Anda di halaman 1dari 17

Analisis Proses Mengikatnya Hukum Internasional

“Paper ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Internasional”
Dosen Pembimbing: Ridwan Arifin, S.H., M.H., Ll.m.

Disusun oleh:

1. Nur Shivana (8111416321)


2. Layina Shaiza (8111416323)

Rombel: 05

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SEMARANG
2017
KATA PENGANTAR
i
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan paper ini dengan baik.
Tujuan penulisan paper ini adalah untuk melengkapi tugas Mata Kuliah Hukum Hukum
Internasional dan untuk menambah wawasan tentang Analisis Konflik Israel dan Palestina dalam
Perspektif Hukum Humaniter Internasional.
Dalam penulisan paper ini, penulis banyak dibantu berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ridwan Arifin, S.H., M.H., Ll.m. selaku dosen pengampu Mata Kuliah Hukum
Internasional.
2. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan paper ini.
Penulis sadar bahwa penulisan paper ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
penulis mengharap kritik dan saran yang membangun yang akan dijadikan dorongan untuk
mencapai hasil yang lebih baik. Semoga paper ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Semarang, 09 Oktober 2017

Penulis

DAFTAR ISI
ii
HALAMAN JUDUL.............................................................................................................................i
KATA PENGANTAR..........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................................2
C. Metode Penulisan...................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Hukum Internasional Dapat Mengikat Masyarakat Internasional..........................................2
B. Praktik Hukum Internasional di Indonesia.............................................................................5
C. Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional Hingga Batal dan Berakhirnya Perjanjian
Internasional...........................................................................................................................9
D. Daftar Tabel Putusan............................................................................................................13
E. Daftar Gambar......................................................................................................................14
BAB III KESIMPULAN
A. Kesimpulan..........................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum adalah suatu sistem yang dibuat manusia untuk membatasi tingkah laku manusia
agar tingkah laku manusia dapat terkontrol , hukum adalah aspek terpenting  dalam pelaksanaan
atas rangkaian kekuasaan kelembagaan,  Hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya
kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarat berhak untuk mendapat
pembelaan didepan hukum sehingga dapat di artikan bahwa hukum adalah peraturan atau
ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan
menyediakan sangsi bagi pelanggarnya. Tujuan hukum mempunyai  sifat universal seperti 
ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan
bermasyarakat. Dengan adanya hukum  maka tiap perkara dapat di selesaikan melaui proses
pengadilan dengan prantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku,selain itu Hukum
bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya
sendiri.
Pengertian hukum tersebut secara umum merupakan hukum yang berlaku disuatu negara
atau hukum nasionall yang memiliki tujuan memberika ketertiban kepada warga negaranya.
Disamping itu terdapat juga hukum internasional yang cangkupannya lebih luas atau yang mengatur
hubungan antara negara-negara atau dalm wilayah internasional. Hukum internasional sendiri
memiiki definisi tersendiri yaitu Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur
aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai
perilaku dan hubungan antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang
semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi
struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan
individu. Hukum internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antarbangsa atau hukum
antarnegara. Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan
hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu. Hukum antarbangsa atau
hukum antarnegara menunjukkan pada kompleks kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara
anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara. Karena pada kenyataanya juga terjadi kasus-kasus
internasional yang dalam penyelesainnya tidak dapat mengunakan hukum nasional, untuk itulah
dibuat atau dibentuknya hukum internasional untuk menciptakan ketertiban dunia bagi masyarakat
internasional.
Perjanjian internasional (traktat = treaty) adalah suatu persetujuan (agreement) antara dua
negara atau lebih yang dinyatakan secara formal tentang ketentuan dan syarat-syarat yang
1
menetapkan hak dan kewaj ibar_ timbal balik masing-masing pihak yang turut serta dalam
perjanjian itu. Suatu perjanjian internasional sangat berarti dalam hukum internasional khususnya
dalam hubungan antar negara baik dalam situasi damai maupun perang. Perjanjian internasional
dalam hukum internasional di era negara modem menempati kedudukan yang sangat penting
sebagai salah satu sumber hukum. Sumber hukum yang berlaku pada masa lalu seperti hukum
kodrat dan pendapat para penulis telah tergeser oleh perjanjian internasional.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum internasional dapat mengikat masyarakat internasional?
2. Bagaimana praktik hukum internasional di Indonesia?
3. Bagaimana mulai berlakunya perjanjian internasional hingga berakhirnya perjanjia
internasional?

C. Metode Penulisan
Dalam pembuatan makalah ini, penulis menggunakan metode library research dimana
penulis merujuk kepada jurnal-jurnal hukum serta buku-buku tertentu serta pendapat-pendapat para
ahli. Namaun padalam praktik penulisannya penulis lebih memilih merujuk kepada jural dan buku,
karena sumber dari jurnal dan buku dapat dipertanggungjawabkan. Penulis juga mengutip sumber-
sumber yang telah disebutkan melalui footnote atau catatan kaki.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Hukum Internasional Mengikat Masyarakat Internasional


Hukum internasional didasarkan atas pikiran adanya suatu masyarakat internasional yang
terdiri atas sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka (independent) dalam arti masing –masing
berdiri sendiri yang satu tidak di bawah, kekuasaan yang lain. Dalam rangka pikiran ini tidak ada
suatu badan yang berdiri di atas negara-negara, baik dalam bentuk negara dunia (word state)
maupun badan supremasi yang lain.dengan perkataan lain, hukum internasional, merupakan suatu
tertib koordinasi antara anggota-anggota masyarakat internasional yang sederajat 1. Menurut Austin4
hukum internasional bukanlah hukum yang sesungguhnya karena untuk dikatakan sebagai hukum
menurut Austin harus memenuhi dua unsur yaitu ada badan legislatif pembentuk aturan serta bahwa
aturan tersebut dapat dipaksakan. Austin tidak menemukan kedua unsur ini dalam diri hukum
internasional sehingga ia berkesimpulan bahwa hukum internasional belum dapat dikatakan sebagai
1
Mocthar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, 2015, Pengantar Hukum Internasional, P.T. Aumni, Bandung, hlm. 9.
2
hukum, baru sekedar positif morality saja. Mencermati pendapat Austin nampak bahwa Austin
melihat hukum dari kacamata yang sangat sempit. Menurut Austin hukum identik dengan undang-
undang, perintah dari penguasa (badan legislatif). Dalam analisis modern pendapat Austin ini tidak
tepat lagi sebab akan menghilangkan fungsi pengadilan sebagai salah satu badan pembentuk
hukum.
Di samping itu Austin juga mengabaikan bila dalam masyarakat ada hukum yang hidup,
yang keberadaannya tidak ditentukan oleh adanya badan yang berwenang (badan legislatif) atau
penguasa seperti hukum adat atau hukum kebiasaan. Berbeda pendapat dengan Austin, Oppenheim
pakar hukum yang lain mengemukakan bahwa hukum internasional adalah hukum yang
sesungguhnya (really law).6 Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk dikatakan sebagai hukum
menurut Oppenheim. Ketiga syarat yang dimaksud adalah adanya aturan hukum, adanya
masyarakat, serta adanya jaminan pelaksanaan dari luar (external power) atas aturan tersebut. Syarat
pertama dapat dengan mudah ditemukan yaitu dengan banyaknya aturan hukum internasional dalam
kehidupan kita sehari-hari, seperti Konvensi Hukum Laut PBB 1982 , Perjanjian internaional
tentang bulan dan benda-benda langit lainnya (Space Treaty 1967). Syarat kedua adanya
masyarakat internasional juga terpenuhi menurut Oppenheim. Masyarakat internasional tersebut
adalah negara-negara dalam lingkup bilateral, trilateral, regional maupun universal.
Adapun syarat ketiga adanya jaminan pelaksanaan juga terpenuhi menurut Oppenheim.
Jaminan pelaksanaan dapat berupa sanksi yang datang dari negara lain, organisasi internasional
ataupun pengadilan internasional. Sanksi tersebut dapat berwujud tuntutan permintaan maaf
(satisfaction), ganti rugi (compensation/pecuniary), serta pemulihan keadaan pada kondisi semula
(repartition). Disamping itu ada pula sanksi yang wujudnya kekerasan seperti pemutusan hubungan
diplomatik, embargo, pembalasan, sampai ke perang . Meskipun menyatakan bahwa hukum
internasional adalah hukum yang sesungguhnya bukan hanya sekedar moral, Oppenheim mengakui
bahwa hukum internasional adalah hukum yang lemah (weak law). Hukum internasional lemah
dalam hal penegakan hukumnya bukan validitasnya. Hukum internasional terkadang sangat primitif
dan tebang pilih. Senada dengan Oppenheim, para pakar hukum internasional modern menyatakan
bahwa hukum internasional adalah hukum yang sesungguhnya bukan hanya sekedar
moral.Mayoritas masyarakat internasional mengakui adanya aturan hukum yang mengikat mereka.
Sebagaimana dikemukakan di atas dalam Hukum Internasional tidak ada badan supranasional yang
memiliki otoritas membuat dan memaksakan suatu aturan internasional, tidak ada aparat penegak
hukum yang berwenang menindak langsung negara yang melanggar hukum internasional, serta
hubungannya dilandasi hubungan yang koordinatif bukan sub-ordinatif.
Namun demikian ternyata di dalam praktik masyarakat internasional mau menerima HI
sebagai hukum yang sesungguhnya bukan hanya sebagai moral positif saja. Hakikat hukum
3
internasional adalah sebagai hukum yang sesungguhnya. Jumlah pelanggaran yang terjadi jauh lebih
kecil daripada ketaatan yang ada. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan lebih lanjut apa yang
menjadikan masyarakat internasional mau menerima HI sebagai hukum? Dari mana HI memperoleh
dasar kekuatan mengikat? Dari sisi filsafat ilmu hukum ada beberapa teori atau aliran yang muncul
dalam beberapa periode atau tahapan, yang mencoba menjawab pertanyaan di atas sebagai berikut.
Pada tahapan 12 ancient and primitive international law, yaitu abad romawi kuno sampai abad
pertengahan misalnya dimana aliran hukum alam mendominasi pemikiran para pakar ilmu
pengetahuan saat itu dikatakan bahwa masyarakat internasional taat pada hukum internasional
karena hukum internasional bagian dari hukum alam. Hukum alam adalah aliran pemikiran semi
teologis, selalu merujuk pada hukum yang lebih tinggi yang datangnya dari Tuhan. 13 Hukum
internasional (jus gentium) dipandang sebagai bagian dari hukum alam, datangnya dari Tuhan
sehingga berlaku untuk seluruh manusia. Hukum Internasional mengikat karena hukum ini
merupakan bagian dari hukum alam yang diterapkan pada masyarakat bangsa-bangsa. Dengan kata
lain dapat dikatakan bahwa negara-negara mau terikat pada HI karena hubungan-hubungan mereka
diatur oleh hukum yang lebih tinggi yaitu hukum alam2. Sebagaimanan dikemukakan aliran hukum
positif, dasar kekuatan mengikatnya HI adalah kehendak negara. Meskipun lebih konkrit
dibandingkan apa yang dikemukakan aliran hukum alam namun apa yang dikemukakan aliran
inipun memiliki kelemahan yakni bahwa tidak semua HI memperoleh kekuatan mengikat karena
kehendak negara. Banyak sekali aturan HI yang berstatus hukum kebiasaan internasional ataupun
prinsip hukum umum yang sudah ada sebelum lahirnya suatu negara. Tanpa pernah memberikan
pernyataan kehendaknya setuju atau tidak setuju terhadap aturan tersebut, negara-negara yang baru
lahir tersebut akan terikat pada aturan internasional itu3.
Salah satu bidang internasonal yang dapat dicontohkan yaitu keterkaitan Hak Asasi Manusia
dalam hukum internasional, yaitu persoalan penegakan Hak Asasi Manusia bukan hanya persoalan
hukum dan moral. Dalam hubungannya dengan kewajiban internasional dari setiap Negara ataupun
pelaku hukum internasional lainnya dalam pnegakan Hak Asasi Manusia tidak semata mata
didasarkan pada kewajiban atas suatu perundang undangan tetapi juga didasarkan pada moralitas
untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Kewajiban menghormati dan memajukan
serta menegakan HAM merupakan kewajiban yang mendasar bagi setiap pelaku dalam hubungan
intenasional, baik dalam skala nasional maupun internasional.4
2. Praktik Hukum Internasional Di Indonesia

2
Sefriani, “Ketaatan Masyarakat Internasional terhadap Hukum Internasional dalam Perspekti Filsafat Hukum”, Jurnal
Hukum UII, Vol.18, No.3, Juli 2011, hlm.408.
3
Sugeng Istanto, 1998, Hukum Internasional, Penerbitan Atma Jaya , Yogyakarta, hlm. 45.
4
Anis Widyawati, “Kajian Hukum Internasional terhadap HAM”, Jurnal Ilmu Hukum Pandecta, Vol. 2, No. 2, Juli-
Desember 2008, hlm. 41.
4
Pembahasan mengenai sumber hukum merupakan persoalan yang sangat penting dalam
bidang hukum, bukan hanya dalam tataran Hukum Nasional (HN) tapi juga Hukum Internasional
(HI). Pemahaman tentang ini mutlak diperlukan dikarenakan dalam menyelesaikan berbagai
persoalan hukum, sumber hukum menjadi tempat diketemukannya dasar hukum yang dipakai
sebagai pedoman. Dewasa ini terdapat kecenderungan membicarakan kembali mengenai sumber
hukum dalam hukum internasional, karena perkembangan masyarakat intemasional. yang sangat
cepat dan hukum internasional itu sendiri. Sumber hukum intemasional berbeda dengan Hukum
Nasional. HI memiliki keunikan tersendiri, terutama ketiadaan pernyataan yang secara eksplisit
menyebutkan apa sumber-sumber hukum intemasional itu sendiri yang dijadikan sebagai sumber
hukum dalam memutuskan sengketa internasional. HI tidak memiliki organ-organ yang pada
umumnya ada di tingkat nasional, seperti lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif.
Pembahasan tentang tempat atau kedudukan hukum intemasional dalam rangka hukum
secara keseluruhan didasarkan atas anggapan bahwa sebagai suatu jenis atau bidang hukum, hukum
internasional merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Hukum Internasional sebagai suatu
perangkat ketentuan dan asas yang efektif yang hidup dimasayarakat dan karenanya mempunyai
hubungan yang efektif dengan ketentuan atau bidang hukum lainnya, diantaranya yang paling
penting ialah ketentuan hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam lingkungan
kebangsaannya masing-masing yang dikenal dengan hukum nasional. Hukum nasional setiap
negara mempunyai arti penting dalam konstelasi politik dunia dewasa ini dan masyarakat
intemasional, sehingga akan memunculkan persoalan bagaimanakah hubungan antara berbagai
hukum nasional itu dengan hukum intemasional dan kedudukan hukum intemasional dalam
keseluruhan tata hukum di lihat dari sudut praktis. Pembahasan mengenai hubungan antara hukum
internasional dan hukum nasional dapat ditinjau dari sudut teori dan kebutuhan praktis.
Berlakunya hukum intemasional dalam peradilan nasional suatu negara mengacu pada doktrin
"inkorporasi" dan doktrin "transformasi". Menurut doktrin inkorporasi, bahwa hukum intemasional
dapat langsung menjadi bagian dari hukum nasional. Apabila suatu negara menandatangani dan
meratifikasi traktat atau perjanjian apapun dengan negara lain, maka perjanjian tersebut dapat
secara langsung mengikat terhadap warga negaranya tanpa adanya sebuah legislasi terlebih dahulu.
Contoh negara yang menerapkan doktrin ini adalah Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia dan
beberapa negara dengan sistem AngloSaxon. Doktrin transformasi menyatakan sebaliknya, bahwa
tidak terdapat hukum internasional dalam hukum nasional sebelum dilakukan proses tranformasi
berupa pernyataan terlebih dahulu dari negara yang bersangkutan. Sehingga traktat atau perjanjian
internasional, tidak dapat digunakan sebagai sumber hukum di pengadilan nasional sebelum
dilakukannya `transformasi' ke dalam hukum nasional. Doktrin inkorporasi beranggapan bahwa
hukum internasional merupakan bagian yang secara otomatis menyatu dengan hukum nasional.
5
Doktrin ini lebih mendekati teori monnisme yang tidak memisahkan antara hukum nasional dan
hukum internasional. Sedangkan doktrin transformasi menuntut adanya tindakan positif dari negara
yang bersangkutan, sehingga lebih mendekati teori dualisme. Contoh negara yang menerapkan teori
ini diantaranya adalah negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Pelaksanaan di Indonesia pada prinsipnya mengakui supremasi hukum internasional, tetapi
tidak berarti bahwa kita begitu saja menerima hukum internasional. Sikap kita terhadap hukum
internasional di tentukan oleh kesadaran akan kedudukan kita dalam masyarakat intemasional yang
sedang berkembang. Sebagai bagian dari masyarakat intemasional maka Indonesia mengakui
keberadaan Hukum Internasional, tetapi bukan berarti hukum nasional hams tunduk pada hukum
internasional. Pada praktiknya Indonesia tidak menganut teori tranformasi, tetapi lebih condong
pada sistem negara-negara kontinental Eropa, yakni langsung menganggap diri kita terikat dalam
kewajiban melaksanakan dan menaati semua perjanjian dan konvensi yang telah di sahkan tanpa
perlu mengadakan lagi perundang-undangan pelaksanaan (implementing legislation). Oleh sebab itu
pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan undang-
undang.Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti tertuang dalam Pasal 11 Undang
Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat
perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini
memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku
dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba
menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut. Pengaturan tentang perjanjian intemasional
selama ini dijabarkan dalam bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960,
ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah menjadi pedoman dalam proses
pengesahan perjanjian internasional selama bertahun-tahun. Pengesahan perjanjian internasional
menurut Surat Presiden ini dapat dilakukan melalui undang-undang atau peraturan presiden,
tergantung dari materi yang diatur dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam praktiknya
pelaksanaan dari Surat Presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti
dengan UndangUndang yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian internasional.
Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya perjanjian internasional diatur dalam
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Secara umum dalam pengesahan perjanjian internasional
terbagi dalam empat kategori, yaitu: (1) Ratifikasi (ratification), yaitu apabila negara yang akan
mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional;
(2) Aksesi (accesion), yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional
tidak turut menandatangani naskah perjanjian; (3) Penerimaan (acceptance) atau penyetujuan
(approval) yaitu pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu
6
perjanjian intemasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut; dan (4) perjanjian-
perjanjian intemasional yang sifatnya self-executing (langsung berlaku pada saat penandatanganan).
Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian tidak serta
merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan
suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat.
Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut
disahkan. Seseorang yang mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau menandatangani
naskah suatu perjanjian atau mengikatkan negara terhadap perjanjian internasional, memerlukan
Surat Kuasa (Full Powers). Pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa adalah Presiden dan
Menteri. Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerjasama teknis
sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada dalam lingkup
kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun
nondepartemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa. (Dina Sunyowati dkk, 2011, 46)
Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh
perjanjian internasional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan
ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan
mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau Peraturan Presiden.
Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan DPR. Pengesahan dengan Pearaturan
Presiden hanya perlu pemberitahuan ke DPR.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang apabila berkenaan
dengan masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;perubahan wilayah atau
penetapan batas wilayah negara;kedaulatan atau hak berdaulat. negara;hak asasi manusia dan
lingkungan hidup;pembentukan kaidah hukum baru;pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Di dalam
mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggung jawaban atau keterangan dari
Pemerintah mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan
kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR,
sesuai dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional. Dengan pengaturan seperti ini, maka dapatlah Indonesia dikatakan sebagai negara
yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9 ayat 2 UU Nomor 24 tahun 2000,
dinyatakan bahwa: "Pengesahan perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat(1)
dilakukan dengan undangundang atau keputusan presiden." Dengan demikian pemberlakuan
perjanjian internasional ke dalam hukum nasional Indonesia dan digunakan sebaagai tuntunan di
lembaga peradilan nasional tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia
memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua sistem hukum yang berbeda dan
7
terpisah satu dengan yang lainnya. Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum
nasional dalam bentuk peraturan perundangundangan.
Perjanjian internasional sesuai dengan UU Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional, diratifikasi melalui undang-undang dan keputusan presiden.( Berdasarkan UU Nomor
12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 7 Ayat (1) huruf e,
menyebutkan bahwa keputusan presiden diubah menjadi peraturan presiden). Dalam Undang-
undang ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi perjanjian internasional menjadi hukum
nasional Indonesia, undang-undang ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai negara terikat
terhadap perjanjian internasional tersebut. Untuk perjanjian internasional tersebut berlaku perlu
dibuat undangundang yang lebih spesifik mengenai perjanjanjian internasional yang diratifikasi,
contoh Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights melalui undang-
undang, maka selanjutnya Indonesia harus membuat undangundang yang menjamin hak-hak yang
ada di covenant tersebut dalam undangundang yang lebih spesifik.
Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam pemberlakuannya,
biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu pelaksana teknis terhadap perjanjian induk.
Perjanjian internasional seperti ini dapat langsung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran
dokumen perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain yang disepakati dalam perjanjian oleh
para pihak. Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang
materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, sosial, budaya, pariwisata,
penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasama antar propinsi atau kota. Perjanjian
internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan
dalam perjanjian tersebut.5

3. Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional Hingga Batal dan Berakhirnya Perjanjia


Internasioal
A. Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional
Mulai berlakunya suatu perjanjian, baik bilateral maupun multilateral, pada umumnya
ditentukan oleh klausula penutup dari perjanjian itu sendiri. Dengan kata lain dapat dikemukaan
bahwa para pihak dari perjanjian itulah yang menentukan bila perjanjian tersebut mulai berlaku
secara efektif. Prinsip ini juga dijelaskan secara jelas dalam Konvensi Wina tahun 1969 tentang
Hukum Perjanjian. Pasal 2 Konvensi tersebut antara lain menyebutkan bahwa suatu perjanjian
mulai berlaku dengan mengikuti cara dan tanggal yang ditetapkan dalam perjanjian atau sesuai
dengan persetujuan antara Negara-negara yang berunding, dan mungkin pula suatu perjanjian

5
Dina Sunyowati, “HUKUM INTERNASIONAL SEBAGAI SUMBER HUKUM DALAM HUKUM NASIONAL”,
Jurnal Hukum Airlanggar, Vo.2, No.1, Maret 2013, hlm.68.
8
international mulai beralaku segera setelah semua Negara yang berunding setuju untuk diikat dalam
perjanjian.6
Disamping itu, konvensi tersebut juga mengatur mengenai pemberlakuan sementara suatu
perjanjian internasional jika disepakati oleh pihak-pihak yang berunding. Pasal 25 Konvensi Wina
tentang Hukum Perjanjian Internasional antara lain menyebutkan bahwa suatu perjanjian atau
sebagian dari suatu perjanjian diberlakukan sementara sambil menunggu saat mulai berlakunya, jika
ditentukan demikian dalam perjanjian atau Negara-negara yang berunding dengan cara lain
menyetujuinya. Dalam pelaksanaannya sehari-hari, pada garis besarnya kata sepakat para pihak
tersebut dapat dibagi dalam dua kategori yaitu perjanjian yang langsung dapat berlaku segera
setelah penandatanganan, maka dalam hal ini tidak diperlakukan lagi proses pengesahan lebih lanjut
dan perjajian yang memerlukan pengesahan sesuai dengan prosedur konstitusional yang berlaku
dinegara masing-masing pihak pada perjanjian tersebut.7 Berikut ini akan dilihat satu persatu
bagaiamana dan bilamana suatu perjanjian mulia berlaku dan klausula-klausula yang umumnya
dipakai dalam perjanjian-perjanjian tertentu.
1. Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional Segera Sesudah Tanggal Penandatanganan
2. Jika tidak ada ketentuan atau persetujuan, perjanjian mulai berlaku segera setelah
persetujuan diikat dan dinyatakan oleh semua negara perunding.
3. Bila persetujuan suatu negara untuk diikat oleh perjanjian timbul setelah perjanjian itu
berlaku, maka perjanjian mulai berlaku bagi negara itu pada tanggal tersebut, kecuali bila
perjanjian menentukan lain.
4. Ketentuan-ketentuan perjanjian yang mengatur pengesahan teksnya, pernyataan persetujuan
suatu negara untuk diikat oleh suatu perjanjian, cara dan tanggal berlakunya, persyaratan,
fungsi-fungsi penyimpanan, dan masalah-masalah lain yang timbul yang perlu sebelum
berlakunya perjanjian itu, berlaku sejak saat disetujuinya teks perjanjian itu.
B. Batal dan Berakhirnya Sebuah Perjanjian Internasional
Pada akhirnya suatu perjanjian internasional harus diakhiri, atau terpaksa diakhiri
eksistensinya. Seperti halnya penundaan dan ketidakabsahan suatu perjanjian internasional,
pengakhiran atas eksistensi suatu perjanjian internasional juga ada penyebabnya, yang dalam
beberapa hal sama seperti persoalan penundaan maupun ketidakabsahannya.8
Menurut Konvensi Wina 1969, Perjanjian Internasional dapat batal karena hal – hal sebagai
berikut:
a. Terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan – ketentuan hukum internasional

6
Boer Mauna, 2013, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, PT. Alumni,
Bandung, hlm. 124-125.
7
Mochtar Kusumaatmadja & Etty R. Agoes, op. cit. hlm. 125.
8
Boer Mauna, op. cit.hlm. 126.
9
oleh salah satu peserta Perjanjian Internsional → Pasal 46 dan 47
b. Jika terdapat unsur kesalahan berkenaan dengan suatu fakta atau keadaan pada saat
perjanjian itu dibuat → Pasal 58
c. Jika terdapat unsur penipuan oleh salah satu peserta Perjanjian Internasional
terhadap peserta lain → Pasal 49
d. Jika terdapat penyalahgunaan atau kecurangan (corruption) melalui kelicikan atau
penyuapan terhadap mereka yang menjadi kuasa penuh dari Negara peserta
Perjanjian Internasional → Pasal 50
e. Jika terdapat unsur paksaan kepada seorang peserta penuh baik dengan ancaman
maupun kekuatan → Pasal 51 dan 52
f. Jika pada waktu pembuatan perjanjian tersebut ada ketentuan yang bertentangan
dengan suatu kaidah dasar hukum Internasional umum (asas ius cogent) → Pasal 53
Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., dalam buku Pengantar Hukum Internasional
mengatakan bahwa suatu perjanjian berakhir karena hal-hal berikut inI:
a.   Telah tercapai tujuan dari perjanjian internasional itu.
b.   Masa beraku perjanjian internasional itu sudah habis.
c.   Salah satu pihak peserta perjanjian menghilang atau punahnya objek perjanjian.
d.   Adanya persetujuan dari peserta-peserta untuk mengakhiri perjanjian itu.
e.   Adanya perjanjian baru antara peserta yang kemudian meniadakan perjanjian
yang terdahulu.
g. Syarat-syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian itu
sudah dipenuhi.
h. Perjanjian secara sepihak diakhiri oleh salah satu peserta dan pengakhiran itu
diterima oleh pihak lain.
Pihak yang dapat mengusulkan untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional,
adalah pihak yang merasa dirugikan atau pihak yang memandang, bahwa perjanjian itu tidak perlu
dipertahankan lagi dan harus diakhiri. Selanjutnya pengakhiran ini juga akan menimbulkan
konsekuensi hukum seperti halnya dengan penundaan maupun ketidakabsahannya yang harus
diselesaikan oleh para pihak itu sendiri. Persoalan tentang bagaimana mengakhiri eksistensi suatu
perjanjian internasional dan penyelesaian segala konsekuensi hukumnya, pertama-tama tergantung
pada ada atau tidaknya pengaturannya di dalam perjanjian itu sendiri. 9 Di samping itu, juga turut
ditentukan oleh macam perjanjiannya, apakah itu perjanjian bilateral, multilateral, perjanjian yang
jangka waktu berlakunya ditentukan ataukah tidak ditentukan, perjanjian terbuka atau tertutup,

9
Tahar Abdul Muthalib, 2009, Hukum Internasional dan Perkembangannya, Universitas Lampung, Bandar Lampung,
hlm. 125.
10
perjanjian yang merupakan pengkodifikasian dan pengembangan progresif hukum internasional,
dan lain sebagainya. International agreements are, at root, an exchange of promises among states.
This is true whether they are full-blown treaties or merely statements of intent; whether they require
wholesale changes to domestic practices or merely reflect existing behav-iour; and whether or not
they include provisions for enforcement.10
Pengakhiran atas Eksistensi Perjanjian Internasional menurut Konvensi Wina 1969.
Konvensi Wina 1969 Pasal 42 ayat 2 menegaskan, bahwa tentang pengakhiran suatu perjanjian
internasional pertama-tama harus dilihat pada bagaimana peraturannya di dalam perjanjian
internasional itu sendiri, kalau memang perjanjian itu secara tegas mengaturnya. Sedangkan jika
tidak ada pengaturannya, pengakhiran itu dilakukan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan
Konvensi. Selanjutnya pasal 44 ayat 2 menegaskan, bahwa pada prinsipnya suatu kehendak untuk
mengakhiri eksistensi atau berlakunya suatu perjanjian internasional hendaknya untuk
keseluruhannya. Namun, dimungkinkan juga untuk mengakhiri sebagian dari perjanjian itu, apabila
ada klausul yang memungkinkan melakukan pengakhirannya untuk sebagian atau untuk beberapa
ketentuannya, seperti ditegaskan pada ayat 3. Akan tetapi jika klausul demikian itu tidak ada,
pengakhiran untuk sebagian juga dapat dilakukan jika hal itu tampak atau tersimpulkan dari
perjanjian itu sendiri, dan pada umumnya pengakhiran atas sebagian dan perjanjian tersebut
berkenaan dengan ketentuan yang bukan merupakan syarat yang esensial bagi terikatnya suatu
negara pada perjanjian itu secara keseluruhan11, yaitu:
a. Dibuat Perjanjian Internasional Baru
Pasal 59 ayat 1 mengatur tentang pengakhiran suatu perjanjian internasional (lama/duluan)
disebabkan karena dibuat perjanjian yang (baru/belakangan). Dalam hal ini, semua negara peserta
pada perjanjian yang lama/duluan kemudian membuat perjanjian baru / belakangan, dan memang
para pihak bermaksud untuk menerapkan perjanjian yang baru / belakangan untuk menggantikan
perjanjian yang lama/duluan; dan juga karena substansi dari kedua perjanjian itu sangat berbeda
bahkan bertentangan sehingga keduanya tidak mungkin untuk diterapkan secara bersamaan.
b. Pelanggaran oleh salah satu pihak
Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 60 ayat 1, pelanggaran atas substansi perjanjian oleh
salah satu pihak dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri berlakunya perjanjian, baik untuk
keseluruhannya ataupun untuk sebagian. Atau seperti ditegaskan dalam ayat 2, pelanggaran atas
suatu perjanjian internasional oleh salah satu pihak dapat dijadikan sebagai alasan bagi pihak
lainnya untuk bersepakat secara bulat untuk mengakhiri berlakunya perjanjian itu, (i) baik dalam

10
Andrew T. Guzman, “The Design Of International Agreements”, The European Journal Of International Law, Vol.
16, No. 4, 2005, hlm. 585.
11
I Wayan Parthiana, 1990, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, hlm. 130-131.
11
hubungan antara mereka pada satu pihak dengan pihak yang melakukan pelanggaran pada lain
pihak, atau (ii) antara semua pihak.
c. Ketidakmungkinan Untuk Melaksanakannya
Menurut pasal 61 ayat 3, salah satu pihak dapat menyatakan untuk mengakhiri berlakunya
perjanjian dengan alasan bahwa perjanjian itu sudah tidak mungkin lagi untuk dilaksanakan dan
ketidakmungkinan itu sudah bersifat permanen atau ketidakmungkinan yang disebabkan karena
kerusakan dan obyeknya yang ternyata tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan perjanjian tersebut.
d. Terjadinya perubahan keadaan yang fundamental (fundamental change of
circumstances)
Konvensi mengatur tentang terjadinya perubahan keadaan yang fundamental secara negatif,
dalam pengertian, hal ini tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengakhiri berlakunya suatu
perjanjian internasional. Selain daripada itu, jika ada pihak yang menjadikannya sebagai alasan,
disertai pula dengan pembatasan yang amat ketat dalam penggunaannya, sehingga sangat sempit
atau sedikit sekali kesempatan yang dapat digunakan sebagai alasan untuk mengakhiri eksistensi
atau berlakunya suatu perjanjian internasional.

Tabel Alisis Kasus Sengketa Laut Cina Selatan


No Kasus Keterangan

Nama Sengketa  Sengketa Laut Cina Selatan


Yang disidangkan  Pada 2013, Filipina mengajukan keberatan atas klaim dan
aktivitas China di Laut China Selatan kepada Mahkamah
Arbitrase di Den Haag, Belanda.
 Filipina menuding China mencampuri wilayahnya dengan
menangkap ikan dan mereklamasi demi membangun pulau
buatan.
 Filipina berargumen bahwa klaim China di wilayah perairan Laut
China Selatan yang ditandai dengan ‘sembilan garis putus-putus’
atau ‘nine-dash-line’ bertentangan dengan kedaulatan wilayah
Filipina dan hukum laut internasional.
 Mahkamah arbitrase sendiri mengatakan, putusan yang mereka
ambil akan menentukan setidaknya tujuh dari 15 tuntutan yang
diajukan Filipina.
Putusan  Putusan yang dihasilkan lima hakim itu akan menentukan status
sejumlah wilayah di Laut China Selatan atas gugatan Filipina

12
terhadap China.
 Dalam putusan yang dikeluarkan hari ini seperti dilansir BBC,
Mahkamah juga menyatakan bahwa reklamasi pulau yang
dilakukan China di perairan ini tidak memberi hak apa pun kepada
pemerintah China.
 Pengadilan arbitrase juga menyatakan China telah melanggar hak-
hak kedaulatan Filipina. Disebutkan pula bahwa China telah
menyebabkan 'kerusakan parah pada lingkungan terumbu karang'
dengan membangun pulau-pulau buatan.
Pengaruh serta  Putusan yang dihasilkan mahkamah arbitrase mengikat, namun
mengikatnya putusan mahkamah itu tidak memiliki kekuatan untuk melakukan
pemaksaan.
 Apapun putusan mahkamah, China telah mengatakan tidak akan
“menerima, mengakui, atau melaksanakan”.
 Akan tetapi, jika putusan mahkamah menguntungkan Filipina,
reputasi China berisiko rusak dan dilihat sebagai negara yang
mengabaikan hukum internasional.

Dari contoh kasusyang telah dipaparkan, terlihat bahwa hukum internasional mengikat
kepada masyarakat internasional, terutama pelaku dalam kasus atau sengketa yang terkait. Hukum
internasional ini juga dimaksudkan untuk menyelesaikan kasus yang berkaitan antar Negara atau
yang cangkupannya dalam dunia internasional.

BAB III
KESIMPULAN

13
Hukum internasional dapat mengikat masyarakat internasional. Negara-negara mau terikat
pada HI karena hubungan-hubungan mereka diatur oleh hukum yang lebih tinggi yaitu hukum alam.
Sebagaimanan dikemukakan aliran hukum positif, dasar kekuatan mengikatnya HI adalah kehendak
negara. Praktik hukum internasional di Indonesia pada prinsipnya mengakui supremasi hukum
internasional, tetapi tidak berarti bahwa kita begitu saja menerima hukum internasional. Sikap kita
terhadap hukum internasional di tentukan oleh kesadaran akan kedudukan kita dalam masyarakat
intemasional yang sedang berkembang. Sebagai bagian dari masyarakat intemasional maka
Indonesia mengakui keberadaan Hukum Internasional, tetapi bukan berarti hukum nasional tunduk
pada hukum internasional. Mulai berlakunya suatu perjanjian, baik bilateral maupun multilateral,
pada umumnya ditentukan oleh klausula penutup dari perjanjian itu sendiri. Dengan kata lain dapat
dikemukaan bahwa para pihak dari perjanjian itulah yang menentukan bila perjanjian tersebut mulai
berlaku secara efektif. Pihak yang dapat mengusulkan untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian
internasional, adalah pihak yang merasa dirugikan atau pihak yang memandang, bahwa perjanjian
itu tidak perlu dipertahankan lagi dan harus diakhiri. Selanjutnya pengakhiran ini juga akan
menimbulkan konsekuensi hukum seperti halnya dengan penundaan maupun ketidakabsahannya
yang harus diselesaikan oleh para pihak itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Istanto, Sugeng. Hukum Internasional. Yogyakarta: Penerbitan Atma Jaya. 1998.


Kusumaatmadja, Mocthar & Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT.
Alumni. 2015.
Mauna, Boer. Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global.
Bandung: PT. Alumni. 2013.
Muthalib, Tahar Abdul. Hukum Internasional dan Perkembangannya. Bandar Lampung:
Universitas Lampung. 2009.
Parthiana, I Wayan. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju. 1990.
Sefriani. “Ketaatan Masyarakat Internasional terhadap Hukum Internasional dalam Perspekti
Filsafat Hukum”. Jurnal Hukum UII. Vol.18. No.3. Juli 2011.
Sunyowati, Dina. “Hukum Internasional Sebagai Sumber Hukum Dalam Hukum Nasional”.
Jurnal Hukum Airlanggar. Vo.2. No.1. Maret 2013.
T. Guzman, Andrew “The Design Of International Agreements”. The European Journal Of
International Law. Vol. 16. No. 4. 2005.
Widyawati, Anis. “Kajian Hukum Internasional terhadap HAM”. Jurnal Ilmu Hukum Pandecta,
Vol. 2. No. 2. Juli-Desember 2008.
14

Anda mungkin juga menyukai