Anda di halaman 1dari 91

BAB III

PERSPEKTIF HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL TERHADAP

MLA DI INDONESIA

A. Pengertian Perjanjian Internasional

Sebagai salah satu sumber hukum Internasional, perjanjian Internasional

telah dan nampaknya akan selalu menjadi hal yang menarik untuk ditelaah, baik

dikalangan pemerhati hukum Internasional maupun masyarakat pada umumnya.

Dinamika perkembangan dunia yang sangat cepat berubah, telah menimbulkan

dampak, yaitu yang memaksa unsur-unsur pendukung dalam hubungan

Internasional untuk terus beradaptasi guna mengimbangi perkembangan yang

terjadi. Perjanjian Internasional sebagai salah satu unsur pendukung di dalam

konteks hubungan interaksi antar negara juga mengalami perubahan seiring

dengan semakin kompleksnya isu-isu yang timbul akibat dari perkembangan yang

ada.

Secara umum, hukum Internasional yang mengatur perjanjian

Internasional terdapat dalam Konvensi Wina tentang hukum perjanjian

Internasional (Vienna Convention on Law of the Treaties) yang telah disepakati

pada tahun 1969. Secara substansial perjanjian Internasional di dalam Konvensi

Wina, mengatur antara lain tentang pembuatan, validitas, pengaruh, interprestasi,

modifikasi, penundaan, dan terminasi dari sebuah perjanjian Internasional.

Pada dasarnya, sebuah perjanjian Internasional adalah sebuah perjanjian

tertulis yang dibuat oleh dua atau lebih Negara yang berdaulat atau organisasi

Universitas Sumatera Utara


Internasional. Seperti layaknya sebuah perjanjian, perjanjian Internasional dapat

diakhiri dengan berbagai cara, antara lain mulai dari kesepakatan yang diatur di

dalam perjanjian Internasional, repudiasi kewajiban oleh salah satu pihak di dalam

perjanjian Internasional, dan hilangnya objek dari perjanjian Internasional atas

dari prinsip hukum rebus sic stantibus 70.

Berdasarkan ketiga cara umum pengakhiran suatu perjanjian Internasional

diatas, cara pemberlakuan prinsip hukum rebus sic stantibus nampaknya tetap

menjadi bahan telaah dan sering digunakan oleh negara-negara di dunia untuk

mengakhiri sebuah perjanjian Internasional. Bentuk yang cukup terkenal yang

dianggap oleh beberapa ahli hukum dan praktek Internasional sebagai salah satu

bentuk rebus sic stantibus adalah konflik senjata.

Berdasarkan beberapa contoh praktek negara-negara di dunia dan beberapa

konflik senjata yang terjadi, dapat diambil beberapa kesimpulan yang patut

dicermati, yaitu antara lain adalah bahwa untuk beberapa kasus, sebuah perjanjian

Internasional tetap berlaku walaupun terjadi konflik senjata, bahwa sebuah

perjanjian Internasional tidak serta merta berhenti berlaku walaupun terjadi

konflik senjata, melainkan mengalami penundaan pelaksanaan, dan bahwa untuk

kasus-kasus tertentu sebuah perjanjian Internasional tidak berlaku lagi atau yang

disebabkan oleh konflik senjata baik antara para pihak dari perjanjian

Internasional tersebut maupun pihak ketiga.

Masyarakat Internasional mengalami berbagai perubahan yang besar

dalam perbaikan peta politik yang terjadi terutama setelah Perang Dunia II. Proses
70
“Perjanjian Internasional dan Konflik Bersenjata”, www.hukumonline.com., diakses
terakhir kali pada 22 Oktober 2010. Rebus sic stantibus adalah asas yang dapat digunakan terhadap
perubahan yang mendasar/fundamentali dalam keadaan yang bertalian dengan perjanjian itu.

Universitas Sumatera Utara


ini sudah dimulai pada permulaan abad XX yang mengubah pola kekuasaan

politik di dunia. Timbulnya negara-negara baru yang merdeka, berdaulat, dan

sama derajatnya satu dengan yang lain terutama sesudah Perang Dunia II.

Perubahan kedua ialah kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi berbagai alat

perhubungan menambah mudahnya perhubungan yang melintasi batas negara.

Dalam suatu hubungan Internasional selalu diikuti dengan munculnya

perjanjian Internasional. Perjanjian Internasional tersebut menjadi dasar untuk

melakukan pengaturan berbagai kegiatan dan menyelesaikan berbagai

permasalahan yang timbul akibat dari perjanjian tersebut, sehingga perjanjian

Internasional merupakan salah satu sumber dari hukum Internasional.

Sampai dengan tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian Internasional

hanya diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft pasal-pasal yang disiapkan

oleh komisi hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu konferensi

Internasional di Wina dari tanggal 26 Maret sampai dengan 24 Mei 1968 dan dari

tanggal 9 April sampai dengan 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasikan hkum

kebiasaan tersebut.

Konferensi kemudian melahirkan Vienna Convention on the Law of

Treaties yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku

sejak tanggal 27 Januari 1980 dan telah menjadi hukum Internasional positif.

Sampai dengan Desember 1999, sudah 90 negara menjadi pihak pada Konvensi

tersebut 71.

71
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Edisi ke-2, 2005, Alumni, Bandung, 2005, hal. 83.

Universitas Sumatera Utara


Pengertian perjanjian Internasional adalah perjanjian Internasional antara

Negara-Negara sesuai Pasal 2 ayat (1) butir a Konvensi Wina tahun 1969 adalah:

Treaty means an international agreement conclude between states in written form

and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in

two or more related instruments and whatever its particular designation.

(perjanjian artinya suatu persetujuan Internasional yang diadakan antara Negara-

negara dalam bentuk yang tertulis dan diatur dalam hukum Internasional, baik

yang berupa satu instrumen tunggal atau berupa dua atau lebih instrumen yang

berkaitan tanpa memandang apapun juga namanya) 72.

Perjanjian Internasional menurut Michael Virally adalah sebagai berikut:

A treaty is international agreement which is entered into by two or more states or

other international persons and is governed by international law73.

Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja, perjanjian Internasional

adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang

bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu 74.

Menurut I Wayan Parthiana, perjanjian Internasional adalah kata sepakat

antara dua atau lebih subjek hukum Internasional mengenai suatu objek atau

masalah tertentu dengan maksud membentuk suatu hubungan hukum atau

melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum Internasional.

72
Wasito, Konvensi-Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik, Hubungan Konsuler
dan Hukum Perjanjian/Traktat, Andi Offset, Yogyakarta, 1984.
73
F.A. Whisnu Situni, Identifikasi dan Reformasi Sumber-Sumber Hukum Internasional,
Mandar Maju, Bandung, 1989, hal. 31.
74
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Edisi
Kedua, Cetakan ke-1, Alumni, Bandung, 2003, hal. 117.

Universitas Sumatera Utara


Pengertian perjanjian Internasional dalam Pasal 1 UU Nomor 24 tahun

2000 tentang Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama

tertentu, yang diatur dalam hukum Internasional yang dibuat secara tertulis serta

menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Di bidang hukum

publik berarti diatur oleh hukum Internasional, dan dibuat oleh pemerintah dengan

Negara, organisasi Internasional, atau subjek hukum Internasional lain.

Sedangkan definisi perjanjian Internasional menurut Pasal 1 ayat (3) UU

Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri adalah perjanjian dalam

bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum Internasional dan dibuat

secara tertulis oleh pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih Negara,

organisasi Internasional atau subyek hukum Internasional lainnya, serta

menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah Republik Indonesia yang

bersifat hukum publik.

Pengertian tersebut di satu sisi menyatakan perjanjian Internasional bisa

dilakukan oleh setiap subjek hukum Internasional, tapi di sisi lain definisi tersebut

mempersempitnya bahwa perjanjian tersebut hanya dilakukan oleh pemerintah

(Negara) Indonesia dengan semua objek hukum Internasional lainnya. Artinya,

perjanjian tersebut tidak bisa dilakukan oleh subjek non-Negara dengan subjek

non-Negara, hanya bisa dilakukan oleh Negara (Indonesia) dengan Negara dan

subjek non-Negara.

Definisi tersebut juga menyebutkan bahwa perjanjian Internasional hanya

mengikat salah satu para pihak saja dalam bentuk hukum publik bagi

Universitas Sumatera Utara


masyarakatnya, padahal setiap perjanjian Internasional bersifat law making and

treaty contract (mengikat publik para pihak perjanjian).

Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka terdapat unsur-unsur yang

harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu perjanjian Internasional, yaitu 75:

1. Kata Sepakat.

Kata sepakat adalah inti dari perjanjian Internasional. Tanpa adanya kata

sepakat antara pihak yang mengadakan perjanjian maka tidak akan ada

perjanjian. Kata sepakat ini tertuang didalam pasal-pasal perjanjian.

2. Subjek-Subjek Hukum.

Subjek hukum yang dimaksud adalah subjek-subjek hukum Internasional

yang terikat pada perjanjian. Dalam perjanjian yang tertutup dan isinya lebih

teknis maka pihak-pihak yang melakukan perundingan adalah pihak-pihak

yang terikat pada perjanjian. Sedangkan dalam perjanjian Internasional yang

terbuka dan isinya mengenai melakukan perundingan dan pihak-pihak yang

terikat pada perjanjian Internasional tersebut status hukumnya tidak sama.

3. Berbentuk Tertulis

Maksudnya sebagai perwujudan dari kata sepakat yang sah dan mengikat

para pihak. Oleh karena itu kata sepakat tersebut dirumuskan dalam bahasa dan

tulisan yang dapat dimengerti dan dipahami serta disepakati oleh para pihak.

4. Objek Tertentu

Maksudnya adalah objek atau hal yang diatur dalam perjanjian. Setiap

perjanjian mengandung objek tertentu. Objek tersebut ada kalanya menjadi


75
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, CV. Mandar Maju, Bandung,
2003, hal. 14.

Universitas Sumatera Utara


nama dari perjanjian tersebut. Misalnya Konvensi hukum laut objek dari

perjanjian tersebut adalah tentang laut.

5. Tunduk kepada atau diatur oleh Hukum Internasional

Maksudnya sejak perundingan dimulai untuk merumuskan naskah

perjanjian, pemberlakuan, pelaksanaannya dengan segala permasalahan yang

timbul sampai dengan pengakhiran perjanjian, seluruhnya tunduk kepada

hukum Internasional maupun hukum perjanjian Internasional.

Bentuk dan Macam Perjanjian Internasional

Praktek pembuatan perjanjian antara Negara-Negara selama ini telah

melahirkan berbagai bentuk terminologi perjanjian Internasional yang kadang kala

berbeda pemakaiannya menurut Negara, wilayah, maupun jenis perangkat

Internasionalnya. Terminologi yang digunakan atas perangkat Internasional

tersebut umumnya tidak mengurangi hak dan kewajiban yang terkandung

didalamnya. Beberapa terminologi tersebut antara lain 76:

1. Treaties (Perjanjian Internasional/Traktat)

Pengertian treaty dapat digunakan menurut pengertian umum, yaitu bahwa

treaty mencakup segala macam bentuk persetujuan Internasional, dan dalam

arti khusus, dimana treaty merupakan perjanjian yang paling penting dan

sangat formal dalam urutan perjanjian.

Menurut pengertian umum, istilah treaty dalam bahasa Indonesia lebih

dikenal dengan istilah perjanjian Internasional. Dalam pengertian ini,

perjanjian Internasional mencakup seluruh perangkat yang dibuat oleh subjek


76
Boer Mauna, Op. Cit., hal. 89.

Universitas Sumatera Utara


hukum Internasional dan memiliki kekuatan yang mengikat menurut hukum

Internasional. Sedangkan menurut pengertian khusus, terminologi treaty dalam

bahasa Indonesia lebih dikenal dengan traktat. Traktat digunakan untuk suatu

perjanjian yang materinya merupakan hal-hal yang prinsipil diantaranya

mengatur masalah perdamaian, perbatasan Negara, ekstradisi atau

persahabatan 77.

2. Convention (Konvensi)

Dalam pengertian umum, terminologi convention juga mencakup

pengertian perjanjian Internasional secara umum dan dapat disamakan dengan

pengertian umum terminologi treaty. Dalam pengertian khusus, convention

dikenal dengan istilah bahasa Indonesia sebagai Konvensi. Istilah Konvensi

dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian multilateral yang beranggotakan

banyak pihak. Konvensi biasanya bersifat law making artinya merumuskan

kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat Internasional78.

3. Agreement (Persetujuan)

Terminologi agreement juga memiliki pengertian umum dan pengertian

khusus. Dalam pengertian umum, Konvensi Wina tahun 1969 menggunakan

terminologi agreement dalam artian luas. Dengan demikian pengertian

agreement secara umum mencakup seluruh jenis perangkat Internasional dan

biasanya mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari traktat dan Konvensi.

77
Ibid., hal. 90.
78
Ibid., hal. 91.

Universitas Sumatera Utara


Dalam pengertian khusus, lebih dikenal dengan istilah persetujuan, yaitu

persetujuan umumnya mengatur materi yang memiliki cakupan lebih kecil

dibanding materi yang diatur traktat 79.

4. Charter (Piagam)

Istilah charter umumnya digunakan untuk perangkat Internasional seperti

dalam pembentukan suatu organisasi Internasional. Penggunaan istilah ini

berasal dari Magna Charta 80 yang dibuat pada tahun 1215. Contoh umum

perangkat Internasional tersebut adalah piagam PBB tahun 1945.

5. Protocol (Protokol)

Terminologi protokol digunakan untuk perjanjian Internasional yang

materinya lebih sempit dibanding treaty atau convention. Penggunaan protokol

tersebut memiliki berbagai macam keragaman, yaitu:

a. Protocol of Signature

Protokol penandatanganan merupakan perangkat tambahan suatu

perjanjian Internasional yang dibuat oleh pihak-pihak yang sama pada

perjanjian. Protokol tersebut pada umumnya berisikan hal-hal yang berkaitan

dengan penafsiran Pasal-Pasal tertentu pada perjanjian dan hal-hal yang

berkaitan dengan pengaturan teknik pelaksanaan perjanjian 81.

b. Optional Protocol

79
Ibid., hal. 92.
80
“Magna Charta”, www.wikipedia.com, diakses terakhir kali pada 22 Oktober 2010.
Magna Charta (“piagam besar”) adalah piagam Inggris tahun 1215 yang membatasi kekuasaan
monarki Inggris, terutama raja John, dari kekuasaan absolut, sebagai hasil dari ketidaksetujuan
antara Paus dan raja John dan baronnya atas hak raja. Magna Charta mengharuskan raja untuk
membatalkan beberapa hak dan menghargai beberapa prosedur legal, dan untuk menerima bahwa
keinginan raja dapat dibatasi oleh hukum. Magna Charta adalah langkah pertama dalam proses
sejarah yang panjang yang menuju ke pembuatan hukum konstitusional.
81
Ibid., hal. 93.

Universitas Sumatera Utara


Protokol tambahan memberikan tambahan hak dan kewajiban selain yang

diatur dalam perjanjian Internasional. Protokol tersebut biasanya memiliki

karakter khusus dan memerlukan proses pengesahan yang terpisah dari

perjanjian induknya. Protokol tersebut dimaksud untuk memberikan

kesempatan pada beberapa pihak untuk membentuk pengaturan lebih jauh

dari perjanjian induk tanpa memerlukan persetujuan seluruh Negara pihak.

Contohnya adalah protokol tambahan konvenan Internasional mengenai hak-

hak sipil dan politik tahun 1966.

c. Protocol Based on Framework Treaty

Protokol ini merupakan perangkat yang mengatur kewajiban-kewajiban

khusus dalam melaksanakan perjanjian induknya. Protokol tersebut umumnya

digunakan untuk menjamin proses pembuatan perjanjian-perjanjian

berlangsung lebih cepat dan sederhana dan telah digunakan khususnya pada

hukum lingkungan. Contoh atas protokol ini adalah Protocol on Substances

that Deplete the Ozone Layer yang didasari oleh Pasal 2 dan 8 Vienna

Convention for Protection of the Ozone Layer tahun 1985.

d. Protokol untuk mengubah beberapa perjanjian Internasional

Seperti Protocol of 1946 Amending the Agreement, Conventions and

Protocol on Narcotics Drugs.

e. Protokol yang merupakan perlengkapan perjanjian sebelumnya Seperti

Protocol of 1967 Relating to the Status of Refugees yang merupakan

perlengkapan dari Convention of 1951 Relating to the Status of Refugees.

6. Declaration (Deklarasi)

Universitas Sumatera Utara


Deklarasi merupakan perjanjian dan berisikan ketentuan-ketentuan umum

dimana pihak-pihak pada perjanjian tersebut berjanji untuk melaksanakan

kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu di masa yang akan datang.

7. Final Act

Final act adalah suatu dokumen yang berisikan ringkasan laporan sidang

dari suatu konferensi dan yang juga menyebutkan perjanjian-perjanjian atau

Konvensi-Konvensi yang dihasilkan oleh konferensi tersebut dengan kadang-

kadang disertai anjuran atau harapan yang sekiranya dianggap perlu.

Penandatanganan final act hanya berarti berakhirnya suatu tahap dalam proses

pembuatan perjanjian 82.

8. Agreed Minutes and Summary Record

Agreed minutes dan summary record adalah catatan mengenai hasil

perundingan yang telah disepakati oleh pihak-pihak dalam perjanjian. Catatan

ini dipergunakan sebagai rujukan dalam perundingan-perundingan selanjutnya.

9. Memorandum of Understanding (MoU)

Memorandum saling pengertian (MoU) merupakan suatu perjanjian yang

mengatur pelaksanaan teknis operasional suatu perjanjian induk. Sepanjang

materi yang diatur bersifat teknis, memorandum ini dapat berdiri sendiri dan

tidak memerlukan adanya perjanjian induk 83.

10. Arrangement

Arrangement adalah suatu perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknik

operasional suatu perjanjian induk. Terkadang juga dipakai istilah special

82
Ibid., hal. 94.
83
Ibid., hal. 95.

Universitas Sumatera Utara


arrangement untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam

persetujuan-persetujuan kerjasama teknis.

11. Exchange of Notes (Pertukaran Nota)

Pertukaran nota merupakan perjanjian Internasional bersifat umum yang

memiliki banyak persamaan dengan perjanjian hukum perdata. Perjanjian ini

dilaksanakan dengan mempertukarkan dua dokumen yang ditandatangani oleh

kedua belah pihak pada masing-masing dokumen. Biasanya nota-nota yang

dipertukarkan tersebut berisikan kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai

dengan tanggal yang sama dan mulai berlaku pada tanggal tersebut kecuali bila

pihak-pihak menentukan lain.

12. Process-Verbal

Istilah ini digunakan untuk mencatat pertukaran atau penyimpanan piagam

pengesahan atau untuk mencatat kesepakatan hal-hal yang bersifat teknik

administratif atau perubahan-perubahan kecil dalam suatu persetujuan 84.

13. Modus Vivendi

Modus vivendi merupakan suatu perjanjian yang bersifat sementara dengan

maksud diganti dengan peraturan yang tetap dan terperinci. Biasanya dibuat

dengan cara tidak resmi dan tidak memerlukan pengesahan.

Secara garis besar perjanjian Internasional terdiri dua bentuk, yaitu:

1. perjanjian Internasional yang tidak tertulis (unwritten/oral agreement)

Perjanjian Internasional tidak tertulis pada umumnya adalah pernyataan

bersama atau secara timbal balik diucapkan oleh kepala Negara, kepala

84
Ibid., hal. 96.

Universitas Sumatera Utara


pemerintahan ataupun menteri luar negeri yang atas Negaranya masing-masing

mengenai suatu masalah tertentu yang menyangkut kepentingan para pihak.

Selain itu juga dapat berupa pernyataan sepihak yang dikemukakan oleh

pejabat-pejabat atau organ-organ pemerintahan Negara yang kemudian

ditanggapi secara positif oleh pejabat-pejabat Negara atau organ-organ

pemerintah dari Negara lain.

2. perjanjian Internasional tertulis (written agreement)

Perjanjian Internasional tertulis lebih banyak dilaksanakan dalam suatu

hubungan Internasional. Hal disebabkan karena perjanjian Internasional tertulis

mempunyai keunggulan seperti ketegasan, kejelasan, dan kepastian hukum

bagi para pihak. Beberapa macam perjanjian Internasional tertulis, antara lain:

a. perjanjian Internasional yang berbentuk perjanjian antar Negara.

Perjanjian Internasional yang terjadi biasanya merupakan perjanjian yang

dilihat dari segi isinya sangat penting, baik bagi kedua Negara yang

melaksanakan perjanjian, ataupun Negara yang menjadi peserta perjanjian.

Perjanjian yang berlaku tertutup, maka hanya terbatas bagi Negara-Negara

yang terikat. Tetapi jika perjanjian dilaksanakan terbuka, maka perjanjian

berlaku juga bagi Negara lain atau Negara ketiga yang dapat menjadi peserta

dari perjanjian tersebut.

b. perjanjian Internasional yang berbentuk perjanjian antar kepala Negara.

Perjanjian ini termasuk perjanjian yang penting karena ditandatangani oleh

kepala Negara masing-masing pihak.

Universitas Sumatera Utara


c. perjanjian Internasional yang berbentuk antar pemerintah. Dalam

perjanjian ini wakil-wakil tiap Negara adalah menteri-menteri dari bidang

masing-masing. Perjanjian ini lebih bersifat teknis dan tertutup.

d. perjanjian Internasional dalam bentuk kepala Negara dan kepala

pemerintahan. Perjanjian Internasional ini ditandatangani oleh presiden dan

perdana menteri.

Perjanjian Internasional yang tertulis terbagi dalam berbagai macam bentuk

ditinjau dari berbagai macam segi. Berdasarkan berbagai segi tinjauan maka

perjanjian Internasional terbagi dalam 85:

1. Berdasarkan jumlah Negara yang menjadi pesertanya, yaitu:

a. perjanjian Bilateral, atau juga disebut bipartite treaty 86, yaitu perjanjian

Internasional yang pihak-pihak atau Negara pesertanya hanya terdiri dari

dua Negara saja.

Perjanjian bilateral hampir disemua hal hanya membentuk apa yang

disebut hukum tertentu atau hukum khusus yang berbeda dengan hukum

umum yang membentuk hukum internasional bagi dua penandatangan dan

tentu saja tidak menimbulkan hukum yang bersifat universal yang berlaku

bagi semua negara. Namun jika cukup banyak perjanjian bilateral yang

dibuat itu sifatnya sama, maka perjanjian-perjanjian tersebut bisa

memperoleh kekuatan sebagai hukum yang umum.

85
Ibid., hal. 40.
86
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: Tata Nusa, 2008, hal.
13.

Universitas Sumatera Utara


Misalnya karena tiap negara di dunia paling tidak mempunyai beberapa

perjanjian yang dibuat dengan negara lain misalnya yang menyangkut

ekstradisi penjahat, perjanjian bilateral yang terpisah ini akan menyatu dan

mempunyai kekuatan bersama dalam hukum internasional secara umum 87.

Akan tetapi hal ini menurut Fenwick C.G. dalam bukunya International

Law, khusus untuk masalah ekstradisi, karena adanya perbedaan dalam

hukum pidana dari negara-negar khususnya perbedaan dalam konsepsi

pelanggaran politik yang dipisahkan dari pelanggaran kejahatan, maka

negara-negara tersebut kemudian tidak dapat membuat satu Konvensi

internasional secara umum untuk mengganti perjanjian-perjanjian bilateral

yang begitu banyak yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran yang

berbeda-beda.

b. perjanjian Multilateral (multipartite) 88, yaitu perjanjian Internasional yang

pihak-pihak atau Negara pesertanya pada perjanjian tersebut lebih dari dua

Negara, yang mungkin dibuat dalam kerangka baik regional seperti Warsaw

Pact of Friendship and Cooperation and Mutual Assistance yang

ditandatangani pada 14 Mei 1955, maupun internasional atau bersifat

fungsional yang bukan digolongkan dalam kategori wilayah geografis,

seperti Five-Power Treaty on Naval Limitation.

Dalam perjanjian multilateral, yang sangat berbeda dengan perjanjian

bilateral ada dua kelompok yaitu perjanjian multilateral yang bersifat umum

yang lazim disebut perjanjian pembuat hukum (law making), dan walaupun

87
Ibid., hal. 14.
88
Ibid., hal. 15.

Universitas Sumatera Utara


berbeda dalam beberapa hal dengan perundang-undangan negara ternyata

memberikan kehendak yang sama bagi para pihak terhadap subyek

perjanjian tersebut 89.

2. Berdasarkan kesempatan yang diberikan kepada Negara-Negara untuk

menjadi pihak atau peserta, yaitu:

a. perjanjian Internasional tertutup, adalah perjanjian Internasional yang

substansinya merupakan kaidah hukum yang khusus berlaku bagi para pihak

yang berkepentingan, dan Negara ketiga tidak diperkenankan ikut serta.

b. perjanjian Internasional terbuka, adalah perjanjian Internasional yang

berlaku bagi Negara-Negara lain yang pada awalnya tidak ikut dalam proses

perundingan terbentuknya perjanjian tersebut.

3. Berdasarkan kaidah hukumnya, terbagi dalam tiga macam, yaitu:

a. melahirkan kaidah hukum yang khusus berlaku bagi para pihak yang

terikat. Perjanjian semacam ini bisa berbentuk perjanjian bilateral maupun

multilateral terbatas, sehingga kaidah hukumnya tidak berlaku bagi Negara

yang tidak terikat perjanjian.

b. melahirkan kaidah hukum yang berlaku terbatas dalam satu kawasan,

biasanya hal ini terjadi dalam perjanjian Internasional terbuka. Kaidah

hukum ini tidak berlaku bagi Negara atau peserta lain yang tidak berada

dalam kawasan tersebut. Perjanjian Internasional ini biasa disebut sebagai

perjanjian Internasional regional.

89
Ibid., hal. 16.

Universitas Sumatera Utara


c. melahirkan kaidah hukum yang berlaku umum, perjanjian ini biasanya

menyangkut kepentingan Negara diseluruh dunia. Perjanjian ini tidak

memandang letak geografis maupun jenis suatu Negara.

4. Berdasarkan bahasanya, dibedakan dalam 3 macam, yaitu:

a. dalam bentuk satu bahasa, biasanya adalah bahasa yang disetujui kedua

belah pihak. Apabila terjadi perselisihan maka naskah perjanjian dalam

bahasa ini dijadikan sebagai naskah yang sah dan otentik.

b. dirumuskan dalam bentuk dua bahasa atau lebih tetapi hanya dirumuskan

dalam satu bahasa yang sah dan mengikat para pihak. Biasanya perjanjian

ini dirumuskan dalam bahasa inggris yang disepakati sebagai naskah yang

sah dan otentik serta mengikat para pihak. Sementara naskah dalam bahasa

lainnya yang umumnya bahasa nasional masing-masing pihak hanya berlaku

dalam negeri sebagai bagian dari hukum nasional masing-masing.

c. dirumuskan dalam lebih dari dua bahasa semuanya merupakan naskah

yang sah, otentik, dan mempunyai kekuatan mengikat yang sama. Perjanjian

ini diwarnai oleh faktor politik yang cukup besar, sehingga setiap pihak

ingin perjanjian tersebut dirumuskan dalam bahasanya.

5. Berdasarkan substansi hukum yang dikandungnya, perjanjian Internasional

dirumuskan kedalam:

a. keseluruh pasal merupakan perumusan kaidah-kaidah hukum kebiasaan

Internasional dalam bidang yang bersangkutan. Untuk masa sekarang dan

yang akan datang, perjanjian semacam ini tidak akan terjadi. Hal ini

dikarenakan perkembangan hukum Internasional yang pesat sehingga selalu

Universitas Sumatera Utara


muncul hal-hal baru disamping kaidah-kaidah hukum yang telah menjadi

kebiasaan Internasional.

b. perumusan yang melahirkan kaidah-kaidah hukum Internasional yang

sama sekali baru. Hal ini biasanya berkenaan dengan hal-hal yang baru dan

belum ada kaidah hukum yang mengaturnya.

c. perpaduan antara kaidah-kaidah hukum kebiasaan Internasional dan

kaidah-kaidah hukum Internasional yang baru sama sekali. Hal ini

disebabkan karena berkembang pesatnya masyarakat dunia, sehingga selain

hukum kebiasaan Internasional dibutuhkan kaidah-kaidah hukum

Internasional yang baru.

6. Berdasarkan pemrakarsanya. Suatu perjanjian Internasional terjadi karena

didorong oleh adanya suatu kebutuhan. Sehingga ada pihak-pihak yang

mendorong terjadinya perjanjian Internasional, yaitu:

a. pembentukannya diprakarsai oleh Negara atau Negara-Negara. Biasanya

hanya yang menyangkut objek kepentingan Negara-Negara yang terikat

ataupun Negara-Negara yang tidak terikat pada perjanjian.

b. pembentukannya diprakarsai oleh organisasi Internasional. Biasanya objek

dari perjanjian adalah hal yang berkenaan dengan kegiatan dari organisasi

Internasional tersebut.

7. Berdasarkan ruang lingkup berlakunya perjanjian, yaitu:

a. perjanjian Internasional khusus, perjanjian yang hanya berlaku khusus

bagi Negara-Negara yang terikat didalamnya tanpa memandang letak

geografis dari Negara-Negara tersebut. Contohnya adalah perjanjian

Universitas Sumatera Utara


Internasional yang terdapat di dalam Organization of Petroleum and

Economic Cooperation (OPEC).

b. perjanjian Internasional regional atau kawasan, perjanjian Internasional

yang berlakunya berdasarkan hanya terbatas pada kawasan tertentu saja dan

mengikat Negara-Negara yang berada dalam satu kawasan yang

menunjukkan ciri regionalnya. Contohnya adalah Deklarasi Bangkok pada 8

Agustus 1967 tentang ASEAN.

c. perjanjian Internasional universal, perjanjian Internasional yang substansi

dan ruang lingkupnya bagi seluruh Negara. Perjanjian Internasional ini

merupakan perjanjian Internasional yang bersifat law making treaty.

Misalnya adalah Konvensi hukum laut PBB tahun 1982.

B. Proses Pembentukan Perjanjian Internasional

Menurut Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional, Perjanjian

Internasional merupakan salah satu sumber hukum Internasional. Perjanjian

Internasional yang diakui oleh Pasal 38 (1) piagam Mahkamah Internasional

hanya perjanjian-perjanjian yang dapat membuat hukum.

Pada tahun 1969, Negara-Negara telah menandatangani Konvensi Wina

tentang perjanjian Internasional, yang mulai berlaku pada tahun 1980. Pasal 2

Konvensi Wina 1980 mendefinisikan perjanjian Internasional sebagai persetujuan

antara dua Negara atau lebih, dengan tujuan mengadakan hubungan timbal balik

Universitas Sumatera Utara


menurut hukum Internasional. Dalam praktiknya, beberapa Negara yang

membentuk perjanjian Internasional dapat dibedakan menjadi 90:

1. perjanjian Internasional melalui dua tahap

Kedua tersebut adalah tahap perundingan (negotiation) dan tahap

penandatanganan (signature). Dalam tahap perundingan ini, wakil-wakil para

pihak bertemu dalam suatu forum atau tempat khusus membahas dan

merumuskan masalah-masalah. Perumusan tersebut kemudian menjadi hasil kata

sepakat yang akhirnya berupa naskah perjanjian.

Selanjutnya naskah perjanjian tersebut ditandatangani yang berarti telah

mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang bersangkutan. Perjanjian

yang dibentuk melalui dua tahap cukup sederhana dan cukup prosesnya.

Perjanjian dua tahap ini hanya sesuai untuk masalah-masalah yang

pelaksanaannya segera dapat diselesaikan.

2. perjanjian Internasional melalui 3 tahap.

Tahapan yang harus dilalui adalah tahap perundingan (negotiation), tahap

penandatanganan (signature), dan tahap pengesahan (ratification).

Setelah wakil-wakil mengadakan perundingan kemudian dilanjutkan

dengan penandatanganan, tetapi tindakan penandatanganan tidak merupakan

pengikatan diri terhadap perjanjian.

Agar perjanjian tersebut mengikat bagi para pihak maka wakil-wakil

tersebut mengajukan kepada pemerintah Negara masing-masing untuk disahkan

90
I Wayan Parthiana, Op. Cit., hal. 221.

Universitas Sumatera Utara


atau diratifikasi. Umumnya perjanjian ini menyangkut hal-hal yang mengandung

nilai penting atau prinsip bagi para pihak yang bersangkutan.

Proses pembentukan perjanjian Internasional, menempuh berbagai tahapan

dalam pembentukan perjanjian Internasional, sebagai berikut 91:

1. tahap Penjajagan

Tahap penjajagan dirancang agar sesuai dengan kebijakan di dalam mekanisme

pembuatan dan pengesahan perjanjian Internasional. Tahap ini merupakan tahap

awal yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang berunding mengenai

kemungkinan dibuatnya suatu perjanjian Internasional.

2. tahap Perundingan

Tahap perundingan selain dimaksud sebagai upaya untuk mencapai kesepakatan

atas materi yang belum dapat disetujui dalam tahap penjajagan, juga digunakan

untuk menegaskan kembali kedudukan para pihak untuk memperjelas

pemahaman akan maksud dan makna yang tertuang dalam ketentuan di dalam

perjanjian Internasional.

3. tahap Perumusan Naskah

Rumusan naskah perjanjian Internasional merupakan hasil kesepakatan dalam

perundingan oleh para pihak atas materi perjanjian Internasional. Dalam

perumusan suatu naskah perjanjian perlu diperhatikan, antara lain 92:

a. Judul

b. Konsiderans/preambule

91
Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Direktorat Jenderal Hukum dan
Perjanjian Luar Negeri, Departemen Luar Negeri, Pedoman Teknis dan Referensi tentang
Pembuatan Perjanjian Internasional, 2006, hal. 12.
92
Ibid., hal. 15.

Universitas Sumatera Utara


c. Batang tubuh, yang terdiri dari:

1) Definisi

2) Tujuan

3) Lingkup kerjasama

4) Pengaturan kerjasama, hak dan kewajiban para pihak

5) Pelaksanaan kerjasama

d. Penyelesaian sengketa/perbedaan

e. Amandemen/perubahan

f. Mulai berlaku, masa berlaku, dan pengakhiran

g. Ketentuan tentang force majeur

h. Ketentuan penutup

i. Penandatanganan (nama dan jabatan)

j. Dalam perjanjian bilateral, diupayakan agar naskah juga dibuat dalam

bahasa Indonesia

k. Dilakukan pemarafan terhadap naskah perjanjian Internasional yang telah

disetujui.

4. tahap Penerimaan Naskah

Penerimaan merupakan hasil akhir yang telah disepakati para pihak yang akan

ditindaklanjuti dengan tahap penandatanganan. Pada tahap ini juga para pihak

membubuhkan paraf yang dilakukan oleh Ketua Perundingan masing-masing

pihak terhadap naskah perjanjian yang telah disepakati dan siap untuk

ditandatangani.

5. tahap Penandatanganan

Universitas Sumatera Utara


Merupakan tahap akhir dalam perundingan untuk melegalisasi suatu naskah

perjanjian Internasional yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Hal ini

berlaku untuk perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral.

C. Tahap Pengesahan (Ratifikasi) dalam Sistem Hukum Internasional dan

Hukum Indonesia

Sebagai Negara merdeka yang berdaulat Indonesia telah aktif berperan

dalam pergaulan hubungan Internasional dan mengadakan perjanjian-perjanjian

Internasional dengan Negara-Negara lain, baik yang bersifat bilateral maupun

multilateral.

Dalam melaksanakan perjanjian-perjanjian Internasional tersebut,

Indonesia menganut prinsip primat hukum nasional dalam arti bahwa hukum

Nasional mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada hukum Internasional. Dasar

kewenangan presiden dalam pembuatan perjanjian Internasional diatur dalam

Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen mengatur tentang

perjanjian Internasional berbunyi sebagai berikut:

“Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,

membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain.”

Pasal 11 UUD 1945 sebelum amandemen ini memerlukan suatu

penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian Internasional dapat berlaku

dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No.

2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut.

Universitas Sumatera Utara


Pengaturan tentang perjanjian Internasional selama ini yang dijabarkan

dalam bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960,

yang ditujukan kepada ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah menjadi

pedoman dalam proses pengesahan perjanjian Internasional selama bertahun-

tahun.

Pengesahan perjanjian Internasional menurut Surat Presiden ini dapat

dilakukan melalui undang-undang atau keputusan presiden, tergantung dari materi

yang diatur dalam perjanjian Internasional. Tetapi dalam prakteknya pelaksanaan

dari surat presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti

dengan undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian

Internasional.

Surat presiden tersebut telah memberikan penafsiran bahwa ada dua

macam bentuk perjanjian yaitu perjanjian yang penting yang berbentuk traktat

(treaties) dan yang kurang penting berbentuk persetujuan (agreements). Jadi ada

dua cara pengesahan dari perjanjian-perjanjian yaitu:

1. Traktat (treaties) pengesahan melalui DPR dengan undang-undang

2. Persetujuan (agreements) pengesahannya dengan keputusan Presiden dan DPR

cukup diberitahukan oleh Sekretariat Kabinet 93.

Pembuatan dan pengesahan perjanjian Internasional antara Pemerintah

Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi Internasional dan

subjek hukum Internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat

penting karena mengikat Negara dengan subjek hukum Internasional lainnya.

93
Boer Mauna, Op. Cit., hal. 167.

Universitas Sumatera Utara


Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian Internasional

dilakukan berdasarkan undang-undang.

Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional, kewenangan untuk membuat Perjanjian Internasional seperti

tertuang dalam Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa

presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian Internasional dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Hal ini menjadi alasan perlunya perjanjian Internasional yang kemudian

diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional. Dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000, diatur hal-hal yang

berkaitan dengan pembuatan, pengesahan, pemberlakuan, penyimpanan, dan

pengakhiran perjanjian Internasional.

Dalam pengesahan perjanjian Internasional terbagi dalam empat kategori,

yaitu 94:

1. Ratifikasi (ratification), yaitu apabila Negara yang akan mengesahkan suatu

perjanjian Internasional turut menandatangani naskah perjanjian Internasional.

2. Aksesi (accession), yaitu apabila Negara yang akan mengesahkan suatu

perjanjian Internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian.

3. Penerimaan (acceptance), yaitu pernyataan menerima dari Negara-Negara

pihak pada suatu perjanjian Internasional.

4. Penyetujuan (approval), yaitu pernyataan menyetujui dari Negara-Negara pihak

pada suatu perjanjian Internasional.


94
Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Direktorat Jenderal Hukum dan
Perjanjian Luar negeri, Departemen Luar negeri, Op. Cit., hal.27.

Universitas Sumatera Utara


Dalam suatu pengesahan perjanjian Internasional penandatanganan suatu

perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikat para pihak terhadap

perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian Internasional memerlukan

pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian Internasional tidak akan mengikat

para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan.

Seseorang yang mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau

menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan Negara terhadap

perjanjian Internasional, memerlukan surat Kuasa (Full Powers). Pejabat yang

tidak memerlukan surat kuasa adalah Presiden dan Menteri.

Dahulu full powers mempunyai arti yang sangat penting. Raja-raja dalam

mengirimkan utusannya untuk berunding selalu dilengkapi dengan full powers.

Oleh karena komunikasi pada zaman dahulu susah dan perjalanan para utusan

memakan waktu yang cukup lama dan juga sulit untuk pulang balik berkonsultasi

maka kepada mereka raja memberikan kuasa penuh bukan saja untuk berunding

tetapi juga untuk langsung menandatangani suatu perjanjian 95.

Tetapi sekarang ini penunjukan surat kuasa tidak selalu mutlak

sebagaimana yang ditunjukkan Pasal 7 ayat 1 (b) Konvensi Wina yang

menyatakan bahwa wakil dari suatu Negara dalam suatu perundingan dapat

dibebaskan dari surat kuasa kalau memang demikian praktek dari Negara yang

bersangkutan. Demikian juga utusan yang tidak mempunyai full powers pun dapat

95
Boer Mauna, Op. Cit., hal. 100.

Universitas Sumatera Utara


ikut membuat suatu perjanjian asal saja dikonfirmasikan kemudian oleh

pemerintahnya 96.

Ada beberapa pejabat yang karena jabatan atau kedudukannya selalu

bertindak mewakili dan atas nama Negaranya, tidak memerlukan kuasa penuh

dalam merumuskan perjanjian-perjanjian Internasional. Pejabat-pejabat Negara

tersebut, menurut Pasal 7 ayat (2) Konvensi Wina adalah:

1. Kepala Negara (Head of State), kepala Pemerintah (Head of Goverment),

Menteri Luar Negeri (Minister for Foreign Affairs, Secretary of State). Pejabat-

pejabat Negara ini tidak membutuhkan kuasa penuh dalam segala tindakannya

dalam hubungan Internasional termasuk dalam pembuatan dan pengikatan diri

dalam perjanjian Internasional.

2. Kepala Misi Diplomatik, khusus dalam pembuatan dan pengikatan diri pada

perjanjian-perjanjian Internasional antara Negaranya dengan Negara dimana

dia ditempatkan atau diakreditasi.

3. Wakil-wakil yang ditempatkan atau diakreditasi oleh Negaranya pada lembaga-

lembaga Internasional, khusus dalam hubungannya dengan perbuatan

perjanjian antar Negaranya dengan organisasi Internasional tersebut 97.

Tetapi penandatanganan suatu perjanjian Internasional yang menyangkut

kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan

materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga Negara atau lembaga

pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, dilakukan tanpa

memerlukan surat kuasa.

96
Ibid., hal. 101.
97
I Wayan Parthiana, Op. Cit., hal. 225.

Universitas Sumatera Utara


Pengesahan Perjanjian Internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang

dipersyaratkan oleh Perjanjian Internasional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian

Internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak.

Perjanjian Internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah

terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang.

Pengesahan perjanjian Internasional dilakukan dengan undang-undang

atau keputusan presiden. Pengesahan dengan undang-undang memerlukan

persetujuan DPR. Pengesahan dengan keputusan presiden hanya perlu

pemberitahuan ke DPR.

Pengesahan perjanjian Internasional menurut Pasal 10 Undang-Undang

Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dilakukan melalui undang-

undang apabila berkenaan dengan 98:

1. Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan Negara

2. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara

3. Kedaulatan atau hak berdaulat Negara

4. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup

5. Pembentukan kaidah hukum baru

6. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri

Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta

pertanggung jawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian

Internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan

nasional, perjanjian Internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR,


98
Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Direktorat Jenderal Hukum dan
Perjanjian Luar Negeri, Departemen Luar Negeri, Op. Cit., hal. 20.

Universitas Sumatera Utara


sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Pasal 18 huruf (h) Undang-Undang

Nomor 24 tahun 2000.

Dengan demikian pemberlakuan Perjanjian Internasional kedalam hukum

nasional Indonesia tidak serta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa

Indonesia memandang hukum nasional dan hukum Internasional sebagai dua

sistem hukum yang berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.

Perjanjian Internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam

pemberlakuannya, biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu

pelaksana teknis terhadap perjanjian induk. Perjanjian Internasional seperti ini

dapat langsung berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen

perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara lain yang disepakati dalam

perjanjian oleh para pihak.

Perjanjian yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian

yang materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, sosial,

budaya, pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasama

antar propinsi atau kota. Perjanjian Internasional mulai berlaku dan mengikat para

pihak setelah memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut 99.

Ratifikasi Perjanjian Internasional

Perjanjian Internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional

dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Perjanjian Internasional sesuai

dengan UU Nomor 24 tahun 2000, diratifikasi melalui undang-undang dan

keputusan presiden. Undang-undang ratifikasi tersebut tidak serta merta menjadi

99
Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit., hal. 121.

Universitas Sumatera Utara


perjanjian Internasional menjadi hukum nasional Indonesia, undang-undang

ratifikasi hanya menjadikan Indonesia sebagai Negara terikat terhadap perjanjian

Internasional tersebut.

Untuk perjanjian Internasional tersebut berlaku perlu dibuat undang-

undang yang lebih spesifik mengenai perjanjian Internasional yang diratifikasi,

contohnya Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political

Rights melalui undang-undang, maka selanjutnya Indonesia harus membuat

undang-undang yang menjamin hak-hak yang ada di covenant tersebut dalam

undang-undang yang lebih spesifik.

Ratifikasi suatu Konvensi atau perjanjian Internasional lainnya hanya

dilakukan oleh Kepala Negara/Kepala Pemerintahan. Pasal 14 Konvensi Wina

1969 mengatur tentang kapan ratifikasi memerlukan persetujuan agar dapat

mengikat 100.

Kewenangan untuk menerima atau menolak ratifikasi melekat pada

kedaulatan Negara. Hukum Internasional tidak mewajibkan suatu Negara untuk

meratifikasi suatu perjanjian. Namun bila suatu Negara telah meratifikasi

perjanjian Internasional maka Negara tersebut akan terikat oleh Perjanjian

Internasional tersebut. Sebagai konsekuensi Negara yang telah meratifikasi

perjanjian Internasional tersebut akan terikat dan tunduk pada perjanjian

100
Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian, Wina, 23 Mei 1969, Pasal 14 ayat (1).
Setujunya suatu Negara terikat oleh suatu perjanjian dinyatakan dengan ratifikasi jika: (a)
perjanjian itu menentukan bagi setuju demikian ini dinyatakan dengan cara ratifikasi; (b) dengan
cara lain ternyata bahwa Negara-Negara yang berunding itu setuju bahwa ratifikasi harus
diperlukan; (c) wakil Negara telah menandatangani perjanjian itu harus diratifikasi; atau (d)
maksud Negara untuk menandatangani perjanjian yang harus diratifikasi itu nampak dari full
powers wakil-wakilnya atau dinyatakan selama perundingan.

Universitas Sumatera Utara


Internasional yang telah ditandatangani, selama materi atau substansi dalam

perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan nasional.

Dalam sistem hukum nasional kita, ratifikasi Perjanjian Internasional

diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional. Berdasarkan sistem hukum nasional kita, maka dengan meratifikasi

suatu Konvensi baik regional maupun multilateral, perjanjian bilateral, Negara

sudah terikat untuk tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam Konvensi atau

perjanjian tersebut. Suatu Konvensi atau perjanjian Internasional yang telah

diratifikasi, baru dapat dilaksanakan apabila telah dimasukkan dalam suatu

undang-undang yang dikenal sebagai undang-undang tentang Pengesahan

Ratifikasi Perjanjian Internasional.

Dalam sistem Hukum Nasional Indonesia, meskipun suatu perjanjian

Internasional telah diratifikasi dengan undang-undang tentang Pengesahan

Ratifikasi, tetapi perjanjian belum dapat dilaksanakan apabila tidak sesuai dengan

isi ketentuan peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tentang

materi yang sama dengan yang ditentukan dalam perjanjian yang diratifikasikan

tersebut.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004, tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam Pasal 8 disebutkan bahwa

materi muatan yang harus diatur dalam undang-undang berisi hal-hal yang

mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi hak-hak asasi manusia,

hak dan kewajiban warga Negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan Negara

Universitas Sumatera Utara


serta pembagian kekuasaan Negara, wilayah Negara dan pembagian daerah,

kewarganegaraan dan kependudukan, dan keuangan Negara.

Selanjutnya selain dari yang berkaitan dengan UUD 1945 adalah

diperintahkan oleh suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang. Hal

ini sama dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang

Perjanjian Internasional mengenai hal apa saja dari perjanjian Internasional yang

disahkan dalam undang-undang. Beberapa hal yang sama adalah mengenai

kedaulatan, hak asasi manusia, wilayah Negara dan masalah keuangan Negara.

Hal lain adalah merupakan penjabaran lebih lanjut dan lebih spesifik dari muatan

undang-undang secara umum. Sehingga tidak adanya suatu perbedaan antara

undang-undang ratifikasi perjanjian Internasional dan undang-undang pada

umumnya dilihat dari sudut muatan materi undang-undang.

Dalam mengesahkan suatu perjanjian Internasional, lembaga pemprakarsa

yang terdiri atas lembaga Negara dan lembaga pemerintah, baik departemen

maupun non-departemen, menyiapkan salinan naskah perjanjian, terjemahan,

rancangan undang-undang, atau rancangan keputusan presiden tentang

pengesahan perjanjian Internasional dimaksud serta dokumen-dokumen lain yang

diperlukan 101. Selanjutnya pengajuan pengesahan perjanjian Internasional

dilakukan melalui menteri untuk disampaikan kepada presiden 102.

Presiden mengajukan rancangan undang-undang, tentang pengesahan

perjanjian Internasional yang telah disiapkan dengan surat Presiden kepada

pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam surat tersebut Presiden menegaskan


101
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, Pasal 12.
102
Ibid., Pasal 12 ayat (3).

Universitas Sumatera Utara


antara lain tentang materi yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan

pembahasan rancangan undang-undang di Dewan Perwakilan Rakyat 103.

DPR mulai membahas rancangan undang-undang dalam jangka waktu

paling lambat 60 hari sejak surat presiden diterima. Untuk keperluan pembahasan

rancangan undang-undang di DPR, menteri atau pimpinan lembaga pemprakarsa

memperbanyak naskah rancangan undang-undang tersebut dalam jumlah yang

diperlukan 104.

Pembahasan rancangan undang-undang di DPR dilakukan oleh Dewan

Perwakilan Rakyat bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Pembahasan

bersama dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan. Tingkat-tingkat

pembicaraan dilakukan dalam rapat komisi/panitia/alat kelengakapan DPR yang

khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. Tata cara pembahasan

rancangan undang-undang tersebut diatur dengan Peraturan Tata Tertib DPR 105.

Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden,

disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi

undang-undang 106.

Setiap undang-undang atau keputusan presiden tentang pengesahan

perjanjian Internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara RI. Penempatan

peraturan perundang-undangan pengesahan suatu perjanjian Internasional di

103
Ibid., Pasal 20.
104
Ibid.
105
Ibid., Pasal 32 ayat (1), (5), (6), dan (7).
106
Ibid, Pasal 37.

Universitas Sumatera Utara


dalam Lembaran Negara dimaksudkan agar setiap orang dapat mengetahui

perjanjian yang dibuat pemerintah dan mengikat seluruh warga Negara 107.

Menteri menandatangani piagam pengesahan untuk mengikatkan

pemerintah RI pada suatu perjanjian Internasional untuk dipertukarkan dengan

Negara-Negara pihak dalam perjanjian Internasional atau disimpan oleh Negara

atau lembaga penyimpanan pada organisasi Internasional 108.

Lembaga penyimpanan (depositary) merupakan Negara atau organisasi

Internasional yang ditunjuk atau disebut secara tegas dalam surat perjanjian untuk

menyimpan piagam pengesahan perjanjian Internasional. Praktek ini berlaku bagi

perjanjian multilateral yang memiliki banyak pihak. Lembaga penyimpanan

selanjutnya memberitahukan semua pihak bahwa perjanjian tersebut telah

menerima piagam pengesahan dari salah satu pihak 109.

Disamping perjanjian Internasional yang disahkan melalui undang-undang

atau keputusan presiden, pemerintah dapat membuat perjanjian Internasional yang

berlaku setelah penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/nota

diplomatik, atau melalui cara lain sesuai dengan kesepakatan antara para pihak

yang dituangkan dalam perjanjian.

Walaupun dalam undang-undang yang mensahkan perjanjian Internasional

dinyatakan bahwa naskah asli dalam bahasa asli dan terjemahannya dalam bahasa

Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang, tetapi

tetap diperlukan undang-undang yang mengatur lebih lanjut mengenai masalah

107
Ibid., Pasal 14.
108
Ibid., Pasal 17.
109
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


yang diperjanjikan dalam perjanjian Internasional yang disahkan oleh undang-

undang tersebut.

Pasal lanjutannya yang menyatakan bahwa undang-undang ini

ditempatkan dalam lembaran berita Negara agar setiap orang mengetahui, tidak

serta merta menjadikan pengaturan ini berlaku menjadi hukum nasional, masih

diperlukan undang-undang lebih lanjut.

D. Perspektif Hukum Perjanjian Internasional terhadap MLA di Indonesia

Dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana

Transnasional yang Terorganisasi (Convention Against Transnational Organized

Crime), diantaranya dikenal 2 mekanisme kerjasama yang diakui yaitu ekstradisi

dan bantuan timbal balik/Mutual Legal Assistance (MLA). Kerjasama dalam

bidang ekstradisi dan MLA di Indonesia secara umum telah memiliki Undang-

Undang yang menjadi dasar hukum dalam pelaksanaannya, yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3130).

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam

Masalah Pidana/MLA (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006

Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4607)110.

Selain dasar hukum peraturan perundang-undangan diatas, dapat menjadi

dasar kerjasama Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain dalam bidang

110
“Kerjasama Internasional dalam Masalah Pidana”, stredoall.blogspot.com, terakhir kali
diakses pada 14 Oktober 2010.

Universitas Sumatera Utara


ekstradisi dan MLA adalah perjanjian-perjanjian yang telah ditandatangani

Pemerintah Republik Indonesia secara bilateral maupun multilateral dengan

negara lain. Perjanjian yang telah ditandandatangani Pemerintah Republik

Indonesia tersebut adalah:

Perjanjian Ekstradisi

1. Perjanjian Bilateral dengan Pemerintah Malaysia, ditandatangani di Jakarta 7

Januari 1974, telah diratifikasi dengan UU Nomor 9 Tahun 1974 (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 63, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3044)

2. Perjanjian Bilateral dengan Republik Philipina, ditandatangani di Jakarta 10

Pebruari 1976, telah diratifikasi dengan UU Nomor 10 Tahun 1976 (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 38, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3087);

3. Perjanjian Bilateral dengan Pemerintah Kerajaan Thailand, ditandatangani di

Bangkok 29 Juni 1976, telah diratifikasi dengan UU Nomor 2 Tahun 1978

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1978 Nomor 12, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3117);

4. Perjanjian Bilateral dengan Australia, ditandatangani di Jakarta tanggal 22

April 1992, telah diratifikasi dengan UU Nomor 8 Tahun 1994 (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 58, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3565);

5. Perjanjian Bilateral dengan Hong Kong SAR, ditandatangani pada tanggal 5

Mei 1997, telah diratifikasi dengan UU Nomor 1 Tahun 2001;

Universitas Sumatera Utara


6. Perjanjian Bilateral dengan Republik Korea Selatan, ditandatangani di Jakarta

tanggal 28 Nopember 2000, telah diratifikasi dengan UU Nomor 42 Tahun

2007;

7. Perjanjian Bilateral dengan Singapura, ditandatangani di Bali, Indonesia

tanggal 27 April 2007, belum diratifikasi.

Perjanjian MLA

1. Perjanjian Bilateral dengan Australia, ditandatangani di Jakarta tanggal 27

Oktober 1995, diratifikasi dengan UU Nomor 1 Tahun 1999 (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3807);

2. Perjanjian Bilateral dengan Republik Rakyat China, ditandatangani di Jakarta

tanggal 24 Juli 2000, diratifikasi dengan UU Nomor 8 Tahun 2006 (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 33, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4621);

3. Perjanjian Multilateral dengan Pemerintah Brunei Darussalam, Kerajaan

Kamboja, Republik Indonesia, Republik Demokratik Rakyat Laos, Malaysia,

Uni Myanmar, Republik Philipina, Republik Singapura, Kerajaan Thailand dan

Republik Sosialis Vietnam, ditandatangani di Kuala Lumpur tanggal 29

Nopember 2004, telah diratifikasi dengan UU Nomor 15 Tahun 2008;

4. Perjanjian Bilateral dengan Republik Korea Selatan, ditandatangani di Seoul

tanggal 30 Maret 2002, belum diratifikasi;

Universitas Sumatera Utara


5. Perjanjian Bilateral dengan Hong Kong SAR, ditandatangani di Hong Kong

pada tanggal 3 April 2008, belum diratifikasi 111.

MLA pada intinya dapat dibuat secara bilateral atau multilateral. MLA

bilateral ini dapat didasarkan pada perjanjian MLA atau atas dasar hubungan baik

timbal balik (resiprositas) dua negara. Sejauh ini, Indonesia sudah memiliki

beberapa perjanjian kerja sama MLA Bilateral dengan Australia, China, Korea

Selatan, dan Hong Kong SAR. Sementara itu, MLA Multilateral terangkum pada

MLA regional Asia Tenggara yang sudah ditandatangani hampir semua negara

anggota ASEAN, termasuk Indonesia.

Perjanjian Bilateral adalah perjanjian yang diadakan oleh dua buah negara

untuk mengatur kepentingan kedua belah pihak. Perjanjian Multilateral adalah

perjanjian yang diadakan oleh banyak negara dan sebagian dibawah pengawasan

organisasi internasional seperti PBB, ILO, WHO, dan lain-lain.

Perjanjian-perjanjian multilateral yang memuat hukum kebiasaan

internasional akan berlaku juga bagi negara-negara yang bukan peserta, tidak

diikat oleh perjanjian melainkan oleh hukum kebiasaan, walaupun formulasi akhir

dari hukum tersebut dalam perjanjian mungkin penting. Perjanjian yang bersifat

bilateral juga dapat mengikat pihak ketiga berdasarkan alasan yang sama dengan

menentukan unsur-unsur penting dalam pembentukan hukum kebiasaan

internasional 112.

111
Ibid.
112
Teuku May Rudy, Hukum Internasional 2, Bandung: Refika Aditama, 2002, hal. 127.

Universitas Sumatera Utara


Perjanjian MLA yang dibuat ada yang berbentuk ‘perjanjian’, dan ada juga

yang berbentuk ‘persetujuan’. Istilah ini secara umum diartikan sama, namun

dalam hukum perjanjian internasional, terdapat perbedaan antar dua istilah ini.

a. Perjanjian 113

Perjanjian internasional atau dalam bahasa Inggris disebut “treaties” dan

dalam bahasa Perancis “traiter” yang berarti “berunding” dimaksudkan sebagai

instrumen internasional yang mempunyai sifat mengikat. Instrumen hukum

semacam itu mencerminkan suatu sifat kontraktual antara negara atau antara

negara dengan organisasi internasional yang menciptakan hak dan kewajiban

secara hukum di antara para pihak yang mengadakan persetujuan mengenai

masalah-masalah yang dimaksudkan di dalam perjanjian tersebut. Pada

mulanya perjanjian semacam itu dibuat dan ditandatangani oleh kepala-kepala

negara saja, namun sekarang dapat dilakukan dalam bentuk antar pemerintahan

maupun antar negara 114.

Pada umumnya bentuk perjanjian itu ditujukan untuk persetujuan-

persetujuan internasional khususnya yang bersifat penting seperti perjanjian

mengenai perdamaian atau persekutuan. Bentuk instrumen internasional yang

dituangkan dalam suatu perjanjian itu pada hakekatnya melihat adanya

persetujuan internasional tertentu yang mempunyai arti politik, misalnya

Perjanjian mengenai Pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa.

113
Menurut pasal 2 angka (1) huruf (a) Konvensi Wina tahun 1969 tentang hukum
Perjanjian, “Perjanjian” diartikan sebagai suatu persetujuan internasional yang dibuat antara
negara di dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah itu tersusun di dalam
satu instrumen tunggal, dua atau lebih instrumen yang terkait dan apapun bentuknya yang dibuat
secara khusus.
114
Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit., hal. 18.

Universitas Sumatera Utara


Menurut Myers, perjanjian adalah jenis instrumen yang paling resmi yang

digunakan untuk mencatat persetujuan antar negara yang bersifat menyeluruh

mengenai status dan hubungan yang mendasar.

Sebelumnya perjanjian dalam arti terbatas selalu dibuat antara kepala-

kepala negara, tetapi dalam praktek sesudah itu menunjukkan bahwa perjanjian

dapat dibuat bukan saja dalam bentuk antar kepala negara, tetapi juga dalam

bentuk antar negara atau antar pemerintah. Perjanjian yang dibuat antar negara

agak sedikit resmi dibandingkan dengan perjanjian yang dibuat antar kepala

negara. Dalam hal ini yang digunakan bukan istilah “High Contracting

Parties” tetapi “Contracting Parties” atau “Contracting States 115” atau kadang-

kadang juga dipakai secara sederhana seperti “the Parties 116” atau “State

Parties”.

Di dalam perjanjian yang dibuat antara negara-negara isi mukaddimahnya

agak dikurangi dengan tidak memasukkan satu unsur resmi atau lainnya yang

biasanya digunakan dalam perjanjian yang dibuat antara kepala-kepala negara.

Namun hal itu sudah merupakan kebiasaan bahkan dalam hal suatu perjanjian

antar negara, untuk tetap memakai satu pernyataan di dalam mukaddimahnya

mengenai maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut.

Perjanjian yang dibuat oleh pemerintah negara juga kurang resmi. Para

pihak biasanya menyebutnya sebagai “Contracting Governments” atau

115
Menurut pasal 2 angka (1) huruf (f) Konvensi Wina tahun 1969 tentang hukum
Perjanjian, “Negara Peserta” adalah suatu negara yang telah menyatakan kesepakatannya untuk
mengikatkan diri pada suatu perjanjian baik yang belum diberlakukan maupun yang sudah
diberlakukan.
116
Menurut pasal 2 angka (1) huruf (g) Konvensi Wina tahun 1969 tentang hukum
Perjanjian, “Pihak” adalah sesuatu negara yang telah menyatakan kesepakatannya untuk
mengikatkan diri pada suatu perjanjian, dimana perjanjian itu sudah berlaku.

Universitas Sumatera Utara


“Contracting Parties”, meskipun kadang-kadang bisa dijumpai penggunaan

istilah “Signatory Governments” atau “Participating Governments”. Dalam hal

ini mukaddimah perjanjian itu biasanya akan memuat suatu pernyataan tentang

maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut 117.

b. Persetujuan

Persetujuan ini merupakan instrumen yang sedikit formal dibandingkan

dengan satu perjanjian atau konvensi dan pada umumnya tidak dalam kerangka

kepala negara. Ini biasanya diterapkan pada persetujuan yang mempunyai

lingkup lebih terbatas dan mempunyai pihak yang tidak banyak dibandingkan

dengan konvensi yang biasa. Instrumen semacam ini juga digunakan untuk

persetujuan yang menyangkut hal-hal yang bersifat teknis dan administratif

yang ditandatangani oleh wakil-wakil dari departemen pemerintah tetapi tidak

memerlukan ratifikasi. Istilah “persetujuan” seperti juga istilah “perjanjian” itu

sendiri, digunakan dalam banyak pengertian.

Dalam arti yang umum persetujuan itu meliputi suatu penyesuaian

pendapat, dalam hal ini, pendapat dari dua atau lebih persona internasional

(international persons). Tetapi harus selalu dibedakan antara persetujuan yang

ditujukan untuk mendapatkan kewajiban dan yang tidak. Dalam arti yang

terbatas, istilah persetujuan dimaksudkan untuk mempunyai kewajiban, tetapi

biasanya agak sedikit resmi atau bersifat penting dibandingkan dengan

perjanjian atau konvensi. Seperti juga perjanjian dan konvensi, persetujuan

117
Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit., hal. 19.

Universitas Sumatera Utara


dalam arti terbatas bisa dibuat antara kepala-kepala negara, antara negara atau

antar pemerintah.

Instrumen perjanjian dalam bentuk persetujuan merupakan penarik dari

para pembuat perjanjian. Selama hal itu dapat digunakan untuk perjanjian

multilateral, contohnya Persetujuan tentang Status Pasukan dari Para Pihak

Perjanjian Atlantik Utara tahun 1951, maka persetujuan itu lebih bersifat

umum, digunakan untuk perjanjian bilateral yang sifatnya cukup baik dan

umum. Dalam praktek persetujuan semacam itu, dapat juga dilihat pada

persetujuan yang dibuat antara Indonesia dan Hong Kong SAR mengenai

Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana tahun 2008.

Bentuk persetujuan ini diberikan untuk satu perjanjian yang dalam bentuk

instrumen tunggal dan yang pada umumnya berbeda dengan satu konvensi

yang berhubungan dengan masalah pokok yang bersifat lebih sempit dan

kurang permanen. Kadang-kadang persetujuan dibuat antara kementrian

pemerintah di satu negara dengan kementrian pemerintah negara lainnya. Hal

itu tergantung dari suasana apakah persetujuan antara kementrian semacam itu

mengikat secara hukum internasional ataukah hanya merupakan bentuk hukum

tersendiri. 118

Perjanjian MLA di Indonesia umumnya disahkan dengan UU tentang

Pengesahan Perjanjian MLA tersebut. Hal ini dibuat berdasarkan UU RI No.

24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dimana di dalam pasal 10

disebutkan bahwa perjanjian internasional yang berkenaan dengan masalah

118
Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit., hal. 22-23.

Universitas Sumatera Utara


keamanan (dalam hal ini bantuan timbal balik dalam masalah pidana) disahkan

dengan undang-undang.

Pengesahan atau ratifikasi 119 adalah hal yang diperlukan guna penguatan

terhadap perjanjian yang telah ditandatangani. Ada 3 sistem menurut mana

ratifikasi diadakan, yaitu:

a. Ratifikasi semata-mata dilakukan oleh badan eksekutif;

b. Ratifikasi dilakukan oleh badan perwakilan (legislatif);

c. Sistem dimana ratifikasi perjanjian dilakukan bersama-sama oleh badan

legislatif dan eksekutif120.

Ratifikasi dianggap perlu dan penting karena:

a. Perjanjian-perjanjian itu umumnya menyangkut kepentingan dan mengikat

masa depan negara dalam hal-hal tertentu, karena itu harus disahkan oleh

kekuasaan negara tertinggi.

b. Untuk menghindarkan kontroversi antara utusan-utusan yang berunding

dengan pemerintah yang mengutus mereka.

c. Perlu adanya waktu agar instansi-instansi yang bersangkutan dapat

mempelajari naskah yang diterima.

d. Pengaruh rezim parlementer yang mempunyai wewenang untuk

mengawasi kegiatan-kegiatan eksekutif 121.

119
Menurut pasal 2 angka (1) huruf (f) Konvensi Wina tahun 1969 tentang hukum
Perjanjian, “Ratifikasi”, “penerimaan”, “pengesahan”, dan “aksesi”, dalam setiap kasus diartikan
sebagai tindakan internasional apapun namanya dimana suatu negara dalam taraf internasional
membuat kesepakatannya untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian.
120
Teuku May Rudy, Op. Cit., hal. 128.
121
Boer Mauna, Op. Cit., hal. 118.

Universitas Sumatera Utara


Pasal 14 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa persetujuan suatu

negara untuk diikat suatu perjanjian dinyatakan dalam bentuk ratifikasi bila:

a. Perjanjian itu sendiri mengharuskan supaya persetujuan diberikan dalam

bentuk ratifikasi;

b. Bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding setuju untuk

mengadakan ratifikasi;

c. Bila utusan-utusan negara menandatangani perjanjian tersebut dengan

syarat untuk meratifikasinya kemudian; atau

d. Full powers delegasi itu sendiri menyatakan bahwa ratifikasi diharuskan

kemudian.

Bentuk perjanjian kerjasama antara Republik Indonesia dengan negara lain

mengenai MLA juga berpedoman pada UN Model Treaty of MLA tahun 1990,

yang akan dibahas pada bab selanjutnya.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

PERJANJIAN MLA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN HONG

KONG SPECIAL ADMINISTRATIVE REGION MENURUT UU RI NO. 1

TAHUN 2006 DAN UN MODEL TREATY OF MLA

A. Sejarah Pembentukan MLA RI-Hong Kong SAR

MLA antara RI dan Hong Kong SAR terbentuk didasari hasrat untuk

memperkuat kerja sama yang erat antar pemerintah, dengan meningkatkan

efektifitas aparat penegak hukum dari masing-masing pemerintah di bidang

penyelidikan dan penuntutan kejahatan, dan perampasan hasil kejahatan serta

proses lanjutannya 122.

Pada dasarnya Republik Indonesia telah memiliki perjanjian dengan

Republik Rakyat Cina mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana,

yaitu Treaty between the Republic of China on Mutual Assistance in Criminal

Matters, yang diberlakukan di Indonesia dengan UU RI No. 8 tahun 2006 tanggal

18 April 2006 tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan

Republik Rakyat Cina, mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana.

Perjanjian MLA dengan Hong Kong SAR dibuat karena didasari prinsip ‘one

country two systems’ yang berlaku di daerah administrasi khusus ini, dan

dituangkan dalam suatu bentuk persetujuan (agreement).

Hong Kong telah menjadi bagian dari wilayah Cina sejak zaman kuno,

diduduki oleh Inggris setelah perang Opium tahun 1840. Pada 19 Desember 1984,
122
Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government
of the Hong Kong Special Administrative Region of the People’s Republic of China concerning
Mutual Legal Assistance in Criminal Matters.

Universitas Sumatera Utara


pemerintah Cina dan Inggris menandatangani Joint Declaration on the Question

of Hong Kong, menegaskan bahwa pemerintah Republik Rakyat Cina akan

melanjutkan pelaksanaan kedaulatan atas Hong Kong yang berlaku sejak 1 Juli

1997, sehingga memenuhi aspirasi rakyat Cina untuk pemulihan Hong Kong 123.

123
The Basic Law of the Hong Kong Special Administrative Region of the People’s Republic of
China, April 1990.

Universitas Sumatera Utara


Gambaran Kondisi Hong Kong

1. Gambaran Kondisi Geografi dan Demografi

Wilayah Hong Kong terletak di antara 22°15’ LU dan 114°10’ BT dengan

total luas wilayah 1.092 km2, dimana 1.042 km2 luas daratannya, berada di

kawasan Asia Timur dengan berbatasan dengan Laut Cina Selatan di selatan dan

dengan wilayah Cina di utara. Hong Kong beriklim muson tropis, dimana

berhawa sejuk dan lembab di musim dingin, panas dan berhujan di musim semi

hingga musim panas, dan hangat serta cerah di musim gugur dengan sekali-sekali

dilanda angin topan (taifun) pada musim panas 124.

Hong Kong berasal dari bahasa Canton “Heung Kong” yang berarti

Pelabuhan Wangi, yang telah disinggahi kapal-kapal yang melakukan

perdagangan antara Cina dengan negara-negara Eropa Barat pada tahun 1884-

1950. Hong Kong ditemukan oleh pelaut Portugis, Jorge Alvares, tahun 1533, dan

sejak saat itu kapal-kapal Portugis sering berlabuh di sekitar Hong Kong. Pada

akhirnya Pulau Hong Kong diserahkan Kekaisaran Cina untuk selamanya (in

perpetuity) dan menjadi koloni Kerajaan Inggris melalui Perjanjian Nanking tahun

1842 setelah Perang Candu I. Pada tahun 1860, wilayah koloni Hong Kong

bertambah Semenanjung Kowloon (sisi selatan Boundary Street) dan

Stonecutter’s Island. Penyerahan yang untuk selamanya ini juga dilakukan

Kekaisaran Cina ke Inggris melalui Convention of Peking setelah Perang Candu

II. Daerah koloni Hong Kong semakin diperluas dengan disewanya wilayah-

124
Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi, ASIA, Internusa, Jakarta, 1990, hal. 72.

Universitas Sumatera Utara


wilayah sekitarnya, yang dikenal sebagai New Territories (termasuk New

Kowloon dan Pulau Lantau) oleh Inggris selama 99 tahun. Masa sewa ini dimulai

pada tanggal 1 Juli 1898 dan berakhir pada tanggal 30 Juni 1997 dan dilakukan

melalui Convention of Peking II.

Pecahnya Perang Korea tahun 1950-1953 membawa dampak besar bagi

perekonomian Hong Kong, yaitu saat AS mengembargo barang-barang Cina,

Hong Kong dapat bertahan dengan mengembangkan industri-industri pelayanan

dan manufacturing, yang kemudian berkembang menjadi wilayah manufacturing

dan pusat keuangan internasional.

Sejak berada di bawah kekuasaan Inggris, Hong Kong berkembang

menjadi pelabuhan dagang besar dan pelabuhan masuk bagi Cina. Namun

kemudian, posisinya sebagai pelabuhan masuk merosot tajam saat PBB

menetapkan embargo atas RRC sebagai akibat dari Perang Korea. Untuk

mengatasi masalah ini, Hong Kong segera membangun industri tekstil dan

mengambil tenaga buruh murah dari RRC. Industri tekstil ini menjadi tulang

punggung ekonomi Hong Kong hingga dasawarsa 1970-an. Setelah periode

tersebut, Hong Kong mulai bergerak membangun ekonominya dari sektor

keuangan dan perbankan. Kedua sektor ini akhirnya menjadi pendorong utama

tercapainya kemakmuran Hong Kong saat ini. Pada awal dasawarsa 1980-an,

dengan makin dekatnya akhir masa sewa New Territories, Inggris harus memulai

perundingan pengembalian Hong Kong ke RRC. Hal ini karena RRC telah

menyatakan tidak akan menyewakan New Territories lagi dan Pulau Hong Kong

Universitas Sumatera Utara


serta Kowloon amat bergantung pada sumber air dan pembangkit listrik yang

berada di New Territories.

Perjanjian Peking II Inggris-Cina tahun 1898 merupakan perjanjian sewa-

menyewa New Territories (daerah terakhir setelah Pulau Hong Kong dan

Semenanjung Kowloon yang diperoleh kolonial Inggris) selama 99 tahun,

sehingga membawa konsekuensi bahwa Hong Kong harus dikembalikan kepada

Cina tahun 1997. Perundingan selanjutnya mengenai masa depan Hong Kong

dimulai tahun 1982 dan menghasilkan “Joint Declaration of the United Kingdom

of Great Britain and Northern Ireland and the Government of the People’s

Republic of China on the Question of Hong Kong”, yang ditandatangani di

Beijing, 19 Desember 1984. Sesuai Joint Declaration tahun 1984 tersebut,

kedaulatan Inggris atas Hong Kong berakhir setelah masa sewanya berakhir

tanggal 30 Juni 1997. Sejak saat itu, Hong Kong resmi dikembalikan ke Cina

tanggal 1 Juli 1997 pada pukul 00.00 waktu setempat setelah 1,5 abad berada

dalam kekuasaan Inggris. Selanjutnya Hong Kong menjadi Wilayah Administrasi

Khusus (Special Administrative Region/SAR) dimana Pemerintah RRC

menegaskan untuk melaksanakan apa yang disebut sebagai “one country, two

systems” dan “Hong Kong People Ruling Hong Kong” khusus untuk wilayah

Hong Kong 125.

2. Gambaran Kondisi Politik Dalam Negeri

a. Gambaran Politik Umum

125
Laporan Pelaksanaan Tugas Kedinasan Konsul Kejaksaan KJRI Hong Kong SAR.

Universitas Sumatera Utara


Maksud dari kebijakan “one country, two systems” adalah sistem ekonomi

sosialis di Cina tidak akan dilaksanakan di Hong Kong, dan sistem kapitalis serta

gaya hidup di Hong Kong akan tidak berubah selama 50 tahun hingga 2047.

Dalam rangka menyusun sistem Pemerintahan Hong Kong SAR, Parlemen Cina

(National People’s Congress/NPC) ke-7 mengesahkan Konstitusi Mini Hong

Kong SAR yang disebut Basic Law tanggal 4 April 1990 dan mulai berlaku 1 Juli

1997. Basic Law menggantikan Letters of Patent dan Royal Instruction yang

menjadi dasar hukum pada masa pemerintahan Inggris.

Berdasarkan Basic Law, Hong Kong SAR memiliki otonomi sangat luas

kecuali dalam masalah politik luar negeri dan pertahanan, serta berhak mengurus

sendiri eksekutif, legislatif, dan judikatif yang independen termasuk juga putusan

akhir pengadilan. Sistem sosial dan ekonomi, gaya hidup, hak-hak dan kebebasan

dijamin oleh Pemerintah RRC, bahkan sistem liberal/kapitalis di Hong Kong SAR

tetap dipertahankan selama 50 tahun. Urusan dalam negeri Hong Kong tidak bisa

dicampuri badan apapun dari RRC. Untuk menjamin ketentuan tersebut betul-

betul dilaksanakan, Pemerintah RRC membentuk “The Hong Kong and Macau

Affairs Office of the State Council” sebagai lembaga pengawas bagi pejabat-

pejabat Cina yang bertugas antara lain mengatur kunjungan pejabat pemerintah

Hong Kong ke Cina serta menangani issue-issue yang memerlukan kerjasama

dengan Pemerintah Pusat RRC.

b. Kekuasaan Eksekutif 126

126
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Sebagai persiapan peralihan kedaulatan, Pemerintah RRC membentuk

Election Committee (EC), yang beranggotakan 800 orang (400 orang ditunjuk

Pemerintah RRC dan 400 orang perwakilan berbagai kelompok fungsional di

masyarakat) bulan Desember 1996 untuk memilih Kepala Pemerintahan Hong

Kong SAR yang disebut sebagai Chief Executive (CE). EC kemudian memilih

Tung Chee-hwa, seorang pengusaha kapal dan mantan anggota Executive Council

(EXCO), yaitu lembaga penasehat Gubernur Chris Patten urusan Hong Kong serta

Wakil Ketua Komite Persiapan (Preparatory Committee) Alih Kedaulatan Hong

Kong, menjadi CE Hong Kong. Tung Chee-hwa ditetapkan sebagai calon CE

Hong Kong SAR tanggal 11 Desember 1996 dan resmi dilantik sebagai CE Hong

Kong SAR pertama oleh Presiden RRC Jiang Jemin di Beijing tanggal 18

Desember 1996 dengan masa jabatan 5 tahun. Tung Chee-hwa kemudian terpilih

kembali pada pemilu yang diikuti 800 anggota EC tanggal 1 Juli 2002 untuk masa

jabatan sampai tahun 2007.

Sesuai Basic Law, CE menunjuk EXCO yang menjadi kabinet dalam

membantu pembuatan kebijakan, sedangkan untuk membantu menjalin hubungan

dengan dunia internasional dan memberikan masukan di bidang ekonomi,

perdagangan, dan industri, CE juga membentuk Council of International Advisers.

Disamping itu, CE juga membentuk kelompok penasehat tingkat tinggi yang

tergabung dalam Commission for Strategic Development.

c. Kekuasaan Legislatif

Universitas Sumatera Utara


Kekuasaan parlemen dipegang oleh Legislative Council (LEGCO) yang

beranggotakan 60 orang (berkomposisi 30 orang dipilih langsung berdasarkan

pembagian geografis dan 30 orang perwakilan dari kelompok-kelompok

fungsional), dengan masa jabatan 4 tahun. LEGCO berwenang membuat UU,

mengontrol dan menyetujui anggaran, mengontrol perpajakan dan pengeluaran

negara, mengawasi kinerja pemerintah, memperdebatkan kebijakan eksekutif dan

yang menjadi kepentingan umum, dan menerima serta mengatasi keluhan-keluhan

warga Hong Kong.

Keanggotaan LEGCO saat ini berdasarkan pemilu ke-3 tanggal 12

September 2004 yang terbagi dalam fraksi pro-pemerintah/pro-Beijing dan fraksi

pro-demokrasi. Kelompok pro-pemerintah memiliki 34 kursi (62%), sementara

pro-demokrasi dan independent menguasai 25 kursi. Fraksi pro-pemerintah yaitu

Association for Democracy and People’s Livelihood (ADPL) 1 kursi, Democratic

Alliance for the Betterment (DAB) 12 kursi (9 kursi dari pembagian geografis dan

menjadi partai terbanyak, kursinya meningkat 1 kursi dibanding pemilu tahun

2000), dan Partai Liberal 10 kursi (2 kursi dari pembagian geografis) dan

memperoleh tambahan 2 kursi dari pemilu sebelumnya. Fraksi pro-pemerintah

tidak menjadi mayoritas yang menentukan karena keputusan LEGCO harus

didukung 41 suara. Fraksi pro-demokrasi terdiri dari Partai Demokrat 9 kursi

(sebelumnya memperoleh 12 kursi), Partai Frontier 1 kursi, Article 45 Concern

Group 4 kursi (2 kursi dari pembagian geografis), dan independen 11 kursi.

Perdebatan utama antar fraksi adalah masalah kerangka waktu pelaksanaan

universal suffrage (pemilihan langsung oleh pemilih berusia tertentu). Fraksi pro-

Universitas Sumatera Utara


demokrasi ingin universal suffrage mulai dilaksanakan pada pemilihan CE tahun

2007 dan anggota LEGCO tahun 2008, sedangkan fraksi pro-pemerintah tak

menolak pelaksanaan universal suffrage, namun tidak ingin ada penetapan

kerangka waktu tertentu. Pandangan ini sejalan dengan kebijakan Pemerintah

RRC yang tidak ingin segera melaksanakan demokrasi penuh di Hong Kong.

Disamping itu terdapat parlemen tingkat wilayah yaitu District Council

yang terdiri dari 18 distrik yang memberikan saran pelaksanaan kebijakan di tiap

wilayahnya. District Council memiliki anggota yang disebut District Councillors

sebanyak 400 orang yang dipilih, 27 merupakan anggota ex-officio, dan 102 orang

ditunjuk. Sama dengan anggota LEGCO, District Councillors juga memiliki masa

jabatan 4 tahun yang dimulai tanggal 1 Januari 2004.

d. Kekuasaan Yudikatif

Di bawah prinsip “one country, two systems”, sistem hukum Hong Kong

SAR berbeda dengan di RRC, dan berlandaskan pada “common law” yang

merupakan warisan Inggris dan menjadi elemen penting dari sistem hukum Hong

Kong SAR, dengan peradilan yang independen dari eksekutif dan legislatif.

Pengadilan menentukan sendiri putusannya tidak pandang apakah itu menyangkut

WN biasa, perusahaan, atau bahkan dengan pemerintah. Pengadilan Banding

Akhir (Court of Final Appeal) merupakan pengadilan banding tertinggi di Hong

Kong SAR yang diketuai Chief Justice, dengan anggotanya terdiri dari 3 orang

hakim tetap dan suatu panel yang terdiri dari 8 hakim Hong Kong tidak tetap dan

9 hakim tidak tetap dari jurisdiksi common law lain. Peraturan-peraturan hukum

yang berlaku sebelum handover masih tetap diberlakukan.

Universitas Sumatera Utara


Pasal 84 Basic Law menyatakan bahwa pengadilan Hong Kong berhak

untuk menggunakan keputusan pengadilan (yurisprudensi) di luar negeri sebagai

referensi atau mengundang hakim asing untuk berpartisipasi dalam proses hukum

di Pengadilan Banding Akhir (Court of Final Appeal).

Struktur sistem peradilan Hong Kong terdiri dari:

a. Pengadilan Banding Akhir (Court of Final Appeal) yang menggantikan Judicial

Committee of the Privy Council,

b. Pengadilan Tinggi (High Court) yang terdiri dari Pengadilan Banding (Court of

Appeal) dan Pengadilan Tingkat Pertama (Court of First Instance),

c. Pengadilan Negeri (District Court), termasuk di dalamnya Pengadilan Keluarga

(Family Court).

Badan-badan peradilan lainnya adalah Pengadilan Agraria (Lands

Tribunal), Magistrates’ courts, dan Pengadilan Anak-anak (Juvenile Court).

Selain itu masih ada Mahkamah Kedokteran (Coroner’s Court), Mahkamah

Tenaga Kerja (Labour Tribunal), Mahkamah Perdata Ringan (Small Claims

Tribunal), dan Mahkamah Kesusilaan (Obscene Articles Tribunal) yang

bertanggung jawab untuk memberikan klasifikasi atas pornografi non-video

(selain film dan tayangan televisi) yang akan diedarkan di Hong Kong.

Hakim di Pengadilan Banding Akhir dipilih dan diangkat oleh CE Hong

Kong. Pengadilan Banding Akhir memiliki tiga orang hakim tetap dan suatu panel

yang terdiri dari delapan hakim tidak tetap dari Hong Kong dan sembilan hakim

tidak tetap dari jurisdiksi common law lain. Basic Law sendiri dapat

diinterpretasikan oleh Komite harian Kongres Rakyat Nasional RRC dan hak ini

Universitas Sumatera Utara


telah digunakan tiga kali, termasuk dalam menginterpretasikan masa tugas CE

Donald Tsang saat ini.

Seperti di Inggris, para penasehat hukum di Hong Kong terbagi dua

kategori yaitu solicitor dan barrister. Sebagian besar penasehat hukum di Hong

Kong masuk dalam kategori solicitor dan memiliki lisensi serta diatur oleh Law

Society of Hong Kong. Barrister dilisensi dan diatur oleh Hong Kong Bar

Association dan hanya barrister yang berhak masuk ke Pengadilan Banding Akhir

dan Pengadilan Tinggi. Seperti di Inggris pula, tradisi pengadilan di Hong Kong

mewajibkan hakim, jaksa, dan penasehat hukum memakai wig dan jubah 127.

3. Politik One Country Two Systems Cina

Politik One Country Two Systems Cina adalah politik yang diterapkan di

wilayah administratif khusus (SAR=Special Administrative Region) Hong Kong

secara khusus 128, walaupun Hong Kong tersebut adalah wilayah Cina yang baru

diserahkan kembali namun berbeda pengaturannya dengan wilayah Cina yang

lainnya. Artinya segala sesuatunya yang akan ditetapkan di Hong Kong berbeda

bentuknya dan sistemnya dari wilayah Cina lainnya. Inilah yang menyebabkan hal

tersebut dikatakan sebagai politik satu negara dua sistem.

Politik satu negara dua sistem ini dapat dilihat dari berbagai bentuk dan

sistemnya, yang terbagi atas: Komponen Sosialisme ala Cina, Ekonomi

Internasional yang Metropolis, Basic Law, Infrastruktur dan Ciri Keterbukaan.

1. Komponen Sosialisme ala Cina

127
Ibid.
128
Rene L. Pattiradjawane, seminggu Penyerahan Hong Kong kepada Cina, Harian
Kompas, 26 Juni 1997.

Universitas Sumatera Utara


Satu negara dua sistem adalah kebijakan yang dianut pemerintah Cina

sejak tanggal 1 Juli 1997, setelah acara penyerahan wilayah Hong Kong kepada

Cina. Formulasi kebijakan RRC pada awalnya dimulai tahun 1950-an. Ketika itu

Perdana Menteri Zhou Enlai di depan sidang Kongres Rakyat Nasional (KRN)

pada bulan Mei 1995; mengatakan ada dua alternatif yang terbuka bagi rakyat

Cina untuk menyelesaikan masalah Taiwan melalui cara perang atau cara damai.

Perubahan besar menjelang akhir dekade 1970-an, dengan bergesernya

fokus pekerjaan Partai Komunis Cina (PKC) ke program modernisasi ekonomi,

para penguasa di Beijing kembali merumuskan posisi kebijakan politik yang

dikenal dengan reunifikasi damai dan satu negara dua sistem. Dokumen-dokumen

pemerintah Cina menyebutkan, posisi ini merupakan kepentingan nasional secara

menyeluruh serta mempertimbangkan masa depan negara. Hal ini dipertegas

dengan disampaikannya pernyataan yang mengelaborasi kebijakan dan prinsip

yang berkaitan dengan Taiwan ini. Sebab setelah reunifikasi Taiwan bisa

menikmati derajat otonomi yang tinggi sebagai sebuah kawasan administrasi

khusus. Hal ini pula yang dijalankan di Hong Kong sebagai satu daerah

administrasi khusus.

Semangat “Reunifikasi secara Damai” dan “Satu Negara Dua Sistem” ini,

adalah komponen paling penting dalam teori dan praktek membangun sosialisme

ala Cina, serta menjadi kebijakan dasar pemerintah RRC. Setidaknya ada empat

hal yang mencakup semangat dasar kebijakan ini.

1. Hanya ada satu Cina di dunia dan Taiwan adalah bagian yang tidak

terpisahkan.

Universitas Sumatera Utara


2. Koeksistensi dari kedua sistem Sosialisme dan Kapitalisme, Cina yang sosialis

dan Taiwan yang kapitalis bisa saling berdampingan dan bersama-sama

membangun tanpa salah satu menelan yang lain.

3. Derajat otonomi yang tinggi, dimana setelah Reunifikasi Taiwan akan menjadi

kawasan administrasi khusus dan berbeda dengan wilayah-wilayah lainnya.

Taiwan dapat menjalankan partai politik sendiri, sistem judikatif, legislatif

sendiri, militer sendiri, ekonomi dan keuangan.

4. Negosiasi damai sebagai bagian dari aspirasi seluruh rakyat Cina untuk

mencapai Reunifikasi melalui jalan damai. Reunifikasi damai akan

memperluas kohesi bangsa Cina, dan akan menciptakan stabilitas ekonomi di

Taiwan, serta membangun dan mempromosikan kebangkitan dan kesejahteraan

Cina secara menyeluruh.

Karena ketegangan politik yang dihadapi oleh Cina-Taiwan yang diwarnai

juga dengan beberapa konflik tidak langsung, gagasan “Satu Negara Dua Sistem”

ini dianggap sebagai sasaran jangka panjang dalam rangka Reunifikasi Taiwan 129,

bersamaan dengan berakhirnya masa sewa Inggris atas Hong Kong, Pulau

Kowloon, dan atas seluruh wilayah Hong Kong lainnya. Kesepakatan yang

dicapai Cina-Inggris yang tertuang dalam Deklarasi Bersama Cina-Inggris 1984,

kemudian menerapkan prinsip-prinsip “Satu Negara Dua Sistem” sebagai jaminan

tidak akan berubahnya bakal bekas koloni Inggris ini selama 50 tahun.

Sebagai teori unifikasi Cina, “Satu Negara Dua Sistem” menjadi bagian

yang tidak terpisahkan dari deklarasi bersama antara Cina-Inggris serta “Basic

129
Dewa Made Sastrawan, Menguji Kebijaksanaan “Satu Negara Dua Sistem”.

Universitas Sumatera Utara


Law” (konstitusi mini yang akan mengatur dan menjamin masa depan Hong

Kong). Ada dua pokok penting dalam teori “Satu Negara Dua Sistem” ini yaitu :

“Kembalinya Hong Kong ke Pangkuan Kedaulatan Cina”, dan “Dipertahankannya

Stabilitas dan Kesejahteraan Hong Kong”.

Ditambahkan, jika kebijakan keterbukaan terus tidak berubah selama 50

tahun pada abad mendorong, maka dalam 50 tahun, ini bukan sesuatu asal sebut,

muncul dari luapan emosi. Lima puluh tahun adalah hasil yang sudah

mempertimbangkan kenyataan yang ada di Cina, serta waktu yang dibutuhkan

untuk berkembang lebih baik atau sebaliknya.

2. Mempertahankan Ekonomi Internasional yang Metropolis

Prinsip “Satu Negara Dua Sistem” pada dasarnya ditujukan sebagai

bagian dari program jangka panjang reunifikasi Cina dengan tiga wilayah di

sekitarnya, yaitu Hong Kong, Makao (yang menjadi kedaulatan Cina setelah

diserahkan Portugal pada tahun 1999), serta Taiwan. Masalah Taiwan bagi Cina

akan menjadi bagian yang paling sulit untuk diselesaikan, karena berbeda dengan

Hong Kong dan Makao. Jika Hong Kong dan Makao adalah bagian dari politik

kolonialisasi peninggalan abad 19 dari negara-negara Eropa, khususnya Inggris

dan Portugal, maka kondisi di Taiwan menjadi berbeda 130.

Prinsip satu negara dua sistem yang dijadikan kebijakan dasar pemerintah

Cina juga menjadi komponen terpenting dalam mengembangkan sosialisme ala

Cina. Ciri-ciri utama Sosialisme ala Cina ini ditujukan untuk membawa Cina ke

alam Modernisasi dengan keterbukaan dan reformasi serta modernisasi ekonomi.

130
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


Persoalan yang dihadapi Cina sekarang ini setelah bergabungnya Hong Kong ke

wilayahnya adalah prinsip satu negara dua sistem ini belum pernah di lapangan,

dan masih berupa teori yang belum pernah diaplikasikan. Akibatnya, banyak

pertanyaan yang muncul tentang apa yang membedakan Hong Kong, kawasan

kedaulatan Cina pasca 1 Juli 1997 dengan Zona Ekonomi Khusus (ZEK) yang ada

di daratan Cina, seperti Shenzen, Zhultai, Xiamen, Pudong Pulau Hainan dan

lainnya 131.

Selain ZEK, beberapa propinsi di Cina juga mempunyai otonomi khusus

seperti Tibet, Xinjiang, di bagian Barat RRC, serta Mongolia dalam. Ada

beberapa hal yang membedakan otonomi daerah-daerah tersebut dengan otonomi

yang akan diberlakukan di kawasan Administrasi Khusus Hong Kong (Hong

Kong SAR), yaitu:

a. Otonomi Wilayah

Hong Kong SAR pada saat terbentuk 1 Juli 1997, adalah sebuah kawasan

administrasi lokal yang berlangsung dan berada di bawah kendali pemerintah

pusat. Sebagai sebuah kawasan khusus, Hong Kong SAR akan mempunyai

kekuatan eksekutif dan legislatif sendiri, maupun institusi judikatif mandiri

termasuk keputusan akhir pengadilan sendiri.

Sedangkan ZEK yang ada di daratan Cina, banyak menikmati preferensi

dalam kebijaksanaan ekonomi saja, dan tidak mempunyai derajat otonomi yang

tinggi. Perbedaan yang lain adalah Hong Kong SAR akan tetap menjalankan

131
Rene L. Pattiradjawane, Laporan dari Hong Kong, Seminggu sebelum Penyerahan
Wilayah, Kompas, Juni 1997.

Universitas Sumatera Utara


sistem kapitalis selama 50 tahun, sedangkan ZEK akan terus menjalankan

kebijakan perekonomian sesuai dengan sistem sosialis.

Cina menganggap, kelangsungan sistem politik Hong Kong akan dipimpin

sebuah Tim Eksekutif pada 1 Juli 1997. Organ eksekutif di Hong Kong

melaksanakan fungsi-fungsi utama pemerintahan, dan sesuai dengan tradisi politik

Inggris, badan legislatif menjalankan peranan perimbangan kekuasaan dan

supervisi.

Salah satu keputusan ditetapkannya Hong Kong menjadi kawasan

Administratif Khusus dengan derajat otonomi yang tinggi, bukan karena para

penguasa di Beijing melihat Hong Kong sebagai sebuah negara bekas jajahan,

tetapi karena melihat Hong Kong sebagai kawasan ekonomi Internasional yang

metropolis.

b. Integrasi Parsial

Persoalan lain yang muncul adalah bagaimana menentukan status Hukum

secara Internasional bagi Hong Kong di bawah prinsip “satu negara dua

sistem” 132. Hong Kong adalah sebuah entitas, tapi bukan sebuah negara. Hong

Kong mempunyai berbagai atribut kenegaraan, tetapi tidak berdaulat namun

mempunyai derajat otonomi yang tinggi. Hong Kong bukan anggota konvensional

masyarakat internasional, namun diakui sebagai pemeran berwibawa dalam

panggung internasional.

Berkaitan dengan personalitas internasional Hong Kong yang tidak

berubah selama 50 tahun, dan muncul pertanyaan kembali, apakah Hong Kong

132
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


bisa mengharapkan intervensi internasional pada saat dibutuhkan upaya

melindungi struktur politik otonomi serta pilihan bebas (free choice)

penduduknya.

Pada beberapa organisasi internasional, Hong Kong SAR pasca 1 Juli

1997 menjadi anggota penuh, seperti APEC, Organisasi Perdagangan Dunia

(WTO), Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), dan Bank Pembangunan Asia

(ADB). Polemik lain yang muncul adalah jika Hong Kong SAR, yang terlibat

dalam berbagai organisasi dunia tersebut, tidak bisa memenuhi kewajiban-

kewajiban internasionalnya. Dalam konteks yang lebih lokal berkaitan dengan

masalah yurisdiksi dan legislatif Hong Kong SAR pasca Juli 1997, akan

dipertanyakan sampai seberapa jauh Hong Kong akan dijamin menjalankan

yurisdiksi di wilayahnya tanpa intervensi dari penguasa RRC.

Dalam sistem peradilan, akan dipertahankan sistem peradilan Hong Kong

di bawah pengawasan Inggris dahulu. Tetap mandiri dan mempunyai otonomi,

menurut Basic Law yang akan menjadi pegangan perundang-undangan Hong

Kong SAR pasca 1 Juli 1997. Tidak ada undang-undang Cina yang bisa

diberlakukan di wilayah Hong Kong SAR. Akan tetapi banyak yang

mengkhawatirkan bahwa peradilan Hong Kong pasca Juli 1997 akan banyak

dipengaruhi oleh RRC. Berdasarkan adanya dua sistem ini, permasalahan yang

bakal dihadapi berkaitan dengan kompabilitas antara sistem perundangan Cina

Universitas Sumatera Utara


dan sistem undang-undang Hong Kong. Pada akhirnya, konsep “satu negara dua

sistem” lebih mudah digapai dalam teori dibanding dalam mempraktekkannya 133.

Dua entitas yang berbeda, satu dari sebuah masyarakat kapitalis maju yang

dipacu atas dasar kekuasaan hukum dan satunya pada tingkat awal perkembangan

kapitalis yang didorong oleh kekuasaan orang, disatukan dalam kerangka kerja

politik yang tunggal.

Memang masih harus dilihat lebih lanjut apakah integrasi secara parsial

dengan daratan Cina ini akan tetap mempertahankan dasar-dasar kesatuan sistem

di Hong Kong.

3. Basic Law sebagai Sumber Prinsip dan Hukum

Basic Law dapat diartikan sebagai hukum dasar. Namun arti sesungguhnya

adalah hukum yang akan dipergunakan di wilayah Hong Kong SAR akan berbeda

dengan negara induknya, Cina. Mengenai penerapan gagasan “satu negara dua

sistem” sesuai dengan sistem Hukum Hong Kong ditegaskan kembali bahwa

Hong Kong SAR didirikan berdasarkan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan

yudikatif yang mandiri, termasuk kekuasaan untuk mengambil keputusan, yang

semuanya sesuai dengan Basic Law konstitusi mini Hong Kong.

Presiden dan Sekjen PKC serta ketua komisi militer pusat, Jiang Zemin

menyatakan jauh-jauh hari 134, bahwa dalam mengatur administrasinya, Hong

Kong akan bertindak sesuai dengan Basic Law, sebagai contoh ia mengatakan,

“Kalau saya ke Hong Kong, maka saya harus tunduk kepada undang-undang

Hong Kong”.
133
Rhoda Mushkat, “One Country Two International Legal Personality, Hong Kong
University, 1996.
134
Far Eastern Economic review magazine, Juni 1997.

Universitas Sumatera Utara


Hal ini menandakan status derajat otonomi Hong Kong yang benar-benar

dijaga oleh Cina sebagai pusat bisnis dunia. Pernyataan dan penegasan ini menjadi

penting, karena ada keraguan yang tetap mempertanyakan kemungkinan

terlaksananya gagasan “satu negara dua sistem” tersebut.

Dalam penyelesaian masalah Hong Kong, ada dua dokumen yang sangat

menentukan apakah gagasan “satu negara dua sistem” dapat diejawantahkan pasca

1 Juli 1997. Kedua dokumen tersebut adalah :

a. Deklarasi Bersama Cina-Inggris 1984, dan

b. Basic Law.

Deklarasi bersama Cina-Inggris adalah sebuah konvensi diplomatik untuk

menyelesaikan masalah Hong Kong sebagai persoalan yang tersisa dari sejarah,

dan Basic Law merupakan dokumen legal RRC yang diputuskan sesuai dengan

konstitusi negara tersebut. Basic Law dalam bentuk Hukum mewakili pemulihan

kedaulatan Cina atas Hong Kong dan administrasi setelah 1997, sesuai dengan

kebijakan “satu negara dua sistem”.

Baik deklarasi bersama Cina-Inggris dan Basic Law mempunyai dua

pokok dasar, kembalinya Hong Kong ke RRC dan mempertahankan kesejahteraan

dan stabilitas Hong Kong. Pencapaian hal tersebut harus didasarkan pada

mekanisme satu negara dua sistem, serta serangkaian kerja kebijakan khusus yang

sesuai dengan konsep “satu negara dua sistem” tersebut.

Secara isi, Basic Law mulai dari awal sampai akhir memanifestasikan

prinsip “satu negara dua sistem”, rakyat Hong Kong memerintah Hong Kong serta

otonomi dengan derajat tinggi bagi Hong Kong.

Universitas Sumatera Utara


Dalam penjelasan tentang hubungan antara pemerintah pusat dan Hong

Kong SAR, Basic Law, menetapkan dalam asumsi untuk menjaga kedaulatan

nasional dan mempraktekkan sebuah sistem sosialis di daratan Cina. Sistem

kapitalis dan gaya hidup Hong Kong yang ada sekarang ini tidak akan berubah

selama 50 tahun.

Pemerintah pusat akan bertanggung jawab hanya pada masalah pertahanan

Hong Kong, dan masalah luar negeri maupun masalah lainnya yang ditetapkan

oleh undang-undang. Segala kekuasaan yang bisa diserahkan kepada Hong Kong

SAR, yang merupakan sebuah otonomi dengan derajat tinggi yang belum pernah

ada presidennya.

Umpan balik dan pernyataan dari Cina, tentang Otonomi Hong Kong

dalam prinsip satu negara dua sistem, tetap juga membawa dampak kekhawatiran.

Dengan asumsi bahwa Hong Kong akan mengalami intervensi yang sama seperti

Tibet, Cina akan menentukan pemerintahan Hong Kong. Artinya, para pemimpin

Sistem Sosialis akan memilih pemimpin-pemimpin dari sistem kapitalis, dan hal

ini sangat bertentangan dengan semangat “satu negara dua sistem” 135.

Secara luas, jaminan tidak akan berubahnya Hong Kong setelah menjadi

kedaulatan Cina telah ditegaskan oleh Presiden Jiang Zemin. Tidak ada yang baru

sejauh berkaitan dengan jaminan para pemimpin Cina atas masa depan Hong

Kong di bawah kekuasaan mereka. Selama berada dibawah kekuasaan Inggris,

Hong Kong sebenarnya sudah menikmati posisi otonominya. Sementara dibawah

Cina sudah dimulai sejak 1 Juli 1997, sampai paling tidak selama 50 tahun

135
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


kedepan. Hal ini yang dipertegas dalam Basic Law konstitusi mini Hong Kong

SAR tersebut.

4. Infrastruktur

Persoalan lain adalah berkaitan dengan masalah pembangunan fisik Hong

Kong. Apa dampak infrastruktur Hong Kong setelah penyerahan kedaulatan ke

RRC ? Basic Law Hong Kong SAR tidak secara mendalam membahas masalah

ini. Pasal 119 menyebutkan Pemerintah Hong Kong SAR akan memformulasikan

kebijakan-kebijakan yang memadai untuk mempromosikan dan

mengkoordinasikan pembangunan untuk berbagai kepentingan perdagangan

seperti manufaktur, komersial, turisme, real estate, transportasi, utilities umum,

jasa, pertanian dan perikanan, serta memberikan perlindungan lingkungan.

Hong Kong memang sangat tergantung kepada infrastruktur lokal dan

lintas-batas. Untuk mempertahankan posisinya sebagai pusat transit internasional.

Kurang koordinasinya antara Inggris dan Cina berkaitan dengan masalah

infrastuktur ini memang mengkhawatirkan.

Hubungan yang tidak serasi antara Inggris dan Cina, seperti tertundanya

anggaran pengeluaran infrastruktur yang sangat dibutuhkan bagi perekonomian

Hong Kong. Salah satu contohnya adalah penolakan Beijing untuk menyetujui

pembangunan CT9 setelah terminal kontainer baru yang melibatkan perusahaan

jardine.

Salah satu proyek infrastrukturnya adalah Bandara Check Lap Kok, senilai

20 milyar dolar AS, merupakan proyek infrastruktur terbesar di dunia yang

diperkirakan akan selesai pada tahun 1998. Bandara baru Check Lap Kok ini

Universitas Sumatera Utara


merupakan bagian dari paket infrastruktur yang diajukan oleh Gubernur Hong

Kong, Wilson pada bulan Oktober 1989. Sebagai langkah kepercayaan menjelang

penyerahan kedaulatan. Sebaliknya Cina melihat port dan air Development

Strategis yang bertanggung jawab atas pembangunan bandara tersebut, dilihat

sebagai suatu komplotan untuk mengalihkan dana keluar dari Hong Kong. Bank

pun menolak untuk mendanai mega proyek ini menunggu sampai ada dukungan

dari RRC. Dukungan dari Cina muncul tahun 1994 yang sepakat untuk mendanai

pembangunan Bandara Check Lap kok tersebut.

Infrastruktur ini memang sangat penting bagi Hong Kong, melihat posisi

Hong Kong sebagai negara transit internasional. Infrasruktur ini yang akan

mendukung semuanya itu.

5. Pelabuhan Bebas

Jauh sebelum waktu yang disepakati untuk menyerahkan wilayah Hong

Kong dari Inggris ke daulatan Cina, Cina sudah mengakui Hong Kong pelabuhan

bebas dengan ciri-cirinya sendiri. Sebuah pelabuhan bebas selalu mengacu kepada

kawasan ekonomi yang terbuka terhadap dunia luar dan bebas bagi keluar masuk

barang dan industri dunia. Hal ini termasuk bebas untuk mendirikan perusahaan

bebas berdagang, bebas pengapalan, bebas pertukaran mata uang, dan bebas arus

modal dan pergerakan uang.

Ciri-ciri Hong Kong sebagai pelabuhan bebas antara lain adalah besarnya

wilayah derajat keterbukaan yang tinggi, fungsi-fungsi yang saling terkait, serta

kekuatan ekonomi yang besar. Sebagai pelabuhan yang bebas, wilayah yang

tercakup termasuk pulau Hong Kong, Kowloon, dan New Teritories. Pelabuhan

Universitas Sumatera Utara


bebas lain biasanya hanya terdiri dari bagian kecil dari sebuah kota khusus,

seperti pelabuhan bebas Hamburg di Jerman dan pelabuhan bebas di Rotterdam,

Belanda.

Derajat tingkat keterbukaan Hong Kong tercermin dengan arus bebas dari

segala jenis modal dan kapital, yang bisa diinvestasikan di segala jalur bisnis dan

industri. Selain itu Hong Kong juga memiliki struktur ekonomi yang

komprehensif, dimana perdagangan, keuangan, perkapalan, real estate,

manufaktur, eceran (Retail) turis dan informasi semuanya berkembang dengan

sangat cepat, dan dengan derajat yang tinggi.

Jika dilihat dari keunggulan Cina untuk mempertahankan Hong Kong

sebagai pusat bisnis dunia yang telah dirintis sejak pendudukan Inggris, memang

tak main-main lagi. Kesimpulan utamanya, bahwa kepentingan Cina ada di

dalamnya. Bahkan bukan hanya kepentingan Cina saja, tetapi sudah sampai

kepada masa depan Cina yang dipertaruhkan.

Cina ibarat seekor naga yang baru akan bangun dari tidurnya, sehingga di

masa yang akan datang, geliatnya pasti akan membawa perubahan kedudukan

pusat bisnis di dunia.

Kebijakan internasional Cina yang memberikan otonomi penuh kepada

Hong Kong SAR dinilai sebagai langkah yang tepat dalam usaha menjaga posisi

Hong Kong dari negara-negara saingannya. Politik “One Country Two Systems”

Cina dalam mempertahankan Hong Kong sebagai pusat bisnis dunia dinilai akan

mampu dijalankan secara praktek bukan secara teori saja diterapkan. Paling tidak

Universitas Sumatera Utara


selama 50 tahun kedepan dan tidak terlepas kemungkinan untuk diperpanjang

secara otomatis untuk 50 tahun kedua.

Analisa ekonomi dunia menyimpulkan bahwa perekonomian Hong Kong

sebelum dan sesudah penyerahan kepada Cina ditinjau dari Hukum Ekonomi

Internasional masih akan tetap dipertahankan, bahkan bukan tidak mungkin akan

lebih dari saat sebelum penyerahan Hong Kong. Kunci keberhasilannya adalah

“Otonomi daerah Hong Kong SAR yang diberikan secara penuh oleh Cina untuk

mengurus segalanya di Hong Kong selama 50 tahun ke depan”.

Hukum Internasional sendiri memandang perjanjian Cina dengan Inggris

atas wilayah Hong Kong sebagai suatu perjanjian yang sah sebagaimana biasanya

bentuk-bentuk perjanjian lainnya. Perjanjian berakhir dilihat dari masa

berlakunya, yakni kesepakatan antara negara-negara dalam menyatakan waktu

perjanjian berakhir.

Namun, jika dilihat dari segi politik dan sejarahnya, perjanjian antara

Inggris dengan Cina adalah perjanjian khusus, sebab setelah selesainya perjanjian

kedua negara induk, Cina masih harus mengadakan perjanjian dengan otoritas

Hong Kong yang diatur dalam joint declaration, dimana segala bentuk

peninggalan Inggris yang ada di Hong Kong masih akan dipertahankan setidak-

tidaknya selama 50 tahun kedepan.

Deklarasi Bersama menjelaskan bahwa perjanjian penyerahan wilayah

tersebut hanya sebatas kepada penyerahan wilayah saja, tidak kepada seluruh

sistem yang berlaku di wilayah Hong Kong. Sebagaimana bentuk perjanjian

internasional yang selalu dijalankan oleh negara-negara, hanya sebatas perjanjian

Universitas Sumatera Utara


perbatasan wilayah, perdagangan, dan bentuk lainnya saja. Kalaupun perjanjian

wilayah dilakukan tidak seunik dan seistimewa perjanjian wilayah Hong Kong.

Dimana setelah perjanjian dilaksanakan, tidak seluruhnya sistem beralih ke negara

asal. Hanya wilayahnya saja, dan dinyatakan bahwa segala sesuatunya akan

ditetapkan selama 50 tahun ke depan.

Kronologis Pembentukan MLA RI-Hong Kong SAR

Berawal dari kunjungan perkenalan Konsul Kejaksaan pada 8 Juni 2005

kepada Kepala Divisi Internasional, Department of Justice Hong Kong SAR,

dibicarakan juga perlu adanya suatu perjanjian kerjasama antara Pemerintah RI

dengan Hong Kong dalam masalah-masalah Pidana, sebagai komitmen mereka

dalam membantu berbagai jurisdiksi dalam pemberantasan kejahatan.

Kedatangan Tim terpadu pemburu tersangka/terpidana pelaku tindak

pidana korupsi yang dipimpin oleh Wakil Jaksa Agung RI yang berkunjung ke

Hong Kong pada 13 September 2005 mempertegas akan perlunya perjanjian

kerjasama semacam ini antara kedua negara dalam masalah pidana sehingga

disepakati pertemuan pertama tingkat teknis untuk membahas draft MLA in

Criminal Matters antara PEMRI dengan Hong Kong bertempat di Kejaksaan

Agung RI, Jakarta pada 27-28 Februari 2006.

Pada 15 Februari 2006, Konsul Kejaksaan KJRI Hong Kong mengadakan

pertemuan dengan John Hunter dari Department of Justice Hong Kong dalam

rangka koordinasi persiapan untuk First Technical Meeting on Treaty of Mutual

Legal Assistance in Criminal Matters. Dan selanjutnya pada 27-28 Februari 2006

diadakan pertemuan pertama tingkat teknis pembahasan MLA in Criminal Matters

Universitas Sumatera Utara


antara Pemerintah Indonesia-Hong Kong SAR yang berlangsung di Kejaksaan

Agung RI di Jakarta. Dalam pertemuan tingkat teknis tersebut pihak Hong Kong

diwakili oleh Ms Amelia Luk, Deputy Law Officer, Mr. John Hunter Deputy

Principal Government Counsel.

Pada 28-29 Maret 2006, Perundingan putaran kedua pembahasan MLA in

Criminal Matters antara Pemerintah Hong Kong SAR dan Pemerintah RI, sesuai

dengan surat: C7-UM.01.10-06, perihal penunjukan anggota Delegasi RI pada

pertemuan Tingkat Teknis tahap II terdiri dari wakil-wakil Menkopolhukam,

Dephukham, Kejagung dan Polri, sementara delegasi Hong Kong diwakili oleh

Pejabat Departemen Kehakiman. Pertemuan kedua ini berhasil menyepakati

Perjanjian Timbal Balik Bantuan Hukum dalam Masalah Pidana antara

pemerintah RI-Hong Kong SAR yang dirintis oleh Tim Pemburu Koruptor yang

dipimpin oleh Wakil Jaksa Agung RI.

Setelah mengalami dua kali pembahasan formal dan beberapa kali

pertemuan yang bersifat teknis dan non formal, akhirnya Konsul Kejaksaan

mendapatkan juga konfirmasi tertulis dan kesediaan untuk menandatangani

perjanjian dari Jaksa Agung RI dan surat dukungan dari Menhukham No.

MHH.AH.08.03.7 tanggal 24 Mei 2008 yang isinya memberikan dukungan

sepenuhnya kepada Jaksa Agung RI untuk menandatangani perjanjian timbal

balik dalam masalah-masalah pidana antara PEMRI dengan Hong Kong.

Penandatanganan perjanjian Bantuan Hukum dalam Masalah Pidana

selanjutnya dilaksanakan oleh Jaksa Agung RI, Hendarman Supandji sebagai

wakil dari Pemerintah RI dengan Secretary for Justice, Wong Yan Lung, wakil

Universitas Sumatera Utara


dari Pemerintah Hong Kong SAR, pada hari Kamis tanggal 3 April 2008

bertempat di Conference Room, 4/F, High Block, Queensway Government

Offices, 66 Queensway Road, Hong Kong.

Penandatanganan perjanjian ini disaksikan oleh pejabat tinggi dari kedua

belah pihak seperti Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Deplu RI, Dirjen

Administrasi Hukum Umum Depkumham RI, wakil dari Commissioner of the

Ministry of Foreign Affairs of the People’s Republic of China in the Hong Kong

SAR, Acting Konsul Jenderal RI di Hong Kong, wakil PPATK Indonesia, wakil

NCB Interpol kedua pihak, dan wakil Security Bureau Hong Kong SAR.

Acara ini semula direncanakan akan ditandatangani pada saat

berlangsungnya konferensi tahunan kedua IAACA (The International Association

of Anti Corruption Authority) di Bali pada Nopember 2007, namun pihak Hong

Kong belum mendapat persetujuan tertulis dari Pemerintah Cina, sejalan dengan

azas “one country two system” yang dianut mereka, akhirnya dengan dukungan

Kejaksaan Agung Republik Rakyat Cina dan upaya Perwakilan PEMRI di

Beijing, persetujuan didapatkan dan acara ini dapat terlaksana dengan baik. 136

B. Model MLA Antara RI dan Hong Kong SAR

Sekretaris Kehakiman, Mr Wong Yan Lung, SC, atas nama Pemerintah

Hong Kong Daerah Administratif Khusus (Hong Kong SAR), dan Jaksa Agung

Republik Indonesia, Bapak Hendarman Supandji, atas nama Republik Indonesia,

136
Jan Samuel Maringka, Memorandum Serah Terima Jabatan Konsul Kejaksaan pada
KJRI Hong Kong SAR, 30 Juni 2008.

Universitas Sumatera Utara


menandatangani Perjanjian tentang Bantuan Hukum dalam Masalah Pidana

(MLA) pada 3 April 2008, dalam bentuk suatu persetujuan (agreement).

Perjanjian internasional ini adalah perjanjian MLA Hong Kong SAR ke 23

dengan negara lain yang telah ditandatangani guna memfasilitasi kerjasama untuk

memerangi kejahatan serius. Hal ini akan memungkinkan untuk berbagai bantuan

timbal balik yang akan ditawarkan dalam penyelidikan dan penuntutan tindak

pidana dan dalam proses yang berkaitan dengan masalah pidana. Persetujuan ini

berisi semua fitur penting dan perlindungan untuk perjanjian internasional jenis

ini.

Bantuan tersebut diatur dalam perjanjian mencakup berikut:

a. Pelayanan dokumen;

b. Pengambilan bukti;

c. Pemindahan sementara orang-orang dalam tahanan untuk memberikan

bantuan;

d. Memfasilitasi kehadiran seseorang untuk memberikan bantuan;

e. Menyediakan dokumen-dokumen dan catatan lain;

f. Melaksanakan permintaan untuk pencarian dan penyitaan; dan

g. Mengidentifikasi, menelusuri, menahan, dan menyita hasil tindak pidana.

Perjanjian ini akan mulai berlaku 30 hari setelah tanggal di mana kedua

belah pihak telah saling memberitahukan secara tertulis bahwa persyaratan

masing-masing telah dipenuhi. Sejauh ini, Hong Kong SAR telah menandatangani

perjanjian MLA dengan 22 yurisdiksi negara lain. Mereka adalah: Australia,

Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Selandia Baru, Italia, Korea, Swiss, Kanada,

Universitas Sumatera Utara


Filipina, Portugal, Irlandia, Belanda, Ukraina, Singapura, Belgia, Denmark,

Polandia, Israel, Jerman, Malaysia dan Finlandia 137.

Perjanjian internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dan

Pemerintah Daerah Administrasi Khusus Hong Kong Republik Rakyat Cina

tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana dituangkan dalam

suatu Persetujuan (Agreement).

Ruang lingkup penerapan perjanjian bantuan ini, kedua pihak saling

memberikan bantuan dalam masalah pidana, yaitu penyelidikan, penuntutan, atau

proses peradilan menyangkut segala kejahatan yang pada saat permintaan

bantuan, berada dalam yurisdiksi pejabat berwenang dari pihak Peminta. Bantuan

juga dapat diberikan dalam kaitan dengan kejahatan yang bertentangan dengan

hukum di bidang perpajakan, bea cukai, pengawasan valuta asing atau masalah

pendapatan lainnya, tetapi tidak dalam kaitan dengan proses persidangan non-

pidana yang terkait darinya.

Bantuan meliputi:

a. Pengambilan bukti atau pernyataan dari orang;

b. Pemberian informasi, dokumen, catatan dan alat/barang bukti;

c. Pelacakan atau pengidentifikasian orang atau barang;

d. Penyampaian dokumen;

e. Pelaksanaan permintaan pencarian dan penyitaan;

f. Membuat pengaturan bagi orang untuk membuat bukti atau bantuan dalam

penyelidikan, penuntutan, atau proses peradilan pidana di Pihak Peminta;

137
Perjanjian MLA HKSAR dan RI, www.cifor.cgiar.org/ilea, diakses terakhir kali pada
11 Oktober 2010.

Universitas Sumatera Utara


g. Pelacakan, penahanan, penyitaan, perampasan, dan pengembalian hasil

kejahatan; dan

h. Bantuan lain yang dianggap perlu oleh pihak Peminta dan sesuai dengan

persetujuan ini serta hukum dari pihak Diminta 138.

Persetujuan ini tidak berlaku terhadap:

a. Penangkapan atau penahanan orang untuk tujuan penyerahan orang tersebut;

b. Pelaksanaan keputusan pengadilan pidana di pihak Diminta yang dijatuhkan

di pihak Peminta, kecuali diperbolehkan oleh hukum dari pihak Diminta;

c. Pemindahan terpidana untuk menjalani hukuman; dan

d. Pemindahan proses peradilan dalam masalah pidana139.

Permintaan bantuan hukum timbal balik diproses oleh otoritas sentral dari

para pihak, yaitu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dari Republik Indonesia

dan Menteri Kehakiman atau pejabat yang ditunjuknya dari Daerah Administrasi

Khusus Hong Kong. Otoritas sentral dapat diganti dengan pemberitahuan sesegera

mungkin terhadap pihak lainnya. Otoritas sentral dapat langsung saling

berkomunikasi, atau, jika dikehendaki, melalui Konsulat Jenderal di Daerah

Administrasi Khusus Hong Kong 140.

Permintaan bantuan dibuat dalam bentuk tertulis, atau jika memungkinkan,

melalui sarana lain yang dapat menghasilkan catatan tertulis dengan ketentuan

pihak Diminta dapat menjamin keautentikannya. Dalam keadaan mendesak dan

diperbolehkan oleh hukum pihak Diminta, permintaan dapat dibuat secara lisan,

138
Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government
of the Hong Kong Special Administrative Region of the People’s Republic of China concerning
Mutual Legal Assistance in Criminal Matters, Article 1.
139
Ibid., Article 2.
140
Ibid., Article 4.

Universitas Sumatera Utara


dalam hal demikian permintaan wajib dikonfirmasikan secara tertulis dalam

waktu lima hari 141.

Bantuan ditolak apabila:

a. Permintaan berkaitan dengan kejahatan yang dianggap oleh pihak Diminta

sebagai kejahatan yang bersifat politik;

b. Permintaan berkaitan dengan kejahatan yang diatur dalam hukum militer;

c. Permintaan berkaitan dengan penuntutan orang untuk kejahatan dimana orang

tersebut telah dipidana, dibebaskan, dimaafkan atau telah menjalankan

hukuman yang dijatuhkan oleh pihak Diminta;

d. Terdapat alasan kuat untuk menduga bahwa permintaan bantuan dilakukan

untuk tujuan menyelidiki, menuntut atau menghukum seseorang karena alasan

suku, jenis kelamin, agama, kewarganegaraan atau pandangan politik, atau,

bahwa permintaan bantuan tersebut akan merugikan orang dimaksud karena

alasan-alasan tersebut;

e. Ketentuan dalam bantuan tersebut akan mengganggu kedaulatan, keamanan,

ketertiban umum atau kepentingan utama dari Republik Indonesia atau untuk

Daerah Administrasi Khusus Hong Kong, kedaulatan dari Republik Rakyat

Cina atau bagian dari padanya atau kepentingan utama dari Daerah

Administrasi Khusus Hong Kong;

f. Tindakan atau kesalahan yang dituduhkan merupakan kejahatan sesuai dengan

permintaan, bukan merupakan suatu kejahatan apabila terjadi di dalam

yurisdiksi negara Diminta; atau

141
Ibid., Article 5.

Universitas Sumatera Utara


g. Tidak ada jaminan dari pihak Peminta bahwa bantuan yang diminta tidak akan

digunakan untuk tujuan selain yang dinyatakan dalam permintaan tanpa

persetujuan terlebih dahulu dari pihak Diminta.

Pihak Diminta dapat menolak bantuan, jika, menurut pendapatnya,

bantuan dapat, atau mungkin dapat merugikan keamanan seseorang, apakah orang

tesebut berada di dalam atau di luar wilayah pihak Diminta; atau bantuan akan

memberikan beban lebih bagi sumber daya pihak Diminta. Namun, bantuan tidak

dapat ditolak semata-mata dengan alasan kerahasiaan bank dan lembaga keuangan

sejenis atau bahwa kejahatan tersebut juga dianggap melibatkan masalah fiskal 142.

Ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam persetujuan bantuan hukum

timbal balik dalam masalah pidana ini, meliputi: pengembalian barang kepada

pihak Diminta (pasal 8), kerahasiaan dan pembatasan penggunaan (pasal 9),

penyampaian dokumen (pasal 10), pengambilan alat/barang bukti (pasal 11),

kemungkinan orang dalam tahanan (pasal 12) atau orang lain (pasal 13) untuk

memberikan bukti atau menyediakan bantuan, tindakan penjagaan (pasal 14),

dokumen dan catatan lain yang terbuka bagi umum (pasal 15), pencarian dan

penyitaan (pasal 16), hasil kejahatan (pasal 17), sertifikasi dan pengesahan (pasal

18), perwakilan dan biaya (pasal 19), penyelesaian perselisihan (pasal 20), dan

amandemen (pasal 21), serta pemberlakuan dan pengakhiran persetujuan (pasal

22).

142
Ibid., Article 6.

Universitas Sumatera Utara


C. UN Model Treaty of MLA

UN Model Perjanjian tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah

Pidana, yang diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 45/117, kemudian diubah

dengan resolusi Majelis Umum 53/112, berkeinginan untuk memperluas

kerjasama internasional guna memerangi kejahatan transnasional.

Dasar terbentuknya UN Model Perjanjian ini antara lain mengingat

resolusi 1 dari Kongres Ketujuh, pada kejahatan terorganisir, di mana Negara-

negara Anggota didesak, antara lain, untuk meningkatkan aktivitas mereka di

tingkat internasional dalam rangka memerangi kejahatan terorganisir, termasuk,

jika dimungkinkan, mengadakan perjanjian bilateral mengenai ekstradisi dan

bantuan hukum timbal balik, dan mengingat pula resolusi 23 dari Kongres

Ketujuh, pada tindak pidana yang bersifat/ berkarakter teroris, di mana semua

Negara dipanggil untuk mengambil langkah-langkah untuk memperkuat

kerjasama khususnya, antara lain, di bidang bantuan hukum timbal balik.

UN Model Perjanjian ini meyakini bahwa pembentukan pengaturan

perjanjian bilateral dan multilateral untuk bantuan timbal balik dalam masalah

pidana akan sangat berkontribusi untuk pengembangan lebih efektif operasi

kerjasama internasional untuk kontrol kriminalitas, dan menyadari kebutuhan

untuk menghormati martabat manusia dan mengingat hak dianugerahkan kepada

setiap orang yang terlibat dalam proses pidana, sebagaimana yang termaktub

dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional tentang

Hak Sipil dan Politik.

Universitas Sumatera Utara


Menyadari pentingnya suatu model perjanjian tentang bantuan timbal balik

dalam masalah pidana sebagai cara yang efektif untuk menangani aspek kompleks

dan serius sebagai konsekuensi dari kejahatan, khususnya dalam bentuk-bentuk

baru dan dimensi, sehingga UN Model Perjanjian dibuat sebagai kerangka kerja

yang berguna sebagai bantuan bagi Negara yang berminat dalam proses negosiasi

dan menyimpulkan perjanjian bilateral yang bertujuan untuk meningkatkan

kerjasama dalam hal pencegahan kejahatan dan peradilan pidana.

Bantuan timbal balik yang akan diberikan sesuai dengan Perjanjian ini

meliputi143:

a. Mengambil bukti atau pernyataan dari orang;

b. Membantu dalam ketersediaan orang yang ditahan atau orang lain untuk

memberikan bukti atau membantu dalam penyelidikan;

c. Memberikan pelayanan dokumen hukum;

d. Melakukan pencarian dan penyitaan;

e. Memeriksa barang dan tempat;

f. Menyediakan informasi dan alat pembuktian;

g. Memberikan dokumen asli atau salinan resmi dari dokumen-dokumen yang

relevan dan catatan, termasuk catatan bank, keuangan, perusahaan atau bisnis

rekaman 144.

Perjanjian ini tidak berlaku untuk 145:

143
Penambahan ruang lingkup bantuan yang akan diberikan seperti ketentuan yang
mencakup informasi tentang kalimat disampaikan warga negara Para Pihak, dapat dianggap
bilateral. Jelas, bantuan tersebut harus sesuai dengan hukum Negara yang Diminta.
144
UN Model Treaty of MLA, Annex 1, Article 1 no.2.
145
Ibid., Article 1 no.3.

Universitas Sumatera Utara


a. Penangkapan atau penahanan seseorang dengan maksud untuk ekstradisi dari

orang tersebut;

b. Penegakan hukum bagi pelaku yang berada di Negara yang Diminta, dikenakan

putusan pidana di Negara Peminta kecuali sejauh yang diijinkan oleh hukum

Negara diminta dan Protokol Opsional/pasal 18 untuk Perjanjian ini;

c. Pengalihan orang dalam tahanan untuk memberikan keterangan;

d. Pengalihan proses dalam masalah pidana.

Mengenai Central Authority, setiap Pihak wajib menunjuk dan

menunjukkan kepada Pihak lain otoritas sentral atau kewenangan oleh atau

melalui yang meminta untuk tujuan ini Perjanjian harus dibuat atau diterima. 146

Dalam hal penolakan bantuan, bantuan dapat ditolak jika 147:

a. Negara Diminta berpendapat bahwa permintaan, jika dikabulkan, akan

merugikan kedaulatan, keamanan, ketertiban umum (ordre public) atau

kepentingan umum lainnya di Negara Diminta;

b. Kejahatan tersebut dianggap oleh Negara Diminta sebagai suatu yang bersifat

politik;

c. Ada alasan kuat untuk meyakini bahwa permohonan bantuan telah dibuat untuk

tujuan penuntutan seseorang atas ras, jenis kelamin, agama, kebangsaan, asal

etnis atau pendapat politik atau bahwa posisi orang itu mungkin akan dapat

merugikan atau membahayakan untuk beberapa alasan;

146
Ibid., Article 3.
147
Beberapa negara mungkin memiliki keinginan untuk menghapus atau mengubah
beberapa ketentuan atau menyertakan lainnya alasan untuk penolakan, seperti yang berkaitan
dengan sifat pelanggaran (misalnya fiskal), sifat dari hukuman yang berlaku (misalnya hukuman
mati), persyaratan konsep bersama (misalnya yurisdiksi ganda, tidak ada selang waktu) atau jenis
tertentu dari bantuan (misalnya intersepsi telekomunikasi, melakukan tes asam deoksiribonukleat
(DNA)).

Universitas Sumatera Utara


d. Permintaan berkaitan dengan tindak pidana yang terselidik atau penuntutan di

Negara Diminta atau penuntutan yang ada pada Negara Peminta akan

bertentangan dengan hukum Negara yang diminta pada bahaya yurisdiksi

ganda (ne bis in idem);

e. Bantuan yang diminta memerlukan Negara Diminta untuk melakukan langkah-

langkah wajib yang akan tidak konsisten dengan hukum dan praktik yang telah

memiliki pelanggaran, menjadi subjek penyelidikan atau penuntutan di bawah

yurisdiksi Negara Diminta sendiri;

f. Tindak pidana berdasarkan hukum militer, yang tidak juga merupakan

pelanggaran/tindak pidana berdasarkan hukum pidana biasa 148.

Ketentuan lain yang diatur dalam UN Model Perjanjian ini antara lain

meliputi: isi (pasal 5) dan pelaksanaan permintaan (pasal 6), pengembalian barang

kepada pihak Diminta (pasal 7), kerahasiaan dan pembatasan penggunaan (pasal

8), perlindungan kerahasiaan (pasal 9), penyampaian dokumen (pasal 10),

pengambilan alat/barang bukti (pasal 11), hak/kewajiban untuk

menolak/memberikan bukti (pasal 12), kemungkinan orang dalam tahanan (pasal

13) atau orang lain (pasal 14) untuk memberikan bukti atau menyediakan bantuan,

tindakan penjagaan (pasal 15), dokumen dan catatan lain yang terbuka bagi umum

(pasal 16), pencarian dan penyitaan (pasal 17), hasil kejahatan (pasal 18),

sertifikasi dan pengesahan (pasal 19), biaya (pasal 20), penyelesaian perselisihan

(pasal 20), dan konsultasi (pasal 21).

Mengenai Perlindungan kerahasiaan 149, hal ini dilakukan atas permintaan:

148
Ibid., Article 4.

Universitas Sumatera Utara


a. Negara yang Diminta, akan menggunakan upaya terbaik untuk menjaga rahasia

permohonan/ permintaan bantuan, isinya dan dokumen pendukungnya serta

fakta pemberian bantuan tersebut. Jika permintaan tersebut tidak dapat

dilaksanakan tanpa melanggar kerahasiaan, Negara Diminta wajib

memberitahu Negara Peminta, yang kemudian akan menentukan apakah

permintaan tersebut tetap harus dijalankan;

b. Negara Peminta, harus menjaga rahasia dan menyimpan bukti informasi yang

diberikan/disediakan oleh Negara Diminta, kecuali sejauh bahwa bukti dan

informasi yang diperlukan untuk penyelidikan dan proses yang diuraikan

dalam permintaan.

Pengaturan umum mengenai hak atau kewajiban untuk menolak untuk

memberikan bukti yaitu:

1. Seseorang yang dipanggil untuk wajib memberikan bukti pada Negara yang

diminta atau meminta dapat menolak untuk memberikan bukti di mana baik:

a. Hukum Negara Diminta mengizinkan atau mewajibkan orang tersebut untuk

menolak memberikan bukti dalam kondisi yang sama dalam proses yang

berasal dari Negara yang diminta, atau

b. Hukum Negara Peminta izin atau mewajibkan orang tersebut untuk menolak

memberikan bukti dalam kondisi yang sama dalam proses yang berasal dari

Negara Peminta.

2. Jika seseorang mengklaim bahwa ada hak atau kewajiban untuk menolak untuk

memberikan bukti menurut hukum Negara lain, Negara di mana orang tersebut ini
149
Ketentuan yang berkaitan dengan kerahasiaan akan menjadi penting bagi banyak
negara tetapi dapat menghadirkan masalah kepada orang lain. Sifat ketentuan dalam perjanjian
individu dapat ditentukan dalam negosiasi bilateral.

Universitas Sumatera Utara


berada wajib, dengan amendemen tersebut, bergantung pada sertifikat otoritas

berwenang dari Negara lainnya sebagai bukti adanya atau tidak adanya hak atau

kewajiban 150.

Mengenai permasalahan konsultasi, para Pihak akan berkonsultasi segera,

atas permintaan salah satu, tentang interpretasi, aplikasi atau pelaksanaan

Perjanjian ini baik umum atau berhubungan/dalam kaitannya dengan kasus

tertentu.

D. Perjanjian MLA antara RI dengan Hong Kong SAR menurut UU RI No.

1 tahun 2006 dan UN Model Treaty of MLA

Perjanjian MLA yang dibuat antara RI dengan Hong Kong SAR di tahun

2008, merupakan perjanjian MLA RI pertama yang telah memiliki dasar hukum

dan pedoman praktis pembuatannya, yang telah dituangkan dalam UU RI No. 1

tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam masalah Pidana. Perjanjian MLA

RI sebelumnya, yaitu dengan Australia, Cina, dan Korea Selatan, didasari asas

resiprositas ataupun komplementer atas perjanjian ekstradisi yang telah ada

terlebih dahulu 151.

Dibandingkan dengan UU RI No. 1 tahun 2006, perjanjian MLA RI-

HKSAR lebih luas ruang lingkupnya dalam pasal 1 nomor (3) dimana bantuan

juga dapat diberikan dalam kaitan dengan kejahatan yang bertentangan dengan

150
Beberapa negara mungkin ingin memberikan bahwa saksi yang bersaksi dalam
meminta Negara tidak dapat menolak untuk bersaksi atas dasar hak istimewa yang berlaku di yang
diminta Negara.
151
Pada ketentuan Peralihan UU RI No. 1 tahun 2006 yang tertuang dalam pasal 59, pada
saat UU ini mulai berlaku: (a) semua perjanjian Bantuan yang telah diratifikasi sebelum
berlakunya UU ini dinyatakan tetap berlaku; (b) semua permohonan bantuan yang diajukan baik
berdasarkan perjanjian maupun tidak, tetap diproses sepanjang tidak bertentangan dengan UU ini.

Universitas Sumatera Utara


hukum di bidang perpajakan, bea cukai, pengawasan valuta asing atau masalah

pendapatan lainnya, tetapi tidak dalam kaitan dengan proses persidangan non-

pidana yang terkait darinya.

Dalam persetujuan MLA RI-HKSAR, masalah pidana berarti

penyelidikan, sedangkan pada UU RI No. 1 tahun 2006, bantuan berkenaan

dengan penyidikan. Dalam UU RI No. 8 tahun 1981, penyidikan dan penyelidikan

adalah dua hal yang berbeda.

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut

cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan

bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi

dan guna menemukan tersangkanya 152. Sedangkan, penyelidikan adalah

serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa

yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya

dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini 153.

Mengenai pejabat pemegang otoritas (Central Authority), UU RI No. 1

tahun 2006 tidak mencamtumkan secara jelas dalam pasal tertentu, hal ini hanya

dituangkan dalam bagian umum di Penjelasan UU bahwa UU ini memberikan

dasar hukum bagi Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum dan hak

asasi manusia sebagai pejabat pemegang otoritas, yang berperan sebagai

koordinator dalam pengajuan permintaan bantuan timbal balik dalam masalah

pidana kepada negara asing maupun penanganan permintaan bantuan timbal balik

dalam masalah pidana dari negara asing.

152
Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981, pasal 1 angka (2).
153
Ibid., pasal 1 angka (5).

Universitas Sumatera Utara


Dalam MLA RI-HKSAR, pengaturan secara rinci mengenai Central

Authority (otoritas sentral) ini diatur pada pasal 4, dimana otoritas sentral dari

para Pihak bertugas memproses permintaan bantuan hukum timbal balik sesuai

dengan ketentuan dalam Persetujuan ini. Otoritas sentral dari RI adalah Menteri

Hukum dan HAM, sedangkan dari HKSAR adalah Menteri Kehakiman atau

pejabat yang ditunjuknya. Setiap pihak dapat mengganti pejabat pemegang

otoritasnya, dan dengan segera memberitahukan penggantian tersebut kepada

pihak lainnya. Pejabat pemegang otoritas dapat langsung saling berkomunikasi,

atau dapat pula, sesuai kehendak mereka, melalui Konsulat Jenderal RI di

HKSAR.

Dalam UN Model Treaty of MLA, setiap Pihak wajib menunjuk dan

menunjukkan kepada Pihak lain otoritas sentral atau kewenangan oleh atau

melalui yang meminta untuk tujuan Perjanjian ini harus dibuat atau diterima. 154

Pada Pasal 8 MLA RI-HKSAR, diatur secara tegas mengenai pengembalian

barang kepada pihak Diminta. Apabila diminta oleh Pihak Diminta, Pihak

Peminta wajib mengembalikan barang yang diberikan berdasarkan Persetujuan ini

apabila tidak diperlukan lagi untuk masalah pidana yang terkait.

Sebagian besar struktur dan isi perjanjian MLA RI-HKSAR terdapat pada

UU RI No.1 tahun 2006, meskipun terlihat bahwa UU RI No. 1 tahun 2006

terkesan lebih mendetail/rinci, hal ini dikarenakan UU ini mengatur Bantuan

154
Negara mungkin ingin mempertimbangkan untuk komunikasi langsung antara pusat
berwenang dan bagi pemerintah pusat untuk memainkan peran aktif dalam memastikan cepat
pelaksanaan permintaan, pengendalian kualitas dan menetapkan prioritas. Negara juga mungkin
ingin setuju bahwa pemerintah pusat tidak saluran eksklusif untuk bantuan antara para Pihak dan
bahwa pertukaran langsung informasi harus mendorong sejauh yang diijinkan oleh hukum
nasional atau pengaturan.

Universitas Sumatera Utara


Timbal Balik dalam Masalah Pidana Indonesia dengan negara lain secara umum

yang mana beberapa ketentuannya tidak tercantum dalam perjanjian MLA antara

RI dan Hong Kong SAR, seperti masalah transit 155.

Pada UU RI No. 1 tahun 2006, pengaturan secara rinci tertuang dalam

proses permintaan bantuan. Permintaan bantuan dari pemerintah RI yaitu:

a. bantuan untuk mencari atau mengidentifikasi orang (pasal 11);

b. bantuan untuk mendapatkan alat bukti (pasal 12-13);

c. bantuan untuk mengupayakan kehadiran orang di Indonesia (pasal 14-18);

d. bantuan untuk permintaan dikeluarkannya surat perintah di negara asing dalam

mendapatkan alat bukti (19-20);

e. bantuan untuk penyampaian surat (pasal 21); dan

f. bantuan untuk menindaklanjuti putusan pengadilan (pasal 22-23).

Sedangkan permintaan bantuan negara lain kepada Pemerintah RI yaitu:

a. bantuan untuk mencari atau mengidentifikasi orang (pasal 31);

b. bantuan untuk mendapatkan pernyataan, dokumen, dan alat bukti lainnya

secara sukarela (pasal 32-34);

c. bantuan untuk mengupayakan kehadiran orang di negara Peminta (pasal 35-

39);

d. bantuan untuk penggeledahan dan penyitaan barang, benda, atau harta

kekayaan (pasal 41-47);

e. bantuan penyampaian surat (pasal 48-50); dan

155
Izin transit diperuntukkan bagi saksi yang berstatus sebagai tahanan atau narapidana
paling lama 12 (dua belas) jam.

Universitas Sumatera Utara


f. bantuan untuk menindaklanjuti putusan pengadilan negara peminta (pasal 51-

54).

Dilihat dari struktur perjanjian MLA RI-HKSAR, perjanjian ini lebih

didominasi bentuk UN Model Treaty of MLA. Perjanjian MLA RI-HKSAR tidak

mencantumkan perlindungan kerahasiaan, hak/kewajiban untuk

menolak/memberikan barang bukti, serta konsultasi didalam isi perjanjiannya

sebagaimana yang tercantum dalam UN Model Treaty of MLA. Namun, dalam

beberapa hal, perjanjian MLA RI-HKSAR lebih merinci apa-apa yang disebutkan

secara umum di UN Model Treaty of MLA.

Pada pasal 17 nomor (6) persetujuan MLA RI-HKSAR, dirinci bahwa

hasil kejahatan meliputi:

a. Harta senilai jumlah harta dan keuntungan lain yang berasal dari kejahatan;

b. Harta yang berasal atau terbentuk secara langsung atau tidak langsung dari

kejahatan;

c. Harta yang digunakan atau dimaksud untuk digunakan berkaitan dengan

kejahatan atau nilai dari harta tersebut.

Pengaturan mengenai biaya 156 pada Pasal 20 UN Model Treaty of MLA

adalah bahwa biaya melaksanakan permintaan harus ditanggung oleh Negara yang

diminta, kecuali ditentukan lain oleh Para Pihak. Jika biaya dari sebuah

156
Ketentuan lebih rinci dapat dimasukkan. Sebagai contoh, Negara Diminta akan
mengeluarkan biaya memenuhi permintaan bantuan kecuali bahwa Negara Peminta akan
menanggung (a) biaya luar biasa yang diperlukan untuk memenuhi permintaan tersebut, dimana
diperlukan oleh negara Diminta dan tunduk pada konsultasi sebelumnya, (b) biaya yang
berhubungan dengan transfer orang ke atau dari wilayah Negara Diminta, dan setiap biaya,
tunjangan atau biaya yang dibayar kepada orang itu sedangkan dalam Negara Peminta berdasarkan
permintaan berdasarkan Pasal 11, 13 atau 14; (c) biaya yang berhubungan dengan petugas yang
menyampaikan kustodian atau mengawal, dan (d) beban yang terlibat dalam memperoleh laporan
ahli.

Universitas Sumatera Utara


substansial atau alam luar biasa akan diperlukan untuk mengeksekusi

/melaksanakan permintaan tersebut, para Pihak akan berkonsultasi terlebih dahulu

untuk menentukan persyaratan dan kondisi di mana permintaan akan dijalankan

/harus dilaksanakan serta cara dimana biaya akan ditanggung.

Mengenai biaya, di persetujuan MLA RI-HKSAR Pihak Meminta

mendapatkan tanggung jawab untuk menanggung:

a. Biaya perjalanan dan akomodasi serta uang saku orang yang menyediakan

bantuan sesuai dengan permintaan yang dibuat berdasarkan Pasal 11, 12, atau

13 persetujuan ini;

b. Biaya pejabat pengawas atau pengawal; dan

c. Bayaran dan biaya untuk ahli dan mereka yang terlibat dalam penerjemahan

dokumen.

Persetujuan MLA RI-HKSAR saat ini dalam tahap ratifikasi kedalam UU

RI, meskipun hanya berbentuk persetujuan yang dapat berlaku setelah exchange

of notes, namun sesuai pasal 10 UU RI tentang Perjanjian Internasional, hal-hal

yang berkaitan dengan keamanan diratifikasi dalam bentuk undang-undang, dalam

hal ini yaitu bantuan timbal balik dalam masalah pidana.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan beberapa pembahasan yang diuraikan pada bab-bab

sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:

1. Pengaturan hukum mengenai Mutual Legal Assistance (MLA) di

Indonesia diatur pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal balik dalam Masalah Pidana,

berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang

pengadilan, yang dilakukan berdasarkan suatu perjanjian atau atas dasar

hubungan baik berdasarkan prinsip resiprositas, atau sebagai

komplementer suatu perjanjian ekstradisi, guna memudahkan aparat

penegak hukum untuk melaksanakan kerjasama memberantas kejahatan

transnasional.

2. Perspektif hukum perjanjian internasional terhadap MLA di Indonesia

MLA berdasarkan Konvensi Wina tahun 1969 pada intinya dapat dibuat

dalam bentuk bilateral atau multilateral. Sejauh ini, Indonesia sudah

memiliki beberapa perjanjian kerja sama MLA Bilateral dengan Australia,

China, Korea, dan Hong Kong SAR. Sementara itu, MLA Multilateral

terangkum pada MLA regional Asia Tenggara yang sudah ditandatangani

hampir semua negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia. Perjanjian

MLA dibuat dalam bentuk ‘perjanjian’, namun ada juga yang berbentuk

Universitas Sumatera Utara


‘persetujuan’. Istilah ini secara umum diartikan sama, namun dalam

hukum perjanjian internasional, perjanjian diartikan lebih luas tidak hanya

antar kepala negara, melainkan juga antar kepala negara atau antar

pemerintah, sedangkan persetujuan merupakan instrumen resmi yang

tunggal dan bersifat lebih spesifik dari perjanjian, misal antar kementrian

pemerinth negara. Perjanjian MLA di Indonesia diratifikasi dalam bentuk

undang-undang.

3. Perjanjian MLA antara RI dan Hong Kong SAR dibuat berpedoman

sebagian besar pada UN Model Treaty of MLA dalam bentuk dan isinya,

serta memiliki payung hukum UU RI No. 1 tahun 2006 atas

keberadaannya. MLA RI-HKSAR merinci beberapa hal yang digambarkan

secara umum pada UN Model Treaty of MLA dan UU RI No. 1 tahun

2006. MLA RI-HKSAR terbentuk didasari hasrat untuk memperkuat kerja

sama yang erat antar pemerintah, dengan meningkatkan efektifitas aparat

penegak hukum dari masing-masing pemerintah di bidang penyelidikan

dan penuntutan kejahatan, dan perampasan hasil kejahatan serta proses

lanjutannya. Meskipun telah ada MLA antara Indonesia dan Cina, namun

MLA antar Indonesia dan Hong Kong SAR tetap dibuat mengingat

keberadaan Hong Kong SAR dalam Cina dengan prinsip one country two

systems dan merujuk pada Basic Law sebagai sumber hukumnya.

Universitas Sumatera Utara


B. Saran

1. Pengaturan hukum mengenai Mutual Legal Assistance (MLA) di

Indonesia yang diatur pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal balik dalam Masalah Pidana, perlu

direvisi karena dianggap belum memadai dan belum mencantumkan secara

jelas dan keseluruhan aspek-aspek yang berkaitan dalam MLA, contoh

tidak adanya pengaturan secara jelas dan rinci mengenai Central

Authority.

2. Perspektif hukum perjanjian internasional terhadap MLA di Indonesia dari

segi teori telah sejalan dengan hukum perjanjian internasional yang

berlaku, baik Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian

maupun UN Model Treaty of MLA. Namun, dalam penerapan hal ini

kadangkala terhambat dengan administrasi dan informasi, sehingga

diharapkan kedepannya dalam pembuatan perjanjian mengenai bantuan

timbal balik dalam masalah pidana, lebih diperjelas guna memudahkan

aparat penegak hukum dalam melaksanakan perjanjian tersebut. Melihat

perkembangan kejahatan transnasional yang semakin pesat, perjanjian

MLA yang dimiliki oleh Indonesia dianggap sangat minim. Pemerintah

perlu meningkatkan jumlah perjanjian MLA Indonesia dengan negara-

negara lain untuk melindungi negaranya dan memudahkan penegakan

hukum atas warga negaranya yang berada di negara lain, serta dalam

upaya mengembalikan aset negara.

Universitas Sumatera Utara


3. Perjanjian MLA antara RI dan Hong Kong SAR dibuat berpedoman

sebagian besar pada UN Model Treaty of MLA dalam bentuk dan isinya,

serta memiliki payung hukum UU RI No. 1 tahun 2006 atas

keberadaannya, antara Indonesia dan Hong Kong SAR pada April 2008,

sampai saat ini masih dalam tahap ratifikasi RUU. Sebaiknya pemerintah

mengutamakan perjanjian-perjanjian yang penting untuk dituangkan

kepada undang-undang guna memudahkan pelaksanaan perjanjian oleh

aparat Indonesia yang berada di Hong Kong SAR khususnya, dan

perjanjian-perjanjian MLA Indonesia dengan beberapa negara lain pada

umumnya.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai