Anda di halaman 1dari 10

Nama : Esti Putri Wulansari

NPM : 110110180083
Kelas : Hukum Perjanjian Internasional A (PI A4)
Dosen : 1. A. Gusman C. Siswandi, S.H., LL.M., Ph.D.
2. Chloryne Trie Isana Dewi, S.H., LL.M.

Task 1: Sumber Hukum Internasional dan ruang lingkup dari VCLT 1969

1. Jelaskan apakah yang dimaksud dengan perjanjian internasional dan apakah prinsip-
prinsip yang melandasi suatu perjanjian internasional!
Perjanjian internasional pada hakikatnya merupakan salah satu sumber hukum perjanjian
internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional. Boer
Mauna berdasarkan pendapatnya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian
internasional adalah instrumen-instrumen yuridik yang menampung kehendak dan persetujuan
negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama, sebagaimana
persetujuan bersama yang dirumuskan dalam perjanjian tersebut merupakan dasar hukum
internasional untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya di
dunia ini.1 Dikarenakan pembuatan perjanjian merupakan perbuatan hukum, maka ia akan
mengikat pihak-pihak pada perjanjian tersebut sehingga ciri-ciri suatu perjanjian internasional
adalah ia dibuat oleh subjek hukum internasional, pembuatannya diatur oleh hukum
internasional, dan akibatnya mengikat subjek-subjek yang menjadi pihak.2
Dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional (treaty) didefinisikan
pengertiannya sebagai berikut:3
“suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum
internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dau atau lebih instrumen yang berkaitan
dan apapun nama yang diberikan padanya.”
Selanjutnya, definisi yang dikemukakan dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1969 dikembangkan oleh
Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia tentang Hubungan Luar Negeri yang
berbunyi:4
“perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh
hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu
atau lebih negara, organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, serta
menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum
publik.”

1
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global,
Bandung:Penerbit P.T. Alumni, 2018, hlm. 82.
2
Ibid.
3
Konvensi Wina 1969 Pasal 2.
4
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Pasal 1 ayat 3.
Sehingga berdasarkan definisi yang tercantum diatas, pengertian perjanjian internasional dapat
disimpulkan bahwasanya adalah semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu
subjek hukum internasional, yang diatur oleh hukum internasional dan berisikan ikatan-ikatan
yang mempunyai akibat-akibat hukum.5
Melihat lebih dalam mengenai perjanjian internasional, didalamnya terdapat 2 (dua) unsur pokok
yang terdapat dalam definisi perjanjian internasional yakni adanya subjek hukum internasional
dan rejim hukum internasional. Berkaitan dengan prinsip, prinsip-prinsip yang melandasi suatu
perjanjian internasional adalah setiap negara-negara yang membuat perjanjian harus
memperhatikan prinsip free consent, good faith, pacta sunt servanda dan rebus sic stantibus
yang sudah diakui secara umum atau universal.6
1. Free Consent (Kebebasan Berkontrak)
Mukaddimah Konvensi Wina paragraf ketiga menjelaskan mengenai pengertian dari prinsip free
consent (kebebasan berkontrak) yang berbunyi:7
“nothing that the principles of free consent and of good faith and the pacta sunt servanda rule
are universally recognized.”
Prinsip ini menjelaskan bahwasanya perjanjian internasional dapat dilakukan secara bebas bagi
para pihak sesuai dengan kehendak dengan hasil tersebut yang mengikat sebagaimana dengan
prinsip pacta sun servanda. Prinsip kebebasan berkontrak disini dijelaskan lebih lanjut dalam
Pasal 11 Konvensi Wina yang menjelaskan bahwasanya prinsip kebebasan berkontrak dapat
seperti menunjuk beberapa kemungkinan untuk menunjukkan persetujuannya, seperti tanda
tangan, pertukaran piagam perjanjian atau naskah perjanjian, ratifikasi, penerimaan, persetujuan,
aksesi, dan beberapa metode lain yang telah disepakati sebelumnya.8
2. Good Faith (Itikad Baik)
Prinsip good faith (itikad baik) dalam perjanjian internasional merupakan sebuah asas yang
menjadi dasar secara umum diakui sebagai prinsip hukum internasional yang fundamental dalam
melakukan hubungan internasional.9 Secara khusus, Konvensi Hukum Laut Internasional 1982
dalam Pasal 300 mengatur mengenai prinsip good faith (itikad baik) yang berbunyi:10
“negara-negara Peserta harus memenuhi dengan itikad baik (in good faith) kewajiban-
kewajiban yang dipikulkan berdasarkan Konvensi ini dan harus melaksanakan hak-hak,

5
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Op.Cit. hlm. 85.
6
Malahayati, “Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional: Sebuah Pengantar: Pelaksanaan Perjanjian
Internasional Chapter Five-Pelaksanaan Perjanjian Internasional”, Biena Edukasi, 2013,
https://repository.unimal.ac.id/2218/1/BAB%20V.pdf, diunduh pada 20 Februari 2021 Pukul 19:49, hlm. 53.
7
Ibid.
8
Ibid, hlm. 54.
9
Ibid.
10
Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 Pasal 300.
yurisdiksi dan kebebasan-kebebasan yang diakui dalam Konvensi ini dengan cara yang bukan
merupakan suatu penyalahgunaan hak.”
Serta berlandaskan Pasal 26 Konvensi Wina yang menjelaskan mengenai “setiap perjanjian yang
telah mengikat harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Dilanjutkan dengan Pasal 31 ayat (1)
Konvensi Wina yang menjelaskan mengenai “menuntut itikad baik dalam penafsiran perjanjian
internasional.”11 Maka Prinsip good faith (itikad baik) ini merupakan prinsip yang penting
digunakan sebagai landasan khususnya dalam perjanjian internasional.
3. Pacta Sun Servanda
Prinsip pacta sun servanda diatur dalam Pasal 26 Konvensi Wina yang menyebutkan
bahwasanya:12
“Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good
faith.”
Dimana prinsip pacta sun servanda dalam perjanjian internasional adalah jika terdapat suatu
perjanjian yang telah dibuat tersebut maka maksudnya setiap perjanjian tersebut mengikat,
dilakukan dengan itikad baik dan harus ditepati. Prinsip ini merupakan prinsip yang mendasar
dalam hukum internasional sekaligus menjadi norma imperatif dalam praktik perjanjian
internasional. Prinsip ini memastikan bahwa sebuah perjanjian akan ditaati dan mengikat setelah
berlaku perjanjian tersebut.13
4. Rebus Sic Stantibus
Prinsip rebus sic stantibus memiliki pengertian bahwasanya keadaan luar biasa yang terjadi
dapat menyebabkan penghentian perjanjian internasional. 14 Berdasarkan Pasal 60 ayat (1)
Konvensi Wina yang berbunyi:15
“A material breach of a bilateral treaty by one of the parties entitles the other to invoke the
breach as aground for terminating the treaty or suspending its operation in whole or in part.”
Maka keberadaan prinsip rebus sic stantibus dapat dijelaskan sebagaimana para pihak tidak
terikat lagi dengan perjanjian hanya jika memang telah terjadi sebuah kondisi yang sangat
fundamental ketika proses pelaksanaannya. Kondisi ini bisa saja terkait dengan pelanggaran yang
dilakukan oleh salah satu negara pihak terhadap perjanjian, melihat kepada Pasal 61 Konvensi
Wina dijelaskan pula secara simpul bahwasanya Perjanjian juga dapat dihentikan apabila objek
yang diperjanjian musnah secara permanen, dilanjutkan dengan Pasal 62 Konvensi Wina juga
menjelaskan mengenai perjanjian juga dapat dihentikan ataupun terjadi perubahan kondisi yang
11
Malahayati, “Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional: Sebuah Pengantar: Pelaksanaan Perjanjian Internasional
Chapter Five-Pelaksanaan Perjanjian Internasional”, Op.Cit, hlm. 56-57.
12
Konvensi Wina 1969 Pasal 26.
13
Malahayati, Loc.cit.
14
Ibid, hlm. 57.
15
Konvensi Wina 1969 Pasal 60 Ayat (1)
sangat fundamental sehingga pelaksanaan perjanjian tidak dapat dituntaskan.16 Pasal 73
Konvensi Wina menjelaskan lebih lanjut mengenai apa yang menyebabkan kondisi fundamental
tersebut yakni:17
“the provisions of the present Convention shall not prejudge any question that may arise in
regard to atreaty from a succession of States or from the international responsibility of a State
or from the outbreak of hostilities between States.”
Yang menyatakan bahwa kondisi fundamental disini juga dapat terjadi karena terjadinya suksesi
negara baru, atau timbulnya kewajiban internasional dari negara anggota, atau timbulnya
permusuhan di antara sesama negara anggota perjanjian.18
Kesimpulan yang terdapat dalam prinsip- prinsip yang melandasi suatu perjanjian internasional
bahwasanya tertuang dalam Pasal 36 Konvensi Wina 1969 yang menjelaskan mengenai setiap
perjanjian yang berlaku adalah mengikat terhadap para pihak dan harus dilaksanakan dengan
iktikad baik (Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by
them in good faith).19 Dari ke-empat prinsip diatas yang merupakan prinsip penting dan dijadikan
landasan dasar bagi perjanjian internasional adalah prinsip pacta sunt servanda yang merupakan
prinsip mendasar dalam hukum perjanjian yang membuat negara pihak terikat pada perjanjian,
dan prinsip iktikad baik (good faith) merupakan persyaratan moral agar perjanjian tersebut dapat
dilakukan dengan sungguh-sungguh dan memiliki niat atau itikad yang baik dalam membuat
perjanjian internasional tersebut.20
2. VCLT 1969 merupakan traktat yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian
internasional antar negara. Jelaskan sejarah pembentukan VCLT 1969 dan ruang lingkup
dari traktat ini!
VCLT 1969 merupakan singkatan dari Vienna Convention on the Law of Treaties yang
ditetapkan pada tahun 1969. VCLT 1969 pada hakikatnya merupakan sebuah bentuk traktat yang
berisisi mengenai instrumen sebuah perjanjian, seperti bagaimana itu dibuat, diberlakukan,
diubah, diakhiri sehingga VCLT 1969 biasa disebut sebagai konvensi “perjanjian tentang
perjanjian”.21 Sehingga VCLT 1969 merupakan konvensi yang dengan jelas menandai
dimulainya era baru terhadap hukum perjanjian internasional. Sejarah terbentuknya VCLT 1969
diawali ketika sidang umum PBB pada tahun 1947 dimana sebuah komisi membahas mengenai
hukum internasional dengan tujuan untuk mempromosikan perkembangan hukum internasional
16
Malahayati, “Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional: Sebuah Pengantar: Pelaksanaan Perjanjian
Internasional Chapter Five-Pelaksanaan Perjanjian Internasional”, Op.Cit, hlm. 58.
17
Konvensi Wina 1969 Pasal 73.
18
Malahayati, Loc.cit.
19
Elfia Farida, “Kewajiban Negara Indonesia Terhadap Perjanjian Internasional Yang Telah Diratifikasi
(Convention on The Protection of The Rights of All Migrant Workers of Their Families )”, Administrative Law &
Governance Journal. Volume 3 Issue 1, March 2020, hlm. 186.
20
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta : Tatanusa, 2018, hlm. 81.
21
Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice - Second Edition, Cambridge: Cambridge University Press,
2007, page. 6.
beserta dengan kodifikasinya, hukum perjanjian ini menjadi salah satu topik yang dipilih oleh
komisi dalam sidang PBB tersebut sesi pertama tahun 1949 dimana hukum perjanjian ini cocok
untuk dikodifikasi. Selanjutnya komisi mengadopsi draft artikel pertama pada tahun 1966 dan
PBB mempertimbangkan terhadap konvensi tentang hukum perjanjian wina dalam rentang waktu
1968-1969 dan akhirnya Konvensi diadopsi pada tanggal 22 Mei 1969 dan mulai berlaku pada
27 Januari 1980.22 Dengan adanya Konvensi Wina 1969 ini maka merupakan hukum
internasional positif karena menjadi sumber hukum bagi negara-negara yang mengadakan
perjanjian internasional dan bahkan juga dapat menjadi acuan bagi negara dalam menyusun
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian internasional.23 Ruang lingkup
VCLT 1969 ini berdasarkan article 1 VCLT 1969 yang berbunyi:24
“the convention does not cover all matters to do with treaties. In particular, it applies only to
treaties between states.”
bahwasanya konvensi ini tidak mencakup semua hal yang berkaitan dengan perjanjian. Secara
khusus, ini hanya berlaku untuk perjanjian antar negara dan negara.25
3. Bagaimanakah posisi perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional Indonesia?
Perjanjian internasional pada hakikatnya merupakan bagian dari hukum internasional,
globalisasi yang mewarnai sistem internasional saat ini telah menciptakan interaksi yang intensif
antara Indonesia dengan masyarakat internasional bukan hanya antar pemerintah tetapi juga antar
individu, interaksi ini menyebabkan meningkatnya persentuhan hukum antara Indonesia dengan
negara lainnya yang menyebabkan cepat atau lambat publik hukum Indonesia di semua lini harus
bersentuhan dengan perjanjian internasional.26 Perjanjian internasional yang dibuat oleh
Indonesia pascareformasi pada umumnya mengatur tentang masalah ekonomi, investasi, dan
perdagangan yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan bersentuhan dengan
kepentingan warga negara Indonesia. Sejak tahun 2000, Indonesia telah membuat perjanjian
internasional rata-rata 100 perjanjian yang didominasi oleh perjanjian ekonomi, investasi, dan
perdagangan. Oleh sebab itu, pemahaman tentang perjanjian internsaional juga menjadi
kebutuhan mutlak bagi para pelaku ekonomi di Indonesia juga bagi para aparat hukum di
Indonesia.27 Namun dalam penerapannya hukum nasional Indonesia belum jelas mengatur
mengenai penerapan hukum internasional dalam sistem hukum nasional. Pengaturan mengenai
perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 11 yang menjelaskan
bahwa Presiden dalam membuat perjanjian internasional serta menetapkan kriteria umum tentang
harus mendapat persetujuan DPR, dimana constitutional provitions atau hukum nasional tentang
22
Ibid, page 6-7.
23
Gerald E. Songko, Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina 1969, Jurnal Lex
Privatum, Vol. IV, April, 2016, hlm. 47.
24
Konvensi Wina 1969 Pasal 1.
25
Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice - Second Edition, Op.Cit, page. 8.
26
Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik Indonesia, Bandung:PT
Refika Aditama, 2017, hlm. 3.
27
Ibid, hlm. 4.
masalah perjanjian internasional masih sangat minim dan belum teridentifikasi apapun tentang
politik hukum mana yang akan dianut.28 Maka untuk menjelaskan mengenai ketidak jelasan
dalam Pasal 11 UUD 1945 maka lahir Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, namun keberadaan Undang-Undang ini tidak luput dari kekurangan
yakni dimana mengenai dengan politik hukum Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 ini tidak
terlalu tegas menjawab pertanyaan tentang status perjanjian internasional dalam hukum
nasional.29 Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 praktik di Indonesia telah
menunjukan konsistensi tentang perjanjian namyn masih terdapat kesulitan tentang pembedaan
yang berkaitan dengan “governed by international law”, sehingga semua dokumen sepanjang
dibuat oleh Pemerintah RI dengan Subjek hukum internasional masih dianggap sebagai
perjanjian internasional sekalipun perjanjian itu tunduk pada hukum nasional seperti atau
sekalipun perjanjian ini pada hakikatnya tidak menciptakan kewajiban dan hubungan hukum. 30
Selanjutnya dapat dikatakan bahwasanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 ini hanya
merupakan kodifikasi dari praktik Pemerintah RI tentang pembuatan perjanjian internasional
yang sebelumnya dilandaskan pada Surat Presiden RI No. 1826/HK/1960 kepada DPR tentang
pembuatan perjanjian dengan negara lainnya.31Perihal ini ketidakjelasan mengenai posisi hukum
perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional disebabkan oleh adanya sistem hukum
Indonesia yang belum jelas apakah menganut aliran monisme, dualisme, atau kombinasi
keduanya, sehingga Indonesia bersikap tidak tegas menanggapi hal itu. Aliran monisme
merupakan aliran yang menempatkan hukum internasional dan hukum nasional sebagai kesatuan
dalam sistem hukum, sedangkan aliran dualisme menempatkan hukum internasional dan hukum
nasional sebagai dua sistem hukum yang terpisah.32
Hukum internasional telah menyediakan dasar hukum bagi perjanjian internasional seperti yang
diatur dalam Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional, Konvensi Wina 1986 tentang
Perjanjian Internasional dan Organisasi Internasional, serta Konvensi Wina 1978 tentang Suksesi
Negara terkait Perjanjian Internasional, namun posisi perjanjian internasional dalam hukum
nasional di Indonesia faktanya adalah Indonesia belum atau tidak meratifikasi konvensi-konvensi
ini karena pada dasarnya konvensi-konvensi ini merupakan kodifikasi dari hukum kebiasaan
internasional sehingga akan tetap mengikat Indonesia dengan atau tanpa meratifikasinya.
Sekalipun belum meratifikasinya, keterikatan Indonesia terhadap Konvensi Wina 1969 melalui
mekanisme hukum kebiasaan internasional telah ditegaskan oleh Mahkamah Internasional dalam
kasus Pulau Sipadan dan Ligitan tahun 2002, dengan demikian sekalipun di kemudian hari
Indonesia hendak meratifikasi konvensi ini, maka ratifikasi dimaksud hanya akan bersifat
formalitas dan sama sekali tidak akan mengubah sifat mengikat konvensi terhadap Indonesia. 33
28
Damos Dumoli Agusman, “Status Hukum Perjanjian Internasional Dalam Hukum Nasional RI Tinjauan Dari
Perspektif Praktik Indonesia”, Indonesian Journal of International Law, Vol. 5 No. 3, April, 2008, hlm. 490.
29
Ibid.
30
Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik Indonesia, Op.Cit, hlm. 24.
31
Damos Dumoli Agusman, “Status Hukum Perjanjian Internasional Dalam Hukum Nasional RI Tinjauan Dari
Perspektif Praktik Indonesia”, Op.Cit, hlm. 491.
32
Ibid, hlm. 490.
33
Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik Indonesia, Op.Cit, hlm. 5.
Sekalipun para pakar hukum tata negara Indonesia secara tegas mengakui bahwa traktat adalah
salah satu sumber hukum tata negara namun kajian tentang traktat tersebut dalam perspektif
hukum tata negara di Indonesia masih sangat terbatas, selanjutnya hukum perjanjian
internasional yang diajarkan di Indonesia telah membuka ruang untuk memahami interaksi
antara hukum nasional dengan hukum internasional dalam butir ajaran “hubungan hukum
internasional dengan hukum nasional”, namun sayangnya butir kajian ini masih membatasi diri
pada tataran teori umum dan belum secara mendalam bersentuhan dengan hukum nasional
Indonesia.34
Ketidaktegasan kajian tentang hukum perjanjian internasional dari perspektif hukum tata negara
dan keterbatasan pembahasan hukum internasional tentang hubunganya dengan hukum Indonesia
mengakibatkan adanya benang terputus (missing link) antara perjanjian internasional dengan
hukum nasional. Sekalipun hukum Indonesia mengenal konsepsi perjanjian internasional
(traktat) dan ratifikasi (pengesahan) namun konsepsi ini tidak memiliki akar hukum yang tegas
dalam hukum tata negara Indonesia. kesenjangan ini mengakibatkan adanya persoalan
ketidakpastian tentang kedudukan atau posisi perjanjian internasional dalam hukum nasional
Indonesia. Melihat keadaan seperti itu maka masih jarang ditemukan adanya penggunaan
perjanjian internasional sebagai dalil hukum bagi yurisprudensi Indonesia mengingat
ketidakjelasan statusnya sebagai sumber hukum positif bagi penegak hukum.35 Namun demikian,
dengan lahirnya berbagai perjanjian seperti perjanjian pasar bebas, perjanjian perpajakan,
perjanjian perlindungan investasi, dan lainnya yang bersifat global maka telah melahirkan
kepentingan hukum bagi warga negara Indonesia tentang hak dan kewajibannya vis a vis
perjanjian intenasional tersebut.36 Posisi perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional
juga meskipun belum masuk dalam wilayah tata negara Indonesia tetapi beberapa yurisprudensi
MA telah menerapkan perjanjian internasional dalam beberapa keputusannya sekalipun
penggunaan dalilnya masih menimbulkan perdebatan hukum. 37 Dalam kasus sengketa tanah
Kedutaan Besar Malaysia (Keputusan No. 111K/TUN/2020) dan tanah Kedaulatan Besar Saudi
Arabia (Fatwa No. WKMA/Yud/04/2006, tanggal 24 Januari 2006), MA telah menggunakan
secara langsung Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik khususnya tentang prinsip
hukum tidak dapat diganggugugatnya (inviolability) Kedutaan Besar, sekalipun penggunaan
prinsip ini dalam kasus tersebut masih dapat dipersoalkan secara teori, yurisprudensi ini telah
membuka cakrawala baru bagi eksistensi perjanjian internasional dalam tataran hukum
Indonesia.38 Selanjutnya Mahkamah Konstitusi juga telah memberi kontribusi bagi
perkembangan yurisprudensi di Indonesia tentang status perjanjian internasional melalui
Keputusan Mahkamah Konstitusi dalam judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, serta Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang
34
Ibid.
35
Ibid.
36
Ibid, hlm. 6.
37
Ibid.
38
Ibid.
Pencegahan Penyalahgunaann dan/atau Penodaan Agama, dimana telah melakukan rujukan
langsung pada perjanjian internasional.39 Sebagai tambahan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 tentang Penanaman Modal telah mengakui keberadaan perjanjian internasional sebagai
instrumen mengikat dalam aktivitas penanaman modal di Indonesia, maka dengan adanya
rujukan seperti itu maka keberadaan perjanjian internasional telah mewarnai berbagai legislasi
nasional Indonesia, perannya yang sangat pesat dalam globalisasi ekonomi membuat perjanjian
internasional harus diakui keberadannya dalam berbagai legislasi nasional dimana hal ini
menunjukkan bahwa hukum Indonesia tidak lagi dapat menghindari dimana harus berinteraksi
dan memberi tempat yang tepat bagi perjanjian internasional.40
25/02/21 – Hasil diskusi Task 1
Perjanjian internasional dalam bentuk tertulis, antar negara, dan dalam bentuk instrumen 1 atau
2.
Antar negara, isinya diatur dalam hukum internasional, dan bentuk tertulis.
Mou tidak menjanjikan suatu hal. Daya ikatnya beda dengan treaty karna hal2 yang sifatnya
umum. Bisa menjadi treaty jika ada agreementnya.

39
Ibid.
40
Ibid, hlm. 7.
Daftar Pustaka
Peraturan Perundang-Undangan
Konvensi Hukum Laut Internasional 1982.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
Vienna Convention on the Law of Treaties / Konvensi Wina 1969.
Buku
Aust, Anthony, Modern Treaty Law and Practice - Second Edition, Cambridge University Press,
Cambridge, 2007.
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, Penerbit P.T. Alumni, Bandung, 2018.
Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik Indonesia,
PT Refika Aditama, Bandung, 2017.
Malahayati, “Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional: Sebuah Pengantar: Pelaksanaan
Perjanjian Internasional Chapter Five-Pelaksanaan Perjanjian Internasional”, Biena
Edukasi, 2018, https://repository.unimal.ac.id/2218/1/BAB%20V.pdf.
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, Tatanusa, 2018.
Jurnal
Damos Dumoli Agusman, “Status Hukum Perjanjian Internasional Dalam Hukum Nasional RI
Tinjauan Dari Perspektif Praktik Indonesia”, Indonesian Journal of International Law,
Vol. 5 No. 3, April, 2008.
Elfia Farida, “Kewajiban Negara Indonesia Terhadap Perjanjian Internasional Yang Telah
Diratifikasi (Convention on The Protection of The Rights of All Migrant Workers of Their
Families)”, Administrative Law & Governance Journal. Volume 3 Issue 1, 2020.
Gerald E. Songko, Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional Menurut Konvensi Wina 1969,
Jurnal Lex Privatum, Vol. IV, April, 2016.

Anda mungkin juga menyukai