DAFTAR ISI...
BAB I..
PENDAHULUAN..
2.1. Latar Belakang..
2.2 Rumusan Masalah..
2.3 Tujuan dan Kegunaan Penulisan
BAB II.............
PEMBAHASAN.
2.1. Faktor-Faktor Yang Dapat Mengakhiri Perjanjian Internasional..
2.2. Prosedur untuk Mengakhiri Eksistensi suatu Perjanjian Internasional.............
2.3. Akibat Hukum dari Berakhirnya Eksistensi suatu Perjanjian Internasional..
BAB III....
PENUTUP....
3.1. Kesimpulan....
3.2. Saran..
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Saat ini pada masyarakat internasional, perjanjian internasional memainkan peranan
yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Perjanjian
Internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama untuk
mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya. Sampai tahun
1969, pembuatan perjanjian-perjanjian Internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan.
Berdasarkan draft-draft pasal-pasal yang disiapkan oleh Komis Hukum Internasional,
diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional di Wina dari tanggal 26 Maret sampai
dengan 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April sampai dengan 22 Mei 1969 untuk
mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian melahirkan Vienna
Convention on the Law of Treaties yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini
mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan merupakan hokum internasional positif.
Pasal 2 Konvensi Wina 1969 mendefinisikan perjanjian internasional (treaty) adalah suatu
persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum
internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan
dan apapun nama yang diberikan kepadanya.
Bila lahirnya suatu perjanjian didasarkan atas persetujuan bersama Negara pihak,
maka berakhirnya perjanjian tersebut juga harus didasarkan pada persetujuan bersama.
Mengenai berakhirnya suatu perjanjian telah diatur dalam Konvensi Wina dalam Pasal 55
sampai 72. Dalam hukum nasional pun telah ada undang-undang yang mengatur mengenai
berakhirnya suatu perjanjian internasional yaitu dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2000. Pengaturan mengenai faktor-faktor yang dapat membuat berakhirnya suatu perjanjian,
prosedur pengakhiran perjanjian, dan akibat hukum dari berakhirnya perjanjian telah diatur
dalam Konvensi tersebut. Sehingga dalam praktenyanya nanti jika terjadi pengakhiran suatu
perjanjian internasional diharapkan sudah tidak menjadi kendala lagi.
Rumusan Masalah
1. Adapun pokok pembahasan yang akan dibahas pada makalah ini adalah Faktor-faktor
yang dapat mengakhiri perjanjian internasional
2. Prosedur untuk mengakhiri eksistensi suatu perjanjian internasional
3. Akibat hukum dari berakhirnya eksistensi suatu perjanjian internasional
Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan mahasiswa
fakultas hukum Unhas mengenai Berakhirnya Suatu Perjanjian Internasional dan diharapkan
bermanfaat bagi kita semua.
BAB II
PEMBAHASAN
2. Faktor-Faktor Yang Dapat Mengakhiri Perjanjian Internasional
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang perjanjian Internasinal dalam Bab VI Pasal
18 mengenai berakhirnya suatu perjanjian internasional.
Perjanjian internasional berakhir apabila :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;
Tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;
Terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;
Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;
Dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;
Muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;
Objek perjanjian hilang;
Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.
Sedangkan menurut Konvensi Wina 1969, alasan alasan untuk mengakhiri eksistensi suatu
perjanjian internasional adalah berakhirnya perjanjian dibagi atas 3 kelompok:
1. Berakhirnya perjanjian atas persetujuan negara-negara pihak
a. Berakhirnya perjanjian sesuai dengan ketentuan perjanjian itu sendiri
perjanjian yang berakhir dengan cara ini dijelaskan dalam pasal 54 a Konvensi
Wina tentang hukum perjanjian yang berbunyi: berakhirnya suatu perjanjian
atau penarikan diri dari suatu Negara dapat terjadi sesuai dengan ketentuan
perjanjian itu sendiri. Penyelesaian terbaik adalah bila perjanjian itu sendiri
berisi ketentuan-ketentuan mengenai kapan dan bagaimana cara-cara
berakhirnya perjanjian tersebut. Bila ketentuan ini dilaksanakan, tidak
mungkin lagi terjadi kesalahan menganai interpretasinya.
Berakhirnya masa perjanjian biasanya terjadi antara 1-99 tahun. Praktek ini
menurut kebiasaan terdapat dalam perjanjian aliansi, arbitrasi wajib,
penyewaan bagian-bagian tertentu wilayah Negara, dan lain-lain. Dapat juga
disebut bila perjanjian itu telah sampai waktunya dapat diperbaharui secara
diam-diam untuk selama waktu yang dipakai untuk perjanjian pertama.
b. Klausula Pembubaran Diri
Yang dimaksud dengan klausula ini ialah perjanjian dapat berakhir dengan
dibuatnya perjanjian lain yang dianggap lebih penting. Misalnya Pakta
Warsawa, yang didirikan tahun 1955, sebagai jawaban atas NATO yang lahir
1949, berisikan klausula bahwa Pakta tersebut akan bubar bila telah didirikan
sehingga tidak mungkin untuk menerapkannya secara bersamaan. Maka dari itu
salah satu dari perjanjian tersebut, (dalam hal ini perjanjian yang lama) harus
diakhiri eksistensinya, dan yang harus diberlakukan adalah perjanjian yang baru.
3. Berakhirnya perjanjian akibat terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu
Tentu saja terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu ini sama sekali tidak termasuk
dalam perjanjian yang dibuat. Peristiwa-peristiwa tersebut harus yang menjadi
sebab berakhirnya suatu perjanjian. Hal ini menjadi kontroversi antara pengikiutpengikut dan penentang berakhirnya perjanjian secara demikian. Empat sebab
pembatalan berlakunya perjanjian :
a. Tidak dilaksanakannya perjanjian
Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 60 ayat 1, pelanggaran atas substansi
perjanjian oleh salah satu pihak dapat dijadikan alasan untuk mengakhiri
berlakunya perjanjian, baik untuk keseluruhannya ataupun untuk sebagian.
Atau seperti ditegaskan dalam ayat 2, pelanggaran atas suatu perjanjian
internasional oleh salah satu pihak dapat dijadikan alasan bagi pihak lainnya
untuk bersepakat secara bulat untuk mengakhiri berlakunya perjanjian
tersebut, (i) baik dalam hubungan antara mereka pada satu pihak dengan
pihak yang melakukan pelanggaran pada lain pihak, atau (ii) antara semua
pihak. Pengakhiran semacam ini bersifat fakultatif, artinya, para pihak
diberikan pilihan, apakah sepakat untuk mengakhiri perjanjian ataukah tetap
melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut meskipun terjadi pelanggaran.
Keadaan ini terutama berasal dari pelanggaran ketentuan perjanjian oleh suatu
Negara pihak. Pelanggaran baru dianggap serius bila pelanggaran tersebut
menyinggung hal-hal yang substansial. Hal ini perlu ditegaskan karena sering
terjadi negara-negara menjadikan pelanggaran kecil sebagai alasan untuk
membatalkan tanggung jawab dan kewajibannya terhadap perjanjian. Presiden
Coolidge sebagai juri dalam penyelesaian sengketa antara Peru dan Chili
menolak tuduhan Peru terhadap Chili yang dianggap telah melanggar
disposisi-disposisi perjanjian.
Juri menyatakan:
Memang penyalahgunaan administratif dapat mengakhiri berlakunya suatu
perjanjian, tetapi harus dibuktikan, bahwa penyalahgunaan tersebut betulbetul telah menimbulkan suatu keadaan yang benar-benar buruk, sehingga
menghalangi pelaksanaan perjanjian dan menurut pendapat kami keadaan
yang demikian tidak dapat dibuktikan.
Jadi jelaslah bawa pelanggaran tersebut harus bersifat serius dan dibuktikan
sebelumnya, sehingga dapat mengakhiri beralkunya suatu persetujuan.
Presiden Jurisprudensi tidak banyak dalam hal ini, namun keputusan Presiden
Coolidge cukup tegas dan dapat diterima.. berdasarkan pertimbanganpertimbangan disebut diatas, Pasal 60 Konvensi Wina menetapkan ketentuan
sebagai berikut:
dalam suatu perjanjian bilateral, suatu negara dapat menjadikan suatu
pelanggaran substansial yang dilakukan oleh negara lain sebagai motif
untuk mengakhiri berlakunya suatu perjanjian baik secara definitif
maupun secara sementara. Pelanggaran ini tidak ipso facto mengakhiri
suatu perjanjian tetapi hanya baru membuka kesempatan untuk memakai
prosedur mengakhiri suatu perjanjian yang diatur oleh pasal 65 Konvensi
Wina.
Dalam perjanjian multilateral, bila terjadi suatu pelanggaran oleh suatu
pihak, maka berakhirnya perjanjian tersebut hanya dapat terjadi melalui
suatu perundingan antara negara-negara pihak dan atas persetujuan semua
negara pihak. Jadi perjanjian akan tetap berlaku, sementara prosedur yang
demikian belum dilaksanakan. Dengan menerima cara tersebut Konvensi
Wina hanya mengikuti praktek.
Demikianlah Peradilan Militer Nurenberg 1946 memutuskan bahwa
pelanggaran perjanjian Briand-Kellog oleh jerman tidak mengakhiri
berlakunya perjanjian tersebut. Walaupun terjadi pelanggaran terhadap
kenetralitasan Belgia oleh Jerman tahun 1941, perjanjian 1839 yang
mendirikan kenetralitasan tersebut tetap berlaku sampai 1919 dan baru
dalam Perjanjian Versailles dan atas persetujuan Belgia pula maka
kenetralitasan itu berakhir. Disamping itu Konvensi Wina menambahkan
bahwa suatu negara yang terkena pelanggaran dapat menjadikannya
sebagai alasan untuk menghentikan semnetara pelaksanaan suatu
perjanjian dalam hubungannya dengan negara yang melakukan
pelanggaran.
b. Ketidakmungkinan untuk melaksanakan Pasal 61 Konvensi Wina tentang
Hukum Perjanjian menyatakan bahwa suatu negara dapat mengakhiri suatu
perjanjian bila terjadi keadaan force majure dan menghentikan sementara
berlakunya perjanjian tersebut bila force majure itu bersifat sementara pula.
pembatasan yang bersifat subjektif, yakni perubahan keadaan itu tidak dapat
diduga atau dipredikasi sebelumnya oleh para pihak.
Namun, meskipun kedua syarat tersebut telah terpenuhi, sebagaimana
ditentukan dalam pasal 61 ayat 1, masih ada beberapa kualifikasi yang lebih
spesifik yang harus dipenuhi, yaitu :
a) adanya keadaan tersebut merupakan dasar yang esensial bagi para pihak
untuk terikat pada perjanjian ;
b) akibat atau efek dari perubahan keadaan itu menimbulkan perubahan yang
secara radikal terhadap luasnya kewajiban yang harus dilakukan
berdasarkan perjanjian tersebut.
Yang dimaksudkan keadaan tersebut (the existence of circumstances)
adalah keadaan sebelum terjadinya perubahan keadaan yang fundamental
itu sendiri. Adanya keadaan inilah yang merupakan dasar yang esensial
bagi para pihak untuk terikat pada perjanjian tersebut. Dengan terjadinya
atau berubahnya keadaan itu secara fundamental (keadaan sebelumnya
sangat berdeda secara prinsip dengan keadaan yang terjadi sesuudahnya),
maka hal ini berarti, bahwa dasar yang esensial bagi negara-negara itu
terikat perjanjian sudah mengalami perubahan. Di samping itu, perubahan
keadaan sebagaimana ditentukan dalam pasala 61 ayat 1 butir a tersebut,
menimbulkan efek atau pengaruh secara radikal terhadap luasnya
kewajiban yang harus dilakukan yang bersumber dari perjanjian itu.
Selanjutnya dalam pasal 61 ayat 2, ada dua larangan untuk menggunakan
perubahan keadaan yang fundamental ini sebagai alasan untuk mengakhiri
eksistensi suatu perjanjian internasional. Pertama, negara peserta tidak
boleh menggunakan klausul ini sebagai alasan untuk mengakhiri suatu
perjanjian tentang garis batasa wilayah negara. Kedua, klausul ini juga
tidak dapat dijadikansebagai alasan untuk mengakhiri suatu perjanjian
internasional, jika perubahan keadaan yang fundamental ini terjadi sebagi
akibat dari pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang bersangkutan atas
ketentuan perjanjian internasional tersebut.
d. Timbulnya norma imperatif hukum internasional Pasal 64 Konvensi Wina
menyatakan Bila timbul norma baru imperatif hukum internasional umum,
maka perjanjian-perjanjian yang telah ada dan betentangan dengan normanorma tersebut menjadi batal dan berakhir.
e. Perang Konvensi Wina tidak mengatur akibat perang terhadap perjanjian.
Dalam kaitan ini, komisi Hukum Internasional meninjau persolan ini sebab
konfrensi tentang Hukum Perjanjian akan terpakasa mempelajari pula soalsoal penggunaan kekerasan yang tentunya akan memperluas pula studi
mengenai hukum perjanjian.
kepala negara, atau kepala pemerintah, atau menteri luar negerinya. Jika hal itu dilakukan
oleh pejabat lain selain dari ketiga itu, maka harus disertai dengan suarat kuasa atau kuasa
penuh (full power). Jika tidak, maka keabsahannya dapat dipersoalkan oleh pihak-pihak atau
negaara-negara yang lainnya.
Sementara jika ada negara-negara peserta yang menolak atau tidak menyetujui usulan
untuk mengakhiri eksistensi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain terjadi perbedaan
pendapat bahkan dapat mengarah pada perselisihan (dispute) diantara negara-negara tersebut.
Maka dalam hal ini, pasal 65 ayat 3 menyarankan para pihak menyelesaikannya melalui jalan
damai sebagaimana diamanatkan oleh pasal 33 Piagam PBB. Jika para pihak bermaksud
untuk menyelesaikan perselisihan ini ke hadapan badan penyelesaian sengketa, seperti
peradilan, arbitrase atau konsiliasi, setelah gagal menempuh upaya damai, maka pasal 66
Konvensi memberikan petunjuk yang dapat ditempuh oleh para pihak. Dalam tempo 12 bulan
setelah keberatan itu diajukan, ternyata belum dicapai penyelesaiannya, salah satu dari pihak
yang berselisih atau bersengketa tentang masalah penafsiran atau penerapan atas pasal 53
atau 64 (berkenaan dengan jus cogens), dengan suatu permohonan tertulis dapat menyerahkan
perselisihan itu ke hadapan Mahkanah Internasional untuk diputuskan, kecuali para pihak
berdasarkan persetujuan bersama sepakat untuk mengajukan perselisihan itu ke hadapan
arbitrase (pasal 66 butir a).
Sedangkan pasal 66 butir b menegaskan tentang perselisihan yang timbul berkenaan
dengan interpretasi ataupun pelaksanaan atas Bagian V Konvensi (berkenaan dengan
ketidakabsahan, pengakhiran, dan penundaan berlakunya perjanjian) dapat menempuh
prosedur penyelesaian sengketa sebagaimana secara rinci diatur dalam Annex (dari Konvensi
dengan cara mengajukan permohonan tentang penyelesaian tersebut kepada Sekretaris
Jenderal PBB. Adapun penyelesaian sengketa sebagaimana diatur dalam Annex dari
Konvensi ini adalah penyelesaian melalui mekanisme konsiliasi. Meskipun demikian,
Konvensi masih memberikan kesempatan kepada para pihak yang berubah pendirian,
misalnya di tengah jalan ternyata mengurungkan niatnya untuk mengakhiri perjanjian. Dalam
hal ini, pasal 68 Konvensi memberikan kesempatan kepada negara atau negara-negara
tersebut untuk pada saetiap saat menarik kembali pemberitahuan ataupun instrumentinstrumen yang berkenaan dengan pengakhiran perjanjian seperti ditegaskan dalam pasal 65
dan 67, sepanjang semua itu belum menimbulkan akibat-akibat hukum.
4. Akibat Hukum dari Berakhirnya Eksistensi suatu Perjanjian Internasional
dari para pihak yang lahir dari pelaksanaan perjanjian selama perjanjian itu masih berlaku
atau sebelum berakhirnya eksistensi perjanjian tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;
Tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;
Terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;
Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;
Dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;
Muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;
Objek perjanjian hilang;
Konvensi Wina tahun 1969 menetapkan alasan-alasan yang dapat diajukan oleh suatu negara
untuk membatalkan persetujuan atau perjanjian yang telah disepakati, diantaranya sebagai
berikut.
1. Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum nasional salah satu peserta
yang berkaitan dengan kewenangan (kompetensi) kuasa penuh negara yang
bersangkutan.
2. Terdapat unsur kesalahan (error) berkenaan dengan suatu fakta atau/keadaan pada
waktu perjanjian dibuat.
3. Terdapat unsur penipuan oleh suatu negara peserta terhadap negara peserta lain pada
waktu pembentukan perjanjian.
4. Terdapat kelicikan atau akal bulus, baik secara langsung maupun tidak langsung
terhadap mereka yang menjadi kuasa penuh dan negara peserta tertentu.
5. Terdapat unsur paksaan dalam arti penggunaan kekerasan dan ancaman kepada
seorang kuasa penuh atau negara peserta tertentu.
6. Terdapat ketentuan yang bertentangan dengan suatu kaidah dasar atau asas jus
cogenst. Maksud asas ini adalah kaidah atau norma yang telah diterima dan diakui
oleh masyarakat internasional secara keseluruhan yang tidak boleh dilanggar dan
hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional umum yang baru dan
mempunyai sifat sama.
6. Akibat Hukum dari Berakhirnya Eksistensi suatu Perjanjian Internasional
Tentang konsekuensi hukum dari pengakhiran suatu perjanjian internasioan diatur di
dalam pasal 70 ayat 1 dan 2 Konvensi.
1. Kecuali jika perjanjian itu menyebutkan atau para pihak menyetujuinya, maka
berakhirnya suatu perjanjian yang ada atau menurut konvensi ini:
c) melepaskan para pihak dari suatu kewajiban dan selanjutnya untuk melaksanakan
perjanjian tersebut.
d) tidak berpengaruh pada sesuatu hak, kewajiban, atau situasi hukum dari para pihak
yang timbul melalui pelaksanaan perjanjian sebelum berakhir.
2. Jika suatu negara mengadukan atau menarik diri dari perjanjian multilateral, maka ayat
(1) tersebut dapat diterapkan dalam hubungan antara negara tersebut dan masing-masing
dari para pihak lainnya dari tanggal pada waktu pengaduan atau penarikan diri itu
berlaku.
Menurut ayat 1, ada tiga kemungkinannya, yakni, perjanjian itu mengatur tersendiri di
dalam salah satu pasal atau ketentuannya ; jika pengaturan tidak ada, kemungkinan yang
kedua adalah para pihak mencapai kesepakatan tersendiri, dan kemungkinan yang ketiga
adalah jika keduanya tidak ada, maka para pihak dapat mengikuti ketentuan seperti
ditentukan dalam pasal 70 ayat 1 ini.
Mengenai kemungkinan yang pertama, maka para pihak cukup menerapkan ketentuan
yang terdapat dalam perjanjian tersebut. Akan tetapi dalam prakteknya, memang sangat
jarang ada- bahkan mungkin tidak ada perjanjian internasional yang mengatur sampai
sejauh ini, bahkan lebih banyak dijumpai perjanjian-perjanjian internasional yang sama
sekali tidak mengaturnya. Kemungkinan yang kedua, yaitu para pihak akan mengatur
tersendiri (di luar perjanjian), hanya mungkin apabila pengakhiran atas eksistensi
perjanjian internasional dilakukan atas dasar kesepakatan (secara damai) antara para
pihak. Jika ada kesepakatan semacam ini, maka para pihak tentu saja harus menerapkan
kesepakatan ini saja, dan jika semua berlangsung dengan baik dan lancer, maka
berakhirlah semua masalahnya.
Jika kemungkinan pertama dan kedua itu tidak ada, maka menurut ayat 1, jika
pengakhiran atas eksistensi perjanjian internasional itu berdasarkan atas alasan-alasan
seperti ditentukan dalam Konvensi, maka pengakhiran perjanjian itu akan : (a)
membebaskan para pihak dari kewajiban-kewajiban yang bersumber dari perjanjian
tersebut; (b) tidak mengganggu hak, kewajiban ataupun situasi hukum (legal situation)
dari para pihak yang lahir dari pelaksanaan perjanjian selama perjanjian itu masih berlaku
atau sebelum berakhirnya eksistensi perjanjian tersebut.
3.2.
Saran
Dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dari segi
bahasa maupun materi. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca guna memperbaiki makalah ini.