Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. HUKUM INTERNASIONAL DALAM PRESFEKTIF SUMBER HUKUM UMUM

Sumber hukum (the source of law) secara umum diartikan sebagai sumber hasil

kewenangan dan kekuatan memaksa dari suatu produk hukum positif (the origins from which

particular positive law derive their authority and coercive force).1 Sumber hukum, termasuk

sumber hukum internsional (the source of international law), mencakup pengertian formal,

yaitu sebagai sumber hukum formal; dan material yaitu sebagai sember hukum material.

Menurut Salmond, pengertian hukum formal dan material adalah sebagai berikut:

‘’A formal source is that from which a rule of law derives its force and validity. The
material source, on the other hand, are those from which is derived th matter, not th
validity of the law. The material source supplies the substance of the rule to which the
formal source gives the formal source gives the force and nature of law.’’2
Sumber formal adalah sumber kekuatan memaksa dan dasar keabsahan suatu produk

hukum. Sedangkan sumber material adalah sumber materi dari suatu produk hukum. Sebagai

contoh kekuatan mengikat suatu ketentuan hukum. Suatu ketentuan hukum mengikat secara

hukum apabila ketentuan memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan oleh kebiasaan, yang

merupakan sumber hukum formal dari hukum internasional, dan materinya diperoleh dari

praktek negara-negara, yang merupakan sumber material dan kebiasaan.3

1
Henry campbell,black’’s law dictionary, fifth edition, west publishing, St, Paulminn, 1979, hal 1251
2
D. J. Harris , case and materials on internasional law, third edition,swet & Maxwell, London, 1983, hal. 20.
3
Ibid
Dua jenis pembedaan sumber hukum internasional yakni dalam arti materil

mempersoalkan apakah yang menjadi dasar kekuatan mengikat suatu hukum internasional,

sedangkan dalam arti formil memberi jawaban atas pertanyaan dimana terdapat ketentuan

hukum yang dapat diterapkan sebagai kaidah hukum internasional.4 Mocthar kusumaadmadja

mengatakan bahwa sumber hukum internasional ini dibedakan menjadi dua arti yakni sumber

hukum materil dan sumber hukum formil. Sumber hukum materil merupakan sumber hukum

yang membahas dasar berlakunya hukum suatu negara. Dalam arti formal adalah sumber dari

mana kita mendapatkan atau menemukan ketentuan-ketentuan hukum internasional.

Selain itu pembahas mengenai perjanjian hukum internasional, pasal 38 ayat (1) statute

mahkama internasional yanag lazim dikenal sebagai pasal yang secara resmi merupakan

sumber hukum formal dari pada hukum internasional. Menurrut pasal 38 statuta mahkama

internasional (ayat 1), ketentuan tersebut menentukaan bahwa mahkamah yang mengembang

fungsi utama untuk memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya, harus memutus perkara

berdasarkan hukum internasional yang mencakuap.

Perjanjiana internasional (international convention), baik yang berfungsi umum

maupun yang bersifat khusus, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang diakui secara tegas

oleh negara-negara yang bersengketa.

1. Kebiasaan internasional (international custom), yang merupakan praktek yang bersifat

umum dan diterima sebagai hukum.

2. Prinsip dan asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradap.

4
Eddy pratomo op. cit., hal 60
3. Putusan-putusan pengadilan dan ajaran-ajaran dari sarjana yang berpotasi tinggi dari

berbagai bangsa sebagai sumber tambahan dalam kaidah-kaidah hukum.5

Sumber hukum yang sebagaimana diatur dalam pasal 38 statuta mahkamah

internasional merupakan sumber hukum dalam katagori formil atau sebagai sumber hukum

formil. Urutan sumber hukum itu tidak mencerminkan peringkat urgensi dari masing-masing

sumber dan arti pentingnya tergantung dari sudut pandang orang yang menentukannya.

misalnya, dari presfektif sejarah, maka kebiasaan internasional merupakan sumber hukum

yang terpenting, karna kebiasaan merupakan sumber hukum yang tertua. Dari presfektif

realitas dan fungsinya dalam kenyataan hidup masyarakat internasional pada saat ini, maka

perjanjian internasional merupakan sumber hukum yang sangat penting, karna perjanjian

internasional merupakan instrument utama dalam pengaturan hubungan antar negara, termasuk

pengaturan masalah-masalah yang semula diatur melalui hukum kebiasaan. Dari sudut

pandang fungsi pengembangan hukum, maka prinsip-prinsip hukum umum merupakan sumber

yang penting, karna prinsi-prinsip ini memberikan dasar bagi mahkamah dalam

mengembangkan kaidah hukum baru dalam penanganan perkara.

Perjanjian internasional didefenisikan sebagai perjanjian yang diadakan antara negara

dan bertujuan menimbulkan akibat hukum tertentu, namun dalam perkembangannya,

perjanjian internasional tidak terbatas hanya pada perjjanjian yanag dibuat oleh negara sebagai

subjek hukum internasional, melainkan juga egara dengan organisasi internasional, secara

garis besar, bentuk-bentuk utama dalam perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi

5
Hugh M. kindred, international law chiefly as interpreted and applied in Canada, emond montggomery
publication limited,Canada, 1987, hal 109
1.Perjanjian internasional yang dibuat oleh kepala negara. dalam hal ini, perjanjian

internasional dirancang sebagai suatu perjanjian antara pemengang kedaulatan dan kepala-

kepala negara.

2.Perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah. Biasanya dipakai untuk perjanjian-

perjanjian khusus dan non politis.

3.perjanjian internasional yang dibuat antara negara (inter-states). Perjuanjian ini dibuat secara

tegas atau implinsit sebagai suatu perjanjian antara negara-negara.

4.Suatu perjanjian dapat dirundingkan ditanda tangani diantara menteri negara terkait,

umumnya menteri luar negeri negara masing-masing.

5.Dapat berupa perjanjian antara departemen, yang dibentuk antara wakil-wakil departemen

pemerintah khusus.6

Selain itu, yang termasuk dalam katagori perjanjian internasional juga adalah

perjanjian antara negara dengan Tahta Suci, sebagai subjek hukum internasional yang diakui

negara-negara perjanjian perdata, seperti perjanjian antara serikat dagang, misalnya perjanjian

antara negara dengan meskapai minyak, dan pejanjian antara orang dengan orang atau badan

hukum atau antara badan hukum atau negara. Perjanjian internasional diklasifikasih dalam

beberapa bentuk antara lain.7

Pertama perjanjian internasional yang bersifat mengikat (hard law) dan yang bersifat

tidak mengik at (soft law). Yang termasuk ke dalam katagori perjanjian yang bersifat mengikat

antara lain: treaty agreement, pact, dan convetion. Sedangkan katagori perjanjian yang bersifat

tidak mengikat antara lain: charter, declaration, dan resolution kedua jenis perjanjian ini

6
A.K syahmin, hukum perjanjian internasional menurut konvensi wina 1969), 1985, hal. 11.
7
Ibid
dibedakan berdasarkan materi dan sifat mengikatnya. Dari segi materi, kelompok yang pertama

merupakan perjanjian yang memuat materi yang bersifat memaksa, mengandung hak,

kewajiban, dan sanksi. Sedangkan kelompok yang kedua cendrung memuat prinsip-prinsip

hukum yang mengikat di dasarkan pada kerelaan negara-negara yang menggunakannya.

Kedua, pengklafsifikasi lainnya yang sebetulnya lebih penting, adalah

pengklasifikasian berdasarkan akibat hukum yang ditimbulka oleh perjanjian yang dibuat.

Berdasarkan pengklafikasian ini, perjanjian internasional diklafikasikan atas: perjanjian yang

mempunyai sifat seperti kontrak, sebagaiman kontrak dalam hukum perdata, karna hanya

mengikat para pihak yang membuatnya. Perjanjian ini disebut treaty contract dan law meaking

treaty. Treaty contract adalah perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang membuatnya.

Perjanjian ini hanya menimbulkan kewajiban serta tanggung jawab diantara pihak-pihak yang

membuatnya. law making treaty adalah perjanjian yang meletakan kaedah- kaedah hukum bagi

masyarakat internasional sebagai suatu keseluruhan. Disamping perbedaan dari segi hukum

atau keberlakuan peserta yang ikut dalam perjanjian tersebut. Pada treaty contract, hanya pihak

pihak perjanjian yang terlibat dalam pembentukan perjanjian. Pihak ketiga umumnya tidak

perkenankan ikut dalam proses perjanjian sedangkan peserta dalam law meaking treaty bersifat

terbuka dan umumnya melibatkan sebagian besar, jika bukan seluruh negara.8

B. Kesinambungan Asas Rebus Sic Stantibus Dan Asas Pakta Sunservanda Dalam Perjanjian

Internasional

1. Asas rebus sic stantibus

8
Mochtar kusumaatmadja, pengantar hukum internasional, PT alumni, bandung, 2003, hal 113
Sejak abad XII dan XIII ahli hukum kamonik telah mengenal asas rebus sic stantibus

yang dalam bahasa latinnya contractus qui habent tractum succesivu et depentiam de future

rebus sic stantibus intelliguntur, yang artinya bahwa ‘’perjanjian menentukan perbuatan

selanjutnya untuk melaksanakannya pada masa yang akan datang harus diartikan tunduk

kepada persyaratan bahwa lingkungan dan keadaan di masa yang akan datang tetap sama’’9

asas rebus sic stantibus pertama kali diterapkan oleh peradilan keagamaan karna situasi

yang terjadi waktu itu adanya pemisahan antara urusan gereja dengan urusan negara 10

2. Asas pacta sunservanda

Sebagaimana terdapat beberapa asas penting yang menjadi dasar beroprasi atau dasar

pelaksanaan perjanjian internasional, seperti asas pakta sunservanda , dapat diuraikan

bahwa asas Pacta sunservanda berasal dari bahasa latin yang berarti ‘’ janji harus ditepati.

Pacta sunservanada merupakan asas atau prinsip dasar dalam sistim hukum civil law, yang

dalam perkembangannya di adopsi kedalam hukum internasional. Pada dasarnya asas ini

berkaitan dengan kontrak atau perjanjian yang dilakukan diantara individu, yang

mengandung makna bahwa.

a. Perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

b. Mengisyaratkan bahwa pengingkaran terhadap kewajiban yang ada pada perjanjian

merupakan tindakan melanggar janji atau wanprestasi.11

3. Kesinambungan asas rebus sic stantibus dengan asas pakta sunservanda dalam perjanjian

internasional.

9
Harry Purwanto,Keberadaana Asas Rebus Sic Stantibus Dalam Perjanjian Intrnasional,Mimbar Hukum, Jurnal
Berkala Fakultas Hukum Universitas Gadja Mada, Edisi Khusus , November 2011,Hal 103

11
harry purwanto, keberadaan asas pakta sunservanda dalam perjanjian internasional,mimbar hukum, jurnal
berkala FH UGM, volume 21,no 1 ferbuari 2009,hal 162
Hubungan antara asas rebus sic stantibus dengan asas pakta sunservanda yang

menjadi dasar pembentukan perjanjian-perjanjian internasional. Dengan berdasarkan pada

asas pakta sunservanda menjadi dasar pelaksanaan hak dan kewajiban para pihak peserta

perjanjian. Hamper- hamper dapat dikatakan bahwa berlakunya asas pakta sunservanda

merupakan norma dasar (grundnorm)12

Asas pakta sunservan dalam perkembangannya, mengalami pergeseran dalam

mempertahankan berlakunya suatu perjanjian, sebab pada kenyataannya suatu perjanjian

terpegaruh dengan suatu situasi yang terjadi pada saat itu dan pada gilirannya akan

mempengaruhi kewajiban-kewajiban para pihak. Bila demikian jadinya maka berlakunya

perjanjian akan terganggu dan dibutuhkan jalan keluar pemecahannya. Situasi yang demikian

menimbulkan problem yang lebih komplek, yaitu adannya pertentangan antara daya laku

hukum secara kekal yang mempertahankan keadaan berlakunya suatu perjanjian dengan

kekuatan- kekuatan yang menghendaki adanya perubahan.

gentili 13 dikatakan unttuk mengatasi pertentangan itu asas rebus sic stantibuslah

yang dapat melegalisir. ini artinya bahwa berlakunya asas pakta sunservanda dapat

disimpangi oleh asas rebus sic stantibus. Namun walau sudah diterima dengan baik asas

rebus sic stantibus perlu hati-hati sekali agar tidak disalah gunakan atau digunakan sebagai

alasan pembenar bagi suatu negara untuk tidak melaksanakan suatu kewajiban dalam

perjanjian. Hal ini mengigat dalam menerapkan asas rebus sic stantibus kadang-kadang

masih menimbulkan kekaburan didalam pelaksanaannya. Apa yang dimaksud dengan

perubahan vital, dapat ditafsirkan bermacam-macam dalam praktek hubungan antar negara.

Contohnya seperti Jerman pada tahun 1941 perna berlindung dibalik asas rebus sic stantibus

12
Op,Cit, Harry Purwanto 2011,Hal 113
13
Samsuhaidy Admawirea Dalam Harry Purwanto,Ibit, Ha114
unttuk membenarkan pelanggarannya terhadap kenetralan belgia, dengan jaminan tercantum

dalam perjanjian London 183

Hubungan kedua asas ini ialah sebagai landasan pembentukan perjanjian

internasional bagi Negara-negara yang melakukannya, dimana asas pakta sunservanda

mengikat para pihak untuk melaksanakan isi yang terkandung dalam perjanjian, kemudian

asas rebus sic stantibus sebagai jalan untuk menangguhkan dan membatalkan perjanjian

denga syarat-syarat tertentu yang juga dituangkan dalam isi perjanjian dan disepakati oleh

para pihak.

Sebagai contoh hubungan asas pada kasus kesepakatan konverensi meja bundar antar

Indonesia dan Timor leste, berdasarakan asas pakta sunservanda kedua bela pihak indonesia

dan Timor leste melaksanakan isi perjanjian, namun dengaan seiring berjalannya waktu

Timor leste mengalami perubahan yang sangat fundamental, sehingga Timor leste menjadi

suatu negara baru dalam tatanan bernegara dan berbangsa. Sehingga jika kita mengkaji

contoh kasus tersebut dapat dikatakan asas rebus sic stantibus dapat menjadi alasan untuk

meniadikan asas pakta sunservanda dalam perjanjian internasional antar negara baik itu

yang bersifat bilateral, multilateral, dan regional. Keberadaan kedua asas dalam perjanjian

telah dikenal oleh masyarakat internasional, dan keduanya menjadi landasan pembentukan

perjanjian internasionl antar negara. Dimana dengan adanya asas pakta sunservanda

dijadikan sebagai dasar beroperasinya atau berlakunya suatau perjanjian, sedangkan asas

rebus sic stantibus menjadi dasar para pihak dalam perjanjian dapat menyatakan menunda

atau membatalkan, mengundurkan diri dari perjanjian yang telah di sepakati sepanjang

dipenuhi syarat-syarat sebagai mana tercantum dalam pasal 62 konvensi wina 1969.

Kemudian hal ini disepakati oleh para pihak yang melakukan perjanjian. kedua asas tersebut
juga sama-sama eleman penting dalam pembentukan perjanjian internasional baik hubungan

bilateral, multirateral dan regional,dimana disatu sisi asas pakta sunservanda memberikan

ketegasan adanya keterikatan para pihak untuk menaati dan melaksanakan perjanjian,

kemudian asas rebus sic stantibus memberikan jalan keluar apabila ingin ditangguhkannya

atau dibatalkannya suatu perjanjian yang tentunya sesuai persyaratan yang berlaku dalam

perjanjian tersebut.14

C. Pengaturan Umum Tentang Perjanjian Internasional Dalam Konvensi Wina 1969

Perjanjian internasional dalam praktek diplomatik modern, telah menjadi satu bagian

penting dalam hukum internasional, perkembangan pentingnya peranan perjanjian

internasional dalam hukum internasional ditandai dengan fakta bahwa dewasa ini hukum

internasional sebagian besar terdiri dari perjanjian-perjanjian internasional, instrument hukum

yang terutama dan sangat penting dan bersejarah dalam perkembangan hukum internasional

sebagai hukum internasional adalah Vienna convention on the law of treatis 1969 atau yang

kita kenal sebagai konvensi wina 1969. konvensi ini memiliki peranan yang sangat penting

mengigat substansi pembahasannya yang terkait dengan perjanjian internasional dengan

negara sebagai subjek dari pembuat perjanjian internasional itu sendiri :

1. Pengertian dan peristilahan perjanjian internasional

Defenisi perjanjian internasional berdasarkan pasal 2 ayat (1) huruf a konvensi wina

1969 yang menyebutkan bahwa :

for the purposes of the present convention:‘’treaty’’ means an international


agreement concluded between states in written form and governed by
international law, whether embodied in a single instrument or in two or more
related instruments and whatever its particular designation;

14
Konvensi Wina 1969
Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tntang Hukum Perjanjian Intrnasional
Pasal tersebut bermakna bahwa perjanjian yang dimaksud adalah suatu persetujuan

internasional yang diadakan antara negara-negara dalam bentuk yang tertulis dan diatur

oleh hukum internasional, baik yang berupa satu instrument tunggal atau berupa dua atau

lebih instrument yang saling berkaitan tanpa memandang apapun juga namanya.

Selain itu oleh para ahli hukum, yakni BOER MAUNA berpendapat bahwa perjanjian

internasional adalah instrumen yuridis yang menampung kehendak dan persetujuan Negara

atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama, yang mana

pembuatannya diatur oleh hukum internasional dan menimbulkan akibat hukum yang

mengikat bagi para pihak yang membuatnya.15 O’connel menyatakan bahwa

‘a treaty is engagement between states, governed by international law as distinct


from municipal law, the from and manner of which is immaterial to the legal
consequences of the act. Artinya bahwa, suatu perjanjian adalah perjanjian antara
Negara -Negara yang diatur oleh hukum internasional sebagai berbeda dari hukum
kota, bentuk dan cara yang tidak material terhadap konsekuensi hukum dari tindakan
tersebut.16

Sedangkan secara umum II Wayan Parthiana berpendapat bahwa perjanjian

internasional adalah kata sepakat antara dua atau lebih subjek hukum internasional

,engenai suatu objek atau masalah tertentu dengan maksud atau hubungan hukum atau

melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum perjanjian internasional. Selain

pengertian perjanjian internasional, terdapat pula berapa istilah mengenai perjanjian

internasional yang merupakan bentuk yang digunakan oleh banyak Negara- Negara di

dunia antara lain ;

a. Traktat ( treaties)
Treaties biasanya secara umum diartikan sebagai segala bentuk perjanjian
internasional, namun secara khusus merujuk kepada perjanjian internasional yang

15
Boer mauna, hukum internasional: pengertian, peranan, dan fungsi dalam era dinamika global, PT, alumni,
bandung, 2008, hal 85.
16
D.P.O’connel, internasional law, vol 1, London; stevens dan sons, 1970, hal.195,sebagaimana dikutip dalam
syahmin a k , hukum perjanjian internasional menurut konvensi wina 1969, amico, bandung 1985,hal 65.
sangat formal dan penting. biasanya treates digunakan untuk perjanjian-perjanjian
yang bersifat multirateral. Namun adapula yang menggunakannya dalam tingkatan
bilateral, sehingga penggunaan bentuk ini tidak memiliki keseragaman .

b. Konvensi (convention)
Pengaturan umum konvensi juga mencakup pula perjanjian internasional secara
umum. Sehingga pengertiannya dapat disamakan dengan pengertian treaty. trakta
dan konvensi sama-sama memiliki kedudukan yang tinggi dalam urutan perjanjian
internasional selanjutnya, konvensi sendiri digunakan dalam perjanjian
internasional multilateral yang mengalibatkan banyak pihak. Hal ini dikarenakan
karna sifatnyaa law making yaitu merumuskan kaidah-kaidah hukum bagi
masyarakat internasional.17

c. Persetujuan ( agreement )
Bentuk persetujuan ( agreement ) dalam perjanjian internasional juga memiliki
pengertian umum yang menncakup seluru jenis perangkat internasional dan
biasanya memiliki kedudukan yang lebih rendah dari pada trakta dan konvensi.
Agreement digunakan untuk perjanjian yang mengatur materi mengenai bidang
ekonomi, kebudayaan, teknik dan ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah
perjanjian internasional yang memiliki kedudukan dibawah traktat dan konvensi .
biasanya bentuk agrement biasanya digunakan untuk perjanjian-perjanjian
multilateral.18
d. Protokol (protocol) protol merupakan jenis perjanjian internasional yang kurang
formal, jika dibandingkan dengan traktat (treaty) ataupun konvensi (convention).
Selanjuttnya starke mengklarifikasihkan pengggunaan istilah protocol ini dalam
beberapa golongan, yaitu:
1) Protocol yang merupakan suatu instrument tambahan dari suatu konvensi yang
dibuat oleh negara-negara yang melakukan perundingan, yang d erajatnya sam
a dengan konvensi itu sendiri. Protocol semacam iini biasanya disebut
protocol penandatanganan, yang isinya mengenai interpretasi asas klausula-
klausula dari konvensi tersebut, atau sebagai ketentuan pelengkap yang
derajatnya lebih rendah, ataupun sebagai klausa normal yang tidak disisipkan
pada konvensi. Ratifikasih yang dilakukan oleh suatu negara atas konvensinya,
dengan sendirinya berarti pula merupakan ratifikasih yang dilakukaan oleh
suatu negara atau konvensinya.
2) Protocol yang merupakan suatu instrument pembantu pada suatu konvensi
tetapi berkedudukan secara diri senndiri dan berlaku serta tunduk pada
ratifikasi atau konvensi itu sendiri. Protokol semacam ini biasanya dibuat
dalam wakktu yang sangat berbeda atau tidak bersamaan dengan perumusan
naskah konvensinya itu sendiri, misalnya dibuat beberapa tahun ke mudian
setelah berlakunya konvensi yang bersangkutan.
3) Protocol sebagai suatu perjanjian yang sifat dan derajatnya sama dengan
konvensi

17
Departemen luar negeri, pelatihan pembuatan kontrak internasional , makalah Surabaya 2002.

18
http://pkndisma. Blogspot.com/2013/01/bentuk-bentuk perjanjian internasional.html?m=1
4) Protocol yang merupakan rekaman atas saling pengertian antara para pihak
mengenai masalah-masalah tertentu yang menurut strake lebis sering dibuat
dengan istilah procees herbal.
e. Deklarasi (declaration) deklarasi juga merupakan suatau perjanjian yang berisi
ketentuan-ketentuan umum dimana para pihak pada deklarasi tersebut berjanji
untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut diimana yang akan
datang. Deklarasi memiliki isi yang singkat dan ringkas, serta menyampingkan
ketentuan-ketentuan yang bersifat formal seperti diperlukan “surat kuasa” atau
persyaratan kualifikasih19
f. Piagam istilah piagam atau charter juga bisa digunakan untuk perjanjian-perjanjian
internasional yang dijadikan sebagai konstitusi suatu organisasi internasiona.
Organisasi internasional yang menggunakan istilah piagam atau charter untuk
konstitusinya, misalnya perserikatan bangsa-bangsa yang piagamnya secara
otentik disebut charter of the united nation,demikin juga organisasi persatuan yang
piagamnya bernama charte of the african unity, dan charter of the American
state,1948.
g.Memorandum kesepahaman (Memorandum of understanding)
Memorandum of understanding atau yang dikenal dengan MOU, merupakan salah
satau bentuk perjanjian yang popular. Bentuk MOU ini merujuk pada perjanjian
perjanjian yang kurang formal dan memiliki unsur teknik yang kental. Namun
pada perkembangan lebih lanjut MOU juga sering digunakan pada perjanjian
perjanajian internasional yang formal.20

Dalam perjanjian internasional terkait dengan kasus timor GAP (gender analisys

padwael) istilah atau bentu perjanjian yang digunakan dalam perjanjian timor gap

merupakan keseluruhan istilah yang digunakan dalam suatu perjanjiaan termaksud

perjanjian timor gap (general analisys patwael) antara negara Indonesia dan Australia

2. Proses pembentukan perjanjian internasional

Cara pembuatan perjanjian internasional pada umumnya masih tergantung pada

kebiasaan masing-masing negara dengan ketentuan-ketentuan konstitusinya masing-

masing, sampai saat ini belum dapat keseragaman tentang tata cara pembentukan perjanjian

internasional yang dimaksud. Dalam dinamika hubungan internasional kontenpores

19
Ddepartemen luar negeri, pelatihan pembuatan kontrak internasional, makalah,Surabaya,2002,hal 6.
20
Departemen luar negeri,pelatihan pembuatan kontrak internasional, makalah,Surabaya, 2002,hal 7.
ditandainya dengan munculnya berbagai aktor hubungan internasional selain

negara.eksistensi dan kipra mengenai aktor-aktor tersebut ternyata menyentuh sejumlah isu

yang berkaitan dengan norma dan kebiasaan internasional. Diakuinya hak dan dibebankan

sejumlah kewajiban terhadap aktor-aktor tersebut metransformasikan mereka menjadi

subjek-subjek hukum internasional yang memiliki kapasitas terbatas (limited capacity) atau

bahkan hanya terbatas. sejumlah kalanganpun mulai mempertanyakan mengenai kapasitas

yang dimiliki oleh subjek-subjek hukum untuk membuat perjanjian internasional dalam

makna berkedudukan sebagai pihak dalam perjanjian internasional .21

Kedudukan hukum yang dimiliki subjek hukum internasional ternyata merupakan

status yang menentukan dapat dan tidaknya subjek tersebut menjadi pihak dalam perjanjian

internasional. Dalam praktiknya pembentukan perjanjian internasional mencakup sejumlah

proses yang bersifat diplomatik, seremonial, dan atministratif.

Sebagai pengangan dari segi teoritis dan praktik menurut konvensi 1969 yang dapat

melakukan perjanjian internasional hanya terbatas kepala negara (pasal 1), tetapi tidak

menutupi kemungkinan subjek hukum internasional lainnya seperti organisasi internasional,

tahta suci, palang merah internasional, dan belliigerens untuk dapat melakukan perjanjian

internasional, namun dalam pembuatan perjanjian antara subjek hukum interrnasional

bukan negara diatur secara tersendiri artinya bukan diatur oleh konvensi wina 1969.

Pada umumnya bentuk dan nama perjanjian menunjukan bawa materi yang diatur

oleh perjanjian memiliki substansi yang berbeda tingkatannya namun tidak mengurangi hak

dan kewajiban para pihak yang tertuang dalam perjanjian internasional. penggunaan bentuk

dan nama tertentu dalam perjanjian intternasional menunjukan maksud dan keinginan para

21
Parthiana I wayan ,hukum perjanjian internasional,mandar maju,cv,bandung,bagian (1), 2002,hal 18.
pihak terkait dengan dampak politik dan hukum, sehingga apapun bentuknya perjanjian

internasional akan berlaku dan mengikat dengan didasarkan pada seberapa besar para pihak

dalam perjanjian yang memberikan kekuatan hukum.hal ini yang tercermin dalam asas

pacta sunt sevvanda yang berlaku pada setiap proses pembuatan perjanjian interrnasional.22

Tahapan pembentukan perjanjian internasional menurut konvensi wina 1969 secara

terperinci, prosedur atau tahapan dari suatu perjanjian pembentukan perjanjian internasional

adalah sebagai berikut.

a. Prosedur penyusunan naskah perjanjian internasional Dalam konvensi wina 1969

mengenai masalah pembentukan perjanjian ini mengikuti pola yang tertentu dan disertai

persyaratan yang harus dipenuhi.

1) Harus dilakukan oleh wakil yang berkuasa penuh untuk dapat berunding, menerima

dan mengesahkan suatu perjanjian atas nama negara yang mewakili .

2) Perundingan (negotiaton)

Perundingan merupakan tahapan awal dari pembuatan perjanjian internasiol yang

dilakukan oleh wakil negara yang telah ditunjukan dan dilengkapi dengan dokumen

full power. Dokumen ini tidak menjadi penting untuk diberikan kepada wakil negara

apabila perwakilan negara tersebut adalah orang yang memiliki posisi atau jabatan

yang memang mempunyai wewenang untuk menjadi perwakilan negaranya dalam

tahap perundingan. Cara perundingan dalam perjanjian internasional dengan bilateral

dilakukan dengan cara pourpalers sedangkan untuk perjanjian multilateral biasanya

dengan cara konferensi diplomatik yang kemudian hasil akhir dari negosiasi ini akan

dilakukan penerimaan dan pengadopsian naskah perjanjian ini sesuai dengan pasal 9

22
Ddepartemen luar negeri,ppelatihan pembuatan kontrrak perjanjian intternasional,makalah, Surabaya, 2002,hal
71.
ayat 1 konvensi wina 1969 yang mana penerimaan dan pengadopsian naskah

perjanjian dilakukan berdasarkan persetujuan para pihak yang ikut merumuskan

naskah perjanjian tersebut.

3) Penandatanganan (signatur) Langkah berikutnya dari pembuatan perjanjian

internasional adalah penandatanganan, sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 12

konvensi wina 1969. Penandatanganan bagi perjanjian internasional yang dua tahap

berfungsi sebagai tanda terikatnya para pihak terhadap perjanjian internasional

sedangkan perjanjian internasional yang tiga tahap merupakan bentuk otentikasih

terhadap naskah perjanjian, sehingga perjanjian internasional tersebut dapat langsung

berlaku namun para pihak belum terikat. Dalam prktek perjanjian internasional dua

tahap biasanya akan diberi tenggang waktu hingga sebilan bulan jika lewat dari

waktu yang ditentukan, maka pihak yang ingin mengikatkan diri terhadap perjanjian

tersebut harus dilakukan secara eksesi. Perjanjian bilateral biasanya setelah

penandatanganan akan dilakukan pertukaran instrument dari perjanjian tersebut dan

kemudian akan disimpan dikementrian luar negeri masing-masing. Pada perjanjian

internasional tiga tahap penandatanganan sebagai bentuk otentikasih naskah

perjanjian tidak secara langsung perjanjian tersebut akan berlaku dan mengikat para

pihak, maka tiga tahap perjanjian internasional dapat dibutuhkan adanya ratifikasi.

4) Pengesahan (ratification)

Istilah pengesahan merupakan istilah yang digunakan di indonesia untuk

menyebut suatu ratifikasih akan tetapi pengesahan dapat dilakukan melalui beberapa

cara dan pengesahan merupakan langkah dari pengikatan negara-negara terhadap

perjanjian internasional. Berdasarkan teorinya ratifikasi merupakan persetujuan


kepala negara/kepala pemerintahan atas tanda tangan yang diberikan oleh utusan

negara dan mengikat negara yang mempunyai hak untuk meninjau kembali

persetujuan yang telah ditandatangani oleh utusan negara sebelum menerima

kewajiban yang ada dalam perjanjian internasional tersebut, maka dari itu keterikan

negara terhadap perjanjian internasional tidak berlaku surut (non-retroactive).

Perjanjian bilateral tidak membutuhkan ratifikasih biasanya dalam tahap akhir

perjanjian bilateral para pihak akan menukarkan dokumen yang telah ditanda tangani

dan disimpan dikementrian negeri masing-masing negara.23

b. Penerimaan naskah perjanjian internasional (adoption of the text)

Naskah suatu perjanjian diterima dengan suatu bulat yakni persetujuan penuh dari

suatu negara yang turut serta dalam perjanjian, ketentuan suara bulat berlaku mutlak

dalam perjanjian bilateral. suatu perjanjian internasional yang bersifat bilateral

penerimaan naskah secara bulat bagi para pihak sangat mudah dicapai, demikian pula

dalam perjanjian multilateral dimana jumlah anggota masih terbatas. Untuk ASEAN

yang beranggotanya 10 negara atau uni Eropa dengan 15 negara, masih tidak terlalu sulit

untuk mengambil keputusan dengan suara bulat. Tetapi dengan perjanjian multilateral

dengan puluhan peserta, misalnya ; PBB dengan 189 negara anggota, maka pengambilan

keputusan dengan suara bulat tidak tidak mungkin untuk dicapai. Dalam praktek maka

dalam peserta konverensi biasanya menentukan sendiri ketentuan-ketentuan mengenai

pemungutan suara untuk menerima naskah perjanjian.

23
E-journal.uajy.ac.id.HK121092.pdf. diakses 10 desember 2020.hal30-32.
Penerimaan naskah (adoption of the text) suatu perjanjian dalam suatu

komperensi perjanjian internasional yang di hadiri oleh banyak negara biasanya

dilakukan dengan dua per tiga suara dari peserta komperensi, kecuali bila peserta

komperensi menentukan lain. Penerimaan naskah perjanajian sebenarnya merupakan

tindakan untuk menyetujui garis-garis besar isi perjanjian namun belum memuat isi

perjanjian secara detail.

Pasal 9 konvensi wina 1969 menentukan

1) Penerimaan naskah ditentukan dengan persetujuan dari semua peserta (secara bulat);

atau

2) Mayoritas dua per tiga dari peserta yang hadir akan memberikan suara. Ketentuan

mengenai suara dua per tiga dari peserta dalam praktek lazim digunakan seperti

Nampak dalam PBB. Nampaknya ketentuan ini telah diterima dalamm konvensi wina
24
1969 tentang hukum perjanjian.

c. Pengesahan bunyi naskah ( authentication of the text )

Pengesahan bunyi naskah (authentication of the text) yang diterima sebagai

naskah yang terakhir, dilakukan dengan cara yang disetujui antara negara-negara peserta

yang mengadakan perundingan itu. Pengesahan bunyi naskah adalah sala satu tindakan

didalam proses perundingan itu. Pengesahan bunyi naskah adalah suatu tindakan didalam

proses pembuatan perjanjian yang mengakhiri definitif naskah yang sudah dibuat. Dan

naskah itu tidak bole dirubah-rubah lagi. Menurut pasal 10 konvensi wina 1969,

24
A. K Syahmin, hukum perjanjian internasional menurut konvensi wwina 1969, 1985, hal 11.
pengesahan bunyi naskah suatu perjanjian dilakukan melalui prosedur yang terdapat

dalam naskah perjanjian itu sendiri atau dengan sesuai dengan apa yang diputuskan oleh

wakil-wakil yang ikut dengan komprensi. Kalau tidak ditentukan sebelumnya maka

otentikasi itu dapat dilakukan dengan membubuhi tanda tangan dibawah naskah

perjanjian atau tanda tangan dalam suatu final act.25

1. Mulai berlaku dan berakhirnya suatu perjanjian internasional suatu perjanjian

internasional.

a. Mulai berlakunya perjanjian Internasional

Seperti yang telah diuraikan terlebih dahulu bahwa lahirnya suatu perjanjian

didasarkan atas persetujuan bersama negara-negara yang mengadakannya, dan

mulai berlakunya suatu perjanjian, baik itu bilateral maupun multilateral pada

umumnya ditentukan oleh klausula penutup dari perjanjian itu. Jadi negara-negara

peserta perjanjian yang menentukan kapan mulai berlakunya perjanjian secara

efektif.

Menurut I wayan perthiana, untuk perjanjian-perjanjian internasional yang

melahirkan kaedah-kaedah hukum yang berlaku umum (lau making treaty), saat

mulai berlakunya ditentukan dengan suatu rumusan tertentu selain prinsip yang

diatur dalam pasal 24 tersebut diatas, konfensi wina juga mengatur pemberlakuan

sementara suatu perjanjian internasional jika disepakati oleh pihak-pihak yang

berunding. Pasal. 25 konfensi wina menyebutkan bahwa suatu perjanjian atau

sebagian dari suatu perjanjian diberlakukan sementara sambil menunggu saat mulai

25
Budiono kusumohamidjojo, suatu studi terhadap aspek oprasonal konvensi wina tahun 1969 tentang hukum
perjanjian, binacipta,bandung, 1986, hal 8.
berlakunya; jika ditentukan demikian dalam perjanjian atau negara-negara yang

berunding dengan cara lain menyetujuinya.26

Prakteknya kata sepakat para pihak tersebut dapat dibagi dalam dua katagori

yaitu perjanjian-perjanjian yang dapat berlangsung setelah tanda tangan, dalam

mana tidak diperlukan lagi proses penyesahan lebih lanjut dan perjanjian-perjanjian

yang memerlukan peengesahan sesuai dengan prosedur konstitusional, yang berlaku

dinegara-Negara pihak perjanjian tersebut.

Perjanjian bilateral tertentu yang rasa tidak begitu penting dan biasanya

merupakan suatu pelaksanaan maka umumnya mulai berlaku sejak

penandatanganan. Dengan demikian pada prinsip penandatanganan sudah cukup

untuk dapat berlakunya suatu perjanjian. Dalam perjanjian-perjanjian multirateral

klausula yang mulai berlaku sejak tanggal penandatanganan jarang dipakai.

Hal ini disebabkan karna banyak pihak negara-negara dalam perjanjian ini,

kecuali untuk beberapa perjanjian multilateral yang pihak-pihaknya terbatas seperti

ASEAN, mungkin saja digiunakan klausa yang mulai berlaku sejak tanggal

penandatanganan. Umumnya praktek yang selama ini berlaku, perjanjian yang

membuat klausula ini dibuat untuk aragement, exchanges of notes, axchanges of

letters, memorandum of understanding.27

Suatu perjanjian internasional bilateral yang tidak dapat langsung berlaku

sejak tanggal penandatanganan maka haruslah disahkan terlebih dahulu sebagai

26
Departemen luar negeri, pelatihan pembuatan kontrak internasional,makalaah, Surabaya,2002, hal 80
27
Boer mauna op.cit., hal.. 125
prosedur konstitusional yang berlaku dimasing-masing pihak. Untuk dapat

berlakunya perjanjian secara efektif, maka setelah pengesahan harus diberitahukan

kepada pihak lainnya, demikian sebaliknya; hal ini disebut notifikasih. tanggal

mulai berlakunya secara efektif perjanjian tersebut umumnya adalah tanggal

notifikasi terakhir. dalam praktek tanggal notifikasi ditentukan dalam suatu

perjanjian misalnya ada yang menyebutkan sehari setelah nota terakhir atau tiga

puluh hari nota terakhir.

b. Berakhirnya atau ditangguhkannya suatu perjanjian internasional.

Secara umum, alasan atau factor yang dapat mengakibatkan berakhirnya masa

berlaku suatu perjanjian internasional, adalah;

1. Batas waktu berlakunya suatu perjanjian internasional sudak berakhir.

2. Tujuan perjanjian sudah berhasil dicapai

3. Dibuat perjanjian baru yang menggantikan atau mengakhiri berlakunya

perjanjian lama

4. Adanya persetujuan dari para pihak untutk mengakhiri berlakunya suatu

perjanjian

5. Salah satu pihak menarik diri dari perjanjian, dan penarikan diri tersebut diterima

oleh pihak lain, dengan akibat perjanjian itu tidak berlaku lagi.

6. Musnahnya objek dari perjanjian itu sendiri.

7. Musnah atau hapusnya eksistensi dari salah satu pihak atau peserta dari perjanjian

itu28

28
I wayan parthiana , pengantar hukum perjanjian internasional, mandar maju, bandung, hal 185-186
Suatu perjanjian internasional bisa berakhir karna hukum dan tindakan-

tindakan negara peserta. Mocthar kusumaadmaja menyatakan secara umum suatu

perjanjian internasional bisa punah atau berakhir karna sebab-sebab di bawah ini;

1. Karna telah tercapai tujuan dari perjanjian itu


2. Karna habis berlakunya suatu perjanjian ittu
3. Karna punahnya salah satu pihak peserta perjanjian atau punahnya objek
perjanjian
4. Karna adanya persetujuan peserta-peserta tersebut untuk mengakhiri perjanjian
itu.
5. Karna diadakan perjanjian antara para peserta kemudian meniadakan perjanjian
yang terdahulu
6. Karna dipenuhi syarat-syarat tentang pengakhiran perjanjian sesuai dengan
ketentuan-ketentuan perjanjian itu sendiri.
7. Diakhiri perjanjian secara sepihak oleh salah satu peserta dan diterimanya
pengakhiran itu oleh pihak lain29
Nampak kerdua pakar hukum diatas terdapat kesamaan pengakhiran perjanjian

internasional, dapat dilihat bahwa perjanjian itu berakhir dalam banyak hal yang diatur oleh

para peserta perjanjian yang berupa ketentuan-ketentuan yang disepakati kedua bela pihak

yang mengikat mereka. Mengenai berakhir suatu perjanjian sesuai dengan ketentuan telah

diatur dalam pasal 54 konvensi wina 1969 yang menyebutkan berakhirnya suatu perjanjian

atau penarikan diri suatu negara dapat terjadi sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri.

29
Mokthar kusumaatmadja, pengantar hukum perjanjian internasional, edisi ke dua, pt alumni, bandung, 2003,
hal 128.

Anda mungkin juga menyukai