Anda di halaman 1dari 6

Hukum Perjanjian Internasional Kelas A – Kelompok A3

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Tugas Mata Kuliah : Task 5


Dosen Pengampu : RA. Gusman Catur Siswandi, S.H., LL.M., Ph.D.
Chaloryne Trie Isana Dewi, S.H., LL.M.

Disusun Oleh

Riyadus Solikhin (110110190040)

TASK 5
1. JELASKAN MENGENAI ATURAN PACTA TERTIIS NEC NOCENT NEC
PROSUNT DAN KONSEKUENSI HUKUM YANG TIMBUL DARI PRINSIP INI
BERDASARKAN VCLT 1969!
Prinsip pacta tertiis nec nocent nec prosunt yang menegaskan bahwa perjanjian internasional
tidak melahirkan kewajiban dan hak bagi negara ketiga tanpa adanya consent. Lalu apa yang
dimaksud dengan negara ketiga?. Berdasarkan Pasal 2 (h) Konvensi Wina 1969 disebutkan
bahwa “negara ketiga” dapat diartikan sebagai negara yang bukan merupakan pihak dalam
perjanjian (negara non-pihak). Prinsip pacta tertiis nec nocent nec prosunt sendiri diatur dalam
Pasal 34 Konvensi Wina 1969 yang secara tegas mengatur bahwa “A treaty does not creat
either obligations or rights for a third State without its consent”.1 Pasal tersebut
memperlihatkan hubungan antara negara non-pihak dengan perjanjian internasional adalah
dengan adanya consent tadi. Prinsip tersebut sekaligus menegaskan bahwa hanya negara pihak
dari suatu perjanjian internasional yang terikat oleh norma dalam perjanjian tersebut (prinsip
pacta sunt servanda). Suatu negara dalam hal ini tidak dapat dipaksa untuk menerima suatu
aturan dalam perjanjian internasional atau dipaksa untuk terikat terhadap suatu aturan dalam
perjanjian internasional dimana negara tersebut tidak pernah menyatakan menerima aturan
tersebut.2
Untuk itu konsekuensi hukum yang timbul berkaitan dengan diterapkannya prinsip pacta tertiis
nec nocent nec prosunt adalah bahwa perjanjian internasional tidak boleh melahirkan hak dan
kewajiban bagi negara ketiga. Selain itu perjanjian internasional juga dilarang untuk
memodifikasi hak dan kewajiban internasional negara tersebut tanpa persetujuan.3 Dampaknya
kepada negara ketiga adalah bahwa negara tersebut dalam hal ini tidak memiliki hak dan tidak
berkewajiban untuk melaksanakan aturan yang ada didalam suatu perjanjian internasional,

1
Pasal 34 Konvensi Wina 1969.
2
Diajeng Wulan Christianti, “Yurisdiksi International Criminal Court (ICC) Terhadap Warga Negara Non-Pihak
Statuta Roma dan Dampaknya Terhadap Indonesia”, PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum 2, Issue 1, (2020): 28.
3
Diajeng Wulan Christianti. 34
karena negara tersebut tidak menyatakan persetujuannya atas perjanjian internasional tersebut.
Dengan kata lain, suatu perjanjian tidak memiliki akibat hukum kepada mereka yang bukan
pihak dalam perjanjian tersebut atau yang kita kenal dengan prinsip res inter alios acta nec
nocet nec prodest, yang sekaligus berlaku sebagai prinsip pacta sunt servanda dalam suatu
perjanjian.4

2. JELASKAN DALAM KONDISI APAKAH KETENTUAN DALAM PERJANJIAN


INTERNASIONAL DAPAT MENGIKAT THIRD PARTIES TERUTAMA APABILA
DIHUBUNGKAN DENGAN SUMBER HUKUM INTERNASIONAL LAIN DALAM
PASAL 38 (1) STATUTA MAHKAMAH INTERNASIONAL!
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dengan adanya prinsip pacta tertiis nec
nocent nec prosun maka perjanjian internasional tidak melahirkan kewajiban dan hak bagi
negara ketiga tanpa adanya consent, yang kemudian prinsip ini diatur dalam pasal 34 Konvensi
Wina 1969. Untuk itu, berdasarkan prinsip dan aturan tersebut keberlakuan dari perjanjian
internasional memiliki keterbatasan yaitu bahwa akibat hukum dari perjanjian tersebut hanya
berlaku bagi para pihak yang terlibat dalam pembuatan pembuatan perjanjian tersebut.5 Dengan
kata lain bahwa perjanjian internasional tidak memiliki akibat hukum kepada mereka yang
bukan pihak dalam perjanjian internasional tersebut.
Disamping itu, ada beberapa kondisi dimana ketentuan perjanjian internasional dapat mengikat
pihak ketiga, sehingga melahirkan kewajiban dan hak terhadap negara tersebut. Berkaitan
dengan perjanjian yang memberikan kewajiban bagi negara ketiga, diatur dalam Pasal 35
Konvensi Wina 1969 yang berbunyi “An obligation arises for a third State from a provision of
a treaty if the parties to the treaty intend the provision to be the means of establishing the
obligation and the third State expressly accepts that obligation in writing”.6 Dari bunyi pasal
tersebut, keterikatan negara ketiga atas suatu perjanjian internasional tersebut timbul dengan
dua syarat antara lain:7
1) Para pihak dalam perjanjian telah bermaksud menentukan kewajiban bagi pihak ketiga.
2) Pihak atau negara ketiga tersebut harus menyatakan menerima kewajiban tersebut
secara tertulis.
Dari kedua syarat tersebut maka dapat dipahami, perjanjian internasional hanya dapat
melahirkan kewajiban kepada negara ketiga, ketika perjanjian yang bersangkutan menentukan
kewajiban tersebut dan negara ketiga tersebut menerima kewajiban tersebut dalam bentuk
tertulis.8 Point penting nya adalah dasar hukum dari kewajiban negara ketiga adalah consent
dari negara tersebut untuk menerima kewajiban tersebut. Kemudian, untuk perjanjian yang

4
Atip Latipulhayat, Hukum Internasional: Sumber-Sumber Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2022), 71.
5
Atip Latipulhayat. 70
6
Pasal 35 Konvensi Wina 1969.
7
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2019), 71.
8
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia.
memberikan hak bagi negara ketiga diatur dalam Pasal 36 VCLT 1969, dimana hak tersebut
diberikan oleh perjanjian dengan syarat-syarat antara lain:9
1) Bahwa para pihak dalam perjanjian bermaksud memberikan hak pada negara ketiga,
maupun pada sekelompok negara yang memiliki hak tersebut atau pada semua negara.
2) Persetujuan dari negara ketiga dianggap ada selama tidak menunjukan sebaliknya
kecuali perjanjian itu menyatakan lain dan dalam pelaksanaan hak tersebut pihak ketiga
wajib memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian atau sesuai dengan
perjanjian.
Berkaitan dengan penerapan dari Pasal 36 Konvensi Wina 1969 tersebut misalnya saja dapat
kita lihat dalam ketentuan Pasal 35 Piagam PBB, dimana pasal tersebut menentukan bahwa
negara bukan anggota PBB dapat meminta perhatian dari DK atau Majelis Umum PBB atas
suatu sengketa apabila sebelumnya untuk mengatasi sengketa-sengketa, ia sebagai pihak yang
menyatakan bersedia menerima kewajiban sebagai akibat daripada penyelesaian secara damai
seperti yang tercantum dalam Piagam PBB. Jadi, hak untuk meminta perhatian DK atau Majelis
Umum PBB ini, negara ketiga harus bersedia memenuhi persyaratan yaitu bahwa negara
tersebut menerima kewajiban untuk menerima akibat penyelesaian sengketa menurut Piagam
PBB.10
Selain yang diuraikan diatas, jika kita hubungkan dengan sumber hukum lain yang terdapat
dalam Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah nternasional, maka kita dapat kaitkan kedudukan negara
ketiga (dalam suatu perjanjian internasional) dengan salah satu sumber hukum internasional
yaitu kebiasaan internasional. Perihal hubungan antara kebiasaan internasional dengan negara
ketiga perihal mengikatnya perjanjian tersebut terhadap negara ketiga terdapat dalam Pasal 38
VCLT 1969 yang berbunyi “Nothing in articles 34 to 37 precludes a rule set forth in a treaty
from becoming binding upon a third State as a customary rule of international law, recognized
as such”.11 Aturan tersebut menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam suatu perjanjian
mengikat negara ketiga karena hukum kebiasaan internasional yang telah diakui.12
Dari uraian diatas maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa terdapat beberapa kondisi dimana
suatu perjanjian internasional dapat mengikat negara ketiga, sekaligus merupakan
pengecualian terhadap prinsip pacta tertiis nec nocent nec prosun, antara lain:13
1. Kewajiban sebagaimana tercantum dalam perjanjian yang kemudian menjadi
kewajiban menurut hukum kebiasaan internasional, maka pihak ketiga terikat oleh
perjanjian tersebut. Kewajiban ini berasal dari kebiasaan internasional, bukan yang
lahir dari perjanjian internasional. Hal ini didasarkan pada situasi yang terjadi dalam
VCLT 1969, dimana sebagian besar ketentuan didalamnya sudah merupakan kebiasaan
internasional dan oleh karena itu Mahkamah Internasional menerapkannya kepada
semua negara meskipun negara tersebut bukan negara anggota dari VCLT 1969.

9
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia. 72
10
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia.
11
Pasal 38 Konvensi Wina 1969.
12
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia. 73
13
Atip Latipulhayat. 71
2. Kewajiban dari suatu perjanjian internasional dapat mengikat negara ketiga apabila
negara anggota perjanjian tersebut dan pihak ketiga setuju untuk melakukan hal ini. Hal
yang sama juga dapat diberlakukan pada perjanjian bilateral.

3. DENGAN MELIHAT PASAL 2 (6) PIAGAM PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA


DAN PASAL 13 (B) STATUTA ROMA, LAKUKAN ANALISA APAKAH KEDUA
PASAL TERSEBUT SESUAI ATAU BERTENTANGAN DENGAN PRINSIP PACTA
TERTIIS NEC NOCUNT NEC PROSUNT DALAM VCLT 1969!
Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut maka berkaitan dengan Pasal 34 Konvensi Wina
1969 yang berbunyi “A treaty does not create either obligations or rights for a third State
without its consent”.14 Tentunya ketentuan Pasal 34 ini mengandung prinsip dalam perjanjian
internasional yaitu prinsip pacta tertiis nec nocunt nec prosunt yang menegaskan bahwa
perjanjian internasional tidak melahirkan kewajiban dan hak bagi negara ketiga tanpa adanya
consent. Prinsip ini berhubungan dengan prinsip lain dalam hukum perjanjian internasional
yaitu prinsip pacta sunt servanda yang menegaskan bahwa hanya negara pihak dari suatu
perjanjian internasional saja yang terikat oleh norma dalam perjanjian tersebut, sedangkan
negara non-pihak dalam hal ini tidak terikat karena tidak memberikan persetujuannya atas
perjanjian tersebut. Dalam penerapannya asas ini tidak dapat dilaksanakan secara mutlak.
Dengan kata lain, terdapat penyimpangan terhadap asas ini, misalnya saja yang terdapat dalam
ketentuan Pasal 2 (6) Piagam PBB yang berbunyi “The Organization shall ensure that states
which are not members of the United Nations act in accordance with these Principles so far as
may be necessary for the maintenance of international peace and security”.15 Jika diartikan
bahwa Organisasi ini (PBB) menjamin agar negara-negara bukan anggota PBB bertindak
dengan prinsip-prinsip ini apabila dianggap perlu demi perdamaian dan keamanan
internasional.
Untuk itu ketentuan Pasal 2 (6) PBB tersebut merupakan penyimpangan dari prinsip pacta
tertiis nec nocunt nec prosunt, karena ketentuan ini melahirkan kewajiban bagi negara ketiga
(negara non pihak Piagam PBB) seperti yang dimaksud dalam Pasal 35 Konvensi Wina 1969,
dimana negara ketiga tersebut harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip PBB guna
memelihara ketertiban dan keamanan dunia. Dengan demikian, karena Pasal Pasal 2 (6) PBB
melahirkan kewajiban bagi negara ketiga, maka ketentuan ini bertentangan dengan prinsip
pacta tertiis nec nocunt nec prosunt dan sekaligus sebagai ketentuan penyimpangan dari
prinsip tersebut. Hal tersebut tentunya akan berbeda ketika kita melihat keterkaitan antara pacta
tertiis nec nocunt nec prosunt yang diatur dalam Pasal 34 Konvensi Wina 1969 dengan Pasal
13 (b) Statuta Roma.
Pasal 13 (b) Statuta Roma berkaitan dengan Pelaksanaan Jurisdiksi dari ICC, yang
menyebutkan bahwa Mahkamah dapat melaksanakan jurisdiksinya berkenaan dengan
kejahatan yang dicantumkan dalam pasal 5 statuta roma, kalau suatu situasi (kasus) dimana
satu atau lebih kejahatan yang tampak telah dilakukan tersebut diteruskan kepada penuntut

14
Pasal 34 Konvensi Wina 1969.
15
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia. 71
umum oleh Dewan Keamanan yang bertindak berdasarkan Bab VII Piagagam PBB.16 Pasal
tersebut memberikan kewenangan kepada DK PBB untuk merujuk situasi suatu negara yang
dinilai Dewan Keamanan menenuhi kriteria Bab VII Piagam PBB untuk dibawa ke muka ICC
meskipun negara tersebut bukan merupakan negara pihak Statuta Roma.17 Apakah Pasal ini
akan bertentangan dengan prinsip pacta tertiis nec nocunt nec prosunt yang ada dalam
Konvensi Wina 1969 seperti halnya Pasal 2 (6) Piagam PBB diatas?
Prof Hans Kochler dalam hal menjelaskan hubungan antara DK dengan ICC secara tegas
menyatakan bahwa Pasal 13 (b) sebagai dasar kewenangan bagi DK PBB untuk “memberikan”
yurisdiksi kepada ICC (yang tidak memiliki yurisdiksi) bagi negara non-pihak merupakan
pelanggaran terhadap prinsip umum hukum internasional yakni Pasal 34 Konvensi Wina 1969
(Prinsip pacta tertiis nec nocunt nec prosunt).18 Akan tetapi, pendapat dari beliau tentunya
tidak boleh diterima begitu saja. Dalam pembelajaran ilmu hukum perbedaan pendapat
merupakan suatu hal yang lumrah dan diperbolehkan. Untuk itu, kita juga harus melihat dari
sudut pandang lain yaitu mengenai peranan DK PBB dalam memelihara perdamaian dan
keamanan dunia. Pasal 25 dan 103 Piagam PBB memperlihatkan kewenangan yang besar bagi
DK dalam melakukan penegakan hukum. Semua negara anggota PBB terikat pada kewajiban
internasional untuk menerima dan melaksanakan resolusi DK PBB dan jika terdapat konflik
antara kewajiban yang lahir dari piagam dengan yang lahir dari perjanjian internasional, maka
kewajiban PBB yang harus diutamakan (termasuk resolusi DK PBB).19
Consent bagi negara-negara, terkhusus bagi negara non-pihak Statuta Roma yang dibawa ke
mekanisme ICC berdasarkan Resolusi DK PBB berasal dari kepatuhan mereka terhadap Pasal
25 Piagam PBB.20 Untuk itu dapat dipahami bahwa consent bagi negara-negara non-pihak
statuta roma tersebut sebenarnya ada, tetapi consent tersebut bukan berasal dari pernyataan
mengikatkan diri mereka terhadap Statuta Roma, melainkan consent tersebut berasal dari
kepatuhan mereka terhadap Piagam PBB, khususya Pasal 25 Piagam PBB. Untuk itu, Pasal 13
(b) Statuta Roma tidak sama dengan Pasal 2(6) Piagam PBB dalam hal pengaturan hubungan
antara perjanjian tersebut dengan negara ketiga. Pasal 13 (b) Statuta Roma tidak menciptakan
kewajiban bagi negara ketiga (negara non-pihak) dan untuk itu ketentuan pasal ini tidak
bertentangan atau sudah sesuai dengan prinsip pacta tertiis nec nocunt nec prosunt. Pasal
tersebut hanya menegaskan kewenangan dari DK PBB berdasarkan piagam PBB yakni untuk
memelihara perdamaian dan keamanan dunia.

16
Pasal 13 (b) Statuta Roma.
17
Diajeng Wulan Christianti. 29
18
Diajeng Wulan Christianti. 36
19
Diajeng Wulan Christianti. 37
20
Diajeng Wulan Christianti.
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Atip Latipulhayat, Hukum Internasional: Sumber-Sumber Hukum, Jakarta: Sinar Grafika,
2022.
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: Sinar
Grafika, 2019.
Jurnal:
Diajeng Wulan Christianti, “Yurisdiksi International Criminal Court (ICC) Terhadap Warga
Negara Non-Pihak Statuta Roma dan Dampaknya Terhadap Indonesia”, PADJADJARAN
Jurnal Ilmu Hukum 2, Issue 1, (2020).

Dokumen Hukum:

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa


Statuta Mahkamah Internasional
Statuta Roma 1998
Konvensi Wina 1969

Anda mungkin juga menyukai