apabila
terjadi perselisihan penafsiran dan penerapan
Konvensi yd tdk dpt diselesaikan melalui jalur
sbgmn di atur dlm ayat 1 Psl.20 tsb, dpt merujuk ke
MI hanya dg persetujuan dari semua Pihak yang
bersengketa
Reservasi RI menimbulkan penolakan
• Konvensi ttg hak-Hak Anak
- Rativikasi melalui UU No.36 Th.1990
- reservasi Pasal 1, 14, 16, 17, 21, 22 dan
29
- Pernyataan (Declaration):
- ratifikasi tdk melampaui Konstitusi
- Indonesia akan menerapkan pasal-2
tsb sesuai dg Konstitusi
Isi Reservasi
UUD 1945 RI menjamin hak-hak dasar anak terlepas
dari jenis kelamin, etnis atau ras. Konstitusi
mengatur hak-hak yg harus dilaksanakan oleh HN
dan peraturan perundangan.
Ratifikasi konvensi Hak-hak Anak oleh RI tdk
menyiratkan penerimaan kewajiban yg melampaui
Konstitusi maupun penerimaan kewajiban apapun
utk memperkenalkan hak apapun di luar yg di atur
Konstitusi
Dg mengacu pd ktt Pasal 1, 14, 16, 17, 21, 22, dan 29
Konvensi ini, Pemerintah RI menyatakan bahwa
negra akan menerapkan pasal-2 tsb sesuai dg
Konstitusi
Keberatan dari Finlandia, Irlandia, Belanda,
Norwegia, Portugal dan Swedia
= Dasarnya Pasal 27: neg tdk dpt melaksanakan
PI krn kesulitan dlm HN

• Pasal 27:
Suatu negara pihak tidak dpt memberikan alasan
untuk tidak mematuhi suatu perjanjian krn kesulitan
dari HN-nya. Aturan ini tanpa mengesampingkan Psl,
46 Konvensi ini (Tdk Sahnya PI krn bertentangan dg
HN)
Bentuk Reservasi
• Umumnya reservasi yang dilakukan negara dituangkan dalam :
Protokol yang terlampir dalam Konvensi, Final Act, Exchange of Notes
• Semua hal yang terkait dengan reservasi dilakukan secara tertulis!
Dan diumumkan sebagaimana mestinya  Pasal KW 1969
Akibat Hukum Reservasi  Pasal 21 KW
1969
1. Negara reservasi – negara yang menerima reservasi
 Mengubah ketentuan treaty, sejauh yang direservasi dalam
hubungan mereka
2. Negara reservasi – negara yang menolak
 Reservasi tidak berlaku, treaty berlaku penuh
3. Antar negara inter-se
 Treaty berlaku penuh tanpa perubahan.
Beberapa catatan seputar Reservasi

1. Berkaitan dg kedaulatan negara.


2. Alasan Pembenar:
- partisipasi maksimal
- pengutamaan ktt ttu dlm PI
3. Pasal 19: Reservasi diperbolehkan bila:
- diperkenankan dalam perjanjian
- tidak menyangkut masalah-masalah substansial
- sepanjang masih selaras dg obyek dan tujuan PI
Aksesi, Adhesi, Admisi

= aksesi dan adhesi, merupakan cara utk menyatakan


terikat pd PI, dimana negara ybst. tidak turut dalam
perundingan atau pengesahan.

= biasanya dilakukan setelah PI mulai berlaku terkait


dengan sifat perjanjian tertutup atau terbuka
AKSESI
• Ikut sertanya pihak III dalam sebuah treaty
• Pasal 2 ayat (1) butir b : Aksesi = Ratifikasi  keterikatan negara pada
sebuah treaty
• Doktrin :
Aksesi yaitu ikut serta secara ”penuh” pada sebuah treaty tanpa
reservasi yang dilakukan pihak III
 Ikut serta dalam treaty dengan status sama negara pihak
penandatangan asli
ADHESI
• Penerimaan dari sebagian treaty saja
• Persetujuan atas prinsip-prinsip treaty saja
Tidak di dukung dalam praktek!
Dalam KW 1969 tidak dijumpai istilah Adhesi
Kapan Adhesi dilakukan?
• Negara bukan penandatangan treaty ikut serta dalam treaty
• Pengecualian : treaty dua tahap yang mengikat dengan tanda tangan,
negara yang bersangkutan setelah batas waktu penandatanganan
belum menandatangani.
• Praktek Aksesi :
a. Setelah treaty berlaku
b. Sebelum treaty berlaku
Akibat Hukum Aksesi
• Hak dan kewajiban negara pihak III sama dengan hak dan kewajiban
negara pihak lainnya
• Meskipun pada awalnya negara pihak III itu wajib ikut treaty secara
penuh sehingga tidak ada hak untuk reservasi.
Terjadinya Aksesi
• Pasal 15 KW 1969:
1. Treaty memuat hal tentang bisa dilakukannya aksesi
2. Negara-negara perunding setuju untuk adanya aksesi
3. Semua pihak setuju bahwa ada aksesi
 Hampir sama dengan Ratifikasi
Pasal 17 KW 1969
• Apakah Adhesi?
• Terikat oleh sebagian Treaty dan memilih bagian-bagian yang berbeda
:
1. Keterikatan negara hanya sebagian saja, efektif kalau treaty
mengijinkan dan contracting state setuju.
2. Efektif jika hal itu jelas terkait bagian-bagian lainnya.
 Sulit dilakukan dalam praktek!
Bentuk Aksesi
• HI tidak mengatur
• Dalam praktek : Umumnya sama dengan Ratifikasi
• KW 1969 : Pasal 2 (1) b, Pasal 16
Perbedaan (sec. teoritis):

aksesi: keikut sertaan secara penuh pd suatu PI


adhesi: keikut sertaan pada sebagian dari PI
- mempunyai akibat hukum sama dg reservasi
- bedanya, adhesi dinyatakan setelah PI berlaku
(enter into force), sdg reservasi dinyatakan ketika
menyatakan terikat (consent to be bound)
= aksesi dan adhesi, merupakan cara utk menyatakan terikat pd
PI, dimana negara ybst. tidak turut dalam perundingan atau
pengesahan.
= biasanya dilakukan setelah PI mulai berlaku terkait dengan sifat
perjanjian tertutup atau terbuka
.

• Pengesahan:
- ratifikasi (ratification): bila Indonesia turut
menandatangani naskah PI
- aksesi (accession): bila Indonesia tidak turut
menandatangani naskah PI
- Penerimaan (acceptance) dan Persetujuan
(approval): untuk suatu perubahan atas PI
Konvensi Wina 1969
Beri pengertian aksesi sama dg ratifikasi, penerimaan,
persetujuan
Aksesi diperbolehkan dg syarat (Pasal 15):
- Bila dijinkan oleh PI ybst,
- terbukti dari negara-negara yang ikut berunding
menghendaki demikian

Adhesi diperbolehkan dg syarat (Pasal 17):


- Diijinkan oleh PI atau negara-2 yg berjanji menyetujui,

Demikian juga dlm hal adanya pilihan atas ketentuan yg


berbeda, akan efektif bila diijikan oleh PI tsb dan disetujui
oleh negara-2
Pemberlakuan (Entry into Force)
• Umum : Treaty mulai berlaku :
1. Tergantung treaty yang bersangkutan
2. Persetujuan lain dari negara perunding
• Praktek :
1. Sejak penandatanganan  tanda tangan sebagai bukti keterikatan/ treaty 2 tahap
2. Sesudah pertukaran dokumen/deposit ratifikasi, acceptance atau approval
3. Treaty multilateral 
a. Tercapainya jumlah deposit ratifikasi, acceptance, approval, aksesi
b. Tanggal tertentu, tanpa melihat jumlah dokumen ratifikasi, etc.
4. Pada masa kini yang terjadi adalah gabungan dari hal-hal diatas
 Lihat juga Pasal 24 KW 1969
Pendaftaran
• Pasal 102 Piagam PBB
1. Tiap treaty yang dibuat anggota PBB setelah piagam berlaku, selekas
mungkin didaftarkan dan diumumkan oleh sekretariat jenderal
2. Apabila treaty tidak didaftarkan, treaty yang bersangkutan tidak bisa
dipakai sebagai dasar hukum di depan organ PBB
Secara umum positif!
Tujuan :
a. Mencegah dibuatnya treaty rahasia antar negara
b. Hormati hak demokrasi  untuk tolak treaty yang diumumkan / beri
kesempatan untuk bergabung.
Publikasi
• Terhadap treaty yang telah didaftarkan SekJen PBB akan
mempublikasikan dalam bentuk : UN Treaty Seri(es)
• Diumumkan / didistribusikan kepada semua negara anggota PBB,
negara bukan anggota PBB, Organ-Organ PBB, Badan-Badan Khusus
maupun badan-badan lainnya
• Informasi disebarkan juga lewat UNIC
• Kunjungi website : www.un.org
Penerimaan
• Tahap akhir pembuatan treaty
• Bia perlu digabungkan (inkorporasi) dengan HN
• Lihat lebih lanjut masuknya HI ke dalam HN
1. Teori Transformasi
2. Teori Delegasi
Pelaksanaan
• Application of Treaty
• Beberapa asas penting dalam pelaksanaan treaty:
1. Asas Non Retroactivity (ex post facto)  Pasal 28 KW 1969
2. Asas Teritorial  Pasal 29 KW 1969
Selain itu harus diingat asas-asas:
1. Asas pacta sunt servanda
2. Asas pacta tertiis nec nocent nec prosunt
3. Asas rebus sic stantibus
Revisi dan Amandemen
• Bagian IV KW 1969 : Amandemen dan Modifikasi
• Umum : Proses perubahan ketentuan treaty
• Praktek : Revisi  Perubahan ketentuan treaty yang sedang berlaku
yang meletakkan kewajiban kepada suatu negara pihak
• Fungsi : penyesuaian ketentuan treaty dengan keadaan yang berubah.
Cara dan Prosedur
• Cara : memasukkan suatu klausula amandemen dalam treaty yang
bersangkutan  Pasal 39 KW 1969 : Persetujuan para pihak
• Prosedur :
1. Pasal 40 KW 1969  Amandemen treaty multilateral
2. Pasal 41 KW 1969  Amandemen yang diberlakukan bagi pihak-
pihak tertentu saja
 Pasal 14 Piagam PBB : Majelis umum PBB merekomendasikan
perubahan treaty #binding action
Pasal 40 KW 1969
• Amandemen terhadap treaty multilateral
• Setiap usulan amandemen harus diberitahukan kepada setiap
contracting state  beri kesempatan kepada setiap negara untuk :
Pasal 40 ayat (2)
1. Memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan terkait dengan
usulan amandemen
2. Merundingkan dan memutuskan kesepakatan setiap usulan
amandemen
Pasal 40 KW 1969
• Setiap negara pihak treaty (lama) dianggap menjadi negara pihak treaty hasil
amandemen  Pasal 40 (3)
• Treaty hasil amandemen tidak akan mengikat negara pihak treaty lama yang
tidak mau menjadi pihak treaty hasil amandemen  Pasal 40 (4)
• Bagi negara yang baru menjadi pihak treaty hasil amandemen setelah treaty
berlaku umum :
Pasal 40 (5)
a. Dipertimbangkan menjadi pihak treaty hasil amandemen
b. Dipertimbangkan menjadi pihak treaty lama dalam berhubungan dengan
negara pihak treaty lama yang tidak menjadi pihak treaty hasil amandemen
Pasal 41 KW 1969
• Modifikasi treaty multilateral dilakukan di antara negara-negara pihak
tertentu
• Hal itu terjadi :
1. Dimungkinkan oleh treaty nya
2. Tidak dilarang oleh treaty dan :
a. Tidak mengurangi hak dan kewajiban negara pihak lainnya
b. Tidak bertentangan dengan object dan tujuan treaty secara keseluruhan
Inkonsistensi Treaty
• Pengertian : Perbedaan pengaturan treaty lama dan treaty baru
• Penyesuaian kewajiban pihak-pihak dalam treaty
masalah!
• Penyelesaian : asas lex posterior derogat legi priori  Pasal 30 (2) KW
1969
• Apabila ada treaty yang dibuat anggota PBB bertentangan dengan
Piagam PBB, maka Piagam PBB harus diutamakan!  Pasal 103
Piagam
Inkonsistensi Treaty
• Ukuran Pertentangan treaty lama dan treaty baru :
1. Ada pertentangan sungguh-sungguh
2. Maksud pihak-pihak dalam kedua treaty memang berbeda
• Treaty baru dianggap annex treaty lama
Validitas Treaty
• Pengertian  valid :
1. Berlaku menurut hukum
2. Sesuai dengan hukum
3. Dibuat oleh person yang diberi kuasa konstitusi yang sah  lihat
arti penting dokumen Full Power.
*Doktrin : Validitas biasanya pertentangan khususnya tentang kapasitas
person
KW 1969 : Invaliditas Treaty
• Ada 6 hal yang menjadi dasar treaty invalid :
1. Incapacity person dalam pembuatan treaty : Pasal 46, 47, KW 1969
2. Error (khilaf) : Pasal 48
3. Fraud (Penipuan) : Pasal 49
4. Corruption (Penyalahgunaan kewenangan) : Pasal 50
5. Coercion (Paksaan) : Pasal 51, 52
6. Bertentangan dengan ius cogens : Pasal 53
Treaty making incapacity
• Ukuran HI bukan HN
• Pasal 46 : negara tidak bisa membatalkan treaty dengan alasan
perutusan telah melampaui wewenang menurut HN  Kecuali :
Mendasar dan fundamental  dilakukan berdasar Normal Practice &
Good Faith
• Pasal 47 : pembatasan kekuasaan bukan alasan semata-mata 
kecuali pembatasan diberitahukan kepada negotiating state
Error (Khilaf)
• Pasal 48 : yang dijadikan dasar error : Fact or Situation
• Bukan : conduct, keadaan, kata-kata yang dirumuskan
• Secara umum : khilaf  orang, benda yang dijanjikan, situasi/fact
dasar perjanjian, pernyataan janji.
Fraud (Penipuan)
• Pasal 49 : Negara ditipu negara lain dalam pembuatan treaty
• Negara yang ditipu bisa membatalkan!
Corruption (penyalahgunaan)
• Delegasi / wakil negara menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki.
• Pasal 50 : Delegasi negara dihasut pihak lain.
Coercion (Paksaan)
• Paksaan yang ditujukan kepada delegasi atau wakil negara
• Pasal 51 : delegasi negara mendapat ancaman / tindakan yang
membahayakan
• Pasal 52 : Pembuatan Treaty dengan ancaman  bertentangan
dengan prinsip HI sebagaimana yang diatur dalam UN Charter
(Piagam PBB) Pasal 2 (4)
Bertentangan dengan Ius Cogens
• Lihat lagi kuliah HI tentang IUS COGENS
• Pasal 53 : disebut dengan Peremptory Norm of general international
law  Norma yang diterima dan diakui oleh komunitas internasional :
Negara.
• Secara umum : pembatalan harus diberitahukan kepada negara-
negara pihak lainnya.
Hilangnya Hak Pembatalan
• Hak negara untuk membatalkan treaty yang mengandung 6 hal
invaliditas treaty menjadi hilang, bila :
1. Negara yang bersangkutan terang-terangan menyetujui treaty
tersebut
2. Berbuat sesuai dengan ketentuan treaty yang bersangkutan.
Berakhirnya Treaty
• Treaty bisa berakhir dikarenakan alasan :
1. Alasan hukum : hapusnya unsur perjanjian, pecah perang antar
negara pihak, pelanggaran isi/materi treaty, berlakunya doktrin
rebus sic stantibus, jangka waktu berlaku habis, pengunduran diri
para pihak / pihak-pihak, bertentangan dengan ius cogens.
2. Tindakan para pihak : persetujuan para pihak, pengunduran diri
secara sepihak oleh pihak/pihak-pihak.
Hapusnya unsur perjanjian
• Hapusnya salah satu pihak dalam treaty bilateral  terkait dengan
suksesi negara  ingat kuliah HI
• Hapusnya obyek yang diperjanjikan
Pecah Perang diantarai negara pihak
• Pecah perang tidak serta merta membatalkan treaty. Ada 2 model
yang lazim terjadi :
1. Termination : treaty menjadi batal/hapus
2. Suspension : penangguhan selama perang, sesudah damai
dilanjutkan  umum terjadi dalam praktek!
Pelanggaran isi / materi oleh salah satu pihak
• Treaty Bilateral : beri hak kepada pihak lain untuk : terminate atau
suspend treaty yang bersangkutan
• Treaty multilateral : tergantung keadaan
Berhenti semua pihak
Berhenti antar negara pelanggar
Berhenti antar negara yang terkena akibat dan negara pelanggar, etc.
Berlakunya Doktrin Rebus Sic Stantibus
• Lihat Pasal 62 KW 1969
• Selama keadaan tetap demikian  kewajiban berlaku selama keadaan
essential tetap tidak berubah
 Pengaruh : terjadi perubahan fundamental dari keadaan negara
(state of facts)
Pengunduran diri Pihak-pihak
• Treaty bilateral  berdampak langsung
• Treaty multilateral  tergantung dari syarat minimal berlakunya
treaty.
Jumlah minimum berlakunya kurang : ditetapkan dalam treaty 
express / implied
Kalau tidak ditetapkan  treaty berjalan terus
Persetujuan Pihak-Pihak
• Para pihak dalam treaty telah menyetujui untuk menghentikan atau
mengakhiri treaty
 Contoh : SEATO, Warsaw Pact, etc.
Interpretasi Treaty
• Tahapan ini terjadi biasanya pada saat terjadi persengketaan
pelaksanaan kewajiban yang ada dalam treaty  ada negara-negara
pihak yang tidak patuh
• Umumnya persengketaan tersebut sampai harus di bawa di depan
peradilan internasional
• Hakim-hakim peradilan internasional  melakukan penafsiran
perjanjian internasional yang menjadi pokok permasalahan
Organ-Organ yang berwenang
• Pengadilan :
1. Mahkamah Internasional (ICJ)
2. European Court  Court of Justice of the three European Community
a. European Coal and Steel Community
b. European Economic Community
c. European Atomic Energi Community
• Organ-organ teknik internasional : ILO, Organ-Organ PBB
• IMF : Executive Directors and Board of Governors
• Ad hoc Committee of Jurists
Prinsip – Prinsip Penafsiran
• Secara umum digunakan berbagai metode :
1. Penafsiran Gramatikal  + mengetahui maksud dan kehendak
pembuat treaty
Natural meaning of the words
Nature of things
2. Penafsiran menurut object and context of treaty
3. Penafsiran menurut resonableness and consistency
Prinsip – Prinsip Penafsiran
4. Penafsiran berdasar prinsip effectiveness
5. Penafsiran dengan metode perbandingan  treaty multilingual
6. Larangan penggunaan extrinsic materials  termasuk penggunaan
travaux preparatoires
Penafsiran Treaty dalam KW 1969
• Diatur dalam bagian III, Pasal 31 s/d Pasal 33 KW 1969
• Pasal 31 : Ketentuan Umum, mengatur :
1. Penafsiran treaty harus dengan itikad baik  sejalan dengan arti
yang sesungguhnya (ordinary meaning) yang diberikan dalam
terminologi treaty dan dalam kontek yang sejalan dengan objects
and purpose (obyek dan tujuan treaty)
Penafsiran treaty dalam KW 1969  Pasal 31
2. Yang dimaksud dengan konteks untuk penafsiran treaty adalah
termasuk juga preambule dan annexes :
Semua kesepakatan yang dibuat para pihak pada saat menyatakan
terikat pada treaty
Setiap instrumen yang dibuat satu atau lebih negara pihak yang
terkait dengan penutupan treaty dan diterima oleh pihak-pihak
lainnya sebagai bagian yang terkait dengan treaty.
Penafsiran treaty dalam KW 1969  Pasal 31
3. Yang juga harus diperhitungkan dalam konteks adalah :
a. Kesepakatan diantarai para pihak yang terkait dengan penafsiran dan
penerapan pemberlakuannya
b. Praktek-praktek yang terkait dengan penafsiran yang dikembangkan para
pihak dan disepakati
c. Setiap hukum internasional yang berlaku dalam hubungan di antara para
pihak
Penafsiran treaty dalam KW 1969  Pasal 32
• Bahan-bahan tambahan (extrinsic materials) yang digunakan untuk
penafsiran adalah termasuk preparatory work (travaux preparatoires)
• Keadaan / situasi / suasana saat penutupan treaty
• Hal ini baru dapat digunakan kalau penafsiran menurut Pasal 31 justru
:
a. Menimbulkan kebingungan dan ketidakjelasan
b. Menyebabkan tidak jelas dan tidak masuk akal
Penafsiran treaty dalam KW 1969  Pasal 33
• Penafsiran dengan menggunakan metode perbandingan bahasa 
treaty multilingual
• PBB gunakan 6 bahasa resmi : Inggris, Perancis, Spanyol, Russia,
China, Arab (Baru mulai > 1980)
Instrumen Penafsiran
• Bisa dalam berbagai bentuk :
1. Protocol  sebagai tambahan konvensi
2. Process verbal
3. Final Act
 Berisi penjelasan dan ketentuan yang diragukan!
Kasus – Kasus Penafsiran Treaty :

Conditions of Admission of a State to Membership in The United Nations, ICJ –


1948 ( Persyaratan Penerimaan Suatu Negara Menjadi anggota PBB )

 pokok persoalan: Pasal 4 ayat (1) : Syarat-syarat yang harus dipenuhi


sebuah Negara untuk menjadi Anggota PBB
 Latar Belakang Kasus :
 diawal berdirinya PBB, penerimaan negara sebagai anggota PBB macet.
Hal itu karena ulah anggota tetap DK PBB (yang memiliki hak veto)
Masing-masing blok mau menyetujui permintaan calon anggota dari
blok lawan hanya apabila penerimaan calon dari anggota bloknya
sendiri juga disetujui oleh blok lawan
Majelis umum ajukan permohonan AO ke mahkamah internasional
Permasalahan :
• Yang diajukan MU Kepada MI adalah :
Apakah anggota PBB yang punya kewenangan melakukan
penerimaan anggota secara yuridis berhak memberikan persetujuan
yang tidak secara eksplisit ada di dalam Pasal 4 (1) Piagam?
Apabila syarat dalam Pasal 4(1) dipenuhi, boleh tidak memberikan
persyaratan tambahan diluar Pasal 4(1) ?
Langkah MI :
o MI mengkualifikasi apakah permasalahan yang diajukan
permasalahan hukum .
o Menyangkut ketentuan Piagam PBB sebagai Treaty  sumber
Hukum Int’l  Permasalahan Hukum  MI berwenang menjawab.
• Permasalahan yang ada dicoba untuk diringkas :“Apakah
persyaratan yang diatur dalam Pasal 4 (1) Piagam PBB sudah
exhaustive (tuntas) atau belum?”
MI memerinci pasal 4 (1): ada 5 hal :
• Merupakan suatu negara ( be a state )
• Cinta damai ( be peace keeping/ loving )
• Menerima kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam Piagam
( accept the obligations of the Charter )
• Dapat melaksanakan kewajiban2 itu ( be able to carry out these
obligations )
• Berkemauan melaksanakan kewajiban 2 itu ( be willing to do so )
penafsiran MI:
• Penafsiran Perbandingan Naskah Piagam  5 bahasa resmi Piagam :
Inggris, Perancis, Spanyol, Russia, China
• Penafsiran kehendak pembuat Piagam
• Penafsiran Gramatikal  Natural meaning of the Words
• Penafsiran Sistematik
• Penafsiran Wewenang mempertimbangkan faktor politik
• Menolak penggunaan penafsiran Extrinsic Materials
keputusan MI:
• 9 Suara setuju >< 6 suara menolak : 4 hakim memberikan putusan DO
( Dissenting Opinion )
• Secara yuridis Negara yang berwenang melakukan penerimaan tidak
berhak memberikan persyaratan tambahan di luar Pasal 4 (1 ) Piagam
 Pasal 4 (1) Piagam Exhaustive
• Tidak boleh menetapkan syarat tambahan.
Kasus – Kasus Penafsiran Treaty :

Competence of The General Assembly for the Admission of a State to the United
Nations, ICJ-1950 ( Wewenang Majelis Umum PBB Untuk Menerima Negara
Sebagai Anggota PBB )

 Pokok Persoalan : Pasal 4 ayat (2) : Prosedur Penerimaan /


Wewenang Penerimaan
 latar belakang kasus:
• Penerimaan Negara sebagai anggota PBB masih macet.  Ulah anggota tetap
DK-PBB
• Keputusan kasus I tidak memberikan pengaruh besar.
• Banyak Negara calon gagal menjadi anggota dikarenakan tidak mendapat
Rekomendasi dari DK-PBB, hal ini dikarenakan Negara calon gagal mendapat
suara mayoritas atau mendapat tentangan dari salah satu anggota tetap DK-
PBB
• MU kembali mengajukan permohonan AO kepada MI, khususnya
mempersoalkan ketentuan Pasal 4 (2) Piagam PBB : Kewenangan.
Permasalahan
• Permasalahan hukum yang diajukan MU : “ Dapatkah penerimaan
suatu Negara sesuai Pasal 4(2) Piagam diputuskan oleh MU kalau DK
tidak memberi Rekomendasi dikarenakan Negara calon gagal
mendapatkan dukungan suara mayoritas atau mendapat tentangan
dari salah satu anggota tetap DK?
• Dengan kata lain menurut MU adalah “Negara calon itu dikatakan
mendapat Rekomendasi tetapi yang Unfavorable ( tidak
menguntungkan)”
Langkah MI :
• MI melihat permasalahan yang diajukan MU merupakan
permasalahan hukum  menyangkut ketentuan Piagam PBB sebagai
sebuah Treaty  sebagai Sumber HI
• Melakukan penafsiran pada ketentuan Pasal 4 (2) Piagam.
penafsiran yang dilakukan MI:
• Penafsiran Gramatikal  In their natural and ordinary meaning 
bila kata-kata yang ada telah memberi pengertian pada konteknya,
maka MI tidak perlu menafsirkan lagi.
• Pasal 4 (2) Piagam telah jelas bahwa kewenangan memberi
rekomendasi ada pada DK, dan rekomendasi harus ada lebih dulu
sebelum MU membuat putusan penerimaan
• MI menolak penggunaan Travaux Preparatoires (menolak
penggunaan Extrinsic Materials )
keputusan MI:
• 12 suara setuju >< 2 menolak
• Menolak permohonan MU yang menyatakan Negara yang gagal
mendapat suara mayoritas atau mendapat tentangan dari salah
satu anggota tetap DK dianggap mendapat Rekomendasi yang
unfavorable
• Pasal 4(2) Piagam  Rekomendasi haruslah favorable!
 Penerimaan Negara calon menjadi anggota PBB tetap harus
memenuhi prosedur Pasal 4 (2) Piagam PBB! kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai