Disusun Oleh
TASK 5
1. JELASKAN MENGENAI ATURAN PACTA TERTIIS NEC NOCENT NEC
PROSUNT DAN KONSEKUENSI HUKUM YANG TIMBUL DARI PRINSIP INI
BERDASARKAN VCLT 1969!
Prinsip pacta tertiis nec nocent nec prosunt yang menegaskan bahwa perjanjian internasional
tidak melahirkan kewajiban dan hak bagi negara ketiga tanpa adanya consent. Lalu apa yang
dimaksud dengan negara ketiga?. Berdasarkan Pasal 2 (h) Konvensi Wina 1969 disebutkan
bahwa “negara ketiga” dapat diartikan sebagai negara yang bukan merupakan pihak dalam
perjanjian (negara non-pihak). Prinsip pacta tertiis nec nocent nec prosunt sendiri diatur dalam
Pasal 34 Konvensi Wina 1969 yang secara tegas mengatur bahwa “A treaty does not creat
either obligations or rights for a third State without its consent”.1 Pasal tersebut
memperlihatkan hubungan antara negara non-pihak dengan perjanjian internasional adalah
dengan adanya consent tadi. Prinsip tersebut sekaligus menegaskan bahwa hanya negara pihak
dari suatu perjanjian internasional yang terikat oleh norma dalam perjanjian tersebut (prinsip
pacta sunt servanda). Suatu negara dalam hal ini tidak dapat dipaksa untuk menerima suatu
aturan dalam perjanjian internasional atau dipaksa untuk terikat terhadap suatu aturan dalam
perjanjian internasional dimana negara tersebut tidak pernah menyatakan menerima aturan
tersebut.2
Untuk itu konsekuensi hukum yang timbul berkaitan dengan diterapkannya prinsip pacta tertiis
nec nocent nec prosunt adalah bahwa perjanjian internasional tidak boleh melahirkan hak dan
kewajiban bagi negara ketiga. Selain itu perjanjian internasional juga dilarang untuk
memodifikasi hak dan kewajiban internasional negara tersebut tanpa persetujuan.3 Dampaknya
kepada negara ketiga adalah bahwa negara tersebut dalam hal ini tidak memiliki hak dan tidak
berkewajiban untuk melaksanakan aturan yang ada didalam suatu perjanjian internasional,
1
Pasal 34 Konvensi Wina 1969.
2
Diajeng Wulan Christianti, “Yurisdiksi International Criminal Court (ICC) Terhadap Warga Negara Non-Pihak
Statuta Roma dan Dampaknya Terhadap Indonesia”, PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum 2, Issue 1, (2020): 28.
3
Diajeng Wulan Christianti. 34
karena negara tersebut tidak menyatakan persetujuannya atas perjanjian internasional tersebut.
Dengan kata lain, suatu perjanjian tidak memiliki akibat hukum kepada mereka yang bukan
pihak dalam perjanjian tersebut atau yang kita kenal dengan prinsip res inter alios acta nec
nocet nec prodest, yang sekaligus berlaku sebagai prinsip pacta sunt servanda dalam suatu
perjanjian.4
4
Atip Latipulhayat, Hukum Internasional: Sumber-Sumber Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2022), 71.
5
Atip Latipulhayat. 70
6
Pasal 35 Konvensi Wina 1969.
7
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2019), 71.
8
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia.
memberikan hak bagi negara ketiga diatur dalam Pasal 36 VCLT 1969, dimana hak tersebut
diberikan oleh perjanjian dengan syarat-syarat antara lain:9
1) Bahwa para pihak dalam perjanjian bermaksud memberikan hak pada negara ketiga,
maupun pada sekelompok negara yang memiliki hak tersebut atau pada semua negara.
2) Persetujuan dari negara ketiga dianggap ada selama tidak menunjukan sebaliknya
kecuali perjanjian itu menyatakan lain dan dalam pelaksanaan hak tersebut pihak ketiga
wajib memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian atau sesuai dengan
perjanjian.
Berkaitan dengan penerapan dari Pasal 36 Konvensi Wina 1969 tersebut misalnya saja dapat
kita lihat dalam ketentuan Pasal 35 Piagam PBB, dimana pasal tersebut menentukan bahwa
negara bukan anggota PBB dapat meminta perhatian dari DK atau Majelis Umum PBB atas
suatu sengketa apabila sebelumnya untuk mengatasi sengketa-sengketa, ia sebagai pihak yang
menyatakan bersedia menerima kewajiban sebagai akibat daripada penyelesaian secara damai
seperti yang tercantum dalam Piagam PBB. Jadi, hak untuk meminta perhatian DK atau Majelis
Umum PBB ini, negara ketiga harus bersedia memenuhi persyaratan yaitu bahwa negara
tersebut menerima kewajiban untuk menerima akibat penyelesaian sengketa menurut Piagam
PBB.10
Selain yang diuraikan diatas, jika kita hubungkan dengan sumber hukum lain yang terdapat
dalam Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah nternasional, maka kita dapat kaitkan kedudukan negara
ketiga (dalam suatu perjanjian internasional) dengan salah satu sumber hukum internasional
yaitu kebiasaan internasional. Perihal hubungan antara kebiasaan internasional dengan negara
ketiga perihal mengikatnya perjanjian tersebut terhadap negara ketiga terdapat dalam Pasal 38
VCLT 1969 yang berbunyi “Nothing in articles 34 to 37 precludes a rule set forth in a treaty
from becoming binding upon a third State as a customary rule of international law, recognized
as such”.11 Aturan tersebut menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam suatu perjanjian
mengikat negara ketiga karena hukum kebiasaan internasional yang telah diakui.12
Dari uraian diatas maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa terdapat beberapa kondisi dimana
suatu perjanjian internasional dapat mengikat negara ketiga, sekaligus merupakan
pengecualian terhadap prinsip pacta tertiis nec nocent nec prosun, antara lain:13
1. Kewajiban sebagaimana tercantum dalam perjanjian yang kemudian menjadi
kewajiban menurut hukum kebiasaan internasional, maka pihak ketiga terikat oleh
perjanjian tersebut. Kewajiban ini berasal dari kebiasaan internasional, bukan yang
lahir dari perjanjian internasional. Hal ini didasarkan pada situasi yang terjadi dalam
VCLT 1969, dimana sebagian besar ketentuan didalamnya sudah merupakan kebiasaan
internasional dan oleh karena itu Mahkamah Internasional menerapkannya kepada
semua negara meskipun negara tersebut bukan negara anggota dari VCLT 1969.
9
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia. 72
10
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia.
11
Pasal 38 Konvensi Wina 1969.
12
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia. 73
13
Atip Latipulhayat. 71
2. Kewajiban dari suatu perjanjian internasional dapat mengikat negara ketiga apabila
negara anggota perjanjian tersebut dan pihak ketiga setuju untuk melakukan hal ini. Hal
yang sama juga dapat diberlakukan pada perjanjian bilateral.
14
Pasal 34 Konvensi Wina 1969.
15
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia. 71
umum oleh Dewan Keamanan yang bertindak berdasarkan Bab VII Piagagam PBB.16 Pasal
tersebut memberikan kewenangan kepada DK PBB untuk merujuk situasi suatu negara yang
dinilai Dewan Keamanan menenuhi kriteria Bab VII Piagam PBB untuk dibawa ke muka ICC
meskipun negara tersebut bukan merupakan negara pihak Statuta Roma.17 Apakah Pasal ini
akan bertentangan dengan prinsip pacta tertiis nec nocunt nec prosunt yang ada dalam
Konvensi Wina 1969 seperti halnya Pasal 2 (6) Piagam PBB diatas?
Prof Hans Kochler dalam hal menjelaskan hubungan antara DK dengan ICC secara tegas
menyatakan bahwa Pasal 13 (b) sebagai dasar kewenangan bagi DK PBB untuk “memberikan”
yurisdiksi kepada ICC (yang tidak memiliki yurisdiksi) bagi negara non-pihak merupakan
pelanggaran terhadap prinsip umum hukum internasional yakni Pasal 34 Konvensi Wina 1969
(Prinsip pacta tertiis nec nocunt nec prosunt).18 Akan tetapi, pendapat dari beliau tentunya
tidak boleh diterima begitu saja. Dalam pembelajaran ilmu hukum perbedaan pendapat
merupakan suatu hal yang lumrah dan diperbolehkan. Untuk itu, kita juga harus melihat dari
sudut pandang lain yaitu mengenai peranan DK PBB dalam memelihara perdamaian dan
keamanan dunia. Pasal 25 dan 103 Piagam PBB memperlihatkan kewenangan yang besar bagi
DK dalam melakukan penegakan hukum. Semua negara anggota PBB terikat pada kewajiban
internasional untuk menerima dan melaksanakan resolusi DK PBB dan jika terdapat konflik
antara kewajiban yang lahir dari piagam dengan yang lahir dari perjanjian internasional, maka
kewajiban PBB yang harus diutamakan (termasuk resolusi DK PBB).19
Consent bagi negara-negara, terkhusus bagi negara non-pihak Statuta Roma yang dibawa ke
mekanisme ICC berdasarkan Resolusi DK PBB berasal dari kepatuhan mereka terhadap Pasal
25 Piagam PBB.20 Untuk itu dapat dipahami bahwa consent bagi negara-negara non-pihak
statuta roma tersebut sebenarnya ada, tetapi consent tersebut bukan berasal dari pernyataan
mengikatkan diri mereka terhadap Statuta Roma, melainkan consent tersebut berasal dari
kepatuhan mereka terhadap Piagam PBB, khususya Pasal 25 Piagam PBB. Untuk itu, Pasal 13
(b) Statuta Roma tidak sama dengan Pasal 2(6) Piagam PBB dalam hal pengaturan hubungan
antara perjanjian tersebut dengan negara ketiga. Pasal 13 (b) Statuta Roma tidak menciptakan
kewajiban bagi negara ketiga (negara non-pihak) dan untuk itu ketentuan pasal ini tidak
bertentangan atau sudah sesuai dengan prinsip pacta tertiis nec nocunt nec prosunt. Pasal
tersebut hanya menegaskan kewenangan dari DK PBB berdasarkan piagam PBB yakni untuk
memelihara perdamaian dan keamanan dunia.
16
Pasal 13 (b) Statuta Roma.
17
Diajeng Wulan Christianti. 29
18
Diajeng Wulan Christianti. 36
19
Diajeng Wulan Christianti. 37
20
Diajeng Wulan Christianti.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Atip Latipulhayat, Hukum Internasional: Sumber-Sumber Hukum, Jakarta: Sinar Grafika,
2022.
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: Sinar
Grafika, 2019.
Jurnal:
Diajeng Wulan Christianti, “Yurisdiksi International Criminal Court (ICC) Terhadap Warga
Negara Non-Pihak Statuta Roma dan Dampaknya Terhadap Indonesia”, PADJADJARAN
Jurnal Ilmu Hukum 2, Issue 1, (2020).
Dokumen Hukum: