Anda di halaman 1dari 11

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

  Serikat pekerja/buruh merupakan alat pengorganisasian dan sarana buruh untuk mendorong
pemenuhan hak-hak, kondisi kerja yang layak, dan juga aspek lainnya yang berpengaruh
kepada kehidupan buruh. Serikat menaikkan daya tawar buruh yang posisinya sangat timpang
di hadapan pengusaha yang memiliki modal dan pemerintah yang memiliki otoritas dan alat
pemaksa.
   Perkembangan serikat buruh di Indonesia mengalami pasang surut. Mulai dari zaman pra
kemerdekaan dengan menggerakkan perlawanan dan menyadarkan masyarakat mengenai
penjajahan Belanda. Kemudian pada era Orde Lama mendorong kebijakan dan peraturan
yang berpihak untuk buruh seperti upah minimum, tunjangan hari raya, pembatasan jam
kerja, penghapusan diskriminasi, cuti hamil, dan lain sebagainya. Kemudian masuk pada era
keterburukan serikat buruh di zaman Orde Baru yang hanya membolehkan adanya satu
serikat buruh (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
dipimpin oleh militer, penyelesaian sengketa perburuhan dengan menggunakan kekerasan
dan cara-cara militeristik, penghapusan hak-hak buruh, ancaman pidana subversi terhadap
serikat buruh, dan berbagai tindakan represif lainnya. Kemudian era Reformasi yang diawali
dengan diratifikasinya Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan
Perlindungan Hak Berorganisasi dengan Keputusan Presiden No 83 Tahun 1998, dan
kemudian pembuatan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh.
Pada era reformasi jumlah serikat buruh meningkat signifikan, namun kemudian
mengalami penurunan. Kementrian Tenaga Kerja (Kemenaker) sendiri mencatat bahwa pada
tahun 2017 terdapat 7000 serikat. Jumlah tersebut menurun dari sepuluh tahun sebelumnya
(2007) dimana serikat buruh berjumlah 14.000 serikat. Kemudian jumlah buruh yang
berserikat juga menurun dari sebelumnya 3,4 juta orang pada tahun 2007 menjadi 2,7 juta
orang pada 20171.
Dari segi kualitas, kita dapat melihat dari beberapa hal, misalnya banyaknya
Perjanjian Kerja Sama (PKB)yang berhasil didorong oleh serikat buruh dan juga berbagai
kebijakan yang seharusnya berhasil diadvokasi oleh serikat buruh. Ternyata dari 14.423

1
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180328143824-20-286542/menaker-jumlah-serikat-pekerja-
menurun-signifikan

1
perusahaan yang tercatat, hanya 30% yang memiliki PKB. Padahal PKB merupakan salah
satu program yang umum didorong oleh serikat buruh. Kemudian beberapa advokasi yang
sangat vital atau merupakan bagian penting dari perjuangan buruh, seperti terkati
pengupahan, serikat buruh justru mengalami kekalahan telak. Peraturan Pemerintah No. 78
Tahun 2015 tentang Pengupahan dan aturan turunannya yang berdampak signifikan terhadap
rendahnya kenaikan upah dan lemahnya peran serikat buruh, tidak bisa dibatalkan oleh
serikat buruh2.

B. Rumusan Masalah
Dari beberapa latar belakang diatas maka akan dirumuskan beberapa permasalahan yaitu:
a. Apa yang dimaksud dengan kebebasan berserikat?
b. Apa saja ketentuan yang mengatur tentang kebebasan berserikat?
c. Apa saja hak-hak serikat pekerja?
d. Bagaimana sanksi atas mogok kerja yang tidak sah?

C. Tujuan Penulisan

Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum
Hubungan Industrial, selain itu bertujuan agar baik penulis maupun pembaca dapat
memahami dan menjelaskan tentang:

a. Pengertian kebebasan berserikat.

b. Ketentuan umum yang mengatur tentang kebebasan berserikat.

c. Menjelaskan mengenai hak-hak serikat pekerja.

d. Mengetahui sanksi atas mogok kerja yang tidak sah.

2
https://ekonomi.bisnis.com/read/20190205/12/885647/ketenagakerjaan-baru-30-perusahaan-di-indonesia-
yang-punya-perjanjian-kerja-bersama

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebebasan Berserikat

Kebebasan berserikat mengacu kepada hak seseorang untuk bergabung dengan suatu
kelompok dan juga keluar dari kelompok tersebut secara sukarela. Hak ini dijamin oleh
instrumen-instrumen hak asasi manusia modern, seperti:
 Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia – Pasal 20 dan 23
 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik – Pasal 22
 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia – Pasal 11
 Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia – Pasal 16
Berserikat merupakan hak asasi dan hak konstitusional setiap warga negara sehingga
setiap orang bebas bergabung atau mendirikan serikat, dan negara berkewajiban melindungi
hak tersebut. Kebebasan berserikat adalah perubahan yang paling signifikan dalam tonggak
sejarah pergerakkan serikat pekerja di Indonesia melalui ratifikasi Konvensi ILO No. 87/1948
tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi, konvensi tersebut
diratifikasi pada tanggal 9 Juni 1998. Yang sebelumnya terjadi “monopoli” serikat pekerja
dan “larangan” berserikat untuk pegawai BUMN dan Pegawai Negeri Sipil. Tujuan dari
Konvensi ini adalah untuk memberikan jaminan kepada pekerja/buruh dan pengusaha akan
kebebasan untuk mendirikan dan menjadi anggota organisasinya, demi kemajuan dan
kepastian dari kepentingan-kepentingan pekerjaan mereka, tanpa sedikitpun ada keterlibatan
negara, pasal 2 “Para pekerja dan pengusaha, tanpa perbedaan apapun, berhak untuk
mendirikan dan, menurut aturan organisasi masing-masing, bergabung dengan organisasi-
organisasi lain atas pilihan mereka sendiri tanpa pengaruh pihak lain.
1. bebas mendirikan organisasi tanpa harus meminta persetujuan dari institusi publik
yang ada; tidak adanya larangan untuk mendirikan lebih dari satu organisasi di satu
perusahaan, atau institusi publik, atau berdasarkan pekerjaan, atau cabang-cabang dan
kegiatan tertentu ataupun serikat pekerja nasional untuk tiap sektor yang ada;
2. bebas bergabung dengan organisasi yang diinginkan tanpa mengajukan permohonan
terlebih dahulu;

3
3. bebas mengembangkan hak-hak tersebut diatas tanpa pengecualian apapun,
dikarenakan pekerjaan, jenis kelamin, suku, kepercayaan, kebangsaan dan keyakinan
politik.
Prinsip kebebasan berserikat berfungsi sebagai hak dasar bagi pekerja untuk
berorganisasi dan membentuk serikat pekerja termasuk dalam lapangan hokum perburuhan.2
Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai prinsip kebebasan berserikat
menjadi hukum dasar bagi para pekerja untuk membentuk suatu organisasi pekerja atau biasa
disebut Serikat Buruh.

B. Ketentuan Umum yang Mengatur Kebebasan Berserikat

Kebebasan berserikat setidaknya dilindungi oleh instrumen hukum sebagai berikut:


1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 28 UUD NRI 1945 mengatur: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang”. Dan juga pada Pasal 28E ayat (3) yang berbunyi: “Setiap orang
berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
2. Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pasal 24 (1) UU HAM mengatur bahwa setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat,
dan berserikat untuk maksud-maksud damai.
3. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 5 (1) mengatur bahwa setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh.
4. Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi dengan Undang-
Undang No. 12 Tahun 2005.
Pasal 22 angka 1 mengatur bahwa setiap orang berhak atas kebebasan untuk berserikat
dengan orang lain, termasuk hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat buruh
untuk melindungi kepentingannya.
5. Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang telah diratifikasi
dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2005.
Pasal 8 Kovenan Ekosob mengatur bahwa negara harus menjamin hak setiap orang untuk
bergabung dalam serikat buruh pilihannya, tunduk pada aturan-aturan organisasi yang
bersangkutan, demi memajukan dan melindungi kepentingan ekonomi dan sosialnya.
Selain itu serikat buruh berhak membentuk federasi atau konfederasi nasional, dan juga

4
berhak untuk membentuk atau bergabung dengan organisasi serikat buruh internasional.
Kovenan Ekosob juga mengatur hak buruh untuk melakukan pemogokan.

6. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)


Pasal 23 DUHAM mengatur bahwa 4 setiap orang berhak mendirikan dan bergabung
dengan serikat buruh untuk melindungi kepentingannya.
7. Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak
Berorganisasi yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No 83 Tahun 1998.
Pasal 2 Konvensi ILO No. 7 mengatur bahwa pekerja dan pengusaha tanpa berdaan
apapun mempunyai hak untuk mendirikan dan bergabung pada organisasi-organisasi
pilihan mereka tanpa otorisasi sebelumnya. Selain itu dalam Pasal 4 Konvensi mengatur
bahwa organisasi pekerja tidak dapat dibubarkan atau ditunda oleh pemerintah. Dan
dalam Pasal  5 diatur mengenai hak untuk mendirikan dan bergabung dengan federasi,
konfederasi dan juga federasi dan konfederasi level internasional.
8. Konvensi ILO No. 98 Tahun 1949 tentang Berlakunya Dasar-Dasar dari Hak untuk
Berorganisasi dan Berunding Bersama yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang
No. 18 Tahun 1956

C. Hak untuk Membentuk Serikat Pekerja

UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh mendefenisikan serikat pekerja/serikat buruh


adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan
maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan
bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan
pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya3.
Setiap pekerja/buruh memiliki hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat
pekerja/serikat buruh. Serikat pekerja/serikat buruh berhak untuk memungut iuran dan
mengelola serta bertanggung jawab atas keuangan organisasinya, termasuk pengelolaan
anggaran aksi. Pengusaha harus memberikan kesempatan kepada pengurus dan anggota
serikat pekerja/serikat buruh untuk melaksanakan aktivitas serikatnya dalam jam kerja sesuai
kesepakatan kedua pihak dan/atau sesuai aturan dalam Perjanjian Kerja Bersama.
Kelompok pekerja/buruh berjumlah minimal 10 orang dapat membentuk serikat
pekerja/serikat buruh. Keputusan Menaker No. Kep-16/MEN/2001 memerintahkan
3
Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Pasal 1 angka 1

5
pemberitahuan dan pencatatan serikat pekerja/serikat buruh. Menurut aturan tersebut, serikat
pekerja/serikat buruh dan federasi serikat pekerja/serikat buruh harus memberikan
pemberitahuan tertulis kepada dinas tenaga kerja setempat sebagai syarat pencatatan. Serikat
pekerja/serikat buruh harus mencatatkan diri dan sesuai aturan mencantumkan anggaran
dasar/anggaran rumah tangga, daftar nama pengurus, susunan pengurus dan anggota serikat
serta nama serikatnya.
UU Serikat Pekerja menjelaskan mengenai tujuan dan fungsi serikat, federasi, dan
konfederasi serikat buruh. Tujuannya adalah memberikan perlindungan, pembelaan hak dan
kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/serikat dan
keluarganya4. Sedangkan fungsi dari serikat, federasi, dan konfederasi buruh adalah sebagai
berikut:5

1. Sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian


perselisihan industrial;
2. Sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan
sesuai dengan tingkatannya;
3. Sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan
berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4. Sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan
anggotanya;
5. Sebagai perencana, pelaksana, dan penanggungjawab pemogokan pekerja/buruh
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6. Sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di
perusahaan;

D. Hak Mogok Kerja yang Sah

Pasal 25 UU HAM menjamin hak setiap untuk menyampaikan pendapat di muka


umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Hal tersebut diperkuat oleh Pasal 8 ayat (1) huruf d Kovenan Internasional Hak-Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang menjamin hak serikat buruh untuk mogok. Kemudian
Pasal 137 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan
bahwa mogok kerja merupakan hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh

4
Ibid, Pasal 4 ayat (1)
5
Ibid, Pasal 4 ayat (2)

6
dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. Sehingga
menjadi sangat disayangkan jika buruh mendapatkan perlawanan balik dan juga kebencian
dari sebagian masyarakat jika sedang melakukan demonstrasi dan mogok. Mogok justru
menjadi kekuatan buruh yang sangat efektif dalam memperjuangkan hak buruh. Mogok
sendiri didefinisikan oleh Pasal 1 angka 23 UU Ketenagakerjaan sebagai tindakan
pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh
serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
Selain itu aparat dilarang campur tangan dan menggunakan kekuatan kecuali dalam
situasi-situasi dalam hal dimana hukum dan ketertiban sungguh terancam. Campur tangan
dari aparat seharusnya dalam proporsi yang semestinya sesuai dengan bahaya terhadap
hukum dan ketertiban yang diusahakan untuk dikendalikan oleh para pihak yang berwenang.
Jangan sampai menggunakan kekerasan yang berlebihan ketika mengendalikan demonstrasi-
demonstrasi yang mungkin berakibat pada suatu gangguan kedamaian6.
Jaminan mogok tidak hanya terkait apa yang sedang diperjuangkan oleh serikat buruh di
tempat kerja tapi juga mogok terkait hal yang lebih luas seperti7:
 Mogok yang bertujuan untuk meminta kenaikan upah minimum.
 Mogok karena bersolidaritas terhadap mogok serikat lain yang sah.
 Mogok untuk mendorong perjanjian dengan organisasi pengusaha.
 Mogok terkait pencarian penyelesaian masalah ekonomi dan sosial yang memiliki
dampak terhadap buruh, misalnya terkait dengan kebijakan perlindungan sosial dan
standar-standar kehidupan. Termasuk mogok dalam skala nasional.
Syarat Mogok
Pasal 140 (1) UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa buruh atau serikat buruh harus
memberitahukan setidaknya 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan,
pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada
pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
Pemberitahuan tersebut sekurang-kurangnya memuat:
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b. tempat mogok kerja;
c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat
pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
6
Kebebasan Berserikat, Jakarta: Kantor Perburuhan Internasional Jakarta, 2008.
7
Ibid, hal. 134

7
Jika tidak, maka mogok dianggap tidak sah dan secara hukum pengusaha berhak untuk
melarang buruh berada di lokasi produksi atau di lokasi perusahaan.
Instansi pemerintah dan perusahaan yang menerima surat pemberitahuan mogok kerja wajib
memberikan tanda terima. Kemudian sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi
yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan wajib mempertemukan dan
menyelesaikan masalah dengan pihak yang berselisih. Jika terjadi kesepakatan maka harus
dibuatkan perjanjian bersama yang ditangani para pihak. Dan dalam hal tidak terjadi
kesepakatan maka dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama
sekali8.
   Undang-Undang Ketenagakerjaan memberikan perlindungan terhadap buruh terkait mogok,
yaitu:
1. Siapapun tidak dapat menghalang-halangi pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat
buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan
damai9.
2. Siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap
pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok
kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku10.
3. Terhadap mogok kerja pengusaha dilarang: a. mengganti pekerja/buruh yang mogok
kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau b. memberikan sanksi atau
tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat
pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja11.
4. Buruh dalam mogok untuk menunut hak normatif yang dilanggar oleh pengusaha
tetap berhak mendapatkan upah12.

E. Sanksi Atas Mogok Kerja yang Tidak Sah


Adapun mogok dianggap tidak sah jika bukan dari gagalnya perundingan, tanpa
pemberitahuan setidaknya tujuh hari kepada pengusaha dan instansi ketenagakerjaan, dan
pemberitahuan tidak memenuhi syarat pada Pasal 140 ayat (2) Undang-Undang
Ketenagakerjaan. Gagalnya perundingan juga dianggap terjadi karena pengusaha tidak mau

8
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 141
9
Ibid, Pasal 143 (1)
10
Ibid, Pasal 143 ayat (2)
11
Ibid, Pasal 144
12
Ibid, Pasal 145

8
berunding setelah buruh mengajukan dua kali perundingan selama 14 hari. Selain itu mogok
pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis
kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia yang dilakukan oleh buruh yang
sedang bertugas dikualifikasikan sebagai mogok yang tidak sah. Mogok yang tidak sah
dianggap mangkir dari kerja dan jika tidak memenuhi panggilan dua kali berturut-turut
selama 7 hari, buruh dianggap mengundurkan diri13.
Terkait pelarangan mogok, ILO berpendapat bahwa pelarangan mogok hanya dapat diterima
dalam keadaan darurat nasional yang akut dan untuk suatu jangka waktu yang terbatas.
Pelarangan dapat dilakukan terhadap pelayanan yang bersifat mendasar, dalam pengertian
sempit yaitu pelayanan yang gangguan terhadapnya akan membahayakan jiwa, keselamatan
atau kesehatan pribadi dari keseluruhan atau sebagian penduduk. Adapun pelayanan
pelayanan yang bersifat mendasar adalah sektor rumah sakit, pelayanan kelistrikan, pasokan
air, pelayanan telpon, kepolisian dan angkatan bersenjata, pemadam kebakaran, penjara
umum, penyediaan makan kepada murid usia sekolah dan pelayanan kebersihan sekolah,
pengendalian lalu lintas udara.
Dalam hal mogok kerja dilakukan tanpa pemberitahuan tertulis kepada perusahaan dan dinas
ketenagakerjaan setidaknya 7 hari sebelum dilaksanakan, maka demi menyelamatkan alat
produksi dan asset perusahaan, perusahaan dapat mengambil tindakan sementara dengan
melarang mogok kerja di lokasi kegiatan proses produksi atau bahkan di lokasi perusahaan
bila dianggap perlu14.
 Begitu juga jika mogok kerja dilakukan secara tidak sah, maka pekerja/buruh yang
melakukan mogok kerja tersebut dapat dikualifikasikan sebagai mangkir oleh perusahaan15.
Pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok kerja dilakukan oleh perusahaan 2
kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dalam bentuk pemanggilan secara
patut dan tertulis. Pekerja/buruh yang tidak memenuhi panggilan ini dianggap mengundurkan
diri secara sukarela16. Dan untuk pengunduran diri tersebut ini perusahaan tidak perlu melalui
proses Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) sebagaimana ditetapkan dalam Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(“UU 2/2004”)17.

13
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.: Kep.232/Men/2003 tentang Akibat Hukum Mogok
yang Tidak Sah.
14
Pasal 140 ayat (4) UU Ketenagakerjaan
15
Pasal 6 ayat (1) Kepmenakertrans 232/2003
16
Pasal 6 ayat (2) dan (3) Kepmenakertrans 232/2003
17
Pasal 162 ayat (4) UU Ketenagakerjaan

9
 Dalam hal demikian, perusahaan dapat mengenakan sanksi disiplin kepada pekerja/buruh
berdasarkan aturan perusahaan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pasang surut gerakan buruh tentunya juga tidak hanya berasal dari faktor eksternal,
tapi internal serikat buruh. Kebebasan berserikat harus diikuti dengan kemampuan manajerial
atau pengelolaan yang baik. Biasanya serikat yang maju adalah serikat yang bisa melakukan
kaderisasi dengan baik, melakukan advokasi kepada anggotanya secara profesional,
mengelola keuangannya secara transparan, dan tentunya jelas ideologi dan posisi politiknya
untuk buruh.

Meskipun secara hukum perlindungan terhadap kebebasan buruh untuk berserikat


sudah cukup kuat, namun dalam prakteknya buruh masih terancama dalam mendirikan dan
melakukan aktivitas serikat. Struktur hukum atau aparatur penegak hukum dianggap menjadi
sumber masalah dari penegakan hukum tersebut. Berbagai serikat buruh kemudian
mendorong adanya desk khusus untuk pidana perburuhan sehingga pasal pidana perburuhan
dapat berlaku secara efektif dan posisi tawar serikat buruh setidaknya bisa lebih seimbang
dari kondisi sebelumnya. Namun demikian, janji kepolisian untuk membentuk desk khusus
pidana perburuhan tidak pernah direalisasikan.

B. Saran

Gerakan buruh yang lebih kuat untuk kebebasan berserikat perlu dibuat, selain
tentunya gerakan untuk upah dan hak normatif yang lain. Harus ada fokus advokasi buruh
untuk kebebasan berserikat. Beberapa tahun lalu terdapat konsolidasi serikat buruh terkait
kebebasan berserikat bernama Komite Solidaritas Nasional (KSN). Namun konsolidasi
tersebut putus di tengah jalan. Perlu ada revitalisasi terhadap konsolidasi untuk kebebasan
berserikat tersebut.

10
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh


Kebebasan Berserikat, Jakarta: Kantor Perburuhan Internasional Jakarta, 2008
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.: Kep.232/Men/2003 tentang
Akibat Hukum Mogok yang Tidak Sah
https://unionism.wordpress.com/2008/10/31/kebebasan-berserikat-dan-perlindungan-hak-
berorganisasi/ (diakses tgl 18 oktober 2019:14.15)
https://gajimu.com/pekerjaan-yanglayak/serikat-pekerja (diakses tgl 18 oktober 2019:14.17)
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5b83a83b1df29/tentang-mogok-kerja-
dan-seluk-beluk-hukumnya/(diakses tgl 18 oktober 2019:14.19)

11

Anda mungkin juga menyukai