Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perjanjian Internasional adalah salah satu sumber hukum internasional dan
dalam pengertiannya, perjanjian internasional adalah sebuah perjanjian yang
dibuat dibawah hukum internasional oleh beberapa pihak yang berupa negara atau
organisasi internasional. Sebuah perjanjian multilateral dibuat oleh beberapa pihak
yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Sedangkan Perjanjian
bilateral dibuat antara dua negara.1
Dalam dunia Internasional, melakukan kerjasama dengan negara-negara
lain adalah hal yang biasa terjadi. bahkan tidak jarang, kerjasama yang sudah
mengikat dengan adanya perjanjian, dilanggar oleh para pihak yang merasa lebih
tinggi kedudukannya. Hal ini seperti pelanggaran yang dilakukan oleh Australia
terhadap Indonesia.
Pelanggaran yang dilakukan Australia salah satunya adalah melanggar
perjanjian yang telah dibuat dengan Indonesia dalam masalah Keamanan Negara.
Australia dengan sengaja menyadap telepon milik Presiden Susilo Bambang
Yudoyono dan Menteri lainnya dengan tujuan mematai-matai Indonesia. Sungguh
hal ini tidak seharusnya dilakukan oleh Australia terhadap Indonesia, karena
perwakilan Indonesia dan Australia telah megesahkan perjanjian ini dan telah
diratifikasi oleh DPR. Kemudian dalam makalah ini akan dijelaskan tentang
prinsip dan prosedur perjanjian internasional dan berkaitan dengan kasus
penyadapan oleh negara Australia terhadap Presiden RI, yang merupakan
pelanggaran terhadap perjanjian internasional.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang dan proses pembuatan Lombok Treaty?
2. Bagaimana analisis pelanggaran Australia terhadap Lombok treaty?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui latar belakang dan proses pembuatan lombok treaty?
2. Mengetahui analisis pelanggaran Australia terhadap Lombok Treaty?
BAB II
1
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Bina Cipta,1990), 79

1
KAJIAN TEORI

A. Pengertian Perjanjian Internasional.


Perjanjian Internasional adalah salah satu sumber hukum internasional dan
dalam pengertiannya perjanjian internasional adalah sebuah perjanjian yang
dibuat dibawah hukum internasional oleh beberapa pihak yang berupa negara atau
organisasi internasional. Sebuah perjanjian multilateral dibuat oleh beberapa pihak
yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Sedangkan Perjanjian
bilateral dibuat antara dua negara.
Mochtar Kusumaatmadja mendefinisikan perjanjian internasional sebaga
sebuah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan
bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu. Mochtar
mensyaratkan, untuk dapat disebut perjanjian internasional, perjanjian itu harus
diadakan oleh subyek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat
internasional. Sementara itu, dalam Hukum Internasional yang dapat disebut
sebagai subyek hukum internasional selain Negara, Tahta Suci, Palang Merah
Internasional, Organisasi Internasional dan Individu adalah Pemberontak dan
pihak dalam sengketa (belligerent)2.
Definisi perjanjian internasional dalam ketentuan positif terdapat dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf a Konvensi Wina 1969 bahwa perjanjian internasional
adalah suatu persetujuan internasional yang diadakan antara negara-negara dalam
bentuk yang tertulis dan diatur oleh hukum internasional, baik yang berupa satu
instrumen tunggal atau berupa dua atau lebih instrumen yang saling berkaitan
tanpa memandang apa pun.
Undang-undang no 24 Tahun 200 tentang Perjanjian Internasional Pasal 1
butir a yang menyebutkan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam
bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat
secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
Merujuk pada pengertian-pengertian diatas, maka terdapat beberapa kriteria dasar
yang harus ada dalam suatu dokumen perjanjian internasional menurut Konvensi
Wina tahun 1969 dan UU Nomor 24 tahun 2000, adapun keriteria tersebut sebagai
berikut:
2
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 79

2
1. Perjanjian tersebut harus berkarakter internasional (an international
agreement)
2. Perjanjian tersebut harus dibuat oleh negara atau organisasi internasional (by
subject of international law)
3. Perjanjian tersebut tunduk pada rezim hukum intenasional (governed by
international law).3
B. Subjek dan Objek Perjanjian Internasional.
Adapun subjek-subjek hukum internasional yang memiliki kemampuan
untuk mengadakan perjanjian internasional sebagai berikut:
1. Negara
Negara yang menjadi subjek hukum internasional yaitu negara yang
merdeka, berdaulat dan tidak merupakan bagian dari suatu negara. Negara
sebagai subjek hukum internasional memiliki kemampuan penuh (full capacity)
untuk mengadakan atau duduk sebagai pihak dalam suatu perjanjian
internasional. Negara dapat mengadakan perjanjian mengenai apapun tanpa ada
hak dari pihak manapun untuk membatasi maupun melarangnya.
Pembatasan-pembatasan bagi negara untuk mengadakan perjanjian
internasional lebih bersifat politis daripada yuridis, seperti negara-negara netral
atau yang dinetralkan tidak boleh mengadakan perjanjian yang bersifat politis
dengan salah satu negara besar yang bertentangan dengan tujuan kenetralannya. 4
2. Tahta Suci (vatikan)
Adapun yang dimaksud tahta suci (Heilige Stoel) ialah Gereja katolik
Roma yang diwakili oleh Paus di Vatikan. Walaupun Vatikan bukan sebuah
negara seperti pada umumnya, tahta suci mempunyai kedudukan sama dengan
sebuah negara sebagai subjek hukum internasional. Tahta suci dapat membuka
hubungan diplomatic dengan negara maupun organisasi internasional, demikian
pula dapat ikut serta sebagai pihak dalam perjanjian internasional.
3. Palang Merah Indonesia

3
Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik Indonesia,
(andung: Refika Aditama, 2010), 20
4
Wayan Parthiana, Hukum Internasional Bagian 1, (Bandung: Mandar Maju, 2002), 19

3
Palang Merah Internasional, kedudukan palang merah internasional
sebagai subjek hukum internasional diperkuat dengan adanya beberapa perjanjian.
diantaranya konvensi jenewa tentang perlindungan korban perang.
4. Organisasi Internasional
Suatu organisasi internasional dibentuk dan didirikan melalui suatu
konferensi internasional yang menghasilkan perjanjian internasional yang
merupakan anggaran dasarnya yang biasa disebut piagam atau statuta. Didalam
piagamnya itulah organisasi internasional ditentukan asas-asas dan tujuan dari
organisasi internasional tersebut.
Anggota dari organisasi internasional adalah negara-negara, namun
kedudukan organisasi nasional tidak lebih tinggi dari negara. Keduanya memiliki
kedudukan yang sama. Akan tetapi, hak, kekuasaan, dan wewenang organisasi
internasional dalam menjadi pihak dalam perjanjian internasional terbatas pada
bidang atau ruang lingkup kegiatan yang menjadi tujuan organisasi internasional
tersebut, seperti International Labour Organization (organisasi perburuhan) hanya
dapat mengadakan perjanjian internasional dalam hal buruh saja.
5. Individu
Orang Perseorangan (individu), manusia sebagai individu dianggap
sebagai subjek hukum internasional jika dalam tindakan atau kegiatan yang
dilakukannya memperoleh penilaian positif atau negatif sesuai kehendak damai
kehidupan masyarakat dunia. Individu juga dapat mengajukan perkara kepada
Mahkamah Arbitrase Internasional.
6. Kelompok pemberntak (Belligerensi)
Pemberontak memiliki berbagai tujuan dalam misinya, seperti untuk
menggulingkan dan menggantikan pemerintah yang berkuasa. Awalnya
pemberontakan kaum belligerensi hanya permasalahan dalam negeri, namun jika
permasalahan telah meluas menjadi peperangan, maka sudah menjadi masalah
internasional. Sehingga kaum belligensi dianggap sebagai salah satu subjek
hukum internasional karena mereka memiliki hak yang sama untuk menentukan
nasibnya sendiri memilih sistem ekonomi, politik, sosial sendiri serta menguasai
sumber kekayaan alam diwilayah yang didudukinya. Dalam banyak kasus,

4
pemerintah yang berkuasa bersedia duduk sama derajat dengan kaun belligerensi
untuk menandatangani perjanjian gencatan senjata atau perjanjian internasional.
Adapun objek tertentu dari perjanjian Internasional adalah objek atau hal
yang diatur didalam sebuah perjanjian.Objek hanya bisa dikenai kewajiban tanpa
bisa menuntut haknya. Obyek itu sendiri secara langsung menjadi nama dari
perjanjian tersebut, misalnya konvensi tentang hukum laut yang berarti obyek dari
perjanjian atau konvensi tersebut adalah tentang laut. Perjanjian tentang garis
batas wilayah yang berarti obyeknya adalah garis batas wilayah para pihak,
demikian pula perjanjian tentang hukum,kerjasama ekonomi dan
perdagangan,kerjasama ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lain-lain
C. Prinsip-Prinsip Perjanjian Internasional
Hukum traktat atau perjanjian internasional sebelum tahun 1969 sebagian
besar terdiri dari kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional. Kaidah ini
sebagian besar dikodifikasikan dan disusun kembali dalam Konvensi Wina
tentang hukum traktat (Vienna Convention on the Law of Treaties) yang dibentuk
pada tanggal 23 Mei 1969 dan berlaku pada 27 Januari 1970. Konvensi Wina
diakui sebagai pedoman yang otoritatif bagi hukum traktat dan praktek yang
berlaku saat ini.5
Pasal 26 dalam Konvensi Wina menyebutkan beberapa asas-asas atau
prinsip-prinsip yang diakui keberadaannya dalam pembentukan suatu perjanjian
internasional dan hubungan diplomatik dengan negara-negara di dunia. Asas-asas
tersebut terdapat pada pasal 26 seperti, pacta sunt servanda, itikad baik (good
faith), dan prinsip konsensualitas (the principles of free consent). Begitu pula
pasal 28 Konvensi Wina menerangkan mengenai asas non-retroactive, sedangkan
dalam Pasal 34 konvensi juga dapat ditemukan asas pacta tertiis nec nocent nec
prosunt dan dalam pasal 53 terdapat asas yang lain yaitu, jus cogens.
1. Pacta Sunt Servanda
Aziz T. Saliba menyatakan bahwa asas Pacta Sunt Servanda merupakan
sakralisasi atas sebuah perjanjian (sanctity of contract). Titik fokus dari hukum
perjanjian adalah kebebasan berkontrak atau yang biasa dikenal dengan
kebebasan berotonomi, yang berarti bahwa dengan memperhatikan batas hukum
5
J.G Starke, Introduction to International Law, terj. Bambang Iriana Djajaatmaja, Pengantar
Hukum Internasional 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 582-584

5
yang tepat orang dapat mengadakan perjanjian apa saja sesuai dengan
kehendaknya, dan apabila mereka telah memutuskan untuk membuat perjanjian,
maka terikat dengan perjanjian tersebut.6
Pacta Sunt Servanda dalam hukum perjanjian internasional bermakna
bahwa negara-negara terikat untuk melaksanakan kewajiban-kewajiaban yang
telah disepakati dan ditetapkan dalam perjanjian internasional dengan i’tikad
baik. Asas Pacta Sunt Servanda merupakan asas paling fundamental karena asas
ini yang melandasi lahirnya perjanjian, termasuk perjanjian internasional dan
melandasi dilaksanakannya perjanjian internasional sesuai dengan yang telah
diperjanjikan oleh para pihak.
2. I’tikad baik (good faith)
Pasal 26 Konvensi Wina juga menyebutkan adanya i’tikad baik
dalam melaksanakan perjanjian yang telah disepakati. Prinsip good faith
merupakan persyaratan moral yang menjadi pemicu agar perjanjian dapat
dilakukan dengan sungguh-sungguh. Mukadimah Piagam PBB secara implisit
membahas mengenai prinsip ini yang menyatakan bahwa PBB bertekad atau
menciptakan suasana keadilan dan menghormati kewajiban yang timbul, baik
dari perjanjian maupun sumber hukum internasional lainnya. Dalam Pasal 2 ayat
(2) Piagam PBB bahkan dinyatakan secara jelas bahwa:
“... semua anggota agar dapat terjamin hak dan kewajiban yang diakibatkan
dari keanggotaan mereka itu, harus melaksanakan dengan itikad baik
kewajiban-kewajiban yang diberikan kepada mereka sesuai dengan piagam.”
Aktialisasi asas beri’tikad baik dari suatu janji dapat diilustrasikan sebagai
berikut:
a. Para pihak harus melaksanakan ketentuan perjanjian sesuai denga isi, jiwa,
maksud, dan tujuan perjanjian itu sendiri.
b. Menghormati hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari masing-masing pihak
maupun pihak ketiga yang mungkin diberi haka tau dibebeani kewajiban
(jika ada)

6
Herry Purwanto, Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Internasional,
Mimbar Hukum, 21, (Februari: 2009), 162

6
c. Tidak melakukan tindakan-tindakan yang menghambat usaha mencapai
maksud dan tujuan perjanjian itu sendiri, baik sebelum perjanjian itu berlaku
atau setelah perjanjian tersebut berlaku.7
3. Asas Pacta Tertiis Nec Nocent Nec Prosunt
Asas Pacta Tertiis Ne Nocent Nec Prosunt mengandung makna bahwa
suatu perjanjian internasional memberikan hak dan membebani kewajiban
terhadap para pihak yang terikat pada perjanjian itu, atau dengan kata lain, suatu
perjanjian internasional tidak memberikan hak maupun membebani kewajiban
kepada pihak ketiga, kecuali jika pihak ketiga itu menyetujuinya.
4. Asas Jus Cogens
Asas Jus Cogens menegaskan bahwa suatu perjanjian internasional adalah
batal (void) apabila substansi perjanjian bertentangan dengan suatu kaidah
hukum internasional umum yang tergolong jus cogens.8 Dalam hal ini suatu
norma yang telah memiliki status sebagai jus cogens tidak mungkin mengalami
pembatalan atau modifikasi oleh tindakan apapun. Dengan kata lain, jus cogens
sebagai sumber hukum tertinggi yang tidak dapat dibatalkan dengan kekuatan
politik apapun. Persoalan mengenai bagaimana suatu norma dapat menjadi jus
cogens masih kontroversial. Akan tetapi, beberapa norma telah menjadi jus
cogens seperti genosida, diskrimisani rasial, agresi, penyiksaan dan perbudakan.
Pasal 53 Konvensi Wina 1969 memuat penjelasan bahwa jus cogens adalah suatu
kaidah yang diterima dan diakui oleh seluruh masyarakat internasional (negara-
negara) sebagai suatu kaidah yang tidak boleh dikesampingkan dan yang hanya
dapat diubah oleh kaidah hukum internasional umum yang muncul belakangan
yang memiliki sifat atau karakter yang sama.

D. Proses Pembuatan Perjanjian Internasonal (Treaty-Making Process)


Perundingan dalam suatu konferensi internasional baik bilateral atau
multilateral umumnya dilakukan oleh utusan-utusan yang ditunjuk oleh Presiden
atau Menteri Luar Negeri. Namun ada beberapa perundingan tentang persoalan
tertentu dilakukan oleh Presiden atau Menteri sendiri sesuai bidang masing-
masing.
7
I Wayan Parthiana, Hukum Internasional 2, (Bandung: Bandar Maju, 2005), 263
8
I Wayan Parthiana, Hukum Internasional 2, 445

7
Praktek internasional melalui utusan-utusan negara pada konferensi
internasional biasanya dilengkapi dengan surat kuasa (full powers). Full powers
menurut Konvensi Wina adalah suatu dokumen resmi yang dikeluarkan oleh
penjabat yang berwenang dari suatu negara dengan menunjuk satu atau beberapa
untusan untuk mewakili negaranya dalam berunding, menerima atau
membuktikan keaslian naskah suatu perjanjian, menyatakan persetujuan negara
untuk diikat suatu perjanjian atau melaksanakan perbuatan lainnya sehubungan
dengan suatu perjanjian9.
Konvensi Wina dalam hal ini hanya menyebut full powers sebagai satu-
satunya dokumen yang harus dimiliki seseorang delegasi pada suatu konferensi
untuk semua tahap treaty making process. Namun selain full powers terdapat
dokumen lain yaitu credential atau surat kepercayaan. Menurut pasal 27 Rules of
Procedure of the General Assembly, surat-surat kepercayaan delegasi suatu negara
ke Sidang Majelis Umum PBB harus diserahkan ke Sekretaris Jenderal seminggu
sebelum sidang dimulai. Jadi yang diperlukan PBB dan Badan-Badan subsider
lainnya adalah surat-surat kepercayaan.
Indonesia dalam prakteknya memisahkan full powers dan credentials.
Dalam menghadiri suatu konferensi, Delegasi RI selalu dilengkapi dengan
credentials yang ditujukan kepada ketua konferensi yang berisikan nama-nama
dari anggota delegasi yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri. Credentials
hanya memberikan wewenang kepada delegasi untuk menghadiri konferensi
bukan untuk menandatangani perjanjian. Sedangkan full powers ditandatangani
oleh Menteri Luar Negeri baru dikeluarkan bila suatu perjanjian akan
ditandatangani. Pemisahan kedua dokumen ini dianggap wajar untuk
membedakan tahap pembuatan dan persetujuan terhadap suatu perjanjian. Bagi
Indonesia suatu persetujuan yang di buat bersama dalam suatu perundingan tidak
berarti harus langsung ditandatangani diakhir konferensi tetapi ditandatangani
kemudian agar sebelumnya dapat dipelajari oleh instansi-instansi yang
bersangkutan, dan full powers baru dikeluarkan untuk utusan yang akan
menandatangani perjanjian tersebut.

9
Boer Mauna, Hukum Internasional, (Bandung: Alumni,2003), 100

8
Penyusunan naskah perjanjian pada prakteknya dibedakan antara prosedur
yang sama bagi semua perjanjian dan cara yang khusus bagi perjanjian
multilateral. Pada umumnya terdapat tiga tahap yang dilakukan dalam penyusunan
suatu naskah perjanjian, yaitu perundingan, penyusunan dan penerimaan naskah.
Ketiga langkah tersebut dapat dilakukan sekaligus.
Sedangkan menurut Pasal. 6 Undang-Undang No.24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, menyebutkan bahwa:
a. Pembuatan Perjanjian Internasional dilakukan melalui tahap
penjajakan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan dan
penandatanganan.
b. Penandatanganan suatu perjanjian internasional merupakan
persetujuan atas naskah perjanjian internasional tersebut yang telah
dihasilkan dan/atau merupakan pernyataan untuk mengikatkan diri
secara definitive sesuai dengan kesepakatan para pihak
a. Perundingan
Perundingan adalah suatu kegiatan melalui pertemuan yang ditempuh oleh
para pihak yang berkehendak untuk membuat perjanjian internasional untuk
mencapai kesepakatan pada suatu materi perundingan. Tahap perundingan ini
berisi tentang pengajuan beberapa draft perjanjian yang akan dibicarakan.
Kemudian timbullah usul-usul, amandemen atau kontra amandemen. Tahap
akhir dalam perundingan adalah mempersatukan dan memperjelas pemahaman
setiap pihak tentang ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam perjanjian
internasional,
b. Penyusunan
Perundingan yang berjalan baik maka sedikit demi sedikit akan mulai
tersusun draft perjanjian. Tahap penyusunan yang dimaksud dalam tahap ini
adalah penyusunan rumusan naskah perjanjian. Rumusan naskah adalah
merupakan hasil kesepakatan dalam perundingan oleh para pihak atas materi
perjanjian internasional. Pada tahap ini dilakukan pemarafan terhadap naskah
perjanjian internasional. Adapun unsur-unsur formal suatu naskah perjanjian

9
internasional memuat tentang mukadimah, batang tubuh, klausula penutup dan
annex.10
1) Mukadimah
Mukadimah suatu perjanjian internasional didahului dengan menyebutkan
negara-negara peserta atau dimulai dengan jabatan dari wakil-wakil negara yang
mengikuti perundingan (seperti Minister for Foreign Affairs of Indonesia).
Namun perkembangan saat ini tidak lagi menyebutkan satu-satu para pihak,
tetapi memakai kata we, sebagai contoh Piagam PBB menggunakan mukadimah
We, the people of the United Nation, adapun mukadimah bagi negara-negara
Islam biasanya dimulai dengan pujian pada Tuhan. Selanjutnya mukadimah
juga berisi penjelasan tentang spirit perjanjian yang tercantum tentang
pernyataan program politik dari negara-negara peserta
2) Batang Tubuh
Batang tubuh suatu perjanjian berisi tentang isi perjanjian itu sendiri.
Batang tubuh ini terdiri dari pasal-pasal yang jumlahnya cukup banyak.
3) Klausula-Klausula Penutup
Klausula penutup temasuk dalam batang tubuh perjanjan. Klausula-
klausula tersebut bukan lagi mengenal tentang isi perjanjian, namun mengenai
beberapa mekanisme pengaturan seperti mulai berlaku, syarat-syaratberlaku,
lama berlakunya perjanjian, amandemen, revisi, aksesi dan lainnya.
4) Annex
Annex berisi ketentuan-ketentuan Teknik atau tambahan mengenai satu
pasal atau keseluruhan perjanjian dan terpisah dari perjanjian. Walaupun terpisah
tetapi merupakan satu kesatuan dengan perjanjian dan mempunyai kekuatan
hukum yang sama dengan pasal-pasal perjanjian.
c. Penerimaan Nakah (Adoption of the Text)
Suatu perjanjian yang bersifat bilateral, adapun penerimaan naskah secara
bulat bagi para pihak sangat mudah dicapai begitu pula perjanjian multilateral
yang jumlah anggotanya masih terbatas. Berbeda dengan perjanjian multilateral
dengan jumlah angogota 10 sampai ratusan negara, maka penerimaan naskah
dilakukan dengan pemungutan suara.

10
Boer Mauna, Hukum Internasional, 105-107

10
Penerimaan naskah (adoption of the text) suatu perjanjian dalam suatu
konferensi internasional yang dihadiri oleh banyak negara biasanya dilakukan
dengan dua per tiga suara dari peserta konferensi, kecuali bila peserta konferensi
menentukan lain. Penerimaan naskah perjanjian sebenarnya merupakan tindakan
untuk menyetujui garis-garis besar isi perjanjian, namun belum memuat isi
perjanjian secara detail.
d. Pengesahan Naskah (authentication of the text)
Pengesahan bunyi naskah (authentication of the text) yang diterima
sebagai naskah yang terakhir, dilakukan menurut cara yang disetujui antara
negara-negara peserta yang mengadakan perundingan. Pengesahan bunyi naskah
adalah suatu tindakan di dalam proses pembuatan perjanjian yang mengakhiri
definitif naskah yang sudah dibuat. Naskah ini tidak boleh dirubah-rubah lagi.
Menurut Pasal. 10 Konvensi Wina, pengesahan bunyi naskah suatu
perjanjian dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam naskah perjanjian itu
sendiri atau sesuai dengan apa yang diputuskan oleh wakil-wakil yang ikut dalam
konferensi. Kalau tidak ditentukan sebelumnya maka otentikasi itu dapat
dilakukan untuk membubuhi tanda tangan dibawah naskah perjanjian atau tanda
tangan dalam suatu Final Act. Akibat dari penandatanganan suatu perjanjian
tergantung ada atau tidaknya ratifikasi perjanjian tersebut. Apabila perjanjian
harus diratifikasi, maka penandatangan hanya berarti behawa utusan-utusan telah
menyetujui teks dan bersedia menerimanya.11
E. Pernyataan Persetujuan Negara Untuk Mengikatkan Diri (Consent To
Be Bound)
Kesepakatan untuk mengikatkan diri (consent to be bound) pada perjanjian
merupakan tindak lanjut oleh negara-negara setelah diselesaikannya suatu
perundingan untuk membentuk suatu perjanjian. Tindakan inilah yang melahirkan
kewajiban-kewajiban tertentu bagi negara perunding (negotiating state) setelah
menerima baik suatu naskah perjanjian (adoption of the text).12
Malcom N. Shaw, menyebutkan pernyataan persetujuan negara untuk
mengikatkan diri adalah persoalan yang penting dan vital, karena menunjukkan

11
May Rudy, Hukum Internasional 2, (Bandung: Refika Aditama, 2006), 128
12
Jurnal Cita Hukum, Vol. I No. 1, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta:
2013, 114.

11
apakah suatu negara akan terikat atau tidak pada suatu perjanjian internasional
yang dibuat. Apabila suatu negara tidak menyatakan untuk mengikatkan dirinya
pada suatu perjanjian internasional yang dibuat maka negara tersebut tidak terikat
oleh perjanjian tersebut dan sebaliknya perjanjian internasional yang telah
disepakati hanya mengikat bagi negara-negara yang menyatakan untuk
mengikatkan diri terhadap perjanjian tersebut secara tegas.
Adapun pernyataan persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada
perjanjian internasional dapat diberikan dalam bermacam cara tergantung pada
permufakatan para pihak pada waktu mengadakan perjanjian. Berdasarkan
ketentuan pasal 11 Konvensi Wina 1969, yang cara pernyataan persetujuan untuk
mengikatkan diri pada suatu perjanjian adalah sebagai berikut:
a. Consent by signature (penandatanganan)
Suatu negara dapat mengikatkan dirinya dengan penandatanganan
perjanjian tanpa rartifikasi apabila hal itu memang menjadi maksud para peserta.
Maksud demikian dapat tercantum dalam perjanjian itu sendiri atau para peserta
dengan cara lain telah bersepakat bahwa perjanjian itu akan berlaku setelah
ditandatangani tanpa menunggu ratifikasi. Bahwa suatu perjanjian akan berlaku
segera setelah ditandatanganinya tanpa ratifikasi dapat juga dinyatakan dengan
jalan menetapkan bahwa perjanjian itu akan berlaku sejak waktu ditandatangani,
pada tanggal waktu diumumkan atau mulai pada tanggal yang ditentukan pada
perjanjian itu.
b. Consent by exchange instruments (Pertukaran surat menyurat atau nota)
Suatu negara dapat juga menyatakan terikat pada suatu perjanjian dengan
melakukan pertukaran surat-surat atau naskah apabila para pihak yang
bersangkutan menentukan demikian. Hal ini dilakukan misalnya apabila
perjanjian ini merupakan perjanjian yang berbentuk sederhana yakni terdiri dari
pertukaran surat menyurat atau nota (exchange of letters atau exchange of
notes). Ketentuan Pasal 13 Konvensi Wina mengatur mengenai hal ini.
c. Consent by ratification (ratifikasi)
Dalam perkembangannya, dengan timbulnya pemerintahan demokratis
parlementer, kini ratifikasi menjadi suatu cara bagi lembaga perwakilan rakyat
untuk meyakinkan dirinya bahwa wakil pemerintah yang turut serta dalam

12
perundingan dan menandatanganinya suatu perjanjian, tidak melakukan hal
yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum. Artinya adakalanya
suatu negara mengikat dirinya dengan syarat bahwa persetujuan demikian harus
disahkan atau dikuatkan oleh badan yang berwenang di negaranya. Dalam hal
demikian, persetujuan pada perjanjian yang diberikan dengan penandatanganan
itu bersifat sementara dan masih harus disahkan.
d. Consent by accession
Secara garis besar persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada suatu
perjanjian dapat dinyatakan dengan aksesi, antara lain, bila perjanjian itu sendiri
secara jelas menyatakan hal tersebut dan bila terbukti negara-negara yang ikut
berunding menginginkan atau bersepakat demikian. Harus diingat bahwa aksesi
tidak boleh diisyaratkan dengan ratifikasi. Aksesi berarti pernyataan persetujuan
untuk mengikatkan diri secara definitif terhadap suatu perjanjian, jadi bila
negara penyimpan menerima suatu aksesi tetapi dengan syarat harus menunggu
ratifikasi dulu, aksesi demikian dapat dianggap tidak sah. Karena itu sebelum
menyatakan aksesi, perjanjian tersebut harus diratifikasi terlebih dahulu.
F. Ratifikasi Perjanjian Internasional
Ratifikasi ialah pengesahan suatu perjanjian internasional oleh negara yang
menandatangani perjanjian tersebut menurut ketentuan –ketentuan konstitusi
negara yang bersangkutan dan konteks ratifikasi di berbagai negara mempunyai
mekanisme yang berbeda-beda. Dalam praktiknya di berbagai negara, terdapat
dua praktik besar mengenai ratifikasi oleh berbagai negara, praktik pertama sering
dikenal sebagai Westminister Practice (Inggris, Australia, Kanada, Israel) dimana
proses ratifikasi menjadi prerogratif, yaitu dari pihak kerajaan dan parlemen tidak
terlalu berperan dalam proses ratifikasi. Dalam praktik ini eksekutif mempunyai
peran dalam konsultasi dan pengambilan keputusan. Sedangkan praktik yang
kedua berakar pada golongan Eropa Kontinental dan Amerika Serikat dimana
persetujuan dari parlemen sangatlah berperan dalam proses ratifikasi suatu
perjanian internasional. Selain itu di beberapa negara di Eropa bahkan
menggunakan sistem referendum untuk beberapa perjanjian internasional yang
akan diratifikasi

13
Dengan demikian jelas terlihat bahwa proses ratifikasi adalah sepenuhnya
dari hukum nasional masing-masing negara menurut ketentuan-ketentuan
konstitusi masing-masing. Untuk negara yang memerlukan ratifikasi guna
pengesahan suatu perjanjian internasional dapatlah dikatakan bahwa ratifikasi
diperlukan untuk mempertimbangkan lebih jauh apakah perjanjian internasional
tersebut benar-benar diperlukan, sebelum negara bersangkutan terikat kepada
perjanjian tersebut.13
Mengenai ratifikasi terdapat persoalan tentang kewajiban hukum antara
ratifikasi setelah disepakati atau ratifikasi setelah ditandatangi. Terdapat pendapat
yang mengemukakan bahwa walaupun perjanjian internasional telah ditanda
tangani, tidak terdapat kewajiban hukum untuk melakukan ratifikasi dari
perjanjian tersebut, sedangkan yang ada hanya suatu kewajiban moral. 14 Karena
pada dasarnya penanda tanganan suatu perjanjian internasional tidak memberikan
kewajiban suatu negara untuk meratifikasi, namun sebisa mungkin negara yang
telah menanda tangani suatu perjanjian internasional untuk meratifikasinya
sebagai pertanggung jawaban dari perbuatan yang sudah dilakukan.
Pada umumnya suatu perjanjian internasional mulai berlaku pada tanggal
perjanjian tersebut memperoleh ratifikasi. Tetapi terdapat perjanjian –perjanjian
internasional sudah mulai berlaku pada tanggal perjanjian ditandatangani, tanpa
memperoleh ratifikasi misalnya Anglo Japanese Treaty 1905 dan European Peace
Treaties tahun 1947, dimana Finlandia, Bulgaria dan Italia melakukan ratifikasi,
sedangkan Hongaria dan Rumania tidak melakukan ratifikasi.
Persoalan lain adalah seberapa lama ratifikasi harus dilakukan. Dalam hal
ini jawabannya harus dicari dalam Pasal-pasal dari perjanjian itu sendiri, yang
biasanya memuat ketentuan bahwa perjanjian akan diratifikasi oleh pihak-pihak
bersangkutan dalam waktu sesingkat mungkin. Seperti yang dinyatakan dala Pasal
14 Konvensi Wina, bahwa keinginan dari suatu negara untuk menandatangani
suatu perjanjian internasional dengan syarat ratifikasi dapat terlihat dari kuasa
penuh (full powers) dari wakil wakil resmi negara tersebut atau hal tersebut
dinyatakan selama waktu perundingan.
13
Chairul Anwar, Hukum Internasional: Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, (Jakarta: Djambatan,
1988), 75
14
Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik Indonesia,
(Jakarta: Refika Aditama, 2014), 48.

14
Kebanyakan perjanjian internasional umumnya tidak mencantumkan batas
akhir waktu untuk meratifikasi. Bahkan dalam beberapa perjanjian multilateral
dapat diratifikasi atau diaksesi beberapa dekade setelah perjanjian itu mengikat
para pihak. Salah satu contohnya adalah Amerika Serikat tidak meratifikasi
Konvensi Genosida 1948 higga empat puluh tahun sejak perjanjian tersebut entry
into force.
Ratifikasi dalam prakteknya juga banyak mengalami benturan, misalnya
adalah benturan kepentingan nasional (national interst) masing-masing negara.
Sekalipun dalam perjanjian antara negara ada kerelaan melepaskan sedikit
kedaulatan untuk kepentingan bersama, tetapi kepentingan nasional tetap berada
diatas segalanya. Bahkan mengikat perjanjian adalah dalam rangka mengejar
target kepentingan nasional. Dalam perjanjian internasional manakah yang lebih
utama, kepentingan nasional (National interest) ataukah kepentingan bersama
(cooperational interest).
Jika dilihat dari perspektif konstitusi maka Sejarah perkembangan ratifikasi
dalam konstitusi di Indonesia cukup unik dan menarik. Arti harfiah ratifikasi
dalam konstitusi Indonesia hanya diatur dalam Pasal 11 Undang -Undang Dasar
1945 (UUD 1945) yang dilanjutkan dengan keluarnya UU No. 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional.
Menurut Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 ratifikasi atau pengesahan
suatu perjanjian internasional dapat dilakukan UU atau kepres. Pengesahan
perjanjian internasional dilakukan dengan UU apabila berkenaan dengan:
1. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara
2. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia
3. Kedaulatan atau hak berdaulat negara
4. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup
5. Pembentukan kaidah hukum baru
6. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri
Hal yang harus dicermati dalam sebelum mengesahkan perjanjian
internasional adalah:
1. Indonesia harus menerjemahkan atau mentransformasikan kewajiban dalam
perjanjian internasional ke dalam hukum nasional. Ini berarti berbagai produk

15
nasional yang bertentangan dengan ketentuan dalam perjanjian internasional
wajib untuk diamendemen. Transformasi ini adalah untuk memastikan agar
tidak ada ketentuan yang berbenturan (conflicting) antara hukum nasional
dengan perjanjian internasional yang telah diratifikasi.
2. Konsekuensi yang harus diperhatikan adalah kewajiban Indonesia
memberikan laporan ke suatu lembaga yang ditentukan dalam perjanjian
internasional. Dalam sejumlah perjanjian internasional yang bersifat
multilateral terdapat kewajiban negara peserta untuk melaporkan kemajuan
(progress) yang telah dilakukan. Sebelum meratifikasi perjanjian internasional
perlu untuk diketahui kapasitas aparat penegak hukum. Hal ini karena bila
perjanjian internasional telah diterjemahkan ke dalam bahasa nasional tetapi
tidak mampu ditegakkan oleh aparat, sama saja dengan Indonesia tidak
menepati komitmennya.
Mengenai pemberlakuan perjanjian internasional, maka dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Mulai Berlakunya dan Berakhirnya Perjanjian Internasional
Suatu perjanjian internasional akan berlaku mengikat suatu negara
apabila negara tersebut telah menjadi pihak dalam perjanjian tersebut.
Adapun mengenai berakhir atau hapusnya suatu perjanjian internasional
secara umum dapat disebabkan oleh hal-hal berikut ini,
a. Berakhirnya perjanjian karena hukum
1) Hilangnya salah peserta dalam perjanjian bilateral
2) Pecahnya perang antar para peserta
3) Suatu pelanggaran materil dari perjanjian bilateral oleh salah satu
peserta memberikan hak pada peserta lain untuk mengakhir
perjanjian. Sedangkan pelanggaran materil dalam perjanjian
multilateral menyebabkan berakhirnya perjanjian bagi semua peserta.
4) Rusaknya secara permanen tujuan yang diperlukan dalam perjanjian
5) Perjanjian yang bubur dari akibat yang disebut sebagai doktrin rebus
sic stantibus
6) Selesainya jangka waktu perjanjian.
7) Adanya denunsiasi

16
8) Munculnya norma jus cogens
b. Berakhirnya perjanjian Internasional oleh Tindakan Peserta
1) Penarikan diri peserta perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian
2) Apabila peserta yang ingin menarik diri maka biasanya melakukan
pemberitahuan pengakhiran atau tindakan denunsiasi15
2. Kerjasama Luar Negeri dalam Era Otonomi Daerah16
Pembangunan nasional di masa Orde Baru menerapkan konsep negara
kesatuan sebagai logika politik ke dalam pembangunan ekonomi melalui UU
No.5 tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah. Hubungan yang bersifat
sentralistis dan hirarkhis antara pemerintah pusat dan daerah tidak membawa
pemberdayaan ekonomi rakyat di daerah. Pemerintah daerah hanya menjadi
alat pemerintah pusat untuk mencapai tujuannya di daerah. Akibatnya
ketimpangan antara pusat dan daerah menjadi semakin lebar. Prinsip utama
yang digunakan adalah tetesan ke bawah atau trickle down effect. Kalau
pertumbuhan ekonomi nasional tinggi maka dengan sendirinya akan menetes
ke bawah dan meningkatkan pembangunan daerah.
Paradigma pembangunan ekonomi Orde Baru ternyata tidak terwujud.
Sejalan dengan adanya gerakan reformasi, tuntutan otonomi daerah semakin
mendapatkan bentuk melalui disahkannya UU Otoda No.37 tahun 1999, yang
kemudian direvisi menjadi UU No.32 tahun 2004. Partisipasi pemerintah
daerah dalam hubungan luar negeri di tengah arus globalisasi dan liberalisasi
ekonomi menjadi hal yang tak terhindarkan. Gejala ini dapat dilihat sebagai
peluang bagi pembangunan daerah di Indonesia yang pada gilirannya akan
memperkokoh pembangunan nasional. Memang secara politik pemerintah
pusat telah menegaskan dalam berbagai ketentuan bahwa dalam
menyelenggarakan kerjasama dengan pihak asing pemerintah daerah
hendaknya memperhatikan esensi Negara Kesatuan Republik Indonesia,
stabilitas dan keamanan nasional dan prinsip one-door policy.
Menurut Peraturan Menteri Luar Negeri No.09/A/KP/XII/2006/1,
terdapat beberapa syarat yang harus dipenuahi. Kerjasama internasional hanya

15
May Rudy, Hukum Internasional 2, 134-135
16
Dyah Estu Kurniawati, Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah di Era Otonomi Daerah
(studi pada pemkab malang), HUMANITY, Volume 5, Nomor 2, Maret 2010., h. 93 – 99.

17
dapat dilakukan dengan negara atau pemerintah yang memiliki hubungan
diplomatik resmi dengan pemerintah Indonesia
a. Isi atau substansi kerjasama luar negeri harus sesuai dengan kewenangan
pemerintah daerah seperti yang tertuang dalam UU No.32 tahun 2004
dimana kewenangan pemerintah daerah menyangkut berbagai bidang yang
memungkinkan daerah untuk melakukan kerjasama dengan pihak asing
demi memajukan daerahnya.
b. Kerjasama internasional harus disetujui oleh DPRD yang secara formal
mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat. Keempat, kerjasama dengan
pihak luar negeri oleh pemerintah daerah tidak boleh mengganggu stabilitas
dan keamanan nasional.
c. Kerjasama dengan pihak asing tidak mengarah kepada campur tangan actor
internasional kedalam urusan atau yurisdiksi Indonesia sebagai negara
berdaulat.
d. Kerjasama dengan pihak asing hendaknya dilandaskan pada asas persamaan
hak dan kedudukan serta saling menguntungkan dengan sikap saling
menghormati.
e. Kerjasama dengan pihak asing harus ditujukan untuk mendukung proses
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan nasional, dan pemberdayaan
rakyat di daerah.
Sebagai tindak lanjut dari peraturan perundangan yang telah diuraikan
sebelumnya, Depdagri telah mengeluarkan Permendagri No.3 tahun 2008
tentang Pedoman Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Daerah dengan Pihak
Luar Negeri. Permendagri ini memuat berbagai hal seperti ketentuan umum,
prinsip, bentuk, persyaratan, tata cara, prosedur, standar yang harus ditempuh
pemerintah daerah, pembiayaan serta pembinaan dan pengawasan kerjasama
yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan pihak asing. Kita ambil contoh,
kerjama luar negeri dengan Pemerintah Kabupate Malang, salah satunya adalah
kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Malang dengan USAID adalah Local
Government Support Program (LGSP). Isinya adalah pemberian materi dan
pendampingan dalam tata kelola pemerintahan desa yang melibatkan partisipasi
aktif masyarakatnya dan tidak berupa dana segar (fresh money). Output dari

18
program ini adalah desa diharapkan mampu membuat Rencana Pembangunan
Desa sebagai hasil dari musyawarah antara pemerintah dengan masyarakat
desa. Targetnya adalah adanya akuntabilitas dan transparansi dalam
managemen pemerintahan desa.
G. Integritas Al-Quran
Perjanjian dalam Bahasa arab dapat diartikan dengan ‘akad ‫ ))عقد‬dan

‘ahdun ( ‫)َع ْه ٌد‬. Kata aqad ‫ ))عقد‬yang secara etimologi berarti “menyimpulkan”.

‫جمع طرفي حبلين و يشّذ احدهما باألخر حتى يتصال فيصبحا كقطعة واحدة‬
Artinya: “mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang
lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sepotong benda”.
Menurut Abdul Aziz Muhammad kata aqad dalam istilah bahasa berarti
ikatan dan tali pengikat. Dari sinilah kemudian makna aqad diterjemahkan secara
bahasa sebagai menghubungkan antara dua perkataan, masuk juga di dalamnya
janji dan sumpah, karena sumpah menguatkan niat berjanji untuk melaksanakanya
isi sumpah atau meninggalkanya. Demikan juga dengan janji halnya dengan janji
sebagai perekat hubungan antara kedua belah pihak yang berjanji dan
menguatkanya”. kata 'akad lebih dipakai dalam permasalahan mu'amalah
Al-‘Ahd ( ‫)َع ْه ٌد‬. secara etimologi berarti segala kesepakatan antara hamba
(manusia), setiap perintah Allah, pemeliharaan, menjaga kehormatan dan
keamanan. Al-‘Ahd memiliki beberapa arti, diantaranya kesepakatan diantara dua
orang atau dua pihak terhadap suatu perkara yang mengikat mereka untuk
kepentingan kedua belah pihak atau salah satu pihak, adapun dua pihak yang
dimaksud dapat berupa dua orang atau antar dua negara atau antara dua
kelompok negara (organisasi).
Perjanjian merupakan sesuatu yang dibolehkan berdasarkan syara’.
Perkara perjanjian dalam Islam diserahkan pada khalifah. Khalifahlah yang
menetapkan apa yang dianggapnya baik serta menerapkan apa yang telah
diputuskannya, selama perkara tersebut membawa maslahat bagi kaum muslim
dan membawa peluang untuk penyebaran dakwah islam tanpa harus merendahkan
diri dan bersikap hina, dan tanpa melanggar aturan islam di dalam syarat-syarat
perjanjian. Adapun tahap-tahap pelaksanaan perjanjian diantaranya tahapan al-

19
muawafadat (perundingan), tahapan al-ittifaq wa at-tauqi’ (kesepakatan dan
penandatanganan perjanjian) kemudian tahap at-tanfidz (pelaksanaan).
Setelah terjadi kesepakatan dan penandatanganan perjanjian, kemudian
perjanjian diumumkan kepada umat Islam karena umat Islam memiliki kewajiba
nuntuk mengetahui dan mentaatinya. Dalam melaksanakan perjanjian, A-Quran
berkali-kali menyuruh untuk selalu mentaati dan melakukan hasil perjanjian.
Berikut ayat-ayat menyuruh melaksanakan perjanjian:
…….. ‫َي ا َأ ُّي َه ا ا َّل ِذ ي َن آ َم ُن وا َأ ْو ُف وا ِب ا ْل ُع ُق وِد‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu….17
Dalam ayat al-Maidah: 1 ada lafadz ‫ أوفو‬yang artinya penuhilah. Adapun
dalam bahas Arab disebut fi’il amr atau kata-kata perintah, yang implikasinya jika
lafadz yang khusus dalam suatu nash yang di dalamnya mengandung arti perintah
maka menunjukan hukumnya adalah wajib, sedangkan kata al-uqud adalah
jamak dari kata aqad. Adapun menurut M. Quraish Shihab, akad (perjanjian) ada
empat:18
1. Perjanjian dengan Allah. SWT;
2. Perjanjian dengan sesama manusia;
3. Perjanjian dengan diri sendiri;
4. Perjanjian yang halal.
AyatAl-Maidah ayat ini menjelaskan tentang perintah untuk memenuhi
dan menjalankan perjanjian yang dibuat, baik dengan Allah maupuun dengan
manusia. Hal ini sama halnya dengan perjanjian yang dibuat oleh negara dengan
negara atau organisasi internasional yang bertujuan untuk kemaslahatan warga
negara. Negara yang melakukan perjanjian internasional wajib hukumnya
memenuhi perjanjian yang telah disepakati bersama. Perintah Al-Quran in
mencerminkan prinsip pacta sunt servandan dan I’tikad baik dalam perjanjian
internasional

17
QS. AL-Maidah: 1
18
M. Quraish Shihab, Tafsir Ak-Masbah,: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al Quran, (Jakarta:
Lentera HAti, 2004), 6

20
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kasus Perjanjian Internasional
Hubungan kerjasama antara Indonesia dengan Australia relatif baik dalam
berbagai bidang, khususnya dalam bidang pertahanan dan keamanan. Akan tetapi
hubungan tersebut tidak selalu sesuai dengan harapan kedua negara. Hubungan
mereka mengalami pasang surut seiring dengan berjalannya waktu, kadang baik
kadang tidak baik. Hubungan antara Indonesia dan Australia dalam keadaan baik
ketika berada di masa pemerintahan Presiden Soeharto dan Perdana Menteri
Australia Paul Keating. Pada tanggal 18 Desember 1995 kedua pemimpin Negara
tersebut melakukan perjanjian dalam hal keamanan bilateral yang dikenal dengan
Agreement on Maintaining Security (AMS). Perjanjian tersebut berisi tentang
kerjasama antara kedua Negara dalam hal keamanan.
Pada bulan September 1999 terjadi masalah referendum Timor-Timur,
yang mengakibatkan perjanjian keamanan bilateral (AMS) antara Indonesia
dengan Autralia memburuk. Dalam hal ini Australia dinilai terlalu banyak
mengekploitasi masalah Timor-Timur dan justru memojokkan Indonesia dalam
posisi yang salah. Kemudian Autralia juga masuk ke wilayah Timor-Timur
sebagai pemimpin pasukan perdamaian PBB ketika hasil referendum Timor-
Timur menunjukan hasil mayoritas rakyat Timor-Timur ingin keluar dari
Indonesia dan merdeka. Presiden Bj. Habibi yang saat itu menjadi pemimpin dari
negara Indonesia merasa tidak terima dengan perlakuan Australia yang ikut
campur dalam masalah Negaranya. Dengan dasar tersebut Presiden Bj. Habibie
membatalkan perjanjian AMS dengan pihak Australia.
Hubungan Indonesia dengan Australia kembai melunak setelah terjadi aksi
terorisme besar-besaran di Indonesia. Aksi tersebut seperti aksi Bom Bali 1 pada
tanggal 12 Oktober 2002, Pengeboman Kedutaan Besar Australia di jakarta pada
tanggal 9 September 2004, dan aksi Bom Bali 2 pada tanggal 1 Oktober 2005.

21
Aksi terorisme tersebut mendorong adanya kerjasama antara Indonesia dengan
Australia yakni Joint Investigation Team antara kepolisian dan badan Intelijen
Australia Indonesia untuk menemukan para pelaku Aksi pengeboman tersebut.
Kemudian Indonesia dengan Australia kembali memburuk dengan
perbedaan pendapat. Indonesia berhasil memasukan wilayah Papua Barat kedalam
wilayah Indonesia dengan berganti nama menjadi Irian Jaya. Akan tetapi menurut
Australia, wilayah Papua Barat bukan termasuk dalam wilayah RI, melainkan
masih menjadi wilayah kolonial Belanda.
Pada awal tahun 2006 Australia memberikan visa menetap sementara
kepada 42 dari 43 pencari suaka politik dari Provinsi Papua. Dengan perlakuan ini
Indonesia menganggap Australia telah membantu Papua, akan tetapi pihak
Australia menyatakan tindakannya bukan termasuk mendukung kepada
separatisme di Papua.
Setelah beberapa kali mengalami pasang-surut, hubungan kerjasama antara
Indonesia dengan Australia kembali membaik pada bulan Agustus. Pada bulan ini
di Jakarta dan bulan September di Canberra dibuatlah Perjanjian perdamaian
diantara kedua Negara, dengan mengadakan Perjanjian Keamanan, kemudian
diremiskan di Lombok, Mataram pada bulan November 2006
B. Perjanjian Lombok Treaty
Hubungan antara Indonesia dengan Australia memburuk terjadi sampai
pertengahan tahun 2006. Pada bulan Agustus tahun 2006 di Jakarta kemudian
bulan September 2006 di Canberra, disepakati Agreement between the Government
of the Republic Indonesia and the Government of Australia on Framework for
Scurity Cooperation. Kemudian secara resmi pada tanggal 13 November 2006
Perjanjian Keamanan kedua Negara setelah melakukan perundingan ditandatangani
oleh Menteri Luar Negeri Australia, Stephen Smith dan Menteri Luar Negeri
Indonesia, Hassan Wirahuda di Lombok, Mataram.Perjanjian Keamanan antara
Indonesia dengan Australia tersebut dikenal dengan Perjanjian Lombok Treaty.
Berikut isi dari Perjanjian Lombok Treaty:
1. Kerjasama Pertahanan
2. Kerjasama Penegakan Hukum
3. Kerjasama Counter-terrorism

22
4. Kerjasama Intelijen
5. Keamanan Maritim
6. Keamanan dan Keselamatan Penerbangan
7. Proliferasi Senjata Pemusnah Massal
8. Kerjasama Tanggap Darurat Bencana Alam
9. Organisasi Multilateral
10. Kerjasama antar Masyarakat (People to People Coorperation).

Setelah ditandatangani, perjanjian ini kemudian oleh 10 fraksi di Komisi I DPR


meratifikasi dan menandatangani RUU tentang Perjanjian Keamanan RI-Australia
atau populer dengan Lombok Treaty.
Akan tetapi setelah dibuat perjanjian Lombok Treaty ini, pada bulan
Agustus tahun 2009 Australia kembali berulah dengan melakukan penyadapan
yang dilakukan oleh Badan Intelejen Australia Defence Signal Directorate (DSD)
kepada Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudoyono sebanyak 15
kali, sesuai bukti slides rahasia Departemen Pertahanan Australia yang berjudul
“IA Leadership Targets + Handsets”, ada sembilan orang yang menjadi target
lainnya, mereka adalah Ibu Ani selaku Ibu Negara, Bapak Budiono selaku Wakil
Presiden, Jusuf Kalla selaku mantan Wakil Presiden, Dino Patti Djajal selaku
mantan Juru Bicara Kepresidenan Bidang Luar Negeri, Andi Malarangeng selaku
mantan Juru Bicara Kepresidenan, Hatta Rajasa selaku mantan Menteri Sekertaris
Negara, Sri Mulyani selaku mantan Menteri Koordinator Perekonomian
Indonesia, Widodo A.S selaku mantan Menteri Koor. Politik Hukum dan HAM,
Sofyan Djalil selaku mantan Menteri Negara BUMN.

C. Analisis Kasus
Perjanjian antara Australia dan Indonesia tentang keamanan dan ketahanan
negara atau yang biasa dikenal lombo Treaty, telah mengalami proses yang cukup
Panjang dalam pembuatannya. Proses dalam perjanjian ini telah malalui tahap
perundingan, penandatangan dan ratifikasi. Berdasarkan UU no 24 tahun 2000
pasal 3, hal ini menjadi dasar diratifikasinya perjanjian Lombok thety tersebut.
Pasal 3 berbunyi bahwa pemerintah RI mengikatkan diri dari perjanjian
internasional melalui cara-cara sebagai berikut:

23
1. Penandatanganan
2. Pengesahan
3. Pertukaran dokumen oerjanjian atau nota diplomatik
4. Dan cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian
internasional

Setelah terjadi ratifikasi Lombok treaty, pada tahun 2009 terjadi pelangaran yang
dilakukan oleh Australia terhadap isi muatan perjanian Internasional berupa
penyadapan pada ornag-orang penting di Indonesia. Dalam sebuah Perjanjian,
seharusnya kedua belah pihak harus saling mematuhi terhadap aturan yang sudah
mereka buat, akan tetapi tidak sedikit dalam sebuah perjanjian salah satu pihak
melakukan penyelewengan atau melanggar perjanjian demi terwujudnya
keinginannya. Berikut Prinsip-prinsip Perjanjian Internasional yang harus
dilakukan oleh pihak-pihak yang melakukan perjanjian,
1. Pacta Sunt Sevanda, adalah pihak-pihak yang telah melakukan perjanjian
harus menaati peraturan sesuai dengan perjanjian tersebut, karena perjanjian
yang telah dibuat akan menjadi Undang-undang (dasar) yang mengikat untuk
para pihak.
2. Good Faith, adalah para pihak yang melakukan perjanjian harus mempunyai
i’tikad baik dalam melaksanakan perjanjian tersebut.
Berdasarkan prinsip-prinsip diatas, Australia yang melakukan perjanjian
dengan Indonesia dalam berbagai hal, khususnya dalam hal keamanan Negara telah
melanggar perjanjian tersebut. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip Perjanjian
Internasional “Pacta Sun Sevanda” yang mengharuskan para pihak menaati
peraturan yang telah dibuat. Australia telah melanggar Perjanjian dengan
menyadap telepon Presiden selama 15 hari dan juga memata-matai mentri lain
yang sangat berpengaruh terhadap Indonesia.
Dalam kasus tersebut juga bertentangan prinsip perjanjian yang lain, yakni
prinsip adanya i’tikad baik. Australia dalam melakukan perjanjian dengan
Indonesia tidak melaksanakan prinsip adanya i’tikad baik, yang mana Australia
telah melakukan hal-hal yang buruk terhadap Indonesia dengan memata-matai
lewat alat komunikasi demi kepentingan Australia sendiri.

24
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hubungan antara Indonesia dengan Australia memburuk terjadi sampai
pertengahan tahun 2006. Pada bulan Agustus tahun 2006 di Jakarta kemudian
bulan September 2006 di Canberra, disepakati Agreement between the
Government of the Republic Indonesia and the Government of Australia on
Framework for Scurity Cooperation. Kemudian secara resmi pada tanggal 13
November 2006 Perjanjian Keamanan kedua Negara setelah melakukan
perundingan ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Australia dan Indonesia.
Setahun setelahnya perjanjian ini diratifikasi oleh Indonesia dalam Rancangan UU
tentang Perjanjian Keamanan RI-Australia.
Namun pada tahun 2009 Australia yang telah melakukan perjanjian hal
keamanan Negara telah melanggar perjanjian tersebut dengan melakukan
penyadapan kepada Presiden selama 15 hari dan memata-matau sejumlah Menteri.
Hal ini tidak sesuai dengan prinsip Perjanjian Internasional “Pacta Sun Sevanda”
yang mengharuskan para pihak menaati peraturan yang telah dibuat dan prinsip
i’tikad baik dalam melakukan perjanjian

B. Rekomendasi
Adapun dengana adanya pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam suatu perjanjian internasional, para pihak lain dalam hokum nasionalnya
memperketat aturan hokum. Tidak lain dari tujuan memperketat hokum nasional
adalah untuk menghindari kerugian pada salah satu negara. Kasus pelanggaran
dari perjanjian Lombok treaty ini juga menjadi landasan utama dalam menerapkan
kehati-hatian dalam melakukan perjanjian internasional dengan memikirkan
dampak dan akibat yang memungkinan terjadinya situasi yang tak diharapkan
dikemudian hari.

25
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Al-Quran Al-Karim
Agusman, Damos Dumoli. Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan
Praktik Indonesia. Bandung: Refika Aditama. 2010.
Anwah, Chairul. Hukum Internasional: Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa.
Jakarta: Djambatan.1998
Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Bina
Cipta.1990
Mauna, Boer. Hukum Internasional. Bandung: Alumni. 2003.
Parthiana, Wayan. Hukum Internasional Bagian 1. Bandung: Mandar Maju. 2002.
Pengantar Hukum Internasional 2. Jakarta: Sinar Grafika. 2007.
Rudy, May Hukum Internasional 2. Bandung: Refika Aditama.2006.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Ak-Masbah,: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al Quran.
Jakarta: Lentera HAati. 2004
Starke, J.G. Introduction to International Law. terj. Bambang Iriana Djajaatmaja.

Jurnal

Jurnal Cita Hukum, Vol. I No. 1, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta: 2013
Kurniawati, Dyah Estu. Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah di Era
Otonomi Daerah (studi pada pemkab malang). Humanity. 2. Maret : 2010
Purwanto, Herry. Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian
Internasional, Mimbar Hukum. 21.Februari: 2009

26

Anda mungkin juga menyukai