BAB II
Kesesatan (fallacy) dalam suatu penalaran dapat terjadi karena yang sesat
itu, karena sesuatu hal, kelihatan tidak masuk akal. Jika orang mengemukakan
sebuah penalaran yang sesat dan tidak melihat kesesatannya maka penalaran
tersebut disebut paralogis. Dan jika penalaran yang sesat itu dengan sengaja
digunakan untuk menyesatkan orang lain, maka disebut sofisme. Penalaran bisa
saja sesat karena bentuknya tidak valid, hal itu terjadi karena pelanggaran terhadap
kaidah-kaidah logika. Selain itu jika penalaran sesat karena tidak ada hubungan
logis antara premis dan konklusi disebut kesesatan relevansi.
a. Argumentum ad ignorantiam
Kesesatan hukum ini terjadi apabila orang yang
mengargumentasikan suatu proposisi sebagai benar karena tidak terbukti
bersalah atau terbukti benar jika proposisi salah. Argumentum ad
ignorantiam dapat dilakukan apabila dimungkinkan oleh hukum acara
dalam bidang hukum tersebut.
b. Argumentum ad verecundiam
Menolak atau menerima suatu argumentasi karena orang yang
mengemukakannyan adalah orang yang berwibawa, berkuasa, ahli, dan
dapat dipercaya bukan karena nilai penalarannya. Argumentum ad
verecundiam tidak sesat jika suatu yuirisprudensi menjadi yurisprudensi
tetap.
c. Argumentum ad hominem
Menolak atau menerima suatu argumentasi bukan karena penalaran
tetapi keadaan orangnya. Argumentasi seperti ini tidak sesat jika digunakan
untuk mendiskreditkan seorang saksi yang tidak mengetahui secara pasti
kejadian yang sebenarnya.
d. Argumentum ad misericordiam
Argumentasi yang bertujuan untuk menimbulkan belas kasihan.
Argumentasi ini tidak sesat jika digunakan untuk memperoleh keringanan
hukuman dan jika untuk pembuktian tidak bersalah merupakan suatu
kesesatan hukum.
e. Argumentum ad baculum
Menerima atau menolak suatu argumentasi karena suatu ancaman.
Argumentasi ini tidak sesat jika digunakan untuk mengingatkan seseorang
tentang suatu ketentuan hukum.
Dalam kaitan itu ada tiga lapisan hukum yang rasional (Drive niveaous van
rationale jurisdische argumentatie), yang meliputi :
a. Lapisan logika
Lapisan ini merupakan bagian dari logika tradisional dan untuk
struktur intern dari suatu argumentasi. Isi yang muncul disini berkaitan
dengan premies yang digunakan menarik suatu kesimpulan yang logis.
b. Lapisan dialetik
Di lapisan ini ada dua pihak yang beragumentasi yang bias saja pada
akhirnya tidak menemukan jawaban. Lapisan ini membandingkan
argumentasi pro maupun kontra.
c. Lapisan procedural
Suatu dialog atau argumentasi harus berdasarkan pada aturan main
yang sudah ditetapkan dengan syarat-syarat prosedur yang rasional dan
syarat penyelesaian sengketa yang jelas.
Legal Reasoning adalah suatu kegiatan untuk mencari dasar hukum yang
terdapat di dalam suatu peristiwa hukum, baik yang merupakan perbuatan hukum
(perjanjian, transaksi perdagangan, dan lain lain) ataupun yang merupakan kasus
pelanggaran hukum (pidana, perdata, ataupun administratif) dan memasukkannya
ke dalam peraturan hukum yang ada.
Legal reasoning digunakan dalam dua arti, yaitu dalam arti luas dan sempit.
Dalam arti luas legal reasoning berkaitan dengan proses psikologi yang dilakukan
oleh hakim, untuk sampai pada keputusan atas kasus yang dihadapi. Sedangkan
dalam arti sempit berkaitan dengan jenis-jenis argumentasi, hubungan antara reason
(pertimbangan dan alasan), dan keputusan, serta ketepatan alasan atau
pertimbangan yang mendukung Bentuk-bentuk logika dalam argumentasi
dibedakan atas argumentasi deduksi dan non deduksi dan beberaa karakteristik
logic yang berkaitan dengan bentuk-bentuk tersebut.
KESIMPULAN :
PENDAPAT :
PERTANYAAN :