Anda di halaman 1dari 30

PAPER

HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

DISUSUN :

WIRANTO C. ADITYA T

D101 19 632

BT 07

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS TADULAKO

T.A 2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehidupan dalam masyarakat internasional senantiasa bertumpu pada
suatu tatanan norma. Pada kodratnya masyarakat internasional itu saling
berhubungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam melakukan
hubungan ini satu sama lain diperlukan suatu kondisi, yaitu keadaan yang
tertib dan aman, untuk berlangsungnya keadaan yang tertib dan aman ini
diperlukan suatu tatanan norma. Dalam sejarah tatanan norma tersebut telah
berproses dan berkembang menjadi apa yang dikenal dengan Hukum
Internasional Publik atau disingkat dengan Hukum Internasional saja.
Sebagai suatu sistem hukum, Hukum Internasional mempunyai
beberapa sumber, seperti yang dinyatakan dalam pasal 38 ayat 1 Statuta
Mahkamah Internasional, bahwa bagi Mahkamah Internasional yang tugasnya
memberi keputusan sesuai dengan Hukum Internasional untuk perselisihan
yang diajukan kepadanya, akan berlaku:
1. Perjanjian-perjanjian Internasional, baik yang umum maupun yang
khusus, yang dengan tegas menyebut ketentuan-ketentuan yang diakui
oleh negara-negara yang berselisih.
2. Kebiasaan-kebiasaan internasional yang terbukti merupakan praktek-
praktek umum yang diterima sebagai hukum.
3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa.
4. Keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran Sarjana-sarjana yang paling
terkemuka
dari berbagai negara sebagai sumber hukum tambahan.
Bahwa urutan-urutan sumber hukum tersebut tiga dari sumber hukum
pertama yaitu; 1, 2, dan 3 merupakan sumber hukum utama sedangkan
sumber hukum ke 4 merupakan sumber hukum tambahan.
Dalam Konperensi Wina tahun 1969 telah berhasil disepakati sebuah
naskah perjanjian yang lebih dikenal dengan nama “Viena Convention on the
Law of Treaties” atau Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun 1969

1
(selanjutnya disingkat sebagai Konvensi Wina 1969). Konperensi Wina ini
diadakan atas prakarsa Perserikatan Bangsa-bangsa dan naskah rancangan
konvensinya disusun oleh Panitia Hukum Internasional/International Law
Commission (yang disingkat dengan ILC), yaitu sebuah Panitia ahli dan
dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No.174/II/1947 (Wayan.,
Perjanjian.., 1981, ha;. 344).
Konvensi Wina tentang perjanjian ini tidak hanya sekedar
merumuskan kembali atau mengkodifikasikan hukum kebiasaan internasional
dalam bidang perjanjian, melainkan juga merupakan pengembangan secara
progresif hukum internasional tentang perjanjian. Namun demikian Konvensi
Wina ini masih tetap mengakui eksistensi hukum kebiasaan internasional
tentang perjanjian, khususnya tentang persoalan-persoalan yang belum diatur
dalam Konvensi Wina.
Perkembangan sumber hukum internasional sampai pada akhir tahun
2008 sangat signifikan, hal ini seiring dengan pertumbuhan ekonomi, ilmu
pengetahuan dan teknologi. Namun perkembangan sumber hukum
internasional ini tetap menempatkan perjanjian internasional, baik bilateral
maupun multilateral sebagai sumber utama hukum internasional.
Kemudian reservasi atau dikenal dengan pensyaratan dalam UU No.24
Tahun 2000 tentang Perjanjian internasional adalah suatu pernyataan sepihak
dari suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada
perjanjian internasional dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani,
menerima, menyetujui atau mengesahkan perjanjian internasional yang
bersifat multilateral.
Reservasi atau pensyaratan memang lazim dilakukan dalam praktek
perjanjian internasional. Pensyaratan mencerminkan azas kedaulatan suatu
negara, dimana suatu negara memiliki hak untuk menolak ketentuan-
ketentuan tertentu dalam perjanjian internasional yang bertentangan dengan
hukum nasional negara tersebut.
Penjanjian (treaty) baik bilateral maupun multilateral merupakan suatu
bentuk kodifikasi hukum kebiasaan kedalam hukum positif internasional.

2
Proses kodifikasi biasanya dilakukan dalam konvensi-konvensi internasional.
Didalam konvensi biasanya dilakukan perumusan, perundingan, singkatnya
sampai pelaksanaan isi perjanjian, baik dengan cara ratifikasi atau aksesi bagi
negara yang mau terikat hak dan kewajibannya terhadap perjanjian.
Seyogyanya isi perjanjian dilaksanakan secara penuh agar tercapai
kesempurnaan perjanjian itu sendiri, namun hal ini tentunya sulit dicapai
ketika melibatkan kepentingan setiap negara yang ikut dalam konvensi.
Kepentingan negara- negara yang berbeda inilah yang biasanya membuat alok
pada saat perumusan dan perundingan suatu substansi perjanjian. Keadaan
dilema bagi negara peserta konvensi dipertaruhkan ketika isi perjanjian itu
pada umumnya atau lebih banyak yang sesuai dengan kebutuhan
(menguntungkan) negaranya, tetapi ada beberapa bagian dari perjanjian yang
memang tidak dibutuhkan (tidak menguntugkan) bagi negara tersebut ataupun
bertentangan dengan konstitusi negaranya. Untuk menghindarkan negara
mundur atau tidak meratifikasi dan atau mengaksesi perjanjian maka suatu
perjanjian dibuatkan suatu pengecualian dalam bentuk RESERVASI atau di
Indonesia lebih dikenal dengan nama persyaratan.
Persyaratan (reservasi) berlaku juga bagi negara ketiga yang ingin ikut
serta dalam perjanjian tetapi tidak ikut dalam konvensi. Persyaratan disini
memberikan angin segar bagi negara yang ingin terikat dalam perjanjian tapi
tidak secara penuh menerima semua ketentuan dalam perjanjian.

3
1.2 Tujuan Penulisan
1. Untuk menguji kedudukan perjanjian Internasional dalam sistem
perundang- undangan nasional
2. Untuk mengetahui seberapa besar kekuatan mengikat hukum Internasional
terhadap negara pihak ke tiga
3. Untuk lebih memahami reservasi (persyaratan) berkenaan dengan
tempatnya sebagai pranata hukum internasional yang mengetengahkan
antara tataran teori ke pengimplementasian persyaratan itu sendiri
4. Untuk dapat mengetahui seberapa besar pengaruh reservasi dalam
pembuatan hukum perjanjian Intrnasional.
5. Untuk mengetahui perbedaan reservasi sistem suara bulat dengan sistim
pan Amerika.
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah, ruang lingkup masalah
untuk makalah ini adalah:
1. Seberapa besar pengaruh kedaulatan negara dalam menekan untuk
lahirnya sebuah Persyaratan, dan apakah instrumen dari persyaratan
(reservasi)
2. Perbedaan reservation sistem suara bulat dengan sistem pan Amerika
Dan kasus reservation atas Konvensi Genocide tahun 1951 (tentang
pencegahan dan penghukuman atas kejahatan genocide)

1.4 Sumber Data Penulisan


Sumber data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah bersumber
pada materi Kasus Perjanjian dan Perjanjian Internasional yang telah
diratifikasikan dengan peraturan perundang – undangan Nasional, diakui
keberadaannya sebagai bagian dari sistem Hukum Nasional dan mempunyai
kekuasaan hukum yang mengikat, setelah diatur dengan undang Undang –
undang Ratifikasi suatu Perjanjian Internasional. Namun dalam hal  ada
perbedaan isi ketentuan suatu Undang – Undang Nasional dengan isi

4
Perjanjian Internasional yang telah Diratifikasi, atau belum ada peraturan
pelaksanaan Undang – undang Ratifikasi suatu perjanjian.
1.5 Metode Penulisan
1. Jenis dan Sifat
Sesuai permasalahan dan tujuan penelitian maka penelitian ini bersifat
deskriptif analistis yaitu untuk memperoleh gambaran secara rinci dan
sistematis permasalahan yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan untuk
mendapat jawaban atas permasalahan Kasus Perjanjian.
Jenis yang digunakan penelitian ini adalah yuridis normatif yakni suatu
kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan penelitian
tertentu yang bertujuan untuk mempelajari suatu atau beberapa gejala
hukum tentang kasus perjanjian dan untuk memecahkan atas suatu
permasalahan-permasalahan yang timbul.

5
BAB II
LANDASAN TEORITIS

2.1 Landasan Perjanjian Internasional


Perjanjian Internasional adalah hasil kesepakatan yang dibuat oleh subyek
hukum internasional baik yang berbentuk bilateral, reginal maupun
multilateral.
Perjanjian Bilateral adalah perjanjian apabila yang menjadi pihak dua negara,
sedangkan regional adalah perjanjian apabila yang menjadi pihak negara-
negara dalam satu kawasan sedangkan multilaretal adalah perjanjian yang
apabila pihaknya lebih dari dua negara atau hampir seluruh negara di dunia dan
tidak terikat dalam satu kawasan tertentu. Sedangkan menurut Konvensi wina
Pasal 2 1969, Perjanjian Internasional (treaty) didefinisikan sebagai:
“Suatu Persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan
diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau
lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya.”
Definisi ini kemudian dikembangkan oleh pasal 1 ayat 3 Undang-undang
Republik Indonesia nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yaitu:
Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebuitan apapun,
yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh pemerintah
Republik Indonesia dengan satua atau lebih negara, organisasi internasional
atau subyek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan
kewajiban pada pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik”.
Menurut Pasal 38 (1) Piagam Makamah Internasional, Perjanjian
Internasional merupakan salah satu sumber hukum Internasional. perjanjian
Internasional yang diakui oleh pasal 38 (1) Piagam Makamah Internasional
hanya perjanjian – perjanjian yang dapat membuat hukum (Law Making
Treaties).
Istilah lain untuk perjanjian internasional antara lain : traktat (treaty), pakta
(pact), konvensi (convention), piagam (statute), charter, declaration, protocol,
arrangement, accord, modus vivendi, covenant dsb.

6
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian Hukum Perjanjian
1. Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata
berbunyi: “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
2. Menurut Rutten
Perjanjian adalah perbuatan hokum yang terjadi sesuai dengan formalitas-
formalitas dari peraturan hokum yang ada, tergantung dari persesuaian
pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk
timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak
lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal
balik.
3. Menurut adat
Perjanjian menurut adat disini adalah perjanjian dimana pemilik rumah
memberikan ijin kepada orang lain untuk mempergunakan rumahnya sebagai
tempat kediaman dengan pembayaran sewa dibelakang (atau juga dapat terjadi
pembayaran dimuka)

A.  Standar Kontrak
1.      Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu umum dan
khusus.
Kontrak standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih
dahulu oleh kreditur dan disodorkan kepada debitur.Kontrak standar khusus,
artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan
berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
2.      Menurut Remi Syahdeini,
Keabsahan berlakunya kontrak baru tidak perlu lagi dipersoalkan karena
kontrak baru eksistensinya sudah merupakan kenyataan. Kontrak baru lahir
dari kebutuhan masyarakat (society nuds). Dunia bisnis tidak dapat

7
berlangsung dengan kontrak baru yang masih dipersoalkan.Suatu kontrak
harus berisi:
a) Nama dan tanda tangan pihak-pihak yang membuat kontrak.
b) Subjek dan jangka waktu kontrak.
c) Lingkup kontrak.
d) Dasar-dasar pelaksanaan kontrak.
e) Kewajiban dan tanggung jawab.
f) Pembatalan kontrak

B.    Macam-macam Perjanjian


1. Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban
Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak
yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima
suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2)
KUHPerdata).Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah
satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima
suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
2.    Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat
kewajiban pada salah satu pihak saja.Perjanjian timbal balik ialah suatu
perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
3.    Perjanjian konsensuil, formal dan, riil
Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata
sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk
teryentu, yaitu dengan cara tertulis.Perjanjian riil ialah suatu perjanjian
dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
4.    Perjanjian bernama, tidak bernama dan, campuran
Perjanjian bernama adalah suatu perjanjian dimana Undang Undang
telah mengaturnya dengan kententuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V
sampai bab XIII KUHPerdata ditambah titel VIIA.Perjanjian tidak bernama

8
ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus. Perjanjian campuran ialah
perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit dikualifikasikan.

D.    Syarat sahnya Perjanjian


Menurut Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, sahnya
perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu :
a. Sepakat untuk mengikatkan diri.
Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan
perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk seia sekata mengenai segala
sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas,
artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian berarti mempunyai
wewenang untuk membuat perjanjian atau mngadakan hubungan hukum.
Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah
cakap menurut hukum.
c. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian. Syarat ini diperlukan
untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan. Pasal
1338 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai
sebagai suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya.
d. Sebab yang halal
Sebab ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai maksud
untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang tidak
halal ialah jika ia dilarang oleh Undang Undang, bertentangan dengan tata
susila atau ketertiban. Menurut Pasal 1335 KUHPerdata, perjanjian tanpa
sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai kekuatan atau batal demi
hukum.
Dua syarat yang pertama yaitu kesepakatan dan kecakapan yang disebut syarat-
syarat subyektif. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif,

9
karena mengenai perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang
dilakukan.

E.     Saat Lahirnya Perjanjian


Menetapkan kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :
 Kesempatan penarikan kembali penawaran;
 Penentuan resiko;
 Saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
 Menentukan tempat terjadinya perjanjian.
Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas
konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat
terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek
yang diperjanjikan.
Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual.
Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau
persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan
memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang
menghendaki apa yang disepakati.
Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai
pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar
pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte).
Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).
Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari
pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang
menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian. Ada beberapa teori yang bisa
digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:
 Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran
telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada
saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.

10
 Teori Pengiriman (Verzending Theori).
Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya
kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya
kontrak.
 Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi
diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
 Teori penerimaan (Ontvangtheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya
jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka.
Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat
itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya kontrak.

F.   Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian


Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran
objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian
harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya
untuk memperoleh hak milik ialah jual beli.
Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah
diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi
perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang
telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh
diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.
Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat
perjanjian ataupun batal demi hokum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu
pihak biasanya terjadi karena Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran
tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat
diperbaiki.
a. Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami
kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
b. Terkait resolusi atau perintah pengadilan.

11
c. Terlibat hukum.
d. Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam
melaksanakan perjanjian.

3.2 Kedudukan Perjanjian Internasional Dalam Sistem Hukum


Nasional
Sebagai Negara merdeka yang berdaulat Indonesia telah aktif berperan
dalam pergaulan hubungan Internasional dan mengadakan perjanjian-
perjanjian Internasional dengan negara-negara lain, baik yang bersifat
bilateral maupun multilateral.
Dalam melaksanakan perjanjian-perjanjian Internasional tersebut, Indonesia
menganut prinsip Primat Hukum Nasional dalam arti bahwa Hukum Nasional
mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada hukum Internasional. Dasar
kewenangan presiden dalam pembuatan Perjanjian Internasional diatur dalam
pasal 11 Undang-Undang dasar 1945 mengatur tentang perjanjian
Internasional sebagai berikut:
1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
perang, membuat       perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain.
2) Presiden dalam membuat perjanjian Internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang
terkait dengan beban keuangan Negara, dan/ atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan Undang-undang harus dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjajian Internasional diatur dalam
Undang-undang.
Berdasarkan pasal  11 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, telah
diterbitkan surat Presiden nomor : 2826/Hk tentang Pengesahan Perjanjian
Internasional yang berisi ketentuan – ketentuan sebagai berikut:
 Bila Perjanjian Internasional tersebut mengatur perjajian tentang masalah
– masalah yang terkait dengan politik dan kebijaksanaan Negara
Republik Indonesia, Diratifikasi dengan undang – undang.

12
 Dalam hal Perjanjian Internasional tersebut mengatur tentang masalah-
masalah yang bersifat tehnis dan segera, diratifikasi dengan keputusan
Presiden. Pada tahun 2000 surat Presiden nomor: 2826 tersebut dihapus
dengan juga adanya Undang-undang nomor: 24/2000 tentang Perjanjian
Internasional yang juga memuat ketentuan-ketentuan sebagaimana telah
diatur dalam Surat Presiden nomor: 2826.

Perjanjian Internasional tidak termasuk dalam susunan jenis peraturan


perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar 1945.
b. Undang-Undang / Peraturan pengganti Undang-undang (Perpu).
c. Peraturan Pemerintah (PP).
d. Peraturan Presiden.
e. Peraturan Daerah
f. Peraturan Desa
Tentang kedudukan Perjanjian Internasional dalam sistem peraturan
perundang-undang Nasional, meskipun dalam Undang-Undang nomor: 10
tahun 2004 tentang Peraturan, Perundang-undangan  tidak masuk sebagai
jenis peraturan Perundang-undangan, namun perjanjian Internasional juga
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat sebagaimana
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (pasal 7
ayat 4 undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang Perjajian Internasional).
Berdasarkan sistem Hukum Nasional kita, maka dengan meratifikasi suatu
konvensi baik regional maupun multilateral, perjanjian bilateral, negara sudah
terikat untuk tunduk pada    ketentuan – ketentuan dalam konvensi atau
perjanjian tersebut. Suatu konvensi atau perjanjian internasional yang telah
diratifikasi, baru dapat dilaksanakan apabila telah dimasukkan dalam suatu
undang – undang yang dikenal sebagai Undang – Undang tentang Pengesahan
Ratifikasi Perjanjian Internasional.
Dalam sistem Hukum Nasional Indonesia, meskipun suatu perjanjian
Internasional telah diratifikasi dengan Undang – undang tentang Pengesahan

13
Ratifikasi, tetapi perjanjian belum dapat dilaksanakan apabila tidak sesuai
dengan isi ketentuan peraturan perundang – undangan Nasional yang
mengatur tentang materi yang sama dengan yang ditentukan dalam perjanjian
yang diratifikasikan tersebut.

3.3 Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional terhadap Negara


Pihak Ketiga 
Pengertian secara umum bahwa negara pihak ketiga adalah negara yang
tidak turut serta dalam perundingan-perundingan yang melahirkan suatu
perjanjian. Pihak ketiga ini secara kontekstual akan berlainan posisinya
terhadap perjanjian bilateral dan terhadap perjanjian multilateral. Artinya
suatu negara pihak ketiga kemungkinan sama sekali tidak akan ber
kepentingan untuk turut serta dalam suatu perjanjian bilateral. Akan tetapi
tidak demikian halnya terhadap perjanjian multilateral. Setiap negara pihak
ketiga pada setiap saat senantiasa terbuka kesempatannya untuk turut serta
terhadap perjanjian multilateral, kecuali perjanjian itu menentukan lain.
Pada dasarnya suatu perjanjian internasional hanya mengikat negaranegara
yang membuatnya. Paling tidak itulah makna dari suatu asas dalam Hukum
Romawi yang menyebutkan: “pacta tertiis nec nocent nec prosunt”.
Maksudnya, bahwa “suatu perjanjian tidak memberi hak maupun kewajiban
pada pihak ketiga, tanpa persetujuan pihak ketiga tersebut”. Akan tetapi
dalam perkembangannya dijumpai adanya pengecualian, sehingga berlakunya
asas di atas tidak mutlak lagi. Sebagai contoh umpamanya, dengan
berlakunya pasal 2 ayat (6) dari Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa,
ternyata juga memberikan hak dan kewajiban kepada negara-negara yang
bukan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kenyataan itu menunjukkan
bahwa dalam praktik suatu perjanjian yang ditetapkan oleh peserta-peserta
yang relatif besar jumlahnya (seperti misalnya Piagam Perserikatan Bangsa-
Bangsa), atau perjanjian tentang suatu objek yang sangat penting (misalnya
tentang Terusan Suez dan Terusan Panama) dapat membawa pengaruh yang
amat besar pada negara-negara yang bukan peserta.

14
Namun Konvensi Wina tidak menutup sama sekali kemungkinan
diperolehnya hak maupun dibebankannya suatu kewajiban atas negara bukan
peserta. Di dalam perjanjian internasional, kaidah-kaidah mengenai hal itu
dapat dijumpai dalam pasal-pasal 34, 35, 36, dan pasal 37 Konvensi Wina
1969. Ada satu ketentuan yang penting dalam kaitan ini adalah bahwa
perjanjian internasional tidak menimbulkan kewajiban atau hak bagi pihak
ketiga tanpa persetujuan pihak ketiga tersebut. Persetujuan ini harus diberikan
secara tertulis serta kewajiban dan hak pihak ketiga tersebut harus dinyatakan
dengan tegas dalam perjanjian itu. Kewajiban pihak ketiga adalah bahwa ia
harus bertindak sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan perjanjian dan ia
akan tetap terikat pada perjanjian tersebut selama ia tidak menyatakan
kehendaknya yang berlainan.
Negara-negara berkembang, terutama negara-negara yang terletak di
kawasan Asia-Afrika berpendapat bahwa persetujuan pihak ketiga diberikan
secara tegas dan tertulis harus untuk mencegah mengikatnya suatu perjanjian
bagi suatu negara lain di luar kehendaknya. Penafsiran atas pasal-pasal 35 dan
36 di atas diberikan juga oleh International Law Commission (ILC). Bahwa
pasal 35 bermaksud melindungi negara-negara bukan peserta dari
kemungkinan pembebanan kewajiban yang sewenang-wenang. Sedangkan
pasal 36 ayat (2) bermaksud melindungi para peserta dari kemungkinan
bahwa negara-negara bukan peserta dapat melampaui batas hak yang
diperolehnya dari para peserta sedemikian rupa, sehingga mengurangi
wewenang para peserta sendiri atas perjanjian yang mereka bentuk.
Selanjutnya ketentuan mengenai perubahan atas suatu kewajiban dan
perubahan atas suatu hak bagi negara-negara bukan peserta, diatur di dalam
pasal 37 (ayat 1 dan ayat 2).
Kaidah-kaidah perjanjian internasional di atas antara lain membuktikan
bahwa prinsip umum pacta tertiis nec nocent nec prosunt tidak dapat lagi
semata-mata ditafsirkan menurut arti yang sesungguhnya seperti ketika
zaman Romawi Kuno. Bahkan Starke, di dalam bukunya antara lain,
menyebutkan beberapa jenis perjanjian internasional yang dapat mengikat

15
negara-negara bukan peserta atau negara pihak ketiga. Jenis perjanjian
internasional tersebut diantaranya:
 Pertama, “Multilateral treaties declaratory of established customary
international law will obviously apply to non-parties, Also treaties,
bilateral or otherwise…”. (Perjanjian multilateral yang menyatakan
berlakunya hukum kebiasaan internasional juga mengikat negara
bukan peserta). Akan tetapi terikatnya negara bukan peserta itu bukan
oleh perjanjian internasional bersangkutan, melainkan oleh hukum
kebiasaan internasional yang telah dituangkan ke dalam perjanjian
internasional tersebut. Sebagai contoh ketentuan perjanjian
internasional semacam ini antara lain Konvensi Jenewa tahun 1958
mengenai Hukum Laut dan Konvensi Jenewa tahun 1949 mengenai
Perlindungan Korban Perang.
 Kedua, Multilateral treaties creating new rules of international law
may bind non-parties in the same way as do all rules of international
law,… (Perjanjian multilateral yang menciptakan kaidah hukum
internasional baru dan diratifikasi oleh semua negara besar, akan
mengikat negara bukan peserta sebagaimana hukum internasional
mengikatnya).

3.4 Pengertian Reservasi


Reservasi adalah suatu pernyataan sepihak yang dibuat oleh suatu
Negara pada waktu menandatangani, menerima, meratifikasi, mengesahkan
atau mengaksesi perjanjian, yang isi pokoknya adalah untuk mengeluarkan
atau untuk mengubah akibat hukum dari ketentuan-ketentuan tertentu dalam
pemberlakuannya terhadap Negara tersebut (KW 1969).
Awalnya reservasi (persyaratan) didefinisikan berbeda-beda
berdasarkan subyek yang memberikan defenisi. Adapun defenisi bebas
terhadap reservation yang secara umum itu ialah pernyataan sepihak yang
dikemukakan oleh suatu negara pada waktu menyatakan persetujuan untuk
terikat pada suatu perjanjian internasional, yang isinya menyatakan “Menolak

16
untuk menerima atau mengakui atau tidak mau terikat pada, atau tidak mau
menerima akibat hukum dari salah satu atau beberapa ketentuan dari
perjanjian tersebut, dan atau mengubah atau menyesuaikan isi atau
memberikan arti tersendiri atas salah satu atau beberapa ketentuan dari
perjanjian tersebut sesuai dengan kepentingan negara yang bersangkutan”,
perbedaan pendapat ini dimungkinkan kalau belum ada defenisi yang
disepakati bersama.
Menurut UU No.24 Tahun 2000 Pasal 1 (d), Reservasi adalah suatu
perrnyataan sepihak dari suatu Negara untuk tidak menerima berlakunya
ketentuan tertentu pada perjanjian internasional dalam rumusan yang dibuat
ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan perjanjian
internasional yang bersifat multilateral.
Namun dengan lahirnya konvensi wina 1969 sebagai instrumen
hukum perjanjian internasional, pengertian persyaratan telah diterimah secara
umum berdasarkan defenisi yang terdapat pada pasal 2 ayat 1 butir d
“Persyaratan berarti suatu pernyataan sepihak, dengan bentuk dan nama
apapun yang dibuat oleh suatu negara, ketika menandatangani, meratifikasi,
mengapksesi, menyetujui, atau mengaksesi atas suatu perjanjian internasional,
yang maksudnya untuk mengesampingkan atau mengubah akibat hukum dari
ketentuan tertentu dari perjanjian itu dalam penerapannya terhadap negara
yang bersangkutan”. Dengan demikian substansi pasal 2 (1),d konvensi wina
antara lain adalah merupakan pernyataan sepihak, berkenaan dengan waktu
pengajuan persyaratan, dan berkenaan dengan substansi, maksud, dan tujuan
dari persyaratan itu sendiri, serta pengajuan persyaratan itu harus dalam
bentuk tertulis.

2.5 Pengaruh Kedaulatan Negara


Pengaruh Kedaulatan Negara dalam Menekan Untuk Lahirnya Sebuah
Persyaratan dan Instrumen Dari Persyaratan (reservasi).
Resevasi seperti telah diuraikan diatas didasarkan pada pasal 2 ayat 1
bagian d konvensi wina 1969 tentang perjanjian. Perjanjian merupakan

17
manifestasi dari keinginan negara- negara atas sebuah aturan internasional
yang penerapannya tidak bertentangan dengan konstitusinya dan tentunya
tidak mencederai kedaulatan masing- masing negara. Kedaulatan merupakan
salah satu unsur pembentuk negara sehingga aturan hukum internasional
diusahakan serelevan mungkin dengan aturan hukum umum pada setiap
negara didunia. Kedaulatan menurut kamus hukum internasional dan
indonesia oleh Drs. Soesilo Prajogo, SH, yang diterbitkan Wacana Intelektual
berarti “Kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah; kedaulatan
suatu negara”, dengan mengacu pada defenisi diatas maka suatu problem akan
muncul ketika negara- negara ikut dalam suatu konvensi internasional,
dimana disetiap negara pasti mempunyai perbedaan konstitusi.
Kesadaran bahwa dalam sistem dan struktur masyarakat internasional,
negara-negara sebagai subyek utama hukum internasional memiliki
kedaulatan, dan dengan dasar kedaulatan itu maka negara tidak bisa dipaksa
untuk menerima atau menyatujui sesuatu yang tidak sesuai dengan
kepentingannya. Dalam hubungannya dengan suatu perjanjian internasional,
atas dasar kedaulatan itu maka suatu negara berhak penuh untuk menentukan
apakah akan menyatakan setuju terikat ataukah menolak terikat pada suatu
perjanjian internasional. Problematisnya adalah ketika didalam perejanjian itu
ada beberapa ketentuan yang merugikan dan ada juga yang menguntungkan
bagi negara, pilihannya adalah menyatujui untuk terikat atau tidak sama
sekali.
Pilihan manapun yang ditempuh akan menimbulkan masalah lanjutan
baik bagi negara itu maupun bagi perjanjian itu sendiri, bahkan dalam ruang
lingkup yang lebih luas akan menimbulkan dampak tehadap masyarakat
internasional pada umumnya, lebih- lebih jika perjanjian itu merupakan
perjanjian internasional multilateral global. Masalah yang timbul bagi negara
adalah jika tidak mau terikat pada perjanjian padahal sebagian besar dari
ketentuan perjanjian itu menguntungkan baginya, sebaliknya jika
memaksakan terikat pada perjanjian padahal ada beberapa ketentuan yang

18
merugikan bagi negaranya, hal ini menempatkan negara pada pilihan yang
sulit.
Selanjutnya bagi perjanjian itu sendiri, hal ini akan menghambat bagi
perkembangan hukum internasional dimana sumber hukum internasional
adalah perjanjian internasional bila makin sedikit negara yang menyatakan
setuju untuk terikat pada perjanjian tersebut. Hal ini juga akan menghambat
konsep ideal dari perjanjian itu pada tatanan pelaksanaannya yang riil.
Bagi masyarakat internasional secara umum, terhambatnya suatu
perjanjian internasional berkembang menjadi kaidah hukum positif berarti
akan menghambat lahirnya sarana untuk mengatur kehidupan masyarakat
internasional. Dengan dua pilihan diatas tentunya akan sulit dipenuhi oleh
negara- negara yang ikut dalam perjanjian untuk terikat karena sifatnya yang
terlalu ekstrim.
Untuk mengakomodasi kepentingan tiap-tiap negara tanpa
mengesampingkan kedaulatan disatu sisi yang berseberangan dengan
ketentuan dalam perjanjian, kemudian diperkenalkan pranata hukum
internasional yang disebut reservasi (persyaratan) untuk menjembantani
kedaulatan negara-negara dalam keterikatannya pada perjanjian internasional
dengan perjanjian itu sendiri. Hal ini membuat terang bahwa persyaratan
(reservasi) lahir dari sebuah jurang antara kedaulatan dan ketentuan pada
suatu perjanjian.
Mengenai persyaratan instrumen positifnya diatur dalam konvensi
wina 1969 pada pasal 2 ayat 1 d “defenisi dari persyaratan”, dan diatur pula
dalam lima pasal yaitu pasal 19 “ mengenai ketentuan pengajuan suatu
persyatan sampai pembatasannya pada perjanjian internasional”, pasal 20”
mengenai diterima atau ditolaknya persyaratan yang diajukan suatu negara
oleh negara peserta lainnya”, pasal 21” diatur mengenai akibat hukum dari
persyaratan”, pasal 22” diatur mengenai penarikan kembali suatu persyaratan
atau sebuah penolakan”, pasal 23”pada pasal ini diatur mengenai prosedur
persyaratan secara menyeluruh”. Dengan adanya aturan yang jelas mengenai
persyaratan akan memudahkan bagi negara peserta konvensi atau negara

19
ketiga apabila ingin ikut terikat pada perjanjian dengan mengecualikan
beberapa ketentuan yang diperbolehkan oleh perjanjian itu sendiri.
Secara umum perjanjian internasional yang didalamnya diikuti oleh
negara sebagai peserta berkiblat (atau instrumen hukumnya) pada ketentuan
konvensi wina 1969 tentang perjanjian. Ketentuan dalam konvensi wina
tegasnya terdapat 8 (delapan) bagian yang terdiri dari 85 pasal, yang
diharapkan dapat mengakomodasi ketentuan hukum internasional bagi suatu
perjanjian.

2.6 Perbedaan Reservasi


Perbedaan Reservasi Sistem Suara Bulat dengan Sistem Pan Amerika
Dan kasus reservasi atas Konvensi Genoside tahun 1951 (tentangpencegahan
dan penghukuman atas kejahatan genoside).
Pada masa awal lahirnya persyaratan sampai tahun 2008 ini dikenal
dua macam sistem persyaratan. Dua sistem persyaratan itu adalah sistem
persyaratan suara bulat dan sistem persyaratan pan Amerika. Sistem
persyaratan suara bulat yaitu suatu mekanisme pengajuan persyaratan oleh
suatu negara yang ingin terikat pada suatu perjanjian yang didasarkan atas
persetujuan semua negara anggota perjanjian, dengan kata lain apabila ada
negara anggota yang menentang persyaratan yang diajukan oleh negara yang
ingin mengikatkan dirinya pada perjanjian tidak akan diterima sebagai
anggota. Pada sistem ini semua negara anggota harus menyetujui persyaratan
yang diajukan oleh negara yang ingin menjadi anggota agar persyaratan itu
memiliki kekuatan mengikat dan berlaku positif, kalau tidak berarti negara
yang ingin menjadi anggota tadi harus menerima secara keseluruhan
ketentuan dalam perjanjian tersebut atau tidak menjadi anggota.
Sistem suara bulat ini, seperti mashab kontrak dalam hukum perdata
yang mana lebih mengutamakan keutuhan dari substansi kontrak agar tidak
mencederai maksud dan tujuan perjanjian tersebut. Perkembangan yang
signifikan atas sistem suara bulat ini terjadi pada masa sebelum perang dunia I
dan II, yaitu pada masa itu Liga Bangsa- Bangsa yang paling banyak

20
menggunakan mekanisme ini, dan mengenai sistem suara bulat ini diatur
dalam pasal 20 ayat 2 konvensi wina 1969.
Selanjutnya sistem yang kedua yaitu sistem pan Amerika, sistem ini
dinamakan sistem pan Amerika dikarenakan sistem ini diperkenalkan dan
diterapkan pertama kali dibenua Amerika, pada organisasi regional pada
tahun 1932 dengan nama Organisation of American States. Mekanisme pada
sistem ini tidak terlalu rumit menurut penulis untuk penerapannya dan
membuka kesempatan perkembangan yang cepat bagi hukum perjanjian
internasional itu sendiri.
Singkatnya pada sistem pan Amerika apabila negara yang ingin terikat
pada perjanjian mengajukan persyaratan pada ketentuan perjanjian dan
persyaratan ini mendapat tanggapan pro dan kontra dari negara anggota maka
perjanjian ini tetap berlaku secara umum dan persyaratan hanya berlaku bagi
negara yang pro terhadap persyaratan yang diajukan dan yang kontra tidak
berlaku perjanjian tersebut dan akibat hukum bagi negara yang mengajukan
persyaratan dan yang kontra pada persyaratan tidak berlaku baginya
perjanjian tersebut. Mengenai sistem pan Amerika ini diatur dalam konvensi
wina 1969 pada pasal 20 ayat 4, 5, pasal 21 ayat 1, 2, 3, dan pasal 22 ayat 1,
2, 3, serta pasal 23 ayat 1, 2, dan 3.
Dari uraian kedua sistem persyaratan diatas jelaslah perbedaannya,
yang dari terminologi bahasanya sudah bisa menggambarkan perbedaan
mendasarnya. Disini juga tampak dengan sangat jelas dari ketentuan yang
mengaturnya dimana reservation pan Amerika lebih banyak mendapatkan
tempat pengaturan didalam konvensi wina 1969 dari pada sistem suara bulat,
hal ini tidak lepas dari dinamika sistem pan amerika yang lebih barpariasi
dibandingkan sistem suara bulat.
Untuk lebih memahami reservasi (persyaratan) berkenaang dengan
tempatnya sebagai pranata hukum internasional penulis menyajikan sebuah
kasus yang mengetengahkan antara tataran teori ke pengimplementasian
persyaratan itu sendiri, sebagai berikut:
Reservation atas Konvensi Genocide, 1951.

21
 Pihak-Pihak yang Terlibat:
1) PBB Sebagai organisasi internasional yang menyelenggarakan
konvensi Genoside 1951 “Konvensi Mengenai Dan Penghukuman
Kejahatan Genoside”.
2) Negara- negara anggota PBB, yang pada tahun 1948 menyepakati
secara bulat konvensi tentang Genoside dengan jumlah negara anggota
PBB adalah 56 Negara, dan negara ketiga yang ingin ikut terikat yang
karena konvensi yang sifatnya universal dan konvensi memberikan
kemungkinan itu.
3) Mahkamah Internasional Pemberi Advisory Opinion yang diwakilkan
12(dua belas) hakim mahkamah internasional.

 Duduk Perkara
Pada tanggal 9 Desember 1948, Majelis Umum PBB mengesahkan sebuah
konvensi yaitu Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of
Genoside (Konvensi tentang pencegahan dan penghukuman atas kejahatan
genoside) berdasarkan Resolusi nomor 206/III/48, dan berlaku pada tanggal
12 Januari 1951, yang menjadi masalah ternyata didalam konvensi tidak
diatur mengenai Reservation(persyaratan), jadi tidak ada kejelasan apakah
negara yang mau terikat pada konvensi Genoside ini diperkenangkan untuk
mengajukan persyaratan atau tidak sama sekali.
Didalam prosesnya konvensi itu untuk mengikat negara-negara, ternyata ada
beberapa negara yang mengajukan persyaratan saat menyatakan
persetujuannya untuk terikat dalam konvensi Genoside 1951 ini.
 Penyelesaian Masalah:
Karena didalam konvensi Genoside tidak ada aturan yang secara splisit
mengatur mengenai Reservasi. Padahal hal ini merupakan persoalan hukum
internasional yang sangat besar mengingat konvensi ini diakomodasi oleh
Organisasi internasional, maka Majelis Umum PBB pada saat itu
mengeluarkan Reselusi nomor 478/ V/ 1950, yang memohon Advisory
Opinion (pendapat hukum) ke Mahkamah Internasional, dengan

22
mengetengahkan masalah yang dihadapi oleh konvensi Genocide 1951,
sebagai berikut;
Sepanjang berkaitan dengan konvensi tentang Genoside, dalam hal suatu
negara yang menyatakan persetujuannya untuk terikat pada konvensi:
a. Dapatkah negara yang mengajukan persyaratan dipandang
sebagai pihak atau peserta pada konvensi dengan tetap
mempertahankan persyaratan yang diajukanya itu, jika
persyaratan itu ditolak oleh satu atau lebih negara peserta,
tetapi tidak ditolak atau disetujui oleh negara-negara peserta
lainnya.

b. Jika jawaban atas pertanyaan a adalah positif (affirmative),


bagaimanakah akibat hukum dari persyaratan tersebut dalam
hubungan antara negara yang mengajukan persyaratan dan:
 Negrara-negara peserta yang menolak persyaratan itu?
 Negara-negara peserta yang menerima atau
menyetujuinya?

c. Apakah akibat hukumnya berkenaan dengan jawaban atas


pertanyaan a, apabila keberatan atau penolakan terhadap
persyaratan itu diajukan oleh:
 Negara yang menandatangani konvensi tetapi yang belum
menyatakan persetu- juannya untuk terikat atau belum
meratifikasinya?
 Negara yang berhak untuk menandatanganinya maupun
mengaksesinya tetapi ternyata tidak atau belum
melakukannya?

Dalam menjawab pertanyaan ini, Mahkamah Internasional menyatakan;


Semua pertanyaan tersebut secara tegas dibatasi oleh Resolusi Majelis Umum
PPB yakni hanya berkaitan dengan konvensi tentang goneside, oleh karena

23
itu, jawaban yang akan diberikan oleh Mahkamah pun juga secara tegas
dibatasi hanya pada konvensi saja. Mahkamah akan mencari jawabannya
didalam kaidah- kaidah atau peraturan-peraturan hukum yang berkenaan
dengan akibat hukum dai reservasi maupun penerimaan dan penolakan
terhadap reservasi dalam perjanjian-perjanjian multilateral”.
Selanjutnya mahkamah mengatakan bahwa suatu perjanjian
internasional tidak mengikat bagi negara yang tidak menyetujui untuk terikat
begitupun sebaliknya. Mahkamah dalam hal menyampaikan pendapatnya
memperhatikan faktor internal dan eksternal dari konvensi Genoside ini.
Faktor internalnya antara lain meliputi mekanisme persetujuan perjanjian
yang memakai sistem suara bulat diperberat, maksudnya suara bulat
diperberat adalah pada saat kesepakatan diambil diadakan voting yang mana
lebih banyak yang setuju (suara mayoritas) dengan mekanisme suara bulat
untuk perjanjian Genoside ini, dengan kata lain sudah ada pihak (negara) yang
bersebelahan (yang minoritas pada saat pemungutan suara) dengan suara bulat
ini, dan juga maksud dan tujuan dari konvensi Genoside ialah sebagai
konvensi yang parmanen dan universal. Parmanen dan universal secara luas
diartikan bahwa konvensi merupakan manifestasi dari penerimaan secara
murni atas tujuan kemanusian dan peradaban umat manusia. Jadi dalam
konvensi persamaan kepentingan adalah mutlak dengan berpegang pada
prinsip-prinsip moralitas, tanpa memperhitungkan keuntungan dan kerugian
atau hanya berdasarkan keseimbangan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya
secara kontraktual saja sebagaimana dimaksud dan tujuan dari perjanjian.
Faktor eksternalnya ialah perlunya diperhatikan kondisi untuk
penerapan konvensi Genoside yang bermuarah ke sifat yang lebih luwes
untuk keutuhan konvensi, ditambah pihak PBB sebagai pihak yang
mengakomodasi pelaksanaan konvensi bersifat sangat universal dan aturan
negara-negara yang bisa menjadi peserta berdasarkan ketentuan dalam
konvensi (pasal XI konvensi). Faktor selanjutnya adalah paham yang kental
pada saat itu, dimana paham ini menengahkan bahwa maksud dan tujuan
perjanjian tidak bisa digagalkan oleh suatu keputusan sepihak atau

24
persetujuan khusus antara beberapa pihak dalam perjanjian, paham ini
didasarkan pada prinsip kedaulatan tiap-tiap negara (paham ini berkembang
dan menjadi landasan pembuatan kontrak “yaitu kontrak haruslah utuh dan
bulat”).
Itulah kedua faktor yang mempengaruhi konvensi Genoside, kemudian
mahkamah berpendapat bahwa maksud dan tujuan konvensi adalah untuk
membatasi, baik membatasi kebebasan untuk mengajukan persyaratan atau
penolakan terhadap persyaratan seperti maksud dan tujuan dari PBB dan
Negara-negara yang menyatujui perjanjian agar makin banyak negara yang
berpartisipasi dalam perjanjian. Jadi pengajuan persyaratan atau penolakan
terhadap persyaratan harus dianggap sebagai tindakan penyempurnaan dari
perjanjian sepanjang itu relevan dengan maksud dan tujuan perjanjian.
Mengenai laporan yang berkenaan dengan masalah ini, yang diterimah
oleh dewan LBB pada tanggal 17 Juli 1927, yang menyatakan bahwa sering
terjadi persetujuan secara diam-diam yang memiliki peranan tersendiri atas
reservasi dalam suatu perjanjian, namun hal ini tidak menegaskan adanya
peraturan. Lalu melihat kebiasaan dalam penolakan terhadap persyaratan itu
sangat sering tidak terjadi dalam perjanjian yang konsekuensinya tidak ada
alasan untuk membuatkan aturan hukum internasional semacan ini. Presfektip
yang paling baik dianut adalah bahwa rekomendasi yang dibuat untuk Dewan
LBB pada tanggal tersebut merupakan titik tolak dari suatu praktik
administratif yang diterapkan dan ditaati dikalangan sekretariat LBB.
Akhirnya Mahkamah Internasional dengan perbandingan suara tujuh
orang hakim menyetujui sedangkan lima orang hakim menolak, memberikan
Advisory opinionnya atas permohonan yang diajukan oleh PBB, dan
menyatakan;
·  Bahwa jika ada suatu negara yang mengajukan persyaratan yang ternyata
ditolak oleh satuatau lebih negara peserta dalam konvensi tetapi disetujui atau
tidak ditolak oleh negara peserta yang lainnya, negara yang mengajukan
persyaratan itu dapat dipandang menjadi peserta pada konvensi, apabilah
persyaratan itu sesuai dengan atau tidak bertentangan dengan maksud dan

25
tujuan dari konvensi, tetapi sebaliknya jika persyaratan itu bertentangan
dengan maksud dan tujuan konvensi, maka negara tersebut tidak dapat
dipandang peserta pada konvensi.
·      Bahwa jika salah satu negara peserta menolak persyaratan yang diajukan
oleh suatu negara yang dipandangnya bertentangan dengan maksud dan tujuan
konvensi, negara itu dalam kenyataannya dapat menganggap bahwa negara
yang mengajukan persyaratan tersebut bukan sebagai pihak atau peserta pada
konvensi.
·     

26
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
·         Reservasi (persyaratan) merupakan pranata hukum internasional yang
sangat relevan dengan kebutuhan negara-negara akan aturan hukum
internasional yang mana sumbernya dari perjanjian internasional. Reservasi
juga memberikan kepastian akan bisanya dikecualikan beberapa ketentuan
yang bertentangan dengan keinginnan Negara-negara akan aturan
internasional selama itu tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan dari
perjanjian itu sendiri. Dengan adanya persyaratan, kedaulatan tiap-tiap negara
juga terakomodasi dalam perjanjian.
·         Pada kasus Genocide, Advisory opinion Mahkamah Internasional sudah
Preskriftip (apa yang seyogyanya), dengan pertimbangan-pertimbangan yang
telah dijelaskan sebelumnya, di tambah penulis memberikan Apreasi bagi
Mahkamah internasional yang sangat mapan mempergunakan Prespektif
hukum murni dalam kasus ini.
·         Tehnik yang dapat digunakan agar sedapat mungkin mencapai persetujuan
antara negara perunding adalah selama perundingan dapat memutuskan
mengenai naskah reservasi yang dirumuskan secara tepat yang diperbolehkan
atau dengan merumuskan lebih jauh lagi dengan menetapkan hanya negara-
negara tertentu yang diperbolehkan membuat reservasi yang kemudian
diletakkan sebagai lampiran atau perjanjian memuat ketentuan bahwa hanya
reservasi itu saja yang diperbolehkan.

3.2 Saran
·         Dalam pembuatan perjanjian internasional, kemampuan suatu negara untuk
membuat reservasi, menunjukkan adanya asas kedaulatan negara dimana
suatu negara dapat menolak kesepakatannya terhadap ketentuan-ketentuan
tertentu dalam perjanjian internasional, sehingga dengan demikian ketentuan-

27
ketentuan itu tidak mengikat Negara tersebut. Namun hal ini dapat
membahayakan beroperasinya perjanjian secara keseluruhan.
·        

28
DAFTAR PUSTAKA

1) Amos, Abraham. 2005. Sistem Ketatanegaraan Negaraan Indonesia. PT.


Raja Grafindo Persada: Jakarta.
2) Azhary, Muhammad Tahir. 2004. Negara Hukum. Prenada Media: Jakarat.
3) Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka
Utama:Jakarta.
4) Parthiana, I Wayan. 2002. Hukum Perjanjian Internasional Bagian
1.Bandung.
5) Prajogo, Soesilo. 2007. Kamus Hukum Internasional dan Indonesia,
Cetakan pertama.
6) Adolf, Haula. 2004. Hukum perdagangan internasional. Bandung
7) “Konvensi Wina 1969 Tentang Penjanjian Internasional” Foto Copy
Naskah Transletnya ke Bahasa Indonesia.
8) Suryokusumo dan Sumaryo. 2008. Hukum Perjanjian Internasional.
Jakarta.

29

Anda mungkin juga menyukai