Dosen Pengampu :
Dr. Muazzin, S.H., M.H
Disusun Oleh:
Nafisah Wardah Nasution
1903101010052
Hukum Perjanjian Internasional Kelas E
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ada perjanjian yang dapat segera berlaku hanya melalui dua taħap yaitu tahap perundingan dan
penanda-tanganan, dan ada pula perjanjian, biasanya perjanjian yang sifatnya penting, yang
berlakunya harus melalui tiga tahap yaitu tahap perundingan, penandatanganan dan pengesahan.
Untuk perjanjian bilateral, suatu perjanjian mulai berlaku setelah pertukaran piagam pengesahan
atau setelah pemberitahuan masing-masing pihak bahwa prosedur konstitusional untuk
pengesahan telah dipenuhi. Sedangkan untuk perjanjian multilateral, mulai berlakunya pada
suatu negara adalah setelah penyimpanan piagam ratifikasinya pada pemerintah negara
penyimpan atau Sekretaris Jenderal Organisasi Internasional yang menyelenggarakan konferensi.
Dari yang saya paparkan di atas, terlihat perbedaan yang cukup signifikan terkait tahapan
pemberlakuan perjanjian multilateral yaitu pada tahapan pengesahan. Karena penandatanganan
saja untuk suatu perjanjian multilateral belum menciptakan ikatan hukum bagi para pihaknya.
Oleh karena itu penandatanganan perjanjian tersebut harus disahkan oleh badan yang berwenang
di negara yang bersangkutan. Sebagai salah satu perjanjian multilateral yang paling banyak
dipakai negara-negara di dunia, ICCPR juga memerlukan tahap pengesahan agar negara yang
bersangkutan dapat terikat dengan perjanjian ini. Setiap negara memberlakukan cara yang
berbeda-beda. berikut tahapan pengesahan ICCPR di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa instrumen hukum yang digunakan untuk meratifikasi ICCPR ?
2. Apa pertimbangan Indonesia dalam meratifikasi ICCPR ?
3. Adakah peraturan mengenai reservasi ICCPR ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui instrumen hukum yang digunakan untuk meratifikasi ICCPR
2. Untuk mengetahui pertimbangan Indonesia dalam meratifikasi ICCPR
3. Untuk mengetahui keberadaan aturan mengenai reservasi ICCPR
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai ratifikasi ICCPR, kita perlu mengetahui apa
ICCPR itu. Pada tanggal 10 Desember 1948 Majelis Umum PBB mengeluarkan Deklarasi
Universal Hak-Hak Asasi Manusia atau disingkat DUHAM. DUHAM memuat pokok-pokok hak
asasi manusia dan kebebasan dasar, termasuk cita-cita manusia yang bebas untuk menikmati
kebebasan sipil dan politik. Hal ini dapat dicapai salah satu dengan diciptakannya kondisi
dimana setiap orang dapat menikmati hak-hak sipil dan politik yang diatur berdasarkan
ketentuan-ketentuan internasional.
Setelah melalui perdebatan panjang, dalam sidangnya tahun 1951, Majelis Umum PBB
meminta kepada Komisi HAM PBB untuk merancang Kovenan tentang hak sipil dan politik
yang memuat sebanyak mungkin ketentuan yang akan menetapkan bahwa semua rakyat
mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Setelah menyelesaikan rancangan Kovenan,
Komisi HAM PBB kemudian melakukan pembahasan Pasal demi Pasal, pada akhirnya Majelis
Umum PBB melalui Resolusi No.2200 A (XXI) mengesahkan International Covenant on Civil
and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) pada 16
Desember 1966 dan berlaku pada 23 Maret 1976.
ICCPR bertujuan untuk mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan politik yang
tercantum dalam DUHAM sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum
dan penjabarannya mencakup pokok-pokok lain yang terkait. Konvenan tersebut terdiri dari
pembukaan dan Pasal-Pasal yang mencakup 6 BAB dan 53 Pasal.
Selanjutnya di Pasal 14 Konvensi Wina 1969 dijelaskan bahwa persetujuan suatu negara
untuk diikat suatu perjanjian dinyatakan dalam bentuk ratifikasi bila:
Pada dasarnya Pasal 14 dari Konvensi Wina tersebut tidak mengatur secara khusus
mengenai bentuk instrumen dari suatu ratifikasi. Hal tersebut diserahkan sepenuhnya pada
hukum nasional masing-masing negara. Secara tradisional instrumen ratifikasi ditanda tangani
oleh seorang kepala negara atau kepala pemerintahan. Selain itu ada juga dimana ratifikasi
disetujui bersama oleh kepala negara dan pemerintah negara terkait.
Pada ketentuan hukum nasional Jika dilihat dari perspektif konstitusi maka Sejarah
perkembangan ratifikasi dalam konstitusi di Indonesia cukup unik dan menarik. Arti ratifikasi
secara harfiah diatur dalam Pasal 11 UUD 1945. Itupun tidak disertai dengan peraturan-peraturan
pelaksanaannya. Kemudian dikeluarkan UURI No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional, barulah ada pegangan yang lebih lengkap mengenai ratifikasi.
Lebih lanjut menurut UU No. 24 tahun 2000 Tentang Perjanjian lnternasional, ratifikasi
atau pengesahan suatu perjanjian internasional dapat dilakukan dengan undang-undang atau
keputusan presiden. Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang
apabila berkenaan dengan:
1. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara
2. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia
3. Kedaulatan atau hak berdaulat negara
4. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup
5. Pembentukan kaidah hukum baru
6. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri
Karena ICCPR merupakan konvenan tentang HAM yang menyangkut hak sipil dan
politik, maka diperlukan undang-undang untuk pengesahannya. Ditegaskan dalam pasal 2 UU
No.12 tahun 2005 yaitu UU ratifikasi ICCPR, bahwa “Undang-Undang ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan…” tepatnya pada tanggal 28 Oktober 2005. Atas dasar itu, maka sejak
tanggal diundangkannya indonesia sudah terikat dengan ICCPR.
Indonesia adalah negara hukum dan sejak kelahirannya pada tahun 1945 menjunjung tinggi
HAM. Sikap Indonesia tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum
diproklamasikannya DUHAM, UUD NRI 1945 sudah memuat beberapa ketentuan tentang
penghormatan HAM yang sangat penting. Hak-hak tersebut antara lain hak semua bangsa atas
kemerdekaan (alinea pertama Pembukaan); hak atas kewarganegaraan (Pasal 26); persamaan
kedudukan semua warga negara Indonesia di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1));
hak warga negara Indonesia atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2); hak setiap warga negara Indonesia
atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2); hak berserikat dan berkumpul
bagi setiap warga negara (Pasal 28); kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29 ayat (2);
dan hak setiap warga negara Indonesia atas pendidikan (Pasal 31 ayat (1) ).
Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, upaya penegakan dan perlindungan HAM telah
mengalami pasang surut. Pada suatu masa upaya tersebut berhasil diperjuangkan, tetapi pada
masa lain dikalahkan oleh kepentingan kekuasaan. Akhirnya, disadari bahwa kehidupan
berbangsa dan bernegara yang tidak mengindahkan penghormatan, penegakan dan perlindungan
HAM akan selalu menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat luas dan tidak memberikan
landasan yang sehat bagi pembangunan ekonomi, politik, sosial dan budaya untuk jangka
panjang.
Gerakan reformasi yang mencapai puncaknya pada tahun 1998 telah membangkitkan semangat
bangsa Indonesia untuk melakukan koreksi terhadap sistem dan praktik-praktik masa lalu,
terutama untuk menegakkan kembali pemajuan dan perlindungan HAM.
Sesuai dengan UUD NRI 1945 yang mengamanatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi
manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta komitmen bangsa
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional untuk memajukan dan melindungi HAM,
Indonesia perlu mengesahkan instrumen- instrumen internasional utama mengenai HAM,
khususnya seperti International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Keikutsertaan Indonesia dalam Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik karena dasar negara Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai
dari HAM. Hal tersebut terletak pada Pancasila sebagai ideologi bangsa dan pembukaan UUD
1945 sebagai konstitusi. Di dalam sila ke-2 Pancasila mengamanatkan penghormatan terhadap
kemanusiaan.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf (d) Konvensi Wina 1969 ‘‘reservasi” adalah pernyataan
unilateral, dalam rumus dan nama apapun, yang dibuat oleh sebuah negara ketika
menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui atau mengaksepsi suatu perjanjian
internasional, di mana negara tersebut bermaksud mengecualikan atau memodifikasi efek hukum
dari ketentuan tertentu dalam perjanjian internasional yang akan diaplikasikan di negara tersebut.
Ketentuan lebih lanjut mengenai reservasi juga diatur dalam Konvensi Wina 1969 tepatnya
pasal 19 yang menyatakan bahwa “Setiap negara pada waktu menandatangani, meratifikasi,
menerima, menyetujui, atau mengaksesi perjanjian internasional dapat membuat reservasi,
kecuali dalam hal-hal berikut:
Sesuai dengan yang dipaparkan di atas, Indonesia, selama ini selalu membuat reservasi
terhadap ketentuan perjanjian internasional yang diratifikasi atau diaksesi yang berkaitan dengan
penyelesaian perselisihan yang disebabkan oleh perbedaan penafsiran dan penerapan perjanjian
internasional yang bersangkutan. Seperti pada Pasal 22 Konvensi Internasional tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of
All Form of Racial Discrimination) (ICERD) tahun 1965.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pertimbangan Indonesia untuk meratifikasI Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik karena dasar negara Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai dari HAM. Hal tersebut
terletak pada Pancasila sebagai ideologi bangsa dan pembukaan UUD 1945 sebagai konstitusi.
Di dalam sila ke-2 Pancasila mengamanatkan penghormatan terhadap kemanusiaan.
Indonesia tidak mengajukan pensyaratan apapun sewaktu meratifikasi ICCPR. Artinya Indonesia
setuju untuk terikat dengan semua ketentuan dalam konvensi ini.
Referensi