Anda di halaman 1dari 9

Nama : Moch.

Daffa Syahrizal
NPM : 110110180127
Kelompok/Kelas : 2/Hukum Perjanjian Internasional (B)

Task 8: Penghentian Perjanjian

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan penghentian perjanjian internasional (termination of


treaty) dan dalam situasi-situasi seperti apa penghentian perjanjian internasional dapat
dilakukan berdasarkan VCLT 1969!
Jawaban:
Penghentian perjanjian internasional menggunakan istilah “termination” ini
mencakup “withdrawal” atau penarikan diri dari suatu perjanjian (multilateral), dan
juga“denunciation” atau pemutusan, sebuah tindakan sepihak dari suatu pihak untuk
menghentikan partisipasinya dalam suatu perjanjian, dalam perjanjian bilateral sendiri apabila
pemutusan yang dilakukan oleh salah satu pihak sah,1 maka perjanjian ini berakhir. Namun
persoalan mengenai istilah penghentian telah mencakup kedua hal ini masih menjadi hal yang
kurang jelas. Dikutip dari S. E. Nahlik, arti dari “penghentian” ini terbagi ke dalam arti yang
sempit dan yang lebih luas. Dalam arti sempit, “pemutusan” sajalah yang diakomodasi oleh
penghentian, sebab penghentian ini hanya mengakomodir penyebab untuk mengakhiri
perjanjian terkait hubungannya dengan semua pihak, karena berbeda dengan perjanjian
bilateral yang akan berakhir dengan penghentian oleh salah satu pihak menggunakan
pemberitahuan resmi, perjanjian multilateral ini dapat terus eksis, meskipun dengan jumlah
pihak yang jauh lebih sedikit atau terjadi pengurangan. Dalam kondisi yang satu ini, maka
penggunaan “penarikan” lebih sesuai untuk diterapkan, namun “pemutusan” juga dapat
digunakan terhadap perjanjian multilateral.2
Kemudian dalam arti luas, “penghentian” ini mencakup kasus yang mutlak atau
absolut (berkaitan dengan semua pihak) dan yang relatif (berkaitan hanya dengan satu pihak)
mengenai berakhirnya hubungan hukum di bawah perjanjian yang bersangkutan.3 Secara
singkat, penghentian perjanjian adalah mekanisme untuk melepaskan diri dari pelaksanaan
kewajiban (efek hukum) di bawah perjanjian internasional, mengenai tata caranya sendiri,
hanya diatur dalam perjanjian yang bersangkutan atau VCLT 1969 (khusus mengenai
perjanjian di antara negara). Penghentian perjanjian internasional menurut Vienna
Convention on the Law of Treaties (VCLT) 1969 dapat dilakukan berdasarkan situasi-situasi
tertentu sebagai dasarnya. Mengenai situasi ini, sekiranya dapat dikelompokkan ke dalam
empat (4) kategori,4 yaitu:
a. Keadaan objektif yang ditentukan dalam perjanjian itu sendiri
Hal ini diatur dalam Pasal 54 ayat (1) VCLT 1969 menentukan, bahwa penghentian
perjanjian internasional ini terjadi apabila ketentuan atau klasula yang secara khusus

1
Anthony Aust, Modern Treaty Law And Practice, 2nd Edition, Cambridge: Cambridge University Press, 2007, hlm. 277.
2
S. E. Nahlik, “The Grounds of Invalidity and Termination of Treaties”, American Society of International Law, Vol. 65, No. 5, 1971, hlm.
749.
3
Ibid.
4
Ibid., hlm. 746.
diatur dalam perjanjian telah terpenuhi, seperti berakhirnya waktu perjanjian ataupun
syarat pembubaran mengenai kejadian tertentu.5
Kebalikan dari situasi di atas adalah situasi yang diatur dalam Pasal 56 VCLT 1969,
dimana perjanjian sama sekali tidak mengatur mengenai penghentian, termasuk
mengenai pemutusan atau penarikan, maka perjanjian ini tidak memberikan hak kepada
pihak untuk hal itu. Namun hal ini dapat dikecualikan dengan adanya: 6 1) maksud para
pihak untuk mengakui kemungkinan dari pemutusan atau penarikan; atau 2) hak
pemutusan atau penarikan secara tersirat akibat sifat dari perjanjian yang bersangkutan.
Di samping itu kita menemui Pasal 59 VCLT 1969, berbeda dari ketentuan pasal lain
di bawah section ini, situasi dalam ketentuan pasal ini menentukan, bahwa perjanjian
yang dahulu dianggap berakhir apabila perjanjian yang berlaku kemudian sangat tidak
kompatibel atau sesuai, sehingga penerapan dua perpanjian dengan subjek materi yang
sama oleh pihak-pihak yang terikat ini tidak dapat dilakukan sebagaimana diatur dalam
Pasal 59 ayat (2) VCLT 1969.

b. Keadaan objektif yang tidak diatur dalam perjanjian


Keadaan objektif sebagai dasar dari penghentian perjanjian internasional ini terbagi ke
dalam tiga (3) kemungkinan. Pertama adalah Pasal 64 VCLT 1969 mengenai jus cogens,
dalam hal ini, perjanjian internasional ternyata bertentangan dengan norma baru dalam
hukum internasional yang merupakan norma dasar, maka perjanjian ini batal dan
berakhir.7 Sama halnya dengan dasar keidakabsahan perjanjian internasional dengan
adanya konflik (dengan jus cogens yang telah ada) saat penyimpulan perjanjian, sehingga
menjadi void ab initio sebagaimana diatur dalam Pasal 53 VCLT 1969.
Kedua adalah “supervening impossibility of performance” atau tidak mungkinnya
melaksanakan suatu perjanjian dalam Pasal 61 VCLT 1969 sebagai dasar dari
penghentian atau penarikan dari perjanjian untuk kemudian dimohonkan. Namun
keberlakuannya sebagai dasar ini dibatasi oleh VCLT 1969, bahwa dapat berlaku sebagai
dasar yang cukup dari penghentian selama diakibatkan oleh hilang atau lenyapnya suatu
objek yang diperlukan dalam pelaksanaan perjanjian secara permanen, bukan sementara. 8
Di samping itu, tidak mungkinnya melaksanakan perjanjian ini tidak dapat menjadi dasar
dari permohonan untuk penghentian perjanjian/penarikan/penundaan operasinya
perjanjian apabila menjadikan terjadinya pelanggaran terhadap kewajiban menurut
perjanjian ataupun terhadap perjanjian adalah alasanannya sebagaimana diatur dalam
Pasal 61 ayat (2) VCLT 1969.9
Dan yang ketiga adalah “fundamental change of circumtances” atau perubahan yang
mendasar sebagaimana diatur dalam Pasal 62 VCLT 1969 sebagai dasar dari pengentian
atau penarikan. Dasar penghentian perjanjian yang satu ini dikatakan juga sebagai
perwujudan dari doktrin hukum rebuc sic stantibus10 yang dimaksudkan untuk
5
Ibid.
6
Article 56 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.
7
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hlm. 119.
8
S. E. Nahlik, “The Grounds of Invalidity and Termination of Treaties”, Op.cit., hlm. 747.
9
Article 61 (2) Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.
10
Rebus sic stantibus adalah selama kondisinya tidak secara substansial berubah, bahwa perjanjian hanya mengikat selama rebuc sic
stantibus, dikutip dari: Meriiam Webster Dictionary, Rebus Sic Stantibus | Definition of Rebus Sic Stantibus by Merriam-Webster,
membatasi kekuatan mengikat dari suatu perjanjian secara tersirat. 11 Namun tetap saja
formulasi yang digunakan adalah perubahan yang mendasar, menurut Budiono
Kusumohamidjojo, formulasi yang demikian ini ditujukan untuk menghindari implikasi
doktriner dari istilah ini.12 Hal ini sekiranya yang membuat begitu kompleksnya
pengaturan dari Pasal 62 ini, ayat (1)nya menentukan, bahwa pengajuan klaim
penghentian perjanjian maupun penarikan diri dari perjanjian ini dapat didasarkan
kepada perubahan mendasar yang telah terjadi pada waktu pembuatan perjanjian dan
tidak diduga oleh para pihak sepanjang: 13 1) keadaan-keadaan tersebut merupakan dasar
pokok bagi kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri pada perjanjian; dan 2) efek
dari perubahan tersebut secara radikal menstransformasikan sejauh mana kewajiban
masih harus dilaksanakan di bawah perjanjian tersebut.

c. Tindakan yang selaras dari para pihak


Hal ini diatur dalam Pasal 54 ayat (2) VCLT 1969 dimana para pihak menyepakati
penghentian perjanjian sehingga terjadi kemauan berdaulat yang selaras sebagaimana
perjanjian ini mengikat terhadap para pihak dahulu, yaitu melalui persetujuan. Penerapan
pasal ini membutuhkan pernyataan dari kemauan dari para pihak, baik secara tersurat
maupun tersirat.14

d. Tindakan dari satu pihak (pelaku pelanggaran)


Menurut Pasal 60 ayat (1) VCLT 1969, suatu pihak memiliki hak untuk mengajukan
pelanggaran (materiil) sebagai dasar dari penghentian perjanjian bilateral. Diketahui jika
VCLT 1969 ini tidak membedakan di antara perjanjian bilateral dengan multilateral,
namun ketentuan pasal yang satu ini secara eksplisit dilimitasi kepada perjanjian
bilateral.15 Kemudian mengenai terjadinya pelanggaran materiil terhadap perjanjian
multilateral, maka dapat membuat pihak lain, asal dengan kesepakatan bulat, untuk
menghentikan perjanjian dalam hubungannya dengan negara pelanggar ataupun semua
pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 60 ayat (2) VCLT 1969. Dengan batasan yang
ada, yaitu pelanggarannya yang materiil sebagaimana diatur dalam ayat (3), yaitu harus
berupa penyangkalan atau perlakuan (repudation) maupun pelanggaran dari maksud
yang esensial bagi ketentuan yang penting dalam rangka tercapainya maksud dan tujuan
dari perjanjian.16

Berbeda dengan polarisasi di atas perihal pendekatan yang digunakan, Section 3:


Termination And Suspension Of The Operation ini juga mengatur situasi lain yang tidaklah
cukup pantas untuk dijadikan dasar dari penghentian perjanjian, yaitu:
a. Pasal 55 VCLT 1969 mengenai Berkurangnya Peserta Perjanjian

diunduh pada 23 Mei 2021.


11
S. E. Nahlik, “The Grounds of Invalidity and Termination of Treaties”, Op.cit., hlm. 748.
12
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, Op.cit., hlm. 110.
13
Article 62 (1) Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.
14
S. E. Nahlik, “The Grounds of Invaliditu and Termination of Treaties, Op.cit., hlm. 746.
15
Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice, Op.cit., hlm. 10.
16
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, Op.cit., hlm. 107.
VCLT 1969 menentukan, bahwa situasi yang terjadi sebagaimana ketentuan pasal ini,
yaitu jumlah pihak yang terikat dalam perjanjian telah berkurang menjadi di bawah
jumlah minimal agar perjanjian berlaku tidak dapat menjadi dasar yang cukup untuk
memohonkan penghentian perjanjian. Kecuali ditentukan lain oleh klausul dalam
perjanjian, pada dasarnya, persoalan mengenai situasi ini sebagai dasar dari penghentian
perjanjian dikembalikan lagi kepada keadaan objektif yang telah ditentukan dalam
perjanjian. Namun tidak dapat dipandang sebelah mata, jika pihak yang tersisa ini
memiliki beban finansial akibat perjanjian ataupun secara umum tidak senang atas situasi
ini, biasanya dapat secara bebas menarik diri, baik secara individual maupun kolektif
atau bergabung bersama dan menyimpulkan perjanjian baru.17

b. Pasal 63 VCLT 1969 mengenai Putusnya Hubungan Diplomatik dan Konsuler


Pasal 63 VCLT 1969 menentukan, bahwa putusnya hubungan diplomatik atau
konsuler di antara para pihak dalam perjanjian tidak akan mempengaruhi hubungan
hukum menurut perjanjian terkait, kecuali keberadaan hubungan ini sangat diperlukan
untuk penerapan perjanjian.18 Hal ini berlaku sama bagi perjanjian bilateral maupun
multilateral, sebab putusnya hubungan ini tidak secara substansial mengadakan
perubahan. Contohnya adalah putusnya hubungan diplomatik antara Irak dan Inggris
(1990), sampai tahun 2002, Irak melewati negara ketiga meminta terlaksananya
ekstradisi di bawah Perjanjian Ekstradisi Irak-UK 1932. Meskipun ditolak, namun
penolakan ekstradisi ini tidak didasarkan kepada penundaan perjanjian.19

Di luar Section ini pun, penghentian perjanjian dapat dilakukan ketika pecahnya
perang (outbreak of hostilities) sebagaimana diatur dalam Pasal 73 VCLT 1969 yang
menentukan, bahwa ketentuan-ketentuan konvensi ini tidak akan mengurangi pertanyaan
apapun yang mungkin timbul terkait pecahnya permusuhan antara negara. 20 Merujuk kepada
sejarah, perjanjian internasional itu dianggap telah dibatalkan (abrogated) apabila terjadi
konflik bersenjata di antara para pihak.21 McNair, dalam hal ini, mengemukakan pendekatan
modern dengan mengadakan kategorisasi terhadap pejanjian serta efek konflik bersenjata di
antara para pihak, yaitu:22 1) Perjanjian yang memang diterapkan saat keadaan perang; 2)
Batalnya perjanjian internasional yang bersifat politik di antara para pihak yang berkonflik,
tanpa pihak yang netral; 3) Perjanjian yang menciptkan rezim atau status tidak akan
terpengaruh, tetapi perjanjian acquisition of personal rights akan dibatalkan, tanpa berefek
kepada status yang telah diberikan; 4) Perjanjian ekstradisi akan mengalami penundaan; 5)
Perjanjian komersial sebelum perang akan dibatalkan, kecuali ditentukan lain oleh perjanjian
terkait; 6) Multilateral law-making treaties, masih belum ditentukan oleh McNair.

2. Apakah tuntutan RI berkenaan dengan penghentian MAD Treaty telah sesuai dengan VCLT
1969? Jelaskan berdasarkan setiap tuntutan-tuntutan di bawah ini:
17
Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice, Op.cit., hlm. 289.
18
Article 63 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.
19
Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice, Op.cit., hlm. 307-308.
20
Article 73 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.
21
Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice, Op.cit., hlm. 308.
22
Ibid., hlm. 309-310.
a. MAD Treaty batal (void) karena presiden USR meratifikasi MAD Treaty tanpa
persetujuan parlemen, seperti yang disyaratkan dalam undang-undangnya
b. MAD Treaty sudah dihentikan bertahun-tahun lalu karena keadaan yang
melatarbelakangi pembentukan MAD Treaty tersebut sudah berubah secara radikal.
Jawaban:
Union of the Starving Republic (USR) melakukan protes terhadap pengembangan dan
produksi sistem misil anti balistik oleh Republic Insomnia (RI) di bawah kepemimpinan Mr.
Bison atas dasar Mutually Assured Destruction (MAD) Treaty yang telah berlaku sejak
1963. Tanggal 1 Januari 2002, sistem misil anti balistik ini secara resmi dapat dioperasikan.
Terhadap hal ini, USR mengumumkan, bahwa RI telah melakukan pelanggaran berat
terhadap Pasal III MAD Treaty, namun respon yang serupa tidak disuarakan oleh negara
pihak lainnya, yaitu Republic of Responsible Citizen (RRC) dan Disintegrated Kingdom
(DK).
Oleh karena itu, USR mengumumkan, bahwa tindakan pengembangan sistem misil
anti balistik RI tidak sah secara hukum dan telah melanggar MAD Treaty, selanjutnya
pengumuman penghentian pemberlakuan MAD Treaty yang akan diberlakukan secepatnya
pun dilakukan. Sebagai respon, RI menyatakan bahwa tindakan USR ini merupakan
pernyataan yang irasional mengingat MAD Treaty sudah tidak lagi menjadi instrumen hukum
yang mengikat atas dasar dua poin di bawah ini yang sedang dipertanyakan mengenai
kesesuaiannya dengan VCLT 1969.
a. MAD Treaty batal (void) karena presiden USR meratifikasi MAD Treaty tanpa
persetujuan parlemen, seperti yang disyaratkan dalam undang-undangnya
Tuntutan RI mengenai batalnya MAD Treaty akibat ratifikasi USR atas MAD Treaty
ini dilakukan tanpa persetujuan parlemen ini tidaklah sesuai dengan VCLT 1969. Sebab
RI mempersoalkan sesuatu yang tidak berhubungan, yaitu tidak mengikatnya MAD
Treaty dengan pelanggaran hukum nasional negara lain, dalam hal ini USR, sehingga
batal atau void. Hukum nasional yang dilanggar oleh USR ini berada pada level
konstitusi, yaitu Pasal 115 Konstitusi USR yang menentukan, bahwa:”setiap perjanjian
internasional harus melalui persetujuan parlemen”.
Pembatalan perjanjian dengan melanggar hukumnya ratifikasi oleh contracting state
lainnya sebagai syarat dari berlakunya perjanjian multilateral ini bukan menjadi dasar
untuk mengivalidkan perjanjian internasional menurut VCLT 1969. Yang menjadi
kemungkinan ialah USR bertindak sendiri atas dasar Pasal 46 VCLT 1969, yaitu dengan
mengajukan bahwa persetujuan untuk terikat yang telah dinyatakannya tidak sah karena
melanggar ketentuan hukum nasional mengenai kewenagannya untuk menyimpulkan
perjanjian (Pasal 115 Konstitusi USR) dengan memperhatikan pemenuhan terhadap
persyaratan lainnya, yaitu:23 1) pelanggaran itu terjadi secara terang-terangan; dan 2)
ketentuan yang dilanggarnya ini merupakan hal yang sangat mendasar. Namun pada
dasarnya, pelaksanaan hak atas dasar Pasal 46 VCLT 1969 ini bersifat “dapat
dibatalkan”. Jadi selama tidak pernah diklaim oleh USR yang senantiasa melaksanakan
kewajiban di bawah MAD Treaty yang dianggapnya sah dan tetap berlaku mengikat
terhadapnya, maka untuk apa RI yang tanpa dasar hukum menjadikannya sebagai
tuntutan mengenai penghentian MAD Treaty.
23
Article 46 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.
Di samping itu, USR tidak dapat mengajukan Pasal 46 VCLT 1969 perihal
persetujuannya yang melanggar hukum nasional ketika tindakan ini dilakukan oleh
Presiden sebagaimana diatur di bawah Pasal 7 ayat (2) (a), bahwa Presiden ini memiliki
otoritas yang tak terbantahkan untuk menyatakan persetujuannya.24

b. MAD Treaty sudah dihentikan bertahun-tahun lalu karena keadaan yang


melatarbelakangi pembentukan MAD Treaty tersebut sudah berubah secara radikal.
Perubahan secara radikal sebagai dasar untuk mengajukan penghentian MAD Treaty
oleh RI ini dapat dilakukan dengan berdasar kepada Pasal 62VCLT 1969, namun menjadi
tidak sesuai dengan menyatakan bahwa MAD Treaty yang berlaku tanpa batas waktu dan
tidak memiliki aturan tentang pengunduran diri ini “sudah dihentikan” sebagai justifikasi atas
pelanggaran terhadap Pasal III MAD Treaty, sebab Pasal 62 VCLT 1969 bukanlah
penghentian perjanjian secara otomatis. Berdasar kepada Pasal 62 ayat (1) VCLT 1969 yang
menentukan, bahwa negara pihak tidak dapat mengajukan perubahan mendasar dari keadaan
yang melekat pada saat dilakukannya penyimpulan perjanjian dan tentunya tidak dapat
diduga. Namun hal ini dapat dikecualikan selama keadaan yang dirujuk oleh pihak yang
berkepentingan ini memenuhi dua persyaratan yang ada secara kumulatif. Mengenai hal ini,
penghentian atas dasar perubahan secara radikal oleh IR dapat dilakukan karena telah
memenuhi persyaratan yang ada, yaitu sebagai berikut:
1) Keadaan-keadaan tersebut merupakan dasar pokok bagi kesepakatan para pihak untuk
mengikatkan diri pada perjanjian;
Keadaan ini adalah ketika hanya ada empat (4) negara, yaitu RI; USR; RRC; dan DK
yang memiliki kemampuan untuk memproduksi misil balistik termasuk sistem
komponen-komponennya, sehingga dalam rangka mengadakan pengendalian senjatar di
antara keempat negara ini untuk menjaga stabilitas keamanan internasional, keempat
presiden sepakat untuk mengikatkan diri kepada MAD Treaty melalui tanda tangan pada
tahun 1961. Keadaan ini dapat ditentukan sebagai essential basis atau dasar pokok
disepakatinya perjanjian yang melarang pengembangan sistem misil anti balistik karena
memiliki hubungan yang dekat atau closely linked dengan objek dan tujuan MAD Treaty
sebagaimana menjadi ukuran dari Mahkamah Internasional mengenai klaim Hungaria
perihal perubahan politik yang mendalam sebagai perubahan mendasar dari keadaan,25
dan dengan memperhatikan keadaan di tahun 90-an dimana teknologi berkembang secara
progresif sehingga tidak dapat diduga juga oleh para pihak. Akibat kemajuan teknologi
ini, beberapa negara sedang berlomba-lomba membuat misil balistik dengan jangkauan
lebih jauh. Maka perubahan yang dimaksud oleh RI ini dapat dikonfirmasi sehingga telah
memenuhi pensyaratan yang satu ini, sebab telah ada beberapa negara di luar keempat
negara ini yang memiliki kemampuan produksi sistem misil anti balistik.

2) Efek dari perubahan tersebut secara radikal menstranformasikan sejauh mana kewajiban
masih harus dilaksanakan di bawah perjanjian

24
Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice, Op.cit., hlm. 83.
25
Paras 104, Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary/Slovakia), Judgment, I.C.J. Reports 1997, hlm. 61.
Kewajiban di bawah MAD Treaty ini adalah “tidak akan mengembangkan sistem
Misil Anti Balistik untuk kepentingan pertahanan nasional”, sehingga pelaksanaannya di
tengah keadaan yang telah berubah ini patut dipertanyakan, seperti apakah masih
relevan?. Persyaratan ini juga telah terpenuhi dimana perubahan secara radikal
mentransformasukan sejauh mana kewajiban ini harus dilaksanakan, sebab kewajibannya
untuk tidak mengembangkan sistem misil anti balisitik ini sangatlah membatasi karena
merupakan berupa omisi, yang bahkan bukan untuk membatasi jumlah produksi atau
penggunaan sistem misil anti balistik yang jauh lebih sesuai untuk dilakukan sebagai
reaksi atas perubahan mendasar yang tidak dapat terduga mengenai keadaan yang
melatar belakangi pembentukan MAD Treaty.

Akan tetapi perihal tuntutan RI yang mengenai MAD Treaty sebagai instrumen
hukum yang tidak lagi mengikat, bahwa: “MAD Treaty sudah dihentikan bertahun-tahun lalu
karena keadaan yang melatarbelakangi pembentukan MAD Treaty tersebut telah berubah
secara radikal” ini menjadi tuntutan yang tidak sesuai dengan VCLT 1969. Sebab perubahan
mendasar dari keadaan sebagai dasar untuk melakukan penghentian perjanjian ini bukanlah
penghentian secara otomatis, namun memberikan hak untuk melakukan penghentian sesuai
dengan prosedur dalam Pasal 65 VCLT 196926 hingga kemudian memiliki efek. Seharusnya
hal ini yang menjadi perhatian bagi RI selaku negara pihak dari VCLT 1969 yang perlu
melaksanakan perjanjian dengan itikad baik, bahwa tindakan secara sepihak ini mungkin saja
tidak dapat dibenarkan akibat keterikatannya kepada VCLT 1969 meskipun adanya
keberadaan negara-negara diktator yang memiliki kemungkinan untuk menyerang, berbeda
dengan Amerika Serikat yang bukan negara pihak VCLT 1969, lalu secara sepihak menarik
dirinya dari Anti-Bllistic Missile Treaty. Di sini Amerika Serikat memperhatikan keberadaan
aturan penarikan dalam ABM Treaty pada Pasal XV mengenai “Extraordinary Events
Clause” terkait kebijakannya yang didasarkan kepada “keperluan demi keamanan nasional”27
kemudian runtuhnya USSR and akhir dari perang dingin; dan negara nakal dan ancaman
teroris yang baru. Di samping itu, hal ini dilakukan dengan bernegosiasi dengan Rusia,
berbeda dengan kondisi di antara RI dan USR yang cenderung berkonflik.

3. Apakah tuntutan USR berkenaan dengan penghentian MAD Treaty dengan alasan RI telah
melanggar MAD Treaty karena mengembangkan sistem misil anti balistik dibenarkan
berdasarkan VCLT 1969?
Jawab:
Tuntutan USR mengenai penghentian MAD Treaty atas dengan alasan, bahwa RI
telah melanggar MAD Treaty ini tidak dapat dibenarkan menurut Pasal 60 VCLT 1960 yang
mensyaratkan adanya “unanimous agreement”, meskipun keberadaan pelanggaran material
ini dapat ditemukan. Untuk dapat menjadi dasar dari penghentian perjanjian, sebagaimana
diatur dalam Pasal 60 ayat (2) dan (3) secara sistematis, maka dalih USR yang didasarkan
kepada fakta bahwa RI telah berhasil mengembangkan sistem misil anti balisitik sehingga

26
S. E. Nahlik, “The Grounds of Invaliditu and Termination of Treaties, Op.cit., hlm. 750.
27
Emiily K. Penney, “Is That Legal? The United States’ Unilateral Withdrawal From the Anti-Bllistic Missile Treaty”, Catholic University
Law Review, Volume 51, Issue 4, 2002, hlm. 1290.
melanggar Pasal III MAD Treaty ini perlu memenuhi batasan yang ada, yaitu merupakan
sebuah pelanggaran material atau material breach.
Dalam hal ini, dalih USR mengenai telah terjadinya pelanggaran terhadap MAD
Treaty untuk kemudian dikualifikasikan sebagai pelanggaran material ini dapat menggunakan
Pasal 60 ayat (3) (b) VCLT 1969 sebagai ukurannya, ukuran ini menentukan bahwa
pelanggaran tersebut harus merupakan pelanggaran terhadap ketentuan yang esensial guna
mencapai objektif dan tujuan dari perjanjian.28 Diketahui, bahwa IR ini telah melanggar Pasal
III Mad Treaty yang memiliki bunyi, sebagai berikut: “Setiap negara tidak akan
mengembangkan sistem Misil Anti Balistik untuk kepentingan pertahanan nasionalnya
termasuk tidak akan menyediakan fasilitas/tempat untuk pengembangan tersebut baik di
pusat maupun di semua daerah dalam wilayahnya.”
Secara jelas dengan IR yang telah mengembangkan dan memproduksi sistem misil
anti balisitik yang dapat beroperasi ini melanggar ketentuan pasal di atas, meskipun ditujukan
untuk memberikan perlindungan terhadap rakyatnya di tengah kondisi global dimana banyak
negara selain empat (4) negara yang terikat kepada MAD Treaty ini memiliki sistem misil
anti balistik. Hal ini merupakan “kepentingan pertahanan nasional” menurut Pasal III MAD
Treaty. Berkenaan dengan objek dan tujuan MAD Treaty, yaitu untuk memprakarsai proses
pengendalian senjata antara negara-negara guna menjamin keamanan dan stabilitas
internasional. Secara sempit dengan menggunakan kondisi dimana keempat negara yang
terikat, dahulunya adalah hanya empat negara yang memiliki kapasitas untuk memproduksi
misil balistik termasuk sistem komponen-komponennya, maka Pasal III MAD Treaty ini
adalah merupakan ketentuan yang sifatnya esensial, berupa kewajiban internasional untuk
tidak berbuat sehingga objek dan tujuan terkait dapat dicapai. Atas dasar hal ini, maka
tindakan yang dilakukan oleh IR ini dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran material.
Memperhatikan situasi yang ada pula, bahwa MAD Treaty ini adalah suatu perjanjian
multilateral, maka keberadaan hak untuk melakukan penghentian perjanjian ini membutuhkan
kesepakatan bulat dengan para pihak lain. Namun, selain IR sebagai pihak yang melanggar,
RRC dan DK secara eksplisit telah menunjukkan ketidaksetujuannya untuk melakukan
penghentian perjanjian atas dasar klaim USR dengan menyatakan, bahwa keputusan yang
dikeluarkan oleh Presiden USR ini tidak mewakili pandangan mereka. Oleh karena itu,
berdasar kepada Pasal 60 ayat (2) (a) yang menentukan reaksi kolektif dari para pihak dengan
kesepakatan bulat sebagai persyaratan,29 tuntutan USR secara individual berupa tuntutan
penghentian perjanjian internasional atas dasar pelanggaran material ini tidak dapat
dibenarkan. Hal yang dapat dilakukan secara individual mengenai pelanggaran terhadap
perjanjian internasional adalah mengajukannya sebagai dasar untuk melakukan penundaan
beroperasinya perjanjian dengan memperhatikan Pasal 60 ayat (2) (b)30 atau huruf (c).31

28
Article 60 (3) (b) Vienna Convention on the Law of Treaties.
29
Thanapat Chatinakrob, “Material Breach and its Exception: An Analysis of a ‘Humanitarian Character’”, IALS Student Law Review, Vol.
5, Issue 2, 2018, hlm. 47.
30
Article 60 (2) (b) Vienna Convention on the Law of Treaties 1969: “a party specially affected by the breach to invoke it as a ground for
suspending the operation of the treaty in whole or in part in the relations between itself and the defaulting State.”
31
Article 60 (2) (c) Vienna Convention on the Law of Treaties 1969: “any party other than the defaulting State to invoke the breach as a
ground for suspending the operation of the treaty in whole or in part with respect to itself if the treaty is of such a character that a
material breach of its provisions by one party radically changes the position of every party with respect to the further performance of
its obligations under the treaty.”
Daftar Pustaka

Buku:
Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice, Second Edition, Cambridge University
Press, New York, 2007.
Sri Setianingsih Suwardi dan Ida Kurnia, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta, Sinar
Grafika, 2019.

Dokumen Lain:
Emiily K. Penney, “Is That Legal? The United States’ Unilateral Withdrawal From the Anti-
Bllistic Missile Treaty”, Catholic University Law Review, Volume 51, Issue 4, 2002.
S. E. Nahlik, “The Grounds of Invalidity and Termination of Treaties”, American Society of
International Law, Volume 65, Nomor 5, 1971.
Meriiam Webster Dictionary, Rebus Sic Stantibus | Definition of Rebus Sic Stantibus by
Merriam-Webster, diunduh pada 23 Mei 2021.
Thanapat Chatinakrob, “Material Breach and its Exception: An Analysis of a ‘Humanitarian
Character’”, IALS Student Law Review, Volume 5, Issue 2, 2018.

Dokumen Hukum:
Vienna Convention on the Law of Treaties (VCLT) 1969.
Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary/Slovakia), Judgment, I.C.J. Reports 1997.

Anda mungkin juga menyukai