A. TUJUAN PEMBELAJARAN
B. URAIAN MATERI
1. Perjanjian Internasional
1
Georg Schwarzenberger mendefinisikan treaties sebagai agreements between subjects of international law
creating bidning obligations in international law. Namun demikian, mereka tidak sepenuhnya terikat oleh perjanjian
internasional. Dalam hal terjadi kekosongan materi perjanjian atau kebiasan hukum internasional, mereka bebas
membetuk ketentuan yang berlaku diantara mereka untuk mengatur hubungan diantara mereka. Georg
Schwarzenberger, 1967, A Manual of International Law, Stevens & Sons Limited, London, hal. 30
perjanjian internasional. Perjanjian internasional diklasifikasikan atas perjanjian yang
bersifat mengikat (hard law) dan yang bersifat tidak mengikat (soft law). Termasuk
kedalam kategori perjanjian yang bersifat mengikat antara lain: Treaty, Agreement,
Pact, dan Convention. Termasuk kedalam kategori bersifat tidak mengikat antara lain:
charter, declaration, dan resolution. Kedua jenis perjanjian ini dibedakan berdasarkan
materi dan sifat mengikatnya. Dari segi materi, kelompok yang pertama merupakan
perjanjian yang memuat materi yang bersifat memaksa, mengandung hak, kewajiban,
dan sanksi. Sedangkan kelompok yang kedua cenderung memuat prinsip-prinsip
hukum yang mengikatnya didasarkan pada kerelaan (voluntary based) negara-negara
yang menggunakannya. Perjanjian internasional juga diklasifikasikan berdasarkan
prektek pembentukannya. Berdasarkan praktek pembentukannya, perjanjian
internasional diklasifikasikan atas dua bentuk, yaitu: (1) perjanjian internasional yang
tahapan pembentukannya melalui tiga tahap, yaitu perundingan, penandatangan, dan
peratifikasian; dan (2) perjanjian internasional yang pembentukannya melalui dua
tahap, yaitu perundingan dan penandatanganan. Jenis perjanjian yang pertama
digunakan untuk perjanjian-perjanjian yang bersifat penting, sehingga memerlukan
persetujuan dari badan-badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (treaty
making power), seperti misalnya Dewan Perwakilan Rakyat. Perjanjian jenis yang
pertama ini juga memerlukan waktu pembentukan yang agak lama dibandingkan
dengan perjanjian jenis yang kedua. Sedangkan, perjanjian jenis yang kedua
merupakan perjanjian yang digunakan untuk perjanjian-perjanjian yang itdak begitu
penting dan memerlukan penyelesaian cepat, seperti perjanjian perdagangan
berjangka pendek. Profesor Mochtar Kusumaatmadja mengklasifikasikan perjanjian
jenis yang pertama sebagai perjanjian internasional atau traktat (treaty), sedangkan
perjanjian jenis yang kedua sebagai persetujuan (agreement).2 Perjanjian internasional
juga diklasifikasikan berdasarkan jumlah pihakpihak yang membuat perjanjian.
Berdasarkan pengklasifikasian ini, perjanjian internasional diklasifikasikan atas
perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral. Perjanjian bilateral adalah perjanjian
yang dibuat oleh negara, sedangkan perjanjian multilateral adalah perjanjian yang
dibuat oleh lebih dari dua negara. Contoh perjanjian bilateral, misalnya Perjanjian
2
Mochtar Kusumaatmadja, 1978, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung, hal. 113
antara Republik Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok tentang Dwi
Kewarganegaraan (1954). Sedangkan contoh perjanjian multilateral adalah Konvensi
Jenewa tentang Perlindungan Korban Perang (1949). Pengklasifikasian lainnya, yang
sebetulnya lebih penting, adalah pengklasifikasian berdasarkan akibat hukum yang
ditimbulkan oleh perjanjian yang dibuat. Berdasarkan pengklasifikasian ini,
perjanjian internasional diklasifikasi atas: (1) perjanjian yang mempunyai sifat seperti
kontrak, sebagaimana kontrak di dalam hukum perdata, karena hanya mengikat para
pihak yang membuatnya. Perjanjian ini disebut TREATY CONTRACT
(traite-contract) dan LAW MAKING TREATIES (traite-lois). TREATY CONTRACT
adalah perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang membuatnya. Perjanjian ini hanya
menimbulkan hak dan kewajiban serta tanggungjawab diantara pihak-pihak yang
membuatnya. Misalnya, perjanjian tentang kewarganegaraan, perjanjian perdagangan,
perjanjian pemberantasan penyeludupan, dan perjanjian tentang batas-batas negara.
LAW MAKING TREATIES adalah perjanjian yang meletakkan kaedah-kaedah
hukum bagi masyarakat internasional sebagai suatu keseluruhan. Misalnya, Konvensi
tentang Hukum Laut, Konvensi Ruang Angkasa dan Bendabenda Langit lainnya,
Konvensi Ruang Udara, dan lain-lain. Disamping perbedaan dari segi akibat hukum
atau keberlakuan mengikatnya, kedua jenis perjanjian ini juga dibedakan berdasarkan
peserta yang ikut dalam pembentukan perjanjian tersebut. Pada Treaty Contract,
hanya pihak-pihak perjanjian yang terlibat dalam pembentukan perjanjian. Pihak
ketiga umumnya tidak diperkenankan iktu dalam prose pembentukan perjanjian.
Sedangkan, peserta dalam Law Making Treaty bersifat terbuka dan umumnya
melibatkan selbagian besar, jika bukan seluruh, negara.3 Professor Mochtar
Kusumaatmadja memandang pembedaan antara perjanjian yang memiliki sifat
sebagai Tretay Contract dan Law Making Treaty sebagai pembedaan yang kurang
tepat, karena baik Treaty Contract maupun Law Making Treaty sama-sama
merupakan perjanjian dengan sifat dan akibat hukum yang sama, yaitu mengikat para
pihak dan menimbulkan akibat hukum terhadap para pihak. Demikian juga dalam soal
kerberlakuannya. Sekalipun Law Making Treaty menyediakan kaedah hukum bagi
seluruh anggota masyarakat internasional, Treaty Contract secara tidak langsung juga
3
Mochtar Kusumaatmadja, ibid., hal. 114
menyediakan kaedah hukum bagi masyarakat internasional melalui proses hukum
kebiasaan. Negaranegara bukan anggota perjanjian Treaty Contract juga dapat
menyerap atau memberlakukan Treaty Contract melalui proses hukum kebiasaan.
Professor Mochtar juga menyebut Treaty Contract sebagai perjanjian yang bersifat
khusus dan Law Making Treaty sebagai perjanjian yang bersifat umum. Perjanjian
yang bersifat khusus merupakan perjanjian bilateral, sedangkan perjanjian yang
bersifat umum merupakan perjanjian multilateral.4
3. Tahapan Ratifikasi
Definisi dari Full Power ini adalah Surat Resmi dari Negara yang
memberikan kuasa penuh kepada seseorang untuk mewakili negaranya
dalam menghadiri suatu Pertemuan Internasional.
4
Ibid, h. 114-115.
b. Tanpa Full Power: Delegasi yang tidak membutuhkan Kuasa penuh
dari negara, yaitu
o Presiden (Kepala Negara)
o Perdana Menteri (Kepala Pemerintahan)
o Menteri Luar Negeri
o Kepala Perwakilan Diplomatik (Dubes)
o Wakil Negara pada suatu Organisasi Internasional
(3) Para Delegasi melakukan Perundingan
(4) Para Delegasi membuat rancangan hingga Naskah Final Perjanjian
Internasional
(5) Terhadap Naskah Final Perjanjian Intl tersebut, para delegasi harus melakukan:
a. Penerimaan Naskah (Adoption of the Text)
b. Pengesahan Bunyi Naskah (Authentication of the Text)
o Tanda tangan
o Tanda tangan sementara (Tanda tangan ad referendum)
o Paraf (initial)
Ratifikasi ini hanya dapat dilakukan oleh badan2 tertentu yang disebut dengan
Treaty Making Power. Untuk Indonesia, seperti yang diatur dengan UU 24/2000,
Badan yang berwenang untuk mengesahkan (Ratifikasi) Perjanjian Internasional
adalah DPR (Legislatif) dan Presiden (Eksekutif)
- Aksessi (pernyataan turut serta dalam perjanjian)
- Acceptance
- Penandatanganan
- Pertukaran Surat/Naskah (Exchange of Documents)
Reservasi adalah suatu persyaratan yang diajukan suatu negara untuk turut
serta dalam suatu perjanjian internasional dengan mengajukan syarat untuk
tidak tunduk pada beberapa aturan/pasal yang berlaku dalam perjanjian
tersebut.
Reservasi TIDAK bisa diajukan pada sesuatu yang substansi dalam perjanjian
tersebut, karena sudah disetujui sebelumnya (dengan adoption dan authentication)
Soal
1. Sebut dan jelaskan proses tahapan ratifikasi perjanjian internasional!
2. Sebut dan jelaskan macam-macam pengklasifikasian perjanjian internasional!
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan delegasi dengan full power dan delegasi
tanpa full power?
4. Sebutkan beberapa perjanjian yang pengesahannya harus menggunakan
undang-undang!
D. DAFTAR PUSTAKA