Anda di halaman 1dari 6

RESUME :

BAB II

LOGIKA DAN ARGUMENTASI HUKUM

1. KESALAHPAHAMAN TERHADAP PERAN LOGIKA

Teori argumentasi mengkaji bagaimana menganalisis, merumuskan suatu


argumentasi secara cepat. Teori argumentasi mengembangkan kriteria yang
dijadikan dasar untuk suatu argumentasi yang jelas dan rasional. Ada perbedaan
pendapat tentang peran logika formal dalam argumentasi hukum, seperti
MacCormick, logika hanya mempunyai peran terbatas, bahkan Perelman dan
Toulmin berpendapat bahwa logika tidak penting.

Kesalahpahaman pertama terhadap peran logika yang berkaitan dengan


keberatan terhadap penggunaan logika silogistik. Ini terjadi karena
pendekatan tradisional dalam argumentasi hukum yang mengandalkan
model sillogisme.
Kesalahpahaman yang kedua mengenai peran logika dalam proses
pengambilan keputusan oleh hakim dan pertimbangan-pertimbangan yang
melandasi keputusan.
Kesalahpahaman yang ketiga berkaitan denganalur logika formal dalam
menarik suatu kesimpulan.
Kesalahpahaman yang keempat, logika tidak berkaitan dengan aspek
substansi dalam argumentasi hukum.
Kesalahpahaman yang kelima, menyangkut tidak adanya kriteria formal
yang jelas tentang hakekat rasionalitas nilai di dalam hukum.
2. KESESATAN (FALLACY)

Kesesatan (fallacy) dalam suatu penalaran dapat terjadi karena yang sesat
itu, karena sesuatu hal, kelihatan tidak masuk akal. Jika orang mengemukakan
sebuah penalaran yang sesat dan tidak melihat kesesatannya maka penalaran
tersebut disebut paralogis. Dan jika penalaran yang sesat itu dengan sengaja
digunakan untuk menyesatkan orang lain, maka disebut sofisme. Penalaran bisa
saja sesat karena bentuknya tidak valid, hal itu terjadi karena pelanggaran terhadap
kaidah-kaidah logika. Selain itu jika penalaran sesat karena tidak ada hubungan
logis antara premis dan konklusi disebut kesesatan relevansi.

Berikut lima model kesesatan hukum, yaitu :

a. Argumentum ad ignorantiam
Kesesatan hukum ini terjadi apabila orang yang
mengargumentasikan suatu proposisi sebagai benar karena tidak terbukti
bersalah atau terbukti benar jika proposisi salah. Argumentum ad
ignorantiam dapat dilakukan apabila dimungkinkan oleh hukum acara
dalam bidang hukum tersebut.
b. Argumentum ad verecundiam
Menolak atau menerima suatu argumentasi karena orang yang
mengemukakannyan adalah orang yang berwibawa, berkuasa, ahli, dan
dapat dipercaya bukan karena nilai penalarannya. Argumentum ad
verecundiam tidak sesat jika suatu yuirisprudensi menjadi yurisprudensi
tetap.
c. Argumentum ad hominem
Menolak atau menerima suatu argumentasi bukan karena penalaran
tetapi keadaan orangnya. Argumentasi seperti ini tidak sesat jika digunakan
untuk mendiskreditkan seorang saksi yang tidak mengetahui secara pasti
kejadian yang sebenarnya.
d. Argumentum ad misericordiam
Argumentasi yang bertujuan untuk menimbulkan belas kasihan.
Argumentasi ini tidak sesat jika digunakan untuk memperoleh keringanan
hukuman dan jika untuk pembuktian tidak bersalah merupakan suatu
kesesatan hukum.
e. Argumentum ad baculum
Menerima atau menolak suatu argumentasi karena suatu ancaman.
Argumentasi ini tidak sesat jika digunakan untuk mengingatkan seseorang
tentang suatu ketentuan hukum.

3. KEKHUSUSAN LOGIKA HUKUM


Suatu argumentasi memiliki makna jika dibangun dengan logika. Dengan
kata lain agar suatu keputusan dapat diterima adalah apabila didasarkan pada proses
nalar, sesuai dengan system logika formal yang merupakan syarat mutlak dalam
beragumentasi. Ada 2 hal yang menjadi dasar kekhususan argumentasi hukum :
i. Tidak ada hakim ataupun pengacara, yang mulai berargumentasi dari suatu
keadaan hampa. Argumentasi hukum selalu dimulai dari hukum positif.
Hukum positif bukan merupakan suatu keadaan yang tertutup ataupun statis,
akan tetapi merupakan satu perkembangan yang berlanjut. Dari suatu
ketentuan hukum positif, yurisprudensi akan menentukan norma-norma
baru. Orang dapat bernalar dari ketentuan hukum positif dari asas-asas yang
terdapat dalam hukum positif untuk mengambil keputusan-keputusan baru.
ii. Kekhususan yang kedua dalam argumentasi hukum atau penalaran hukum
berkaitan dengan kerangka prosedural, yang di dalamnya berlangsung
argumentasi rasional diskusi rasional.

Dalam kaitan itu ada tiga lapisan hukum yang rasional (Drive niveaous van
rationale jurisdische argumentatie), yang meliputi :
a. Lapisan logika
Lapisan ini merupakan bagian dari logika tradisional dan untuk
struktur intern dari suatu argumentasi. Isi yang muncul disini berkaitan
dengan premies yang digunakan menarik suatu kesimpulan yang logis.
b. Lapisan dialetik
Di lapisan ini ada dua pihak yang beragumentasi yang bias saja pada
akhirnya tidak menemukan jawaban. Lapisan ini membandingkan
argumentasi pro maupun kontra.
c. Lapisan procedural
Suatu dialog atau argumentasi harus berdasarkan pada aturan main
yang sudah ditetapkan dengan syarat-syarat prosedur yang rasional dan
syarat penyelesaian sengketa yang jelas.

Legal Reasoning adalah suatu kegiatan untuk mencari dasar hukum yang
terdapat di dalam suatu peristiwa hukum, baik yang merupakan perbuatan hukum
(perjanjian, transaksi perdagangan, dan lain lain) ataupun yang merupakan kasus
pelanggaran hukum (pidana, perdata, ataupun administratif) dan memasukkannya
ke dalam peraturan hukum yang ada.

Legal reasoning digunakan dalam dua arti, yaitu dalam arti luas dan sempit.
Dalam arti luas legal reasoning berkaitan dengan proses psikologi yang dilakukan
oleh hakim, untuk sampai pada keputusan atas kasus yang dihadapi. Sedangkan
dalam arti sempit berkaitan dengan jenis-jenis argumentasi, hubungan antara reason
(pertimbangan dan alasan), dan keputusan, serta ketepatan alasan atau
pertimbangan yang mendukung Bentuk-bentuk logika dalam argumentasi
dibedakan atas argumentasi deduksi dan non deduksi dan beberaa karakteristik
logic yang berkaitan dengan bentuk-bentuk tersebut.
KESIMPULAN :

Suatu argumentasi memiliki makna jika dibangun dengan logika. Teori


argumentasi mengembangkan kriteria yang dijadikan dasar untuk suatu
argumentasi yang jelas dan rasional. Ada perbedaan pendapat tentang peran logika
formal dalam argumentasi hukum, logika hanya mempunyai peran terbatas, bahkan
bahwa logika tidak penting. Penalaran bisa saja sesat karena bentuknya tidak valid,
hal itu terjadi karena pelanggaran terhadap kaidah-kaidah logika. Selain itu jika
penalaran sesat karena tidak ada hubungan logis antara premis dan konklusi disebut
kesesatan relevansi.

Kesesatan hukum ini terjadi apabila orang yang mengargumentasikan suatu


proposisi sebagai benar karena tidak terbukti bersalah atau terbukti benar jika
proposisi salah. Menolak atau menerima suatu argumentasi karena orang yang
mengemukakannyan adalah orang yang berwibawa, berkuasa, ahli, dan dapat
dipercaya bukan karena nilai penalarannya. Menolak atau menerima suatu
argumentasi bukan karena penalaran tetapi keadaan orangnya. Argumentasi yang
bertujuan untuk menimbulkan belas kasihan. Menerima atau menolak suatu
argumentasi karena suatu ancaman.

PENDAPAT :

Dalam praktek bila kita cermati yurisprudensi cara berpikir sistematik


problematik yang diikuti dalam putusan-putusan hakim, karena itu tampaknya
aliran yang mewarnai cara berpikir dialogis. Namun dalam perbincangannya atau
diskusi akademik seringkali para ahli hokum kita melontarkan kritik bahwa
putusan-putusan pengadilan didominasi oleh pikiran-pikiran legalities, yakni hakim
hanya menerapkan undang-undang.

Legal reasoning sangatlah penting di terapkan dalam hukum, sebagai


contohnya seorang hakim haruslah mencari reason tentang hukum mengenai kasus
apa yang akan dia putus. Penalaran disini berarti mencari inti atau dasar daripada
hukum tersebut. Pembatasan terhadap kebebasan para Hakim untuk tidak keluar
dari contoh legal reasoning yang di peroleh dari pengadilan terdahulu.

PERTANYAAN :

1. Apa perbedaan dari logika deduksi dan non deduksi ?


2. Bagaimana sesorang penegak hukum harus menempatkan diri dalam
beragumentasi yang sesuai dengan cerminan dirinya sebagai ahli hukum ?

Anda mungkin juga menyukai