Anda di halaman 1dari 30

SUMBER-SUMBER

HUKUM INTERNASIONAL
Rujukan sumber pembahasan hukum internasional ada
pada
Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional

Menurut Paragraf 1 pasal 38 tersebut, dalam memutuskan sengketa internasional ,


hakim MI dapat menggunakan:
1. Perjanjian internasional (international conventions)
2. Kebiasaan internasional (international customs)
3. Prinsip-prinsip umum hukum yg diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab
(general principles of law recognized by civilized nations)
4. Putusan pengadilan Sumber hukum tambahan
5. Karya hukum (writing publicist), opini, doktrin (subsidiary)

6. Putusan organisasi internasional


b. Sumber Hukum Internasional
a. Sumber Hukum Menurut
Internasional Menurut Para Pasal 38(1) statuta MI:
sarjana Hukum Internasional:
1. Traktat-traktat Internasional
1. Kebiasaan Internasional
2. Kebiasaan internasional, yang
2. Traktat-traktat Internasional
terbukti dari praktek yang telah
3. Keputusan-keputusan diterima sebagai hukum
pengadilan atau pengadilan
arbitrase 3. Prinsip-prinsip hukum yang
diakui oleh bangsa-bangsa
4. Karya-karya hukum
beradab
5. Keputusan-keputusan atau
penetapan organ-organ 4. Keputusan-keputusan
lembaga internasional pengadilan dan ajaran para
sarjana yang terkemuka dari
Menurut Ayat 2 Pasal 38, hakim juga dapat
memutuskan berdasarkan kepatutan dan kelayakan
(at aque at bono) bila disetujui oleh para pihak.
Beberapa catatan penting yang berkaitan dengan Pasal
38 Statuta Mahkamah Internasional tersebut:
1. Statuta MI tidak secara khusus membahas
mengenai sumber-sumber hki. Pasal 38 sifatnya
hanya petunjuk bagi hakim untuk
mempertimbangkan.
2. Daftar sumber hukum yang tercantum tidak
menunjukan status hierarki. Putusan pengadilan
hanya mengikat pada terkait. Opini/doktrin hanya
sebuah pernyataan, tidak menciptkan hukum dan
tidak mengikat.
1. PERJANJIAN INTERNASIONAL (TREATY)
Perjanjian yang diadakan antara anggota-anggota masyarakat bangsa-bangsa dan
bertujuan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu. Perjanjian antara anggota
masyarakat bangsa-bangsa:
- Negara vs Negara
- Negara vs Organisasi Internasional
- Organisasi Internasional vs Organisasi Internasional
- Negara vs Takhta Suci

Bukan perjanjian antara : Negara/Organisasi Internasional vs Individu/perusahaan atau


Individu vs Individu.
Perjanjian internasional antar negara diatur dalam Konvensi Wina 1969.
Perjanjian internasional antara negara dengan OI diatur dalam Konvensi Wina 1986.
Perjanjian internasional (PI) dikatakan sebagai sumber hki
yang terpenting. PI merupakan instrument utama dalam Bentuk-bentuk Perjanjian Internasional
pelaksanaan hubungan antarnegara, sarana
meningkatkan kerja sama internasional.
 Treaty: biasanya untuk perjanjian-perjanjian
Peran PI dapat dikatakan telah mengganti hukum penting, baik perjanjian multilateral
kebiasaan internasional.
maupun perjanjian bilateral.
Kelebihan PI adalah sifatnya tertulis, memudahkan dalam  Protocol: biasanya untuk perjanjian yg
pembuktian. melekat pada perjanjianlain (tambahan).
 Arrangement & Memorandum of
Understanding: biasanya untuk perjanjian-
perjanjian yang bersifat teknis.
 Convention: biasanya untuk perjanjian-
perjanjian multilateral.
 Pact: biasanya untuk perjanjian-perjanjian
multilateral.
 Covenant, Charter, Statute: biasanya
digunakan sebagai anggaran dasar/hukum
dasar dari suatu Organisasi Internasional.
PI menurut Pasal 2 (1a) Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian adalah persetujuan yg
dilakukan oleh negara-negara, bentuknya tertulis dan diatur oleh hukum internasional.
Syarat pesertanya harus negara dan dalam bentuk tertulis untuk memperkecil ruang lingkup semata.
Syarat penting untuk dikatakan sebagai PI adalah perjanjian tersebut tunduk pada rezim
internasional.
Meskipun para pihaknya adalah negara, tapi bila ada klausal bahwa para pihak tunduk pada hukum
nasional salah satu peserta, maka hal tersebut bukan PI melainkan kontrak.
Ex: Kontrak jual beli pesawat antara Indonesia dengan Malaysia, apabila terjadi permasalahan akan
diselesaikan dengan hukum Malaysia.
Berdasarkan kaidah hukum yang ditimbulkannya perjanjian
dapat dibedakan menjadi: treaty contract dan law making
treaty.

Treaty Contract
Ditemukan pada perjanjian bilateral, trilateral, regional atau PI yang sifatnya tertutup, tidak ada kesempatan pada
pihak yang tidak ikut berunding untuk ikut perjanjian.
Ex: Perjanjian Antara Pertamina dan Exxon mengenai eksploitasi minyak dan gas

Law Making Treaty


Perjanjian yang menciptakan kaidah/prinsip hukum yg tidak hanya mengikat peserta perundingan saja, tapi dapat
mengikat pihak lain. Ditemukan pada perjanjian multilateral yg sifatnya terbuka.
Perjanjian ini merupakan kodifikasi dr hukum kebiasaan yg sudah berlaku atau progressive development dalam hki
yang diterima sebagai hukum kebiasaan baru yang berlaku universal.
Ex: Konvensi Geneva 1949 tentang Hukum Perang, Konvensi Hukum Laut 1958, Konvensi Viena 1961
Prinsip-prinsip dalam Perjanjian
Internasional
1. Voluntary, tidak ada pihak yang diikat oleh treaty melalui
salah satu cara yg diakui (tanda tangan/ratifikasi/aksesi)
tanpa persetujuannya.
2. Pacta sunt servanda, perjanjian mengikat seperti UU.
3. Pacta tertiis nec nocunt nec prosunt, perjanjian tidak
memberikan hak dan kewajiban pada pihak ketiga tanpa
persetujuan.
4. Ketika seluruh pasal dalam perjanjian merupakan
kodifikasi hukum kebiasaan internasional yg sudah
berlaku, maka seluruh isi perjanjian itu akan mengikat
pada seluruh Masyarakat internasional, termasuk negara
yang tidak meratifikasi.
5. Apabila perjanjian merupakan campuran antara hukum kebiasaan yang sudah berlaku dengan perkembangan
yang baru (progressive development), maka:
a. Negara peserta akan terikat pada seluruh pasal perjanjian
b. Negara bukan beserta hanya terikat pada isi pasal yg merupakan kodifikasi hukum kebiasaan yang sudah
berlaku (existing customary law) saja.
c. Negara bukan peserta dapat terikat pada ketentuan yang merupakan progressive development apabila
merupakan hukum kebiasaan baru (new customary).
Ex: konsep ZEE dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982.
Berlaku (entry into force) dan Mengikatnya (bound)
Perjanjian Internasional
Kapan suatu perjanjian mengikat dan
kapan suatu perjanjian berlaku sangat
penting untuk dipahami.
Pasal 24 (1) Konvensi Wina 1969
menetapkan berlakunya PI tergantung
pada:
1) Ketentuan PI itu sendiri; atau
2) Apa yang telah disetujui oleh negara
peserta.
Untuk mengetahui kapan suatu perjanjian berlaku biasanya dilihat di bagian klausula formal
(klausula final) yang terletak di pasal-pasal terakhir atau setelah pasal substansial, contohnya:
1) Perjanjian berlaku setelah penandatanganan
2) Perjanjian berlaku 60 hari setelah penandatanganan
3) Perjanjian berlaku setelah terkumpul 30 piagam ratifikasi
4) Perjanjian berlaku 30 hari setelah terkumpul 60 piagam ratifikasi

• Mengikatnya perjanjian tergantung pada tahap pembentukan


perjanjian itu. Untuk perjanjian yg tidak memerlukan ratifikasi,
penandatangan terikat langsung pada perjanjian. Namun bila ada
syarat ratifikasi, maka akan terikat secara hukum hanya setelah
diratifikasi.
• Penandatanganan tidak menimbulkan konsekuensi hukum, berarti
negara tersebut menyetujui teks perjanjian, hanya terikat secara
moral.
JENIS PERJANJIAN
INTERNASIONAL
2 PESERTA BILATERAL

KONVENSI

TREATY
LEBIH MULTILATERAL
DARI 2 DEKLARASI
PESERTA
PROTOCOL

STATUTA
PERUNDINGAN
2 TAHAP KOVENAN
PENANDATANGANAN

KESEPAKATAN
PERUNDINGAN

PENANDATANGANAN
3 TAHAP

RATIFIKASI
Perjanjian Internasional di
Indonesia
Indonesia baru memiliki UU tentang Perjanjian
Internasional pada tahun 2000, yaitu UU Nomor 24
Tahun 2000, sebelumnya dasar hukum sebagai acuan
pelaksanaan PI adalah Pasal 11 UUD 1945 dan Surat
Presiden 2826 Tahun 1960 tentang “Pembuatan
Perjanjian-perjanjian dengan Negara Lain”.
PI menurut UU No.24 Tahun 2000 adalah perjanjian,
dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam
hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum
publik.
Praktik dalam pembuatan PI pada Pasal 11 UUD ’45 menetapkan bahwa Presiden dengan
persetujuan DPR dapat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan
negara lain. Pasal ini sangat umum hingga dikeluarkan Surat Presiden 2826/hk/60 yang
menetapkan bahwa bila suatu perjanjian bernama Treaty maka harus diratifikasi dengan UU,
bila bernama Agreement maka cukup diratifikasi Keppres.
Perjanjian yang perlu diratifikasi dengan UU adalah:
1) Persoalan politik/yg dapat memengaruhi haluan politik luar negeri
2) Ikatan yang sifatnya memengaruhi haluan politik luar negeri
3) Persoalan yg menurut UUD harus diatur dengan UU
Namun, justru surat tersebut menjadi sumber masalah dan tidak konsisten karena adanya
dua parameter yang digunakan secara bersamaan, berdasarkan penamaan dan berdasarkan
substansi

Namun, justru surat tersebut menjadi sumber masalah dan tidak


konsisten karena adanya dua parameter yang digunakan secara
bersamaan, berdasarkan penamaan dan berdasarkan substansi
Ketidakkonsistenan tadi lalu diatasi oleh dibuatnya Pasal 10 UU No.24/2000 tentang Perjanjian
Internasional.
Didalamnya mencakup aspek pembuatan dan pengesahan PI dan acuan bahwa Pengesahan PI
dengan UU bila tentang:
1) Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara
2) Perubahan wilayah/penetapan batas wilayah
3) Kedaulatan/hak berdaulat negara
4) HAM dan lingkungan hidup
5) Pembentukan kaidah hukum baru
6) Pinjaman/hibah luar negeri

Pasal tersebut menegaskan jika pengesahan PI melalui UU dilakukan berdasarkan materi


perjanjian bukan bentuk/nama (nomenclature) perjanjian.
Perbedaan
Sebelum Amandemen UUD 1945 Setelah Amandemen UUD 1945

 Dasar Hukum : Pasal 11 UUD 1945 dan Surat  Dasar Hukum: Ps. 11 UUD 1945 jo UU
President Nomor 2826/HK/1960 Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hub
 Perjanjian yang penting (soal politik), soal-soal Luar Negeri UU Nomor 24 Tahun 2000
yang mempengaruhi haluan politik luar negeri, tentang Perjanjian Internasional
soal kewarganegaraan, soal kehakiman harus
dengan persetujuan presiden sebaliknya  Soal-soal menyangkut Masalah politik,
perjanjian yang tidak penting tidka harus perdamaian, pertahanan, keamanan
dnegan persetujuan DPR. negara, Perubahan wilayah dan
penetapan batas wilayah, Keadulatan
 Hutang luar negeri, HAM, perubahan
atau hak berdaulat, HAM, Pembentukan
wilayah tidak harus dengan persetujuan DPR
kaidah hukum baru, Pinjaman Luar
negeri
2. HUKUM KEBIASAAN INTERNASIONAL
(International Customary Law)
Menurut Dixon, hukum yang berkembang dari praktik/kebiasaan negara-negara dan juga sumber
hukum tertua dalam hki. Hki tumbuh dan berkembang melalui kebiasaan negara-negara.
Hukum kebiasaan internasional (customary) harus dibedakan dengan hukum adat istiadat (usage),
kesopanan internasional (international community) atau persahabatan (friendship).
Acara seperti penyambutan tamu negara, gelaran karpet merah, kalungan bunga, tiupan terompet,
pemberian cindera mata, dll, bukan kebiasaan internasional, hanya kesopanan saja. Jadi, praktik-
praktik negara yang tidak diterima sebagai hukum kebiasaan merupakan kesopanan internasional.
Pelanggaran kesopanan hanya dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat saja. Sebaliknya
pengibaran bendera putih sebagai bentuk gencatan senjata atau menyerah merupakan kebiasaan
internasional.

Bagaimana mengetahui yang mana hukum kebiasaan atau kesopanan?


Hukum kebiasaan internasional adalah hukum
yang berkembang dari praktik atau kebiasaan-
kebiasaan negara.
Walaupun saat ini hukum kebiasaan
internasional semakin kecil karena bertambah
banyaknya perjanjian-perjanjian yang
membentuk hukum namun secara substansial
hukum kebiasaan merupakan bagian dari
perjanjian internasional.
Hukum kebiasaan internasional dikristalisir dari
adat istiadat atau praktek-praktek negara
melalui hubungan diplomatik antar negara,
praktek-praktek organisasi internasional dan
Undang-Undang nasional
PRAKTIK-PRAKTIK
NEGARA YANG
SERAGAM

PERJANJIAN
PENGKODIFIKASIAN
INTERNASIONA
L

HUKUM PERANG PEMBUATAN


PERJANJIAN
INTERNASIONAL
Pada awal pertumbuhannya, kebiasaan internasional merupakan sumber
terpenting hukum internasional. Akan tetapi di dalam perkembangannya
semakin banyak persoalan yang diatur dengan perjanjian internasional, maka
tempat tersebut kemudian diduduki oleh perjanjian internasional.
Tidak setiap kebiasaan internasional dapat menjadi sumber hukum. Untuk dapat
dikatakan bahwa kebiasaan internasional merupakan sumber hukum. Perlu
adanya dua unsur, yaitu :
Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum. Ini merupakan unsur
material;
Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum. Ini merupakan unsur psikologis.
Kebiasaan-kebiasaan internasional:
“International custom, as evidence of a general practice acepted as
law”
Memiliki syarat :
- Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum (unsur material)
- Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum (unsur psikologis)
Unsur materiil:
a. harus ada suatu pola tindak yang berlangsung lama, berupa serangkaian tindakan serupa
mengenai hal dan keadaan yang serupa pula.
b. Pola tindak diatas harus bersifat umum dan berkaitan dengan hubungan internasional.
Unsur psikologis:
Dirasakan memenuhi kewajiban hukum “opinio juris sive necessitatis”
(keyakinan bersama bahwa pengulangan tindakan itu merupakan akibat dari suatu kaidah
yang memaksa).
Unsur-unsur Hukum Kebiasaan Internasional

1. Unsur Materiil/Faktual
Praktik umum negara-negara (general), berulang-ulang dan dalam jangka waktu yang lama.
Unsur Praktik Negara-negara
Unsur praktik ini bersifat aktif maupun pasif (actual activity or omission).
Ex: pernyataan pimpinan negara terhadap situasi/perselisihan, legislasi dalam hki, resolusi
Majelis Umum PBB dan praktik organisasi internasional.
Unsur Praktik Umum
Tidak mensyaratkan harus semua negara tanpa terkecuali melakukan praktik hukum tersebut.
Hukum kebiasaan internasional tidak mensyaratkan presentase tertentu.
Ex: lebar laut territorial 12 mil hanya dilakukan oleh negara berpantai saja. Konsep landas
kontinen dan perlindungan hayati laut awalnya tumbuh di Amerika lalu dipraktikan secara
global.
Dapat disimpulkan hukum kebiasaan dapat timbul di wilayah tertentu yang dilakukan secara luas
di negara-negara lain.
Unsur Praktik yang berulang
Mensyaratkan kekonsistenan dan keseragaman dalam praktiknya.

Unsur Jangka Waktu (duration)


Tidak memberikan petunjuk jelas mengenai berapa jangka waktu yang diperlakukan bagi praktik
negara untuk menjadi hki.
Ex: hukum kebiasaan ruang angkasa tidak memerlukan jangka waktu.
2. Unsur Psikologis (psychological element/opinion jurissive necessitas)
Unsur ini bersifat abstrak dan subjektif. Untuk menguji keberadaan suatu hukum kebiasaan tidak
cukup hanya dengan melihat praktik negara-negara saja, tetapi perlu juga diketahui mengapa
mereka mempraktikkan seperti itu.
Adanya keyakinan pada negara-negara tersebut bahwa apa yang mereka praktikan merupakan
suatu kewajiban atau hukum yg harus dipatuhi, bukan sekadar habitual saja.
Proses Transisi Custom ke Treaties

Kebiasaan Internasional
(1) ↓
Hukum Kebiasaan Internasional
(2) ↓
Perjanjian Internasional
(3) ↓
Hukum Internasional
3. PRINSIP-PRINSIP UMUM HUKUM YG DIAKUI
OLEH BANGSA-BANGSA YANG BERADAB
(general principles of law recognized by civilized
nations)

Prinsip-prinsip hukum umum adalah nilai etik dan moral


universal yang luhur, mulia dan agung yang telah berhasil
ditanamkan di dalam masyarakat umat manusia secara
universal yang menjiwai norma-norma hukum maupun
norma-norma hukum lainnya yang secara real dan nyata
mengikat masyarakat internasional.
Prinsip hukum umum tidak terbatas pada hukum
internasional saja, tapi mungkin prinsip dalam hukum
perdata, hukum acara, hukum pidana, hukum lingkungan,
dsb, yang diterima dalam praktik negara-negara nasional.
Beberapa prinsip antara lain: Asas Pacta Sunt Servanda,
Asas Itikad Baik (good faith), Asas Civitas Maxima, dll.
4. PUTUSAN PENGADILAN
(Yurisprudensi)
Meskipun dikatakan sebagai sumber hukum tambahan, tidak berarti mempunyai
kedudukan yang lebih rendah dari sumber hukum lain.
Putusan pengadilan dikatakan sebagai hukum tambahan karena tidak dapat
berdiri sendiri sebagai dasar keputusan yang diambil hakim, hanya untuk
menguatkan sumber hukum lainnya.
Putusan pengadilan tidak menciptakan hukum, hanya mengikat para pihak dan
hanya untuk kasus tertentu saja.
Ex: Kasus Anglo-Norwegian Fisheries Case 1952, di mana hakim menciptakan
ketentuan baru dalam hukum internasional untuk pembatasan laut teritorial
dengan memperhatikan kondisi geografis suatu wilayah.
5. KARYA HUKUM (Writing
Publicist)
Karya hukum ini bukan merupakan hukum yang mengikat, namun demikian banyak karya
hukum yang sangat berperan dalam perkembangan hukum internasional.
Ex: Pendapat dari Gidel mengenai zona tambahan di laut diikuti banyak pakar dan akhirnya
menjadi hukum kebiasaan internasional.
Kemudian, pendapat dari Alfred Pedro mengenai konsep warisan bersama umat manusia
(common heritage of mankind) menjadi semua konsep yang diakui di zona laut lepas dan
dasar laut samudera dalam.

Anda mungkin juga menyukai