Anda di halaman 1dari 10

Sumber Hukum Internasional

Sumber: Pengantar Hukum Internasional oleh Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes,
Rangkuman Hukum Internasional Publik oleh Dominique Virgil, Materi Perkuliahan Hukum
Internasional Publik FH UI Semester Gasal 2021, dan Sumber Perundangan Lainnya.
Korespondensi: Yasmin Hana Azizah*
*: Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2020

Sumber Materiil dan Formil


 Materiil→ Apakah yang menjadi dasar mengikatnya sumber hukum? Mengapa mengikat?
 Formiil→ Di manakah ketentuan hukum internasional berada?
Sumber Primer
Berdasarkan Ps. 38 Piagam Mahkamah Internasional
A. Traktat atau Perjanjian Internasional
 Perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan
untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.
 Perjanjian ini harus diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggota
masyarakat internasional.
 Perjanjian antarnegara, antara negara dan organisasi internasional, atau antarorganisasi
internasional.
 International agreement concluded between states in written form and governed by
international law (Art. 1 Vienna Convention on the Law of Treaty).
 Tidak termasuk perjanjian internasional→ Kontrak yang diadakan suatu negara dengan
perorangan, baik suatu individu, maupun badan hukum karena kontrak semacam ini
dibentuk berdasarkan hukum nasional yang bersangkutan dan membentuk konsesi yang
berbeda pula.
Prinsip Perjanjian Internasional
 Pacta sunt servanda
 Pacta tertiis nec nocent nec prosunt
 Jus cogens
Bentuk-bentuk Perjanjian Internasional
Istilah→ Treaty, convention, agreement, charter, statute, memorandum of understanding,
protocol, declaration, final act, exchange of notes, agreed minutes, summary record,
process verbal, modul vivendo. letter of intent.
Dua Golongan Perjanjian Internasional
 Golongan Pertama→ Perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi. Biasanya
diadakan untuk hal yang dianggap penting sehingga memerlukan persetujuan dari
badan yang memiliki hak untuk mengadakan perjanjian (treaty making power).
 Golongan Kedua→ Perundingan dan penandatanganan. Biasanya diadakan untuk
hal yang memerlukan penyelesaian cepat dan yang berjangka waktu pendek.
 Menurut Prof. Mochtar→ Golongan pertama disebut perjanjian internasional atau
traktat, sedangkan golongan kedua disebut persetujuan.
Penggolongan Perjanjian Internasional
1. Bilateral→ Perjanjian yang memiliki dua pihak.
2. Multilateral→ Perjanjian yang memiliki lebih dari dua pihak.
3. Treaty Contract atau Perjanjian Kontrak→ Treaty that only regulates rights and
obligations of state parties; like a private commercial contract.
 Suatu kontrak atau perjanjian dalam hukum perdata yang hanya mengakibatkan hak
dan kewajiban bagi para pihak di dalamnya.
 Hanya mengatur para pihak di dalamnya sehingga pihak ketiga yang tidak
berkepentingan dalam perjanjian tidak dapat berturut serta.
4. Law-making Treaty atau Perjanjian yang Membuat Hukum→ Treaty that forms legal
norms for international law society as a whole.
 Perjanjian yang meletakkan ketentuan atau kaidah hukum bagi masyarakat
internasional sebagai keseluruhan.
 Memberikan kesempatan bagi pihak ketiga untuk dapat turut serta karena yang
diatur oleh perjanjian itu adalah masalah yang umum.

Penggolongan Treaty Contract dan Law-Making Treaty Menurut Prof. Mochtar


 Secara Yuridis→ Kurang tepat karena bentuk perjanjian mana pun akan tetap
mengikat para pihak di dalamnya.
 Secara Fungsi→ Perjanjian hukum pasti akan menimbulkan hukum, apapun bentuk
penggolongannya. Treaty contract memang hanya menimbulkan hukum bagi para
pesertanya, tetapi tidak menutup kemungkinan dapat menjadi kaidah yang lebih
umum melalui proses hukum kebiasaan.
 Law-making treaty = multilateral
 Treaty contract = bilateral
Tentang Hal Membuat dan Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional
Tahap Pembuatan Perjanjian Internasional
1. Perundingan (negotiation);
2. Penandatanganan (signature);
3. Pengesahan (ratification).

Pihak yang Dapat Mewakilkan Negara


 Kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri, kepala perwakilan
diplomatik, wakil suatu negara yang sudah ditunjuk untuk mewakili suatu
konferensi.
 Seseorang yang memiliki surat kuasa penuh (credentials) dan akan diperiksa oleh
pemeriksa surat kuasa penuh (credentials committee).
 Seseorang yang tidak memiliki surat kuasa penuh dapat mewakilkan negara dalam
konferensi asalkan tindakan orang tersebut nantinya disahkan oleh pihak yang
berwenang dari negara yang bersangkutan. Kecuali bila ditentukan berlainan,
naskah suatu perjanjian diterima dengan suara bulat, yaitu persetujuan penuh dari
semua negara yang turut serta dalam perjanjian.
1. Penerimaan Naskah (Adoption of the Text)
 Dilakukan dengan 2/3 suara dari peserta konferensi, kecuali jika para peserta
konferensi menentukan lain.
 Tindakan materiil mengenai isi perjanjian.
2. Pengesahan Bunyi Naskah (Authentication of the Text)
 Diterima sebagai naskah terakhir yang dilakukan menurut cara yang disetujui oleh
semua negara peserta perundingan.
 Suatu tindakan formal mengenai bunyi naskah perjanjian.
 Apabila konferensi tidak menetapkan prosedur pengesahan naskah, maka dapat
dilakukan dengan penandatangan, penandatanganan ad referendum (sementara),
atau dengan pembubuhan paraf (initial).
Consent to be Bound by a Treaty
1. Ratifikasi (Ratification)
 Para peserta dapat menetukan bahwa suatu perjanjian akan berlaku tanpa ratifikasi
dengan menayatakan dalam perjanjian bahwa perjanjian berlaku setelah dilakukan
penandatanganan, pada tanggal waktu diumumkan, atau pada tanggal yang
ditentukan pada perjanjian itu.
 Exchange of letters atau exchange of notes→ Suatu negara dapat menyatakan
terikat dengan melakukan pertukaran surat-surat atau naskah apabila para pihak
yang bersangkutan menentukan demikian.
 Ratifikasi→ Persetujuan harus disahkan oleh badan yang berwenang→ Persetujuan
sementara dengan cara penandatanganan.
 Dahulu kala, pengesahan tanda tangan oleh wakil dari suatu negara yang turut serta
dalam perundingan dilakukan ketika kepala negara perlu meyakinkan dirinya
bahwa utusannya tidak melampaui batas wewenangnya.
 Self-Executing→ Dapat langsung diaplikasikan.
 Non Self-Executing→ Memberi arahan untuk membuat hukum untuk dapat
mengaplikasikan.

Golongan atau Sistem Ratifikasi


a. Dilakukan oleh badan eksekutif→ Pemerintahan yang otoriter; Jepang
1829—1946, Italia 1922—1943, Nazi Jerman 1933—1945, Perancis Vichy
1940—1944.
b. Dilakukan oleh badan legislatif→ Turki 1924, El Savador 1950, Honduras
1936.
c. Dilakukan oleh badan eksekutif dan legislatif
 Primat Parlemen, legislatif lebih menonjol→ Perancis; Diadakan
pembedaan tegas antara perjanjian internasional mana yang memerlukan
persetujuan dari parlemen dan yang dapat disahkan tanpa persetujuan
parlemen.
 Primat Presiden, eksekutiflebih menonjol→ Amerika Serikat; Presiden
yang melakukan ratifikasi, tetapi nasihat dan persetujuan senat juga
menentukan. Presiden dapat mengesahkan executive agreements (perjanjian
yang tidak terlalu penting) tanpa advice and consent dari Senat
Ratifikasi Menurut Prof. Mochtar
 Ketidakpastian dalam hal tidak dibedakannya tahap persetujuan dan tindakan
pengesahan, kata ratifikasi mencakup kedua tahap tersebut.
 Ps. 11 UUD 1945→ Presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian
dnegan negara-negara lain.
 Praktik di Indonesia tidak menentu→ Tidak diaturnya mengenai kata ratifikasi
dalam UUD 1945, tidak terdapat pembagian jelas mana yang memerlukan
persetujuan parlemen dan yang tidak, perlu penertiban dan penegasan
mengenai hal ratifikasi perjanjian menurut hukum ketatanegaraan untuk
mengetahui batasan badan eksekutif dapat mengadakan perjanjian bangsa
tanpa persetujuan DPR.
2. Pernyataan Turut Serta (Accesion)
 Apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut
menandatangani naskah perjanjian.
3. Menerima (Acceptance)
 Pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara peserta perjanjian
internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut.
Persyaratan (Reservation)
Negara itu menerima isi perjanjian dengan beberapa syarat yang diajukannya atau
bahwa beberapa bagian dari perjanjian tidak berlaku lagi baginya. Persyaratan dapat
diajukan pada saat perjanjian ditandatangani, pada saat diratifikasi, atau pada saat
menyatakan turut serta.
a. Asas Kesepakatan yang Bulat (Unanimity Principle)
 Reservation pada perjanjian multilateral→ Hanya berlaku apabila para peserta
lainnya dalam perjanjian itu menerima persyaratan yang diajukan. Suatu negara
yang mengajukan persyaratan tidak dapat menjadi peserta perjanjian apabila
salah satu negara tersebut menolak persyaratan yang diajukannya.
 Dianut LBB bagi perjanjian internasional yang diadakan di bawah naungannya.
Diikuti oleh PBB hingga tahun 50-an.
 Didasarkan atas kehendak menjaga keutuhan (integrity) perjanjian.
b. Doktrin Pan Amerika
 Reservation pada perjanjian multilateral→ Tidak diperlukan persetujuan yang
bulat dari seluruh peserta suatu perjanjian atas persyaratan yang diadakan oleh
negara yang hendak turut serta dalam perjanjian. Di antara negara yang
mengajukan persyaratan dan peserta perjanjian yang menolaknya, perjanjian
itu dianggap tidak berlaku. Perjanjian multilateral berisikan sekumpulan
perjanjian bilateral.
 Keutuhan dikorbankan untuk mendorong jumlah peserta dalam perjanjian
dengan melunakkan sikap terhadap persyaratan.
 Praktik cenderung memilih Pan Amerika→ Keinginan menjadikan perjanjian
internasional sebagai sumber hukum yang lebih penting bagi hukum
internasional dengan pengaturan sebanyak mungkin. Menekankan segi
kedaulatan negara dalam keturutsertaan negara-negara dalam perjanjian.
Tentang Hal Penataan Perjanjian
Tentang Hal Punah atau Ditangguhkannya Pemberlakuan Perjanjian
a. Telah tercapainya tujuan perjanjian;
b. Telah habis waktu berlakunya perjanjian itu;
c. Punahnya salah satu pihak peserta perjanjian atau punahnya objek perjanjian;
d. Adaya persetujuan dari para peserta perjanjian untuk mengakhiri perjanjian itu;
e. Diadakannya perjanjian oleh para peserta kemudian yang meniadakan perjanjian yang
terdahulu;
f. Dipenuhinya syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian
itu sendiri;
g. Diakhirinya perjanjian secara sepihak oleh salah satu peserta dan diterimanya
pengakhiran itu oleh pihak lainnya.

Persoalan Khusus yang Mengakibatkan Berakhir atau Ditangguhkannya


1. Pembatalan Sepihak atau Pengunduran Diri (Denunciation)
 Menjadi sulit apabila tidak diatur dalam perjanjian mengenai pengunduran diri.
 Menurut Konvensi Vienna→ Pembatalan atau pengunduran telah disepakati
oleh para peserta atau dianggap tercakup dalam sifat perjanjian. Pihak peserta
harus memberitahukan maksud membatalkan dari perjanjian itu sekurang-
kurangnya 12 bulan sebelum tanggal pembatalan.
2. Pelanggaran Perjanjian
 Suatu pelanggaran dari ketentuan yang mutlak diperlukan bagi tercapainya
tujuan perjanjian itu, hanya pelanggaran yang penting (material breach) saja
yang dapat dijadikan alasan.
 Adimplenti non est adiplendum→ Tidak mengurangi hak peserta yang
dirugikan untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan atas
tanggung jawab peserta yang telah melakukan pelanggaran itu.
 Dari sudut hukum, pelanggaran salah satu pihak sama sifatnya dengan
pembatalan perjanjian.
 Perbedaannya terletak pada pembatalan berlaku untuk seluruh perjanjian,
sedangkan jika karena pelanggaran pembatalan atau penangguhannya dapat
dilakukan untuk sebagian perjanjian.

Force Majeur Sebagai Alasan Pelanggar Perjanjian


"... the situation would have been entirely different if the Belgian
governmenthad been acting under the law of necessity, since necessity may
excuse the non-observance of international obligations."— Hakim Anzilotti
dalam seperate opinion atas perkara Oscar Chinn
 Ketidakmungkinan salah satu pihak untuk melaksanakan kewajibannya
menurut perjanjian (impossibility of performance).
 Apabila kewajiban tidak mungkin terlaksana karena lenyapnya objek atau
tujuan yang menjadi pokok perjanjian.
3. Perubahan yang Fundamental dalam Keadaan (Fundamental Change of
Circumstances)
 Rebus sic stantibus, telah diakui oleh Konvensi Vienna sebagai alasan untuk
mengakhiri atau menangguhkan suatu perjanjian.

Pemutusan Hubungan Diplomatik atau Hubungan Konsuler


 Menurut Konvesi Vienna, pemutusan hubungan diplomatik tidak dapat menjadi
alasan mengakhiri atau menangguhkan suatu perjanjian, kecuali jika hal tersebut
menjadi syarat mutlak dalam perjanjian itu.
 Pecahnya perang mungkin saja mengakibatkan ditangguhkannya ketentuan
perjanjian bagi peserta yang bersangkutan.
B. Kebiasaan Internasional
 As evidence of a general practice accepted as law. (Ps. 38 ayat (1) sub b ICJ Statute)
 Kebiasan internasional dapat menimbulkan kaidah-kaidah hukum kebiasaan
internasiona yang kemudian diteguhkan dalam konvensi internasional.
 Perjanjian yang terus diadakan mengenai hal yang sama akan dijadikan kebiasaan
sehingga dapat menciptakan lembaga hukum.
Unsur Hukum Kebiasaan Sebagai Sumber Hukum Internasional
1. State Practices, Material Basis→ Sufficient practice, widespread concurrence,
consistent conduct.
 Terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum.
 Pola tindak yang berlangsung lama, serangkaian tindakan yang serupa
mengenai hal dan keadaan yang serupa pula.
2. Opinio Juris Sive Necessitatis, Psychological Basis→ Conviction of states that its
involvement in the custom is required by law.
 Kebiasaan tersebut harus diterima sebagai hukum.
 Pola tindak tadi harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan
internasional.
 Memenuhi kewajiban hukum.
 Negara-negara tidak menyatakan keberatan.
3. Persistent Objector
C. Prinsip Hukum Umum
 General principles of law recognized by civilized nation→ Asas hukum umum yang
diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab. (Art. 38 (1) (C) ICJ Statue)
 Asas yang mendasari sistem hukum modern, sistem hukum negara barat yang sebagian
besar didasarkan atas asas dan lembaga hukum Romawi.
 Dipengaruhi sejarah imperialisme dan kolonialisme.
 Prinsip hukum umum tidak hanya asas hukum internasional, misalnya hukum perdata,
acara, pidana, dan lainnya.
 Berlainan dengan pendapat kaum positivist, yakni hanya perjanjian dan kebiasaanlah
yang dapat dijadikan sumber hukum internasional.
Fungsi Prinsip Hukum Umum Sebagai Hukum Internasional Menurut Prof.
Mochtar
a. Mahkamah tidak dapat menyatakan non liquest, yakni menolak mengadili perkara
karena tidak adanya hukum yang mengatur persoalan tersebut.
b. Keleluasaan bergerak yang diberikan, kedudukan mahkamah internasional sebagai
badan yang membentuk dan menemukan hukum baru.
Kriteria Prinsip Hukum Umum Menurut d’Aspremont
a. Inherent in any legal order;
b. Manifestation of what is necessary;
c. Indispensable for the operation of any legal system;
d. Expression of common legal conscience;
e. Form of situated generality;
f. Constitutional principles;
g. Reflection of socially-realized morality.
Sumber Subsidier
A. Keputusan Pengadilan dan Pendapat Para Sarjana
 Judicial decisions are not strictly a formal source of law, but in many instances they are
regarded as evidence of the law. In theory, the court applies the law and does not make
it.
 Dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu
persoalan yang didasarkan atas sumber primer.
 Tidak dikenal asas rule of binding precedent.
 "No binding force except as between the parties and in respect of that particular
case."— art. 59 ICJ Statute
 Jika keputusan Mahkamah Internasional sendiri tidak mengikat selain bagi yang
berperkara, a fortiori (alasan lebih kuat) keputusan pengadilan lainnya tidak mungkin
mempunyai keputusan mengikat.
 Keputusan Pengadilan dalam arti luas→ Segala macam peradilan internasional dan
nasional.
 Pengadilan yang mempunyai pengaruh besar→ Mahkamah Internasional Permanen
(Permanent Court of International Justice), Mahkamah Internasional (International
 Court of Justice), Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration).
 Keputusan pengadilan nasional juga memiliki peranan yang penting terhadap
perkembangan hukum kebiasaan internasional terutama yang serupa di berbagai negara
mempunyai akibat kumulatif.
B. Ajaran Para Ahli Terkemuka
 The teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary
means for the determination of the rules of law. (Art. 38 (1) ICJ Statute)
 Digunakan sebagai pegangan dan pedoman untuk menemukan apa yang menjadi hukum
internasional, walaupun ajaran para sarjana itu sendiri tidak menimbulkan hukum.
 Wibawanya akan meningkat jika berfungsi dengan persoalan hukum internasional yang
dicari penyelesaiannya, misalnya Panitia Ahli Hukum (Committee of Jurists) yang
diangkat oleh LBB untuk memberi pendapat mengenai masalah Kepulauan Aaland.
Sumber Tambahan (Tidak Diatur dalam ICJ Statute)
Keputusan Badan Perlengkapan, Organisasi, dan Lembaga Internasional
 Melahirkan berbagai kaidah yang mengatur pergaulan antaranggotanya.
 Terdapat keputusan yang mempunyai kekuatan mengikat hanya untuk beberapa negara,
sedangkan ada juga yang mengikat lebih luas.
 Resolusi Majelis Umum PBB→ Mempunyai kekuatan sebagai anjuran kepada anggota
PBB dan kadang memiliki kekuatan lebih luas.
 Universal Declaration of Human Right→ Pernyataan Umum Mengenai Hak-Hak Asasi
Manusia, 10/12/1948; tidak punya kekuatan mengikat seperti halnya perjanjian
internasional. Asas dalam deklarasi ini telah dimuat dalam konstitusi berbagai negara,
maupun UU tentang jaminan HAM.
 Peranan atau fungsi Majelis Umum→ Quasi legislative.
 Tidak mempunyai kekuatan mengikat yang langsung, tetapi sepanjang mengenai persoalan
yang menyangkut hukum resolusi tadi peranannya penting dalam membentuk unsur
psikologis dalam hukum kebiasaan.
Ex Aequo et Bono
Ps. 38 ayat (2) ICJ Statute, Mahkamah Internasional dapat memutus dan mengadili perkara
bukan berdasarkan hukum, tetapi berdasarkan kepatutan dan kepantasa

Anda mungkin juga menyukai