PERJANJIAN INTERNASIONAL
DISUSUN :
WIRANTO C. ADITYA T
D101 19 632
BT 07
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TADULAKO
T.A 2021
Dalam suatu perjanjian terdapat klasifikasi perjanjian yang dapat
dibedakan berdasarkan jumlah pesertanya yaitu ada perjanjian bilateral, trilateral,
multilateral, regional, dan universal. Menurut kaedah hukum perjanjian dapat
dibedakan menjadi dua yaitu treaty contract dan law making treaty. Treaty
contract biasa kita temukan dalam suatu perjanjian bilateral, trilateral, regional
atau perjanjian-perjanjian yang sifatnya tertutup, tidak memberi kesempatan
kepada pihak yang tidak ikut perundingan untuk menjadi peserta perjanjian.
Adapun yang dimaksud dengan law making treaty adalah perjanjian yang
menciptakan kaedah atau prinsip-prinsip hukum yang tidak hanya mengikat pada
peserta perjanjian saja tapi juga dapat mengikat pada pihak ketiga.
Selain itu didalam jurnal yang ditulis oleh Yordan Gunawan dan Resta
Wilianti menyebutkan bahwa :
“In terms of human rights protection, since year 2000 Indonesia has
enacted Law No. 26 of 2000 on Human Rights Court. However, it has
not sufficiently upheld human rights enforcement. The National Action
Plan for Human Rights of Indonesia in 2004- 2009 stated that the
government expects to ratify the Rome Statute in 2008. Truthfully, the
target has not been realized, thus in 2009-2014 the government pursues
to ratify the Rome Statute in 2013.”2
b. Pasal 6, berisi tentang orang yang termasuk dalam kriminalisasi tindak pidana
terorganisasi.
Segala bentuk kejahatan adalah hal yang tidak mempunyai perikemanusiaan. Baik
kejahatan itu masih dalam tahap percobaan atau sudah dilakukan, tetaplah sudah
dianggap sebagai bentuk tindak kejahatan. Semua pelaku kejahatan haruslah
diberikan sanksi yang setimpal dengan perbuatannya. Adapun orang yang
dianggap sebagai pelaku tindak kejahatan terorganisasi yaitu mereka yang
mengatur, mengerahkan, membantu, bersekongkol, dan/atau membimbing
terjadinya suatu tindak kejahatan. Untuk perdagangan manusia sendiri
melibatkan proses yang melibatkan 3 (tiga) fase: rekruitmen, pengangkutan, dan
eksploitasi. Dalam setiap fase yang terjadi sudah biasa adanya penculikan,
ancaman kekerasan, penyerangan, pemerkosaan, dan sebagainya yang terjadi
pada korban.8
PENEGAKAN HUKUM
a. Pasal 16, Dalam bagian ini diatur bahwa negara berkewajiban untuk membentuk
otoritas penanganan kasus perdagangan manusia dari orang yang kompeten,
mengambil tindakan efektif menangani kejahatan kerah putih (white collar crime)
yang dapat berkontribusi pada perdagangan manusia, berkewajiban untuk memastikan
efisiensi hukum domestiknya dalam hal perdagangan manusia, jika diperlukan negara
dapat membentuk badan koordinasi untuk penanganan kejahatan yang terorganisir,
yang konsisten dalam penegakan hukum melalui hukum domestiknya, memberikan
pelatihan bagi para pejabat dalam pencegahan dan Pemberantasan perdagangan
manusia, wajib untuk mengambil tindakan untuk melindungi korban dan saksi,
mengatur waktu berakhirnya penuntutan, dan dalam mekanisme penegakan hukum
dan penuntutan untuk tunduk pada hukum domestik negara pihak.
b. Pasal 17, Dalam bagian ini diatur bahwa jika hukum dalam negeri negara
memungkinkan untuk melakukan penyitaan, negara dapat melakukan perampasan
kepemilikan dari hasil tindak pidana yang terkandung dalam Konvensi ini dan
kekayaan, perangkat, atau peralatan yang digunakan untuk mendukung tindak pidana
yang ditetapkan dalam Konvensi ini dan negara dalam melakukan perampasan dapat
melakukan identifikasi, pelacakan, pembekuan, dan penyitaan barang.
BAB VI
Upaya Perlindungan terhadap korban traficking dan eksploitasi anak merupakan hal
yang kompleks karena beirisan dengan berbagai aspek kehidupan, maka diperlukan
kesadaran dan peran serta seluruh masyarakat, penyelenggara negara dan aparat penegak
hukum.Selama ini masalah trafficking dan eksploitasi anak hanya berfokus pada masalah
yang sudah terjadi dan penyelesaian terhadap penanganan kasus. Sementara upaya
pencegahan dan pemenuhan terhadap hak anak kurang menjadi perhatian. KUHP yang
berlaku saat ini tidak atau kurang memberi perhatian pada korban. Tidak ada pidana ganti
rugi dalam KUHP, baik sebagai pidana pokok maupun sebagai pidana tambahan19
d. Pasal 21, Pihak negara lainnya berhak untuk mengajukan permintaan kepada pihak negara
yang telah bersama-sama membuat perjanjian ekstradisi untuk merebut hasil dari tindak
pidana, kekayaan, perangkat atau peralatan lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat
1, yang berada di wilayahnya, Mungkin dalam sistem hukum domestik. Persyaratan untuk
mengajukan permohonan tersebut harus:
1. mengirimkan permintaan ke otoritas yang kompeten
2. mengajukan surat kehilangan yang dikeluarkan oleh pengadilan di wilayah pemohon dari
negara pihak ke otoritas yang berkompeten.
Jika pihak negara telah memperoleh surat permintaan, maka ditindaklanjuti untuk
mengidentifikasi, atau menyita hasil dari tindak pidana dan kekayaan lainnya sebagaimana
tercantum dalam Pasal 17 ayat 1 Konvensi ini. Keputusan yang akan diberlakukan oleh
negara Pihak harus sesuai dan sesuai dengan ketentuan hukum Domextik yang mengikat.
e. Pasal 22, Hasil dari tindak pidana atau kekayaan yang disita oleh negara pihak
berdasarkan Pasal 17 atau Pasal 21 ayat 1 Konvensi ini, wajib disampaikan oleh pihak
negara sesuai dengan prosedur hukum domestiknya.
BAB VII
Ketentuan Penutup
TINDAK LANJUT