Anda di halaman 1dari 17

Konvensi Wina Sebagai Dasar Lahirnya Perjanjian Internasional dan

Ratifikasinya di Indonesia
A. Latar Belakang
Sebuah negara modern tidak akan dapat dipisahkan dengan hubungan
internasional. Setiap negara memiliki motivasi tersendiri dalam setiap upaya
melakukan hubunngan internasional.1 Oleh karena itu, alasan dalam
menyelenggarakan hubungan internasional sangat beragam. Landasan yang
paling sering digunakan adalah hubungan internasional dilaksanakan dalam
rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam negara tersebut. Sehingga
dalam setiap pelaksanaan hubungan internasional tersebut diperlukan adanya
perjanjian internasional.
Perjanjian internasional mengalami perkembangan yang sangat pesat
akhir-akhir ini. Perkembangan tersebut berbanding lurus dengan
perkembangan hukum internasional. Saat ini perjanjian internasional dapat
dikatakan sebagai sumber hukum terpenting, hal ini dikarenakan perjanjian
instrumen hubungan internasional yang terjadi antar negara.2
Perkembangan yang signifikan pada perjanjian internasional ini
dipengaruhi oleh perubahan kehidupan dalam masyarakat internasional yang
menghendaki keteraturan. Perjanjian internasional merupakan perjanjian yang
diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk
mengakibatkan akibat hukum tertentu.3 Perjanjian internasional sendiri
menurut Pasal 2 ayat (1) Konvensi Wina 1969 merupakan suatu persetujuan
yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis dan diatut oleh hukum
internasional, apakah dalam satu instrumen atau dua instrumen yang
berkaitan dengan apapun namanya.
Hubungan suatu negara dengan negara lain dengan menggunakan
perjanjian internasional memiliki kelebihan tersendiri. Kelebihan perjanjian
internasional adalah bentuknya yang tertulis sehingga jelas kepastiannya.
1
Daniel Aditia Situngkir, “Perjanjian Internasional dan Dampaknya Bagi Hukum Nasional.”
Kertha Wicaksana Vol. 13 (2019): 19
2
Sefriana, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 28
3
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: Alumni,
2003), 117
Perjanjian internasional ini juga merupakan sumber hukum internasional
yang dimanfaatkan secara konsisten untuk menunjang hubungan antar
negara.4
Sebelum munculnya Konvensi Wina 1969 perjanjian internasional hanya
diatur oleh hukum-hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan dalam melakukan
perjanjian internasional tersebut termuat dalam draft pasal-pasal yang
disiapkan oleh Komisi Hukum Internasional yaitu Liga Bangsa-Bansa (LBB).
Pada perkembangannya perjanjian internasional telah menjadi sumber
hukum utama dalam mewujudkan kerjasama internasional baik yang
dilaksanakan secara multilateral ataupun secara bilateral. Melalui perjanjuan
internasional setiap negara menggariskan dasar kerjasama dalam mengatur
berbagai kegiatan, menyelesaikan berbagai masalah dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan negaranya.5
Statuta the International Court Of Justice PBB menyatakan bahwa salah
satu organ utama dalam PBB yang bertugas mengadili sengketa dalam
perjanjian internasional dalam suatu negara. Dalam statuta tersebut
menyatakan bahwa sumber hukum yang dijadikan sebagai tuntunan seorang
hakim adalah perjanjian internasional.
Perjanjian internasional memiliki banyak sebutan dalam
perkembangannya. Seperti traktat, konvensi, dan lain sebagainya. John
Obrian merangkum terdapat beberapa prinsip yang dapat dijadikan sebagai
landasan dalam melakukan perjanjian internasional:
1. Muncul diakibatkan persetujuan
2. Negara yang memberikan persetujuan untuk memberlakukannya
sebagaimana yang diingankan oleh traktat terhadap pihak lain
3. Apabila perjanjian internasional tersebut mengkodifikasikan kebiasaan,
maka negara-negara peserta dalam perjajian intenasional tersebut
terikat oleh prinsip-prinsip umum

4
Elfia Farida, “Kewajiban Negara Indonesia Terhadap Perjanjian Internasional Yang Telah
Diratifikasi.” Administrative Law & Governance Journal Vol 3 (2020): 183
5
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global
(Bandung: PT. Alumni, 2015), 82
4. Perjanjian internasional multilateral biasanya terbentuk di bawah
International Law Commision, hal tersebut bertujuan untuk terciptanya
hukum internasional yang progresif.6
Masalah yang sering dihadapi dalam menerapkan suatu perjanjian
internasional adalah hambatan institusional yang ditimbulkan oleh setiap
negara yang diakui memiliki suatu kedaulatan. Pada dasarnya setiap negara
memiliki kebebasan untuk mengadakan perjanjian dengan pihak manapun.
Karena pada dasarnya perjanjian internasional sangat bergantung kepada
kenbutuhan dari setiap negara. Setiap negara yang mengikatkan diri dengan
perjanjian internasional, maka secara langsung negara tersebut akan memiliki
hak dan kewajiban yang harus dipikul oleh negara tersebut. Oleh karena itu,
dibentuklah ketentuan-ketentuan terkait prinsip-prinsip dasar dalam
melakukan suatu perjanjian internasional baik multilateral ataupun bilateral. 7
Secara umum pengaturan terkait perjanjian internasional diatur dalam dua
konvensi internasional yaitu Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986.
Konvensi Wina 1969 mengatur terkait perjanjian internasional dalam arti
sempit yang pihaknya yaitu negara dengan negara. Konvensi Wina 1986
mengatur terkait perjanjian internasional dalam arti yang luas karena pihak
yang terkait dalam perjanjian ini adalah negara atau bukan negara seperti
organisasi Internasional. Konvensi ini mulai berlaku sejak 27 Januari 1980
dan konvensi ini telah menjadi sumber hukum positif karena menjadi dasar
hukum dari setiap negara yang akan melaksanakan perjanjian internasional.
Konvensi Wina merupakan kodifikasi dari hukum kebiasaan internasional
yang disesuakan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Walaupun
begitu hukum kebiasaan internasional masih berlaku untuk hak-hak yang
belum termuat dalam perjanjian ini.8 ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam Perjanjian Wina ini akan menjadi pedoman bagi setiap negara yang
6
Jawahir Thantawi Iskandar, Hukum Internasional Kotemporer (Bandung, Refika Aditama, 2006)
57
7
Daniel Aditia Situngkir, “Perjanjian Internasional dan Dampaknya Bagi Hukum Nasional.”
Kertha Wicaksana Vol. 13 (2019): 20
8
Rodrigo Wullur, “Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional Sebagai Salah Satu Sumber
Hukum Internasional Menurut Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional.” Lex Administratum
Vol. VI (2018): 98
akan melakukan sebuar perjanjian. Oleh karena itu penulis melakukan tulisan
terkait Konvensi Wina Sebagai Dasar Lahirnya Perjanjian Internasional dan
Ratifikasinya di Indonesia.
B. Pembahasan
1. Konvensi Wina Sebagai Dasar Perjanjian Internasional
PBB pada tahun 1945, untuk pertama kalinya, pengembangan
kodifikasi hukum internasional termasuk hukum diplomatik telah
dimulai tahun 1949 secara intensif oleh Komisi Hukum Internasional
khususnya ketentuanketentuan yang menyangkut kekebalan dan
pergaulan diplomatik telah digariskan secara rinci. Akhirnya setelah
melalui perjalanan yang panjang selama 12 tahun, konferensi berkuasa
penuh (Plenipotentiary Conference) telah diadakan di Wina, Austria
pada tanggal 2 Maret - 14 April 1961 dan telah mengesahkan suatu
konvensi dengan judul “Konvensi Wina tentang Hubungan
Diplomatik” (Vienna Convention on Diplomatic Relations) pada
tanggal 18 April 1969.9
Vienna Conventionon the Law Of Treaties 1969 atau Konvensi
Wina dianggap sebagai induk dari setiap perataturan yang terkait
dengan perjanjian internasional. Konvensi Wina inilah yang pertama
kali yang memuat terkait ketentuan-ketentuan dalam melaksanakan
perjanjian internasional. Pada konvensi inilah terdapat pengaturan
hukum materiil ataupun formil dalam membuat, melaksanakan dan
membatalkan suatu perjanjian Internasional.
Pemberlakuan Konvensi Wina 1969 sebagai dasar dalam
membuat, melaksanakan atau membatalkan suatu perjanjian
internasional sangat diperlukan oleh setiap masyarakat internasional.
Konvensi Wina memuat nilai-nilai, norma, hukum kebiasaan yang
dapat diterima oleh masyarakat internasional. Konvensi wina ini
menyatakan bahwa perjanjian internasional adalah sumber hukum

9
Kevin Gerson Inkiriwang, “Efektivitas Konvensi Wina 1969 Tentang Hubungan Diplomatik
Dalam Mengatasi Konflik Antar Negara,” Lex Et Societatis Vol. III (2015):35
yang utama untuk mengembangkan kerjamasa damai dengan dunia
luar apapun konstitusionak dan sistem sosialnya.
Sebelum adanya Konvensi Wina ini perjanjian internasional yang
dilakukan oleh suatu negara baik secara multilateral ataupun secara
bilateral dilakukan semata-mata dengan prinsip good faith, pacta sunt
servanda yang terbentuk atas kesepakatan diantaran negara yang
sedang melakanakan perjanjian internasional.10 Sehingga sebelum
adanya Konvensi Wina ini dilakukan atas dasar kebiasaan internasional
yang berbasis praktek negara dan keputusan-keputusan Mahkamah
Internasional atau Mahkamah Permanen Internasional atau pendapat
dari ahli hukum internasional. Namun, setelah adanya Konvensi Wina
ini perjanjian internasional tidak hanya berlandaskan pada kebiasaan
internasional. Namun, perjanjian internasional harus dilakukan sesuai
pada nilai dan norma yang menuntut kepatuhan yang tingga dari setiap
negara yang tergabung, seingga konvensi wina tidak akan hilang
walaupun pada setiap tahunnya perkembangan internasional berubah
ubah.11
2. Kedudukan Negara dalam Perjanjian internasional
Subjek terpenting dalam perjanjian internasional adalah negara.
Walaupun memang pada dasarnya tidak bisa mengesampingkan
subjek-subjek pendukung lainnya. Sebagai subjek terpenting dalam
hubungan internasional negara memiliki hak-hak dan kewajiban
menurut hukum internasional.12 Hak-hak dan kewajiban tersebut
adalah sebagai berikut:13
a) Hak atas kemerdekaan

10
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global
(Bandung: PT. Alumni, 2015), 82
11
Hukum Online, Konvensi Wina 1969 Induk Pengaturan Perjanjian Internasional
(https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl4268/konvensi-wina-1969-induk-
pengaturan-perjanjian-inrenasional/#:~:text=Vienna%20Convention%20on%20the%20Law,into
%20force%20pada%20tahun%201980.)
12
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2002)1
13
Sefriana, Pengantar Hukum Internasional (Jakarta: Rajafrafindo Persada, 2015) 113-133
b) Hak untuk melakukan yuridiksi terhadap wilayahnya, orang
dan benda yang berada dalam wilayahnya
c) Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama
d) Hak untuk menjalankan pertahanan diri sesuai atau kolektif
Sementara itu negara yang mengikuti suatu perjanjian
internasional:
a) Kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap
masalah-,asalah yang terjadi di Negara Lain
b) Kewajiban untuk tidak menggerakkan pergolakan sipil
dinegara lainnua
c) Kewajiban untuk memperlakukan semua orang yang berada di
wilaynya dengan memperhatikan hak asasi manusia
d) Kewajiban untuk mempertahankan wilayahnya agar tidak
membahayakan perdamaian dan keamana internasional
e) Kewajiban untuk tidak menggunakan senjata dan dan
kekuatan
f) Kewajiban untuk tidak mengakui terhadap wilayah yang
didapat dengan cara kekerasan
g) Kewajiban untuk tidak membantu terlaksananya penggunaan
kekuatan dan senjata
h) Melaksanakan kewajiban untuk melaksanakan kewajiban
internasional dengan iktikad baik
i) Kewajiban untuk melaksanakan hubungan internasional
dengan negara lain sesuai dengan hukum internasional
Terlepas ada atau tidak suatu perjanjian internasional setiap
negara memiliki hak dan kewajiban dasar yang harus dipedomani agar
terciptanya perdamaian dunia. Perjanjian internasional merupakan
rujukan bagi negara atau subjek internasional untuk menyelesaikan
setiap permesalahan yang dihadapi. Perjanjian internasional adalah
perjanjian yang diadakan diantara anggota masyarakat bangsa-bangsa
dan bertujuan untuk mengakibatkan suatu hukum tertentu menjadi
berlaku.14
Sama halnya dengan perjanjian pada umumnya, negara dalam
suatu perjanjian internasional memiliki peran yang ditentukan sendiri
oleh negara tersebut.15 Konvensi Wina 196 dan Konvensi Wina 1986
membagi peran negara dalam perjanjian internasional kedalam 2 (dua)
kelompok:
a) Negara Pihak
Pengertian negara pihak (party) dapat dilihat dalam
Pasal 2 (g) Konvensi Wina 1969: “Party means a Statewhich
has consented to be bound by the treaty and for which the
treaty is in force” Sedangkan pengertian pihak (party) juga
ditemukan dalam pasal 2 (g) Konvensi Wina 1986: “party”
means a State or an international organization which has
consented to be bound by the treaty and for which the treaty is
in force; Melihat dari pengertian diatas, maka Negara pihak
adalah Negara yang menyatakan terikat pada ketentuan yang
diatur dalam perjanjian internasional.
b) Negara Bukan Pihak
Pengertian negara bukan pihak (third state) dapat
dilihat dalam Pasal 2 (h) Konvensi Wina 1969: “third state”
means a State not a party to the treaty. Sedangkan pengertian
Negara bukan pihak (third state) dalam pasal 2 (h) Konvensi
Wina 1986: “third state” and “third organization” mean
respectively: a State, or an international organization, not a
party to the treaty; Negara bukan peserta merupakan negara
yang tidak terlibat dalam perjanjian internasional, maka dari
itu sebuah perjanjian tidak menciptakan baik kewajiban atau
hak untuk negara ketiga tanpa persetujuan.
14
J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2004) 117
15
Danel Aditia Situngkir, “Terikatnya Negara dalam Perjanjian Internasional.” Refleksi Hukum
Jurnal Ilmu Hukum Vol 2 (2018): 171
3. Ketentuan Ratifikasi Menurut Konvensi Wina 1969
Konvensi Wina, yang disebut dengan Vienna Convention on the
Law of Treaties 1969, mengatur tentang perjanjian internasional publik
antar negara sebagai subjek utama hukum internasional. Konvensi
Wina merupakan induk perjanjian internasional bagi negara-negara
yang menandatangani konvensi tersebut. Konvensi ini telah menjadi
hukum internasional positif.16
Ratifikasi adalah perbuatan hukum lebih lanjut suatu negara untuk
mengkonfimasi perbuatan penandatanganan yang telah dilakukan
sebelumnya.17 Dalam praktek modern ratifikasi mempunyai arti lebih
penting bukan saja sekedar konfirmasi saja namun juga merupakan
pernyataan resmi suatu negara untuk terikat oleh perjanjian
internasional. Ada kalanya, ratifikasi dipandang sebagai hal yang
sangat penting tanpa ratifikasi suatu perjanjian internasional dianggap
tidak akan efektif sebagai mana yang dikemukakan oleh Lard Stowel:18
“Menurut praktik yang berjalan saat ini, ratifikasi merupakan
syarat esensial; dan merupakan konfirmasi yang kuat tentang
kedudukan ratifikasi. Bahwa setiap perjanjian internasional modern
memuat syarat ratifikasi yang dinyatakan secara tegas; dan karena itu
wewenang wakil dalam perundingan dibatasi oleh adanya syarat
ratifikasi. Ratifikasi mungkin merupakan formalitas, namun formalitas
yang esensial; karena merupakan instrument yang terkait dari segi
keefektifan hukum, tidak lengkap tanpa keberadaannya”.
Konvensi Wina mengatur ketentuan tentang ratifikasi pada Pasal
14 ayat 1 yang menyatakan sebagai berikut:
1) The consent of a state to be bound by a treaty is expressed by
ratification when :
a) the treaty provides for such consent to be expressed by
means of ratification;

16
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global
(Bandung: PT. Alumni, 2005) 83
17
Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional (Kajian Teori dan Praktik Indonesia)
(Bandung : PT.Refika Aditama,2017) 71
18
Nanda Indrawati, “Praktik Ratifikasi Perjanjian Internasional Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomo 13/ PUU-XVI/ 2018.” Law, Development & Justice Review Vol. 3 (2020): 104
b) it is otherwise established that the negotiating states were
agreed that ratification should be required;
c) the representative of the state has signed the treaty subject
to ratification; or
d) he intention of the state to sign the treaty subject to
ratification appears from the full powers of its
representative or was expressed during the negotiation
Meskipun Konvensi Wina 1969 secara substansial mencantumkan
ratifikasi, namun secara detail bagaimana ratifikasi tersebut harus
dilakukan oleh sebuah negara, Konvensi Wina tidak mengatur. 19
Kenyataannya prosedur ratifikasi ditentukan oleh hukum nasional
sesuai dengan konstitusi masing-masing negara.20
Esensi dari tindakan ratifikasi yaitu merupakan suatu konfirmasi
dari suatu fakta hukum yang mendahuluinya (yaitu perbuatan
penandatanganan atau penerimaan naskah). Perkembangan selanjutnya
tindakan ratifikasi ini dimaknai dengan maksud untuk memungkinkan
adanya partisipasi publik untuk mempelajari terlebih dahulu perjanjian
internasional. Menyusul perkembangan demokrasi yang ditandai
dengan meningkatmya kekuasaan parlemen maka lembaga ratifikasi
mulai dikenal dan berkembang dalam hukum nasional. Lembaga
ratifikasi secara internal diartikan sebagai persetujuan parlemen
terhadap rencana Kepala Negara untuk melakukan ratifikasi
(mengikatkan diri) seperti yang dipersyaratkan oleh perjanjian
internasional itu sendiri.
Wayan Prathiana menyatakan bahwa ratifikasi sebagai bentuk
pernyataan negara untuk mengikatan diri kepada suatu perjanjian
internasional mengandung dua aspek yaitu aspek internal dan aspek
eksternal. Aspek eksternalnya yaitu keterikatan suatu negara terhadap

19
Vienna Convention On The Law of Treaties, done at Vienna, on 23 May 1969, Come into force
on 27 January 1980.
20
Karmila Hippy, “Praktik Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia.” Lex Administratum
Vol 1 (2013): 92
perjanjian dalam hubungannnya dengan negara lain. Sedangkan aspek
internalnya yaitu terkait masalah di dalam negeri dari negara yang
bersangkutan. Misalnya dalam hal organ manakah yang berwenang
mengajukan persetujuan untuk terikat, bagaimana mekanismenya, serta
konsekuensinya terhadap hukum nasional atas keterikatan perjanjian
internasional.21
Keseragaman dalam pemahaman ratifikasi sangat diperlukan,
karena akan menyangkut sistem hukum dari banyak negara yang
berbeda sistem hukumnya (common law dan civil law, termasuk
negara-negara yang tidak sama dengan kedua sistem tersebut, misalnya
Thailand, Rusia, Jepang, Tiongkok). Perbedaan cara pandang dan
sistem ini bukan tidak mungkin akan menimbulkan perdebatan di
kemudian hari dari para pihak.22
Pengaturan terkait aspek eksternal dalam ratifikasi perjanjian
internasional tentu akan berbeda antara negara yang satu dengan
lainnya. Oleh karena itu, meskipun dalam Konvensi Wina 1969 secara
substansial telah mengatur mengenai ratifikasi namun secara detail
bagaimana ratifikasi tersebut harus dilakukan oleh sebuah negara
ditentukan oleh hukum nasional sesuai dengan sistem hukum, politik,
maupun konstitusi masing-masing negara.
4. Kewajiban Negara Indonesi terhadap perjanjian yang diratifikasi
Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum
internasional sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta
Mahkamah Internasional. Secara fungsional, pengertian perjanjian
internasional dapat dibedakan ke dalam 2 (dua) golongan yaitu :”treaty
contract” dan ”law making treaty”. Treaty contract adalah perjanjian-
perjanjian seperti suatu kontrak atau perjanjian dalam hukum perdata
yang mengakibatkan hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang

21
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1 (Bandung: Mandar Maju , 2002)
144
22
Jean Evaldi, “Perjanjian Internasional tentang Kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN dan
Tiongkok dalam Hukum Nasional Indonesia,” De Lega Lata Vol 2 (2017) 55
mengadakan perjanjian itu saja, contoh perjanjian perbatasan dan
perjanjian perdagangan. Sedangkan pengertian law making treaty
adalah perjanjian yang meletakkan ketentuan-ketentuan atau kaidah-
kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan.23
Kesepakatan untuk mengikatkan diri (consent to be bound) pada
perjanjian internasional merupakan tindak lanjut yang dilakukan oleh
negara-negara setelah menyelesaikan suatu perundingan untuk
membentuk suatu perjanjian internasional. Tindakan inilah yang
melahirkan kewajiban-kewajiban tertentu bagi negara-negara
perunding setelah menerima (adoption) suatu naskah (text) perjanjian,
diantaranya adalah kewajiban untuk tidak melaksanakan sesuatu yang
bertentangan dengan esensi, maksud dan tujuan perjanjian
internasional.
Berdasarkan Pasal 11 Konvensi Wina Tahun 1969 bahwa
kesepakatan untuk mengikatkan diri pada perjanjian dapat dinyatakan
melalui beberapa macam cara, diantaranya yang sering dipraktikkan
adalah penandatanganan dan ratifikasi. Beberapa alasan perlunya
ratifikasi adalah Perjanjian internasional memerlukan legislation,
Konstitusi (Undang-Undang Dasar) suatu negara mengharuskan
adanya persetujuan parlemen bagi suatu treaty atau prosedur lain
misalnya mempublikasikan treaty sebelum negara meratifikasinya dan,
Negara memerlukan waktu untuk mempertimbangkan implikasi dari
suatu treaty.
Di Indonesia, ketentuan yang melandasi pembuatan dan ratifikasi
perjanjian internasional adalah Pasal 11 UUD NRI Tahun 1945
(amandemen ketiga tahun 2001) bahwa:
a) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain,

23
Elfia Farida, “Kewajiban Negara Indonesia Terhadap Perjanjian Internasional Yang Telah
Diratifikasi.” Administrative Law & Governance Journal Vol 3 (2020): 184
b) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya
yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara,
dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-
undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,
dan
c) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur
dalam undang-undang
Pada tanggal 23 Oktober 2000 diundangkan UU No. 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional (UU PI). Menurut Pasal 9 ayat
(2) UU PI, ratifikasi atau pengesahan perjanjian internasional
dilakukan dengan undang-undang (UU) atau Peraturan Presiden.
Pengesahan perjanjian internasional melalui UU dilakukan berdasarkan
materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk dan nama
(nomenclature) perjanjian. Klasifikasi menurut materi perjanjian
dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum dan keseragaman atas
bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan UU.
Klasifikasi perjanjian menurut materi yang pengesahannya
melalui UU yaitu perjanjian yang berkenaan dengan (Pasal 10 UU
PI) :24
a) masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan
negara;
b) perubahan wilayah dan penetapan batas wilayah negara
Republik Indonesia; 3). kedaulatan atau hak berdaulat Negara;
c) hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
d) pembentukan kaidah hukum baru, dan
e) pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Setiap perjanjian yang dibuat oleh negara-negara harus
memperhatikan prinsip-prinsip kesepakatan bebas (free consent),
24
Andi Sandi dan Agustina Merdekawati, “Konsekuensi Pembatalan Undang-Undang Ratifikasi
Terhadap Keterikatan Pemerintah Indonesia Pada Perjanjian Internasional,” Mimbar Hukum Vol
24 (2012): 464
iktikad baik (good faith) dan pacta sunt servanda sebagai rule yang
telah diakui secara universal. Di dalam Pasal 26 Konvensi Wina Tahun
1969 dinyatakan bahwa setiap perjanjian yang berlaku adalah mengikat
terhadap para pihak dan harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Every
treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed
by them in good faith). Di dalam pasal tersebut tersirat ada dua prinsip
yang penting. Pertama, prinsip pacta sunt servanda merupakan prinsip
yang mendasar dalam hukum perjanjian yang membuat negara pihak
terikat pada perjanjian. Kedua, prinsip iktikad baik (good faith)
merupakan persyaratan moral agar perjanjian tersebut dapat dilakukan
dengan sungguh-sungguh.25
Secara internal, Indonesia mempunyai sejumlah kewajiban yang
harus dilakukan pasca meratifikasi perjanjian internasional, yaitu:26
a) Indonesia harus menerjemahkan atau mentransformasikan
kewajiban dalam perjanjian internasional ke dalam hukum
nasional. Arti penting melakukan transformasi adalah
memastikan agar tidak ada ketentuan yang berbenturan
(conflicting) antara hukum nasional dengan perjanjian
internasional. Bila ada ketentuan dalam perjanjian internasonal
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
maka peraturan perundang-undangan yang harus
diamandemen. Sedangkan bila ada yang harus diatur menurut
perjanjian internasional namun belum ada pengaturannya
dalam peraturan perundang-undangan nasional maka ketentuan
tersebut wajib diadakan. Proses ini dapat disebut sebagai
proses penyisiran terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
b) Indonesia harus bekerja sama lebih erat untuk memberi laporan
ke suatu lembaga yang ditentukan dalam perjanjian
25
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional (Jakarta : Tatanusa, 2008) 81
26
Hikmahanto Juwana, Hukum Internasional Dalam Perspektif Indonesia sebagai Negara
Berkembang (Jakarta : Yarsif Watampone, 2010) 74-78
internasional. Dalam sejumlah perjanjian internasional yang
bersifat multilateral terdapat kewajiban negara peserta untuk
melaporkan kemajuan (progress) yang telah dilakukan oleh
negara peserta. Demikian pula dengan sejumlah perjanjian
internasional di bidang HAM yang mengharuskan Indonesia
memberi laporan kemajuan setiap tahun pada organ PBB
seperti Dewan HAM (Human Rights Council).27
C. Kesimpulan
Vienna Conventionon the Law Of Treaties 1969 atau Konvensi Wina
dianggap sebagai induk dari setiap perataturan yang terkait dengan perjanjian
internasional. Konvensi Wina inilah yang pertama kali yang memuat terkait
ketentuan-ketentuan dalam melaksanakan perjanjian internasional. Pada
konvensi inilah terdapat pengaturan hukum materiil ataupun formil dalam
membuat, melaksanakan dan membatalkan suatu perjanjian Internasional.
Pemberlakuan Konvensi Wina 1969 sebagai dasar dalam membuat,
melaksanakan atau membatalkan suatu perjanjian internasional sangat
diperlukan oleh setiap masyarakat internasional. Konvensi Wina memuat
nilai-nilai, norma, hukum kebiasaan yang dapat diterima oleh masyarakat
internasional. Konvensi wina ini menyatakan bahwa perjanjian internasional
adalah sumber hukum yang utama untuk mengembangkan kerjamasa damai
dengan dunia luar apapun konstitusional dan sistem sosialnya. Sebelum
adanya Konvensi Wina ini perjanjian internasional yang dilakukan oleh suatu
negara baik secara multilateral ataupun secara bilateral dilakukan semata-
mata dengan prinsip good faith, pacta sunt servanda yang terbentuk atas
kesepakatan diantaran negara yang sedang melakanakan perjanjian
internasional.
Subjek terpenting dalam perjanjian internasional adalah negara.
Walaupun memang pada dasarnya tidak bisa mengesampingkan subjek-
subjek pendukung lainnya. Sebagai subjek terpenting dalam hubungan

27
Juladies H. S Watupongoh, “Tinjauan Yuridis Atas Persetujuan Pada Perjanjian Internasional
Melalui Ratifikasi.” Lex et Societatis Vol IV (2016): 127
internasional negara memiliki hak-hak dan kewajiban menurut hukum
internasional.
Konvensi wina sebagai rujukan dari pengaturan perjanjian internasional
memerlukan ratifikasi dari setiap negara untuk menggunakannya. Ratifikasi
adalah perbuatan hukum lebih lanjut suatu negara untuk mengkonfimasi
perbuatan penandatanganan yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam praktek
modern ratifikasi mempunyai arti lebih penting bukan saja sekedar konfirmasi
saja namun juga merupakan pernyataan resmi suatu negara untuk terikat oleh
perjanjian internasional. Ada kalanya, ratifikasi dipandang sebagai hal yang
sangat penting tanpa ratifikasi suatu perjanjian internasional dianggap tidak
akan efektif.
Kesepakatan untuk mengikatkan diri (consent to be bound) pada
perjanjian internasional merupakan tindak lanjut yang dilakukan oleh negara-
negara setelah menyelesaikan suatu perundingan untuk membentuk suatu
perjanjian internasional. Tindakan inilah yang melahirkan kewajiban-
kewajiban tertentu bagi negara-negara perunding setelah menerima
(adoption) suatu naskah (text) perjanjian, diantaranya adalah kewajiban untuk
tidak melaksanakan sesuatu yang bertentangan dengan esensi, maksud dan
tujuan perjanjian internasional.
D. Daftar Pustaka
1) Buku
Adolf, Huala. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2002.
Agusman, Damos Dumoli. Hukum Perjanjian Internasional (Kajian
Teori dan Praktik Indonesia). Bandung : PT.Refika Aditama, 2017.
Iskandar, Jawahir Thantawi. Hukum Internasional Kotemporer. Bandung,
Refika Aditama, 2006.
J.G Starke. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Juwana, Hikmahanto. Hukum Internasional Dalam Perspektif Indonesia
sebagai Negara Berkembang. Jakarta : Yarsif Watampone, 2010.
Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. Pengantar Hukum
Internasional. Bandung: Alumni, 2003.
Mauna, Boer. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi
dalam Era Dinamika Global. Bandung: PT. Alumni, 2015.
Parthiana, I Wayan. Hukum Perjanjian Internasional Bagian 1. Bandung:
Mandar Maju , 2002.
Sefriana. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers,
2010.
Sefriana. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Rajafrafindo Persada,
2015.
Suryokusumo, Sumaryo. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta :
Tatanusa, 2008.
2) Jurnal
Evaldi, Jean. “Perjanjian Internasional tentang Kesepakatan Masyarakat
Ekonomi ASEAN dan Tiongkok dalam Hukum Nasional
Indonesia”. De Lega Lata Vol 2. 2017
Farida, Elfia. “Kewajiban Negara Indonesia Terhadap Perjanjian
Internasional Yang Telah Diratifikasi”. Administrative Law &
Governance Journal Vol 3. 2020
Hippy, Karmila. “Praktik Ratifikasi Perjanjian Internasional di
Indonesia”. Lex Administratum Vol 1. 2013
Indrawati, Nanda. “Praktik Ratifikasi Perjanjian Internasional Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomo 13/ PUU-XVI/ 2018”. Law,
Development & Justice Review Vol. 3. 2020
Inkiriwang, Kevin Gerson. “Efektivitas Konvensi Wina 1969 Tentang
Hubungan Diplomatik Dalam Mengatasi Konflik Antar Negara”.
Lex Et Societatis Vol. III. 2015
Sandi, Andi dan Agustina Merdekawati. “Konsekuensi Pembatalan
Undang-Undang Ratifikasi Terhadap Keterikatan Pemerintah
Indonesia Pada Perjanjian Internasional”. Mimbar Hukum Vol 24.
2012
Situngkir, Danel Aditia. “Terikatnya Negara dalam Perjanjian
Internasional”. Refleksi Hukum Jurnal Ilmu Hukum Vol 2. 2018
Situngkir, Daniel Aditia. “Perjanjian Internasional dan Dampaknya Bagi
Hukum Nasional”. Kertha Wicaksana Vol. 13. 2019
Watupongoh, Juladies H. S. “Tinjauan Yuridis Atas Persetujuan Pada
Perjanjian Internasional Melalui Ratifikasi”. Lex et Societatis Vol
IV. 2016
Wullur, Rodrigo. "Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional Sebagai
Salah Satu Sumber Hukum Internasional Menurut Pasal 38 Piagam
Mahkamah Internasional”. Lex Administratum Vol. VI. 2018

Anda mungkin juga menyukai