Full Power adalah kuasa penuh atau on behalf merupakan salah satu kaidah hukum internasional
yang menganggap tidak semua warga negara dapat mewakili suatu Negara dalam pembuatan
hingga pengesahan perjanjian, karena hanya terdapat beberapa orang dengan jabatan (amtenar)
kenegaraanya yang mendapatkan kuasa yang utuh untuk mewakili negaranya.
Full Power telah lama dikenal sejak kerajaan Romawi, pada saat itu dikenal dengan sebutan
plena potentas yang digunakan untuk melakukan transaksi-transaksi yang bersifat hokum, yang
diberikan secara langsung kepada Duta Besar.
Seseorang dianggap mewakili sesuatu Negara dengan maksud untuk mengesahkan atau
mengotentifikasi naskah dari suatu perjanjian atau dengan maksud untuk menyatakan
kesepakatan dari suatu Negara untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian jika :
Ia memberikan surat kuasa penuh selayaknya; atau
Selanjutnya Pasal 8 Konfrensi Wina 1969, pada intinya menyatakan Nilai default (kebiasaan
Internasional yang dikodifikasikan) mereka yang mendapatkan kuasa penuh untuk mewakili
Negara adalah :
Kepala-kepala Negara, Kepala-kepala pemerintahan dan para mentri luar negeri, dengan
maksud untuk melaksanakan semua tindakan yang berhubungan dengan pembuatan perjanjian
Kepala-kepala perwakilan diplomatic dengan maksud untuk mengesahkan naskah suatu
perjanjian antara Negara yang memberikan akreditasi dan Negara dimana mereka
diakreditasikan;
Wakil-wakil yang diakreditasikan oleh Negara-negara pada suatu konferensi internasional atau
organisasi internasional, atau salah satu badannya, dengan maksud untuk mengesahkan naskah
dari suatu perjanjian di konfrensi, organisasi atau badan tersebut.
Contohnya ialah:
Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan : Susilo Bambang Yudhoyono
Mentri Luar Negeri : Fernandes Raja Saor, S.H., LL.M.
Kepala Perwakilan Diplomatik : Duta Besar Indonesia untuk Jepang dalam perjanjian bilateral
Indinesia Jepang seputar pertukaran pelajar.
Wakil-wakil yang terakreditasi : Duta Indonesia Untuk Persatuan Bangsa Bangsa
2.Pengesahan : perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjia internasional
dalam bentuk ratifikasi, aksesesi, penerimaan dan persetujuan.
3.Surat kuasa (full powers) : surat yang dikeluarkan presiden atau menteri yang memberikan
kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili pemerintah Republk Indonesia untuk
menendatangani atau menerima naskah perjanjian, menyatakan persetujuan negara untuk
mengikatkan diri pada perjanjian, dan atau menyelesaikan hal-hal lain yang diperlukan dalam
pembuatan perjanjian internasional.
4.Surat Kepercayaan (credentials letters) : adalah surat yang dikeluarkan oleh Presiden atau
Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili pemerintah RI
untuk menghadiri, merundingkan, dan/atau menerima hasil akhir suatu pertemuan internasional.
5.Pensyaratan (reservation) : pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakunya
ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika
menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang
bersifat multilateral.
Tentang hal-hal yang berkenaan tentang perjanjian internasional sebenarnya sudah ada
UU yang mengatur yaitu UU 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional namun UU ini
masih belum mengatur jelas tentang kedudukan dari Hukum Internasional dengan Hukum
nasional,apakah ada tingkatan antara kedua hukum ini atau keduanya merupakan satu kesatuan
sistem hukum.Salah satu hukum dari perjanjian internasional yang telah menjadi hukum nasional
(telah diratifikasi) yaitu UCLOS 1982 yang diundangkan menjadi UU 17 Tahun 1985
Dalam suatu hal yang dimuat dalam ratifikasi perjanjian internasional tidak selalu diatur
oleh 1 jenis macam perundangan,misalkan perairan yang diatur UU 17 Tahun 1985 Konvensi
Hukum Laut (hasil ratifikasi UNCLOS) ternyata perairan juga diatur dalam jenis peraturan
perundangan yang lain yaitu UU Perpu 4 tahun 1960.
Dalam hierarki peraturan perundangan Indonesia masing-masing jenis perundangan
memiliki muatan sendiri-sendiri yang harus dimuat dan tentu saja jika dicari lebih jauh dari yang
teratas sampai ke bawah akan mengerucut pada UUD NRI 1945 kemudian sampai ke grundnorm
norma dasar kita yaitu Pancasila.Hal inilah yang menjadi dasar kenapa hal-hal yang berkaitan
dengan perairan nasional hasil ratifikasi UNCLOS harus diundangkan dalam bentuk produk
UU.Pada hasil perjanjian konvensi laut 1982 banyak mengatur tentang kedaulatan,wilayah
negara,dan pembagian daerah.Hal-hal sepenting ini tentu tidak dapat hanya diatur melalui
peraturan seperti PP atau malah Perda karna telah menyangkut kepentingan skala nasional,akan
berbeda jika hal-hal yang diatur bukan kepentingan nasional seperti penyelenggaraan
kepentingan daerah.Jika hanya menyangkut daerah barulah perundangan dapat dilakukan dalam
bentuk Perda.
Seperti yang telah disebutkan,meskipun UU 1985 ini merupakan perundangan yang diserap dari
Perjanjian Internasional namun ketentuan-ketentuan di dalamnya tidak boleh bertentangan
dengan norma dasar negara kita,sehingga untuk itulah diadakan pengesahan dengan persetujuan
antara presiden dan DPR dalam meratifikasi suatu perjanjian Internasional
Suatu Negara pada waktu melakukan penandatangan, ratifikasi, menerima, mengesahkan atau
aksesi terhadap suatu perjanjian boleh mengajukan reservasi kecuali jika :
reservasi yg diizinkan oleh perjanjian tidak memerlukan penerimaan oleh negara peserta
lainnya
Jika penerapan perjanjian secara keseluruhan sebagai syarat utama untuk terikat oleh
perjanjian maka reservasi memerlukan penerimaan seluruh peserta perjanjian
Jika perjanjian merupakan instrumen konstitusi organisasi internasional maka reservasi
memerlukan penerimaan dari organ kompeten organisasi tersebut
Reservasi dapat dilakukan dengan :