Anda di halaman 1dari 19

PEMBUATAN PERJANJIAN

INTERNASIONAL
Norma Dasar HPI menurut Konvensi Wina 1969
 Konvensi Wina 1969 adalah salah satu bentuk perjanjian internasional tersendiri, namun
normanya berlaku luas sbg HI, terutama karena karakter khususnya sbg Kodifikasi hukum
kebiasaan internasional
 Konvensi Wina 1969 terbagi atas 8 Bab dan 85 pasal ditambah 1 lampiran
Ruang lingkup Konvensi :
Pasal 1 Konvensi : Konvensi hanya mengatur ttg perjanjian internasional yg dibuat antarnegara
Peristilahan :
Perjanjian Internasional (Treaty), Pengikatan : ratifikasi, penerimaan (acceptance), persetujuan
(approval), aksesi (accession), surat kuasa (full powers), pensyaratan ( reservation), para pihak :
negotiating state ( para pihak dlm perjanjian), contracting state (neg pihak dalam perjanjian),
pihak (party), negara ketiga ( third party), OI ( International Organization)
Sifat Perjanjian Internasional
Perjanjian Internasional yg diatur di dalam Konvensi hanya PI yg tertulis dan tdk
diberlakukan pada PI yg tdk tertulis (Ps 3)

Keberlakuan Konvensi
Menganut Prinsip non-retroaktif, Konvensi tdk diterapkan pada perjanjian2
Internasional yg dibuat sblm berlakunya Konvensi (Pasal 4)
Pembuatan Perjanjian Internasional
Bab II Konvensi Wina 1969 : Pembuatan dan Berlakunya PI
Pasal 6 : setiap negara memiliki kapasitas untuk membuat perjanjian internasional
( diejawantahkan mll proses negosiasi untuk membuat PI)
Siapa yg dimaksud dengan Negara?
Piagam PBB dan Konvensi Jenewa mengenai HK Laut : “ State for the purpose of
International Law” (tanpa menutup kemungkinan suatu negara bagian turut serta
dalam pembentukan suatu PI yg bersifat umum, sejauh HNnya memperbolehkan)
Dalam hal ini termasuk “dependent State” (sejauh kapasitasnya untuk turut serta
diakui oleh HI)
TAHAP PROSES NEGOSIASI
Utusan resmi dari suatu negara hrs disertai dengan dokumen Full Powers (Ps 7) , kecuali jk
utusan tsb memiliki jabatan atau posisi yg menurut praktik dan kebiasaan memang sdh
memiliki wewenang untuk mewakili negaranya, tanpa memerlukan dokumen full powers
Utusan yg tdk memerlukan full powers
1.Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Menteri LN
2.Kepala Misi Diplomatik, seperti Duta Besar
3.Perwakilan tetap untuk Konferensi atau OI
Penggunaan Full Powers
Dianggap sebagai Pengakuan resmi yg digunakan untuk memperoleh kepercayaan
sepenuhnya dari wewenang dan kedudukan perunding
Jika terjadi suatu tindakan hukum oleh wakil negara yg tdk memiliki surat kuasa dlm suatu
proses pembuatan PI, tindakan tsb tdk memiliki kekuatan hukum, kecuali kemudian negara
terkait memberikan konfirmasi mengenai tindakan wakil dimaksud (Ps 8)
FULL POWERS mnrt KONVENSI WINA 1969
 Mencakup perbuatan untuk berunding dan otentifikasi naskah yg tdk
dicakup dlm UU (krn UU membedakan Surat Kuasa dengan
“CREDENTIALS” yg diartikan sbg untuk menghadiri, merundingkan
dan/atau menerima hasil akhir suatu pertemuan internasional)
 Konvensi
tdk mengenal instrumen “CREDENTIALS” krn sdh tercakup
dlm SURAT KUASA
 Konvensi tdk mensyaratkan Kepala Perwakilan (Dubes) untuk
mendapatkan Surat Kuasa krn Dubes sdh memiliki Surat Kuasa yg
bersumber dr Surat Credentials yg diserahkan kpd Kepala Negara
Akreditasinya (shg dianggap sah mewakili neg-ny a)
 Dapatkah suatu negara menyatakan keberatan atas persetujuan yg telah
diberikan oleh wakil yg berkuasa penuh dng alasan bhw persetujuan tsb
bertentangan dng ketentuan2 hukum nasionalnya sendiri?
 Lihat Pasal 46 Konvensi (menolak tindakan dari suatu neg untuk
menggunakan peraturan2 hk nasionalnya sbg alasan untuk menolak
persetujuan yg telah diberikan oleh wakilnya itu, kec bila persetujuan
(consent) itu melanggar suatu peraturan hk nasional yg sangat
fundamental
 Untuk menentukan peraturan HK nasional yg mana yg bersifat
fundamental, diserahkan pd penilaian negara2 ybs
TAHAP PENERIMAAN
 Setelah naskah perjanjian dirundingkan, naskah selanjutnya masuk ke dlm tahap
penerimaan naskah (adoption of the text)..(Ps 9)
 Penerimaan naskah hrs memperoleh persetujuan (consent) dari seluruh peserta
perundingan (2/3 peserta yg hadir dan memberikan suara (present and voting)
 Formalisasi /otentifikasi atas suatu naskah dapat dilakukan dengan
penandatanganan atau pemarafan
TAHAP PENGIKATAN THD SUATU PI/CONSENT TO BE
BOUND
Pasal 11-18 Konvensi Wina 1969
Pengikatan thd suatu PI adalah tindakan yg menyatakan persetujuan suatu negara untuk dapat
terikat oleh PI
Consent to be Bound dapat dilakukan dengan : penandatanganan, pertukaran naskah perjanjian,
ratifikasi, acceptance, approval, aksesi atau dengan cara lain yg disetujui para pihak perjanjian
internasional tsb
Dengan Penandatanganan mengakibatkan terikatnya negara yg menandatangani, namun seringkali
penandatanganan belum mengikat negara tsb sampai adanya ratifikasi
Contoh : Indonesia, dimana perjanjian dianggap mengikat setelah ratifikasi melalui proses di legislasi
Catatan :
Geneva Convention on the Continental Shelf 1958 mensyaratkan dilakukannya ratifikasi untuk
pengikatan (consent to be bound). Jerman hanya menandatangani , tetapi tdk pernah meratifikasi
perjanjian tsb. MI menyatakan bahwa PI tsb tdk mengikat Jerman (lihat kasus North Sea Continental
Shelf)
AKIBAT PENANDATANGANAN
Penandatanganan suatu PI akan menimbulkan kewajiban untuk bertindak dengan itikad baik bagi
para penandatangan
CONSENT TO BE BOUND MELALUI AKSESI
Merupakan proses keterikatan suatu negara yg tdk ikut serta dalam negosiasi pembuatan PI
Konsekuensi hukum : sama dengan penandatanganan atau ratifikasi
PENSYARATAN/RESERVASI
Suatu negara dapat menyatakan bahwa ia mengesampingkan satu atau beberapa ketentuan
dari PI dengan memberikan reservasi
Dapat dilakukan sepanjang tidak dilarang oleh PI terkait, sesuai dng mekanisme pensyaratan
atau aspek apa saja yg dpt dilakukan pensyaratan sesuai ketentuan Perjanjian dan masih
dalam lingkup tujuan serta obyek dari PI (Ps 9)
PEMBERLAKUAN PERJANJIAN/ENTRY INTO FORCE
 PI akan mulai berlaku semenjak tanggal ditentukan dalam PI tsb.
 Pada perjanjian Bilateral, PI akan mulai berlaku sesegera mungkin setelah para
pihak menyatakan consent to be boundnya
 Untuk Perjanjian multilateral, sesuai praktik internasional, perjanjian biasanya
memuat klausul yg menentukan syarat berlakunya perjanjian, yaitu jumlah
minimum ratifikasi yg dimiliki oleh perjanjian tsb.
PRAKTIK PEMBUATAN PI DI INDONESIA
 Pasal 11 UUD 1945 : Pembuatan PI merupakan kewenangan Presiden sbg Kepala Negara
 UU NO. 24 Tahun 2000 tentang PI, meskipun tdk sepenuhnya memuat seluruh kaidah yang hidup di
dunia internasional berdasarkan Konvensi Wina 1969 (sifatnya saling melengkapi)
 Pembuatan PI termasuk pengikatan diri thd PI dilakukan oleh pemerintah RI (tdk membedakan
antara Kepala Pemerintahan dengan Kepala Negara)
KEWENANGAN MEMBUAT PI
 Dalam lingkup NKRI : Pemerintah RI (Pemerintah saja yg memiliki kewenangan mewakili negara
dalam rangka menjalin komitmen dengan subjek HI lainnya)….lihat Pasal 4 ayat (1)
 Kewajiban bagi para pihak pada perjanjian untuk melaksanakan perjanjian dengan itikad baik
(lihat juga Pasal 26 Konvensi Wina 1969)
 Pasal 4 ayat (2) UU NO. 24 thn 2000 : prinsip kesetaraan, persamaan kedudukan bagi para pihak
dalam perjanjian, saling menguntungkan, berpedoman kpd kepentingan nasional dan
memperhatikan keberlakuan HN dan HI
FULL POWERS mnrt UU NO. 24 thn 2000
 UU membedakan Surat Kuasa dan Credentials
 UU tdk menempatkan Kepala Perwakilan (Dubes) sbg pejabat yg tdk
membutuhkan Surat Kuasa untuk menerima naskah PI yg dibuat oleh Indonesia
dng negara/OI akreditasinya
 UU tdk mensyaratkan adanya Surat Kuasa jk PI tsb menyangkut kerjasama
teknis sbg pelaksanaan dr perjanjian yg sdh berlaku dan materinya berada dlm
lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik
departemen maupun non-departemen.
 Credentials/letter of credence : surat kepercayaan
 Full Powers : Surat Kuasa
Tahapan Pembuatan PI
Dasar Hukum : Pasal 6 UU No. 24 Thn 2000
1. Penjajagan
2. Perundingan
3. Perumusan Naskah Perjanjian
4. Penerimaan
5. Penandatanganan
Lembaga Pemrakarsa
 Pasal 5 UU No. 24 Thn 2000 : Lembaga Pemrakarsa haruslah Lembaga Negara dan
Lembaga Pemerintah , baik departemen maupun non-departemen , di tk pusat dan daerah
yg memiliki rencana untuk membuat PI
 Amandemen UUD 1945 : lembaga pemrakarsa tdk lagi merujuk pd satu lembaga namun
dapat lebih dr satu lembaga
 Prakarsa/inisiatif membuat PI bukan berasal dr institusi pemerintah dlm arti umum, tetpi
berasal dr unit2 atau lembaga2 yg mjd bagian pemerintahan
 Lembaga Pemerintah : tdk hanya lembaga pd tk pusat , tetapi jg daerah ( sblm
dikonsultasikan dan dikoordinasikan dengan Menlu, hrs lebih dulu memenuhi prosedur
internal di daerah )
 Prakarsa membuat PI perlu mendapat pertimbangan dan pendapat DPRD terkait
 Untuk kerjasama internasional oleh Pemda hrs terlebih dulu mendapatkan persetujuan
DPRD tsb
 Pasal 4 UU No. 24/2000 : Pemerintah RI membuat PI dengan satu neg
atau lebih, OI , atau subjek HI lain
 Apakah lembaga non-eksekutif dpt bertindak atas nama neg untuk mjd
pihak dalam PI? (neg tdk lg mjd lembaga tunggal pembuat PI?)
 Praktik : sifat PI yg dibuat “administrative Agreements” ( kerjasama
administrasi, pengembangan kapasitas, pertukaran informasi) yg mjd
tupoksi dr kesekjenan lembaga ybs
 Menggunakan kaidah pembuatan PI mnrt UU no. 24/2000
(kewenangan msh berada kewenangan Pem RI)
Penentuan Lembaga Pemrakarsa
 Jk materi suatu perjanjian mrpkn kewenangan dr suatu kementerian, mk
kementerian tsb yg mjd lembaga pemrakarsa
 Jk materi bersifat lintas kementerian mk dipilih kementerian yg plg tinggi bobot
keterlibatan fungsinya dlm pelaksanaan perjanjian
 Jk materi perjanjian bukan milik kementerian atau lembaga non –kementerian , mk
Kementerian Luar Negeri akan bertindak sbg lembaga pemrakarsa
KOORDINASI
 Maksud : menyamakan persepsi dlm menghadapi pihak asing agar selaras
dng politik LN dan kepentingan nasional
 Untuk mengkoordinasikan inisiatif2 tsb, UU menetapkan Menlu sbg
pelaksana hubungan politik LN untuk berfungsi sbg lembaga konsultasi
dalam pembuatan PI yg diprakarsai oleh lembaga2 pemerintah
 Untuk PI yg dibuat oleh Daerah : hrs terlebih dulu memenuhi prosedur
internal (lihat UU ttg Pemda)
 Lihat Pasal 5 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2000 tentang PI
PERSOALAN : BGMN SEBENARNYA KEDUDUKAN MENLU?
FUNGSI KEMLU dlm MEKANISME
KONSULTASI DAN KOORDINASI
1. POLITIS : perjanj tdk bertentangan dng Politik LN dan kebijakan LN
Pemerintah Pusat pd umumnya
2. KEAMANAN : Perjanjian tdk berpotensi mengancam stabilitas dan keamanan
DN
3. YURIDIS : perjanjian tsb dpt dipertanggungjawabkan scr yuridis, baik mnrt HN
maupun HI
4. TEKNIS : perjanjian tdk bertentangan dng kebijakan teknis dr pemerintah

Anda mungkin juga menyukai