Anda di halaman 1dari 4

Nama : Siti Qobliya Nasla

NIM : A1011211179
Kelas : F/Reg A
UTS Mata Kuliah Perjanjian Internasional

1) Penjelasan isi Bab 1 Konvensi Wina 1969


● Dalam Pasal 1, bermakna bahwa konvensi ini berlaku untuk perjanjian antar
negara, yang artinya setiap negara berhak melakukan perjanjian.
● Dalam Pasal 2 di Konvensi Wina ini membahas tentang arti dari istilah-istilah
yang ada di konvensi ini, seperti :
(a) “perjanjian” berarti suatu persetujuan internasional yang dibuat antara
Negara-negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional,
baik yang diwujudkan dalam satu instrumen tunggal atau dalam dua atau
lebih instrumen terkait dan apapun sebutan khususnya;
(b) “ratifikasi”, “penerimaan”, “persetujuan” dan “aksesi” berarti dalam setiap
kasus tindakan internasional dinamakan demikian dimana suatu Negara
menetapkan di bidang internasional persetujuannya untuk terikat oleh suatu
perjanjian;
(c) “kekuasaan penuh” berarti dokumen yang berasal dari pejabat yang
berwenang dari suatu Negara yang menunjuk orang atau orang-orang untuk
mewakili Negara untuk merundingkan, mengadopsi atau mengotentikasi teks
perjanjian, untuk menyatakan persetujuan Negara untuk terikat oleh suatu
perjanjian, atau untuk menyelesaikan tindakan lain dengan menghormati
sebuah perjanjian;
(d) “pemesanan” berarti pernyataan sepihak, bagaimanapun ungkapan atau
namanya, yang dibuat oleh suatu Negara, Ketika menandatangani,
meratifikasi, menerima, menyetujui atau mengakses suatu perjanjian, yang
dimaksudkan untuk mengecualikan atau mengubah akibat hukum dari
ketentuan-ketentuan tertentu dari perjanjian itu dalam penerapannya di
Negara itu;
(e) “Negara yang berunding” berarti suatu Negara yang ikut serta dalam
penyusunan dan adopsi teks perjanjian;
(f) “Negara Penandatangan” berarti suatu Negara yang telah setuju untuk
terikat oleh perjanjian, baik atau tidak perjanjian itu mulai berlaku;
(g) "pihak" berarti suatu Negara yang telah setuju untuk terikat oleh perjanjian
dan untuk mana perjanjian itu berada memaksa;
(h) “Negara ketiga” berarti suatu Negara yang bukan merupakan pihak dalam
perjanjian;
(i) “organisasi internasional” berarti organisasi antar pemerintah.
● Dalam pasal 3 dinyatakan bahwa Perjanjian internasional tidak termasuk
dalam ruang lingkup dari Konvensi ini, dikarenakan antara Negara dan
subyek hukum internasional lainnya tidak akan mempengaruhi kekuatan
hukum dari perjanjian tersebut. Selain itu juga tidak dapat mempengaruhi
penerapan kepada mereka yang salah satu aturannya ditetapkan dalam
Konvensi ini, di mana mereka akan tunduk di bawah hukum internasional
terlepas dari Konvensi. Lalu penerapan Konvensi terhadap hubungan
Negara-negara di antara mereka sendiri berdasarkan Perjanjian Internasional
di mana subjek hukum Internasional lainnya juga menjadi pihak.
● Dalam Pasal 4 bermakna tentang perjanjian akan tunduk di bawah hukum
internasional terlepas dari Konvensi. Konvensi yang dimaksud tersebut yaitu
konvensi yang hanya berlaku untuk perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh
Negara-negara setelah berlakunya saat ini
● Dalam Pasal 5 berisi tentang pengertian perjanjian yang merupakan
organisasi internasional dan diadopsi dalam organisasi internasional. Maksud
adalah Konvensi ini berlaku untuk setiap perjanjian yang merupakan
instrumen konstituen tanpa prasangka terhadap setiap aturan organisasi
yang relevan.

2) Mahkamah Internasional dalam kasus Qatar/Bahrain 1994, memberikan petunjuk


bahwa untuk menentukan apakah suatu dokumen adalah perjanjian internasional
tidak harus dilihat dari judul perjanjian. Dalam tanggapannya terhadap "Minutes
signed by Foreign Ministers of Bahrain, Qatar a ndSaudi Arabia, 1990", IC)
menyatakan bahwa Minutes ini adalah perjanjian internasional. ICJ merujuk pada
The ICJ Aegean Sea Continental Shelf, 1978 :
a. In order to ascertain whether an agreement of that kind has been
concluded, the Court must have regard above all to its actual terms and to the
particular circumstances in which it was drawn up.
b. The Minutes are not a simple record of a meeting; they do not merely give an
account of discussions and summarize points of agreement and disagreement. They
enumerate the commitments to which the Parties have consented. They thus create
rights and obligations in international
law for the Parties. They constitute an international agreement.
c. Having signed such a text, the Foreign Minister of Bahrain is not in a position
subsequently to say that he intended to subscribe only to a
"statement recording a political understanding" and not to an international
agreement".
d. The Court concludes that the Minutes of 25 December 1990, like the exchanges of
letters of December 1987, constitute an international agreement creating rights and
obligations for the Parties.
Jadi, dalam perbedaan masing-masing nomenklatur itu tidak akan menyebabkan
akibat hukum lainnya apabila para pihak sudah menyetujui dan berkomitmen atas
perjanjianan internasional tersebut.

3) UUD 1945 Pasal 11 Ayat 1 menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan
Negara lain. Perihal perjanjian dengan negara lain atau perjanjian internasional
kemudian lebih lanjut diatur dalam UU Nomor 24 tahun 2000.
Sesuai UU Nomor 24 Tahun 2000, Perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam
bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat
secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
Indonesia dalam hubungannya dengan negara lain, sering kali terikat dalam suatu
perjanjian di berbagai bidang termasuk perdagangan yang didalamnya mencakup
kerja sama perdagangan barang dan jasa sektor energi. Perjanjian internasional
dalam lingkup kerja sama dilakukan oleh Indonesia baik secara bilateral, regional
maupun multilateral.
Pada awal tahun 2019 sebagai contoh, Indonesia sedang mempersiapkan proses
ratifikasi ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) Paket 10. Setelah
ditandatangani pada 11 November 2018, negara-negara ASEAN termasuk Indonesia
segera melakukan proses ratifikasi AFAS Paket 10. Kementerian Perdagangan
selaku focal point kerja sama ini menyatakan bahwa tujuan ratifikasi AFAS Paket 10
adalah memberikan dasar hukum bagi Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan
komitmen AFAS 10.
Sesuai UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan Pasal 84, setiap perjanjian
perdagangan internasional disampaikan kepada Dewan Perwakilan (DPR) rakyat
paling lama 90 (Sembilan puluh) hari kerja setelah penandatanganan perjanjian.
Suatu perjanjian internasional yang akan diratifikasi harus dilengkapi dengan
beberapa dokumen diantaranya adalah permohonan pengesahan ke Presiden RI
melalui Menteri Luar Negeri, naskah urgensi pengesahan, naskah terjemahan
perjanjian tersebut, naskah akademik pengesahan dan Rancangan Peraturan
Presiden atau rancangan UU tentang pengesahan.
Ratifikasi suatu perjanjian internasional dapat dilakukan dengan UU atau Keputusan
Presiden. Dalam proses ratifikasi, DPR melakukan tinjauan utamanya sisi manfaat
dari perjanjian internasional tersebut.

4) Pasal 34 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional dengan tegas


menganut prinsip Asas Pacta tertiis nec no cent nec prosunt yaitu perjanjian itu
hanya mengikat para pihak & tidak mengikat pihak ketiga. Artinya sebuah perjanjian
tidak mengikat pihak lain yang tidak membuat perjanjian. Sudah barang tentu, orang
yang tidak melakukan perjanjian atau disebut dengan pihak ketiga atau juga pihak
lain tidak terikat dalam sebuah perjanjian yang dibuat pihak lain. Karena didalamnya
tidak memenuhi syarat sah perjanjian. Syarat sah perjanjian meliputi sepakat para
pihak, kecakapan para pihak, suatu objek tertentu, dan sebab yang halal.
Dalam perjanjian yang dilahirkan, pihak ketiga tidak ikut serta didalamnya. Bisa saja
pihak ketiga tersebut tidak ada pada saat perjanjian tersebut berlangsung, bisa saja
hanya sebagai saksi, atau hanya mengetahui melalui orang lain. Jadi dalam sebuah
perjanjian yang hanya sebagai pihak ketiga tidak terikat sama sekali.
Asas ini menyatakan bahwa pertanggungjawaban dalam sebuah perjanjian serta
akibat hukum yang ditimbulkan hanya diberikan pada pihak pertama dan pihak
kedua sedangkan pihak ketiga tidak sedikitpun terikat.
Sedangkan di dalam Pasal 35 Konvensi Wina 1969 berisi pernyataan mengenai
pengecualian prinsip asas Pacta tertiis nec no cent nec prosu, yaitu :
● Perjanjian yang mengatur kewajiban bagi negara ketiga
Suatu kewajiban timbul bagi negara ketiga dari ketentuan suatu perjanjian
jika para pihak dalam perjanjian itu bermaksud ketentuan untuk menjadi
sarana untuk menetapkan kewajiban dan Negara ketiga secara tegas
menerima bahwa kewajiban secara tertulis."
dan dalam Pasal 36 Konvensi Wina 1969 menyatakan tentang ketentuan-ketentuan
pengecualian asas tersebut, yaitu :
● Perjanjian-perjanjian yang memberikan hak-hak bagi Negara-negara ketiga
- Suatu hak timbul bagi Negara ketiga dari ketentuan suatu perjanjian
jika para pihak dalam perjanjian itu bermaksud ketentuan untuk
memberikan hak itu baik kepada Negara ketiga, atau kepada
sekelompok Negara di mana hak itu berasal, atau kepada semua
Serikat, dan kekayaan negara ketiga di dalamnya. Persetujuannya
harus dianggap selama yang berlawanan tidak ditunjukkan, kecuali
jika perjanjian menentukan lain.
- Suatu Negara menjalankan hak sesuai dengan ayat 1 harus
memenuhi syarat-syarat untuk pelaksanaannya diatur dalam
perjanjian atau ditetapkan sesuai dengan perjanjian.
Dari Pasal 55 dan 56 Konvensi Wina 1969 dapat disimpulkan bahwa pengecualian
prinsip asas Pacta tertiis nec no cent nec prosu dapat dilakukan apabila jika pihak
ketiga melakukan perjanjian dengan pihak-pihak yang sudah melakukan perjanjian,
maka perjanjian itu bukanlah bentuk perikatan lanjutan dari perjanjian pertama,
melainkan perjanjian baru yang mengikatnya dengan pihak kedua atau pertama,
dengan demikian posisinya berubah menjadi pihak pertama atau pihak kedua karena
adanya perjanjian baru yang dibuat.

Anda mungkin juga menyukai