Anda di halaman 1dari 19

PAPER

PERJANJIAN INTERNASIONAL

ANALISIS TERHADAP KONVENSI ASEAN MENENTANG


PERDAGANGAN ORANG KHUSUSNYA PEREMPUAN DAN ANAK-
ANAK (ASEAN CONVENTION AGAINST TRAFFICKING IN
PERSONS, ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN)

DISUSUN :
WIRANTO C. ADITYA T
D101 19 632
BT 07

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TADULAKO
T.A 2021
Dalam suatu perjanjian terdapat klasifikasi perjanjian yang dapat
dibedakan berdasarkan jumlah pesertanya yaitu ada perjanjian bilateral, trilateral,
multilateral, regional, dan universal. Menurut kaedah hukum perjanjian dapat
dibedakan menjadi dua yaitu treaty contract dan law making treaty. Treaty
contract biasa kita temukan dalam suatu perjanjian bilateral, trilateral, regional
atau perjanjian-perjanjian yang sifatnya tertutup, tidak memberi kesempatan
kepada pihak yang tidak ikut perundingan untuk menjadi peserta perjanjian.
Adapun yang dimaksud dengan law making treaty adalah perjanjian yang
menciptakan kaedah atau prinsip-prinsip hukum yang tidak hanya mengikat pada
peserta perjanjian saja tapi juga dapat mengikat pada pihak ketiga.

Sedangkan menurut Sudarto, politik hukum adalah kebijakan dari negara


melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan
Yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan
apa yang terkandung dalam masyarakat untuk mencapai apa yang dicita-citakan,
dan usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu waktu.1

Selain itu didalam jurnal yang ditulis oleh Yordan Gunawan dan Resta
Wilianti menyebutkan bahwa :
“In terms of human rights protection, since year 2000 Indonesia has
enacted Law No. 26 of 2000 on Human Rights Court. However, it has
not sufficiently upheld human rights enforcement. The National Action
Plan for Human Rights of Indonesia in 2004- 2009 stated that the
government expects to ratify the Rome Statute in 2008. Truthfully, the
target has not been realized, thus in 2009-2014 the government pursues
to ratify the Rome Statute in 2013.”2

Jadi dijelaskan bahwasannya indonesia sendiri sejak tahun 2000 sudah


memiliki hukum mengenai Hak Asasi Manusia tetapi belum cukup
untuk menegakan HAM maka dari itu Indonesia saat itu ingin
meratifikasi Statuta Roma . Lalu menurut kelompok kami meratifikasi
statuta roma belum lah cukup untuk menjadi salah satu penegak Hak
Asasi Manusia tetapi harus ada tindakan nyata dari negara-negara
regional maka indonesia ikut dalam ASEAN CONVENTION AGAINST
TRAFFICKING IN PERSONS,
ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN karena kejahatan
perdagangan orang termasuk dalam kejahatan kemanusiaan.

Dalam konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Orang,


Khususnya Perempuan dan Anak-anak menurut kelompok kami dalam
perjanjian ini menggunakan klasfikasi perjanjian treaty contract
mengapa demikian dikarenakan dalam perjanjian tersebut negara yang
menjadi peserta adalah negara yang tergabung dalam ASEAN
(Indonesia, Kamboja, Malaysia, Laos, Myanmar, Brunei Darussalam,
Fillipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam) dan ini kategorikan
perjanjian regional hanya khusus bagi negara anggota ASEAN saja.
Seeperti kita ketahui bahawa tindakan perdagangan orang
merupakan suatu tindak pidana hal ini dikarenakan suatu tindakan yang
menimbulkan korban, bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan
HAM dan merupakan suatu ancaman yang cukup serius bagi
masyarakat, bangsa dan negara. Masalah kejahatan perdagangan orang
(trafficking inpersons), merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan
abad ini. Dengan demikian perdagangan orang termasuk juga
pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Manusia yang harkat dan
martabatnya sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, maka sesama
manusia siapapun dia tidak diperkenankan memperlakukan sesama
manusia seperti benda atau barang dengan memperjualbelikannya untuk
tujuan apapun3
Konvensi ini membantu ASEAN untuk berkomitmen dan
menyatukan tujuan dalam memberantas perdagangan orang dengan
demikian maka negara-negara yang tergabung dalam ASEAN akan
saling membantu dalam melaksanakan pemberantasan perdagangan
orang khususnya perempuan dan anak anak.
ANALISIS
BAB I
BAB I umumnya berisi tentang ketentuan-ketentuan umum yang terdiri dari 4 (empat)
pasal , sebagai berikut:
a. Pasal 1 berisi tujuan ASEAN dalam hal mengenai bentuk pencegahan,
pemberantasan, dan perlindungan terhadap perdagangan orang khususnya
perempuan dan anak.
Seperti kita ketahui perdagangan manusia (human trafficking) adalah suatu
kejahatan kemanusiaan yang melanggar hak seseorang untuk berkehidupan
secara bebas. Selain dalam konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Orang
Khususnya Perempuan dan Anak-anak, sebenarnya ada instrument hukum
internasional yang mengatur human trafficking antara lain adalah United Nations
Convention Against Transnasional Organized Crime dan Protocol To Prevent,
Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children di
Palermo (Italia) disebut dengan protokol palermo 2000.
Setiap negara yang sudah meratifikasi konvensi ASEAN Menentang
Perdagangan Orang, Khususnya Perempuan dan Anak-anak maka negara tesebut
harus menjalankan segala pasal yang sudah tertulis pada konvensi ini baik dari
segi pencegahan, perlindungan, maupun perlindungannya. Setiap negara dapat
saling membantu untuk tercapainya tujuan tersebut.

Pasal 2, berisi penggunaan istilah yang dipakai dalam konvensi ASEAN


Menentang Perdagangan Orang, Khususnya Perempuan dan Anak-anak seperti
terorganisasi, Tindak pidana serius, Tindak pidana transnasional, Pejabat publik,
kekayaan, Hasil tindak pidana, pembekuan, perampasan, dan Tindak pidana asal.
Penggunaan istilah ini berfungsi untuk acuan setiap negara agar setiap negara
tidak menginterpretasikan istilah yang berbeda-beda.

b. Pasal 3, berisi penegasan terhadap ruang lingkup keberlakuan seperti halnya


Pencegahan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana. Selain itu juga dalam
ruang lingkup ini berlaku untuk tindak pidananya bersifat transnasional,
termasuk kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi , perlindungan dan
bantuan kepada korban perdagangan orang.
Dalam hal ini indonesia selaku negara memiliki kewajiban melindungi
(Obligation to Protect) Hak Asasi Manusia juga mempunyai kewajiban
memastikan tidak terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh individu
dan/atau korporasi.4
c. Pasal 4 : berisi penegasan bahwa setiap negara-negara pihak wajib
melaksanakan kewajibannya pada konvensi ini sesuai dengan menggunakan
prinsip-prinsip kesetaraan kedaulatan dan integritas wilayah dan prinsip
nonintervensi.
Menurut bodin kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi (supreme power) atas
warga negara, kekuasaan tertinggi ini menjadi sumber hukum, tidak diikat oleh atau
5
dibatasi oleh hukum yang lain. Prinsip non intervensi dalam Black’s Law
Dictionary, intervensi diartikan sebagai urut campurnya sebuah negara dalam urusan
dalam negeri negara lain atau dalam urursan dengan negara lain secara dictator
dengan menggunakan ancaman kekuatan. Kewajiban untuk tidak melakukan
intervensi atau ikut campur urusan negara lain merupakan salah satu kewajiban
dasar yang sangat penting dalam hukum internasional.6
Dengan demikian dalam melaksanakan kewajibannya negara negara yang
tergabung dalam konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Orang, Khususnya
Perempuan dan Anak-anak tidak boleh menganggu kedaulatan dan ikut campur
urusan dalam negeri negara lain.
BAB II
KRIMINALISASI
a. Pasal 5, dalam pasal ini Negara yang ikut terlibat dalam konvensi ASEAN
Menentang Perdagangan Orang, Khususnya Perempuan dan Anak-anak wajib
untuk mengadopsi legislasi atau tindakan lainnya yang diperlukan dalam
kriminalisasi perdagangan orang.
Di Indonesia sendiri tindak pidana perdagangan manusia diatur dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang. Indonesia juga mempunyai peraturan perundang-undangan
yang dapat digunakan untuk mencegah maupun menindak kejahatan
perdagangan manusia antara lain. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, dan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.7

b. Pasal 6, berisi tentang orang yang termasuk dalam kriminalisasi tindak pidana
terorganisasi.
Segala bentuk kejahatan adalah hal yang tidak mempunyai perikemanusiaan. Baik
kejahatan itu masih dalam tahap percobaan atau sudah dilakukan, tetaplah sudah
dianggap sebagai bentuk tindak kejahatan. Semua pelaku kejahatan haruslah
diberikan sanksi yang setimpal dengan perbuatannya. Adapun orang yang
dianggap sebagai pelaku tindak kejahatan terorganisasi yaitu mereka yang
mengatur, mengerahkan, membantu, bersekongkol, dan/atau membimbing
terjadinya suatu tindak kejahatan. Untuk perdagangan manusia sendiri
melibatkan proses yang melibatkan 3 (tiga) fase: rekruitmen, pengangkutan, dan
eksploitasi. Dalam setiap fase yang terjadi sudah biasa adanya penculikan,
ancaman kekerasan, penyerangan, pemerkosaan, dan sebagainya yang terjadi
pada korban.8

c. Pasal 7, berisi tentang kriminalisasi tentang tindak pidana pencucian uang.


Ada definisi umum yang dapat mendefinisikan tentang upaya pengubahan atau
penyembunuiaan uang hasil dari kejahatan, pada zaman sekarang ini upaya itu
disebut dengan tindak pencucian uang. Pengertian itu memiliki arti pengubahan
“uang kotor” menjadi “uang bersih” atau tindakan penyembunyian asal-usul
9
hasil kejahatan. Sebagai suatu bentuk kejahatan, ternyata ada pihak tertentu
yang turut menikmati keuntungan dari tindak pidana pencucian uang tersebut
tanpa memperhatikan apa saja dampak yang ia sebabkan. 10

Kejahatan tindak pidana pencucian uang biasanya menggunakan proses, yaitu:


1. Penempatan: Mengubah uang ke bank atau berbentuk cek.
2. Pelapisan: Transaksi yang mengaburka asal-usul uang.
3. Integrasi: Pembelian aset legal untuk dapat menikmati hasil kejahatan.

d. Pasal 8, berisi tentang kriminalisasi dalam tindak pidana korupsi.


Tindak pidana korupsi memilik pengertian yaitu sebuah perilaku yang tidak sesuai
dengan tugas yang seharusnya ia kerjakan sebagai seseorang yang mengemban
jabatan Negara disebabkan karena ingin mendapatkan keuntungan dan/atau
11
melanggar peraturan yang bersifat pribadi. Tindak pidana korupsi dapat
berupa penyuapan, pencurian, penggelapan, dan penipuan.
e. Pasal 9, berisi tentang gangguan dalam proses peradilan yang dianggap sebagai
tindak kriminalisasi.
Yang termasuk dalam tindakan kriminalisasi di dalam pasal ini yaitu tindakan
kekerasan fisik, ancaman, intimidasi agar korban melakukan kesaksian palsu
yang berhubungan dalam tindak pidana dalam pelaksaan tugas peradilan atau
penegakan hukum. Segala tindakan itu haruslah diberikan hukuman yang
setimpal karena merugikan pihak lain.
f. Pasal 10, berisi tentang hak untuk menetapkan yurisdiksi atas tindak pidana
yang berkaitan dengan perdagagan orang bagi negara yang sudah meratifikasi
konvensi ini.

Tindakan-tindakan yang dimaksud adalah termasuk dalam tindak pidana


terorganisasi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana korupsi, dan tindak
pidana gangguan proses peradilan. Penerapan hak-hak itu dapat dilakukan di
wilayah negara yang bersangkutan, kapal bendera negara, atau pesawat terbang
yang terdaftar saat tindak pidana tersebut dilakukan. Negara yang bersangkutan
dapat diberlakukan kepada warga negara nya sendiri, atau untuk jika pelaku
yang tidak memiliki warga negara diberlakukan berdasarkan peraturan di negara
mana saat ia melakukan tindak pidana tesebut. Untuk permasalahan tentang
ekstradisi, perlu penetapan ekstradisi atas tindak pidana pelaku yang dilakukan
di wilayahnya dan jika ia termasuk warga negara di negara tersebut, ia tidak
dapat di ekstradisi. Penerapan konvensi ini juga tidak mengesampingkan norma
yang berlaku pada negara masing-masing.
BAB III
PENCEGAHA
N
a. Pasal 11, berisi tentang kewajiban negara yang meratifikasi konvensi ini
untuk melakukan pencegahan perdagangan orang tertutama pada perempuan
dan anak.
Pada dasarnya, penghentian perdagangan orang memilik empat syarat yaitu
pencegahan, penghukuman, perlindungan, dan kerja sama antara beberapa
12
pihak. Di dalam pasal ini dijelaskan bahwa negara-negara yang terkait
dalam konvensi ini diberikan kewajiban untuk melakukan pencegahan
perdagangan orang. . Setiap negara juga diberi kewajiban untuk melakukan
kampanye bagaimana cara untuk mencegah tindak pidana ini.
b. Pasal 12, berisi tentang pentingnya kerja sama yang terjalin antar setiap
negara untuk melawan perdagangan orang.
Dengan terjalinnya kerja sama di antara pihak-pihak yang terkait akan
meminimalisir terjadinya tindak pidana perdagangan orang, hal ini
dikarenakan oleh salah satu faktor yaitu berkurangnya permintaan yang
memicu tindakan eksploitasi orang. Kerja sama ini bisa dalam bentuk kerja
sama bilateral, multilateral, atau regional. Serta semua kasus tindak pidana
perdagangan orang diharapkan dapat diproses secara hukum dan pelakunya
diberi hukuman yang seberat-beratnya.13

c. Pasal 13, berisi tentang kewajiban untuk bekerjasama lintas batas,


pengawasan, dan keabsahan dokumen.
Setiap negara yang bersangkutan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan
kerja sama lintas batas dengan tujuan untuk mencegah dan mendeteksi
terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Hal ini dapat dilakukan dengan
cara memelihara komunikasi secara baik dengan negara- negara lain. Kerja
sama ini haruslah disertai dengan melakukan pengawasan terhadap batas-
batas dengan efektif dan mengawasi dokumen yang diterbitkan dengan baik
sehingga tidak terjadi pemalsuan, peniruan, atau penyalahgunaan dokumen.
BAB IV
PERLINDUNGAN
a. Pasal 14, berisi tentang pentingnya memberikan perlindungan terhadap
korban perdagangan orang.
Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain
manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan
perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi
maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan dan penganiayaan,
ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya.14
Di dalam pasal ini dijelaskan bahwa negara-negara yang
bersangkutan haruslah memberikan prosedur untuk mengidentifikasi
korban perdagangan orang, tidak ada ekstradisi untuk tindak pidana
perdagangan orang kecuali jika korban yang meminta, negara diberi
kewajiban untuk menerima korbang perdagangan orang, negara
mempunyai kewajiban untuk menjaga fisik korban, dan dalam situasi
tertentu negara wajib menyimpan dengan baik identitas korban, negara
tidak boleh menahan korban, negara harus memberikan pengetahuan apa
saja hak-hak korban dan apa saja perlindungan yang ia dapat, negara
harus memberikan fasilitas yang layak untuk korban, negara harus
memberikan bantuan yang maksimal untuk korban, negara juga harus
membantu kekurangan dana penanganan untuk korban. Dalam
melaksanakan semua kewajiban negara terhadap korban tersebut, negara
harus memperhatikan umur, jenis kelamin, kebutuhan khusu, dan hukum
domestiknya.
Di indonesia terdapat upaya yang dapat dilakukan untuk menjamin
perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana
perdagangan orang tercermin dalam 3 tahap yaitu pada saat terjadinya
tindak pidana perdagangan orang, tahap persidangan pelaku tindak
pidana perdagangan orang dan tahap setelah putusan pengadilan atas
pelaku tindak pidana perdagangan orang yang disimpulkan dari
ketentuan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak.15
b. Pasal 15, Berbicara mengenai suatu kejahatan maka tidak terlepas dari
korban, dimana korban merupakan pihak yang paling menderita suatu
kerugian akibat terjadinya kejahatan. Konsep keadilan yang sekarang
berkembang lebih mengacu kepada keadilan restoratif lebih
mengutamakan pemulihan terhadap kondisi korban, yang sesuai dengan
perubahan paradigma mengenai karakter sistem hukum pidana modern.16
BAB V

PENEGAKAN HUKUM

a. Pasal 16, Dalam bagian ini diatur bahwa negara berkewajiban untuk membentuk
otoritas penanganan kasus perdagangan manusia dari orang yang kompeten,
mengambil tindakan efektif menangani kejahatan kerah putih (white collar crime)
yang dapat berkontribusi pada perdagangan manusia, berkewajiban untuk memastikan
efisiensi hukum domestiknya dalam hal perdagangan manusia, jika diperlukan negara
dapat membentuk badan koordinasi untuk penanganan kejahatan yang terorganisir,
yang konsisten dalam penegakan hukum melalui hukum domestiknya, memberikan
pelatihan bagi para pejabat dalam pencegahan dan Pemberantasan perdagangan
manusia, wajib untuk mengambil tindakan untuk melindungi korban dan saksi,
mengatur waktu berakhirnya penuntutan, dan dalam mekanisme penegakan hukum
dan penuntutan untuk tunduk pada hukum domestik negara pihak.
b. Pasal 17, Dalam bagian ini diatur bahwa jika hukum dalam negeri negara
memungkinkan untuk melakukan penyitaan, negara dapat melakukan perampasan
kepemilikan dari hasil tindak pidana yang terkandung dalam Konvensi ini dan
kekayaan, perangkat, atau peralatan yang digunakan untuk mendukung tindak pidana
yang ditetapkan dalam Konvensi ini dan negara dalam melakukan perampasan dapat
melakukan identifikasi, pelacakan, pembekuan, dan penyitaan barang.
BAB VI

Kerja Sama Internasional

a. Pasal 18, Dalam rangka pemberantasan kejahatan transnasional atau lintas-perbatasan,


maka negara yang menyetujui perjanjian ini harus memberikan bantuan hukum sesuai
dengan hukum yang berlaku di negara tersebut dalam bentuk penyelidikan atau penuntutan
yang berkaitan dengan tindak pidana dimaksud dalam Pasal 5 dari Konvensi ini.
b. Pasal 19, Dalam rangka jenis kejahatan bisa dikategorikan sebagai kejahatan yang di
ekstradisikan, negara harus membuat perjanjian ekstradisi dengan negara lain yang saling
menyetujui jenis kejahatannya. Tunduk pada ketentuan hukum domestik dan perjanjian
ekstradisinya, pihak negara dapat menaahan orang yang di carii dan tinggal di dalam
wilayahnya atau mengambil tindakan lain yang sesuai untuk memastikan kehadirannya
dalam proses ekstradisi. Pada era globalisasi ini, tak dapat dipungkiri dengan majunya
sistem teknologi dan informasi menjadikan para oknum kejahatan mengambil kesempatan
untuk melarikan diri ke negara lain guna menghindari hukuman sekaligus mencari suaka
17
. Berbagai jenis kejahatan yang dilakukan juga beragam seperti pembunuhan, penipuan,
pemerkosaan, perbudakan, perdagangan manusia, narkotika, hingga korupsi dan masih
banyak lagi.18
c. Pasal 20, Negara Pihak harus bekerja sama satu sama lain sesuai dengan sistem hukum
dan administrasi domestik, untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum dalam
rangka memberantas kejahatan yang tercakup dalam Konvensi ini, negara pihak dapat
mengambil tindakan sebagai berikut:
1. Untuk meningkatkan dan memanfaatkan saluran komunikasi yang memiliki otoritas yang
kompeten, dalam rangka memfasilitasi pertukaran informasi yang aman dan cepat terkait
untuk mengeluarkan aspek tindak pidana.
2. Bekerjasama dengan pihak negara lain melakukan penyelidikan terkait dengan tindak
pidana yang tercakup dalam Konvensi ini.
3. Menyediakan, jika memungkinkan, bahan yang diperlukan untuk tujuan analisis atau
Penyelidikan.
4. Memfasilitasi koordinasi yang efektif antara otoritas yang kompeten, instansi, dan negara
pihak dan untuk mendorong pertukaran personil dan ahli lainnya. Bertukar informasi
dengan pihak negara lain dengan cara-cara-dan metode khusus yang digunakan oleh
pelaku perdagangan manusia.
5. Bertukar informasi dan berkoordinasi secara administratif dan tindakan lain yang diambil
untuk tujuan identifikasi dini dari tindak pidana yang tercakup dalam Konvensi ini.

Upaya Perlindungan terhadap korban traficking dan eksploitasi anak merupakan hal
yang kompleks karena beirisan dengan berbagai aspek kehidupan, maka diperlukan
kesadaran dan peran serta seluruh masyarakat, penyelenggara negara dan aparat penegak
hukum.Selama ini masalah trafficking dan eksploitasi anak hanya berfokus pada masalah
yang sudah terjadi dan penyelesaian terhadap penanganan kasus. Sementara upaya
pencegahan dan pemenuhan terhadap hak anak kurang menjadi perhatian. KUHP yang
berlaku saat ini tidak atau kurang memberi perhatian pada korban. Tidak ada pidana ganti
rugi dalam KUHP, baik sebagai pidana pokok maupun sebagai pidana tambahan19
d. Pasal 21, Pihak negara lainnya berhak untuk mengajukan permintaan kepada pihak negara
yang telah bersama-sama membuat perjanjian ekstradisi untuk merebut hasil dari tindak
pidana, kekayaan, perangkat atau peralatan lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat
1, yang berada di wilayahnya, Mungkin dalam sistem hukum domestik. Persyaratan untuk
mengajukan permohonan tersebut harus:
1. mengirimkan permintaan ke otoritas yang kompeten

2. mengajukan surat kehilangan yang dikeluarkan oleh pengadilan di wilayah pemohon dari
negara pihak ke otoritas yang berkompeten.

Jika pihak negara telah memperoleh surat permintaan, maka ditindaklanjuti untuk
mengidentifikasi, atau menyita hasil dari tindak pidana dan kekayaan lainnya sebagaimana
tercantum dalam Pasal 17 ayat 1 Konvensi ini. Keputusan yang akan diberlakukan oleh
negara Pihak harus sesuai dan sesuai dengan ketentuan hukum Domextik yang mengikat.
e. Pasal 22, Hasil dari tindak pidana atau kekayaan yang disita oleh negara pihak
berdasarkan Pasal 17 atau Pasal 21 ayat 1 Konvensi ini, wajib disampaikan oleh pihak
negara sesuai dengan prosedur hukum domestiknya.
BAB VII
Ketentuan Penutup

a. Pasal 23, Negara Pihak harus mempertimbangkan pembentukan


struktur koordinasi dalam memerangi perdagangan manusia,
termasuk meningkatkan kerjasama dalam semua bidang Konvensi
ini.
b. Pasal 24, Pertemuan petinggi senior ASEAN Tentang Kejahatan
Transnasional (SOMTC) bertanggung jawab untuk mengawasi dan
melaporkan secara berkala di pertemuan tingkat Menteri ASEAN
tentang kejahatan transnasional (AMMTC).
c. Pasal 25, Negara Pihak harus menjaga kerahasiaan dan dokumen
rahasia, catatan dan informasi lainnya yang diterima oleh pihak
negara lain, termasuk sumbernya. Setiap dokumen, catatan atau
informasi lainnya tidak akan diungkapkan atau dibagi ke negara lain,
atau siapapun kecuali dengan persetujuan tertulis dari negara Pihak
yang memberikan dokumen.
d. Pasal 26, Konvensi ini tidak dapat mengesampingkan kewajiban
yang ada antara Negara-negara pihak terkait dengan perjanjian
internasional lainnya. Yang disini dapat di artikan bahwa setelah
konvensi ini di terapkan maka tidak boleh mengganggui jalannya
perjanjian internasional lainnya.
e. Pasal 27, Pada pasal ini dikatakan bahwa jika terjadi beberapa
perselisihan antar Negara-negara pihak akibat dari interpretasi atau
plaksanaan ketentuan dari bkonvensi ini maka wajib diselesaikan
dengan cara damai melalui konstitusi dan negosiasi antara Negara-
negara pihak yang terkait dengan perselisihan melalui diplomatik
atau dapat melalui penyelesaian perselisihan secara damai
sebagaimana yang sudah disepakati oleh Negara-negara pihak. Pada
awal perkembangan hukum internasional prinsip persamaan
kedaulatan negara yang kemudian ditindaklanjuti dengan prinsip
persamaan kedudulan sering diartikan semua negara harus
diperlakukan sama, mendapat hak dan kewajiban yan g sama, tidak
boleh ada diskriminasi. Penafsiran ini dapat ditemukan antara lain
dalam konsep eksploitasi ruang angkasa , semua negara dinyatakan
memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mengeksploitasi ruang
angkasa selama untuk tujuan damai.20
f. Pasal 28, Pada konvensi ini disebutkan dalam pasal 28 bahwa
konvensi ini diratifikasi atau disetujui sesuai dengan prosedur
internal masing-masing Negara-negara pihak lalu instrument
ratifikasi atau persetujuan konvensi ini disampaikan untuk disimpan
oleh Sekertaris Jendral ASEAN yang akan segara disampaikan
kepada Negara-negara pihak lain.
g. Pasal 29, Dalam konvensi ini wajib berlaku 30 hari setelah tanggal
dari penyimpanan keenam (6) instrument ratifikasi kepada Sekertaris
Jendral ASEAN bagi Negara-negara pihak tersebut yang telah
menyampaikan unstrumen ratifikasi atau persetujuan. Konvensi ini
dapat di amandemen kapan saja melalui persetujuan secara tertulis
oleh negara-negara pihak, dan amandemen mulai berlaku pada
tanggal yang telah disepakati oleh Negara-negara pihak.
h. Pasal 30, Negara-negara pihak ini dapat menarik diri dari konvensi
ini kapan saja setelah berlakunya konvensi ini terhadap Negara-
negara pihak tersebut.m penarikan diri dapat berlaku 180 hari setelah
diterima oleh Sekertaris Jendral ASEAN dan instrumen penarikan
diri dapat diajukan melalui Sekertaris Jendral ASEAN.
i. Pasal 31, konvensi ini dapat didaftarkan kepada Sekertaris Jendral
ASEAN kepada Sekertaris Perserikatan Bangsa-Bangsa sesuai
dengan pasal 102 dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
EFEK

Dengan berlakunya konvensi ini disetiap Negara-negara pihak (negara-negara


yang sudah melakukan ratifikasi terhadap konvensi ini) diwajibkan untuk memiliki
beberapa prosedur untuk menanggulangani kasus pidana perdagangan orang terutama
terhadap perempuan dan anak-anak. Negara-negara yang sudah meratifikasi konvensi
ini diharapkan bisa lebih berkompeten menangani dalam kasus perdaganga orang.
Adanya konvensi ini diharapkan mampu menjadi perlindungan hukum yang
mampu untuk melindungi setiap orang terutama perempuan dan anak-anak dari tindakan
perdagangan orang. Efek lainnya dari adanya konvensi ini mampu meningkatkan
kerjasama yang baik antar Negara-negara pihak yang meratifikasi konvensi ini dan antar
negara ASEAN dalam menanggulangani. Efek lainnya juga dapat untuk bisa
memberantas kasus kejahatan perdagangan orang, untuk melindungi siapapun orangnya
berhak memiliki Hak Asasi Manusia artiya disamping keabsahannya terjaga dalam
eksistensi kemaqnusiaan manusia, juga terdapat kewajiban yang sungguh-sungguh
untuk dimengerti, dipahami dan bertanggung jawab untuk memeliharanya.21

TINDAK LANJUT

Terkait dengan konvensi ini pemerintah Indonesia telah meratifikasi dengan


diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pengesahan ASEAN
Convention Against Trafficking in Person, Especially Women and Children (Konvensi
ASEAN Menentang Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak)
bertujuan untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi seluruh masyarakat di
Indonesia dari kejahatan perdagangan orang dan sebagai upaya dari Pemerintah
Republik Indonesia untuk menjamin hak masyarakat untuk mendapatkan ketenangan
dan melaksanakan kerja sama internasional untuk mencegah sekaligus memberantas
tindak pidana perdagangan orang terutama perempuan dan anak-anak.
DAFTAR PUSTAKA

Sudarto.1996. Politik Hukum Pidana, Jakarta : Raja Grafindo Persada.


Riyadi, Eko. 2018. Hukum Hak Asasi Manusia : Perspektif Internasional, Regional,
dan Nasional,. Depok: Rajawali Pers
Sefriani.. 2018. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. Depok: PT. Grafindo Persada,
Muhtaj, EL Majda. 2007. Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia dari
UUD1945 Sampai Dengan Perubahan UUD 1945 TAHUN 2002. Jakarta: Kencana
Persada Media Grup
Indroharto, Kapita Selekta Hukum, Ghalia Indonesia, (Jakarta, 1995)
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, (Citra Aditya, Bandung, 2001)
Natarajan, Mangai. 2015. Kejahatan dan Pengadilan Internasional. Bandung: Nusa
Media
Ramelan. 2008. Annotated Money Laundering: Case Reports. Jakarta: Pustaka Juanda
Tigalima&ELSDA Institute
Rosenberg, Ruth. 2003. Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia. Jakarta:
ICMC

Anda mungkin juga menyukai