TINJAUAN PUSTAKA
Sumber hukum (the source of law) secara umum diartikan sebagai sumber hasil
kewenangan dan kekuatan memaksa dari suatu produk hukum positif (the origins from which
particular positive law derive their authority and coercive force).1 Sumber hukum, termasuk
sumber hukum internsional (the source of international law), mencakup pengertian formal,
yaitu sebagai sumber hukum formal; dan material yaitu sebagai sember hukum material.
Menurut Salmond, pengertian hukum formal dan material adalah sebagai berikut:
‘’A formal source is that from which a rule of law derives its force and validity. The
material source, on the other hand, are those from which is derived th matter, not th
validity of the law. The material source supplies the substance of the rule to which the
formal source gives the formal source gives the force and nature of law.’’2
Sumber formal adalah sumber kekuatan memaksa dan dasar keabsahan suatu produk
hukum. Sedangkan sumber material adalah sumber materi dari suatu produk hukum. Sebagai
contoh kekuatan mengikat suatu ketentuan hukum. Suatu ketentuan hukum mengikat secara
hukum apabila ketentuan memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan oleh kebiasaan, yang
merupakan sumber hukum formal dari hukum internasional, dan materinya diperoleh dari
1
Henry campbell,black’’s law dictionary, fifth edition, west publishing, St, Paulminn, 1979, hal 1251
2
D. J. Harris , case and materials on internasional law, third edition,swet & Maxwell, London, 1983, hal. 20.
3
Ibid
Dua jenis pembedaan sumber hukum internasional yakni dalam arti materil
mempersoalkan apakah yang menjadi dasar kekuatan mengikat suatu hukum internasional,
sedangkan dalam arti formil memberi jawaban atas pertanyaan dimana terdapat ketentuan
hukum yang dapat diterapkan sebagai kaidah hukum internasional.4 Mocthar kusumaadmadja
mengatakan bahwa sumber hukum internasional ini dibedakan menjadi dua arti yakni sumber
hukum materil dan sumber hukum formil. Sumber hukum materil merupakan sumber hukum
yang membahas dasar berlakunya hukum suatu negara. Dalam arti formal adalah sumber dari
Selain itu pembahas mengenai perjanjian hukum internasional, pasal 38 ayat (1) statute
mahkama internasional yanag lazim dikenal sebagai pasal yang secara resmi merupakan
sumber hukum formal dari pada hukum internasional. Menurrut pasal 38 statuta mahkama
internasional (ayat 1), ketentuan tersebut menentukaan bahwa mahkamah yang mengembang
fungsi utama untuk memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya, harus memutus perkara
maupun yang bersifat khusus, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang diakui secara tegas
4
Eddy pratomo op. cit., hal 60
3. Putusan-putusan pengadilan dan ajaran-ajaran dari sarjana yang berpotasi tinggi dari
internasional merupakan sumber hukum dalam katagori formil atau sebagai sumber hukum
formil. Urutan sumber hukum itu tidak mencerminkan peringkat urgensi dari masing-masing
sumber dan arti pentingnya tergantung dari sudut pandang orang yang menentukannya.
misalnya, dari presfektif sejarah, maka kebiasaan internasional merupakan sumber hukum
yang terpenting, karna kebiasaan merupakan sumber hukum yang tertua. Dari presfektif
realitas dan fungsinya dalam kenyataan hidup masyarakat internasional pada saat ini, maka
perjanjian internasional merupakan sumber hukum yang sangat penting, karna perjanjian
internasional merupakan instrument utama dalam pengaturan hubungan antar negara, termasuk
pengaturan masalah-masalah yang semula diatur melalui hukum kebiasaan. Dari sudut
pandang fungsi pengembangan hukum, maka prinsip-prinsip hukum umum merupakan sumber
yang penting, karna prinsi-prinsip ini memberikan dasar bagi mahkamah dalam
perjanjian internasional tidak terbatas hanya pada perjjanjian yanag dibuat oleh negara sebagai
subjek hukum internasional, melainkan juga egara dengan organisasi internasional, secara
garis besar, bentuk-bentuk utama dalam perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi
5
Hugh M. kindred, international law chiefly as interpreted and applied in Canada, emond montggomery
publication limited,Canada, 1987, hal 109
1.Perjanjian internasional yang dibuat oleh kepala negara. dalam hal ini, perjanjian
internasional dirancang sebagai suatu perjanjian antara pemengang kedaulatan dan kepala-
kepala negara.
2.Perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah. Biasanya dipakai untuk perjanjian-
3.perjanjian internasional yang dibuat antara negara (inter-states). Perjuanjian ini dibuat secara
4.Suatu perjanjian dapat dirundingkan ditanda tangani diantara menteri negara terkait,
5.Dapat berupa perjanjian antara departemen, yang dibentuk antara wakil-wakil departemen
pemerintah khusus.6
Selain itu, yang termasuk dalam katagori perjanjian internasional juga adalah
perjanjian antara negara dengan Tahta Suci, sebagai subjek hukum internasional yang diakui
negara-negara perjanjian perdata, seperti perjanjian antara serikat dagang, misalnya perjanjian
antara negara dengan meskapai minyak, dan pejanjian antara orang dengan orang atau badan
hukum atau antara badan hukum atau negara. Perjanjian internasional diklasifikasih dalam
Pertama perjanjian internasional yang bersifat mengikat (hard law) dan yang bersifat
tidak mengik at (soft law). Yang termasuk ke dalam katagori perjanjian yang bersifat mengikat
antara lain: treaty agreement, pact, dan convetion. Sedangkan katagori perjanjian yang bersifat
tidak mengikat antara lain: charter, declaration, dan resolution kedua jenis perjanjian ini
6
A.K syahmin, hukum perjanjian internasional menurut konvensi wina 1969), 1985, hal. 11.
7
Ibid
dibedakan berdasarkan materi dan sifat mengikatnya. Dari segi materi, kelompok yang pertama
merupakan perjanjian yang memuat materi yang bersifat memaksa, mengandung hak,
kewajiban, dan sanksi. Sedangkan kelompok yang kedua cendrung memuat prinsip-prinsip
pengklasifikasian berdasarkan akibat hukum yang ditimbulka oleh perjanjian yang dibuat.
mempunyai sifat seperti kontrak, sebagaiman kontrak dalam hukum perdata, karna hanya
mengikat para pihak yang membuatnya. Perjanjian ini disebut treaty contract dan law meaking
treaty. Treaty contract adalah perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang membuatnya.
Perjanjian ini hanya menimbulkan kewajiban serta tanggung jawab diantara pihak-pihak yang
membuatnya. law making treaty adalah perjanjian yang meletakan kaedah- kaedah hukum bagi
masyarakat internasional sebagai suatu keseluruhan. Disamping perbedaan dari segi hukum
atau keberlakuan peserta yang ikut dalam perjanjian tersebut. Pada treaty contract, hanya pihak
pihak perjanjian yang terlibat dalam pembentukan perjanjian. Pihak ketiga umumnya tidak
perkenankan ikut dalam proses perjanjian sedangkan peserta dalam law meaking treaty bersifat
terbuka dan umumnya melibatkan sebagian besar, jika bukan seluruh negara.8
B. Kesinambungan Asas Rebus Sic Stantibus Dan Asas Pakta Sunservanda Dalam Perjanjian
Internasional
8
Mochtar kusumaatmadja, pengantar hukum internasional, PT alumni, bandung, 2003, hal 113
Sejak abad XII dan XIII ahli hukum kamonik telah mengenal asas rebus sic stantibus
yang dalam bahasa latinnya contractus qui habent tractum succesivu et depentiam de future
rebus sic stantibus intelliguntur, yang artinya bahwa ‘’perjanjian menentukan perbuatan
selanjutnya untuk melaksanakannya pada masa yang akan datang harus diartikan tunduk
kepada persyaratan bahwa lingkungan dan keadaan di masa yang akan datang tetap sama’’9
asas rebus sic stantibus pertama kali diterapkan oleh peradilan keagamaan karna situasi
yang terjadi waktu itu adanya pemisahan antara urusan gereja dengan urusan negara 10
Sebagaimana terdapat beberapa asas penting yang menjadi dasar beroprasi atau dasar
bahwa asas Pacta sunservanda berasal dari bahasa latin yang berarti ‘’ janji harus ditepati.
Pacta sunservanada merupakan asas atau prinsip dasar dalam sistim hukum civil law, yang
dalam perkembangannya di adopsi kedalam hukum internasional. Pada dasarnya asas ini
berkaitan dengan kontrak atau perjanjian yang dilakukan diantara individu, yang
3. Kesinambungan asas rebus sic stantibus dengan asas pakta sunservanda dalam perjanjian
internasional.
9
Harry Purwanto,Keberadaana Asas Rebus Sic Stantibus Dalam Perjanjian Intrnasional,Mimbar Hukum, Jurnal
Berkala Fakultas Hukum Universitas Gadja Mada, Edisi Khusus , November 2011,Hal 103
11
harry purwanto, keberadaan asas pakta sunservanda dalam perjanjian internasional,mimbar hukum, jurnal
berkala FH UGM, volume 21,no 1 ferbuari 2009,hal 162
Hubungan antara asas rebus sic stantibus dengan asas pakta sunservanda yang
asas pakta sunservanda menjadi dasar pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak peserta
perjanjian. Hamper- hamper dapat dikatakan bahwa berlakunya asas pakta sunservanda
terpegaruh dengan suatu situasi yang terjadi pada saat itu dan pada gilirannya akan
perjanjian akan terganggu dan dibutuhkan jalan keluar pemecahannya. Situasi yang demikian
menimbulkan problem yang lebih komplek, yaitu adannya pertentangan antara daya laku
hukum secara kekal yang mempertahankan keadaan berlakunya suatu perjanjian dengan
gentili 13 dikatakan unttuk mengatasi pertentangan itu asas rebus sic stantibuslah
yang dapat melegalisir. ini artinya bahwa berlakunya asas pakta sunservanda dapat
disimpangi oleh asas rebus sic stantibus. Namun walau sudah diterima dengan baik asas
rebus sic stantibus perlu hati-hati sekali agar tidak disalah gunakan atau digunakan sebagai
alasan pembenar bagi suatu negara untuk tidak melaksanakan suatu kewajiban dalam
perjanjian. Hal ini mengigat dalam menerapkan asas rebus sic stantibus kadang-kadang
perubahan vital, dapat ditafsirkan bermacam-macam dalam praktek hubungan antar negara.
Contohnya seperti Jerman pada tahun 1941 perna berlindung dibalik asas rebus sic stantibus
12
Op,Cit, Harry Purwanto 2011,Hal 113
13
Samsuhaidy Admawirea Dalam Harry Purwanto,Ibit, Ha114
unttuk membenarkan pelanggarannya terhadap kenetralan belgia, dengan jaminan tercantum
mengikat para pihak untuk melaksanakan isi yang terkandung dalam perjanjian, kemudian
asas rebus sic stantibus sebagai jalan untuk menangguhkan dan membatalkan perjanjian
denga syarat-syarat tertentu yang juga dituangkan dalam isi perjanjian dan disepakati oleh
para pihak.
Sebagai contoh hubungan asas pada kasus kesepakatan konverensi meja bundar antar
Indonesia dan Timor leste, berdasarakan asas pakta sunservanda kedua bela pihak indonesia
dan Timor leste melaksanakan isi perjanjian, namun dengaan seiring berjalannya waktu
Timor leste mengalami perubahan yang sangat fundamental, sehingga Timor leste menjadi
suatu negara baru dalam tatanan bernegara dan berbangsa. Sehingga jika kita mengkaji
contoh kasus tersebut dapat dikatakan asas rebus sic stantibus dapat menjadi alasan untuk
meniadikan asas pakta sunservanda dalam perjanjian internasional antar negara baik itu
yang bersifat bilateral, multilateral, dan regional. Keberadaan kedua asas dalam perjanjian
telah dikenal oleh masyarakat internasional, dan keduanya menjadi landasan pembentukan
perjanjian internasionl antar negara. Dimana dengan adanya asas pakta sunservanda
dijadikan sebagai dasar beroperasinya atau berlakunya suatau perjanjian, sedangkan asas
rebus sic stantibus menjadi dasar para pihak dalam perjanjian dapat menyatakan menunda
atau membatalkan, mengundurkan diri dari perjanjian yang telah di sepakati sepanjang
dipenuhi syarat-syarat sebagai mana tercantum dalam pasal 62 konvensi wina 1969.
Kemudian hal ini disepakati oleh para pihak yang melakukan perjanjian. kedua asas tersebut
juga sama-sama eleman penting dalam pembentukan perjanjian internasional baik hubungan
bilateral, multirateral dan regional,dimana disatu sisi asas pakta sunservanda memberikan
ketegasan adanya keterikatan para pihak untuk menaati dan melaksanakan perjanjian,
kemudian asas rebus sic stantibus memberikan jalan keluar apabila ingin ditangguhkannya
atau dibatalkannya suatu perjanjian yang tentunya sesuai persyaratan yang berlaku dalam
perjanjian tersebut.14
Perjanjian internasional dalam praktek diplomatik modern, telah menjadi satu bagian
internasional dalam hukum internasional ditandai dengan fakta bahwa dewasa ini hukum
yang terutama dan sangat penting dan bersejarah dalam perkembangan hukum internasional
sebagai hukum internasional adalah Vienna convention on the law of treatis 1969 atau yang
kita kenal sebagai konvensi wina 1969. konvensi ini memiliki peranan yang sangat penting
Defenisi perjanjian internasional berdasarkan pasal 2 ayat (1) huruf a konvensi wina
14
Konvensi Wina 1969
Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tntang Hukum Perjanjian Intrnasional
Pasal tersebut bermakna bahwa perjanjian yang dimaksud adalah suatu persetujuan
internasional yang diadakan antara negara-negara dalam bentuk yang tertulis dan diatur
oleh hukum internasional, baik yang berupa satu instrument tunggal atau berupa dua atau
lebih instrument yang saling berkaitan tanpa memandang apapun juga namanya.
Selain itu oleh para ahli hukum, yakni BOER MAUNA berpendapat bahwa perjanjian
internasional adalah instrumen yuridis yang menampung kehendak dan persetujuan Negara
atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama, yang mana
pembuatannya diatur oleh hukum internasional dan menimbulkan akibat hukum yang
internasional adalah kata sepakat antara dua atau lebih subjek hukum internasional
,engenai suatu objek atau masalah tertentu dengan maksud atau hubungan hukum atau
melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum perjanjian internasional. Selain
internasional yang merupakan bentuk yang digunakan oleh banyak Negara- Negara di
a. Traktat ( treaties)
Treaties biasanya secara umum diartikan sebagai segala bentuk perjanjian
internasional, namun secara khusus merujuk kepada perjanjian internasional yang
15
Boer mauna, hukum internasional: pengertian, peranan, dan fungsi dalam era dinamika global, PT, alumni,
bandung, 2008, hal 85.
16
D.P.O’connel, internasional law, vol 1, London; stevens dan sons, 1970, hal.195,sebagaimana dikutip dalam
syahmin a k , hukum perjanjian internasional menurut konvensi wina 1969, amico, bandung 1985,hal 65.
sangat formal dan penting. biasanya treates digunakan untuk perjanjian-perjanjian
yang bersifat multirateral. Namun adapula yang menggunakannya dalam tingkatan
bilateral, sehingga penggunaan bentuk ini tidak memiliki keseragaman .
b. Konvensi (convention)
Pengaturan umum konvensi juga mencakup pula perjanjian internasional secara
umum. Sehingga pengertiannya dapat disamakan dengan pengertian treaty. trakta
dan konvensi sama-sama memiliki kedudukan yang tinggi dalam urutan perjanjian
internasional selanjutnya, konvensi sendiri digunakan dalam perjanjian
internasional multilateral yang mengalibatkan banyak pihak. Hal ini dikarenakan
karna sifatnyaa law making yaitu merumuskan kaidah-kaidah hukum bagi
masyarakat internasional.17
c. Persetujuan ( agreement )
Bentuk persetujuan ( agreement ) dalam perjanjian internasional juga memiliki
pengertian umum yang menncakup seluru jenis perangkat internasional dan
biasanya memiliki kedudukan yang lebih rendah dari pada trakta dan konvensi.
Agreement digunakan untuk perjanjian yang mengatur materi mengenai bidang
ekonomi, kebudayaan, teknik dan ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah
perjanjian internasional yang memiliki kedudukan dibawah traktat dan konvensi .
biasanya bentuk agrement biasanya digunakan untuk perjanjian-perjanjian
multilateral.18
d. Protokol (protocol) protol merupakan jenis perjanjian internasional yang kurang
formal, jika dibandingkan dengan traktat (treaty) ataupun konvensi (convention).
Selanjuttnya starke mengklarifikasihkan pengggunaan istilah protocol ini dalam
beberapa golongan, yaitu:
1) Protocol yang merupakan suatu instrument tambahan dari suatu konvensi yang
dibuat oleh negara-negara yang melakukan perundingan, yang d erajatnya sam
a dengan konvensi itu sendiri. Protocol semacam iini biasanya disebut
protocol penandatanganan, yang isinya mengenai interpretasi asas klausula-
klausula dari konvensi tersebut, atau sebagai ketentuan pelengkap yang
derajatnya lebih rendah, ataupun sebagai klausa normal yang tidak disisipkan
pada konvensi. Ratifikasih yang dilakukan oleh suatu negara atas konvensinya,
dengan sendirinya berarti pula merupakan ratifikasih yang dilakukaan oleh
suatu negara atau konvensinya.
2) Protocol yang merupakan suatu instrument pembantu pada suatu konvensi
tetapi berkedudukan secara diri senndiri dan berlaku serta tunduk pada
ratifikasi atau konvensi itu sendiri. Protokol semacam ini biasanya dibuat
dalam wakktu yang sangat berbeda atau tidak bersamaan dengan perumusan
naskah konvensinya itu sendiri, misalnya dibuat beberapa tahun ke mudian
setelah berlakunya konvensi yang bersangkutan.
3) Protocol sebagai suatu perjanjian yang sifat dan derajatnya sama dengan
konvensi
17
Departemen luar negeri, pelatihan pembuatan kontrak internasional , makalah Surabaya 2002.
18
http://pkndisma. Blogspot.com/2013/01/bentuk-bentuk perjanjian internasional.html?m=1
4) Protocol yang merupakan rekaman atas saling pengertian antara para pihak
mengenai masalah-masalah tertentu yang menurut strake lebis sering dibuat
dengan istilah procees herbal.
e. Deklarasi (declaration) deklarasi juga merupakan suatau perjanjian yang berisi
ketentuan-ketentuan umum dimana para pihak pada deklarasi tersebut berjanji
untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut diimana yang akan
datang. Deklarasi memiliki isi yang singkat dan ringkas, serta menyampingkan
ketentuan-ketentuan yang bersifat formal seperti diperlukan “surat kuasa” atau
persyaratan kualifikasih19
f. Piagam istilah piagam atau charter juga bisa digunakan untuk perjanjian-perjanjian
internasional yang dijadikan sebagai konstitusi suatu organisasi internasiona.
Organisasi internasional yang menggunakan istilah piagam atau charter untuk
konstitusinya, misalnya perserikatan bangsa-bangsa yang piagamnya secara
otentik disebut charter of the united nation,demikin juga organisasi persatuan yang
piagamnya bernama charte of the african unity, dan charter of the American
state,1948.
g.Memorandum kesepahaman (Memorandum of understanding)
Memorandum of understanding atau yang dikenal dengan MOU, merupakan salah
satau bentuk perjanjian yang popular. Bentuk MOU ini merujuk pada perjanjian
perjanjian yang kurang formal dan memiliki unsur teknik yang kental. Namun
pada perkembangan lebih lanjut MOU juga sering digunakan pada perjanjian
perjanajian internasional yang formal.20
Dalam perjanjian internasional terkait dengan kasus timor GAP (gender analisys
padwael) istilah atau bentu perjanjian yang digunakan dalam perjanjian timor gap
perjanjian timor gap (general analisys patwael) antara negara Indonesia dan Australia
masing, sampai saat ini belum dapat keseragaman tentang tata cara pembentukan perjanjian
19
Ddepartemen luar negeri, pelatihan pembuatan kontrak internasional, makalah,Surabaya,2002,hal 6.
20
Departemen luar negeri,pelatihan pembuatan kontrak internasional, makalah,Surabaya, 2002,hal 7.
ditandainya dengan munculnya berbagai aktor hubungan internasional selain
negara.eksistensi dan kipra mengenai aktor-aktor tersebut ternyata menyentuh sejumlah isu
yang berkaitan dengan norma dan kebiasaan internasional. Diakuinya hak dan dibebankan
subjek-subjek hukum internasional yang memiliki kapasitas terbatas (limited capacity) atau
yang dimiliki oleh subjek-subjek hukum untuk membuat perjanjian internasional dalam
status yang menentukan dapat dan tidaknya subjek tersebut menjadi pihak dalam perjanjian
Sebagai pengangan dari segi teoritis dan praktik menurut konvensi 1969 yang dapat
melakukan perjanjian internasional hanya terbatas kepala negara (pasal 1), tetapi tidak
tahta suci, palang merah internasional, dan belliigerens untuk dapat melakukan perjanjian
bukan negara diatur secara tersendiri artinya bukan diatur oleh konvensi wina 1969.
Pada umumnya bentuk dan nama perjanjian menunjukan bawa materi yang diatur
oleh perjanjian memiliki substansi yang berbeda tingkatannya namun tidak mengurangi hak
dan kewajiban para pihak yang tertuang dalam perjanjian internasional. penggunaan bentuk
dan nama tertentu dalam perjanjian intternasional menunjukan maksud dan keinginan para
21
Parthiana I wayan ,hukum perjanjian internasional,mandar maju,cv,bandung,bagian (1), 2002,hal 18.
pihak terkait dengan dampak politik dan hukum, sehingga apapun bentuknya perjanjian
internasional akan berlaku dan mengikat dengan didasarkan pada seberapa besar para pihak
dalam perjanjian yang memberikan kekuatan hukum.hal ini yang tercermin dalam asas
pacta sunt sevvanda yang berlaku pada setiap proses pembuatan perjanjian interrnasional.22
terperinci, prosedur atau tahapan dari suatu perjanjian pembentukan perjanjian internasional
mengenai masalah pembentukan perjanjian ini mengikuti pola yang tertentu dan disertai
1) Harus dilakukan oleh wakil yang berkuasa penuh untuk dapat berunding, menerima
2) Perundingan (negotiaton)
dilakukan oleh wakil negara yang telah ditunjukan dan dilengkapi dengan dokumen
full power. Dokumen ini tidak menjadi penting untuk diberikan kepada wakil negara
apabila perwakilan negara tersebut adalah orang yang memiliki posisi atau jabatan
dengan cara konferensi diplomatik yang kemudian hasil akhir dari negosiasi ini akan
dilakukan penerimaan dan pengadopsian naskah perjanjian ini sesuai dengan pasal 9
22
Ddepartemen luar negeri,ppelatihan pembuatan kontrrak perjanjian intternasional,makalah, Surabaya, 2002,hal
71.
ayat 1 konvensi wina 1969 yang mana penerimaan dan pengadopsian naskah
konvensi wina 1969. Penandatanganan bagi perjanjian internasional yang dua tahap
berlaku namun para pihak belum terikat. Dalam prktek perjanjian internasional dua
tahap biasanya akan diberi tenggang waktu hingga sebilan bulan jika lewat dari
waktu yang ditentukan, maka pihak yang ingin mengikatkan diri terhadap perjanjian
perjanjian tidak secara langsung perjanjian tersebut akan berlaku dan mengikat para
pihak, maka tiga tahap perjanjian internasional dapat dibutuhkan adanya ratifikasi.
4) Pengesahan (ratification)
menyebut suatu ratifikasih akan tetapi pengesahan dapat dilakukan melalui beberapa
negara dan mengikat negara yang mempunyai hak untuk meninjau kembali
kewajiban yang ada dalam perjanjian internasional tersebut, maka dari itu keterikan
perjanjian bilateral para pihak akan menukarkan dokumen yang telah ditanda tangani
Naskah suatu perjanjian diterima dengan suatu bulat yakni persetujuan penuh dari
suatu negara yang turut serta dalam perjanjian, ketentuan suara bulat berlaku mutlak
penerimaan naskah secara bulat bagi para pihak sangat mudah dicapai, demikian pula
dalam perjanjian multilateral dimana jumlah anggota masih terbatas. Untuk ASEAN
yang beranggotanya 10 negara atau uni Eropa dengan 15 negara, masih tidak terlalu sulit
untuk mengambil keputusan dengan suara bulat. Tetapi dengan perjanjian multilateral
dengan puluhan peserta, misalnya ; PBB dengan 189 negara anggota, maka pengambilan
keputusan dengan suara bulat tidak tidak mungkin untuk dicapai. Dalam praktek maka
23
E-journal.uajy.ac.id.HK121092.pdf. diakses 10 desember 2020.hal30-32.
Penerimaan naskah (adoption of the text) suatu perjanjian dalam suatu
dilakukan dengan dua per tiga suara dari peserta komperensi, kecuali bila peserta
tindakan untuk menyetujui garis-garis besar isi perjanjian namun belum memuat isi
1) Penerimaan naskah ditentukan dengan persetujuan dari semua peserta (secara bulat);
atau
2) Mayoritas dua per tiga dari peserta yang hadir akan memberikan suara. Ketentuan
mengenai suara dua per tiga dari peserta dalam praktek lazim digunakan seperti
Nampak dalam PBB. Nampaknya ketentuan ini telah diterima dalamm konvensi wina
24
1969 tentang hukum perjanjian.
naskah yang terakhir, dilakukan dengan cara yang disetujui antara negara-negara peserta
yang mengadakan perundingan itu. Pengesahan bunyi naskah adalah sala satu tindakan
didalam proses perundingan itu. Pengesahan bunyi naskah adalah suatu tindakan didalam
proses pembuatan perjanjian yang mengakhiri definitif naskah yang sudah dibuat. Dan
naskah itu tidak bole dirubah-rubah lagi. Menurut pasal 10 konvensi wina 1969,
24
A. K Syahmin, hukum perjanjian internasional menurut konvensi wwina 1969, 1985, hal 11.
pengesahan bunyi naskah suatu perjanjian dilakukan melalui prosedur yang terdapat
dalam naskah perjanjian itu sendiri atau dengan sesuai dengan apa yang diputuskan oleh
wakil-wakil yang ikut dengan komprensi. Kalau tidak ditentukan sebelumnya maka
otentikasi itu dapat dilakukan dengan membubuhi tanda tangan dibawah naskah
internasional.
Seperti yang telah diuraikan terlebih dahulu bahwa lahirnya suatu perjanjian
mulai berlakunya suatu perjanjian, baik itu bilateral maupun multilateral pada
umumnya ditentukan oleh klausula penutup dari perjanjian itu. Jadi negara-negara
efektif.
melahirkan kaedah-kaedah hukum yang berlaku umum (lau making treaty), saat
mulai berlakunya ditentukan dengan suatu rumusan tertentu selain prinsip yang
diatur dalam pasal 24 tersebut diatas, konfensi wina juga mengatur pemberlakuan
sebagian dari suatu perjanjian diberlakukan sementara sambil menunggu saat mulai
25
Budiono kusumohamidjojo, suatu studi terhadap aspek oprasonal konvensi wina tahun 1969 tentang hukum
perjanjian, binacipta,bandung, 1986, hal 8.
berlakunya; jika ditentukan demikian dalam perjanjian atau negara-negara yang
Prakteknya kata sepakat para pihak tersebut dapat dibagi dalam dua katagori
mana tidak diperlukan lagi proses penyesahan lebih lanjut dan perjanjian-perjanjian
Perjanjian bilateral tertentu yang rasa tidak begitu penting dan biasanya
Hal ini disebabkan karna banyak pihak negara-negara dalam perjanjian ini,
ASEAN, mungkin saja digiunakan klausa yang mulai berlaku sejak tanggal
26
Departemen luar negeri, pelatihan pembuatan kontrak internasional,makalaah, Surabaya,2002, hal 80
27
Boer mauna op.cit., hal.. 125
prosedur konstitusional yang berlaku dimasing-masing pihak. Untuk dapat
kepada pihak lainnya, demikian sebaliknya; hal ini disebut notifikasih. tanggal
perjanjian misalnya ada yang menyebutkan sehari setelah nota terakhir atau tiga
Secara umum, alasan atau factor yang dapat mengakibatkan berakhirnya masa
perjanjian lama
perjanjian
5. Salah satu pihak menarik diri dari perjanjian, dan penarikan diri tersebut diterima
oleh pihak lain, dengan akibat perjanjian itu tidak berlaku lagi.
7. Musnah atau hapusnya eksistensi dari salah satu pihak atau peserta dari perjanjian
itu28
28
I wayan parthiana , pengantar hukum perjanjian internasional, mandar maju, bandung, hal 185-186
Suatu perjanjian internasional bisa berakhir karna hukum dan tindakan-
perjanjian internasional bisa punah atau berakhir karna sebab-sebab di bawah ini;
internasional, dapat dilihat bahwa perjanjian itu berakhir dalam banyak hal yang diatur oleh
para peserta perjanjian yang berupa ketentuan-ketentuan yang disepakati kedua bela pihak
yang mengikat mereka. Mengenai berakhir suatu perjanjian sesuai dengan ketentuan telah
diatur dalam pasal 54 konvensi wina 1969 yang menyebutkan berakhirnya suatu perjanjian
atau penarikan diri suatu negara dapat terjadi sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri.
29
Mokthar kusumaatmadja, pengantar hukum perjanjian internasional, edisi ke dua, pt alumni, bandung, 2003,
hal 128.