Anda di halaman 1dari 4

PENGHORMATAN DAN PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN INTERNASIONAL

A. Penghormatan Terhadap Perjanjian Internasional


Asas dasar dari suatu perjanjian internasional dalam hukum kebiasaan internasional adalah
asas Pacta Sunt Servanda. Ini merupakan norma dasar. Dalam Konvensi Wina asas dasar ini
dirumuskan dalam Pasal 26.
Pasal 26
Pacta sunt servanda
Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good
faith.
Perumusan tersebut ditentukan tanpa perubahan dari draf konvensi, walaupun ada
sekelompok peserta konvensi yang menghendaki bahwa perumusan every treaty in force
diganti dengan every valid treaty. Namun usul itu ditolak karena akan menimbulkan masalah
bahwa perubahan tersebut akan melemahkan teks Pasal 26 tersebut. Oleh karena itu,
masalah kesalahan suatu perjanjian ditentukan dalam Bab V Konvensi, di samping itu bahwa
perjanjian internasional yang tidak sah tidak akan berlaku (in force) untuk dapat diterapkan.
Pihak yang mengusulkan untuk perubahan itu menyatakan bahwa pernyataan treaty in
force berarti perjanjian yang telah berlaku (in force) menurut maksud dari konvensi
termasuk tentang keabsahan suatu perjanjian internasional.
Persyaratan bahwa suatu perjanjian harus didasarkan pada iktikad baik (good faith) adalah
merupakan asas dasar hukum. Dalam hukum kebiasaan internasional telah diterima suatu
prinsip, bahwa suatu hubungan internasional yang dituangkan dalam perjanjian
internasional, serta kewajiban yang ada akan dipenuhi dengan baik oleh para pihak.
Asas iktikad baik merupakan pusat konsep dari asas pacta sunt servanda. Asas ini juga
dikemukakan dalam preambul Piagam PBB yang menyatakan:
Recalling the determination of the people of the United Nations to establish conditions
under which justice and respect for the obligations arising from treaties can be maintained.
Selain dalam preambul Piagam PBB, maka dalam Pasal 2 ayat (2) piagam dinyatakan:
All members, in order to ensure to all of them the rights and benefits resulting from
membership, shall fulfil in good faith the obligations assumed by them in accordance with
the present Charter.
Jika kita hubungkan Pasal 26 Konvensi dan Pasal 2 ayat (2) Piagam PBB maka:
1. persyaratan iktikad baik menimbulkan suatu pembatasan lingkup dari aturan pacta
sunt servanda;
2. bahwa pemenuhan kewajiban mensyaratkan adanya iktikad baik adalah subjek dari
keadaan bahwa pemenuhan kewajiban telah dijalankan sesuai dengan piagam;
3. bahwa para pihak tidak dipersyaratkan untuk melaksanakan perjanjian yang tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada dalam piagam.
Pelaksanaan iktikad baik tidak hanya tertuju pada pelaksanaan suatu perjanjian, tetapi harus
dipertimbangkan adanya keseimbangan antara pemenuhan kewajiban secara timbal balik
pernyataan perjanjian berlaku (treaty in force) harus diartikan sebagai perjanjian yang sah
(valid treaty) karena perjanjian didasarkan pada kesepakatan para pihak dengan sah.
Di dalam konvensi Wina tahun 1969, ketentuan tentang iktikad baik disebutkan sebanyak 5
kali, yaitu:
1. di dalam preambul: noting that the free consent and of good faith and the pacta
sunt servanda rule are universally recognized;
2. Pasal 26 ..., and must performed in good faith;
3. Pasal 31 yang menentukan: A treaty shall be interpreted in good faith ...;
4. Pasal 46 ayat (2) ... in accordance with normal practice and in good faith;
5. Pasal 69 ayat (2b) acts performed in good faith ....
Keadaan ini menunjukkan bahwa asas iktikad baik merupakan asas yang penting dalam
perjanjian internasional.
Bahwasanya setiap negara yang menjadi pihak dalam perjanjian internasional harus menaati
kewajiban yang timbul dalam perjanjian tersebut dan tidak dapat memberikan alasan
bahwa tidak dipenuhi kewajibannya itu karena alasan hukum nasionalnya. Hal ini ditentukan
dalam Pasal 27 konvensi berikut.
Pasal 27
Internal law and observance of treaties
A party may not invoke the provisions of its internal law as justification for its failure to
performed a treaty. This rule is without prejudice to article 46.
Ini adalah ketentuan dalam hukum internasional bahwa suatu pihak dalam perjanjian
internasional tidak dapat memberikan alasan bahwa tidak mematuhi suatu perjanjian
karena alasan hukum nasional. Aturan ini tidak mengesampingkan ketentuan dalam Pasal 46
konvensi. Pasal 46 mengatur tentang pelanggaran wewenang pejabat negara untuk
mengikatkan negaranya dengan pihak lain. Jadi, Pasal 46 itu merupakan pengecualian dari
Pasal 27 dalam hal adanya pelanggaran terang-terangan serta menyangkut suatu aturan
hukum nasional yang penting dan mendasar, sehingga sesuai dengan kebiasaan dan iktikad
baik Pasal 27 ini merupakan suatu pasal komplemen dari asas dasar pacta sunt servanda.
Telah ada ketentuan dalam hukum internasional, bahwa suatu pihak dalam perjanjian
internasional tidak dapat melanggar konstitusinya atau hukum nasionalnya sebagai suatu
pemanfaatan dari kesalahannya untuk tidak memenuhi kewajibannya yang timbul dari suatu
perjanjian di mana ia menjadi pihaknya.

B. Pelaksanaan Perjanjian Internasional


Sesi ini dibuka dengan asas tidak berlaku surutnya suatu perjanjian (non-retroactivity). Asas
ini adalah suatu asas yang terkenal dalam hukum pidana bahwa seseorang tidak dapat
dihukum kecuali bila telah ada peraturannya. Asas ini diadopsi dalam konvensi Wina dan
ditetapkan dalam Pasal 28.
Pasal 28
Non-retroactivity of treaties
Unless a different intention appears from the treaty or is otherwise established, its
provisions do not bind a party in relation to any act or fact which took place or any situation
which ceased to exist before the date of the entry into force of the treaty with respect to
that party.
Jadi aturan ini menunjukkan bahwa perjanjian tidak berlaku surut, kecuali bila perjanjian itu
sendiri menentukan bahwa perjanjian tersebut secara tegas dapat berlaku surut atau dapat
disimpulkan dari isi perjanjian tersebut.
1. Lingkup Wilayah Berlakunya Perjanjian
Suatu ketentuan hukum itu untuk berlakunya tergantung pada masalah apa yang diatur oleh
hukum itu, kepada siapa hukum itu berlaku, di wilayah mana hukum itu berlaku, dan kapan
berlakunya. Perjanjian internasional juga merupakan hukum jadi tentu pertanyaan tadi juga
berlaku bagi perjanjian internasional. Persoalan berlakunya perjanjian itu di wilayah negara
peserta ternyata tidak sesederhana yang kita bayangkan. Kita pasti sepakat bila suatu
negara telah menyatakan ikut serta dalam perjanjian internasional, maka perjanjian itu akan
berlaku di wilayah negara peserta. Wilayah suatu negara itu sebagaimana kita ketahui
berupa wilayah darat, wilayah perairan (wilayah perairan tawar dan mungkin wilayah laut)
karena ada negara yang tidak mempunyai laut (land locked country) dan wilayah udara di
atasnya. Di samping itu negara mempunyai wilayah di mana negara mempunyai hak
berdaulat, yaitu Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen.
Ada perjanjian internasional yang diberlakukan pada suatu negara sebagai subjek hukum
internasional yang oleh I.M. Sinclair disebut sebagai ratione personae. Sebagai contoh
perjanjian alliansi, perjanjian yang membentuk suatu organisasi internasional dan perjanjian
untuk menyelesaikan sengketa ke Badan Arbitrase atau ke Pengadilan Internasional. Pada
dasarnya perjanjian internasional itu mengikat negara peserta perjanjian sebagai suatu
kesatuan politik (political entities) dan tidak dalam arti wilayah. Ada juga perjanjian yang
berlaku untuk warga negara suatu negara, apakah dalam wilayah negara atau tidak.
Perjanjian tersebut adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada warga
negara peserta tanpa melihat apakah warga negara tersebut bertempat tinggal atau
berdomisili di wilayah negara peserta, namun ada perjanjian yang mempunyai sifat
campuran, sebagai contoh perjanjian tentang penghapusan visa akan diterapkan pada
warga negara negara peserta tetapi yang tinggal di wilayah tertentu.
Permasalahan timbul bila ada suatu negara yang mempunyai wilayah induk (metropolitan
territories) dan wilayah seberang laut, wilayah jajahan, wilayah yang dibawah perwaliannya
(non metropolitan territories), dalam hal demikian suatu perjanjian di mana negara tersebut
sudah menjadi peserta, apakah perjanjian tersebut berlaku untuk seluruh wilayahnya
metropolitan dan non metropolitan untuk itu ada pendapat yang berbeda. Pendapat
pertama dikemukakan oleh McNair sebagaimana dikutip oleh T.O. Elias.
The treaty may be of such a kind that it contains no obvious restriction of its application to
any particular geographical area ... in such a case the rule is that, subject to express or
implied provision to the contrary, the treaty applies to all the territory of the Contracting
Party, whether metropolitan or not.
Jadi suatu perjanjian itu jika dalam perjanjian itu tidak ditegaskan bahwa hanya berlaku
pada wilayah tertentu dari wilayah negara peserta, maka perjanjian itu berlaku aturan bila
perjanjian tersebut menyatakan secara jelas atau diam-diam untuk tidak berlaku sebaliknya,
sehingga perjanjian tersebut akan diterapkan untuk semua wilayah negara peserta
perjanjian, apakah itu wilayah metropolitannya atau bukan.
Pendapat yang berbeda berpendapat bahwa suatu perjanjian yang tidak menyatakan
dengan jelas maka efek dari perjanjian itu tidak diterapkan pada wilayah koloni dari negara
peserta. Pendapat ini sama dengan pendapat Menteri Luar Negeri Inggris Mr. Godber yang
mengemukakan pendapatnya di hadapan Majelis Umum PBB tahun 1962 yang mengatakan
bahwa ia menolak penerapan UN Convention di dalam wilayah kolonial, dia mengatakan:
... If there is no such provision, it really means that all the people living in those territories,
including the British inself, will be excluded (from the convention) until the last one is in a
position to accept.
Jadi bila tidak bermaksud yang demikian, maka perjanjian hanya berlaku di wilayah induk
(metropolitan territories), kecuali perjanjian itu sendiri menghendakinya (untuk berlaku juga
di wilayah non metropolitan).
ILC menerima pendapat yang kedua ini dengan merumuskan dalam Pasal 29 Konvensi
sebagai berikut.
Pasal 29
Territorial scope of treaties
Unless a different intention appears from the treaty or is otherwise established, a treaty is
binding upon each party in respect of its entire territory.
Kecuali ditentukan lain dalam perjanjian atau ditetapkan maksud yang berbeda maka
perjanjian itu akan mengikat setiap peserta perjanjian di semua wilayahnya.

Anda mungkin juga menyukai